Glaukoma Pseudoexfoliativa
Pembimbing:
Disusun oleh :
BAB I
PENDAHULUAN
Prevalensi PXS secara global bervariasi tergantung usia, lokasi geografik, jenis kelamin,
dan ras. Prevalensi yang bervariasi dapat ditemukan pada negara berbeda, bahkan area berbeda
pada negara yang sama. Prevalensi PXS mencapai 25% di Islandia, 20% di Finlandia, 4.7% di
Jerman, 6.3% di Norwegia, dan 4% di Inggris.3 Secara umum PXS lebih banyak terjadi pada usia
di atas 50 tahun, dengan prevalensi yang semakin meningkat seiring dengan bertambahnya usia.4
Faktor risiko lain yang dapat mempengaruhi terjadinya PXS berupa daerah geografis yang lebih
tinggi dan tingkat paparan terhadap cahaya ultraviolet.1
PXS dapat didiagnosis melalui adanya materi pseudoeksfoliatif pada segmen anterior mata.
Hal ini dapat diobservasi melalui pemeriksaan slit-lamp.5 Diagnosis dari PXS biasanya terjadi
secara tidak disengaja. Meskipun demikian, kehilangan pengelihatan akibat glaukoma
pseudoeksfoliatif memiliki angka kejadian yang lebih tinggi dibandingkan glaukoma sudut terbuka
primer pada umumnya. Risiko komplikasi akibat operasi katarak karena PXS juga lebih besar4
Menurut laporan dari United Nation (UN), secara global, populasi masyarakat lansia
semakin meningkat. Dalam jangka 2015-2030, diperkirakan populasi lansia akan meningkat
sebesar 56%.6 Sebagai suatu penyakit terkait usia yang merupakan faktor risiko berat akan
terjadinya glaukoma, pemahaman akan PXS dan pemeriksaan tanda dan gejala PXS sangatlah
penting.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. Struktur : palpebra superior lebih lebar dan lebih aktif daripada palpebra inferior. Setiap
kelopak terbentuk oleh jaringan ikat tarsus superior dan inferior, yang berfungsi sebagai pemberi
bentuk pada kelopak mata serta sebagai pelindung bola mata.
3. Otot-Otot1,2
a. M.Orbicularis oculi pars palpebralis, salah satu otot mimik wajah, terletak
diantara kulit kelopak mata dan tarsus.
(1) Kontraksi otot ini menghasilkan kedipan mata, antara lain berfungsi
dalam mengalirkan air mata untuk membasahi bola mata bagian luar.
(2) Memperoleh persyarafan oleh N.facialis (N.VII)
b. M.Levator palpebrae superior, termasuk otot ekstrinsik mata
(1) Bersama otot-otot ekstrinsik lainnya melekat di belakang bola mata
kemudian melebar membentuk aponeurosis dan berakhir pada tarsus
superior.
(2) Berfungsi mengangkat palpebra pada saat elevasi bola mata
(3) Dipersyarafi oleh N.oculomotorius (N.III)
c. M. Tarsalis superior merupakan otot involunter
(1) Kontraksi otot ini memperlebar pembukaan rima palpebrarum
(2) Diinervasi oleh persyarafan simpatis
4. Conjunctiva1,2
a. Conjunctiva palpebra, melapisi permukaan dalam kelopak mata
b. Conjunctiva bulbi, melapisi bagian depan sklera
c. Lekukan yang terjadi karena peralihan kedua conjunctiva disebut fornix
conjunctivae, superior dan inferior
5. Glandula Lacrimalis bertumpu pada fossa glandule lacrimalis mengalirkan sekresi
glandula lacrimalis ke bagian lateral fornix conjunctivae superior.
6. Apparatus lacrimalis1,2
a. Lacus Lacrimalis, suatu area berbentuk segitiga pada medial canthus, tertutup
oleh plica semilunaris
b. Papilla lacrimalis dengan punctum lacrimale yang diteruskan sebagai canaliculi
lacrimalis.
c. Canaliculi Lacrimales Superior dan Inferior bersatu membentuk saccus
lacrimalis.
d. Saccus lacrimalis terletak dalam os lacrimalis dan dilanjutkan sebagai ductus
nasolacrimalis.
Bola mata merupakan struktur yang lentur dengan bagian luar terbungkus oleh jaringan ikat
fibrosa, sedangkan bagian dalam diisi oleh cairan yang mempertahankan bentuk bola mata.2
a. Sclera, tampak berwarna putih dan menempati 5/6 bagian bola mata. Merupakan tempat
perlekatan otot-otot ekstraokular. Bagian depannya dilapisi oleh konjungtiva bulbi yang
transparan dan mengandung banyak pembuluh-pembuluh darah kecil. Peralihan sclera dan
kornea disebut dengan limbus corneae.2
b. Cornea, berwarna transparan dan menempati 1/6 bagian bola mata depan. Bagian ini
tidak mengandung pembuluh darah (avascular), sangat sensitif, dipersyarafi oleh N.V1 dan
berperan dalam reflek kornea.2
a. Choroid, terutama terdiri dari pembuluh-pembuluh darah yang berasal dari a.cilliaris
brevis, dan pengembalian darah oleh venae verticose.2
c. Iris
Membagi ruangan antara cornea dengan lensa menjadi Camera Anterior dan Posterior.
Iris mengandung pigmen yang bervariasi, pada ujung-ujungnya membentuk gambaran
papilla. Otot-otot pada iris dapat mempengaruhi besarnya papilla, yaitu (i) M.Sphincter
papillae yang dikontrol oleh komponen parasimpatis (N.III), (ii) M.Dilator Pupilae yang
dikontrol oleh persyarafan simpatis.2
b) Trabekula uveal. Serabutnya berasal dari lapisan dalam stroma kornea, menuju ke
scleral spur (insersi dari m.siliaris) dan sebagian ke m.siliaris meridional.
c) Serabut yang berasal dari akhir membran Descemet (garis Schwalbe). Serabut ini
menuju ke jaringan pengikat m.siliaris radialis dan sirkularis.
Trabekula terdiri dari jaringan kolagen, homogen, elastis dan seluruhnya diliputi oleh
endotel. Keseluruhannya merupakan spons yang tembus pandang, sehingga bila ada darah
di dalam kanalis Schlemm, dapat terlihat dari luar.3
Humor akuous diproduksi oleh epitel non pigmen dari korpus siliaris dan mengalir ke
dalam bilik posterior, kemudian masuk diantara permukaan posterior iris melalui sudut
pupil. Selanjutnya masuk ke bilik anterior. Humor akuous keluar dari bilik anterior melalui
dua jalur konvensional (jalur trabekula) dan jalur uveosklera(jalur non trabekula).3
2.3 Epidemiologi
Prevalensi PXS secara global bervariasi tergantung usia, lokasi geografik, jenis kelamin,
dan ras.5
a) Negara dan ras :
i. Di Amerika Serikat, PXS ditemukan pada 12% pasien
dengan glaukoma.6
ii. Berdasarkan data dari Singapore Hospital Eye outpatient
clinic:7
· 93 pasien (2.8%) dari 3.297 pasien terdiagnosa PXS.
· Orang India memiliki risiko 5,04 kali lebih tinggi menderita PXS
dibandingkan orang Cina, sedangkan orang Melayu memiliki risiko
2,22 kali lebih tinggi menderita PXS dibandingkan orang Cina.
b) Jenis kelamin: PXS lebih banyak ditemukan pada wanita dibanding pria. Pada penelitian
oleh Kozart dan Yanoff, PXS 3 kali lebih umum ditemukan 3 kali lebih banyak pada wanita
dibandingkan pria.6
c) Usia: PXS jarang ditemukan pada pasien berusia di bawah 50 tahun dan insidensinya
meningkat sebanding dengan bertambahnya usia. Di Norway, prevalensi PXS pada orang
berusia 50-59 tahun sebesar 0,4% dan pada orang berumur 80-89 tahun sebesar 7.9%. PXS
ditemukan pada individu dengan usia rata-rata 69-75 tahun.7
2.4 Etiologi
Peningkatan TIO menyebabkan munculnya glaukoma pada 50% penderita. Penelitian
mengatakan bahwa tingkat konversi dari sindrom pseudoeksfoliativa menjadi glaukoma
pseudoeksfoliativa adalah 3.2% pertahun. Glaukoma yang muncul biasanya berupa
glaukoma kapsular. Pasien dengan sindroma pseudoeksfoliativa memiliki TIO yang lebih
tinggi dibandingkan dengan pasien penderita glaukoma sudut terbuka. TIO yang tinggi
menimbulkan gangguan lapang pandang dan kerusakan saraf optik. 8
4. Aktivitas luar ruangan dan pajanan pada sinar matahari ataupun pantulan sinar
matahari yang dari salju / es / air.
2.6 Patofisiologi
Patogenesis pasti dari PXS masih belum dapat dimengerti. Namun proses patologis yang
terjadi dalam intraokuler dan ekstraokuler dikarakteristikkan dengan akumulasi matriks
fibrillar yang abnormal dan progresif, baik karena produksi yang berlebih atau
ketidakmampuan untuk mendegradasi ataupun keduanya, sehingga menimbulkan gambaran
yang khas pada mikroskop cahaya dan memiliki ultrastruktural.11,12
Exfoliation fiber memiliki penampakan yang dapat dibedakan dari bentuk matriks
ekstraseluler lain. Mikroskop cahaya menunjukkan bahwa PXS memiliki periodic acid-
Schiff (PAS) yang positif, eosinofilik, bush-like, dan agregat nodular pada permukaan dari
segmen anterior. 11,12
Pada mata, material PXS diproduksi oleh epitel lensa preequatorial, endotel kornea, iris, sel
endotel vaskular, epitel silier nonpigmented, dan endotel trabekular. Distribusi pasif dari
material tersebut oleh aqueous humor dapat menyebabkan penumpukan abnormal pada
kapsul anterior sentral lensa, zonula, permukaan anterior hyaloid, vitreous, dan lensa
intraokular. Pada daerah ekstraokuler, fiber ditemukan pada dinding vaskular, sel otot, dan
kardiomiosit. 11,12
Fibril terbentuk dari mikrofibril dengan ukuran diameter 8-10 nm, yang mengalami agregrasi
membentuk fibril PXS yang komplit. Penelitian menggunakan immunohistokimia dan
spektrometri massa menunjukkan material PXS terbentuk dari struktur
glikoprotein/proteoglikan kompleks dengan epitop dari membran basal dan sistem elastic
fiber. Fibril ini terdiri dari subunit mikrofibrillar yang diselubungi dengan matriks amorfik
yang terbentuk dari berbagai macam glikokonjugat yang sebagian besar merupakan epitop
elastic fiber, seperti elastin, tropoelastin, amiloid P, vitronectin, bersamaan dengan
komponen elastic microfibril, seperti fibrillin-1, microfibril-associated glycoprotein
(MAGP-1), dan latent transforming growth factor (TGF-β1) binding proteins (LTBP-1 dan
LTBP-2). 11,12
Dengan analisis ekspresi gen, jaringan PXS memiliki ekpresi gen yang berbeda-beda yang
berhubungan dengan metabolisme matriks ekstraseluler dan dalam stress seluler. Terdapat
sekumpulan gen pada segmen anterior yang secara konsisten meningkatkan komponen
elastic microfibril, cross linking enzyme transglutaminase (TGase)-2, TIMP-2, TGF-β1,
sitokin proinflamasi, apolipoprotein D, dan adenosine reseptor (AdoR)-A3. Terdapat juga
gen yang menurunkan TIMP-1, extracellular chaperone clusterine, antioxidant defense
enzymes glutathione-S-transferases, komponen ubiquitin-proteasome pathway, beberapa
protein yang memperbaiki DNA, faktor transkripsi Id-3, dan serum amyloid A1. Temuan ini
dapat dijadikan bukti sehingga memungkinkan patofisiologi dasar dari PXS berhubungan
dengan produksi berlebih dari komponen elastic microfibril, enzymatic cross-linking
processes, ekspresi berlebih dari TGF-β1, ketidakseimbangan proteolitik antara matriks
metalloproteinase (MMPs) dan inhibitornya (TIMPs), peningkatan stress seluler dan
oksidatif, dan kerusakan respon stress seluler yang ditunjukkan dengan penurunan enzim
antioksidatif, ubiquitin conjugating enzymes, clusterin, dan proterin untuk memperbaiki
DNA. Selain itu proses inflamasi yang ditandai dengan peningkatan level interleukin IL-6
dan IL-8 di aqueous pada tahap awal PXS, merupakan mekanisme utama dari onset proses
matriks fibrosis. 11,12
Genetik sebagai faktor risiko dari PXS, LOXL1, merupakan anggota dari lysyl oxidase yang
diperlukan untuk pembentukan dan stabilisasi elastic fiber. Penelitian terbaru menunjukkan
disregulasi dari ekspresi LOXL-1 dan hubungannya dalam pembentukan abnormalitas
agregat PXS dalam jaringan okular. 11,12
Data dari immunohistokimia, biokimia, dan molekular biologik memberikan bukti yang kuat
mengenai teori elastic microfribil sebagai patogenesis dan membuktikan XFS merupakan
tipe elastosis affecting elastic microfibril. Saat ini, elastosis diperkirakan sebagai pemicu
stress dan behubungan dengan produksi berlebih dari elastic microfibril yang beragregasi
menjadi fibril matur. Proses ini terjadi dengan cara abnormal enzymatic cross-linking oleh
berbagai macam sel elastogenik. Cross-linking memberikan stabilitas yang dapat mencegah
degradasi, sehingga membentuk akumulasi yang progresif. Proses ini semakin bertambah
karena pengaruh dari faktor pertumbuhan (terutama TGF-β1), peningkatan stress seluler dan
oksidatif, rusaknya sistem perlindungan sel, dan ketidakseimbangan antara MMPs dan
TIMPs. 11,12
TGF-β1 sebagai modulator utama untuk terjadinya pembentukan matriks pada berbagai
macam penyakit fibrosis, menjadi kunci utama untuk memulai proses PXS. TGF-β1
meningkat secara signifikan di dalam aqueous humor pada pasien PXS, diproduksi secara
aktif oleh jaringan segmen anterior, dan meregulasi sebagian besar ekspresi gen pada mata
PXS. Terikatnya TGF-β1 pada material PXS melalui TGF-β binding protein LTBP-1 dan
LTBP-2 menandakan mekanisme aktivitas regulasi faktor pertumbuhan pada PXS. 11,12
Saat ini, mekanisme dari gen LOXL1 sebagai faktor resiko PXS masih belum dimengerti
secara pasti. Patogenesisnya menyangkut tingkat disregulasi ekspresi, abnormal splicing
event, atau perubahan spesifisitas substrat dari LOLX1. Namun, PXS yang berhubungan
dengan LOXL1 tidak mempengaruhi aktivitas enzim. Sebagai mana yang terlihat dari
keturunan PXS yang kompleks, dapat diasumsikan bahwa genetik dan faktor lingkungan
mempengaruhi menifestasi penyakit. Stress oksidatif, hipoksia, TGF-β1, sitokin
proinflamasi, dan homosistein merupakan faktor yang dapat memodulasi proses fibrosis.
Pengurangan antioksidan dan peningkatan stress oksidatif di aqueous humor, serum, dan
jaringan mengindikasikan ketidakmampuan sistem pertahanan antioksidatif dan peningkatan
stress oksidatif di anterior chamber dari PXS. 11,12
Mekanisme sudut terbuka sebagian besar disebabkan oleh peningkatan resistensi aliran
keluar di trabecular meshwork yang terjadi akibat penyumbatan jalur keluar akous oleh
13,15
exfoliation material (XFM). Meskipun endapan XFM dapat ditemukan di seluruh
trabecular meshwork, efek utamanya terletak pada akumulasi pada jaringan juxtacanalicular
di bawah dinding bagian dalam dari kanal Schlemm, tempat resistensi terbesar terhadap aliran
akous keluar. Daerah ini menjadi tebal melalui deposisi XFM, yang diproduksi secara lokal
oleh sel-sel endotel yang melapisi kanal Schlemm. Penumpukan XFM secara bertahap
tersebut berkorelasi dengan tingkat TIO dan dengan derajat keparahan kerusakan saraf optik
akibat glaukoma. Ini juga dapat dikaitkan dengan perubahan degeneratif progresif dari kanal
Schlemm, termasuk penyempitan, fragmentasi, dan obstruksi. Temuan ini menunjukkan
hubungan kausatif langsung antara penumpukan XFM dalam trabecular meshwork dan
perkembangan glaukoma, dan menunjukkan bahwa upaya terapi untuk meningkatkan aliran
15
keluar akous dapat menurunkan TIO.
Saluran keluar trabekular juga dapat terhambat oleh pigmen yang dilepaskan dari epitel
pigmen iris akibat gesekan iridolentikular, dengan exfoliation material yang berperan
sebagai elemen abrasif yang mengganggu sel-sel epitel pigmen iris. Selain itu, peningkatan
konsentrasi protein di akous juga telah diusulkan dapat meningkatkan resistensi aliran keluar.
Tanda-tanda yang menunjukkan dispersi pigmen (pelepasan pigmen ke dalam bilik anterior
setelah dilatasi pupil, hilangnya pupillary ruff, defek transiluminasi sfincter iris, deposisi
pigmen pada kornea yang mirip dengan spindel Krukenberg, deposisi pigmen partikulat pada
permukaan iris, dan peningkatan pigmentasi trabekuler) menonjol pada PXS dan mungkin
merupakan temuan diagnostik awal sebelum munculnya endapan exfoliation material pada
tepi pupil atau kapsul lensa anterior. Pada pasien dengan pseudoexfoliation glaucoma
unilateral klinis, pigmen trabekuler biasanya lebih padat di mata yang terlibat. Mata dengan
POAG atau mata tanpa glaukoma cenderung memiliki lebih sedikit pigmentasi daripada mata
dengan pseudoexfoliation glaucoma. Kerusakan glaukoma biasanya lebih parah pada mata
14,15
dengan pigmentasi trabekular yang lebih besar.
2.7 Klasifikasi
1. Glaukoma Primer
a) Glaukoma sudut terbuka primer
Glaukoma sudut terbuka primer terdapat kecenderungan familial yang kuat. Gambaran
patologi utama berupa proses degeneratif trabekular meshwork sehingga dapat
mengakibatkan penurunan drainase humor aquos yang menyebabkan peningkatan
takanan intraokuler. Pada 99% penderita glaukoma primer sudut terbuka terdapat
hambatan pengeluaran humor aquos pada sistem trabekulum dan kanalis schlemm.16
b) Glaukoma sudut tertutup primer
Glaukoma sudut tertutup primer terjadi pada mata dengan predisposisi anatomis tanpa
ada kelainan lainnya. Adanya peningkatan tekanan intraokuler karena sumbatan aliran
keluar humor aquos akibat oklusi trabekular meshwork oleh iris perifer.16
2. Glaukoma Sekunder
a) Glaukoma Sekunder Sudut Terbuka
Peningkatan tekanan intraokuler pada glaukoma sekunder merupakan manifestasi dari
penyakit lain dapat berupa peradangan, trauma bola mata dan paling sering disebabkan
oleh uveitis. Bila terjadi peningkatan tekanan bola mata sebagai akibat menifestasi
penyakit lain maka glaukoma ini disebut sebagai glaukoma sekunder. Contoh
glaukoma jenis ini adalah: 16
· Sindroma Pseudoeksfoliasi (Exfoliation Syndrome)
· Glaukoma Pigmenter (Pigmentary Glaucoma)
· Glaukoma akibat kelainan lensa
· Glaukoma akibat tumor intraokuli
· Glaukoma akibat inflamasi intraokuli
Pada glaukoma pseudoeksfoliasi dijumpai endapan bahan-bahan berserat mirip
serpihan pada kapsul dan epitel lensa, pinggir pupil, epitel siliar, epitel pigmen iris,
stroma iris, pembuluh darah iris, dan jaringan subkonjungtiva. Pada glaukoma ini
material serpihan tersebut akan mengakibatkan obstruksi trabekulum dan mengganggu
aliran akuos humor. Asal material ini secara pasti tidak diketahui, kemungkinan berasal
dari berbagai sumber sebagai bagian dari kelainan membran dasar umum. 16
b) Glaukoma Sekunder Sudut Tertutup dengan Blok Pupil
Dapat disebabkan oleh glaukoma fakomorfik (disebabkan oleh lensa yang
membengkak), ektopia lentis (perubahan letak lensa dari posisi anatomisnya), blok
pupil juga dapat terjadi pada mata afakia dan pseudofakia. 16
c) Glaukoma Sekunder Sudut Tertutup tanpa Blok Pupil
Glaukoma sekunder ini dapat terjadi oleh karena 1 dari 2 mekanisme berikut:
1. Kontraksi dari inflamasi, perdarahan, membran pembuluh darah, band, atau eksudat
pada sudut yang menyebabkan perifer anterior sinekia (PAS). 16
2. Perubahan tempat ke depan dari diafragma lensa-iris, sering disertai pembengkakan
dan rotasi ke depan badan siliar. Yang termasuk glaukoma ini seperti glaukoma
neovaskular, sindrom iridokorneal endothelial (ICE), tumor, inflamasi, aquos
misdirection, dan lain-lain. 16
3. Glaukoma kongenital
Glaukoma kongenital biasanya sudah ada sejak lahir dan terjadi akibat gangguan
perkembangan pada saluran humor aquos. Glaukoma kongenital seringkali diturunkan.
Pada glaukoma kongenital sering dijumpai adanya epifora dapat juga berupa fotofobia
serta peningkatan tekanan intraokuler. Glaukoma kongenital terbagi atas glaukoma
kongenital primer (kelainan pada sudut kamera okuli anterior), anomali perkembangan
segmen anterior, dan kelainan lain (dapat berupa aniridia, sindrom Lowe, sindrom
Sturge-Weber dan rubela kongenital). 16
2.8 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang ditimbulkan dapat berupa asimptomatis, atau biasanya keluhan
yang muncul adalah berkurangnya kemampuan penglihatan. 7
Tanda klasik glaukoma pseudoeksfoliativa adalah adanya material pseudoeksfoliatif putih
pada margin pupil dan pada permukaan lensa anterior (dengan zona antara yang jelas karena
terhapus oleh iris) yang terlihat jelas setelah dilakukan dilatasi. Material pseudoeksfoliatif dapat
dilihat pada konjungtiva, endotel kornea, zonula lensa, proses siliaris, dan meshwork trabecular.
Pada mata pseudophakia dan aphakia, dapat dilihat pada lensa intraokular dan wajah vitreus.9
Tanda-tanda sindroma ini disertai juga tanda-tanda glaukoma, dapat berupa tanda-tanda
glaukoma sudut terbuka maupun glaukoma sudut tertutup.
Tanda lain sindroma pseudoekfoliativa lain adalah midriasis, sinekia posterior, deposisi
pigmen pada permukaan iris, deposisi pigmen dan adanya material pseudoeksfoliativa pada
endotel kornea, terlepasnya pigmen setelah dilatasi pupil, dan adanya material pseudoeksfoliativa
yang menutupi siliar dan zonula. Subluksasi lensa dan dekompensasi endotel kornea dapat
ditemukan.7
Gambar 1.2 Mata kiri pasien dengan glaukoma pseudoeksfoliativa. Perhatikan material pseudoeksfoliatif putih pada
9
kapsul lensa anterior sentral, dikelilingi oleh zona tembus cahaya (disebabkan oleh penggosokan iris)
Gambar 1.3 Mata kiri pasien dengan glaukoma pseudoeksoliativa. Perhatikan material pseudoeksfoliatif putih pada
bagian luar kapsul lensa dan zona tembus cahaya bagian dalam yang disebabkan oleh penggosokan iris. Hal ini tidak
dapat ditemukan pada pupil yang tidak berdilatasi 9
Gambar 1.4 Mata kiri pasien dengan glaukoma pseudoeksfoliativa. Perhatikan material pseudoexfoliativa pada margin
pupil. 9
9
Gambar 1.5 Terjadi peningkatan dan pigmentasi yang tidak merata pada trabecular meshwork.
Gambar 1.6 Material pseudoeksfoliativa pada margin pupil. 9
Gambaran yang paling umum yang didapati adalah tanda 3 cincin pada kapsul lensa
anterior, yang dibentuk oleh central disk, cincin periferal, dan zona tembus cahaya yang
memisahkan keduanya. Zona tembus cahaya memiliki diameter yang bervariasi dan memiliki tepi
yang melengkung.7
Central disk berdiameter 1-2.5 mm dan berbatas tegas. Cincin periferal dapat terlihat
setelah pupil berdilatasi. Ukuran cincin periferal dapat bervariasi. Zona tembus cahaya dibentuk
oleh karena proses gesekan fisiologis dari permukaan posterior iris terhadap lensa yang
mengakibatkan pengikisan material pseudoeksfoliatif dari permukaan lensa. Pergesekan ini
menyebabkan pigmentary dispersion syndrome, dengan hilangnya melanin dari pigmen epitel iris
pada margin pupil sehingga berbentuk seperti gigi gergaji dan terdapat akumulasi butiran melanin
pada trabecular meshwork. Selain itu dapat juga ditemukan atrofi peripupil dari iris yang dapat
dilihat menggunakan transiluminasi infrared.7,9
Flouresen angiografi dan studi ultrastruktural telah menunjukkan adanya hipoksia pada
iris, dan hipoperfusi yang mungkin menjadi faktor terjadinya sindrom eksfoliasi. Hipoksia dapat
menyebabkan atrofi epitel pigmen iris, stroma, dan otot.9
Pemeriksaan gonioskopi menunjukan ada diskontinutitas pigmentasi dari trabecular
meshwork, yang memperlihatkan sudut terbuka, biasanya dengan densitas yang lebih rendah dari
glaukoma pigmen. Berbeda dengan glaukoma pigmen, pada trabecular meshwork terlihat pigmen
meningkat namun sebarannya tidak merata. Dispersi melanin ditimbulkan dari atrofi pigmen epitel
iris. Material pseudoeksfoliatif dapat juga ditemukan pada trabecular meshwork. Pada kasus
unilateral, perlu diperhatikan meningkatnya pigmentasi trabecular meshwork pada mata yang
terkena tanpa tanda-tanda eksfoliatif merupakan tanda paling awal dari proses penyakit yang
terdeteksi pada mata kontralateral. Meskipun sebagian besar mata dengan sindrom
pseudoexfoliativa atau glaukoma memiliki sudut terbuka, sekitar 9-18% mata dapat memiliki
sudut yang dapat ditutup kembali dan pasien dapat mengalami serangan akut glaukoma sudut
tertutup. Hal ini dapat disebabkan oleh lemahnya zonular yang menyebabkan pemindahan dari
diafragma iris-lensa dan sudut tertutup sekunder.7,9
Diagnosis
Diagnosa ditegakkan berdasarkan ditemukannya material pseudoexfoliatif pada hampir
seluruh struktur anterior mata. Sindroma pseudoexfoliativa didiagnosa secara klinis menggunakan
slit lamp yang memiliki sensitivitas 85% dan spesifisitas 100%.7 Selain slit lamp, gonioskopi dan
dilatasi pupil merupakan gold standart untuk menegakan diagnosis glaukoma pseudoeksfoliativa.
Pelebaran pupil yang buruk dan terganggu pada glaukoma pseudoeksfoliativa dapat disebabkan
oleh endapan fibrillar dan iskemik pada iris yang menyebabkan atrofi stroma. Midriasis yang
optimal dibutuhkan untuk melihat material pseudoeksoliatif di atas kapsul anterior lensa.5
Diagnosis Banding
Tatalaksana
Banyak pilihan terapi pada glaukoma dengan pseudoeksfoliasi ini, diantaranya seperti
pengobatan untuk menurunkan TIO seperti halnya dengan glaukoma biasa dapat dilakukan sebagai
terapi pilihan pertama. Pengobatan ini dapat menggunakan beta bloker, alfa 2 reseptor agonis
selektif, sistemik dan topikal inhibitor karbonik anhidrase, agonis prostaglandin dan
simpatomimetik.12
Glaukoma dengan sindrom eksfoliatif pada dasarnya diperlakukan sama dengan glaukoma
sudut terbuka primer. Meskipun telah ditekankan bahwa tipe glaukoma lebih sulit terkontrol.
Operasi laser sering dilakukan lebih awal daripada glaukoma sudut terbuka primer. Laser
trabekuloplasti mungkin sangat efektif dalam sindrom pseudoeksfoliasi, pengaturan energi yang
lebih rendah namun diperlukan karena pigmentasi meningkat ditemukan di mata dengan
pseudoeksfoliasi. Pengobatan untuk memberikan efek konstriksi pada pupil yaitu miosis, yang
dapat membantu mengurangi gesekan pada bagian posterior iris terhadap serpihan
pseudoeksfoliasi dan dapat mengurangi jumlah pigmen tersebut. Obat topikal sama dengan obat
pada penderita glaukoma sudut terbuka. Ketika pengobatan tidak lagi adekuat, trabekuloplasti laser
diindikasikan dan rata-rata tingkat keberhasilanya tinggi. Operasi filtrasi (trabekulektomi)
umumnya dianjurkan.14
Pasien dengan sindrom pseudoeksfoliasi memiliki peningkatan risiko katarak dan lebih
rentan terhadap komplikasi pada saat ekstraksi katarak. Penurunan dilatasi pupil, bersama dengan
serat zonula lemah dan sinekia antara iris dan perifer kapsul lensa anterior, membuat operasi
katarak secara teknis sulit. Selain itu, terdapat peningkatan insiden kapsuler pecah, kehilangan
vitreous dan dehiscence zonula selama ekstraksi katarak pada pasien dengan sindrom
pseudoeksfoliasi.15
Subluksasi lensa dan fakodonesis pada sindrom pseudoeksfoliasi dilaporkan 8,4% - 10.6%
terjadi selama operasi. Komplikasi pasca operasi ekstraksi katarak juga meningkat pada sindrom
pseudoeksfoliasi, termasuk peradangan, kekeruhan kapsul posterior, sindrom kontraksi kapsul dan
desentrasi IOL.15
BAB III
KESIMPULAN
Etiopatogenesis dari PXS belum sepenuhnya dipahami. Genetik dan faktor lingkungan diduga
mempengaruhi menifestasi penyakit. Patofisiologi dasar dari PXS diduga berhubungan dengan
produksi berlebih dan degradasi yang menurun dari matriks fibrilar. PXS banyak dikaitkan dengan
terjadinya pseudoexfoliation glaucoma. Pseudoexfoliation glaucoma dapat disebabkan oleh
mekanisme sudut terbuka, sudut tertutup, atau kombinasi keduanya. Mekanisme sudut tertutup
dikaitkan dengan pupillary block sedangkan sudut terbuka sebagian besar disebabkan oleh akibat
penyumbatan trabecular meshwork materi eksfoliatif. Beberapa penelitian menunjukkan
hubungan antara PSX dengan katarak. Perubahan pada vaskular iris dan blood aqueous barrier
mempengaruhi komposisi aqueous sehingga mempengaruhi metabolisme lensa. Pasien dengan
PXS juga memiliki peningkatan resiko untuk terjadinya komplikasi intraoperatif dan
postoperative.
Manifestasi klinis dari PXS berupa tekanan intraokular yang meningkat, dilatasi yang buruk
dengan defek transiluminasi peripupil, deposit serpihan putih fibrin pada kapsul lensa anterior.
Secara umum, diagnosis PXS ditegakkan berdasarkan ditemukannya materi pseudoexfoliation
pada segmen anterior mata. Tatalaksana glaukoma dan katarak pada PXS kurang lebih sama
seperti glaukoma dan katarak pada umumnya, akan tetapi prognosis pada glaukoma dan katarak
pesudoexfoliation lebih buruk. Pada pseudoexfoliation glaucoma, kerusakan saraf optik dan
kebutaan terjadi lebih sering. Operasi katarak akibat PXS juga memiliki risiko komplikasi yang
lebih tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Lang, F. 2003. Sistem Neuromuskular dan Sensorik dalam Teks dan Atlas Berwarna
Patofisiologi.Jakarta : penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 322-323
2. Vaughan D, Asbury T. Vaughan & Asbury’s General Opthalmology. New York: Lange
Medical Books/McGraw-Hill; 2011.
3. Khurana A. Comprehensive ophthalmology. Tunbridge Wells: Anshan; 2015.
4. Diagnosis and Management of Pseudoexfoliation Glaucoma - American Academy of
Ophthalmology [Internet]. [cited 2019 Oct 15]. Available from:
https://www.aao.org/eyenet/article/diagnosis-management-of-pseudoexfoliation-
glaucoma
5. Yildirim N, Yasar E, Gursoy H, Colak E. Prevalence of pseudoexfoliation syndrome and
its association with ocular and systemic diseases in Eskisehir, Turkey. Int J Ophthalmol.
2017;10:128–34.
6. Pseudoexfoliation Syndrome (Pseudoexfoliation Glaucoma): Background,
Pathophysiology, Epidemiology. 2017 [cited 2019 Oct 15]; Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/1206366-overview#a6
7. Lee J, Wong EP, Ho SL. Pseudoexfoliation syndrome at a Singapore eye clinic. Clin
Ophthalmol. 2015;1619.
8. ePainAssist T. What is Pseudoexfoliation
Syndrome|Causes|Symptoms|Treatment|Prognosis|Pathophysiology|Risk
Factors|Complications [Internet]. ePainAssist. 2016 [cited 2019 Oct 15]. Available from:
https://www.epainassist.com/eye-pain/what-is-pseudoexfoliation-syndrome
9. Nathan N, Kuchtey RW. Genetics, Diagnosis, and Monitoring of Pseudoexfoliation
Glaucoma. Curr Ophthalmol Rep. 2016;4:206–12.
10. Fuse N, Miyazawa A, Nakazawa T, Mengkegale M, Otomo T, Nishida K. Evaluation of
LOXL1 polymorphisms in eyes with exfoliation glaucoma in Japanese. Mol Vis.
2008;14:1338–43.
11. Ritch R, Schlötzer-Schrehardt U, Allingham RR. Exfoliation Syndrome and Exfoliative
Glaucoma. In: Glaucoma [Internet]. Elsevier; 2015 [cited 2019 Oct 15]. p. 357–65.
Available from: http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/B9780702051937000315
12. Lee B, Samuelson T. Glaucoma associated with pseudoexfoliation syndrome. In: 4th ed.
Elsevier; 2014. p. 1070–2.
13. Nathan N, Kuchtey RW. Genetics, Diagnosis, and Monitoring of Pseudoexfoliation
Glaucoma. Curr Ophthalmol Rep. 2016;4:206–12.
14. Ritch R, Schlötzer-Schrehardt U. Exfoliation (pseudoexfoliation) syndrome. Ocul Dis
Mech Manag. 2010;4:184–92.
15. Ritch R, Schlötzer-Schrehardt U, Allingham RR. Exfoliation Syndrome and Exfoliative
Glaucoma. In: Glaucoma: Second Edition. 2015. p. 357–65.
16. Bowling B. Kanski’s Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach. 8th ed. Sydney:
Elsevier Saunders; 2016
17. Khawaja A. Pseudoexfoliative glaucoma. Eyewiki [Internet]. 2019 [updated Sept 20th
2019, cited october 15th 2019]. Available from:
https://eyewiki.aao.org/Pseudoexfoliative_Glaucoma
18. George K, Andrikopoulus, Sotirios, Gartaganis. Pseudoekxfoliation and Cataract. Greece:
Departement of Ophtalmology Medical School University of Patras Greece. 2010. P 353-
365.
19. American academy of ophtalmology. Pesudoexfoliation Syndrom. 2006.[Cited 16th
October 2019].Available from: www.aao.org/eyenet/article/diagnosis-management-
ofpseudoexfoliation-glaukoma?june-2006.
20. Pigmentary Glaucoma. 2018 [cited 2019 Oct 19]; Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/1205833-overview#a5
21. Stamper R, Lieberman M, Drake M. Becker-Shaffer’s. Diagnosis and Therapy of the
Glaukomas. 8th Edition. New York, NY: Mosby; 2009:239-265.