Anda di halaman 1dari 31

SALINAN

PUTUSAN
Nomor 105/PUU-XVI/2019

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG


MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK
INDONESIA

[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan


terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Pengujian
Undang-Undang Nomor Pasal 432 KUHP Tentang Penggelandangan
terhadap Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, yang diajukan oleh:
1. Nama : Irvan Fadli
Tempat tgl lahir : Palembang, 20 Januari 1999
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Sukarame, Bandar Lampung
Sebagai Pemohon I;
2. Nama : Susi Nilasari
Tempat tgl lahir : Palembang, 31 Desember 1999
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Jl. Perumdam Sukarame
Sebagai Pemohon II;
3. Nama : Linda Sania Zahra

Tempat tgl lahir : Pesawaran, 24 September 1999

Kewarganegaraan : Indonesia

Alamat : Jl. Pendawa 4 Sukarame


Sebagai Pemohon III,

1
Berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 24 september 2019
telah memberikan kuasa kepada advokat yang tergabung dalam
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia yang
berkedudukan hukum Jl. Amir Hamzah No. 35, Gotong Royong
Tanjung Karang Pusat, Bandar Lampung:

1. Alinda Damayanti, S.H


2. Febriyana Latika Ulandari, S.H

Bahwa para pemohon dengan ini mengajukan Permohonan Uji


Materiil Pasal 432 UUKUHP 2019 tentang Penggelandangan
Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.

[1.2] Membaca permohonan para Pemohon; Mendengar keterangan


para Pemohon; Mendengar dan membaca keterangan Presiden;
Mendengar dan membaca keterangan DPR; Mendengar
keterangan ahli para Pemohon; Memeriksa bukti-bukti
paraPemohon;
Membaca kesimpulan para Pemohon dan Presiden.

2. DUDUK PERKARA
I. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
A. DASAR HUKUM

Ketentuan yang mengatur kewenangan Mahkamah Konstitusi ( MK )


untuk menguji dan memutus permohonan pemohon, antara lain
tertuang dalam :
1. Bahwa dalam pasal 24 ayat 2 perubahan ke 3 Undang – Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menyatakan : “
kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah mahkamah agung
dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lengkungan peradilan agama,

2
lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah
mahkamah konstitusi “
2. Bahwa dalam pasal 24 c ayat 1 perubahan ke 3Undang – Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menyatakan : “
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar,
memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar ,
memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum”;
3. Bahwa dalam pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi menegaskan hal yang sama, yaitu:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk :
a. Menguji undang undang terhadap Undang Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
c. Memutus pembubaran partai politik ; dan
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;
4. Bahwa dalam pasal 29 ayat 1 UU No. 48 tahun 2009 tentang
kekuasan kehakiman yang menyatakan bahwa :
“ Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat-tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk :
a. Menguji undang – undang terhadap undang-undang dasar
Negara republik Indonesia tahun 1945

3
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang
kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar Negara
republik Indonesia tahun 1945
c. Memutus pembubaran partai politik
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum ; dan
e. Kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang
5. Dalam ketentuan pasal 9 ayat 1 UU No. 12 tahun 2011 tentang
pembentukan peraturan perundang-undangan menyatakan bahwa: “
dalam suatu hal undang-undang diduga bertentangan dengan
undang-undang dasar Negara republik Indonesia tahun 1945,
pengujiannya dilakukan oleh mahkamah konstitusi
6. Bahwa dalam hal-hal tersebut diatas , mahkamah berwenang untuk
melakukan pengujian konstituisionalitas suatu undang-undang
terhadap UUD 1945, disamping memberikan penafsiran
konstitusional.

B. OBYEK PERMOHONAN
1. Bahwa pasal 432 KUHP tentang pergelandangan yang berbunyi:
“Setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum
yang mengganggu ketertiban umum di pidana dengan pidana denda
paling banyak kategori 1 denda maksimal 1 juta rupiah“ (selanjutnya
disebut sebagai “Obyek Permohonan”) adalah bertentangan dengan
UUD 1945, pasal yang mana akan dijabarkan dibawah ini.
2. Bahwa beberapa ketentuan UUD 1945 sebagai batu uji atas
ketentuan BAB XIV "Perekonomian Nasional dan kesejahteraan
sosial pada pasal 34 ayat 1, yang berbunyi “ fakir miskin dan anak-
anak yang terlantar dipelihara oleh negara”
3. Bahwa oleh karena obyek permohonan adalah pengujian pasal dalam
UUKUHP maka mahkamah berwenang untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara.

4
II. KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) DAN
KERUGIAN KONSTITUSIONAL PEMOHON

A. DASAR HUKUM

Adapun yang menjadi dasar pijakan serta serta kedudukan hukum


pemohon sebagai pihak yang berkepentingan terhadap permohonan
a quo, adalah sebagai berikut:
1. Bahwa berdasarkan pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah konstitusi
beserta penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan
pengujian Undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang
menganggap hak dan / atau kewenangan konstitusionalnya yang
diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-
Undang, yaitu:
a. Perseorangan warga negara indonesia (termasuk kelompok orang
yang mempunyai kepentingan sama);
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang;
c. Badan hukum publik atau privat; atau
d. Lembaga negara.
2. Bahwa berdasarkan pasal 3 peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor
06/PMK/2005 tentang pedoman beracara dalam perkara pengujian
undang undang, menyatakan :
“pemohon dalam pengujian UU terhadap UUD 1945 adalah:
a. Perorangan warga negara indonesia atau kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negar
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam UU;
c. Badan hukum publik atau badan hukum privat, atau;
d. Lembaga negara.

5
3. Bahwa mengenai parameter kerugian konstitusional, Mahkamah
konstitusi dalam yurisprudensinya memberikan pengertian dan
batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena
berlakunya suatu undang-undang harus memenuhi 5(lima) syarat
sebagaimana putusan MK perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan
perkara Nomor 011/PUU-V/2007,sebagai berikut:
a. Adanya hak dan/ atau kewenangan konstitusional pemohon yang
diberikan oleh UUD 1945.
b. Bahwa hak dan /atau kewenangan konstitusional pemohon
tersebut dianggap oleh para pemohon telah dirugikan oleh suatu
undang-undang yang diuji.
c. Bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional
pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual
atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang
wajar dapat dipastikan akan terjadi.
d. Adanya hubungan sebab akibat (casual verband) antara kerugian
dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan
maka kerugian dan/ atau kewenangan konstitusional yang
didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
4. Bahwa berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut diata, maka
terdapat 2 (dua) syarat yang harus dipenuhi untuk dapat bertindak
sebagai pihak dalam pengajuan permohonan pengujian undang-
undang, yaitu:
pertama, mereka yang memiliki kualifikasi sebagai pemohon atau
kedudukan hukum (legal standing) dalam perkara pengujian
undang-undang;
kedua, adanya kerugian konstitusional pemohon dengan
berlakunya suatu undang-undang.

6
B. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON
1. Bahwa pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang
memiliki kepentingan hukum dan kedudukan hukum untuk
mengajukan permohonan uji materiil a quo disebabkan adanya
KUHP tambahan yang dibuat bertentangan dengan asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur
dalam UU no. 12 tahun 2011.
2. Bahwa berdasarkan uraian diatas, para pemohon merasa hak
konstitusional pemohon dirugikan dengan diberlakukannya pasal
432 KUHP tentang pergelandangan yang tidak sesuai dengan UUD
1945.
3. Bahwa dengan demikian, pemohon memiliki kualifikasi untuk
mengajukan permohonan pengujian a quo, sebagaimana disyaratkan
oleh pasal 51 ayat (1) UU MK.

III. ALASAN DAN ARGUMENTASI PERMOHONAN


1. Bahwa obyek permohonan bertentangan dengan pasal 34 ayat 1
UUD 1945 yang menyatakan : “fakir miskin dan anak-anak yang
terlantar dipelihara oleh negara ”.
2. Dengan adanya obyek permohonan maka jelas bertentangan dengan
pasal 34 UUD 1945 karena jelas akan berpotensi kriminalitas
terhadap masyarakat miskin ( tidak mampu ) yang hak konstitusinya
harusnya dipelihara negara. Sangat ironis jika KUHP pasal 432
tentang pergelandangan itu diberlakukan karena tidak mungkin
kelompok masyarakat miskin atau yang dikatakan dengan
gelandangan itu mampu untuk membayar denda.
3. Bahwa obyek permohonan bertentangan dengan pasal 27 ayat 2
UUD 1945 yang menyatakan bahwa “ tiap-tiap warga negara berhak
atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan ”.
Negara berkewajiban untuk memberikan pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi para gelandangan dengan cara diserahkan kepada

7
panti-panti pendidikan pemerintah untuk dibina dan dididik
produktif dan diberi pekerjaan oleh dinas sosial seperti menjadi
tukang bersih-bersih di jalan pemkab atau tempat lain dan
sebagainya, bukannya memberikan hukuman berupa denda. Karena
penghasilan sangat minim dan bahkan tidak memiliki pekerjaan
sama sekali jadi tidak dimungkinkan untuk bisa membayar denda
dan malah akan memberatkan rakyat miskin.
4. Bahwa obyek permohonan bertentangan dengan PP No. 31 tahun
1980 tentang penanggulangan gelandangan dan pengemis disebutkan
di pasal 2 “ penanggulangan gelandangan dan pengemis yang
meliputi usaha-usaha preventif, represif, rehabilitative bertujuan agar
tidak terjadi pergelandangan dan pengemisan serta mencegah
meluasnya pengaruh akibat pergelandangan dan pengemisan di
dalam masyarakat dan memasyarakatkan kembali gelandangan dan
pengemis menjadi anggota masyarakat yang menghayati harga diri
serta memungkinkan pengembangan para gelandangan dan pengemis
untuk memiliki kembali kemampuan guna mencapai taraf hidup,
kehidupan dan penghidupan yang layak sesuai dengan harkat
martabat manusia.”
5. Bahwa disebutkan pada pasal 3 ayat 1 berbunyi kebijaksanaan di
bidang penanggulangan gelandangan dan pengemis di tetapkan oleh
menteri berdasarkan kebijaksanaan yang digariskan oleh pemerintah.
Dalam Ayat 2 dalam menetapkan kebijaksanaan menteri dibantu
oleh sebuah badan koordinasi yang susunan, tugas, wewenangnya di
atur dengan keputusan presiden.
6. Bahwa obyek permohonan bertentangan dengan pasal 2 ayat 1 UU
No. 6 tahun 1974 ( lembaran negara tahun 1974 nomor 53, tambahan
lembaran negara nomor 3039) tentang ketentuan pokok
kesejahteraan sosial menyatakan kesejahteraan sosial ialah suatu tata
kehidupan dan penghidupan soaial materiil maupun spiritual yang
diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir
batin, yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk

8
mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan sesuai dengan hak asasi
dan pancasila.
Keadaan tersebut hanya anak tercapai dengan baik apabila keadaan
masyarakat dan negara berada dalam taraf kesejahteraan sosial yang
baik serta menyeluruh dan rata, namun pada kenyataannya bahwa
keadaan sosial ekonomi yang belum mencapai taraf kesejahteraan
sosial yang baik, menyeluruh dan merata dapat berakibat
meningkatnya gelandangan dan pengemis terutama di kota-kota
besar.
7. Bahwa obyek permohonan pasal 432 tentang pergelandangan
bertentangan dengan Ideologi negara Indonesia yaitu Pancasila pada
sila kelima “ Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ”. Negara
Kesatuan Republik Indonesia didirikan untuk mencapai
kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Terwujudnya keadilan sosial adalah salah satu cita-cita yang telah
digagas oleh pendiri bangsa sebagaimana diungkapkan dalam
pembukaan UUD 1945. Seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali,
berhak untuk mendapatkan kehidupan yang layak.
8. Bahwa obyek permohonan tidak sejalan dengan adanya PP 31/1980
tentang Penanggulangan Gelandangan Dan Pengemis pada pasal 4,
5, dan 6.
a) Pasal 4 berbunyi “ Usaha preventif adalah usaha secara terorganisir
yang meliputi penyuluhan, bimbingan, latihan, dan pendidikan,
pemberian bantuan, pengawasan serta pembinaan lanjut kepada
berbagai pihak yang ada hubungannya dengan pergelandangan dan
pengemisan, sehingga akan tercegah terjadinya :
a. Penggelandangan dan pengemisan oleh individu atau keluarga-
keluarga terutama yang sedang berada dalam keadaan sulit
penghidupannya;
b. Meluasnya pengaruh dan akibat adanya pergelandangan dan
pengemisan di dalam masyarakat yang dapat mengganggu
ketertiban dan kesejahteraan pada umumnya;

9
c. Penggelandangan dan pengemisan kembali oleh para
gelandangan dan pengemis yang telah direhabilitir dan telah
ditransmigrasikan ke daerah pemukiman baru ataupun telah
dikembalikan ke tengah masyarakat “.
b) Pasal 5 berbunyi “ Usaha represif adalah usaha-usaha yang
terorganisir, baik melalui lembaga maupun bukan dengan maksud
menghilangkan pergelandangan dan pengemisan, serta mencegah
meluasnya di dalam masyarakat.”
c) Pasal 6 berbunyi “ Usaha rehabilitatif adalah usaha-usaha yang
terorganisir meliputi usaha-usaha penyantunan, pemberian latihan
dan pendidikan, pemulihan kemampuan dan penyaluran kembali
baik ke daerah-daerah pemukiman baru melalui transmigrasi maupun
ke tengah-tengah masyarakat, pengawasan serta pembinaan lanjut,
sehingga dengan demikian para gelandangan dan pengemis, kembali
memiliki kemampuan untuk hidup secara layak sesuai dengan
martabat manusia sebagai Warganegara Republik Indonesia. ”

IV. PETITUM

Berdasarkan alasan- alasan dan fakta hukum yang telah diuraikan di


atas serta bukti-bukti yang dilampirkan dalam permohonan ini, maka
para pemohon memohon kepada yang mulia majelis hakim
mahkamah konstitusi agar menerima dan memutus permohonan uji
materiil ini sebagai berikut :
1. Menerima dan mengabulkan permohonan para pemohon untuk
seluruhnya;
2. Menyatakan materi muatan pasal 432 KUHP tentang
pergelandangan bertentangan dengan UUD 1945;
3. Menyatakan materi muatan pasal 432 KUHP tidak mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat;
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini di dalam berita negara
Republik Indonesia.

10
Bilamana majelis hakim pada mahkamah konstitusi republik
Indonesia mempunyai keputusan lain, mohon putusan yang seadil-
adilnya. ( ex aequo et bono )
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Rahma Fitrianingsih
Ii setianingsih
Wuwun Ayu Krisnita
Jabatan : Anggota DPR RI
Alamat kantor : Jl. Gatot Subroto No. 1, RT.1/RW.3,
Senayan, Tanahabang, Kota Jakarta Pusat,
Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10270,
Telepon, (021) Fax, (021).

Bertindak untuk dan atas nama DPR RI, berdasarkan surat kuasa khusus.
Dalam hal ini memberi kuasa kepada :
1. Ayu Purnamasari, S.H;
2. Kukuh Kendi Patwari, S.H;
Kesemuanya adalah advokat Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia, berkantor di jl. Pangeran Dipenegoro No.74, RT.9/RW.2,
Pegangasaan Kec. Menteng, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota
Jakarta 10320, Telp (021) 3929840, baik sendiri sendiri maupun secara
bersama-sama bertindak untuk dan atas nama Pemberi Kuasa.

Selanjutnya disebut sebagai Rahma Fitrianingsih, Ii setianingsih, Wuwun


Ayu Kristina TERMOHON

TERMOHON mohon diperkenankan mengajuakan tanggapan


terhadap permohonan atas surat Keputusan Pengujian Materiil
Mahkamah Konsitusi Nomor 105/PUU/-X/2019 tertanggal 23
September 2019 Pasal 432 KUHP Tentang Penggelandangan
Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

11
1945 Berita acara Tentang Keputusan Pengujian Materiil Mahkamah
Konsitusi tertanggal 23 September 2019.

TERMOHON pada prinsipnya hanya akan menjawab/menanggapi


dalil-dalil PEMOHON yang ditunjukan kepada TERMOHON
dan/atau yang ada kaitannya dengan kewenangannya dan tangung
jawab serta kepentingan TERMOHON.

Dalam hal ini memberi jawaban TERMOHON dalam perkara


105/PUU/-X/2019 yang dimohonkan oleh PEMOHON Irvan Fadli,
S.H, Susi Nilasari, S.H, Linda Sania Zahra, S.H, Sebagai Warga
Negara Indonesia.

A. DALAM EKSEPSI
Bahwa pertama-tama TERMOHON memandang perlu untuk
menyampaikan dalil eksepsi yang akan diajukan didasarkan pada
mekanisme sebagaimana telah diatur secara tegas dalam pasal 432
KHUP tentang pergelandangan. Jadi, tentang UU KHUP ini ialah :
1. Gelandangan menganggu ketertiban umum : dengan berkurangnya
ilmu pengetahuan, kurangnya lapangan pekerjaan dan banyak
angka pengelamdangan maka akan banyak sekali permasalahan
yang akan terjadi seperti kerusuhan anak punk yang nongkrong
dipinggir jalan, pemangkalan yang terjadi terhadap sopir angkutan
umum, pembunuhan karena berebut daerah kekuasaan.
2. Tujuan di terbitkan UU KHUP pasal 432 ini, lebih memperhatikan
masyarakatnya, sebab adanya gelandangan/ rakyat miskin/ anak
terlantar perlu perhatian agar tersejahterakan kehidupan bagi
masyarakat
3. Pasal mengenai gelandangan sebenarnya sudah di atur dalam
KHUP sebelum di revisi terdapat dalam pasal 49, pidana denda
kategori 1 yakni sebesar 1 juta.

12
A. Kewenangan Mahkamah Konsitusi
Bahwa makamah konsitusi tidak berwenang memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara perselisihan Keputusan
PenSgujian Materiil Mahkamah Konsitusi tertanggal 23 September
2019, yang diajukan PEMOHON dengan alasan sebagai berikut :
1. Bahwa jika dicermati keseluruhan dalil dan alasan
PEMOHON sama sekali tidak ada yang merasa dirugikannya
hak konsektual Negara karena sudah ada dasar ataupun teori
pada pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
menyebutkan ‘’Fakir miskin dan anak-anak telantar di pelihara
oleh negara’’
2. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 432 UU KUHP
Menyatakan : Setiap orang yang bergelandangan dijalan atau di
tempat umum yang menganggu ketertiban umum dipidana
denda paling banyak kategori 1 (denda maksimal rp 1 juta).
3. Bahwa berdasarkan PP No.31 Tahun 1980 huruf b
menimbang : bahwa usaha penanggulangan tersebut,
disamping usaha-usaha pengcegahan timbulnya gelandangan
dan pengemis, bertujuan pula untuk memberikan rehabilitas
kepada gelandaangan dan atau pengemis agar mampu
mencapai taraf hidup, kehidupan, dan penghidupan yang layak
sebagai seorang warga negara Indonesia.
4. Bahwa permohonan PEMOHONtidak menjelaskan secara
rinci terkait sanksi apa saja yang merugikan pihak-pihak terkait
terhadap Mahkamah Konstitusi.

B. Kedudukan Hukum ( LEGAL STANDING) PEMOHON.


Permohonan Pemohon Melewati Batas Keputusan Pengujian
Materiil Mahkamah Konsitusi
Bahwa menurut TERMOHON, PEMOHON tidak memiliki
kedudukan hokum (legal standing) untuk mengajukan permohonan
perselisihan Keputusan Pengujian Materiil Mahkamah Konsitusi

13
tentang UU KHUAP Pasal 432 Tentang pergelandangan. Sesuai
dengan peraturan perundang-undangan dengan alasan sebagai
berikut :
1. Gelandangan menganggu ketertiban umum : dengan
berkurangnya ilmu pengetahuan, kurangnya lapangan pekerjaan
dan banyak angka pengelamdangan maka akan banyak sekali
permasalahan yang akan terjadi seperti kerusuhan anak punk
yang nongkrong dipinggir jalan, pemangkalan yang terjadi
terhadap sopir angkutan umum, pembunuhan karena berebut
daerah kekuasaan.
2. Tujuan di terbitkan UU KHUP pasal 432 ini, lebih
memperhatikan masyarakatnya, sebab adanya gelandangan/
rakyat miskin/ anak terlantar perlu perhatian agar tersejahterakan
kehidupan bagi masyarakat
3. Pasal mengenai gelandangan sebenarnya sudah di atur dalam
KHUP sebelum di revisi terdapat dalam pasal 49, pidana denda
kategori 1 yakni sebesar 1 juta.
4. Bahwa berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Konsitusi terhadap
permohonan atas surat Keputusan Pengujian Materiil Mahkamah
Konsitusi Nomor 105/PUU/-X/2019 tertanggal 23 September
2019 Pasal 432 KUHP Tentang Penggelandangan Terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Berita acara Tentang Keputusan Pengujian Materiil Mahkamah
Konsitusi tertanggal 23 September 2019.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, mahkamah telah menunjukan


pasal 158 UU No. 8 Tahun 2015 merupakan ketentuan subtantif bukan
hanya semata-mata yang bersifat procedural.Hal ini pun
menggambarkan ketentuan tersebut ditunjukan untuk mencapai
keadaan substantif. Dengan demikian, Mahkamah patut untuk secara
konsisten menegakkan ketentuan tersebut dalam perkara aquo dengan
menegakan perlakuan yang sama bagi masyarakat. Dan adalah

14
bertentangan dengan prinsip keadilan bila mana dua hal yang
sama di perlakuan berbeda. Dengan perkataan lain, pasal 432.
Bahwa yurisprudensi ini telah menjadi besar hokum dalam
penentuan kedudukan hokum (legal standing)PEMOHON dalam
mengajukan pemohon pada pasal KUHP 432 tentang pergelandangan.

II. DALAM POKOK PERKARA


A. PENDAHULUAN
Bahwa TERMOHON menolak dengan tegas dalil
permohonan aquo halaman 7 yang menyebutkan tentang pemohon
pada pasal KUHP 432 tentang pergelandangan. Berita acara tentang,
Pengujian Materiil Mahkamah Konsitusi Nomor 105/PUU/-X/2019
tertanggal 23 September 2019 Pasal 432 KUHP Tentang
Penggelandangan Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 Berita acara Tentang Keputusan Pengujian
Materiil Mahkamah Konsitusi tertanggal 23 September 2019.
Mahkamah Konstitusi dalam yurisprudensinya memeberikan
pengertian dan Batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul
karena berlakunya Pengujian Materiil Mahkamah Konsitusi Nomor
105/PUU/-X/2019 tertanggal 23 September 2019 Pasal 432 KUHP
Tentang Penggelandangan Terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 Berita acara Tentang Keputusan
Pengujian Materiil Mahkamah Konsitusi tertanggal 23 September
2019.

III. PETITUM
Berdasarkan keseluruhan tanggapan yang telah diutarakan di atas,
PIHAK TERMOHON mohon dengan hormat kiranya Mahkamah
Konsitusi Republik Indonesia berkenaan memutuskan :
Dalam EKSEPSI Mengabulkan ekspespi TERMOHON ;
Dalam Pokok Perkara
- Menolak permohonan PEMOHON untuk seluruhnya :

15
1. Menerima dan mengabulkan permohonan para pemohon untuk
seluruhnya ;
2. Menyatakan materi muatan pasal 432 KUHP tentang
pengelandangan bertentangan dengan UUD 1945;
3. Menyatakan materi muatan pasal 432 KUHP tidak memiliki
kekuatan hokum yang memikat;
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini di dalam berita Negara
Republic Indonesia;
Atau apabila Mahkamah Konsitusi berpendapat lain mohon
putusan seadil-adilnya ( ex aequo et bono)

16
FUNGSIONALISASI AHLI PEMOHON GELANDANGAN DAN
PENGEMIS oleh Ahli (Hasmita Robiatul Aini, S.H)
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia sebagai jantung dan jiwa
negara. Undang-Undang Dasar suatu negara menberi tahu kita tentang apa
maksud menbentuk negara, bagaimana cita-citanya dengan bernegara, apa
yang ingin dilakukannya, serta asas-asas kehidupan yang terdapat
didalamnya. Dengan Undang Undang Dasar, suatu negara sebagai sebagai
komunitas memiliki tujuan yang jelas dan akan memandu menuju apa yang
dicita-citakan.
Konstitusi adalah dokumen yang dihidupkan oleh keadilan. Konstitusi
adalah sarana, bukan keadilan itu sendiri.Kehendak politik yang
menciptakan konstitusi Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya,
harus diperhatikan karena kehendak politik adalah penciptaan sebuah tertib
sosial berkeadilan. Kekuasaan terikat pada kehendak politik itu, bukan
pasal-pasal mati konstitusi.Undang-Undang Dasar sangat penting bagi
penyelenggaraan hukum suatu negara. Oleh karena itu pada saat tertentu
hukum perlu melihat panduan yang diberikan oleh undang-undang
dasarnya.
Hal tersebut terjadi, misalnya, pada saat hukum mengalami kebuntuan
dan tidak tahu kemana harus melangkah. Pada saat itulah kita akan mencari
dan menemukan asas-asas besar yang tersimpan dalam Undang-Undang
Dasar. Didalam negara Republik Indonesia ini terdapat banyak sekali
peraturan hukum atau perundang-undangan, yang berbeda-beda pula tinggi
dan rendahnya atau hierarkinya. Peraturan hukum yang jumlahnya amat
banyak tersebut secara bersamasama merupakan apa yang dinamakan suatu
tertib hukum atau legal order atau rechtsordnung, apabila memenuhi empat
syarat tersebut:
a. Adanya kesatuan subjek (penguasa) yang mengadakan peraturan
hukum
b. Adanya kesatuan asas kerohanian yang meliputi dan mendasari
seluruh peraturan hukum tersebut
c. Adanya kesatuan daerah dimana keseluruhan hukum tersebut

17
d. Adanya kesatuan waktu dalam mana peraturan-peraturan hukum
tersebut berlaku.
Untuk memeriksa apakah empat unsur tersebut dipenuhi oleh seluruh
peraturan hukum di Indonesia, marilah kita baca pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945 dalam alineanya yang keempat.Disana terdapat empat
hal yang menunjukkan bahwa empat syarat bagi adanya suatu tertib hukum
terpenuhi. Dengan adanya suatu pemerintah negara Indonesia, maka ada
kesatuan subjek (penguasa), dengan adanya pancasila maka ada kesatuan
asas kerohanian, dengan disebutkannya seluruh tumpah darah Indonesia
maka ada kesatuan daerah, dengan disebutkannya “disusunlah kemerdekaan
Indonesia” dalam bentuk negara maka timbullah suatu masa baru yang
terpisah dari waktu yang lampau dan merupakan jangka waktu yang
berlangsung lama.
Peraturan-peraturan hukum yang ada didalam negara Republik
Indonesia mulai saat berdirinya negara Republik Indonesia merupakan
suatu tertib hukum.Undang-Undang Dasar merupakan sumber hukum dari
semua peraturan hukum yang dibawahnya itu tidaklah merupakan peraturan
hukum yang tertinggi.Jika dihubungkan dengan ketentuan hukum pidana
pasal 432 KUHP maka apabila bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
maka peraturan tersebut tidak mengikat dan berdaya guna.
Pada prinsipnya mekanisme dan dasar dari setiap sistem pemerintahan
diatur dalam Undang-Undang Dasar. Bagi mereka yang memandang negara
dari sudut kekuasaan dan menganggapnya sebagai suatu organisasi
kekuasaan, maka UndangUndang Dasar dapat dipandang sebagai lembaga
atau sekumpulan asas yang menetapkan bagaimana kekuasaan tersebut
dibagi antara badan legislatif, eksekutif dan badan yudikatif.Juga sebagai
pengontrol terhadap norma-norma hukum positif yang lebih rendah dalam
hierarki tertib hukum Indonesia.
Pasal tentang penggelandangan merupakan aturan warisan kolonial
Belanda yang memandang kaum gelandangan sebagai: Orang yang tak
berguna akibat kesahalan dalam hidupnya.
memidanakan gelandangan bukan hal yang sulit lagi bagi negara.

18
Tentu saja hal ini bertolak belakang dengan UUD 1945 yang menyatakan
bahwa: Fakir miskin dan anak-anak terlantar, dipelihara oleh negara. Bukan
malah dikenakan denda.
Negara tak perlu repot-repot mengatur persoalan gelandangan ini ke
dalam KUHP.Persoalan ini cukup diatur dalam peraturan daerah (Perda)
sebagai aturan administrasi.Namun tetap tak boleh ada pemidanaan bagi
gelandangan ataupun masyarakat yang memberikan uang.Memang sudah
banyak daerah di Indonesia yang menerbitkan perda soal itu.Tujuannya
memberikan efek jera kepada gelandangan, atas dalih mengganggu
ketertiban umum.
Misalnya Perda 9/2013 Kota Malang, Perda 5/2012 Kota Tangerang,
hingga Perda Daerah Istimewa Yogyakarta 1/2014. Penerapannya melalui
penyuluhan dan upaya represif berupa razia.
Pemerintah harusnya justru bertindak aktif mencari solusi. Agar tak
ada lagi masyarakat yang memilih jalan hidup sebagai gelandangan, bukan
malah memidanakannya.pasal ini sangat diskriminatif mengingat
gelandangan juga berjuang untuk bisa hidup sehari-hari.
"Hidup menggelandang bukan hanya merupakan sebuah keadaan
yang disebabkan oleh keterbatasan ekonomi, tetapi juga merupakan sebuah
pilihan hidup.Perlu akal sehat dan jiwa yang matang dalam menangani
permasalahan penggelandangan ini.

Bahwa para pemohon dengan ini mengajukan Permohonan Uji


Materiil Pasal 432 UUKUHP 2019 tentang Penggelandangan Terhadap
Undang-Undang Dasar.

19
FUNGSIONALISASI HUKUM PIDANA TERHADAP PELANGGARAN
KETERTIBAN UMUM YANG DILAKUKAN OLEH GELANDANGAN
DAN PENGEMIS di sampaikan oleh Ahmad Zailani S.H

A. Latar Belakang Munculnya Gelandangan dan Pengemis

Perlu kita ketahui bersama sebelumnya terkait dengan Gelandangan dan


Pengemis, ada beberapahal yang mempengaruhi seseorang menjadi
gelandangan, yaitu :
1. Tingginya tingkat kemiskinan yang menyebabkan seseorang tidak
mampu memenuhi kebutuhan dasar minimal dan menjangkau
pelayanan umum sehingga tidak dapat mengembangkan kehidupan
pribadi maupun keluarga secara layak.
2. Rendahnya tingkat pendidikan dapat menjadi kendala seseorang untuk
memperoleh pekerjaan yang layak.
3. Kurangnya keterampilan kerja menyebabkan seseorang tidak
dapat memenuhi tuntutan pasar kerja.
4. Faktor sosial budaya, hal ini di dukung oleh lingkungan sekitar dan
para pemberi sedekah.

Ada beberapa faktor sosial budaya yang mempengaruhi


seseorang menjadi gelandangan dan pengemis, yaitu :
a. Rendahnya harga diri pada sekelompok orang, mengakibatkan
tidak dimilikinya rasa malu untuk meminta-minta.
b. Sikap pasrah pada nasib, menganggap bahwa kemiskinan dan
kondisi mereka sebagai gelandangan dan pengemis adalah nasib,
sehingga tidak ada kemauan untuk melakukan perubahan.
c. Kebebasan dan kesenangan hidup menggelandang, ada
kenikmatan tersendiri bagi sebagian besar gelandangan dan pengemis
yang hidup menggelandang, karena mereka merasa tidak terikat.
Dan perlu kita ketahui bersama dalam KUHP Belanda(1886),
perbuatan gelandangan dan pengemis disebutkan sebagai perbuatan yang
dihukum (dipidana), terhadap perbuatan ini terdapat pembagian tindak
pidana antara kejahatan dan pelanggaran, yang berdasarkan asas
konkordansi dioper kedalam Hindia Belanda (1918), kini KUHP. Sebelum

20
Wvs Tahun 1886, di Belanda dikenal tiga jenis tindak pidana, yaitu
Misdaden (kejahatan), wanbedrijven (perbuatan tercela) dan
overtredingen (pelanggaran), yang mendapat pengaruh dari Code Penal
Perancis (1810), yang membedakan tindak pidana kedalam tiga jenis yakni
crime (kejahatan), delict (perbuatan tercela), dancontravention
(pelanggaran).
Mengenai dasar pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran
dapat disimpulkan dari keterangan Memorievan Toelichting (memori
penjelasan) bahwa pembagian itu didasarkan pada alasan bahwa pada
kenyataanya didalam masyarakat terdapat perbuatan-perbauatan yang pada
dasarnya memang sudah tercela dan pantas dipidana. Bahkansebelum
dinyatakan demikian oleh undang-undang, dan juga ada perbuatan yang
baru sifat melawan hukum dapat dipidana setelah undang menyatakan
demikian. Untuk yang pertama disebut dengan rechtdelicten, dan yang
kedua disebut dengan wetsdelicten.
Pada hakikatnya ciri pembedaan itu terletak pada penilaian
kesadaran hukum pada umumnya dengan dengan penekanan (stress) kepada
delik hukum (rechtsdelicten) dan delik undang-undang (wetsdelicten).
Dimana yang dikatakan kejahatan sebagai delik hukum (rechtsdelicten)
yaitu perbuatan-perbuatan yang menurut sifatnya walaupun tidak
dicantumkan dalam undang-undang tetap mempunyai sifat jahat dan
bertentangan dengan hukum, sedangkan yang dimaksud dengan
pelanggaran sebagai delik undang-undang (wetsdelicten) yaitu perbuatan
yang baru mempunyai sifat jahat jika dirasakan sebagai tindakan yang
bertentangan dengan hukumsetelah dicantumkan dalamundang-undang.
Apapun alasan pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran, yang
pasti jenis pelanggaran itu lebih ringan daripada kejahatan. Hal ini dapat
diketahui dari ancaman pidana dan pelanggaran tidakada yang diancam
dengan pidana penjara, tetapi dengan pidana kurungan dan denda,
sedangkan kejahatan lebih didominasi dengan ancaman pidana penjara.
Mengenai perbuatan/aktifitas yang dilakukan oleh gelandangan dan
pengemis baru dapat dikatakan tindak pidana, jika perbuatan itu

21
bersifat melawan hukum, bukan berarti tindak pidana yang tidak memuat
perkataan “melawan hukum”, tidak dapat bersifat melawan hukum. Sifat
melawan hukumnya akan tersimpul dari unsur tindak pidana yang lain dan
kesalahan yang menunjuk pada sikap batin sipembuat sebagai kejiwaan
yang terdapat di dalam rumusan delik. Dengan demikian maka perbuatan
gelandangan dan pengemis dikategorikan melawan hukum harus
dibuktikan sepanjang menjadi rumusan tindak pidana.

B. Gelandangan dan Pengemis Dalam Perspektif Kebijakan Hukum


Pidana
Kebijakan atau upaya penanggulangan
kejahatanpadahakikatnyamerupakan bagian integral dari upaya
perlindungan masyarakat (social defence) dan supaya mencapai
kesejahteraan masyarakat (socialwelfare). Oleh karena itu dapat dikatakan,
bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik criminal ialah
perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.dengan
demikian dapatlah dikatakan bahwa politik criminal pada hakikatnya juga
merupakan bagian integral dari politik sosial (kebijakan atau upaya untuk
mencapai kesejahteraan sosial).
Begini, saya mau katakan kepada publik, bahwa menyusun kitab undang-
undang hukum pidana itu tidak semudah membalikkan telapak
tangan.Apalagi bagi kita di Indonesia yang multi religi, multi etnis dan multi
culture.
Bahkan sudah 56 tahun, meskipun saya mau mengatakan bahwa jangka
waktu itu masih singkat, bila di bandingkan misalnya ketika Belanda lepas
dari Perancis, untuk menyusun KUHP baru dia membutuhkan waktu 7
tahun. Yang paling cepat memperbaharui KUHP di alam kemerdekaan itu
adalah Portugal yang memakan waktu hanya 50 tahun, kita ini sudah 56
tahun.
Bahasa presiden yang mengatakan menunda itu sangat tepat, bukan
membatalkan.Publik harus paham, bahwa KUHP itu isinya ada 770 sekian
pasal, yang bermasalah itu 2 persen saja tidak ada. Jadi tidak bisa

22
menggunakan istilah membatalkan, tetapi menunda,celakanya publik ini
hanya melihat buku 2 tentang tindak pidana.Tetapi tidak membaca secara
detil buku 1 mengenai asas-asas hukum pidana. Di situ antra lain misalnya
perihal standar pemidanaan. Bahwa seolah-olah ini ada over kriminalisasi,
bahwa seolah-olah ini telalu masuk di ranah privat, bahwa seolah-olah ini
tidak menghargai HAM dan sebagainya, tetapi mereka tidak membaca apa
yang terdapat dalam buku 1.
Pemerintah juga memberikan kesempatan kepada kita terhadap pasal-
pasal yang kontroversi itu dibuka kembali ruang publik untuk kita lakukan
perdebatan. Tetapi ingin saya katakan bahwa ada publik yang setuju, ada
publik juga yang tidak setuju. Nah ini kita sekarang harus mencari formulasi
yang baik, mengapa demikian, saya tegaskan sekali lagi kita adalah multi
religi, multi etnis dan multi kultur, itu tidak mudah dalam mengaturnya,"
Pembahasan RKUHP ini sudah melalui perjalanan yang panjang, yakni
selama empat tahun. Ini kita sudah malang melintang, pada rapat terakhir
ada 7 isu yang dipending, yakni mengenai perzinahan, kumpul kebo dan
juga mengenai perbuatan cabul, yang memang ini menimbulkan pro dan
kontra, sehingga disepakati formulasi yang ada saat ini. banyak yang salah
memahami pasal per pasalnya. Salah satunya soal gelandangan.Pada Pasal
431 tertulis: Setiap Orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat
umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda
paling banyak kategori I.
Gelandangan itu, kalau Belanda (KUHP yang lama) pakai hukum badan.
Kalau sekarang (RUU KUHP) denda, enggak cukup dia bayar, hakim bisa
memberikan hukuman alternatif. Diserahkan untuk dididik di panti-panti
pendidikan pemerintah. Bisa dikasih kerja di dinas sosial. Suruh sapu
jalan,DLL, Pasal 432 menyatakan, setiap orang yang bergelandangan di
jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana
dengan pidana denda paling banyak kategori I. Adapun dalam pasal 49,
pidana denda kategori I yakni sebesar Rp 1juta.
Pasal mengenai gelandangan sebenarnya sudah diatur dalam KUHP
sebelum revisi, tetapi dengan ancaman pidana yang berbeda.Pasal 505 Ayat

23
(1) menyertakan, barangsiapa bergelandangan tanpa mempunyai mata
pencarian, diancam karena melakukan pergelandangan dengan pidana
kurungan paling lama tiga bulan. Kemudian, dalam Pasal 505 ayat (2)
diatur, pergelandangan yang dilakukan bersama-sama oleh tiga orang atau
lebih, yang masing-masing berumur di atas 16 tahun, diancam dengan
pidana kurungan paling lama enam bulan. Anggota Panja RKUHP DPR
Nasir Djamil mengatakan, penerapan pidana denda bagi gelandangan
memang bertujuan menjaga ketertiban umum."Kalau soal itu, kan terkait
dengan bagaimana menjaga ketertiban umum.Jadi kita memang tidak bisa
melihat gelandangan dalam arti yang seperti sekarang ini," Di sisi lain,
lanjut Nasir, pasal ini bertujuan mendorong agar pemerintah berupaya
mengurangi jumlah gelandangan.Saat ditanya mengenai alasan penerapan
pidana denda, Nasir mengatakan, hal itu justru menjadi instrumen dalam
memaksa pemerintah agar memperhatikan warga negaranya.
Makanya justru itu negara harus bertanggung jawab agar warganya tidak
jadi gelandangan. Kalau kita ngomong seperti ini seolah tidak nyambung,
tetapi sebenarnya ini hukum tidak bisa berdiri sendiri, Jadi ini secara tidak
langsung pemerintah dan penyelenggara negara akan memperhatikanwarga
negaranya,.
Maksudnya ini undang-undang mengharuskan yang namanya pemerintah
melindungi supaya bagaimana gelandangan itu diberi insentif oleh negara,
dilindungi oleh negara," kata Nasir kepada wartawan di Kompleks
Parlemen, Senayan, Jakarta pada Jumat (20/Dia melanjutkan regulasi ini
juga mewajibkan pemerintah untuk mencari dan memberikan solusi terkait
gelandangan di Indonesia.9)Dia melanjutkan regulasi ini juga mewajibkan
pemerintah untuk mencari dan memberikan solusi terkait gelandangan di
Indonesia.

24
[2.5] Menimbang bahwa para Pemohon dan Presiden menyerahkan
kesimpulan yang diterima Kepaniteraan Mahkamah masing-masing pada
tanggal 29 September 2019 dan tanggal 3 Oktober 2019, yang pada
pokoknya para pihak tetap pada pendiriannya;

[2.6] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini,


segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam Berita
Acara Persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan
dengan putusanini.

25
3. PERTIMBANGAN HUKUM

Kewenangan Mahkamah
[3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 432 KUHP Tentang
Penggelandangan, tentang lembaran Mahkamah Konstitusi (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 105, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut
UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-UndangNomor48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU
Kekuasaan Kehakiman), Mahkamah berwenang, antara lain, mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945;

[3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan para Pemohon adalah


permohonan untuk menguji konstitusionalitas norma undang-undang, in
casu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 29, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6187, selanjutnya disebut
UU MD3) terhadap UUD 1945, maka Mahkamah berwenang mengadili
permohonan a quo;

Kedudukan Hukum (Legal Standing) para Pemohon


[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta
Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-
undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945
dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu:

26
a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang
mempunyai kepentingansama);
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat;atau

d. lembaga negara;

Dengan demikian, para Pemohon dalam pengujian undang-undang


terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu:
a. kedudukannya sebagai para Pemohon sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 ayat (1) UUMK;
b. ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang
diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya
undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan
sebagaimana dimaksud pada huruf a;

[3.4] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusantelah berpendirian


bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 ayat
(1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:

a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon


yang diberikan oleh UUD1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh para
Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang
yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus)
dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian
dimaksud dan berlakunya undang-undang yang
dimohonkanpengujian;

27
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan,
maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan
atau tidak lagi terjadi;

[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat


(1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah
akan mempertimbangkan kedudukan hukum (legal standing) para
Pemohon sebagai berikut:
1. Bahwa norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujian oleh
para Pemohon dalam permohonan a quo adalah Pasal 122 huruf l
UU MD3, yang menyatakan, “Dalam melaksanakan fungsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121A, Mahkamah Kehormatan
Dewan bertugas... l. Mengambil langkah hukum dan/atau langkah
lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan
hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR”.
Terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3),
dan Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan:
a. Pasal 1 ayat(3):

Negara Indonesia adalah negara hukum.


b. Pasal 28 D ayat(1):

Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,


dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum.

c. Pasal 28 E ayat(3):

Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan


mengeluarkan pendapat.

d. Pasal 28 G ayat(1):

Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,


kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah

28
kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan
dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu yang merupakan hak asasi.

[3.6] Menimbang bahwa karena Mahkamah berwenang mengadili


Permohonan a quo dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum
untuk bertindak sebagai Pemohon, maka selanjutnya Mahkamah akan
mempertimbangkan pokok permohonan.

4. KONKLUSI

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana


diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan:
[4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan aquo;

[4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk


mengajukan permohonan a quo;

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);

29
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Pasal 432 KUHP tentang Penggelandangan bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”;
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya.

Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh


sembilan Hakim Konstitusi yaitu Muhammad Fuad Mubarok selaku Ketua
merangkap Anggota, Asep Irama, Angga Jaya, Ayu Rizky, Duwi Aisyiyah,
Endang Sri Lestarai, Ana Wahyu Lestari, Nur Khikmah Imani dan Hikmawati
sebagai Anggota, pada hari jumat, tanggal dua sembilan, bulan September,
tahun dua ribu sembilan belasdan pada hari Jumat, tanggal tiga, bulan
Oktober, tahun dua ribu sembilan belas, yang diucapkan dalam Sidang
Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari jumat, tanggal
dua puluh, bulan September, tahun dua ribu sembilan belas, selesai
diucapkan pukul 14.00 WIB, oleh sembilan Hakim Konstitusi masing-
masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Panitera Pengganti, dihadiri
oleh para Pemohon/kuasanya, Presiden atau yang mewakili, dan Dewan
Perwakilan Rakyat atau yang mewakili.

30
KETUA,

ttd

Muhammad Fuad Mubarok

ANGGOTA-ANGGOTA,

ttd ttd ttd

Angga Jaya Duwi Aisyiyah Endang Sri Lestari

ttd ttd ttd

Asep Irama Ayu Rezki Ana Wahyu Lestari

ttd ttd

Nur Hikmah Imani Hikmawati

PANITERA PENGGANTI,

ttd

Nadiya Ihda Millah

31

Anda mungkin juga menyukai