Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tingginya kasus kesakitan dan kematian ibu di banyak Negara


berkembang terutama disebabkan oleh perdarahan persalinan, eklamsia,
sepsis, dan komplikasi keguguran. Sebagian besar penyebab utama kesakitan
dan kematian ibu tersebut sebenarnya dapat dicegah melalui upaya
pencegahan yang efektif. Asuhan kesehatan ibu selama dua dasawarsa terakhir
terfokus kepada : keluarga berencana untuk lebih mensejahterakan anggota
masyarakat. Asuhan neonatal trfokus untuk memantau perkembangan
kehamilan mengenai gejala dan tanda bahaya, menyediakan persalinan dan
kesediaan menghadapi komplikasi. Asuhan pasca keguguran untuk
penatalaksaan gawat darurat keguguran dan komplikasinya serta tanggap
terhadap kebutuhan pelayanan kesehatan reproduksi lainnya.

Persalinan yang bersih dan aman serta pencegahan kajian dan bukti
ilmiah menunjukan bahwa asuhan persalinan bersih, aman dan tepat waktu
merupakan salah satu upaya efektif untuk mencegah kesakitan dan kematian.
Penatalaksanaan komplikasi yang terjadi sebelum, selama dan setelah
persalinan. Dalam upaya menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu perlu
diantisipasi adanya keterbatasan kemampuan untuk menatalaksanakan
komplikasi pada jenjang pelayanan tertentu. Kompetensi petugas, pengenalan
jenis komplikasi dan ketersediaan sarana pertolongan menjadi penentu bagi
keberhasilan penatalaksanaan komplikasi yang umumnya akan selalu berada
menurut derajat keadaan dan tempat terjadinya. Tidak sedikit ibu dan bayinya
mengalami kegawatdaruratan dan sampai pada akhirnya tak dapat
terselamatkan yang pada akhirnya menyebabkan meningkatnya angak
kematian ibu dan anak. Akan tetapi hal tersebut dapat diminimalisir dengan
asuhan persalinan.

1
Asuhan persalinan kala I, II, III, dan IV memegang kendali penting
pada ibu selama persalinan karena dapat membantu ibu dalam mempermudah
proses persalinan, membuat ibu lebih yakin untuk menjalani proses persalinan
serta untuk mendeteksi komplikasi yang mungkin terjadi selama persalinan
dan ketidaknormalan dalam proses persalinan. Untuk itu kami bermaksud
membuat makalah ini dengan tujuan menyelesaikan tugas Asuhan Kebidanan
2 dan dapat membantu para ibu dalam mempersiapkan proses persalinan yang
lebih baik.

Pada makalah ini penulis membahas deteksi dini komplikasi dan


penanganan awal kegawatdaruratan persalinan kala III mengenai retensio
plasenta, avulsi tali pusat, inversion uteri, dan syok yang mungkin terjadi pada
kala III persalinan.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas, maka didapat rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana retensio plasenta itu?

2. Bagaimana Avulsi tali pusat itu?

3. Bagaimana inversio plasenta itu?

4. Bagaimana syok hemoragik itu?

1.3 Tujuan

Dari rumusan masalah diatas, maka didapat tujuan penulisan makalah sebagai
berikut :

1. Untuk mengetahui tentang retensio plasenta.

2. Untuk mengetahui tentang avulsi tali pusat.

3. Untuk mengetahui tentang inversio plasenta.

2
4. Untuk mengetahui tentang syok hemoragik.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Retensio Plasenta


1. Definisi Retensio Plasenta

Retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta hingga


atau lebih dari 30 menit setelah bayi lahir. Hampir sebagian besar
gangguan pelepasan plasenta disebabkan oleh gangguan kontraksi uterus.

2. Klasifikasi :

Retensio plasenta terdiri dari beberapa jenis, antara lain :

a. Plasenta adhesive
Palsenta adhesive adalah implantasi yang kuat dari jonjot korion
plasenta sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme separasi
fisiologis.
b. Plasenta akreta
Plasenta akreta adalah implatasi jonjot korion plasenta hingga
mencapai sebagian lapisan myometrium.
c. Plasenta inkreta
Plasenta inkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga
mencapai atau melewati lapisan myometrium.
d. Plasenta prekreta
Plasenta prekerta adaah implantasi jonjot korion plasentan yang
menembus lapisan myometrium hingga mencapai lapisan serosa
dinding uterus.
e. Plasenta inkarserata
Plasenta inkarserata adalah tertahannya plasenta di dalam kavum
uteri, disebabkan oleh konstriksi ostium uteri.
Tabel gambaran dan dugaan penyebab retensio plasenta:

Gejala Separasi atau Plasenta Plasenta akreta


akreta parsial inkarserata
Konsistensi Kenyal Keras Cukup
uterus
Tinggi fundus Sepusat 2 jari bawah Sepusat
pusat

4
Bentuk uterus Discoid Agak globuler Discoid
Perdarahan Sedang banyak Sedang Sedikit/tidak ada
Tali pusat Terjulur Terjulur Tidak terjulur
sebagian
Ostium uteri Terbuka Konstriksi Terbuka
Seperasi plasenta Lepas sebagian Sudah lepas Melekat
seluruhnya

Syok Sering Jarang Jarang sekali

3. Penatalaksanaan:
1) Retensio Plasenta Dengan Separasi Parsial
1. Tentukan jenis retensio yang terjadi karena berkaitan dengan
tindakan yang akan diambil.
2. Regangkan tali pusat dan minta pasien untuk mengedan. Bila
ekspulsi plasenta tidak terjadi, coba traksi terkontrol tali pusat.
3. Pasang infus oksitosin 20 IU dalam 500 mL NS/RL dengan 40
tetes per menit. Bila perlu, kombinasikan dengan misoprostol 400
mg per rektal (sebaiknya tidak menggunakan ergometrin karena
kontraksi tonik yang timbul dapat menyebabkan plasenta
terperangkap dalam kavum uteri).
4. Bila teraksi terkontrol gagal untuk melahirkan plasenta lakukan
manual plasenta secara hati-hati dan halus untuk menghindari
terjadinya perforasi dan perdarahan.
5. Lakukan transfusi darah apabila diperlukan.
6. Beri antibitotika profilaksis (ampisilin 2 g IV/oral + metronidazole
1 g supositorial/oral).
7. Segera atasi bila terjadi komplikasi perdarahan hebat, infeksi, syok
neurogenic.
2) Plasenta Inkarserata
1. Tentukan diagnosis kerja melalui anamnesis, gejala klinik dan
pemeriksaan.
2. Siapkan peralatan dan bahan yang dibutuhkan untuk
menghilangkan kontriksi serviks dan melahirkan plasenta.
3. Pilih fluethane atau eter untuk konstriksi serviks yang kuat,
siapkan infus oksitosin 20 IU dalam 500 ml NS/RL dengan 40
tetes per menit untuk mengantisipasi gangguan kontraksi yang
diakibatkan bahan anestesi tersebut.
4. Bila prosedur anestesi tidak tersedia dan serviks dapat dilalui
cunan ovum, lakukan maneuver sekrup untuk melahirkan plasenta.

5
Untuk prosedur ini diberikan analgesic (tramadol 100 mg IV atau
pethidine 50 mg IV) dan sedatif (diazepam 5 mg IV) pada tabung
suntik yang terpisah.
5. Maneuver sekrup:
a) Pasang speculum sims sehingga ostium sebagian plasenta
tampak dengan jelas.
b) Jepit porsio dengan klem ovarium pada jam 12,4 dan 8
kemudian lepaskan speculum.
c) Tarik ketiga klem ovarium agar ostium, tali pusat dan
plasenta tampaklebih jelas.
d) Tarik tali pusat ke lateral sehingga menampakkan plasenta
di sisi berlawanan agar dapat dijepit sebanyak mungkin.
Minta asisten untuk memegang klem tersebut.
e) Lakukan hal yang sama untuk plasenta pada sisi yang
berlawanan.
f) Satukan kedua klem tersebut kemudian sambil diputar
searah jarum jam, Tarik plasenta keluar perlahan-lahan
melalui pembukaan ostium.

6. Pengamatan dan perawatan lanjutan meliputi pemantauan tanda


vital, kontraksi uterus, tinggi fundus uteri, dan perdarahan pasca
tindakan. Tambahan pemantauan yang diperlukan adalah
pemantuan efek samping atau komplikasi dari bahan-bahan
sedative analgetika atau anestesi umum misalnya: mual, muntah,
hipo/atonia uteri, pusing, fertigo, halusinasi, mengantuk.
3) Plasenta Akreta
1. Tanda penting untuk diagnosis pada pemeriksaan luar adalah
ikutnya fundus atau korvus bila tali pusat ditarik. Pada
pemeriksaan dalam sulit ditentukan tepi plasenta karena implantasi
yang dalam.
2. Upaya yang dapat dilakukan pada fasilitas kesehatan dasar adalah
menentukan diagnosis stabilisasi pasien dan rujuk ke rumah sakit
rujukan karena kasus ini memerlukan tindakan operatif.

4) Sisa Plasenta
1. Penemuan secara dini, hanya dimungkinkan dengan melakukan
pemeriksaan kelengkapan plasenta setelah melahirkan. Pada kasus
sisa plasenta dengan perdarahan pasca persalinan lanjut, sebagian
besar pasien akan kembali lagi ketempat bersalin dengan keluhan

6
perdarahan setelah beberapa hari pulang ke rumah dan sub involusi
uterus.
2. Berikan antibiotika karena perdarahan juga merupakan gejala
metritis. Antibiotika yang dipilih adalah ampisilin dosis awal 1g IV
dilanjutkan 3x1 g oral dikombinasi dengan metronidazole 1 g
supositorial dilanjutkan 3 x 500 mg oral.
3. Lakukan eksplorasi digital (bila serviks terbuka) dan mengeluarkan
bekuan darah atau jaringan. Bila serviks hanya dapat dilalui oleh
instrument, lakukan evakuasi sisa plasenta dengan dilakukan dan
kuretase.
4. Bila kadar Hb <8 g/dL berikan transfusi darah. Bila kadar Hb ≥ 8
g/dL, berikan sulfas ferosus 600 mg/hari selama 10 hari.
5) Manual Plasenta
Indikasi pelepasan plasenta secara manual adalah pada keadaan
perdarahan pada kala tiga persalinan kurang lebih 400 cc yang tidak
dapat dihentikan dengan uterotonika dan masase, retensio plasenta
setelah 30 menit anak lahir, setelah persalinan buatan yang sulit seperti
forsep tinggi, versi ekstraksi, perforasi, dan dibutuhkan untuk
eksplorasi jalan lahir dan tali pusat putus.
Teknik Plasenta Manual:
1. Sebelum dikerjakan, penderita disiapkan pada posisi litotomi.
Keadaan umum penderita diperbaiki sebesar mungkin, atau di
infus NaCl atau ringer laktat. Anestesi diperlukan kalau ada
constriction ring dengan memberikan suntikan diazepam 10 mg
intramuscular. Anestesi ini berguna untuk mengatasi rasa nyeri.
Operator berdiri atau duduk di hadapan vulva dengan salah satu
tangannya (tangan kiri) meregang tali pusat, tangan yang lain
(tangan kanan) dengan jari-jari dikuncupkan membentuk kerucut.
2. Dengan ujung jari menelusuri tali pusat sampai plasenta. Jika pada
waktu melewati serviks dijumpai tahanan dari lingkaran
kekejangan (constriction ring), ini dapat diatasi dengan
mengembangkan secara perlahan-lahan jari tangan yang
membentuk kerucut tadi. Sementara itu, tangan kiri diletakkan di
atas fundus uteri dari luar dinding perut ibu sampai menahan atau
mendorong fundus itu ke bawah. Setelah tangan yang di dalam
sampai ke plasenta. Pada perdarahan kala tiga, biasanya telah ada
bagian pinggir plasenta yang terlepas.
3. Melalui celah tersebut, selipkan bagian luar dari tangan yang
berada di dalam antara dinding uterus dengan bagian plasenta yang
telah terlepas itu. Dengan gerakan tangan seperti mengikis air,
plasenta dapat dilepaskan seluruhnya (kalau mungkin), sementara
tangan yang diluar tetap menahan fundus uteri supaya jangan ikut

7
terdorong ke atas. Dengan demikian, kejadian robekan uterus
(perforasi) dapat dihindarkan.
4. Setelah plasenta berhasil dikeluarkan lakukan eksplorasi untuk
mengetahui kalau ada bagian dinding uterus yang robek atau
bagian plasenta yang tersisa. Pada waktu eksplorasi sebaiknya
sarung tangan diganti dengan yang baru. Setelah plasenta keluar,
gunakan kedua tangan untuk memeriksanya, dan lakukan masase
uterus. Lakukan insfeksi dengan speculum untuk mengetahui ada
tidaknya laserasi pada vagina atau serviks dan apabila ditemukan
segera di jahit.

2.2 Avulsi Tali Pusat


1. Definisi Avulsi Tali Pusat
Avulsi tali pusat adalah putusnya tali pusat atau tali pusat terlepas dari
tempat implantasinya.
2. Tanda dan gejala : avulsi tali pusat yaitu tali pusat putus, plasenta tidak
lahir.
3. Penyebab : otot pada miometrium terlentang kuat melampaui kebebasan
kemampuan jangkauan gerak, atau ketika bertemu dengan resistensi tiba-
tiba atau mendadak ketika melakukan kontraksi kuat.
4. Penatalaksaan :
1) Palpasi uterus untuk menilai kontraksi, meminta ibu meneran pada
setiap kontraksi.
2) Saat plasenta terlepas, lakukan priksa dalam (hati-hati). Jika
mungkin cari tali pusat dan keluarkan plasenta dari vagina sambil
melakukan tekanan dorso-kranial.
2.3 Inversio Plasenta

1. Definisi Inversio Uteri

Inversio uteri adalah suatu kejadian terbaliknya uterus bagian dalam ke


arah luar, sehingga bagian fundus uteri dipaksa melalui serviks dan
menonjol ke dalam atau keluar dari vagina.

2. Klasifikasi Inversio Uteri

Inversio Uteri dapat diklasifikan menurut beberapa kriteria, yaitu


berdasarkan hubungan dengan kehamilan, durasi, dan derajat inversio.

8
Pada tahun 1951, Jones mengklasifikasikan inversio uteri menurut
hubungannya dengan kehamilan, menjadi :

1. Inversio uteri paska persalinan atau inversio uteri obstetri

Inversio uteri obstetri merupakan inversio uteri yang terjadi setelah


persalinan, keguguran, terminasi kehamilan, atau terjadi dalam 6
minggu setelah persalinan maupun keguguran. Inversio uteri obstetri
dapat terjadi paska persalinan pervaginam maupun paska seksio
cesaria.

Menurut durasi, inversion uteri pasca persalinan diklasifikasikan


menjadi :

a. Inversio uteri akut

Inversio uteri akut merupakan inversion uteri yang terdiagnosa


dalam 24 jam setelah persalinan, dapat dengan atau tanpa
penyempitan serviks.

b. Inversio uteri subakut

Inversio uteri subakut merupakan inversion uteri yang


terdiagnosa lebih dari 24 jam namun kurang dari 4 minggu
setelah persalinan, selalu disertai dengan penyempitan serviks.

c. Inversio uteri kronis

Inversio uteri kronis merupakan inversion uteri yang telah


terjadi selama 4 minggu atau lebih.

2. Inversio uteri bukan pasca persalinan atau inversio uteri


ginekologi

Merupakan inversio yang terjadi pada uterus non-gravida. Pada


umumnya terjadi akibat proses primer di uterus, seperti fibroid (sering

9
akibat mioma submukosa), sarcoma dan kanker endometrium namun
bisa juga idiopatik.

a. Menurut onset dan evolusinya, inversion uteri ginekologi


dibedakan menjadi :

1) Inversio uteri akut

Tanda dan gejala klinis inversio uteri akut lebih jelas, yaitu
berupa nyeri berat dan perdarahan.

2) Inversio uteri kronis

Inversio uteri kronis ditandai dengan rasa tidak nyaman di


pelvis, leukorea, perdarahan pervaginam, anemia dan nekrosis
pada jaringan uterus.

b. Menurut derajat inversion, beberapa peneliti membedakan


menjadi 4 kelompok sebagai berikut :

1) Inversio uteri derajat I (Inkomplit)

Inversio uteri derajat I merupakan inversion uterus dimana


korpus terbalik ke arah serviks, namun belum mencapai cincin
serviks.

2) Inversio uteri derajat II (Inkomplit)

Inversio uteri derajata II merupakan inversio uterus melewati


cincin serviks, namun belum mencapai perineum.

3) Inversio uteri derajat III (Komplit)

Inversio uteri derajat III merupakan inversio uterus komplit,


dimana inversi fundus uteri mencapai perineum.

4) Inversio Uteri derajat IV (Total)

10
Inversio uteri derajat IV merupakan inversio uterus disertai
dengan inversi vagina.

3. Etologi dan Faktor Resiko Inversio Uteri

Manajemen kala III yang salah (tarikan tali pusat yang terlalu dini dan
penekanan fundus sebelum plasenta terlepas) merupakan penyebab
tersering inversion uteri. Hal ini bisa terjadi bila persalinan dipimpin oleh
petugas yang tidak terlatih. Selain itu, faktor resiko terjadinya inversio
uteri antara lain, primipara, implantasi plasenta di fundus, plasenta
adhesive, atonia uteri, bayi makrosomia, penggunaan MgSO4,
abnormalitas uterus, manual plasenta, tali pusat pendek, plasenta previa.
50% kejadian inversio uteri, tidak ditemukan faktor resiko dan tidak ada
kesalahan dalam manajemen kala III. Sehingga inversio uteri merupakan
kejadian yang tidak dapat diprediksi.

4. Patofisiologis Inversio Uteri

Ada 3 hal yang menjadi dasar terjadinya inversio uteri akut, yaitu :

1. Suatu bagian dinding uterus prolapse melalui serviks yang terbuka,


atau melipat ke depan

2. Relaksasi sebagian dinding uterus

3. Tarikan stimulant ke arah bawah dari fundus uteri

Secara klinis, faktor penting yang mempermudah terjadinya inversio


uteri adalah implantasi plasenta plasenta di fundus, kelemahan
myometrium di sekitar tempat implantasi dan adanya serviks
postpartum yang terbuka. Pada kasus tertentu, tali pusat yang pendek
atau kesalahan penanganan kala III dengan penarikan tali pusat tidak
terkendali mempermudah terjadinya inversio uteri. Jika uterus tetap
lembek, segera setelah persalinan ditambah dengan implantasi plasenta

11
di fundus, terjadinya lekukan fundus mudah terjadi. Dengan
mekanisme yang unik, kelemahan myometrium ini (ditambah dengan
penarikan tali pusat tidak terkendali) menyebabkan fundus melekuk
dengan atau tanpa adanya plasenta yang masih melekat. Hal ini
menyebabkan terjadinya inversio uteri.

Pengalaman dari penerapan manajemen aktif kala III menekankan


pentingnya tonus uteri segera setelah kelahiran bayi sebagai penyebab
inversio uteri. Hal ini ditunjang dengan adanya penurunan kejadian
inversio setelah penerapan manajemen aktif kala III. Perbedaan
penting manajemen aktif kala III dibandingkan proses persalinan
normal adalah pemberian oksitosin segera setelah kelahiran bayi,
sebelum tampak tanda-tanda pelepasan plasenta. Penggunaan
oksitosin, sepertinya menjaga tonus myometrium dan efek inilah yang
mungkin menurunkan kejadian inversio uteri.

5. Penanganan Inversio Uteri

Prinsip penatalaksanaan inversio uterus adalah kontrol perdarahan dan


stabilisasi kondisi hemodinamik pasien secara cepat. Hal ini dilakukan
dengan resusitasi cairan, transfusi darah, dan reposisi uterus. Tujuan dari
tata laksana inversio uterus adalah mengembalikan uterus pada posisi
selama, menatalaksana perdarahan post partum dan syok, dan mencegah
inversio rekuren.

Tata laksana awal inversio uterus harus dilakukan secara cepat untuk
mencegah risiko kematian pada pasien. Penanganan awal pasien inversio
uterus bertujuan untuk menstabilkan hemodinamik pasien. Berikut ini
merupakan penanganan awal inversio uterus:

1. Persiapan operasi cito. Tindakan operatif umumnya diperlukan apabila


reposisi manual tidak berhasil

12
- Stabilisasi hemodinamik dengan resusitasi cairan

- Jangan melepaskan plasenta sebelum uterus dalam posisi normal

- Pemberhentian obat uterotonik, karena posisi relaksasi uterus


dibutuhkan untuk tindakan reposisi

Stabilisasi hemodinamik dilakukan dengan pemasangan dua jalur


intravena dengan ukuran kateter intravena besar, minimal 16 gauge,
secara cepat. Setelah itu, segera lakukan resusitasi menggunakan
cairan kristaloid. Pengambilan darah juga dapat dilakukan untuk
pemeriksaan tes laboratorium, seperti pemeriksaan darah lengkap,
studi koagulasi, dan golongan darah serta rhesus untuk persiapan
transfusi darah.

2. Tokolisis

Agen tokolitik dapat diberikan sebelum dilakukannya tindakan


nonsurgikal maupun surgikal. Agen tokolitik memiliki efek relaksasi
uterus yang memudahkan reposisi uterus. Berikut ini merupakan
beberapa agen tokolitik yang dapat diberikan pada pasien inversio
uterus:

- Magnesium sulfat 4-6 gram IV selama 15 - 20 menit

- Nitrogliserin 50 mcg IV secara perlahan yang diikuti dengan dosis


tambahan 50 mcg maksimal 4 dosis sampai relaksasi uterus
tercapai

- Terbutaline 0,25 mg IV secara perlahan

13
Salah satu efek samping tokolisis adalah dapat memperberat
perdarahan postpartum sehingga klinisi harus berhati-hati dalam
pemberian obat ini.

3. Reposisi Nonsurgikal

Sebagai bagian dari proses resusitasi, uterus harus direposisi ke posisi


normal. Reposisi nonsurgikal merupakan tindakan yang disarankan
dikarenakan tindakan ini hanya membutuhkan waktu singkat dan
menurunkan risiko mortalitas pada pasien. Reposisi manual (manuver
Johnson) merupakan tindakan reposisi nonsurgikal yang paling sering
dilakukan.

a. Reposisi Manual

Reposisi manual (manuver Johnson) merupakan prosedur yang


paling sering digunakan dalam tata laksana inversio uterus. Prinsip
reposisi manual adalah uterus harus diangkat sampai kavitas
abdomen di atas level umbilikus. Selama dilakukannya reposisi,
plasenta tidak disarankan untuk dilepaskan terlebih dahulu agar
menghindari risiko perdarahan dan syok. Sebelum melakukan
tindakan reposisi, klinisi harus menggunakan sarung tangan
disinfeksi tingkat tinggi (DTT).

Reposisi manual dilakukan dengan memegang fundus pada


telapak tangan dan ujung jari berada pada uterocervical junction.
Kemudian angkat fundus sampai level di atas umbilikus.
Penekanan digital dapat dibutuhkan selama beberapa menit agar
ligament uterina berada di bawah tekanan sehingga cincin serviks
tidak melebar kembali. Setelah reposisi selesai, plasenta dapat
dilepas. Antibiotik dapat diberikan untuk mencegah terjadinya
infeksi.

14
b. Reposisi Hidrostatik

Reposisi hidrostatik merupakan reposisi uterus yang bergantung


pada tekanan hidrostatik oleh cairan. Tindakan reposisi hidrostatik
disarankan digunakan apabila reposisi manual gagal dilakukan.
Sebelum dilakukan tindakan, pasien harus diposisikan dalam
posisi Trendelenburg, yaitu posisi kepala lebih rendah 50 cm dari
perineum. Kemudian pasien diposisikan dengan posisi litotomi.

Cairan air steril atau cairan salin normal hangat dapat dialirkan ke
vagina pasien melalui silastic venthouse cup . Cairan diposisikan
100–150 cm di atas vagina agar cairan dapat mengalir secara
gravitasi. Klinisi kemudian menutup introitus sekitar ujung selang
dengan tangan untuk mencegah adanya kebocoran.

c. Reposisi Manual dengan Anestesia Umum

Apabila reposisi manual gagal dilakukan, maka reposisi manual


dengan bantuan anestesi umum dapat dilakukan. Penggunaan
anestesi umum bertujuan untuk mengurangi nyeri pada pasien dan
menyebabkan relaksasi pada uterus. Agen anestesi umum inhalasi
yang disarankan adalah sevoflurane, desflurane, dan isoflurane.
Penggunaan halotan sudah tidak disarankan dikarenakan efek
samping hepatotoksisitas yang sering terjadi. Setelah dilakukannya
anestesi umum, reposisi manual dapat dilakukan.

4. Surgikal

Tindakan surgikal dapat dilakukan apabila tindakan nonsurgikal gagal


dilakukan. Pasien dapat secepatnya dibawa ke ruang operasi untuk

15
dilakukan tindakan. Beberapa teknik tindakan operatif, seperti operasi
Huntingdon, Haultain, atau histerektomi dapat dilakukan pada pasien.

a. Operasi Huntingdon

Operasi Huntingdon merupakan tindakan operatif yang paling


disarankan karena tidak seinvasif prosedur operasi lainnya.
Laparotomi dilakukan pada awal operasi dan umumnya dapat
ditemukan adanya depresi pada constriction ring akibat inversi
pada uterus. Adneksa, yang terdiri atas ovarium, tuba falopii, dan
ligament bundar, umumnya tertarik ke dalam bagian depresi
tersebut.

Pada prosedur Huntingdon, klem Allis atau Babcock diletakkan


sekitar 2 cm pada setiap ligamen bundar dalam bagian depresi.
Klem kemudian dapat ditarik secara perlahan sehingga terjadi
traksi ke atas dari fundus yang terinversi. Klem dan traksi
kemudian dapat dilakukan secara berulang sampai terjadi koreksi.
Operator operasi yang lain dapat membantu tindakan dengan
menaruh tangan pada vagina dan menekan fundus ke atas.

b. Operasi Haultain

Operasi Haultain dilakukan dengan melakukan insisi posterior


dengan insisi longitudinal pada cincin serviks. Insisi ini bertujuan
untuk memperluas ukuran cincin sehingga traksi pada ligamen
bundar dapat dilakukan dengan mudah. Traksi ligamen bundar
dapat dilakukan seperti prosedur Huntingdon sampai koreksi
terjadi. Insisi kemudian dikoreksi setelah uterus berada pada
posisi normal.

c. Histerektomi

16
Histerektomi merupakan terapi lini terakhir yang dilakukan
apabila seluruh tindakan sudah gagal dilakukan. Selain itu, apabila
terjadi plasenta akreta atau penempelan plasenta yang lebih berat,
maka histerektomi merupakan pilihan terapi yang paling
disarankan.

5. Terapi Setelah Reposisi

Atonia uteri sering kali terjadi pada pasien inversio uterus yang telah
dilakukan reposisi. Oleh karena itu, setelah plasenta selesai dilepaskan
dari uterus, agen uterotonika dapat diberikan.

Tujuan pemberian agen uterotonika adalah untuk menginduksi


kontraksi miometrium dan menjaga involusi uterus. Kondisi kontraksi
fundus harus terus dimonitor. Berikut ini merupakan agen uterotonika
yang dapat diberikan:

- Oksitosin 20 – 40 unit dalam kristaloid IV 1 L dengan kecepatan


150 – 200 mL per jam

- Misoprostol 800 mcg intravaginal / rektal

- Karboprost trometamin 250 mcg IM, dapat diulang setiap 15 – 90


menit sampai dosis maksimum 8 kali

- Metilergonovin 200 mcg IM setiap 6 jam dengan maksimum dosis 4


kali

Antibiotik profilaksis juga dapat diberikan untuk mengurangi risiko


infeksi pada pasien. Antibiotik yang dapat diberikan adalah golongan
sefalosporin sebagai profilaksis terhadap endometritis. Apabila pasien
memiliki alergi penisilin, maka klindamisin dan gentamisin dosis

17
tunggal dapat diberikan untuk mencegah terjadinya infeksi akibat
bakteri gram positif, gram negatif, dan anaerob.

2.4 Syok Hemoragik

1. Etiologi

Syok hemoragik pada pasien obstetric atau ginekologi dapat terjadi


karena perdarahan akibat abortus, kehamilan ektopik terganggu, cidera
pada perdarahan, perdarahan antepartum, perdarahan post partum atau
koagulopati.

2. Klasifikasi

a. Syok Ringan

Sudah terjadi jika perdarahan kurang dari 20% volume darah. Timbul,
penurunan perfusi jaringan dan organ non vital. Tidak terjadi
perubahan kesadaran, volume urine yang keluar normal atau sedikit
berkurang, dan mungkin (tidak selalu terjadi asidosis metabolic).

b. Syok Sedang

Sudah terjadi penurunan perfusi pada organ yang tahan terhadap


iskemia waktu singkat (hati, usus, dan ginjal). Sudah timbul oliguria
(urine, <0,5 ml/kg BB/ jam) dan asidosis metabolic, tetapi kesadaran
masih baik.

c. Syok Berat, Perfusi dalam jaringan otak dan jantung sudah tidak
adekuat

Mekanisme kompensasi vasokontriksi pada organ lainnya sudah tidak


dapat mempertahankan perfusi di dalam jaringan otak dan jantung.
Sudah terjadi anuria, penurunan kesadaran (delirium, stupor, koma)
dan sudah ada gejala hipoksia jantung.

18
3. Patofisiologi

Pada syok ringan terjadi penurunan perfusi darah tepi pada organ yang
dapat bertahan lama terhadap hiskemia (kulit, lemak, otot dan tulang). Ph
arteri normal, pada syok sedang terjadi penurunan perfusi sentral pada
organ yang hanya tahan terhadap hiskemia waktu singkat (hati, usu, dan
ginjal) terjadi asidosis metabolic. Pada syok berat sudah terjadi
penurunan perfusi pada jantung dan otak, asidosis metabolic berat, dan
mungkin terjadi pula asidosis respiratorik.

4. Gejala Klinis

a. Syok Ringan, takikardi minimal, hipotensi sedikit, vasokontriksi darah


tepi ringan, kulit dingin, pucat, basah urine normal atau sedikit
berkurang. Keluhan merasa dingin.

b. Syok Sedang, takikardi 100-120/ menit, hipotensi dengan sistolik 90-


100 mmHg, oliguri atau anuria. Keluhan haus.

c. Syok Berat, takikardi lebih dari 120/menit, hipotensi dengan sistolik


<60 mmHg, pucat, anuri, agitasi, kesadaran menurun.

5. Penatalaksanaan

Prinsip Dasar Penanganan Syok

Tujuan umum pengobatan syok adalah melakukan penanganan awal dan


khusus untuk :

1) Menstabilkan kondisi pasien

2) Memperbaiki volume cairan sirkulasi darah

3) Mengefisiensikan sistem sirkulasi darah

4) Setelah pasien stabil tentukan penyebab syok

19
Penanganan awal :

1) Mintalah bantuan. Segera mobilisasi seluruh tenaga yang ada dan


siapkan fasilitas tindakan gawat darurat

2) Lakukan pemeriksaan secara cepat keadaan umum pasien dan jalan


nafas bebas

3) Pantau TTV

4) Baringkan pasien tersebut dalam posisi miring untuk meminimalkan


resiko terjadinya aspirasi jika ia muntah dan untuk memastikan jalan
nafasnya terbuka

5) Jagalah ibu tersebut tetap hangat

6) Naikkan kaki untuk menambah jumlah darah yang kembali ke


jantung (jika memungkinkan tinggikan tempat tidur pada bagian
kaki)

Penanganan Khusus

1) Mulailah infus intravena

2) Segera berikan cairan infus (garam fisiologis atau ringer laktat)


awalnya dengan kecepatan 1 liter dalam 15-20 menit

3) Berikan paling sedikit 2 liter cairan ini pada 1 jam pertama. Jumlah
ini melebihi cairan yang dibutuhkan untuk mengganti kehilangan
cairan yang sedang berjalan

4) Setelah kehilang cairan dikoreksi, pemberian cairan infus


dipertahankan dalam kecepatan 1 liter/6-8 jam

5) Catatan : Infus dengan kecepatan yang lebih tinggi mungkin


dibutuhkan dalam penatalaksanaan syok akibat perdarahan.

20
Usahakan untuk mengganti 2-3 kali lipat dalam jumlah cairan yang
diperkirrakan hilang

6) Pantau terus TTV setiap 15 menit

7) Lakukan kateterisasi kandung kemih dan pantau cairan yang masuk


dan jumlah urine yang keluar. Produksi urine harus diukur dan
dicatat

8) Berikan oksigen dengan kecepatan 6-8 liter/ menit dengan sungkup


atau kanula hidung

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

21
Inversio uteri adalah suatu kejadian terbaliknya uterus bagian dalam ke arah
luar, sehingga bagian fundus uteri dipaksa melalui serviks dan menonjol ke
dalam atau keluar dari vagina. Inversio Uteri dapat diklasifikan menurut
beberapa kriteria, yaitu berdasarkan hubungan dengan kehamilan, durasi,
dan derajat inversio.

Dalam manajemen kala III yang salah (tarikan tali pusat yang terlalu dini
dan penekanan fundus sebelum plasenta terlepas) merupakan penyebab
tersering inversion uteri. Hal ini bisa terjadi bila persalinan dipimpin oleh
petugas yang tidak terlatih.

Pengalaman dari penerapan manajemen aktif kala III menekankan


pentingnya tonus uteri segera setelah kelahiran bayi sebagai penyebab
inversio uteri. Hal ini ditunjang dengan adanya penurunan kejadian inversio
setelah penerapan manajemen aktif kala III. Perbedaan penting manajemen
aktif kala III dibandingkan proses persalinan normal adalah pemberian
oksitosin segera setelah kelahiran bayi, sebelum tampak tanda-tanda
pelepasan plasenta.

3.2 Saran

Penulis menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan dan jauh
dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dnegan
berpedoman pada banyak sumber yang dapat dipertanggung jawabkan. Maka
dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran mengenai pembahsan
makalah dalam kesimpulan di atas.

DAFTAR PUSTAKA

Sujiantini, dkk. 2011. “Asuhan Kebiidanan II (Persalinan)”. Yogyakarta : Rohima


Press

22
Junizav, Santoso et.al. 2011. “Buku Ajar Uroginekologi Indonesia”. Jakarta :
Himpunan Uroginekologi Indonesia.

Albertus, Autric. 2019. “Penatalaksanaan Inversio Uterus”. Tersedia pada URL :


https://www.alomedika.com/penyakit/obstetrik-dan-ginekologi/inversio-
uterus/penatalaksanaan Diakses pada tanggal 13 November 2019

Marmi. 2012. “Intranatal Care Asuhan Kebidanan Pada Persalinan”. Yogyakarta :


Pustaka Pelajar

23

Anda mungkin juga menyukai