Anda di halaman 1dari 72

GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN, SIKAP, DAN

PRAKTIK TENTANG PENCEGAHAN DEMAM BERDARAH


DENGUE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BEBANDEM

Oleh:

dr. IB Wirakusuma, MOH

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS DAN


ILMU KEDOKTERAN PENCEGAHAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat

rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian ini tepat pada waktu yang

telah ditentukan. Terselesaikannya hasil penelitian ini tidak lepas dari dukungan

moral dan mental, arahan, kritik positif, serta saran yang membangun dari semua

pihak.

Sebagai rasa syukur, dalam kesempatan kali ini penulis ingin

menyampaikan terima kasih kepada dr. IB Wirakusuma, MOH dan drg. I Gusti

Ayu Sukaningsih selaku pembimbing yang telah memberikan arahan, kritik, dan

saran yang membangun dalam penyusunan hasil penelitian ini dan semuua pihak

yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang turut memberikan bantuan hingga

terselesaikannya laporan penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari

kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran sangat penulis harapkan demi

kemajuan penulis untuk ke depannya. Semoga laporan hasil penelitian ini dapat

bermanfaat bagi pembaca.

Denpasar, 31 Maret 2016

Penulis
ABSTRAK
GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN, SIKAP DAN PRAKTIK
TENTANG PENCEGAHAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI
WILAYAH KERJA PUSKESMAS BEBANDEM

Demam berdarah selain dapat menyebabakan kematian dapat juga


menyebabkan beban ekonomi dan sosial bagi penderita dan keluarganya. Kasus
demam berdarah di Puskesmas Bebandem mengalami peningkatan dari tahun
ketahun dan pada tahun 2015 kasusnya melebihi target kasus nasional. Perilaku
yang meliputi pengetahuan, sikap dan praktik tentang pencegahan merupakan
salah satu yang faktor yang mempengaruhi peningkatan kasus demam berdarah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan, sikap, dan praktik
masyarakat dalam upaya pencegahan DBD di wilayah kerja Puskesmas
Bebandem. Penelitian ini merupakan penelitian penelitian deskriptif kuantitatif
dengan menggunakan pendekatan cross sectional.
Dari 66 responden penelitian kebanyakan responden memiliki rentang usia
26-40 tahun (50%), perempuan (51,6%), tingkat pendidikan sedang (51,6%),
wiraswasta (48,5%), dan pernah mendapat informasi mengenai dbd (59,1%) yang
kebanyakan adalah dari petugas kesehatan (28,8%). Kebanyakan responden
tersebut memiliki tingkat pengetahuan sedang (74,2%), sikap positif (92,4%) dan
praktik yang cukup (53%) tentang pencegahan demam berdarah. Berdasarkan
hasil penelitian juga ditemukan responden dengan tingkat pengetahuan rendah
cenderung memiliki sikap negatif, dan tabulasi silang antara tingkat pengetahuan
dan sikap terhadap praktik tidak memiliki kcenderungan tertentu kecuali pada
responden dengan sikap negatif.

Kata kunci: Demam Berdarah Dengue, Pengetahuan, Sikap, Praktik


ABSTRACT
DESCRIPTION OF LEVEL OF KNOWLEDGE, ATTITUDE AND
PRACTICE ON PREVENTION OF DENGUE DENGUE IN WORK AREA
PUSKESMAS BEBANDEM

Besides being able causing death dengue fever can also cause social and
economic burden for patients and their families. Cases of dengue fever in
Bebandem health centers has increased from year to year and in 2015 his case
exceeded the target of national cases. Behaviour which includes knowledge,
attitudes and practices regarding the prevention is one of the factors affecting the
increase in dengue cases. This study aims to determine the level of knowledge,
attitudes, and practices of the community in prevention dengue fever in
Puskesmas Bebandem. This research is a quantitative descriptive research using
cross sectional approach.
Of the 66 survey respondents, most respondents had an age range 26-40
years (50%), women (51.6%), moderate level of education (51.6%),
self-employed (48.5%), and been informed of dbd (59.1%) were mostly from
health workers (28.8%). Most respondents have moderate knowledge level
(74.2%), a positive attitude (92.4%) and practice enough (53%) about the
prevention of dengue fever. Based on the results of the study also found
respondents with low knowledge levels tend to have a negative attitude, and cross
tabulation between knowledge and attitudes toward the practice does not have a
certain tendency except among respondents with a negative attitude.

Keywords: Dengue, Knowledge, Attitude, Practice


DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR i
ABSTRAK i
ABSTRACT iii
DAFTAR ISI iv
DAFTAR TABEL vii
DAFTAR GAMBAR viii
DAFTAR LAMPIRAN vii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 3
1.3 Tujuan Penelitian 3
1.4 Manfaat Penelitian 4
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Demam Berdarah Dengue 6
2.1.1 Definisi 6
2.1.2 Etiologi 6
2.1.3 Vektor 6
2.1.4 Epidemiologi 7
2.1.5 Patogenesis dan Patofisiologi 9
2.1.6 Manifestasi Klinis 9
2.1.7 Tatalaksana 10
2.1.8 Pencegahan 11
2.2 Pengetahuan 12
2.2.1 Definisi Tingkat Pengetahuan 12
2.2.2 Tingkat Pengetahuan dan Domain Kognitif 13
2.3 Sikap 14
2.3.1 Definisi Sikap 14
2.3.2 Komponen Pokok Sikap 14
2.3.3 Tingkatan Sikap 14
2.3.4 Skala Lickert 15
2.4 Praktik 15
BAB III KERANGKA BERFIKIR DAN KONSEP PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir 17
3.2 Kerangka Konsep 19
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Jenis Rancangan Penelitian 20
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 20
4.2.1 Lokasi Penelitian 20
4.2.2 Waktu Penelitian 20
4.3 Subyek dan Sampel Penelitian 20
4.3.1 Variabilias Populasi 20
4.3.4 Teknik Penentuan Sampel 21
4.3.2 Kriteria Subjek 21
4.3.3 Besaran Sampel 22
4.4 Variabel Penelitian 22
4.4.1 Identifikasi Variabel 22
4.4.2 Definisi Operasional Variabel 23
4.5 Bahan dan Instrumen Penelitian 26
4.5.1 Lembar Informed Consent 26
4.5.2 Kuesioner 26
4.6 Alat Penelitian dan Pengumpulan Data 27
4.6.1 Persiapan Ijin dan Kerjasama 27
4.6.2 Penentuan Subjek Penelitian (Sampling) 27
4.6.3 Pengumpulan data 28
4.6.4 Pengolahan Data dan Analisis 28
4.7 Keterbatasan Penelitian 28
BAB V HASIL
5.1 Gambaran Karakteristik Responden 30
5.2 Gambaran Pengetahuan Responden 31
5.3 Gambaran Sikap Responden 33
5.3 Gambaran Praktik Responden 36
BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Gambaran Karakteristik Responden 39
6.2 Gambaran Pengetahuan Responden 40
6.3 Gambaran Sikap Responden 42
6.4 Gambaran Praktik Responden 47
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN
3.1 Simpulan 51
3.2 Saran 51
DAFTAR PUSTAKA 52
LAMPIRAN 56
DAFTAR TABEL

Tabel 5.1 Karakteristik responden di wilayah kerja Puskesmas Bebandem


Tabel 5.2 Responden yang mendapatkan informasi DBD
Tabel 5.3 Tingkat Pengetahuan responden tentang pencegahan DBD di wilayah
kerja Puskesmas Bebandem (n=66)
Tabel 5.4 Gambaran Tingkat Pendidikan terhadap Tingkat Pengetahuan
Responden
Tabel 5.5 Gambaran Tingkat Pengetahuan dengan responden yang pernah
mendapatkan informasi sebelumnya
Tabel 5.6 Jawaban responden dalam kuisioner tingkat pengetahuan mengenai
DBD
Tabel 5.7 Gambaran sikap responden
Tabel 5.8 Gambaran sikap responden berdasarkan tingkat pengetahuan responden
Tabel 5.9. Distribusi rincian komponen sikap responden
Tabel 5.10 Gambaran Praktik Keluarga Responden
Tabel 5.11 Gambaran Praktik Keluarga Responden berdasarkan Tingkat
Pengetahuan Responden
Tabel 5.12 Gambaran Praktik Keluarga Responden berdasarkan Sikap Responden
Tabel 5.13 Kuesioner praktik responden

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Grafik insiden rate DBD di provinsi Bali tahun 2005-2014

Gambar 2 . Kerangka Berpikir


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Kuesioner Penelitian

Lampiran 2. Dokumentasi

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Demam berdarah dengue merupakan penyakit yang disebabkan
oleh virus yang menginfeksi manusia melalui vektor nyamuk (Murray dkk,
2013). Demam berdarah dengue sejauh ini merupakan salah satu penyakit
yang menjadi masalah kesehatan internasional. Selain menjadi salah satu
penyebab kematian, demam berdarah baik secara langsung maupun tidak
langsung dapat menyebabkan beban ekonomi dan sosial yang
mempengaruhi kehidupan penderita dan keluarganya bahkan dapat
menyebabkan beberapa komplikasi yang menyebabkan bertambahberatnya
beban tersebut (Gubler, 2002). Penyebaran kasus dengue meningkat
selama 30 tahun terakhir, setiap tahunnya terjadi sekitar 500.000 kasus
demam berdarah dan lebih dari 20.000 kematian. Daerah paling tinggi
kasus ini adalah di daerah yang beriklim subtropis dan tropis. Sekitar 100
negara di daerah tersebut diketahui sebagai area endemis, dan Indonesia
adalah salah satunya (WHO, 2011).
Indonesia merupakan Negara di Asia Tenggara yang paling banyak
ditemukan kasus dengue pada tahun 2009 yaitu sebanyak 156.052 kasus
(WHO, 2011). Sejak pertama kali ditemukan tahun 1968 di Surabaya,
kasus DBD terus meningkat dan menyebar di Indonesia, dan sekarang
seluruh provinsi di Indonesia dilaporkan memiliki kasus DBD. Penderita
DBD yang mengalami kematian di Indonesia tidak sedikit, bahkan pada
tahun 1968 CFR DBD di Indonesia mencapai 41,30 (Pangribowo dan
Tryadi, 2010). Meskipun tahun 2013 telah dilaporkan penurunan CFR
menjadi 0,77, namun angka kejadiannya masih cukup tinggi yaitu 45,85
per 100.000 penduduk, bahkan ini sangat jauh di atas target angka
kesakitan DBD tahun 2007, 2008 dan 2009 yaitu kurang dari 20 per
100.000 penduduk (Kemenkes RI, 2015).
Tahun 2009, Bali merupakan salah satu dari lima provinsi dengan
insiden DBD tertinggi di Indonesia yaitu 184,59 per 100.000 penduduk
(Pangribowo dan Tryadi, 2010). Bahkan rekapitulasi kasus DBD tahun
2010 sampai bulan agustus 2011, Bali menempati posisi sebagai peringkat
pertama dengan angka kesakitan tertinggi yaitu 56,16 per 100.000
penduduk. Dalam laporan tersebut hanya provinsi Bali yang telah
melampaui target angka kesakitan DBD nasional tahun 2011 yaitu 55 per
100.000 kasus. Namun meskipun demikian, CFR kasus DBD di provinsi
Bali hanya 0,26 yaitu angka CFR DBD terendah di Indonesia (Kemenkes
RI, 2011).
Puskesmas Bebandem merupakan salah satu puskesmas di
Bebandem dengan laporan angka kejadian Demam Berdarah yang tinggi
di Bali. Tahun 2015 dilaporkan 84 orang dari seluruh kecamatan
Bebandem terkena penyakit Demam Berdarah. Angka ini jauh melampaui
target nasional bahkan rerata pencapaian angka kejadian nasional. Selain
tinggi, angka kejadian Demam Berdarah di Puskesmas Bebandem selalu
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, yaitu 40 orang pada tahun
2013, 42 orang pada tahun 2014 sampai meningkat mencapai 84 orang
pada tahun 2015. Desa yang di laporkan paling banyak kasus setiap
tahunnya adalah Desa Bungaya Kangin. Dari desa tersebut disebutkan
bahwa banjar (dusun) Kecicang Islam merupakan dusun yang paling
banyak dan terus menerus dilaporkan terdapat kasus DBD.
Demam berdarah merupakan penyakit yang salah satunya
dipengaruhi oleh lingkungan, seperti misalnya suhu, curah hujan, iklim
dan lain sebagainya (WHO, 2011). Namun sayangnya, aspek lingkungan
sulit untuk diubah. Pengetahuan, sikap dan praktik merupakan faktor yang
banyak mempengaruhi Demam Berdarah selain lingkungan, namun paling
bisa untuk diubah (Supriyanto, 2011). Oleh karena pengetahuan, sikap dan
praktik adalah hal yang dimiliki oleh masyarakat, sehingga pada dasarnya
masyarakatlah yang memiliki peranan yang paling besar untuk
mengurangi kasus Demam Berdarah. Kasus DBD di wilayah kerja
Puskesmas Bebandem yang terus meningkat terjadi karena belum
optimalnya peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan dan
pemberantasan DBD. Hal ini di buktikan juga pada setiap kunjungan
kerumah-rumah penduduk, bahwa masih banyak ditemukan jentik nyamuk
Aedes Aegypti di tempat-temapat penampungan air, bekas tempat
minuman yang bisa menampung air dan tempat lainnya.
Pengetahuan, sikap, dan praktik pada masyarakat merupakan hal
yang saling berkaitan, sehingga ketika ada salah satu saja yang tidak baik
meskipun yang lainnya baik hal itu tidak memiliki makna (Notoatmodjo,
2003). Oleh sebab itu perlu diketahui sejauh mana pengetahuan, sikap dan
perilaku masyarakat khususnya di wilayah kerja Puskesmas Bebandem
tentang pencegahan DBD sehingga kemudian dapat diketahui apa saja
yang kurang dari masyarakat tersebut tentang pencegahan DBD apakah
pengetahuannya, sikap, praktik ataukah ketiganya. Hal ini akan
bermanfaat sehingga pemegang kebijkan atau program di bidang
pencegahan penyakit khususnya DBD dapat melakukan intervensi ke
masyarakat yang tepat dalam pencegahan dan pemberantasan DBD.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Berdasarkan penjelasan dalam rumusan latar belakang di atas maka
masalah dalam penelitian ini antara lain:
1. Bagaimana pengetahuan masyarakat di wilayah kerja
Puskesmas Bebandem tentang Pencegahan DBD
2. Bagaimana sikap masyarakat di wilayah kerja Puskesmas
Bebandem tentang Pencegahan DBD
3. Bagaimana praktik masyarakat di wilayah kerja Puskesmas
Bebandem tentang Pencegahan DBD

1.3 TUJUAN PENELITIAN


1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui bagaimana pengetahuan, sikap, dan
praktik masyarakat dalam upaya pencegahan DBD di
wilayah kerja Puskesmas Bebandem
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan masyarakat
dalam upaya pencegahan DBD di wilayah kerja
Puskesmas Bebandem
2. Untuk mengetahui sikap masyarakat dalam upaya
pencegahan DBD di wilayah kerja Puskesmas
Bebandem
3. Untuk mengetahui tingkat praktik masyarakat dalam
upaya pencegahan DBD di wilayah kerja Puskesmas
Bebandem
4. Untuk mengetahui kecenderungan pengetahuan
terhadap sikap dalam upaya pencegahan DBD di
wilayah kerja Puskesmas Bebandem
5. Untuk mengetahui kecenderungan pengetahuan
terhadap praktik dalam upaya pencegahan DBD di
wilayah kerja Puskesmas Bebandem
6. Untuk mengetahui kecenderungan sikap terhadap
praktik dalam upaya pencegahan DBD di wilayah kerja
Puskesmas Bebandem

1.4 MANFAAT PENELITIAN


Manfaat penelitian ini terbagi dua, yaitu manfaat secara teoritis dan
manfaat secara praktis.
1.4.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan
sebagai sumber informasi dalam meningkatkan pelayanan
Kedokteran Keluarga terutama untuk melakukan intervensi
terhadap pengetahuan, sikap atau praktik masyarakat dalam
pencegahan dan pemberantasan DBD.
1.4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai
bahan masukan bagi institusi pelayanan kesehatan untuk
membentuk kebijakan dalam upaya pencegahan dan
pemberantasan DBD di wilayah kerja Puskesmas
Bebandem. Selain itu, hasil Penelitian ini juga dapat
digunakan peneliti selanjutnya sebagai bahan perbandingan
atau referensi tambahan terkait dengan pengetauan, sikap
dan praktik dalam upaya pencegahan dan pemberantasan
DBD di wilayah kerja Puskesmas Bebandem
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Demam Berdarah Dengue

2.1.1 Definisi

Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever


(DHF) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue yang
ditularkan melalui gigitan nyamuk. (Pratamawati, 2012)

2.1.2 Etiologi

Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan oleh virus dengue yang


termasuk dalam kelompok B Arthropod Borne Virus (Arbovirus) yang sekarang
dikenal sebagai genus Flavivirus, family Flaviviridae, dan mempunyai 4 jenis
serotipe, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Keseluruhan serotipe tersebut
ditemukan di Indonesia. Seseorang dapat terinfeksi 3 atau 4 serotipe dan serotype
yang banyak ditemukan menginfeksi dan menunjukkan manifestasi klinis yang
berat adalah serotipe 3. (Hanim, 2013)

2.1.3 Vektor

Vektor sebagai penyebar virus dengue adalah nyamuk Aedes aegypti dan
beberapa vektor lain seperti Aedes albocpitus. Kedua jenis nyamuk ini terdapat
hampir di seluruh pelosok Indonsesia. Ciri-ciri nyamuk aedes aegypti mempunyai
dasar hitam dengan bintik-bintik putih pada bagian badan, kaki, dan sayapnya.
Siklus normal infeksi DBD terjadi antara manusia-nyamuk aedes-manusia.
Nyamuk aedes aegypti betina mulai menghisap darah manusia pada siang hari
sampai sore hari. Nyamuk menghisap darah seseorang yang di dalam darahnya
mengandung virus dengue kemudian di dalam tubuh nyamuk, virus tersebut akan
berkembang biak dengan cara membelah diri selama 8-10 hari dan menyebar
keseluruh bagian nyamuk, yang sebagian besar virus tersebut berada dalam
kelenjar liur nyamuk (Suhardiono, 2005).

Nyamuk tersebut tinggal dan berkembang biak pada tempat yang gelap,
lembab, bak mandi, kaleng kosong dan tempat lain yang kondisinya tidak terawat.
Di tempat tersebut pula nyamuk betina akan meletakkan telurnya untuk proses
pematangan. Telur tersebut akan menetas menjadi larva/jentik dalam waktu 2 hari,
selanjutnya berkembang menjadi nyamuk dewasa yang berukuran lebih kecil
dibandingkan dengan rata-rata nyamuk jenis lain. (Kusumawardani, 2012)

2.1.4 Epidemiologi

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan masalah


kesehatan masyarakat. Jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya semakin
bertambah seiring dengan meningktanya mobilitas dan kepadatan penduduk.
Woerld Health Organization mengestimasi 50 juta orang terinfeksi setiap
tahunnya. (CDC, 2011). Diperkirakan sekitar 70% atau 1,7 miliar popuasi
beresiko dengue terbnyak berada di regional Asia tenggara-Pasifik bagian barat,
seperti Indonesia, Thailand, Myanmar, Sri Lanka dan sisanya sebanyak 30%
populasi beresiko lainnya tinggal di Benua Afrika, Amerika Latin, dan Amerika
Selatan. Di Indonesia penyakit ini selalu meningkat pada setiap awal musim hujan
dan menimbukan kejadian luar biasa di beberapa wilayah. Penyakit tersebut juga
menyebabkan wabah lima tahunan di Indonesia, dimana wabah lima tahunan
terakhir terjadi ada tahun 2003/2004. Dari jumlah keseluruhan kasus tersebut,
sekitar 95% terjadi pada anak di bawah 15 tahun. Tahun 2007 jumlah kasus DBD
di Indonesia sebanyak 158.115, tahun 2008 sebanyak 137.469 kasus, tahun 2009
sebanyak 158.912 kasus dengan kota terjangkit sebanyak 382 kota. (WHO, 2011).

Provinsi Bali pada tahun 2010 sebagai provinsi dengan angka kesakitan
DBD tertinggi di Indonesia sebesar 323,12/100.000 penduduk. Pada tahun 2013,
Provinsi Bali kembali sebagai provinsi dengan angka kesakitan DBD tertinggi di
Indonesia yaitu 172,50/100.000 penduduk dengan angka kematian yaitu 0,08%.
Pada tahun 2011 terdapat 2.993 kasus, 1.662 kasus diantaranya berjenis kelamin
laki-laki dan sisanya 1.331 kasus berjenis kelamin perempuan, dengan jumlah
kematian 8 orang, menurun dibandingkan tahun 2010 sebanyak 35 orang.
Sedangkan tahun 2012 terjadi penurunan kasus namun tidak singnifikan menjadi
2.649 kasus, 1.517 diantaranya berjenis kelamin laki-laki dan 1.132 berjenis
kelamin perempuan, dan pada tahun 2013 terjadi peningkatan kasus yang
signifikan sebesar 7.077 kasus. Dengan demikian IR DBD pada tahun 2013
sebesar 174,5 per 100.000 penduduk dengan CFR 0,11%, meningkat dengan CFR
yang menurun dibandingkan tahun 2012 sebesar 65,55 per 100.000 penduduk
dengan CFR 0,30 %. Berikut ini gambaran IR DBD tahun 2005-2014.

Gambar 1. Grafik insiden rate DBD di provinsi Bali tahun 2005-2014


Sumber : Profil Kesehatan Kab/Kota Tahun 2014

Kondisi IR tahun 2014 lebih tinggi dibandingkan dengan 3 tahun


sebelumnya. Target nasional Angka Kesakitan (IR) DBD tahun 2014 yaitu kurang
dari 51 per 100.000 penduduk. Sedangkan angka kesakitan DBD di Provinsi Bali
tahun 2014 adalah 210,2 per 100.000 penduduk jauh diatas target nasional.
Meningkatnya IR tahun 2014 disebabkan karena terjadi perubahan iklim,
pembukaan pemukiman baru, dan mobilisasi penduduk. Pada tahun 2014 jumlah
kasus terbanyak adalah di Kota Denpasar yaitu 1.837 kasus, Kabupaten Gianyar
sebanyak 1.785 kasus, Kabupaten Badung sebanyak 1.770 kasus, dan Kabupaten
Buleleng sebanyak 1.721 kasus. Daerah-daerah tersebut memiliki jumlah
penduduk yang besar dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi sehingga
merupakan salah satu faktor resiko penyebaran Demam Berdarah Dengue (DBD)
(Dinkes,2014).

2.1.5 Patogenesis dan Patofisiologi


Banyak teori yang mengemukakan sebagai penyebab terjadinya Demam
Berdarah Dengue (DBD). Salah satu mekanisme yang banyak digunakan adalah
mekanisme imunopatologis. Seseorang yang terinfeksi untuk kedua kalinya
dengan tipe serotipe yang berbeda akan mempunyai resiko yang lebih besar untuk
menderita DBD dan DSS, berbeda dengan orang yang sebelumnya terinfeksi
dengan tipe serotype yang sama, karena tubuhnya sudah mempunyai antibodi
untuk melawan virus dengan tipe serotipe tersebut. Respon humoral berupa
pembentukan antibodi yang berperan dalam proses netralisasi virus, sitolisis yang
dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi antibodi. Antibodi
terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit
atau makrofag. Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berperan
dalam respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1
akan memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin. Sedangkan TH2
memproduksi IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10. Monosit dan makrofag berperan dalam
fagositosis virus dengan opsonisasi antibodi. Namun proses fagositosis ini
menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag.
Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi T
helper dan T sitotoksik sehingga diproduksi limfokin dan interferon gamma.
Interferon gamma akan mengaktivasi monosit 15 sehingga disekresi berbagai
mediator inflamasi seperti TNF, IL-1, PAF (platelet activating factor), IL-6, dan
histamin yang mengakibatkan terjadinya disfungsi endotel dan terjadi kebocoran
plasma. Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui aktivasi oleh kompleks virus
antibodi yang juga mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma. (Hanim, 2013)

2.1.6 Manifestasi Klinis


Terdapat tiga fase dalam perjalanan penyakit DBD, meliputi fase demam,
kritis, dan masa penyembuhan. Pada fase demam, seseorang mengalami demam
tinggi, 2-7 hari, dapat mencapai 40°C, serta terjadi kejang demam. Dijumpai
facial flush, muntah, nyeri kepala, nyeri otot dan sendi, nyeri tenggorok dengan
faring hiperemis, nyeri di bawah lengkung iga kanan, dan nyeri perut.
Manifestasi perdarahan seperti tes tourniquet positif, petekie pada ekstremitas,
ketiak, muka, epistaksis, dan perdarahan gusi. Pada fase kritis yang terjadi pada
hari 3-7 ditandai dengan penurunan suhu tubuh disertai kenaikan permeabilitas
kapiler, peningkatan hematokrit dan timbulnya kebocoran plasma (plasma
leakage) disebut dengan fase time of fever defervescence. Kebocoran plasma
ditandai dengan peningkatan hematokrit 10%-20%, efusi pleura, asites dan edema
pada dinding kandung empedu. Foto rontgen dengan posisi right lateral decubitus
dan ultrasonografi dapat mendeteksi kebocoran plasma tersebut. Untuk
pemeriksaan laboratoriumnya dapat terjadi penurunan kadar albumin >0.5g/dL.
Pada fase kritis ini seseorang dapat mengalami DSS. Tanda-tanda syok biasanya
anak akan gelisah sampai terjadi penurunan kesadaran, sianosis, nafas cepat, nadi
teraba lembut sampai tidak teraba. Hipotensi, tekanan nadi ≤20 mmHg, dengan
peningkatan tekanan diastolik. Akral dingin, capillary refill time memanjang (>3
detik). Diuresis menurun (< 1ml/kg berat badan/jam), sampai anuria. Komplikasi
berupa asidosis metabolik, hipoksia, ketidakseimbangan elektrolit, kegagalan
multipel organ, dan perdarahan hebat apabila syok tidak dapat segera diatasi. Fase
penyembuhan ditandai dengan diuresis membaik dan nafsu makan kembali
merupakan indikasi untuk menghentikan cairan pengganti, dan hemodinamik
yang stabil. Terjadi pula peningkatan leukosit dan trombosit. (Candra, 2010).

2.1.7 Tatalaksana
Penatalaksanaan yang diberikan tergantung pada fase yang dialami oleh
seseorang, yaitu fase demam, fase kritis dan fase penyembuhan.
a) Fase demam, dapat diberikan antipiretik seperti paracetamol 10 mg/Kg/hari,
cairan oral apabila anak masih mau minum, pemantauan dilakukan setiap 12-24
jam. Diusahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan sperti antasid,
anti emetic untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati. Kortikosteroid
diberikan pada DBD ensefalopati, apabila terdapat perdarahan saluran cerna
kortikosteroid tidak diberikan. Antibiotik diberikan untuk DBD ensefalopati.
b) Fase kritis pada DBD derajat I dan II pemberian cairan sangat diperlukan yaitu
intake dan output dengan pemberian caiaran isotonik seperti ringer laktat.
Monitor keadaan klinis atau tanda vital pasien setiap 1-2 jam. Pemeriksaan kadar
hematokrit setiap 4-6 jam. DBD derajat III dan IV yang sudah mengalami syok
diberikan cairan kristaloid 20 ml/Kg bolus dalam 10-15 menit. Bila syok belum
teratasi diberikan koloid 10-20 ml/Kg selama 10 menit sebagai pengganti
resusitasi. Krisataloid dapat diberikan kembali setelah syok dapat diatasi. Monitor
ketat pemasangan katerisasi urin, katerisasi pembuluh darah vena pusat. Inotropik
dapat digunakan untuk mendukung tekanan darah.
c) Fase penyembuhan, pasien tetap diberikan cairan oral dengan tetap dimonitor
12-24 jam. Cairan intravena dihentikan dan pasien disarankan untuk istirahat. Jika
pasien mengalami overload cairan, berikan furosemid 1 mg/Kg BB/dosis.
(Kusumawardani, 2012)
2.1.8 Pencegahan
Demam berdarah merupakan penyakit yang menyebabkan kematian,
beban ekonomi dan sosial dan perlu adanya tindakan pencegahan. Pencegahannya
dapat dilakukan pada diri sendiri dan pada lingkungan. Beberapa prinsip dalam
pencegahan DBD adalah sebagai berikut :
a. Memutus rantai penularan dengan mengendalikan vector yaitu
nyamuk aedes aegypti.
b. Melakukan pemberantasan pada sarang nyamuk di pusat daerah
penyebaran dan penularan DBD yang tinggi seperti di lingkungan
rumah dengan penduduk yang padat.
Berdasarkan data yang didapat dari WHO, terdapat beberapa cara yang
dapat dilakukan untuk mencegah DBD, yang terdapat dalam Dengue Guidelines
For Diagnosis, Treatment, Prevention and Control. (WHO,2016)
1) Manajemen berbasis lingkungan
Semua perubahan yang dilakukan dalam upaya mencegah atau
meminimalkan perkembangbiakan vector, sehingga kontak manusia dengan
vector dapat berkurang. Adapula beberapa kegiatan berbasis lingkungan yang
dapat dilakukan seperti program PSN dengan 4M Plus. Pada program 4M Plus
kita dapat yang dapat kita lakukan yaitu menguras secara teratur seminggu
sekali, menutup rapat-rapat tempat penampungan air serta menimbun
sampah-sampah yang berpotensi sebagai tempat berkembangnya jentik dan
mengubur kaleng-kaleng bekas, plastik, dan barang bekas lainnya yang dapat
menampung air hujan sehingga tidak menjadi sarang nyamuk, dan terakhir
adalah maemantau tempat-tempat yang dapat menampung air. Untuk plus nya
yang dapat dilakukan adalah menaburkan bubuk abate pada bak penampungan
air yang sulit kita jangkau, tidak membiasakan menggantung baju
sembarangan agar nyamuk tidak berkembang disana, memakai lotion nyamuk
tidak hanya malam hari, memakai kelambu saat tidur, menggunakan
insektisida pada ruangan, memasang kawat kasa di jendela dan ventilasi.
(WHO,2005)
2) Kontrol biologis
Untuk memutus siklus hidup nyamuk dapat dilakukan dengan
membasmi vector pada tahap larva. Kegiatan yang dapat dilakukan dengan
menggunakan ikan pemakan larva nyamuk.
3) Manajemen secara kimiawi
Cara yang dapat dilakukan antara lain dengan dilakukan
pengasapan/fogging yang berguna untuk membunuh nyamuk dewasa,
sedangkan untuk membunuh jentik nyamuk menggunakan abate.

2.2 Pengetahuan
2.2.1 Definisi Tingkat Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini terjadi setelah seseorang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi
melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusi diperoleh
melalui mata dan telinga. Pengetahuan umumnya datang dari pengalaman,
juga bisa didapat dari informasi yang disampaikan oleh guru, orang tua,
teman, buku, dan surat kabar (Notoadmojo, 2003). Menurut Wahid et al
(2007) faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang antara lain:
pendidikan, pekerjaan, umur, minat, pengalaman, dan informasi.

2.2.2 Tingkat Pengetahuan dalam Domain Kognitif


Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau
tingkatan yang beragam (Notoadmojo, 2003). Dalam domain kognitif
mempunyai 6 tingkatan pengetahuan yaitu :
a. Tahu
Tahu diartikan mengingat kembali apa yang telah dipelajari
sebelumnya. Kata kerja untuk mengukur bahwa seseorang tahu tentang
apa yang dipelajari yaitu menyebutkan, menguraikan, mendefenisikan,
menyatakan, dan sebagainya.
b. Memahami
Memahami adalah suatu kemampuan untuk menjelaskan dengan benar
tentang suatu objek sehingga dapat menyebutkan contoh, menyimpulkan,
meramalkan dan sebagainya.
c. Aplikasi
Aplikasi diartikan apabila seseorang dapat menggunakan objek yang
telah dipelajari pada situasi yang sebenarnya. Contohnya adalah dengan
menggunakan metode, prinsip atau yang lainnya pada situasi yang
berbeda.
d. Analisis
Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan
komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalah namun masih
berkaitan satu sama lain.
e. Sintesis
Sintesis merupakan kemampuan seseorang untuk menghubungkan
komponen-komponen di dalam suatu keseluruhan yang baru. Dengan kata
lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari
formulasi-formulasi yang telah ada.
f. Evaluasi
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan
penilaian terhadap suatu objek tertentu berdasarkan kriteria yang
ditentukan sendiri ataupun kriteria yang telah ada sebelumnya.

2.3 Sikap
2.3.1 Pengertian Sikap
Menurut Purwanto 1998 (dalam Wawan, 2011) sikap merupakan
bentuk respon atau tindakan yang memiliki kecenderungan untuk
bertindak sesuai sikap objek tadi. Sikap juga diartikan sebagai respon
tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah
melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan seperti
senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik dan sebagainya
(Notoatmodjo, 2003).
2.3.2 Komponen Pokok Sikap
Menurut Allport 1954 (dalam Notoatmodjo, 2003) menjelaskan
bahwa sikap itu mempuyai 3 komponen pokok yaitu :
1) Kepercayaan atau keyakinan, ide dan konsep terhadap objek.
Artinya bagaimana keyakinan dan pendapat atau pemikiran seseorang
terhadap objek.
2) Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek yaitu
bagaimana penilaian orang tersebut terhadap objek.
3) Kecenderungan untuk bertindak. Artinya sikap adalah merupakan
komponen yang mendahului tindakan atau perilaku terbuka. Sikap adalah
ancang-ancang untuk bertindak atau berperilaku terbuka.

2.3.3 Tingkatan Sikap


Sepertinya halnya dengan pengetahuan, sikap juga mempunyai
tingkat-tingkat berdasarkan intensitasnya, sebagai berikut (Notoatmodjo,
2003) :
a. Menerima. Menerima diartikan bahwa subjek mau menerima stimulus
yang diberikan.
b. Menanggapi. Menanggapi diartikan memberikan jawaban atau
tanggapan terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi.
c. Menghargai. Menghargai diartikan seseorang memberikan nilai positif
terhadap objek atau stimulus seperti mengajak atau mempengaruhi atau
menganjurkan orang lain untuk merespon.
d. Bertanggung Jawab. Sikap yang paling tinggi tingakatnya ialah
bertanggunga jawab terhadap apa yang telah diyakininya. Seseorang
yang telah mengambil sikap tertentu yang didasai oleh keyakinannya,
dia harus berani mengambil resiko bila ada orang lain yang
membicarakan keburukannya ataupun ada resiko yang lain.
2.3.4 Skala Likert
Skala likert merupakan skala yang umum digunakan untuk menilai
sikap atau tingkah laku yang diinginkan oleh para peneliti dengan cara
mengajukan beberapa pertanyaan kepada responden. Responden diminta
menjawab pertanyaan dengan memberikan jawaban atau respon dalam
skala ukur yang telah disediakan, misalnya sangat setuju, setuju, tidak
setuju, dan sangat tidak setuju. Skala ukur tersebut biasanya diletakkan
berdampingan dengan pertanyaan atau pernyataan yang telah
direncanakan, dengan tujuan agar responden lebih mudah mengecek
maupun memberikan pilihan jawaban yang sesuai dengan pertimbangan
mereka. (Darmadi, 2011)

2.4 Praktik
Suatu sikap tidak langsung terwujud dalam suatu tindakan. Untuk
mewujudkan sikap menjadi suatu perubahan nyata diperlukan faktor
pendukung yakni suatu kondisi yang memungkinkan seperti fasilitas maupun
dorongan dari petugas kesehatan atau yang lainnya. Perubahan nyata yang
dilakukan oleh suatu subjek itulah yang disebut dengan praktik. Seperti halnya
pengetahuan, praktik ini mempunyai beberapa tingkatan : (Notoatmodjo,
2003).
1) Persepsi
Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan
tindakan yang akan diambil.
2) Respons terpimpin
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan
sesuai dengan contoh.
3) Mekanisme
Seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara
otomatis atau sudah menjadi sebuah kebiasaan.
4) Adaptasi
Adaptasi adalah suatu tindakan yang sudah berkembang dengan
baik yakni tindakan itu sudah dimodifikasikannya tanpa mengurangi
kebenaran tindakan tersebut.

BAB III

KERANGKA BERPIKIR DAN KERANGKA KONSEP

3.1 Kerangka Berpikir

Demam berdarah dengue merupakan penyakit yang disebabkan


oleh virus dan ditularkan melalui vektor nyamuk. Sampai saat ini DBD
masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan yang dialami oleh
dunia. Di Indonesia sendiri telah dilaporkan terdapat kejadian DBD pada
setiap provinsi, termasuk provinsi Bali. Pada tahun 2009, Bali merupakan
salah satu dari lima besar provinsi dengan angka kejadian DBD tertinggi.
Meskipun angka kesakitan cukup tingggi, namun angka kematiannya
tergolong rendah. Puskesmas Bebandem merupakan salah satu puskesmas
dengan laporan angka kejadian Demam Berdarah yang tinggi di Bali.
Sejak tahun 2013 kasus DBD kian meningkat dan terdapat satu desa yang
di laporkan paling banyak kasus setiap tahunnya adalah Desa Bungaya
Kangin khususnya dusun Kecicang Islam merupakan dusun yang paling
banyak dan terus menerus dilaporkan terdapat kasus DBD.

Menurut H.L. Blum terdapat empat faktor yang mempengaruhi


derajat kesehatan atau dalam hal ini kejadian demam berdarah dengue,
yaitu faktor keturunan/karakteristik, pelayanan kesehatan, lingkungan dan
perilaku (Dinkes, 2011). Berdasarkan pembagian domain Blum, terdapat
tiga ranah perilaku yakni pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), dan
tindakan atau praktik (practice) (Widodo N.P., 2012). Demam berdarah
merupakan penyakit yang erat kaitannya dengan perilaku dan lingkungan
masyarakat. Aspek pengetahuan, sikap dan praktik merupakan faktor yang
cukup banyak mempengaruhi demam berdarah dan aspek ini masih bisa
diubah atas kesadaran masyarakat. Selain itu terdapat faktor lingkungan
seperti iklim, suhu, dll yang turut berperan dalam meningkatnya kejadian
DBD. Akan tetapi faktor lingkungan ini sulit untuk diubah. Pelayanan
kesehatan juga turut memberikan sumbangsih terhadap kejadian DBD dan
genetik hanya memiliki sumbangsih yang kecil dalam mempengaruhi
kasus Demam Berdarah. Oleh karena pengetahuan, sikap dan praktik
adalah hal yang dimiliki oleh masyarakat, sehingga pada dasarnya
masyarakatlah yang memiliki peranan yang paling besar untuk
mengurangi kasus Demam Berdarah.

Pengetahuan, sikap, dan praktik pada masyarakat merupakan hal


yang saling berkaitan, sehingga ketika ada salah satu saja yang tidak baik
meskipun yang lainnya baik hal itu kurang bermakna. Oleh sebab itu perlu
diketahui sejauh mana pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat
khususnya di wilayah kerja Puskesmas Bebandem tentang pencegahan
DBD sehingga kemudian dapat diketahui apa saja yang kurang dari
masyarakat tersebut tentang pencegahan DBD apakah pengetahuannya,
sikap, praktik ataukah ketiganya.
3.2 Kerangka Konsep

Menurut H.L. Blum terdapat empat faktor yang mempengaruhi


derajat kesehatan atau dalam hal ini kejadian demam berdarah dengue,
yaitu faktor keturunan/karakteristik, pelayanan kesehatan, lingkungan dan
perilaku (Dinkes, 2011).
Gambar 2 . Kerangka Berpikir

Keterangan:

= Faktor yang diteliti

= Faktor yang tidak diteliti

BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Rancangan Penelitian


Jenis penelitian yang digunakan untuk penelitian ini adalah
penelitian deskriptif kuantitatif denggan menggunakan desain cross
sectional yang berarti semua variabel yang diteliti diukur dan diamati
hanya satu kali, pada satu waktu. Penelitian ini hanya akan memberikan
gambaran mengenai fenomena yang terjadi berdasarkan hasil dari
pengamatan langsung tanpa memberikan intervensi pada variabel subjek
penelitian sehingga nantinya dapat dijadikan data dasar untuk penelitian
yang lebih konklusif.

4.2 Tempat dan Waktu


4.2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Bebandem
4.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini diawali dengan proses perancangan tema,
penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian, pengumpulan dan analisis
data, serta pembuatan laporan hasil penelitian yang dilaksanakan pada
bulan maret 2016 sampai awal bulan april 2016.

4.3 Subyek dan Sampel Penelitian


4.3.1 Variabilitas Populasi
4.3.1.1 Populasi Target
Populasi target pada penelitian ini adalah masyarakat di
wilayah kerja puskesmas Bebandem
4.3.1.2 Populasi Terjangkau
Populasi terjangkau adalah semua keluarga yang
berdomisili di wilayah kerja Puskesmas Bebandem dan terdafatar
di daftar kependudukan kecamatan bebandem

4.3.1.3 Sampel Penelitian


Sampel pada penelitian ini merupakan populasi terjangkau
yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak mempunyai kriteria
eksklusi dan terpilih sebagai sampel dengan menggunakan teknik
sampling

4.3.2 Teknik Pengambilan Sampel


Teknik Pengambilan Sampel dilakukan dengan cara
purposive sampling untuk menentukan desa dan dusun yang
dipilih hal ini disebabkan oleh keterbatasan waktu dan tenaga yang
dimiliki oleh peneliti. Dari seluruh wilayah kerja Puskesmas
Bebandem terdapat delapan desa yang kemudian dipilih salah
satunya dengan angka kasus tertinggi tahun 2015 yaitu desa
Bungaya Kangin, kemudian dari desa tersebut terdapat empat
dusun yang kemudian dipilih dusun yang setiap tahun memiliki
angka kejadian yang tinggi dan kepadatan penduduk paling tinggi
yaitu dusun Kecicang Islam. Setelah dusun yang dijadikan sampel
dipilih dibuat sampling frame kemudian dilakukan simple random
sampling untuk memilih keluarga yang kepala rumah tangganya
atau ibu rumah tangganya atau anggota keluarga lain yang
memiliki tanggungjawab penuh terhadap keluarga dijadikan
responden.

4.3.3 Kriteria Subjek


4.3.3.1 Kriteria Inklusi
1. Berusia lebih dari atau sama dengan
2. Bersedia menjadi responden dalam penelitian
4.3.3.2 Kriteria Eksklusi
1.Sampel yang terpilih meninggal
2.Sampel yang terpilih sudah tidak tinggal di Bebandem
lagi
4.3.4 Besaran Sampel

Besar sampel diperoleh dengan menggunakan


rumus sampel tunggal untuk estimasi proporsi suatu populasi
dengan menggunakan ketetapan absolut.
Keterangan :
n : jumlah sampel minimal yang diperlukan
α : tingkat kepercayaan
P : proporsi penyakit atau keadaan yang ingin dicari
Q : 1-P, proporsi penyakit atau keadaan yang tidak ingin dicari
d : tingkat ketepatan absolut yang diinginkan
Pada perhitungan sampel di penelitian ini, tingkat
kepercayaan yang dihendaki adalah 95 % dan ketetapan absolut
yang diinginkan sebesar 10 %. Berdasarkan penelitian sebelumnya
yang dilakukan oleh Marlina (2007) menunjukkan tingkat perilaku
responden terhadap usaha pencegahan DBD mayoritas baik (78%).
Berdasarkan rumus (1) diatas dapat dihitung :

Jadi, berdasarkan perhitungan sampel di atas, jumlah


sampel minimal dalam penelitian ini, yaitu sebanyak 65,92
keluarga. Jadi, berdasarkan perhitungan tersebut jumlah sampel
yang diambil adalah 66 responden dari 66 keluarga.

4.4 Variabel Penelitian


4.4.1 Identifikasi Variabel
Variabel-variabel yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah:
1. Tingkat pengetahuan
2. Sikap
3. Praktik
4. Umur
5. Pekerjaan
6. Tingkat Pendidikan
7. Informasi mengenai DBD

4.4.2 Definisi Operasional Variabel


1. Tingkat pengetahuan
Tingkat pengetahuan yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah derajat pengetahuan responden mengenai penyakit DBD
meliputi penyebab, binomik vektor , tanda dan gejala, pengobatan
serta pencegahan penyakit demam berdarah dengue. Hasil dari
tingkat pengetahuan dibagi tiga yaitu:
a. Tingkat pengetahuan tinggi: jika total skor kuesioner
13-16
b. Tingkat pengetahuan sedang: jika total skor kuesioner
9-12
c. Tingkat pengetahuan rendah: jika total skor kuesioner 0-8

2. Sikap
Sikap yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
kecenderungan keluarga untuk mengakui/ menerima tindakan
pencegahan DBD seperti gerakan 4M (menutup, menguras,
mengubur dan memantau) tempat-tempat yang menjadi sarana
perkembangbiakan vector DBD. Hasil pengukuran sikap dibagi
menjadi dua, yaitu:
a. Sikap negatif adalah kecenderungan responden untuk
tidak menerima / mengakui kegiatan pencegahan
DBD seperti gerakan 4M (menutup, menguras,
mengubur dan memantau) tempat-tempat yang
menjadi sarana perkembangbiakan vector DBD.
Responden disebut memiliki sikap negatif jika total
skor kurang dari nilai median (<25)
b. Sikap positif adalah kecenderungan responden untuk
menerima / mengakui kegiatan pencegahan DBD
seperti gerakan 4M (menutup, menguras, mengubur
dan memantau) tempat-tempat yang menjadi sarana
perkembangbiakan vector DBD. Responden disebut
memiliki sikap negatif jika total skor lebih dari nilai
median (≥25)

3. Praktik
Praktik yang dimaksud adalah aktifitas keluarga responden
dalam upaya pencegahan terhadap demam berdarah dengue seperti
melakukan gerakan 4M+ Plus yaitu menutup, menguras, mengubur
dan memantau serta menaburkan bubuk abate, menggunakan
kelambu pada waktu tidur, memasang obat nyamuk,
menyemprotkan insektisida, menggunakan lotion, memelihara ikan
pemakan jentik. Cara pengukuran ini adalah dengan melakukan
observasi tempat tinggal masyarakat dengan menggunakan lembar
observasi praktik. Hasil tingkat praktik keluarga dibagi menjadi
tiga, yaitu:
a. Praktik keluarga baik : jika total skor 7-10
b. Praktik keluarga cukup : jika total skor 4-6
c. Praktik keluarga kurang : jika total skor 0-3

4. Umur
Umur adalah lamanya waktu hidup yaitu terhitung sejak
lahir sampai dengan sekarang. Penentuan umur dilakukan dengan
menggunakan hitungan tahun. Umur diketahui melalui pengisian
indentitas responden oleh subjek penelitian dan hasilnya adalah
dalam bentuk data numerik.

5. Pekerjaan
Pekerjaan yang dimaksud adalah pekerjaan responden saat
dilakukan penelitian. Cara ukur adalah dengan melalui pengisian
kuesioner. Pilihan pekerjaan yang terdapat dalam kuesioner yang
dapat dipilih oleh responden antaralain IRT, wiraswasta, buruh,
PNS, karyawan swasta, TNI, polisi, dll. Pekerjaan dikelompokkan
menjadi:
1. Pekerjaan Tetap: PNS, karyawan swasta, TNI, polisi
2. Pekerjaan tidak tetap : IRT, wiraswasta, buruh, dll

6. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan adalah kelompok jenjang pendidikan
yang terakhir diterima atau diraih oleh responden yang pada
penelitian ini diketahui dengan mengisi identitas responden.
Pilihan pendidikan terakhir yang terdapat dalam kuesioner antara
lain tidak sekolah atau tidak tamat SD, SD, SMP/ sederajat, SMA/
sederajat, dan Diploma/ Sarjana.
Tingkat pendidikan dibagi menjadi tiga yaitu:
1. Tingkat pendidikan rendah : tidak sekolah/ tidak tamat
SD dan SD
2. Tingkat Pendidikan sedang : SMP dan SMA sederajat
3. Tingkat Pendidikan tinggi : Diploma/ Sarjana

7. Informasi Mengenai DBD


Informasi mengenai DBD adalah suatu informasi yang
diterima yang berhubungan demam berdarah. Informasi
mengenai DBD ada dua yaitu:
1. Pernah: artinya seseorang tersebut sudah pernah menerima
informasi mengenai DBD sebelumnya
2. Tidak pernah: artinya seseorang tersebut belum pernah
menerima informasi mengenai DBD sebelumnya

4.5 Bahan dan Instrumen Peneltian


4.5.1 Lembar Informed Consent
4.5.2 Kuesioner
Kuesioner pada penelitian ini menggunakan kuesioner yang
dibuat oleh peneliti yang sudah diuji realibilitasnyya dengan
menanyakan kepada 3 orang yang berbeda dan dilakukan
bergantian oleh ketiga peneliti, kemudian validitasnya diuji dengan
melihat kuesioner penelitian lain yang mirip. Kuesioner terdiri dari
empat bagian yaitu bagian pertama (identitas responden), bagian
kedua (kuesioner tingkat pengetahuan mengenai pencegahan
DBD), bagian ketiga (kuesioner sikap) dan bagian keempat
(lembar observasi praktik). Kuesioner bagian pertama sampai
ketiga diisi dan dijawab oleh responden sendiri namun tetap
ditemai oleh peneliti sehingga apabila terdapat hal-hal yang tidak
dimengerti oleh responden dapat ditanyakan kepada peneliti,
sedangkan kuesioner bagian keempat metode yang digunakan
adalah dengan wawancara dan observasi langsung.
4.5.2.1 Identitas Responden
Kuesioner ini terdiri dari nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan dan
pendidikan.
4.5.2.2 Kuesioner tingkat pengetahuan
Kuesioner tingkat pengetahun berisi 16 pertanyaan tertutup tentang
DBD dan pencegahan penyakit DBD meliputi penyebab, transmisi
vector, tanda dan gejala, pengobatan dan pencegahan DBD.
Penilaian untuk pertanyaan positif tentang pengetahuan
menggunakan skala diskontinu yaitu jika jawaban benar
mendapatkan nilai satu dan jika jawaban salah tidak mendapatkan
nilai (0).
4.5.2.3 Kuesioner Sikap
Kuesioner sikap berisi 10 pertanyaan tertutup tentang sikap
keluarga mengenai pencegahan DBD dan penilaiannya
menggunakan skala Likert. Penilaian untuk pernyataan positif
sikap keluarga yaitu:
● Sangat setuju : 4
● Setuju : 3
● Tidak Setuju : 2
● Sangat tidak setuju : 1
Sedangkan penilaian pernyataan negative sikap keluarga tentang
pencegahan DBD juga mneggunakan skala Likert, yaitu:
● Sangat tidak setuju : 4
● Tidak setuju : 3
● Setuju : 2
● Sangat setuju : 1
4.5.2.4 Lembar observasi Praktik
Lembar observasi praktik berisi 10 poin yang harus diisi oleh
peneliti tentang praktik keluarga tentang pencegahhan DBD
dengan menggunakan skala diskontinu yaitu jika keluarga
mendapatkan nilai 1 dan jika tidak melakukan praktik
mendapatkan nilai (0).
4.6 Alur Penelitian atau Pengumpulan Data
4.6.1 Persiapan Ijin dan Kerjasama
1. Mengajukan surat permohonan bantuan kepada kepala desa
tempat melakukan penelitian
2. Melakukan koordinasi dengan kepala desa tempat dilakukan
penelitian
4.6.2 Penentuan Subjek Penelitian (Sampling)
1. Meminta daftar penduduk dusun kecicang islam kepada kepala
desa yaitu desa Buangaya kangin.
2. Setelah itu, sampling frame dibuat dengan cara memberi
penomoran kepada semua daftar keluarga yang ada.
3. Kemudian keluarga dipilih dengan menggunaan metode undian
(simple random sampling), sehingga akan didapat keluarga
yang salah satu anggota keluarganya akan dijadikan sebagai
sampel penelitian, dimana anggota keluarga tersebut adalah
kepala keluarga atau ibu rumah tangga atau anggota keluarga
lain yang bertanggungjawab penuh terhadap keluarga tersebut.
4.6.3 Pengumpulan Data
1. Peneliti akan datang mengunjungi masing-masing rumah yang
keluarganya terpilih sebagai sampel penelitian, selanjutnya
anggota keluarga yang memegang tanggungjawab dalam
mengurus rumah atau anggota keluarga yang berada di rumah
yang sudah dapat menggantikan posisi sebagai
penanggungjawab terhadap keluarga tersebut diminta untuk
menjadi responden penelitian.
2. Peneliti meminta persetujuan responden untuk mengikuti
penelitian, apabila setuju maka peneliti akan meminta
responden untuk mengisi kuesioner yang disediakan
4.6.4 Pengolahan Data dan Analisis
Semua data yang terkumpul dicatat, dilakukan editing dan
coding, kemudian data dianalisis dengan statistik deskriptif dengan
komputer dan ditampilkan dalam bentuk narasi dan tabel.

4.7 Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini tidak terlepas dari kelemahan, waktu dan tenaga yang
terbatas menjadikan penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan antara
lain penelitian ini menggunakan metode angket, wawancara dan observasi
langsung, namun pada penelitian terdapat responden yang tidak bisa
membaca dan menulis sehingga metode yang digunakan hanyalah metode
wawancara dan observasi langsung. Oleh karena keterbatasan waktu, pada
pelaksanaannya ada beberapa keluarga yang kepala keluarga atau ibu
rumah tangga atau orang lain yang bertanggungjawab terhadap keluarga
tesebut sulit untuk ditemui sehingga yang dijadikan responden adalah
anggota keluarga yang ada di rumah. Pada penelitian ini juga dilakukan
pengujian tingkat pengetahuan terhadap responden yang tidak pernah
mendapatkan informasi mengenai demam berdarah, hal ini mungkin dapat
mempengaruhi hasil, sebab adanya kemungkinan responden tersebut
asal-asalan menjawab pertanyaan dan secara kebetulan jawaban responden
tersebut adalah benar. Selain itu pada kuesioner tentang tingkat
pengetahuan persentase pernyataan mengenai demam berdarah itu sendiri
lebih banyak dibanding pernyataan tentang pencegahan demam berdarah,
sehingga tingkat pengetahuan yang didapat adalah lebih kepada tingkat
pengetahuan tentang demam berdarah secara keseluruhan bukan tingkat
pengetahuan tentang pencegahan saja.

BAB V
HASIL
5.1 Gambaran Karakteristik Responden
Berdasarkan pengambilan data di lapangan jumlah responden sejumlah 66
responden. Karakteristik responden yang diteliti dalam penelitian ini adalah
tingkat pengetahuan, sikap, praktik, umur, jenis kelamin, pekerjaan dan tingkat
pendidikan. Data ini disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi dan presentase.
Gambaran karakteristik umur, jenis kelamin, pekerjaan dan tingkat pendidikan
responden di Dusun Kecicang Islam, Desa Bungaya Kangin wilayah kerja
Puskesmas Bebandem dapat dilihat pada tabel 5.1.
Tabel 5.1
Karakteristik responden di wilayah kerja Puskesmas Bebandem
Karakteristik Frekuensi (n) Presentase (%)
Umur
18-25 tahun 9 13,6
26-40 tahun 33 50
41-64 tahun 21 31,8
≥65 tahun 3 4,5
Jenis kelamin
Laki-laki 29 43,9
Perempuan 37 56,1
Tingkat Pendidikan
Tinggi 5 7,6
Sedang 37 56,1
Rendah 24 36,4
Pekerjaan
IRT 20 30,3
Wiraswasta 32 48,5
Buruh 4 6,1
PNS 1 1,5
Karyawan swasta 4 6,1
Polisi 2 3
Dll 3 4,5
Kategori Pekerjaan
Tetap 7 10,6
Tidak Tetap 59 89,4

Berdasarkan Tabel 5.1 diketahui bahwa dari 66 responden, rata rata umur
responden kebanyakan berkisar antara 26 sampai 40 tahun sebanyak 33 responden
(50%), sedangkan umur pasien yang paling sedikit ≥65 sebanyak 3 responden
(4,5%). Untuk jenis kelamin diantaranya yang paling banyak adalah perempuan
sebanyak 37 responden (56,1%) dan laki-laki sebanyak 29 responden (43,9%).
Kategori tingkat pendidikan terbanyak adalah tingkat pendidikan sedang yaitu
sebanyak 24 responden (36,4%). Sedangkan untuk pekerjaan responden yang
paling banyak adalah responden dengan pekerjaan tetap (89,4%) dimana
kebanyakan diantaranya adalah wiraswasta sebanyak 32 responden (48,5%) dan
kemudian diikuti oleh IRT sebanyak 20 responden (30,3%).

Tabel 5.2
Responden yang mendapatkan informasi DBD
Karakteristik Frekuensi (n) Presentase (%)
Mendapatkan informasi
Pernah 39 59,1
Sumber Informasi
Teman 18 27,3
Petugas kesehatan 19 28,8
Koran atau majalah 1 1,5
Televisi atau radio 10 15,2
Tidak Pernah 27 40,9
Berdasarkan tabel 5.2, dapat diperhatikan sebanyak 39 responden (59,1%)
mendapatkan informasi dan sisanya sebanyak 27 responden (40,9%) tidak pernah
mendapatkan informasi. Dari data tersebut kebanyaktan responden mendapatkan
informasi dari petugas kesehatan yaitu sebanyak 19 responden (28,8%).

5.2 Gambaran Tingkat Pengetahuan Responden


Berdasarkan tabel 5.3 menggambarkan distribusi tingkat pengetahuan
responden tentang pencegahan DBD. Hampir sebagian besar responden memiliki
tingkat pengetahuan sedang sebanyak 49 responden (74,2%), tingkat pendidikan
tinggi sebanyak 10 responden (15,2%), dan tingkat pendidikan rendah sebanyak 7
responden (10,6%).
Tabel 5.3
Tingkat Pengetahuan responden tentang pencegahan DBD di wilayah
kerja Puskesmas Bebandem (n=66)
Variabel Frekuensi (n) Presentase (%)
Tingkat Pengetahuan Tinggi 10 15,2
Tingkat Pengetahuan Sedang 49 74,2
Tingkat Pengetahuan Rendah 7 10,6
Tabel 5.4
Gambaran Tingkat Pendidikan terhadap Tingkat Pengetahuan Responden
Tingkat Pengetahuan
Tinggi Sedang Rendah
n(%) n(%) n(%)
Tingkat Pendidikan
Tinggi 1(20) 4(80) 0(0)
Sedang 8(21,6) 28(75,7) 1(2,7)
Rendah 1(4,2) 17(70,8) 6(25,0)

Berdasarkan tabel 5.4 di atas, responden diseluruh dengan tingkat


pendidikan kebanyakan memiliki tingkat pengetahuan yang sedang. Pada tingkat
pendidikan tinggi dan sedang responden dengan tingkat pendidikan tinggi (20%
dan 21,6%) lebih banyak dibanding dengan tingkat pengetahuan rendah (0% dan
2,7%), sedangkan pada tingkat pendidikan rendah lebih banyak responden dengan
tingkat pengetahuan rendah (25%) dibanding tingkat pengetahuan tinggi (4,2%).
Berdasarkan tabel 5.5, responden yang pernah mendapatkan informasi
kebanyakan memiliki tingkat pengetahuan sedang dan tinggi (74,4% dan 20,5%),
sedangkan responden yang belum kebanyakan memiliki tingkat pengetahuan yang
sedang dan rendah (74,1% dan 18,5%).

Tabel 5.5
Gambaran Tingkat Pengetahuan dengan responden yang pernah
mendapatkan informasi sebelumnya
Tingkat Pengetahuan
Total
Tinggi Sedang Rendah
n (%)
n (%) n (%) n (%)
Pernah mendapatkan informasi
8 (20,5) 29 (74,4) 2 (5,1) 39 (100)
tentang DBD
Tidak pernah mendapatkan 2 (7,4) 20 (74,1) 5 (18,5) 27 (100)
informasi tentang DBD

Berdasarkan tabel 5.6 dapat diperhatikan bahwa pernyataan yang paling


banyak di jawab dengan tidak benar oleh responden yaitu pernyataan yang
menyatakan bahwa fogging merupakan upaya untukk membasmi jentik nyamuk
(93,9%), program 3M meliputi menyikat, mengubur da menutup (90,0%), nyamuk
DBD berkembang biak di air yang kotor (86,4%), dan terakhir adalah yang
menyatakan bahwa jenis nyamuk yang menularkan DBD adalah Anopheles
(59,1%)
Tabel 5.6
Jawaban responden dalam kuisioner tingkat pengetahuan mengenai DBD
Pernyataan Benar Salah
n(%) n(%)
Penyebab DBD (Demam Berdarah Dengue) adalah virus 46(69,7)* 20(30,3)
Gigitan nyamuk merupakan sumber penularan DBD 55(83,3)* 11(16,7)
Jenis nyamuk yang menularkan DBD adalah Anopheles 39(59,1) 27(40,9)*
Ciri nyamuk DBD adalah sayap dan badannya belang-belang 57(86,4)* 9(13,6)
atau bergaris-garis putih
Nyamuk DBD berkembang biak di air yang kotor 57(86,4) 9(13,6)*
Tanda atau gejala awal penderita DBD ialah demam tinggi 65(98,5)* 1(1,5)
dan bintik-bintik merah
Tindakan pertolongan pertama pada pasien DBD di rumah 58(87,9)* 8(12,1)
adalah dengan minum yang banyak
DBD tidak dapat dicegah 18(27,3) 48(72,7)*
Fogging merupakan upaya untuk membasmi jentik nyamuk 62(93,9) 4(6,1)*
Program 3M merupakan upaya pencegahan DBD 55(83,3)* 11(16,7)
Menguras tempat penampungan air merupakan bagian dari 61(92,4)* 5(7,6)
program 3M
Program 3M meliputi menyikat, mengubur dan menutup 60(90,9) 6(9,1)*
Program 4M meliputi program 3M ditambah dengan 53(80,3)* 13(19,7)
memantau
Abatisasi (pemberian bubuk abate) merupakan upaya 61(92,4)* 5(7,6)
pemberantasan jentik nyamuk
Upaya untuk memutus rantai penularan DBD ialah dengan 60(90,9)* 6(9,1)
pemberantas sarang nyamuk
Penerapan program 4M dan abatisasi dapat menurunkan 54(81,8)* 12(18,2)
angka kesakitan DBD
*Pilihan jawaban yang benar

5.3 Gambaran Sikap Responden


Hasil penelitian pada 66 responden didapatkan sebesar 61 responden
(92,4%) memiliki sikap yang positif dan sebagian kecil yaitu 5 responden (7.6%)
memiliki sikap negatif.
Tabel 5.7 Gambaran sikap responden
Frekuensi (n) Persentase(%)
Sikap positif 61 92.4
Sikap negatif 5 7.6
Total 66 100.0

Gambaran sikap responden berdasarkan tingkat pengetahuan yang telah di


katagorikan menjadi tingkat pengetahuan tinggi, sedang, dan rendah dapat dilihat
pada tabel berikut :
Tabel 5.8 Gambaran sikap responden berdasarkan tingkat
pengetahuan responden
Sikap positif Sikap Negatif Total
Tingkat pengetahuan tinggi 10 (100%) 0 (0.0%) 10 (100%)
Tingkat pengetahuan sedang 46 (93.9%) 3 (6.1%) 49 (100%)
Tingkat pengetahuan rendah 5 (71.4%) 2 (28.6%) 7 (100%)
Total 61 (92.4%) 5 (7.6%) 66 (100%)

Tabel diatas menunjukkan bahwa pada responden dengan tingkat


pengetahuan tinggi tidak terdapat responden yang memiliki sikap negatif.
Responden dengan tingkat pengetahuan sedang sebesar 93,9% menunjukkan sikap
positif dan hanya 3 responden (6.1%) yang memiliki sikap negatif. Terdapat 2
responden (28,6%) dengan tingkat pengetahuan rendah dan memiliki sikap
negatif, sementara itu 5 responden (71,4%) dengan tingkat pendidikan yang
rendah memiliki sikap positif.
Tabel 5.9 menampilkan rincian jawaban responden untuk setiap
pertanyaan. Pada pertanyaan pertama mengenai penggunaan lotion anti nyamuk
hanya pada saat malam hari saja, sebagian besar responden (54,5%) menyatakan
setuju dengan pernyataan tersebut, dan hanya satu responden yang menyatakan
sangat tidak setuju pada pernyataan tersebut. Untuk pernyataan seperti barang
bekas tempat penampungan air hujan sebaiknya dibiarkan saja, menguras bak
mandi jika sudah kotor saja, air pada vas bunga tidak perlu diganti, pakaian lebih
baik digantung didalam ruangan atau kamar , tempat yang dapat menampung air
tidak dapat di tutup, dan genangan air di lingkungan rumah sebaiknya dibiarkan
saja, jawaban responden untuk pernyataan-pernyataan tersebut didominasi dengan
jawaban tidak setuju. Sementara itu untuk pernyataan mengenai rutinitas
melakukan kegiatan 4M, tidur menggunakan kelambu dapat mengurangi gigitan
dari nyamuk, penggunaan bubuk abate saya gunakan pada tempat penampungan
air yang susah saya jangkau untuk dibersihkan jawaban responden didominasi
dengan menyatakan setuju untuk setiap pernyataan tersebut.

Tabel 5.9. Distribusi rincian komponen sikap responden


Variabel Jawaban Jumlah Persentase (%)
(n)
Pemakaian lotion anti nyamuk hanya Setuju 36 54.5
digunakan saat malam hari saja Sangat setuju 6 9.1
Tidak setuju 23 34.8
Sangat tidak setuju 1 1.5
Barang bekas tempat penampungan air Setuju 3 4.5
hujan sebaiknya dibiarkan saja Sangat setuju 1 1.5
Tidak setuju 39 59.1
Sangat tidak setuju 23 34.8
Menguras bak mandi jika sudah kotor Setuju 13 19.7
saja Sangat setuju 5 7.6
Tidak setuju 41 62.1
Sangat tidak setuju 7 10.6
Air pada vas bunga tidak perlu diganti Setuju 13 19.7
Sangat setuju 2 3.0
Tidak setuju 41 62.1
Sangat tidak setuju 10 15.2
Pakaian lebih baik digantung didalam Setuju 26 39.4
ruangan atau kamar Sangat setuju 3 4.5
Tidak setuju 32 48.5
Sangat tidak setuju 5 7.6
Saya rutin melakukan kegiatan 4M Setuju 33 50.0
Sangat setuju 18 27.3
Tidak setuju 12 18.2
Sangat tidak setuju 3 4.5
Tempat yang dapat menampung air tidak Setuju 17 25.8
dapat di tutup Sangat setuju 4 6.1
Tidak setuju 34 51.5
Sangat tidak setuju 11 16.7
Genangan air di lingkungan rumah Setuju 5 7.6
sebaiknya dibiarkan saja Sangat setuju 1 1.5
Tidak setuju 41 62.1
Sangat tidak setuju 19 28.8
Tidur menggunakan kelambu dapat Setuju 43 65.2
mengurangi gigitan dari nyamuk Sangat setuju 4 6.1
Tidak setuju 16 24.2
Sangat tidak setuju 3 4.5
Penggunaan bubuk abate saya gunakan Setuju 34 51.5
pada tempat penampungan air yang Sangat setuju 11 16.7
susah saya jangkau untuk dibersihkan Tidak setuju 19 28.8
Sangat tidak setuju 2 3.0

5.4 Gambaran Praktik Responden


Berdasarkan hasil penelitian, dari 66 responden hanya terdapat 12
responden yang memiliki praktik keluarga tinggi yaitu 12 orang (18,2%),
kebanyakan responden (53%) adalah keluarga dengan praktik keluarga cukup
sedangkan sisanya (28,8%) adalah keluarga dengan praktik keluarga kurang (
Tabel 5.10).
Tabel 5.10 Gambaran Praktik Keluarga Responden
Frekuensi Persentase (%)
Praktik Keluarga Responden Baik 12 18,2
Praktik Keluarga Responden Cukup 35 53
Praktik Keluarga Responden Kurang 19 28,8

Berdasarkan hasil penelitian yang dapat diperhatikan dalam Tabel 5.11


responden diseluruh tingkat pengetahuan memiliki kecenderungan yang sama,
yaitu kebanyakan responden tersebut adalah responden yang memiliki praktik
keluarga yang cukup. Responden dengan tingkat pengetahuan tinggi memiliki
jumlah yang sama antara responden yang memiliki praktik keluarga baik dan
kurang yaitu tiga responden (30%), sedangkan untuk responden yang memiliki
tingkat pengetahuan sedang dan rendah sama-sama paling sedikit memiliki
responden dengan praktik keluarga baik yaitu sebanyak delapan (16,3%) dan
satu responden (14,3%).

Tabel 5.11 Gambaran Praktik Keluarga Responden berdasarkan


Tingkat Pengetahuan Responden
Praktik Keluarga Total
Baik Cukup Kurang n (%)
n (%) n (%) n (%)
Tingkat Pengetahuan Tinggi 3 (30) 4 (40) 3 (30) 10 (100)
Tingkat Pengetahuan Sedang 8 (16,3) 27 (55,1) 14 (28,6) 49 (100)
Tingkat Pengatahuan Rendah 1 (14,3) 4 (57,1) 2 (28,6) 7 (100)

Responden dengan sikap positif kebanyakan memiliki praktik keluarga


yang cukup yaitu sebanyak 33 orang (54,1%) , sedangkan responden dengan
sikap negatif kebanyakan memiliki praktik keluarga yang kurang yaitu sebanyak
tigaorang (60%). Responden dengan sikap positif hanya sedikit yang memiliki
responden dengan praktik keluarga baik yaitu 12 orang (19,7%), dan bahkan
lebih banyak yang memiliki praktik keluarga yang kurang yaitu sebanyak 16
orang (26,2%). Meskipun demikian, dari sejumlah lima responden yang
memiliki sikap negatif tidak ada satupun (0%) yang memiliki praktik keluarga
yang baik (Tabel 5.12).

Tabel 5.12 Gambaran Praktik Keluarga Responden berdasarkan


Sikap Responden
Praktik Keluarga Total
Baik Cukup Kurang n (%)
n (%) n (%) n (%)
Sikap Positif 12 (19,7) 33 (54,1) 16 (26,2) 61 (100)
Sikap Negatif 0 (0) 2 (40) 3 (60) 5 (100)

Kuesioner praktik terdiri dari sepuluh pernyataan yang dijadikan sebagai


aspek untuk menilai praktik responden, kuesioner tersebut terdiri dari dua pilihan
jawaban yaitu ‘ya’ dan ‘tidak’ yang diisi oleh peneliti dengan melihat langsung
atau menanyakan kepada responden (Tabel 5.13). Berdasarkan hasil penelitian,
dari sepuluh pernyataan dalam kuesioner praktik terdapat empat pernyataan yang
kebanyakan diisi dengan menjawab pilihan ‘tidak’. Pernyataan yang paling
banyak dijawab dengan pilihan jawaban ‘tidak’diantara keempat pernyataan
tersebut adalah pernyataan tentang memelihara ikan pemakan jentik lalu di susul
dengan pernyataan memasang kawat kasa pada ventilasi udara dan kemudian
memberikan bubuk abate pada bak air yang tidak dapat dikuras dengan baik
selama sekali dua bulan.
Terdapat enam pernyataan yang kebanyakan terisi dengan pilihan jawaban
‘ya’ dalam kuesioner praktik, namun persentasenya tidak melebihi angka 65%.
Pernyataan yang paling banyak diisi dengan pilihan jawaban ‘ya’ adalah
pernyataan tentang memantau semua wadah air atau yang dapat menampung air
seminggu sekali.

Tabel 5.13 Kuesioner praktik responden


No. Praktik responden terhadap pencegahan DBD Ya Tidak
n (%) n (%)
1 Menutup bak penampungan air 40 (60,6) 26 (39,
2 Memberikan bubuk abate pada bak air yg tidak dapat dikuas denga 12 (18,2) 54 (81,
baik sekali dua bulan
3 Menguras bak penampungan air minimal satu minggu sekali 41 (62,1) 25 (37,
4 Memantau semua wadah air atau yang dapat menampung a 42 (63,6) 24 (36,
seminggu sekali
5 Memasang kawat kasa pada ventilasi udara 10 (15,2) 56 (84,
6 Tidak membiarkan pakaian kotor bergantungan di belakang pintu 32 (48,5) 34 (51,
7 Memelihara ikan pemakan jentik 9 (13,6) 57 (86,
8 Menyemprotkan insektisida atau memasang obat nyamuk bakar ata 34 (51,5) 32 (48,
menggunakan kelambu saat tidur atau menggunakan baju lenga
panjang atau lotion antinyamuk secara rutin
9 Menelungkupkan barang bekas seperti ember bekas dan kalen 37 (56,1) 29 (43,
bekas
10 Tidak membuang sampah plastik, keramik, kaleng dll yan 41 (62,1) 25 (37,
berpotensi menampung air bekas sembarangan

BAB VI
PEMBAHASAN

6.1 Gambaran Karakteristik Responden


Pada penelitian ini ada beberapa variabel karakteristik yang diteliti seperti
umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, pernah mendapatkan
informasi atau tidak dan informasi DBD yang didapatkan. Dari hasil penelitian
didapatkan responden yang mendominasi adalah pada rentang umur 26-40 tahun
yakni sebanyak 50,0%, hal serupa juga didapatkan pada penelitian yang dilakukan
di Karachi tahun 2006. Pada penelitian tersebut responden yang mendominasi
ialah rentang umur 26-40 tahun. Akan tetapi pada penelitian tersebut persentase
responden dengan rentang umur 26-40 tahun sebanyak 47,2% atau sejumlah 211
orang dari total sampel sebesar 447 responden (Itrat A. dkk, 2008).
Responden yang mengikuti penelitian peneliti didominasi dengan jenis
kelamin perempuan (56,1%), hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan
oleh Itrat dkk pada tahun 2006 yang didominasi oleh laki-laki (63.3%). Pada
penelitian Itrat dkk, sampel diambil dengan cara convenience sampling pada
orang-orang yang berkunjung ke rumah sakit di Karachi. Hal ini mungkin
disebabkan oleh karena kebanyakan responden adalah ibu rumah tangga sehingg
peneliti lebih banyak bertemu ibu dan menjadikannya sebagai responden
penelitian.
Pada sebuah penelitian disebutkan bahwa sumber informasi terbanyak yang
diperoleh oleh responden adalah dari televisi yakni sekitar 60%, sementara dari
petugas kesehatan hanya sekitar 10% dan radio <10%. Sumber informasi yang
didapat dari majalah ataupun koran sebesar 30% dan dari teman ataupun kerabat
juga berimbang dengan sumber informasi dari majalah yakni 30 % (Itrat dkk,
2008). Hasil ini cukup berbeda dengan hasil yang diperoleh oleh peneliti, pada
penelitian yang dilakukan peneliti sumber informasi yang diperoleh responden
didominasi oleh petugas kesehatan (28.8%), dilanjutkan dengan teman (27,3%),
televisi atau radio (15,2%), dan koran atau majalah hanya satu responden atau
1,5%. Perbedaan ini bisa jadi dikarenakan cara pemilihan sampel yang berbeda,
lokasi penelitian, maupun hal lainnya.
6.2 Gambaran Tingkat Pengetahuan Responden
Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
sebanyak 49 responden mempunyai tingkat pengetahuan sedang (74,2%). Hal ini
mungkin dikarenakan masih kurangnya informasi tentang DBD yang diberikan
ataupun masyarakat yang kurang memperhatikan pencegahan DBD di lingkungan
tempat tinggal mereka. Menurut Notoadmojo (2003) pengetahuan adalah hasil
dari tahu dan terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu
objek. Menurut Wahid et al (2007) faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan
seseorang antara lain pendidikan, pekerjaan, umur, minat, pengalaman, dan
informasi. Penelitian yang dilakukan oleh Marini (2009) memperlihatkan hasil
yang tidak jauh berbeda dari penelitian yang kami lakukan yaitu mayoritas
responden memiliki pengetahuan sedang (83,3%). Namun ada pula penelitian
yang tidak sejalan dengan penelitian ini, seperti yang dikemukakan dalam
penelitian Hutapea(2007) di Kelurahan Gung Negeri, Kabupaten Karo didapatkan
(98,2%) responden berpengetahuan baik dan hanya 1,8% yang berpengetahuan
sedang. Hal ini mungkin dikarenakan jumlah sampel dan distribusi karakteristik
responden berdasarkan pendidikan.
Dusun kecicang islam dimana responden penelitian ini berada merupakan
dusun yang paling banyak kasus demam berdarah tahun 2015, dan dari hasil
penelitian menemukan kebanyakan responden memiliki tingkat pengetahuan
tinggi (15,2%) dan sedang (74,2%). Hal ini tidak mendukung penelitian yang
dilakukan oleh Suhardiono (2005) dalam Usman Yukresna (2004) diketahui
bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan dengan kejadian DBD, yang mana
responden yang berpengetahuan kurang baik tentang DBD beresiko terkena DBD
2,78 kali dibandingkan dengan responden yang berpengetahuan baik. Demikian
juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Sigarlaki,2007 yang menggunakan
metode dan pendekatan yang sama menyatakan bahwa responden terbanyak
menderita DBD adalah responden yang memiliki pengetahuan yang kurang yaitu
(42,5%).
Berdasarkan analisis data penelitian ditemukan bahwa tingkat pengetahuan
sedang mendominasi seluruh tingkat pendidikan responden, sedangkan pada
tingkat pendidikan tinggi dan sedang lebih banyak respondennya memiliki
pengetahuan tinggi dibanding rendah hanyasaja pada tingkat pendidikan sedang
masih terdapat responden dengan tingkat pengetahuan yang rendah, begitupula
dengan responden dengan tingkat pengetahuan rendah lebih banyak respondennya
memiliki tingkat pengetahuan rendah dibanding tinggi. Hal ini sesuai dengan hal
yang disebutkan oleh Notoadmodjo (2003) yang menyebutkan bahwa tingkat
pendidikan turut menentukan mudah tidaknya seseorang memahami pengetahuan
yang mereka peroleh pada umumnya, semakin tinggi pendidikan seseorang maka
semakin baik pula pengetahuannya. Sigalingging (2011) juga menyebutkan
tingkat pendidikan mempunyai pengaruh yang kuat terhadap kemauan keluarga
untuk memelihara lingkungan yang bersih, yang artinya dengan makin tingginya
pendidikan responden maka akan lebih mudah menerima informasi yang
diberikan.
Dari analisa data, hasil dari responden yang pernah mendapatkan
informasi (59,1%) dan yang tidak pernah mendapatkan informasi sebelumnya
(40,9%). Hal ini mungkin disebabkan oleh tidak meratanya pemberian informasi
kepada penduduk setempat. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian Herlambang
(2011) yang menyatakan bahwa status pekerjaan responden lebih banyak sebagai
wiraswasta dan IRT akan menyebabkan masyarakat di wilayah tersebut lebih
sering untuk menukarkan informasi yang mereka dapatkan, mereka mendapatkan
informasi lebih banyak dari mulut ke mulut. Hal tersebut dapat di konfirmasi juga
dengan melihat bahwa meskipun pada penelitian kebanyakan respondennya
adalah wiraswasta dan ibu rumah tangga namun dapat diperhatikan bahwa
kebanyakan responden lebih banyak mendapatkan informasi dari perugas
kesehatan (28,8%).
Terdapat perbedaan antara tingkat pengetahuan responden yang pernah
mendapatkan informasi sebelumnya dan yang belum, diluar dari kenyataan bahwa
kebanyakan responden pada kedua kelompok tersebut kebanyakan memiliki
tingkat pengetahuan sedang, responden yang pernah mendapatkan informasi
cenderung memiliki tingkat pengetahuan tinggi (20,5%) sedangkan responden
yang tidak pernah mendapatkan informasi cenderung memiliki tingkat
pengetahuan rendah (18,5%). Hasil ini sudah sesuai dengan apa yang disebutkan
dalam Notoadmodjo (2003) yang menyebutkan bahwa pengetahuan adalah hasil
dari tahu, sehingga dapat dikatakan apabila seseorang tersebut tidak mengetahui
atau dalam hal ini tidak mendapatkan informasi maka seseorang tersebut tidak
akan memiliki pengetahuan tentang hal tersebut. Namun pada kenyataanya,
terdapat responden yang memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi bahkan
kebanyakan memiliki tingkap pengetahuan sedang pada responden yang tidak
pernah mendapatka informasi sama sekali mengenai demam berdarah. Hal ini bisa
saja disebabkan oleh responden yang lupa bahwa sebenarnya responden tersebut
pernah mendapatkan informasi, atau responden tidak tahu untuk menjawab namun
kebetulan saja pilihan jawaban yang respoden pilih adalah benar.
Kuesioner yang digunakan untuk mengetahui tingkat pengetahuan
responden memiliki 16 pernyataan yang benar ataupun salah, selanjutnya
responden memilih pilihan apakah menurut mereka pernyataan tersebut adalah
pernyataan yang benar atau salah dan dari keseluruhan pernyataan tersebut terdapat
lima pernyataan yang bernilai salah. Penelitian ini menemukan dari keenambelas
pernyataan terdapat empat penyataan yang kebanyakan dijawab dengan salah oleh
responden, dimana keempat pernyataan tersebut semuanya adalah pernyataan
bernilai salah. Hal ini bisa saja disebabkan oleh karena ketidaktelitian responden
dalam memperhatikan pernyataan yang ada atau bisa saja oleh karena apabila
responden tidak tahu atau ragu jawabannya tidak mengatakan tidak tahu namun
memilih pilihan jawaban benar. Hal ini dapat diperhatikan dari kelima pernyataan
bernilai salah hanya satu yang kebanyakan dijawab dengan benar oleh responden
yaitu pernyataan yang menyatakan bahwa demam berdarah tidak dapat dicegah ,
dimana pernyataan ini adalah pernyataan yang cukup mudah ditentukan benar atau
salah dibandingkan keempat pernyataan lainnya.

6.3 Gambaran Sikap Responden


Sikap merupakan pandangan atau perasaan seseorang yang disertai
kecenderungan untuk melakukan tindakan sesuai dengan stimulus yang diberikan
(Purwanto H., 1998 dalam Wawan A. dan Dewi. M., 2011). Pada penelitian ini
didapatkan sejumlah 61 responden (92.4%) yang memiliki sikap positif terhadap
pencegahan demam berdarah, dan sisanya memiliki sikap negatif terhadap
pencegahan DBD. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan hasil yang diperoleh dari
penelitian yang dilakukan oleh Pangemanan dan Nelwan di kabupaten Minahasa
Utara, yakni didominasi dengan responden yang bersikap baik sebesar 100%
(Pangemanan dan Nelwan, 2010). Pada penelitian tersebut menggunakan 345
sampel yang dipilih secara acak dengan minimal usia responden diatas 15 tahun
dan tidak dibedakan status sosial ekonomi ataupun tingkat pendidikannya, hal ini
tidak jauh berbeda dengan penelitian ini yang dilakukan dengan cara pemilihan
sampel yang sama yakni dengan cara acak dan tidak dibedakan anatara status
sosial ataupun tingkat responden serta usia termuda penelitian ini diatas 15 tahun.
Pada penelitian lain didapatkan hasil yang serupa yakni sikap responden
yang didominasi dengan sikap positif namun persentasenya cukup berbeda, yakni
penelitian yang dilakukan oleh Suherman tahun 2007 di Pontianak didapatkan
hasil sebesar 64,8% responden mempunyai sikap mendukung terhadap
pencegahan penyakit DBD (Suherman E., 2007). Hasil ini didapatkan dengan
metode survei melalui pendekatan cross sectional dengan populasi penelitian
sebanyak 182 kk dan sampelnya sebesar 125 kk, sementara pada penelitian yang
peneliti lakukan di wilayah kerja Puskesmas Bebandem populasi penelitian
sebanyak 692 kk dan sampelnya 66 kk.
Penelitian yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Tlogosari Wetan
Kota Semarang didapatkan hasil yang cukup berbeda dari penlitian peniliti dan
penelitian di pontianak. Pada penelitian tersebut diketahui bahwa persentase
responden yang sikapnya baik terhadap DBD lebih besar (50,0%) bila
dibandingkan dengan responden yang memiliki sikap terhadap DBD yang sedang
(44,0%) dan responden yang memiliki sikap terhadap DBD yang buruk (6,0)
(Rahmaditia, 2011). Sementara pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Bahtiar
tahun 2012 di wilayah kerja Puskesmas Kawalu kota Tasikmalaya dengan
pemilihan sampel secara purposif yakni tokoh masyarakat sejumlah 68 orang
didapatkan hasil sebanyak 40 orang (58.8%) bersikap negatif atau kurang
mendukung dan sebesar 28 responden (41.2%) bersikap positif atau mendukung
pengendalian demam berdarah (Bahtiar Y., 2012).
Hasil penelitian lainnya yang dilakukan di desa Karangjati, kecamatan
Blora, Kabupaten blora, menyebutkan bahwa mayoritas responden mempunyai
sikap positif sebesar 71,4%. Penelitian ini menggunakan pendekatan cross
sectional dengan jumlah sampel 92 orang dari pengacakan 1065 kepala keluarga.
Disebutkan pula bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi sikap seseorang
adalah komponen kognitif yang berisi kepercayaan seseorang mengenai suatu
obyek tertentu (Nuryanti E., 2013). Seperti pada penelitian yang dilakukan oleh
Santoso dan Budiyanto pada tahun 2005 di Palembang yang meneliti hubungan
mengenai pengetahuan sikap dan perilaku masyarakat terhadap vektor DBD,
didapatkah hasil yaitu terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan
responden dengan sikap responden kaitannya dengan penyakit DBD. Pada
penelitian tersebut dilakukan pengambilan sampel berdasarkan tingkat ekonomi
dan sampel dipilih secara acak (Santoso dan Budiyanto, 2008). Hasil dari
penelitian tersebut didapatkan sebanyak 228 responden bersikap baik dan
memiliki pengetahuan yang tinggi, 85 responden bersikap negatif namun memiliki
pengetahuan yang tinggi, 136 responden bersikap baik dengan tingkat
pengetahuan yang rendah, dan sebanyak 157 responden bersikap negatif dengan
tingkat pengetahuan yang rendah. Pada penelitian tersebut dengan jumlah sampel
600 responden dapat dilihat bahwa sikap baik didominasi dengan tingkat
pengetahuan yang baik dan sikap kurang atau negatif didominasi dengan tingkat
pengetahuan yang rendah, sementara pada penelitian yang dilakukan peneliti
didapatkan hasil yang berbeda.
Pada penelitian yang dilakukan peneliti tingkat pengetahuan dibagi
menjadi tiga katagori yakni tinggi, rendah, dan sedang, serta didapatkan hasili
tidak terdapat responden yang bersikap negatif diantara responden yang memiliki
tingkat pengetahuan tinggi. Pada responden dengan tingkat pengetahuan sedang
sikap responden di dominasi dengan sikap positif (93,9%) dan responden dengan
pengetahuan rendah juga di dominasi dengan sikap positif (71,4%) meskipun
masih terdapat dua responden yang bersikap negatif diantara responden dengan
tingkat pengetahuan rendah. Akan tetapi terdapat penelitian lain yang memiliki
hasil tidak jauh berbeda dengan penelitian peneliti, karena pada penelitian yang
dilakukan oleh Sigarlaki didapatkan hasil sebagian besar responden (95,8%)
memiliki sikap yang baik sementara tujuh responden tergolong bersikap cukup
dan 4 responden bersikap kurang. Pada penelitian ini juga menyebutkan sebanyak
121 responden (46.4%) memiliki tingkat pengetahuan yang kurang, 78 responden
memiliki tingkat pengetahuan baik dan 62 responden dengan tingkat pengetahuan
sedang (Sigarlaki HJO, 2007). Jadi dapat diperhatikan bahwa pada penelitian yang
dilakukan dengan cara pengambilan sampel accidental sampling ini orang dengan
tingkat pengetahuan yang kurang juga di dominasi dengan responden dengan
sikap yang baik. Tingkat pengetahuan yang tinggi atau pengetahuan yang positif
bukan merupakan jaminan terjadinya sikap yang positif pada seseorang, karena
ada hal lain pula yang seperti sarana dan prasarana yang dapat mempengaruhi
seseorang dalam bersikap (Akhmadi dkk., 2012).
Pada penelitian yang dilakukan oleh peniliti, penggolongan sikap
responden menjadi baik dan buruk didasari atas jumlah nilai yang diperoleh
responden dari menjawab sepuluh pertanyaan yang ada pada kuesioner. Penilaian
menggunakan skala likert dan nilai yang kurang dari nilai median tergolong sikap
negatif. Pertanyaan pertama pada kuisioner sikap responden ialah pernyataan
pemakaian lotion anti nyamuk hanya digunakan saat malam hari saja, sebagian
besar responden menjawab setuju, namun terdapat responden yang tidak setuju
nahkan sangat tidak setuju dengan alasan bahwa nyamuk yang mengigit tidak
hanya malam hari saja melainkan juga bisa disiang hari serta ada pula responden
yang beralasan bahwa penggunaan lotion anti nyamuk tidak diperlukan karena
masih merupakan bahan kimia yang mungkin bisa menimbulkan efek pada kulit.
Pernyataan berikutnya mengenai barang bekas tempat penampungan air hujan
sebaiknya dibiarkan saja, hanya tiga orang yang setuju dan terdapat satu orang
yang sangat setuju dengan alasan yang tidak diketahui oleh peneliti.
Pernyataan pada kuesioner mengenai menguras bak mandi jika sudah
kotor saja ditanggapi beragam oleh responden, mulai dari setuju sebanyak 13
orang, sangat setuju lima orang, sangat tidak setuju tujuh orang dan di dominasi
dengan jawaban tidak setuju (62.1%). Menurut beberapa responden alasan mereka
tidak setuju adalah karena mereka menggunakan bak mandi berupa ember
sehingga setiap habis airnya mereka bersihkan dan isi kembali, selain itu ada pula
responden yang mengatakan bahwa seharusnya bak rutin dibersihkan meskipun
tidak terlihat kotor. Hal seperti ini juga didapatkan pada penelitian lain yang
menyebutkan bahwa sebanyak 64,0% responden menyatakan sikap setuju
terhadap membersihkan bak air minimal seminggu sekali (Rahmaditia, 2011). Air
pada vas bunga tidak perlu diganti, pernyataan tersebut tidak disetujui oleh
sebagian besar responden, namun masih ada responden yang menjawab setuju
bahkan sangat setuju. Alasan mengapa masih ada sikap responden yang bersikap
negatif pada pernyataan masih belum diketahui. Pernyataan selanjutnya ialah
pakaian lebih baik digantung didalam ruangan atau kamar, sebagian besar
responden mengatakan tidak setuju dan sangat tidak setuju dengan alasan yang
peneliti dapatkan dari responden adalah mereka terbiasa untuk langsung menaruh
ditempat pakaian kotor atau langsung dicuci, meskipun demikian masih terdapat
responden yang setuju (39,4%) dan sangat setuju (4,5%) dengan pernyataan ini.
Pada penelitian lain juga didapatkan mayoritas sikap responden terhadap
pernyataan ini tidak setuju, kurang setuju bahkan sangat tidak setuju, namun
masih ada 10% responden yang menyetujui untuk menggantung pakaian
dibelakang pintu (Rahmaditia, 2011).
Kegiatan 4M merupaka kegiatan yang meliputi menguras, mengubur,
menutup dan memantau. Kegiatan ini disetujui oleh 50,0% responden dan sangat
disetujui oleh 27,3% responden, meskipun demikian masih ada 15 responden yang
memiliki sikap negatif terhadap pernyataan kegiatan 4M ini. Pada penelitian
peneliti didapatkan 18.2% tidak setuju dengan kegiatan 4M, dan pada penelitian
lain diketahui masih terdapat 10,0% responden yang memiliki sikap serupa,
meskipun demikian mayoritas responden juga memiliki sikap positif pada
pernyataan ini (Rahmaditia, 2011). Tempat penampungan air tidak perlu ditutup,
hal ini mayoritas tidak disetujui oleh responden, karena menurut beberapa
responden penampungan air seperti bak mandi tidak perlu ditutup. Akan tetapi
masih ada responden yang menyetujui hal ini sebanyak 17 responden dan empat
responden sangat setuju dengan penutupan tempat penampungan air ini, karena
menurut beberapa responden wadah air seperti sumur dan tower harus ditutup
supaya tidak kotor.
Genangan air dilingkungan rumah sebaiknya dibiarkan saja merupakan
pernyataan yang mayoritas responden tidak menyetujuinya (62.1%) dan sangat
tidak setuju sebesar 28,8%, serta hanya sebagian kecil responden yang menjawab
setuju (7,6%) dan sangat setuju (1,5%). Beberapa responden menjelaskan bahwa
apabila ada genangan air mereka membiarkan saja karena cepat atau lambat akan
hilang dengan sendirinya. Tidur menggunakan kelambu dapat mengurangi gigitan
dari nyamuk, pernyataannya ini di tanggapi positif oleh sebagian besar
masyarakat (71,3%) meskipun pada kenyataannya mereka mengatakan bahwa
mereka tidak pernah menggunakan kelambu untuk mengurangi gigitan nyamuk.
Untuk pernyataan yang terakhir pada kueisioner ialah penggunaan bubuk abate
digunakan pada tempat penampungan air yang susah dijangkau untuk dibersihkan,
pernyataan ini merupakan pernyataan yang seharusnya disetujui oleh masyarakat
karena penaburan bubuk abate tidak dilakukan pada tempat yang sering dikuras.
Hasil dari penelitian ini diperoleh sebagian besar responden bersikap positif
(68,2%), meskipun demikian pada saat mengisi kuesioner, ada beberapa
responden yang takut menggunakan abate sehingga menjawab tidak setuju.

6.4 Gambaran Praktik Responden


Menurut analisa data, praktik keluarga responden tentang pencegahan
demam berdarah dengue kebanyakan adalah cukup (53%) dan yang paling sedikit
yang memiliki praktik kelurga yang baik (18,2 %), hal ini sejalan dengan
penelitian yang di lakukan oleh Hidayah (2009) yang menemukan bahwa
kebanyakan responden memiliki praktik keluarga cukup yaitu 42 responden
(57,5%) dan hanya 13 responden (17,8%) yang memiliki praktik keluarga baik.
Hal yang sama juga ditemukan oleh Marini (2009) yang menemukan bahwa
kebanyakan keluarga di Padang Bulan memiliki tindakan pencegahan demam
berdarah yang cukup (83,3%). Salah satu yang mungkin mempengaruhi hal ini
adalah kesamaan karakteristik responden yaitu sama-sama kebanyakan
respondennya memiliki tingkat pendidikan terakhir SMA dan pekerjaan ibu
rumah tangga dan wiraswasta.
Praktik keluarga responden baik dalam penelitian ini hanya berjumlah 12
dari 66 responden (18,2 %). Hal ini dapat menjadi salah satu penyebab tingginya
kasus demam berdarah di daerah tersebut sebab praktik pencegahan demam
berdarah yang baik oleh masyarakat merupakan hal yang paling penting dan
efektif yang harus di lakukan oleh setiap anggota masyarakat untuk mencegah
demam berdarah terutama pada lingkungan yang beresiko tinggi (Wong dkk,
2015).
Responden dengan tingkat pengetahuan baik tidak memiliki perbedaan
jumlah antara responden yang memiliki praktik keluarga baik dengan responden
yang memiliki praktik keluarga kurang, sedangkan responden dengan tingkat
pengetahuan sedang lebih banyak responden yang memiliki praktik keluarga
kurang (28,6 %) dibandingkan responden dengan praktik keluarga baik (14,3 %).
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahmaditia (2011) yang
menemukan bahwa responden dengan tingkat pengetahuan baik memiliki proporsi
yang sama antara responden yang memiliki praktik keluarga baik dengan
responden yang memiliki praktik keluarga tidak baik, namun pada penelitian
tersebut responden dengan tingkat pengetahuan yang tidak baik kebanyakan
adalah responden dengan praktik keluarga tidak baik (80,8%).
Teori Blum menyatakan bahwa tindakan atau praktik seseorang terbentuk
dari pengetahuan atau kognitif seseorang tersebut (Supriyanto, 2011). Namun
hasil yang ditemukan dalam penelitian ini tidak sesuai dengan teori tersebut sebab
responden praktik keluarga baik kebanyakan bukanlah responden dengan tingkat
pengetahuan tinggi, begitupula responden dengan praktik keluarga kurang
kebanyakan bukanlah responden dengan tingkat pengetahuan rendah. Tingkat
pengetahuan yang tinggi juga tidak menunjukkan praktik keluarga responden
yang baik lebih tinggi, meskipun pada tingkat pengetahuan rendah jumlah
responden dengan praktik keluarga kurang lebih banyak dibandingkan dengan
yang baik namun kebanyakan responden pada tingkat pendidikan rendah memiliki
praktik keluarga yang cukup.
Hubungan antara pengetahuan dan praktik pencegahan masih merupakan
hal yang kontroversial. Hal ini dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh
Shuaib dkk (2010) pada penelitian di Jamaika menyatakan bahwa tidak terdapat
hubungan antara pengetahuan dan praktik pencegahan. Hal ini mungkin bisa
menjelaskan mengapa terdapat kesenjangan antara pilihan jawaban pernyataan
pengetahuan dengan praktik responden yaitu 92% responden setuju bahwa
abatisasi merupakan upaya pemberantasan jentik nyamuk, namun kebanyakan
responden tidak menggunakan bubuk abate pada penampungan air yang susah
dikuras minimal sekali dua bulan (81,8%). Meskipun demikian beberapa
penelitian lainnya menyatakan bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan dan
praktik pencegahan salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Al-Dubai
dkk (2013) yang dilakukan di Malaysia.
Terdapat kecenderungan yang dapat diperhatikan pada tabulasi silang
antara sikap negatif dengan praktik bahwa persentase responden dengan sikap
negatif semakin banyak pada tingkat praktik yang lebih rendah. Hal ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahmaditia (2011) yang menemukan
bahwa pada praktik pencegahan yang tidak baik ditemukan lebih banyak
responden dengan sikap buruk (84%) dibandingkan dengan responden dengan
praktik baik (16%). Penelitian tersebut juga menyebutka bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara sikap dan praktik pencegahan, selain itu
Suherman (2007) juga menyatakan hal yang sama. Namun kecenderungan
demikian tidak ditemukan pada tabulasi silang responden dengan sikap positif
dengan praktik keluarga, responden dengan sikap positif kebanyakan memiliki
praktik responden yang cukup (54,1%) diikuti oleh praktik responden yang
kurang (26,2%) dan yang paling sedikit adalah responden dengan praktik keluarga
yang baik (19,7%).
Pernyataan yang paling banyak dijawab dengan pilihan jawaban
‘tidak’diantara keempat pernyataan yang paling kebanyakan diisi dengan pilihan
jawaban ‘tidak’ adalah pernyataan tentang memelihara ikan pemakan jentik lalu di
susul dengan pernyataan memasang kawat kasa pada ventilasi udara dan
kemudian memberikan bubuk abate pada bak air yang tidak dapat dikuras dengan
baik selama sekali dua bulan. Memelihara ikan pemakan jentik juga merupakan
praktik yang paling banyak tidak dilaksanakan oleh responden pada penelitian
Hidayah (2009) setelah praktik tidak menggantung pakaian kotor di belakang
pintu. Wong dkk (2015) juga menemukan bahwa praktik menggunakan jaring
antinyamuk di jendela merupakan praktik urutan kedua yang paling sedikit,
namun pelaksanaan praktik tentang menggunakan bubuk abate pada penelitian
tersebut lebih banyak dibanding hasil pada penelitian ini yaitu 46,8 meskipun
tetap saja lebih banyak yang tidak melaksanakan praktik pencegahan tersebut
dibanding yang melaksanakannya.
Terdapat enam pernyataan yang kebanyakan terisi dengan pilihan jawaban
‘ya’ dalam kuesioner praktik, namun persentasenya tidak melebihi angka 65%.
Pernyataan yang paling banyak diisi dengan pilihan jawaban ‘ya’ adalah
pernyataan tentang memantau semua wadah air atau yang dapat menampung air
seminggu sekali. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Hidayah (2009) yang menemukan bahwa praktik yang paling
banyak dilaksanakan oleh responden penelitian tersebut adalah praktik tentang
menyemprotkan insektisida atau memasang obat nyamuk bakar atau
menggunakan kelambu saat tidur (93,2%), juga berbeda dengan peelitian yang
dilakukan oleh Wong dkk (2015) yang menemukan bahwa praktik yang paling
banyak dilaksanakan adalah tentang membersihkan area sekeliling rumah
(97,6%).

BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada penelitian “Gambaran
Tingkat Pengetahuan, Sikap dan Praktik tentang Pencegahan Demam Berdarah di
Wilayah Kerja Puskesmas Bebandem”, diperoleh simpulan sebagai berikut:
1. Tingkat pengetahuan responden tentang pencegahan demam berdarah
di wilayah kerja Puskesmas Bebandem kebanyakan adalah sedang
2. Responden di wilayah kerja Puskesmas Bebandem kebanyakan
memiliki sikap positif terhadap pencegahan demam berdarah
3. Responden di wilayah kerja Puskesmas Bebandem kebanyakan
memiliki praktik keluarga yang cukup tentang pencegahan demam
berdarah
4. Tingkat pengetahuan rendah cenderung memiliki sikap negaif
5. Tingkat pengetahuan ketika di tabulasi silang dengan praktik tidak
memiliki kecenderungan tertentu
6. Responden dengan sikap negatif cenderung memiliki praktik keluarga
yang kurang

6.2 Saran
1. Bagi pemerintah , diharapkan dapat membantu masyarakat dalam upaya
pencegahan demam berdarah dengue dengan melakukan pemberian bubuk
abate setiap 2-3 bulan sekali.
2. Bagi peniliti, diharapkan untuk memperkuat validitas hasil penelitian
dengan memperjelas cara pemilihan sampel dan teknik pengambilan
sampel serta memperpanjang waktu penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Akhmadi, Ridha MR, Marlinae L, Setyaningtyas DE. 2012. Hubungan


Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Masyarakat terhadap Demam Berdarah
Dengue di Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Jurnal Buski.
Vol.4,No.1.Hal 7-13.

Al-Dubai, S.A., K. Ganasegeran, A.M. Rahman, M.A. Alshagga and R. Saif-Ali.


2013. Factors affecting dengue fever knowledge, attitudes and practices
among selected urban, semi-urban and rural communities in Malaysia.
Southeast Asian J. Trop. Med. Public Health, 44: 37-49.

Bahtiar Y. 2012. Hubungan Pengetahuan dan Sikap Tokoh Masyarakat dengan


Perannya dalam Pengendalian Demam Berdarah di Wilayah Puskesmas
Kawalu Kota Tasikmalaya. Vol.4,No.2.Hal 73-84.

Candra A. 2010.Demam Berdarah Dengue:Epidemiologi, patogenesis,dan faktor


Risiko Penularan.Vol.2,No.2.Hal 110-119.

Centers for Disease Control and Prevention. 2010. Dengue Atlanta:Centers for
Disease Control and Prevention. [Online] Tersedia di:
http//www.cdc.gov/dengue/epidemiology/index.html [diunduh:21 maret
2016 ]

Darmadi, Hamid. 2011. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Dinas Kesehatan Provinsi Bali. 2014. Profil Kesehatan provinsi Bali. [Online].
Tersedia di:
http://www.diskes.baliprov.go.id/files/subdomain/diskes/Info%20Jibang/P
rofil%20Kesehatan/Profil%20Kesehatan%202014.pdf [diunduh:21 Maret
2016]

Dinas Kesehatan. 2011. Meningkatkan Derajat Kesehatan Melalui Pendidikan


Kesehatan. [online] Tersedia di:
http://www.dinkes-kotasemarang.go.id/?p=berita_mod&j=lihat&id=43
[diunduh tanggal: 4 April 2011]

Gubler DJ. 2002. Epidemic dengue/dengue hemorrhagic fever as a public health,


social and economic problem in the 21st century. Trends Microbiol Vol.
10, p100–103.

Hanim D. 2013. Program Pengendalian Penyakit menular Demam Berdarah


Dengue. Surakarta:Fakultas Kedokteran UNS.Hal 1-51.

Hutapea,B.2007. Perilaku Masyarakat Mengenai DBD di kelurahan Gung Negari


Kecamatan Kabanjahe Karo Tahun 2007. Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara.
Itrat A. dkk. 2008. Knowledge, Awareness and Practices Regarding Dengue Fever
Among the Adult Population of Dengue Hit Cosmopolitan. Plus One.
Vol.3,No.7.

Kemenkes RI. 2011. Informasi Umum DBD 2011. [Online] Tersedia di:
http://www.pppl.depkes.go.id/_asset/_download/INFORMASI_UMUM_D
BD_2011.pdf [diunduh: 15 Maret 2016]

Kemenkes RI. 2015. Rencana Strategis Kementrian Kesehatan tahun 2015-2019.


Jakarta: Kemenkes RI.

Kusumawardani E. 2012. Pengaruh Penyuluhan Kesehatan Terhadap Tingkat


Pengetahuan, Sikap, dan Praktek Ibu dalam pencegahan Demam Berdarah
Dengue.[Skripsi].Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Marini,D.2009.Gambaran Pengetahuan,Sikap dan Tindakan mengenai DBD pada


keluarga di Kelurahan Padang Bulan tahun 2009.Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.Medan.

Mudzakir,M.2014.Pengetahuan tentang Demam Berdarah Dengue (DBD) di Desa


Kedungsari Kecamatan Tarokan Kabupaten Kediri.Vol.1.Hal 24-28.

Murray NE, Quam MB, Wilder-Smith A. 2013. Epidemiology of dengue: Past,


present and future prospects. Clin Epidemiol. Vol. 5, p599-309.

Notoadmodjo. 2003. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat Cet. Ke-2.


Jakarta: Rineka Cipta.

Nuryanti E. 2013. Perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk di Masyarakat. Jurnal


Kesehatan Masyarakat. Vol.9,No.1.Hal 15-23.

Pangemanan J. Nelwan J. 2010. Perilaku Masyarakat tentang Program


Pemberantasan Penyakit DBD di Kabupaten Minahasa Utara. [Skripsi].
Manado: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi.

Pangribowo S dan Tryadi A. 2010. Jendela Epidemiologi Vol. 2 Agustus. Jakarta:


Pusat data dan surveilans epidemiologi Kemenkes RI .

Pratamawati, DA. 2012.Peran Juru Jentik dalam Sistem Kewaspadaan Demam


Berdarah Dengue di Indonesia.Jurnal Kesehatan Masyarakat.Vol.6,No.6.

Rahmaditia, T. 2011. Hubungan Pengetahuan dan Sikap Ibu terhadap Tindakan


Pencegahan Demam Berdarah Dengue pada Anak (di Wilayah Kerja
Puskesmas Tlogosari Wetan Kota Semarang).[Skripsi].Semarang: Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro.

Santoso, Budiyanto A. 2008. Hubungan Pengetahuan Sikap dan Perilaku (PSP)


Masyarakat terhadap Vektor DBD di Kota Palembang Provinsi Sumatera
Selatan. Jurnal Ekologi Kesehatan. Vol.7,No.2.Hal 732-739

Shuaib, F., D. Todd, D. Campbell-Stennett, J. Ehiri and P.E. Jolly.


2010. Knowledge, attitudes and practices regarding dengue infection in
Westmoreland, Jamaica. West Indian Med. J., 59: 139-146.

Sigalingging,G.2011.Gambaran Pengetahuan Keluarga penderita DBD tentang


Pencegahan Penyakit DBD di Puskesmas Simpang Limun Medan tahun
2011. Universitas Darma Agung.Medan.

Sigarlaki, HJO. 2007. Karakteristik Pengetahuan dan Sikap Ibu terhadap Penyakit
Demam Berdarah Dengue.Berita Kedokteran
Masyarakat.Vol.23.Hal:148-153.

Suhardiono. 2005. Sebuah Analisis Faktor Risiko Perilaku Masyarakat Terhadap


Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Kelurahan Helvetia
Tengah,Medan Tahun 2005. Mutiara Kesehatan Indonesia. Vol.1.Hal
48-65.

Suherman E. 2007. Hubungan Pengetahuan dan Sikap Kepala Keluarga (KK)


terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit Demam Berdarah Dengue (di
RW 22 Kelurahan Sungai Beliung Kota Pontianak). [Skripsi]. Semarang:
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Supriyanto. 2011. Hubungan atara pengetahuan, sikap, praktek keluarga tentang


pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dengan kejadian Demam Berdarah
Dengue di wilayah kerja puskesmas Tlogosari Wetan kota Semarang.
[Artikel Karya Tulis Ilmiah] Semarang: Universitas Diponegoro.

Wahid, A. 2007. Promosi Kesehatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Wawan A, Dewi M. 2011. Teori dan Pengukuran Pengetahuan, Sikap, dan


Perilaku Manusia. Jakarta: Nuha Medika.

WHO. 2011. Comprehensive guidelines for prevention and control of dengue and
dengue haemorrhagic fever. New Delhi: WHO- Regional office for South
East Asia.
Widodo N.P. 2012. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Demam
Berdarah Dengue (DBD) di Kota Mataram Provinsi Nusa Tenggara Barat
Tahun 2012.[Tesis].Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Wong LP, Shakir SM, Atefi N, AbuBakar S. 2015. Factors Affecting Dengue
Prevention Practices: Nationwide Survey of the Malaysian Public. Plos
One 10(4).

World Health Organization. 2010. Situation Update Of Dengue In the SEA


Region,2010. World Health Organization South-East Asian Region
[Internet]. Tersedia di:
http://www.searo.who.int/LinkFiles/Dengue_Dengue_update_SEA_2010.
pdf. [diunduh:21 Mart 2016 ]
Lampiran 1. Kuesioner Penelitian

No. Responden:
INFORMED CONSENT
PENELITIAN “Gambaran Tingkat Pengetahuan, Sikap dan Praktik tentang
Pencegahan Demam Berdarah Dengue di Wilayah Kerja Puskesmas
Bebandem”

Setelah mendengar penjelasan dari peneliti (secara lisan dan tertulis) mengenai
tujuan, manfaat, dan risiko bagi subyek penelitian, bersama ini saya:
Nama :…………………………………………………………
Umur :………………tahun/ Jenis kelamin: ………………….
Alamat :…………………………………………………………
No. Telp/ HP :…………………………………………………………
Menyatakan bersedia secara sukarela dan mematuhi semua prosedur sebagai
subyek penelitian.

Bila suatu saat saya ada dalam kondisi yang tidak memungkinkan mengikuti
semua prosedur penelitian, atau merasa dirugikan, maka saya berhak
mengundurkan diri sebagai subyek penelitian.

Demikian pernyataan ini saya buat untuk dapat dipergunakan sebagai mana
mestinya.

Kecicang Islam, Maret 2016


Nama dan tanda tangan subyek penelitian

(…………………………………………..)

No. Responden:
IDENTITAS RESPODEN

Tempat dan Tanggal


1.
Lahir
2. Usia
3. Jenis Kelamin
IRT
Wiraswasta
Buruh
4. Pekerjaan PNS
Karyawan Swasta
TNI
Polisi
5. Tingkat pendidikan Tidak bersekolah
terakhir* SD
SMP
SMA
Diploma
Sarjana
6. Pernah mendapatkan
informasi mengenai Ya
demam berdarah (DBD)
dan atau pencegahan Tidak
DBD sebelumnya?
7. Jika pernah, dari mana Teman
saja? Petugas Kesehatan
Koran atau majalah
Televisi atau radio
dll (sebutkan)…………
8. Pada tahun 2015 sudah
berapa kali menerima
kunjungan pemeriksaan
jentik?
9. Pada tahun 2015 sudah
berapa kali rumah
Bapak/Ibu di fogging?
No. Responden:

KUESIONER TINGKAT PENGETAHUAN


Benar Salah
1. Penyebab DBD (Demam Berdarah Dengue) adalah virus.
2. Gigitan nyamuk merupakan sumber penularan DBD.
3. Jenis nyamuk yang menularkan DBD adalah Anopheles.
4. Ciri nyamuk DBD adalah sayap dan badannya belang-belang
atau bergaris-garis putih.
5. Nyamuk DBD berkembang biak di air yang kotor
6. Tanda atau gejala awal penderita DBD ialah demam tinggi
dan bintik-bintik merah.
7. Tindakan pertolongan pertama pada pasien DBD dirumah
adalah dengan minum yang banyak.
8. DBD tidak dapat dicegah.
9. Fogging merupakan upaya untuk membasmi jentik nyamuk.
10 Program 3M merupakan upaya pencegahan DBD
.
11 Menguras tempat penampungan air merupakan bagian dari
. program 3M.
12 Program 3M meliputi meyikat, mengubur, dan menutup.
.
13 Program 4M meliputi program 3M ditambah dengan
. memantau.
14 Abatisasi (pemberian bubuk abate) merupakan upaya
. pemberantasan jentik nyamuk.
15 Upaya untuk memutus rantai penularan DBD ialah dengan
. memberantas sarang nyamuk.
16 Penerapan program 4M dan abatisasi dapat menurunkan
. angka kesakitan DBD.
No. Responden:
KUESIONER SIKAP RESPONDEN

Sangat
Sangat Tidak
Setuju tidak
setuju setuju
setuju
1. Pemakaian lotion anti nyamuk hanya digunakan
saat malam hari saja
2. Barang bekas tempat penampungan air hujan
sebaiknya dibiarkan saja
3. Menguras bak mandi jika sudah kotor saja
4. Air pada vas bunga tidak perlu diganti
5. Pakaian lebih baik digantung didalam ruangan atau
kamar
6. Saya rutin melakukan kegiatan 4M
7. Tempat yang dapat menampung air tidak perlu
ditutup
8. Genangan air di likungan rumah sebaiknya
dibiarkan saja
9. Tidur menggunakan kelambu dapat mengurangi
gigitan dari nyamuk
10. Penggunaan bubuk abate saya gunakan pada
tempat penampungan air yang susah saya jangkau
untuk dibersihkan

No. Responden:
KUESIONER PRAKTIK

No. Praktik responden terhadap pencegahan DBD Ya Tidak


1 Menutup bak penampungan air
2 Memberikan bubuk abate pada bak air yg tidak dapat dikuas dengan
baik sekali dua bulan
3 Menguras bak penampungan air minimal satu minggu sekali
4 Memantau semua wadah air atau yang dapat menampung air
seminggu sekali
5 Memasang kawat kasa pada ventilasi udara
6 Tidak membiarkan pakaian kotor bergantungan di belakang pintu
7 Memelihara ikan pemakan jentik
8 Menyemprotkan insektisida atau memasang obat nyamuk bakar atau
menggunakan kelambu saat tidur atau menggunakan baju lengan
panjang atau lotion antinyamuk secara rutin
9 Menelungkupkan barang bekas seperti ember bekas dan kaleng bekas
10 Tidak membuang sampah plastik, keramik, kaleng dll yang
berpotensi menampung air bekas sembarangan

Lampiran 2. Dokumentasi

Gambar 1. Responden sedang melakukan pengisian angket kuesioner tentang


tingkat pengetahuan dan sikap yang ditemani oleh peneliti (sedang
mengambil gambar)
Gambar 2 dan 3. Responden sedang melakukan pengisian lembar inform consent
dan identitas responden ditemani oleh peneliti (sedang mengambil gambar)

Anda mungkin juga menyukai