Putusan MK Tanpa Ket Ahli
Putusan MK Tanpa Ket Ahli
PUTUSAN
Nomor 105/PUU-XVI/2019
Kewarganegaraan : Indonesia
1
Berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 24 september 2019
telah memberikan kuasa kepada advokat yang tergabung dalam
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia yang
berkedudukan hukum Jl. Amir Hamzah No. 35, Gotong Royong
Tanjung Karang Pusat, Bandar Lampung:
2. DUDUK PERKARA
I. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
A. DASAR HUKUM
2
2. Bahwa dalam pasal 24 c ayat 1 perubahan ke 3Undang – Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menyatakan : “
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar,
memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar ,
memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum”;
3. Bahwa dalam pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi menegaskan hal yang sama, yaitu:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk :
a. Menguji undang undang terhadap Undang Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
c. Memutus pembubaran partai politik ; dan
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;
4. Bahwa dalam pasal 29 ayat 1 UU No. 48 tahun 2009 tentang
kekuasan kehakiman yang menyatakan bahwa :
“ Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat-tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk :
a. Menguji undang – undang terhadap undang-undang dasar
Negara republik Indonesia tahun 1945
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang
kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar Negara
republik Indonesia tahun 1945
3
c. Memutus pembubaran partai politik
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum ; dan
e. Kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang
5. Dalam ketentuan pasal 9 ayat 1 UU No. 12 tahun 2011 tentang
pembentukan peraturan perundang-undangan menyatakan bahwa: “
dalam suatu hal undang-undang diduga bertentangan dengan
undang-undang dasar Negara republik Indonesia tahun 1945,
pengujiannya dilakukan oleh mahkamah konstitusi
6. Bahwa dalam hal-hal tersebut diatas , mahkamah berwenang untuk
melakukan pengujian konstituisionalitas suatu undang-undang
terhadap UUD 1945, disamping memberikan penafsiran
konstitusional.
B. OBYEK PERMOHONAN
1. Bahwa pasal 432 KUHP tentang pergelandangan yang berbunyi:
“Setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum
yang mengganggu ketertiban umum di pidana dengan pidana denda
paling banyak kategori 1 denda maksimal 1 juta rupiah“ (selanjutnya
disebut sebagai “Obyek Permohonan”) adalah bertentangan dengan
UUD 1945, pasal yang mana akan dijabarkan dibawah ini.
2. Bahwa beberapa ketentuan UUD 1945 sebagai batu uji atas
ketentuan BAB XIV "Perekonomian Nasional dan kesejahteraan
sosial pada pasal 34 ayat 1, yang berbunyi “ fakir miskin dan anak-
anak yang terlantar dipelihara oleh negara”
3. Bahwa oleh karena obyek permohonan adalah pengujian pasal dalam
UUKUHP maka mahkamah berwenang untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara.
A. DASAR HUKUM
4
Adapun yang menjadi dasar pijakan serta serta kedudukan hukum
pemohon sebagai pihak yang berkepentingan terhadap permohonan
a quo, adalah sebagai berikut:
1. Bahwa berdasarkan pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah konstitusi
beserta penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan
pengujian Undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang
menganggap hak dan / atau kewenangan konstitusionalnya yang
diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-
Undang, yaitu:
a. Perseorangan warga negara indonesia (termasuk kelompok orang
yang mempunyai kepentingan sama);
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang;
c. Badan hukum publik atau privat; atau
d. Lembaga negara.
2. Bahwa berdasarkan pasal 3 peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor
06/PMK/2005 tentang pedoman beracara dalam perkara pengujian
undang undang, menyatakan :
“pemohon dalam pengujian UU terhadap UUD 1945 adalah:
a. Perorangan warga negara indonesia atau kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negar
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam UU;
c. Badan hukum publik atau badan hukum privat, atau;
d. Lembaga negara.
3. Bahwa mengenai parameter kerugian konstitusional, Mahkamah
konstitusi dalam yurisprudensinya memberikan pengertian dan
batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena
berlakunya suatu undang-undang harus memenuhi 5(lima) syarat
5
sebagaimana putusan MK perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan
perkara Nomor 011/PUU-V/2007,sebagai berikut:
a. Adanya hak dan/ atau kewenangan konstitusional pemohon yang
diberikan oleh UUD 1945.
b. Bahwa hak dan /atau kewenangan konstitusional pemohon
tersebut dianggap oleh para pemohon telah dirugikan oleh suatu
undang-undang yang diuji.
c. Bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional
pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual
atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang
wajar dapat dipastikan akan terjadi.
d. Adanya hubungan sebab akibat (casual verband) antara kerugian
dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan
maka kerugian dan/ atau kewenangan konstitusional yang
didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
4. Bahwa berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut diata, maka
terdapat 2 (dua) syarat yang harus dipenuhi untuk dapat bertindak
sebagai pihak dalam pengajuan permohonan pengujian undang-
undang, yaitu:
pertama, mereka yang memiliki kualifikasi sebagai pemohon atau
kedudukan hukum (legal standing) dalam perkara pengujian
undang-undang;
kedua, adanya kerugian konstitusional pemohon dengan
berlakunya suatu undang-undang.
6
B. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON
1. Bahwa pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang
memiliki kepentingan hukum dan kedudukan hukum untuk
mengajukan permohonan uji materiil a quo disebabkan adanya
KUHP tambahan yang dibuat bertentangan dengan asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur
dalam UU no. 12 tahun 2011.
2. Bahwa berdasarkan uraian diatas, para pemohon merasa hak
konstitusional pemohon dirugikan dengan diberlakukannya pasal
432 KUHP tentang pergelandangan yang tidak sesuai dengan UUD
1945.
3. Bahwa dengan demikian, pemohon memiliki kualifikasi untuk
mengajukan permohonan pengujian a quo, sebagaimana disyaratkan
oleh pasal 51 ayat (1) UU MK.
7
panti-panti pendidikan pemerintah untuk dibina dan dididik
produktif dan diberi pekerjaan oleh dinas sosial seperti menjadi
tukang bersih-bersih di jalan pemkab atau tempat lain dan
sebagainya, bukannya memberikan hukuman berupa denda. Karena
penghasilan sangat minim dan bahkan tidak memiliki pekerjaan
sama sekali jadi tidak dimungkinkan untuk bisa membayar denda
dan malah akan memberatkan rakyat miskin.
4. Bahwa obyek permohonan bertentangan dengan PP No. 31 tahun
1980 tentang penanggulangan gelandangan dan pengemis disebutkan
di pasal 2 “ penanggulangan gelandangan dan pengemis yang
meliputi usaha-usaha preventif, represif, rehabilitative bertujuan agar
tidak terjadi pergelandangan dan pengemisan serta mencegah
meluasnya pengaruh akibat pergelandangan dan pengemisan di
dalam masyarakat dan memasyarakatkan kembali gelandangan dan
pengemis menjadi anggota masyarakat yang menghayati harga diri
serta memungkinkan pengembangan para gelandangan dan pengemis
untuk memiliki kembali kemampuan guna mencapai taraf hidup,
kehidupan dan penghidupan yang layak sesuai dengan harkat
martabat manusia.”
5. Bahwa disebutkan pada pasal 3 ayat 1 berbunyi kebijaksanaan di
bidang penanggulangan gelandangan dan pengemis di tetapkan oleh
menteri berdasarkan kebijaksanaan yang digariskan oleh pemerintah.
Dalam Ayat 2 dalam menetapkan kebijaksanaan menteri dibantu
oleh sebuah badan koordinasi yang susunan, tugas, wewenangnya di
atur dengan keputusan presiden.
6. Bahwa obyek permohonan bertentangan dengan pasal 2 ayat 1 UU
No. 6 tahun 1974 ( lembaran negara tahun 1974 nomor 53, tambahan
lembaran negara nomor 3039) tentang ketentuan pokok
kesejahteraan sosial menyatakan kesejahteraan sosial ialah suatu tata
kehidupan dan penghidupan soaial materiil maupun spiritual yang
diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir
batin, yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk
8
mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan sesuai dengan hak asasi
dan pancasila.
Keadaan tersebut hanya anak tercapai dengan baik apabila keadaan
masyarakat dan negara berada dalam taraf kesejahteraan sosial yang
baik serta menyeluruh dan rata, namun pada kenyataannya bahwa
keadaan sosial ekonomi yang belum mencapai taraf kesejahteraan
sosial yang baik, menyeluruh dan merata dapat berakibat
meningkatnya gelandangan dan pengemis terutama di kota-kota
besar.
7. Bahwa obyek permohonan pasal 432 tentang pergelandangan
bertentangan dengan Ideologi negara Indonesia yaitu Pancasila pada
sila kelima “ Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ”. Negara
Kesatuan Republik Indonesia didirikan untuk mencapai
kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Terwujudnya keadilan sosial adalah salah satu cita-cita yang telah
digagas oleh pendiri bangsa sebagaimana diungkapkan dalam
pembukaan UUD 1945. Seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali,
berhak untuk mendapatkan kehidupan yang layak.
8. Bahwa obyek permohonan tidak sejalan dengan adanya PP 31/1980
tentang Penanggulangan Gelandangan Dan Pengemis pada pasal 4,
5, dan 6.
a) Pasal 4 berbunyi “ Usaha preventif adalah usaha secara terorganisir
yang meliputi penyuluhan, bimbingan, latihan, dan pendidikan,
pemberian bantuan, pengawasan serta pembinaan lanjut kepada
berbagai pihak yang ada hubungannya dengan pergelandangan dan
pengemisan, sehingga akan tercegah terjadinya :
a. Penggelandangan dan pengemisan oleh individu atau keluarga-
keluarga terutama yang sedang berada dalam keadaan sulit
penghidupannya;
b. Meluasnya pengaruh dan akibat adanya pergelandangan dan
pengemisan di dalam masyarakat yang dapat mengganggu
ketertiban dan kesejahteraan pada umumnya;
9
c. Penggelandangan dan pengemisan kembali oleh para
gelandangan dan pengemis yang telah direhabilitir dan telah
ditransmigrasikan ke daerah pemukiman baru ataupun telah
dikembalikan ke tengah masyarakat “.
b) Pasal 5 berbunyi “ Usaha represif adalah usaha-usaha yang
terorganisir, baik melalui lembaga maupun bukan dengan maksud
menghilangkan pergelandangan dan pengemisan, serta mencegah
meluasnya di dalam masyarakat.”
c) Pasal 6 berbunyi “ Usaha rehabilitatif adalah usaha-usaha yang
terorganisir meliputi usaha-usaha penyantunan, pemberian latihan
dan pendidikan, pemulihan kemampuan dan penyaluran kembali
baik ke daerah-daerah pemukiman baru melalui transmigrasi maupun
ke tengah-tengah masyarakat, pengawasan serta pembinaan lanjut,
sehingga dengan demikian para gelandangan dan pengemis, kembali
memiliki kemampuan untuk hidup secara layak sesuai dengan
martabat manusia sebagai Warganegara Republik Indonesia. ”
IV. PETITUM
10
Bilamana majelis hakim pada mahkamah konstitusi republik
Indonesia mempunyai keputusan lain, mohon putusan yang seadil-
adilnya. ( ex aequo et bono )
11
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Rahma Fitrianingsih
Ii setianingsih
Wuwun Ayu Krisnita
Jabatan : Anggota DPR RI
Alamat kantor : Jl. Gatot Subroto No. 1, RT.1/RW.3,
Senayan, Tanahabang, Kota Jakarta Pusat,
Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10270,
Telepon, (021) Fax, (021).
Bertindak untuk dan atas nama DPR RI, berdasarkan surat kuasa khusus.
Dalam hal ini memberi kuasa kepada :
1. Ayu Purnamasari, S.H;
2. Kukuh Kendi Patwari, S.H;
Kesemuanya adalah advokat Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia, berkantor di jl. Pangeran Dipenegoro No.74, RT.9/RW.2,
Pegangasaan Kec. Menteng, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota
Jakarta 10320, Telp (021) 3929840, baik sendiri sendiri maupun secara
bersama-sama bertindak untuk dan atas nama Pemberi Kuasa.
12
dalil-dalil PEMOHON yang ditunjukan kepada TERMOHON
dan/atau yang ada kaitannya dengan kewenangannya dan tangung
jawab serta kepentingan TERMOHON.
A. DALAM EKSEPSI
Bahwa pertama-tama TERMOHON memandang perlu untuk
menyampaikan dalil eksepsi yang akan diajukan didasarkan pada
mekanisme sebagaimana telah diatur secara tegas dalam pasal 432
KHUP tentang pergelandangan. Jadi, tentang UU KHUP ini ialah :
1. Gelandangan menganggu ketertiban umum : dengan berkurangnya
ilmu pengetahuan, kurangnya lapangan pekerjaan dan banyak
angka pengelamdangan maka akan banyak sekali permasalahan
yang akan terjadi seperti kerusuhan anak punk yang nongkrong
dipinggir jalan, pemangkalan yang terjadi terhadap sopir angkutan
umum, pembunuhan karena berebut daerah kekuasaan.
2. Tujuan di terbitkan UU KHUP pasal 432 ini, lebih memperhatikan
masyarakatnya, sebab adanya gelandangan/ rakyat miskin/ anak
terlantar perlu perhatian agar tersejahterakan kehidupan bagi
masyarakat
3. Pasal mengenai gelandangan sebenarnya sudah di atur dalam
KHUP sebelum di revisi terdapat dalam pasal 49, pidana denda
kategori 1 yakni sebesar 1 juta.
13
2019, yang diajukan PEMOHON dengan alasan sebagai berikut :
1. Bahwa jika dicermati keseluruhan dalil dan alasan
PEMOHON sama sekali tidak ada yang merasa dirugikannya
hak konsektual Negara karena sudah ada dasar ataupun teori
pada pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
menyebutkan ‘’Fakir miskin dan anak-anak telantar di pelihara
oleh negara’’
2. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 432 UU KUHP
Menyatakan : Setiap orang yang bergelandangan dijalan atau di
tempat umum yang menganggu ketertiban umum dipidana
denda paling banyak kategori 1 (denda maksimal rp 1 juta).
3. Bahwa berdasarkan PP No.31 Tahun 1980 huruf b
menimbang : bahwa usaha penanggulangan tersebut,
disamping usaha-usaha pengcegahan timbulnya gelandangan
dan pengemis, bertujuan pula untuk memberikan rehabilitas
kepada gelandaangan dan atau pengemis agar mampu
mencapai taraf hidup, kehidupan, dan penghidupan yang layak
sebagai seorang warga negara Indonesia.
4. Bahwa permohonan PEMOHONtidak menjelaskan secara
rinci terkait sanksi apa saja yang merugikan pihak-pihak terkait
terhadap Mahkamah Konstitusi.
14
1. Gelandangan menganggu ketertiban umum : dengan
berkurangnya ilmu pengetahuan, kurangnya lapangan pekerjaan
dan banyak angka pengelamdangan maka akan banyak sekali
permasalahan yang akan terjadi seperti kerusuhan anak punk
yang nongkrong dipinggir jalan, pemangkalan yang terjadi
terhadap sopir angkutan umum, pembunuhan karena berebut
daerah kekuasaan.
2. Tujuan di terbitkan UU KHUP pasal 432 ini, lebih
memperhatikan masyarakatnya, sebab adanya gelandangan/
rakyat miskin/ anak terlantar perlu perhatian agar tersejahterakan
kehidupan bagi masyarakat
3. Pasal mengenai gelandangan sebenarnya sudah di atur dalam
KHUP sebelum di revisi terdapat dalam pasal 49, pidana denda
kategori 1 yakni sebesar 1 juta.
4. Bahwa berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Konsitusi terhadap
permohonan atas surat Keputusan Pengujian Materiil Mahkamah
Konsitusi Nomor 105/PUU/-X/2019 tertanggal 23 September
2019 Pasal 432 KUHP Tentang Penggelandangan Terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Berita acara Tentang Keputusan Pengujian Materiil Mahkamah
Konsitusi tertanggal 23 September 2019.
15
penentuan kedudukan hokum (legal standing)PEMOHON dalam
mengajukan pemohon pada pasal KUHP 432 tentang pergelandangan.
III. PETITUM
Berdasarkan keseluruhan tanggapan yang telah diutarakan di atas,
PIHAK TERMOHON mohon dengan hormat kiranya Mahkamah
Konsitusi Republik Indonesia berkenaan memutuskan :
Dalam EKSEPSI Mengabulkan ekspespi TERMOHON ;
Dalam Pokok Perkara
- Menolak permohonan PEMOHON untuk seluruhnya :
1. Menerima dan mengabulkan permohonan para pemohon untuk
seluruhnya ;
16
2. Menyatakan materi muatan pasal 432 KUHP tentang
pengelandangan bertentangan dengan UUD 1945;
3. Menyatakan materi muatan pasal 432 KUHP tidak memiliki
kekuatan hokum yang memikat;
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini di dalam berita Negara
Republic Indonesia;
Atau apabila Mahkamah Konsitusi berpendapat lain mohon
putusan seadil-adilnya ( ex aequo et bono)
17
3. PERTIMBANGAN HUKUM
Kewenangan Mahkamah
[3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 432 KUHP Tentang
Penggelandangan, tentang lembaran Mahkamah Konstitusi (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 105, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut
UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-UndangNomor48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU
Kekuasaan Kehakiman), Mahkamah berwenang, antara lain, mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945;
18
a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang
mempunyai kepentingansama);
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat;atau
d. lembaga negara;
19
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan,
maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan
atau tidak lagi terjadi;
c. Pasal 28 E ayat(3):
d. Pasal 28 G ayat(1):
20
kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan
dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu yang merupakan hak asasi.
4. KONKLUSI
21
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Pasal 432 KUHP tentang Penggelandangan bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”;
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya.
22
KETUA,
ttd
ANGGOTA-ANGGOTA,
ttd ttd
PANITERA PENGGANTI,
ttd
23