TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 Epidemiologi
Peningkatan pada kasus trauma toraks dari waktu ke waktu tercatat semakin
tinggi. Hal ini banyak disebabkan oleh kemajuan sarana transportasi diiringi oleh
peningkatan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Trauma toraks secara langsung
menyumbang 20% sampai 25% dari seluruh kematian akibat trauma, dan menghasilkan
lebih dari 16.000 kematian setiap tahunnya di Amerika Serikat begitu pula pada negara
berkembang. Di Amerika Serikat penyebab paling umum dari cedera yang menyebabkan
kematian pada kecelakaan lalu lintas, dimana kematian langsung terjadi sering
disebabkan oleh pecahnya dinding miokard atau aorta toraks. Kematian dini (dalam 30
menit pertama sampai 3 jam) yang diakibatan oleh trauma toraks sering dapat dicegah,
seperti misalnya disebabkan oleh tension Pneumotoraks , tamponade jantung,
sumbatan jalan napas, dan perdarahan yang tidak terkendali. Oleh karena seringnya
kasus trauma toraks reversibel atau sementara tidak mengancam nyawa dan tidak
memerlukan tindakan operasi, sangat penting untuk dokter yang bertugas di unit gawat
darurat mengetahui lebih banyak mengenai patofisiologi, klinis, diagnosis, serta jenis
penanganan lebih lanjut (Saaiq, et al., 2010; Eckstein & Handerson, 2014; V Shah &
Solanki, 2015). Di antara pasien yang mengalami trauma toraks, sekitar 50% akan
mengalami cedera pada dinding dada terdiri dari 10% kasus minor, 35% kasus utama,
dan 5% flail chest injury. Cedera dinding dada tidak selalu menunjukkan tanda klinis
yang jelas dan sering dengan mudah saja diabaikan selama evaluasi awal (Eckstein &
Handerson, 2014).
Di Australia, 45% dari trauma tumpul mengenai rongga toraks. Dengan adanya
trauma pada toraks akan meningkatkan angka mortalitas pada pasien dengan trauma.
Trauma toraks dapat meningkatkan kematian akibat Pneumotoraks 38%, Hematotoraks
42%, kontusio pulmonum 56%, dan flail chest 69% (Mefire, et al., 2010; Saaiq, et al.,
2010). Trauma tumpul toraks menyumbang sekitar 75% - 80% dari keseluruhan trauma
toraks dan sebagian besar dari pasien ini juga mengalami cedera ekstratoraks. Trauma
tumpul pada toraks yang menyebabkan cedera biasanya disebabkan oleh salah satu
dari tiga mekanisme, yaitu trauma langsung pada dada, cedera akibat penekanan,
ataupun cedera deselarasi (Saaiq, et al., 2010).
2.1.3 Etiologi
Trauma pada toraks dapat dibagi 2 yaitu oleh karena trauma tumpul 65% dan
trauma tajam 34.9 % (Ekpe & Eyo, 2014). Penyebab trauma toraks tersering adalah
kecelakaan kendaraan bermotor (63-78%) (Saaiq, et al., 2010). Dalam trauma akibat
kecelakaan, ada lima jenis benturan (impact) yang berbeda, yaitu depan, samping,
belakang, berputar, dan terguling. Oleh karena itu harus dipertimbangkan untuk
mendapatkan riwayat yang lengkap karena setiap orang memiliki pola trauma yang
berbeda. Penyebab trauma toraks oleh karena trauma tajam dibedakan menjadi 3
berdasarkan tingkat energinya, yaitu berenergi rendah seperti trauma tusuk, berenergi
sedang seperti tembakan pistol, dan berenergi tinggi seperti pada tembakan senjata
militer. Penyebab trauma toraks yang lain adalah adanya tekanan yang berlebihan pada
paru - paru yang bisa menyebabkan Pneumotoraks seperti pada aktivitas menyelam
(Saaiq, et al., 2010). Trauma toraks dapat mengakibatkan kerusakan pada tulang kosta
dan sternum, rongga pleura saluran nafas intratoraks dan parenkim paru. Kerusakan ini
dapat terjadi tunggal ataupun kombinasi tergantung dari mekanisme cedera (Gallagher,
2014).
Gambar 2.1 Anatomi Organ Visceral pada Rongga Dada anterior view
Muskulatur dinding dada terdiri atas otot-otot yang mengisi dan menyokong spatium
interkostalis, otot-otot yang berada antara sternum dan tulang rusuk, dan otot-otot yang
melintang melewati beberapa tulang rusuk di antara perlekatan tulang kosta seperti
gambar 2.4 dan 2.5. Otot-otot dinding dada, bersama dengan otot-otot di antara vertebra
dan tulang rusuk secara posterior ( m.levatores costarum, m.serratus posterior superior,
dan m.serratus posterior inferior) merubah posisi tulang rusuk dan sternum sehingga
merubah volume torakal selama bernapas. Otot-otot ini juga memperkuat dinding
thorakal seperti gambar 2.4 (Drake, et al., 2010). Muskulus interkostal merupakan tiga
otot pipih yang terdapat pada tiap spatium interkostalis yang berjalan di antara tulang
rusuk yang bersebelahan. Setiap otot pada kelompok otot ini dinamai berdasarkan posisi
mereka masing masing:
m.interkostal eksternal merupakan yang paling superfisial
m.interkostal internal terletak diantara m.interkostal eksternal dan profundal
Muskulus interkostal diinervasi oleh nervus interkostal terkait. Sebagai suatu kelompok
otot. Otot-otot interkostal menyediakan sokongan struktural untuk spatium interkostalis
selama respirasi. Mereka juga menggerakkan tulang rusuk. Sebelas pasang
m.interkostal eksternal memanjang dari tepi bawah tulang rusuk yang berada di atas
hingga tepi atas tulang rusuk di bawahnya. Otot-otot ini memanjang mengelilingi dinding
toraks dari regio tuberkel rusuk hingga kartilage kosta, dimana tiap lapisan berlanjut
sebagai suatu aponeurosis jaringan ikat tipisyang dinamai membrane interkostal
eksternal. Muskulus interkostal eksternal merupakan otot yang paling aktif saat inspirasi.
Sebelas pasang m.interkostal internal berjalan diantara tepi lateral terbawah lekuk kosta
tulang rusuk, hingga permukaan superior rusuk di bawahnya. Otot otot ini memanjang
dari regio parasternal, dimana mereka berjalan diantara kartilage kosta yang
bersebelahan, menuju angulus rusuk di posterior. Lapisan ini berlanjut ke medial menuju
kolumna vertebralis, pada setiap spatium interkostalis, sebagai membrane interkostal
internal. Serabut otot ini berjalan kearah yang berlawanan dengan m.interkostal
eksternal. Muskulus interkostal internal merupakan otot yang paling aktif selama
ekspirasi. (Drake, et al., 2010)
Muskulus interkostal profunda memiliki serabut dengan orientasi yang sama
dengan muskulus interkostal internal. Otot ini paling tampak pada dinding toraks lateral.
Mereka melekat pada permukaan internal rusuk - rusuk yang bersebelahan sepanjang
tepi medial lekuk kosta. Satu hal yang penting disini, berkas neurovaskular yang terkait
dengan spatium interkostalis berjalan mengelilingi dinding toraks pada suatu bidang di
antara muskulus interkostal profunda dan internal Muskulus subkostal berada pada
bidang yang sama dengan m.interkostal profunda, merentang diantara multiple rusuk,
dan jumlahnya semakin banyak di regio bawah dinding toraks posterior seperti gambar
2.4 dan 2.5. Otot - otot ini memanjang dari permukaan interna satu rusuk sampai dengan
permukaan interna rusuk kedua atau ketiga di bawahnya. Serabut ototnya paralel
terhadap jalur m.interkostal internal dan memanjang dari angulus rusuk menuju posisi
yang lebih medial pada rusuk di bawahnya. (Drake, et al., 2010) Muskulus torakal
transversus terdapat pada permukaan dalam dinding toraks anterior dan berada pada
bidang yang sama dengan m.interkostal profunda seperti gambar 2.4 dan 2.5. Muskulus
torakal transversus muncul dari aspek posterior prosesus xiphoideus, pars inferior badan
sternum, dan kartilage kosta rusuk sejati di bawahnya. Otot - otot ini berjalan secara
superior dan lateral untuk memasuki tepi bawah kartilage kostal tulang rusuk III hingga
VI. Muskulus torakal transversus terletak di bawah pembuluh - pembuluh torakal internal
dan mengunci pembuluh ini ke dinding toraks
Suplai Vena
Drainase vena dari dinding toraks pada umumnya paralel dengan pola suplai
arterialnya. Secara sentral, vena - vena interkostal pada akhirnya akan didrainase
menuju sistem vena atau ke dalam vena torakal internal, yang terhubung dengan vena
brakhiosefalika dalam leher. Vena - vena interkostal posterior pada sisi kiri akan
bergabung dan membentuk vena interkostal superior kiri, yang akan didrainase ke dalam
vena brakhiosefalik kiri. Begitu pula dengan vena-vena interkostal posterior di sisi kanan
dapat bergabung dan membentuk vena interkostal superior kanan, yang akan mengalir
ke dalam vena azygos
Drainase Limfatik
Pembuluh limfatik pada dinding toraks didrainase terutama ke dalam limfonodi
yang berhubungan dengan arteri torakal internal (nodus parasternal), dengan kepala dan
leher rusuk (nodus interkostal), dan dengan diafragma (nodus diafrgamatikus). Nodus
diafragmatikus terletak posterior terhadap xiphoideus dan pada lokasi dimana nervus
phrenikus memasuki diafragma. Mereka juga ada pada region - regio dimana diafragma
melekat dengan kolumna vertebralis. Nodus parasternal didrainase ke dalam trunkus
bronkhomediastinal. Nodus interkostal pada toraks atas juga didrainase ke dalam
trunkus bronkhomediastinal, sedangkan nodus interkostal di toraks bawah didrainase ke
dalam duktus torakalis. Nodus yang berkaitan dengan diafragma terinterkoneksi dengan
nodus parasternal, prevertebral, juxtaesofageal, brakhioesefalik, dan aortik lateralis.
Regio superfisial dinding toraks didrainase terutama ke dalam limfonodi aksilaris pada
nodus aksila atau parasternal.
Innervasi
Innervasi dinding toraks terutama oleh nervus interkosta, yang merupakan ramus
anterior nervus spinalis T1 - T11 dan terletak pada spatium interkostalis di antara rusuk-
rusuk yang bersebelahan. Percabangan terbesarnya adalah cabang kutaneus lateral,
yang menembus dinding toraks lateral dan terbagi menjadi cabang anterior dan cabang
posterior yang menginervasi lapisan kulit di atasnya. Nervus interkostal berakhir sebagai
cabang kutaneus anterior, yang muncul baik secara parasternal, di antara kartilage kosta
yang bersebelahan, ataupun secra lateral terhadap midline, pada dinding abdomen
anterior, untuk menyuplai kulit pada toraks, nervus interkostal membawa :
Inervasi somatik motorik kepada otot – otot dinding toraks ( intercostal, subcostal,
and transversus thoracis muscles )
Innervasi somatik sensoris dari kulit dan pleura parietal;
Serabut simpatis postganglionic ke perifer.
Innervasi sensori dari kulit yang melapisi dinding toraks bagian atas disuplai oleh cabang
kutaneus, yang turun dari pleksus servikal di leher. Selain menginnervasi dinding toraks,
nervus interkosta juga menginnervasi area lainnya :
Ramus anterior T1 berkontribusi ke pleksus brakhialis
Cabang kutaneus lateral dari nervus interkostalis kedua berkontribusi kepada
innervasi kutaneus permukaan medial lengan atas
Nervus interkostal bawah menyuplai otot, kulit, dan peritoneum dinding abdomen
2.1.5 Patofisiologi
Utuhnya suatu dinding Toraks sangat diperlukan untuk sebuah ventilasi
pernapasan yang normal. Pengembangan dinding toraks ke arah luar oleh otot - otot
pernapasan diikuti dengan turunnya diafragma menghasilkan tekanan negatif dari
intratoraks. Proses ini menyebabkan masuknya udara pasif ke paru - paru selama
inspirasi. Trauma toraks mempengaruhi strukur - struktur yang berbeda dari dinding
toraks dan rongga toraks. Toraks dibagi kedalam 4 komponen, yaitu dinding dada,
rongga pleura, parenkim paru, dan mediastinum. Dalam dinding dada termasuk tulang -
tulang dada dan otot - otot yang terkait. Rongga pleura berada diantara pleura viseral
dan parietal dan dapat terisi oleh darah ataupun udara yang menyertai suatu trauma
toraks. Parenkim paru termasuk paru - paru dan jalan nafas yang berhubungan, dan
mungkin dapat mengalami kontusio, laserasi, hematoma dan pneumokel. Mediastinum
termasuk jantung, aorta / pembuluh darah besar dari toraks, cabang trakeobronkial dan
esofagus. Secara normal toraks bertanggungjawab untuk fungsi vital fisiologi
kardiopulmoner dalam menghantarkan oksigenasi darah untuk metabolisme jaringan
pada tubuh. Gangguan pada aliran udara dan darah, salah satunya maupun kombinasi
keduanya dapat timbul akibat dari cedera toraks (Eckstein & Handerson, 2014; Lugo,,
et al., 2015). Secara klinis penyebab dari trauma toraks bergantung juga pada beberapa
faktor, antara lain mekanisme dari cedera, luas dan lokasi dari cedera, cedera lain yang
terkait, dan penyakit - penyakit komorbid yang mendasari. Pasien - pasien trauma toraks
cenderung akan memburuk sebagai akibat dari efek pada fungsi respirasinya dan secara
sekunder akan berhubungan dengan disfungsi jantung. Pengobatan dari trauma Toraks
bertujuan untuk mengembalikan fungsi kardiorespirasi menjadi normal, menghentikan
perdarahan dan mencegah sepsis (Saaiq, et al., 2010; Eckstein & Handerson, 2014;
Lugo,, et al., 2015) Kerusakan anatomi yang terjadi akibat trauma toraks dapat ringan
sampai berat tergantung pada besar kecilnya gaya penyebab terjadinya trauma.
Kerusakan anatomi yang ringan pada dinding toraks berupa fraktur kosta simpel.
Sedangkan kerusakan anatomi yang lebih berat berupa fraktur kosta multipel dengan
komplikasi pneumotoraks, hematotoraks dan kontusio pulmonum. Trauma yang lebih
berat menyebakan robekan pembuluh darah besar dan trauma langsung pada jantung
(Saaiq et al., 2010; Lugo, et al., 2015 ). Akibat kerusakan anatomi dinding toraks dan
organ didalamnya dapat mengganggu fungsi fisiologis dari sistem respirasi dan
kardiovaskuler. Gangguan sistem respirasi dan kardiovaskuler dapat ringan sampai
berat tergantung kerusakan anatominya. Gangguan faal respirasi dapat berupa
gangguan fungsi ventilasi, difusi gas, perfusi, dan gangguan mekanik alat pernafasan.
Salah satu penyebab kematian pada trauma toraks adalah gangguan faal jantung dan
pembuluh darah (Saaiq, et al., 2010; Mattox, et al., 2013; Lugo,, et al., 2015).
2.1.6 Komplikasi
Trauma toraks memiliki beberapa komplikasi seperti pneumonia 20%,
pneumotoraks 5%, hematotoraks 2%, empyema 2%, dan kontusio pulmonum 20%.
Dimana 50-60% pasien dengan kontusio pulmonum yang berat akan menjadi ARDS.
Walaupun angka kematian ARDS menurun dalam dekade terakhir, ARDS masih
merupakan salah satu komplikasi trauma toraks yang sangat serius dengan angka
kematian 20-43% (Aukema, et al., 2011; Lugo, et al., 2015 ; El-Menyar, et al., 2016).
Kontusio dan hematoma dinding toraks adalah bentuk trauma toraks yang paling sering
terjadi. Sebagai akibat dari trauma tumpul dinding toraks, perdarahan masif dapat terjadi
karena robekan pada pembuluh darah pada kulit, subkutan, otot dan pembuluh darah
interkosta. Kebanyakan hematoma ekstrapleura tidak membutuhkan pembedahan,
karena jumlah darah yang cenderung sedikit ( Milisavljevic, et al., 2012 ; Lugo, et al.,
2015 ). Fraktur kosta terjadi karena adanya gaya tumpul secara langsung maupun tidak
langsung. Fraktur kosta terjadi sekitar 35% - 40% pada trauma toraks. Karakteristik dari
trauma kosta tergantung dari jenis benturan terhadap dinding dada (Saaiq, et al., 2010;
Milisavljevic, et al., 2012). Gejala yang spesifik pada fraktur kosta adalah nyeri, yang
meningkat pada saat batuk, bernafas dalam atau pada saat bergerak. Pasien akan
berusaha mencegah daerah yang terkena untuk bergerak sehingga terjadi hipoventilasi.
Hal ini meningkatkan risiko atelektasis dan pneumonia (Novakov, et al., 2014 ; Feng Lin,
et al., 2015 ; Lugo, et al., 2015).
Flail chest adalah suatu kondisi medis dimana kosta - kosta yang berdekatan
patah baik unilateral maupun bilateral dan terjadi pada daerah kostokondral. Angka
kejadian dari flail chest sekitar 5%, dan kecelakaan lalu lintas menjadi penyebab yang
paling sering. Diagnosis flail chest didapatkan berdasarkan pemeriksaan fisik, foto
Toraks, dan CT scan Toraks (Wanek & Mayberry, 2004; Milisavljevic, et al., 2012; Lugo,
et al., 2015) Fraktur sternum terjadi karena trauma tumpul yang sangat berat sering kali
disertai dengan fraktur kosta multipel. Gangguan organ mediastinum harus dicurigai
pada pasien fraktur sternum, umumnya adalah kontusio miokardium (dengan nyeri
prekordium dan dispnea). Diagnosis fraktur sternum didapatkan dari pemeriksaan fisik,
adanya edema, deformitas, dan nyeri lokal (Milisavljevic, et al., 2012). Kontusio parenkim
paru adalah manifestasi trauma tumpul toraks yang paling umum terjadi. Kontusio
pulmonum paling sering disebabkan trauma tumpul pada dinding dada secara langsung
yang dapat menyebabkan kerusakan parenkim, edema interstitial dan perdarahan yang
mengarah ke hipoventilasi pada sebagian paru. Kontusio juga dapat menyebabkan
hematoma intrapulmoner apabila pembuluh darah besar didalam paru terluka. Diagnosis
didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik (adanya suara gurgling pada auskultasi),
foto toraks, dan CT scan toraks. Kontusio lebih dari 30% pada parenkim paru
membutuhkan ventilasi mekanik (Milisavljevic, et al., 2012 ; Lugo, et al., 2015).
Pneumotoraks adalah adanya udara pada rongga pleura. Pneumotoraks sangat
berkaitan dengan fraktur kosta laserasi dari pleura parietalis dan visceralis. Robekan dari
pleura visceralis dan parenkim paru dapat menyebabkan Pneumotoraks, sedangkan
robekan dari pleura parietalis dapat menyebabkan terbentuknya emfisema subkutis.
Pneumotoraks pada trauma tumpul toraks terjadi karena pada saat terjadinya kompresi
dada tiba - tiba menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intraalveolar yang dapat
menyebabkan rupture alveolus. Udara yang keluar ke rongga interstitial ke pleura
visceralis ke mediastinum menyebabkan Pneumotoraks atau emfisema mediastinum.
Selain itu Pneumotoraks juga dapat terjadi ketika adanya peningkatan tekanan
tracheobronchial tree, dimana pada saat glotis tertutup menyebabkan peningkatan
tekanan terutama pada bivurcatio trachea dan atau bronchial tree tempat dimana bronkus
lobaris bercabang, sehingga ruptur dari trakea atau bronkus dapat terjadi. Gejala yang
paling umum pada Pneumotoraks adalah nyeri yang diikuti oleh dispneu (Milisavljevic,
et al., 2012; Lugo, et al., 2015). Hematotoraks adalah adanya darah pada rongga pleura.
Darah dapat masuk ke rongga pleura setelah trauma dari dinding dada, diafragma, paru-
paru, atau mediastinum. Insiden dari hematotoraks tinggi pada trauma tumpul, 37%
kasus berhubungan dengan pneumotoraks (hemopneumotoraks ) bahkan dapat terjadi
hingga 58% (Milisavljevic, et al., 2012; Lugo, et al., 2015). Terjadinya hemotoraks yang
massive dengan drainage sekitar 1000 mililiter ataupun 100 mililiter per jam lebih daari 4
jam pada kasus akut mengindikasikan untuk dilakukan thoracotomy emergency karena
sangat beresiko mengancam nyawa bahkan kematian (Cobanoglu, et al., 2012)
.
2.1.7 Mortalitas
Trauma tumpul toraks meliputi 10% - 15% dari semua cedera trauma toraks dan
sekitar 25% dari seluruh kematian akibat trauma di seluruh dunia. Etiologi dan pola
trauma tumpul toraks bervariasi tergantung pada mekanisme cedera dan faktor sosio -
ekonomi. Kecelakaan kendaraan bermotor meliputi 60% - 70% dari total keseluruhan
trauma toraks. Angka mortalitas pada pasien trauma tumpul toraks tergantung terutama
pada keparahan cedera dan adanya cedera terkait dengan sistem organ lainnya (Huber,
et al., 2014; El-Menyar, et al., 2016). Pada suatu penelitian di daerah Timur Tengah Arab
yang menilai presentasi klinis dan mortalitas berbasis waktu dari trauma tumpul toraks
berdasarkan mekanisme cedera, didapatkan mayoritas dari korban kecelakaan lalu lintas
adalah laki - laki muda. Pada analisis ini, kontusio paru merupakan tipe trauma tumpul
toraks yang paling umum, diikuti oleh fraktur tulang rusuk, dimana hal ini konsisten
dengan penelitian lainnya. Penelitian sebelumnya melaporkan hemotoraks dan
pneumotoraks sebagai lesi yang paling sering pada trauma tumpul toraks. Penelitian ini
telah mengobservasi suatu proporsi cedera ekstratoraks yang lebih tinggi di antara
pasien trauma tumpul toraks, dimana hal ini dapat meningkatkan risiko komplikasi.
Adanya trauma kepala dipertimbangkan sebagai prediktor tunggal mortalitas pada
pasien trauma tumpul toraks. Cedera pada hepar dan lien juga meningkatkan risiko
mortalitas tiga kali lipat (Aleassa, et al., 2013; El-Menyar, et al., 2016). Walaupun terjadi
penurunan yang tajam pada angka mortalitas pneumonia dan ARDS beberapa tahun
terakhir ini, komplikasi ini masih menyumbang angka mortalitas sebesar 20% - 43%.
Kontusio pulmonum merupakan cedera intratoraks tersering yang diasosiasikan dengan
mortalitas pada pasien trauma tumpul toraks, dimana cedera kepala menjadi cedera
ekstratoraks tersering yang dikaitkan dengan mortalitas pada pasien trauma tumpul
toraks. Puncak mortalitas didapatkan pada hari pertama pasca trauma, merefleksikan
tingkat keparahan cedera dan perawatan pre-rumah sakit, tanpa menghiraukan
mekanisme kecelakaan lalu lintas (El-Menyar, et al., 2016; Aleassa, et al., 2013).
2.1.8 Tatalaksana
Manajemen awal untuk pasien trauma toraks tidak berbeda dengan pasien trauma
lainnya dan meliputi ABCDE, yaitu A: airway patency with care of cervical spine, B:
Breathing adequacy, C: Circulatory support, D: Disability assessment, dan E: Exposure
without causing hypothermia (Saaiq, et al., 2010; Lugo, et al., 2015; Unsworth, et al.,
2015). Pemeriksaan primary survey dan pemeriksaan dada secara keseluruhan harus
dilakukan. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi dan menangani kondisi yang
mengancam nyawa dengan segera, seperti obstruksi jalan napas, tension Pneumotoraks
, pneuomotoraks terbuka yang masif, hemotoraks masif, tamponade perikardial, dan flail
chest yang besar. Begitu kondisi - kondisi yang mengancam nyawa sudah ditangani,
maka pemeriksaan sekunder dari kepala hingga kaki yang lebih mendetail disertai
secondary chest survey harus dilakukan. Pemeriksaan ini akan fokus untuk medeteksi
kondisi - kondisi berikut: kontusio pulmonum, kontusi miokardial, disrupsi aortal, ruptur
diafragma traumatik, disrupsi trakeobronkial, dan disrupsi esofageal (Saaiq, et al., 2010;
Lugo, et al., 2015). Apnea, syok berat, dan ventilasi yang inadekuat merupakan indikasi
utama untuk intubasi endotrakeal darurat. Resusitasi cairan intravena merupakan terapi
utama dalam menangani syok hemorhagik. Manajemen nyeri yang efektif merupakan
salah satu hal yang sangat penting pada pasien trauma toraks. Ventilator harus
digunakan pada pasien dengan hipoksemia, hiperkarbia, dan takipnea berat atau
ancaman gagal napas. Ventilator juga diindikasikan pada pasien dengan kontusio paru
berat, hemotoraks atau penumotoraks, dan flail chest yang disertai dengan gangguan
hemodinamik (Saaiq, et al., 2010; Lugo, et al., 2015). Pasien dengan tanda klinis tension
Pneumotoraks harus segera menjalani dekompresi dengan torakosentesis jarum
dilanjutkan dengan torakostomi tube. Foto toraks harus dihindari pada pasien - pasien
ini karena diagnosis dapat ditegakkan secara klinis dan pemeriksaan x - ray hanya akan
menunda pelaksanaan tindakan medis yang harus segera dilakukan. Luka menghisap
pada dada harus segera dioklusi untuk mencegah berkembangnya tension
Pneumotoraks terbuka. Tindakan lainnya seperti torakostomi tube, torakotomi, dan
intervensi lainnya dilakukan sesuai dengan kondisi pasien (Saaiq, et al., 2010; Lugo, et
al., 2015).
Penerapan dari skor ini lebih pada peningkatan resiko kematian seiring dengan
meningkatnya skor. Skor 0-5 pada pasien trauma toraks direkomendasikan untuk rawat
jalan, skor 6-10 diindikasikan untuk rawat inap, skor 11- 20 diindikasikan untuk
perawatan di ruang intensif dan diatas itu 21-25 merupakan kasus yang fatal kebanyakan
mengalami kematian segera (Subhani, et al., 2014