Anda di halaman 1dari 14

KATA PENGANTAR

Biaya kesehatan di Indonesia cenderung meningkat yang disebabkan oleh berbagai


faktor, di antaranya adalah pola penyakit degeneratif, orientasi pada pembiayaan kuratif,
pembayaran out of pocket (fee for service) secara indivi-dual, service yang ditentukan oleh
provider, teknologi canggih, perkembangan (sub) spesialisasi ilmu kedok-teran, dan tidak
lepas juga dari tingkat inflasi. Dengan kondisi dan situasi yang ada seperti ini maka akses dan
mutu pelayanan kesehatan terancam, terutama bagi masyarakat yang tidak mampu. Hal ini
menyebabkan derajat kesehatan masyarakat semakin rendah. Kondisi tersebut diperparah
dengan tarif rumah sakit yang tidak standar, sehingga masing-masing rumah sakit cenderung
menetapkan tarif sendiri. Dalam upaya menstandartkan tarif tersebut, pemerintah melalui
Departemen Kesehatan melakukan beberapa upaya satu di antaranya adalah Sistem Case-
mix.
Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU
SJSN) menjadi dasar untuk mewujudkan jaminan sosial kepada masyarakat Indonesia yang
sesungguhnya sudah diamanahkan oleh oleh UU Dasar Tahun 1945 untuk mewujudkan hak
konstitusional yang menjadi tanggungjawab negara. Sejak tahun 2005 Indonesia sebagai
anggota dari World Health Organization (WHO), bersama negara-negara anggota WHO
sepakat untuk melaksanakan dan mencapai Universal Health Coverage (UHC) di negaranya
masing-masing.
Untuk menjalankan SJSN dibuatlah UU NO. 24 Tahun 2011 Tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS). Jaminan kesehatan merupakan bagian dari
jaminan sosial. Indonesia sudah mulai melaksanakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
sejak 1 Januari 2014. Diharapkan pada tahun 2019 UHC tercapai di Indonesia, artinya
seluruh rakyat Indonesia wajib menjadi peserta JKN dengan membayar premi iuran setiap
bulan ke BPJS.
Rumah sakit adalah fasilitas kesehatan tingkat lanjut yang menjadi rujukan bagi
pasien yang tidak tertangani di fasilitas kesehatan tingkat pertama, yaitu Puskesmas, Klinik
Pratama, dan Dokter Keluarga yang bekerjasama dengan BPJS. Jasa pelayanan kesehatan
yang diberikan oleh rumah sakit kepada pasien peserta BPJS tidak langsung dibayar oleh
pasien, karena pasien sudah mengiur setiap bulan ke BPJS. Dengan demikian, rumah sakit
harus mengajukan klaim pembayaran jasa kesehatan ke BPJS. Pembayaran jasa pelayanan
kesehatan ke rumah sakit berupa paket INA-CBGs. INA-CBGs adalah singkatan dari
Indonesia Case Based Groups, yaitu istilah khusus Casemix untuk Indonesia.
BAB I
DEFENISI

Sistem casemix merupakan suatu sistem pengelompokan beberapa diagnosis penyakit


yang mempunyai gejala/ciri yang sama serta pemakaian sumber daya (biaya perawatan) yang
sama dan prosedur/tindakan pelayanan di suatu rumah sakit kedalam grup-grup. Sistem
pembayaran pelayanan kesehatan diberikan secara paket, dimana pembayaran/biaya telah
ditentukan sebelum pelayanan diberikan. Sistem ini dikaitkan dengan pembiayaan dengan
tujuan meningkatkan mutu dan efektifitas pelayanan. Casemix merupakan penggabungan
dari komponen costing, coding, clinical pathway dan teknologi informasi.
Case Base Groups (CBG's), yaitu cara pembayaran perawatan pasien berdasarkan
diagnosis-diagnosis atau kasus-kasus yang relatif sama. Sistem pembayaran pelayanan
kesehatan yang berhubungan dengan mutu, pemerataan dan jangkauan dalam pelayanan
kesehatan yang menjadi salah satu unsur pembiayaan pasien berbasis kasus campuran,
merupakan suatu cara meningkatkan standar pelayanan kesehatan rumah sakit. Rumah Sakit
akan mendapatkan pembayaran berdasarkan rata-rata biaya yang dihabiskan untuk suatu
kelompok diagnosis. Pengklasifikasian setiap tahapan pelayanan kesehatan sejenis kedalam
kelompok yang mempunyai arti relatif sama. Setiap pasien yang dirawat di sebuah RS
diklasifikasikan ke dalam kelompok yang sejenis dengan gejala klinis yang sama serta biaya
perawatan yang relatif sama.
Metode pembayaran prospektif dikenal dengan Casemix (case based payment) dan
sudah diterapkan sejak tahun 2008 sebagai metode pembayaran pada program Jaminan
Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Sistem casemix adalah pengelompokan diagnosis dan
prosedur dengan mengacu pada ciri klinis yang mirip/sama dan penggunaan sumber
daya/biaya perawatan yang mirip/sama, pengelompokan dilakukan dengan menggunakan
software grouper. Sistem casemix saat ini banyak digunakan sebagai dasar sistem
pembayaran kesehatan di negara-negara maju dan sedang dikembangkan di negara-negara
berkembang. Dalam implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah diatur pola
pembayaran kepada fasilitas kesehatan tingkat lanjutan adalah dengan INA-CBGs sesuai
dengan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013. Untuk tarif yang berlaku
pada 1 Januari 2014, telah dilakukan penyesuaian dari tarif INA-CBG Jamkesmas dan telah
ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 69 Tahun 2013 tentang Standar Tarif
Pelayanan Kesehatan pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama dan Fasilitas Kesehatan
Tingkat Lanjutan dalam penyelenggaraan Jaminan Kesehatan (BPJS Kesehatan).
Adapun pengelompokan diagnosis penyakit yang dikaitkan dengan biaya perawatan
dan dimasukan ke dalam group-group tertentu berdasarkan kesamaan, antara lain.
 Penyakit yang mempunyai Gejala Klinis yang sama.
 Pemakaian sumber daya yang sama (biaya perawatan sama)
 Sistem pembayaran pelayanan kesehatan secara paket dimana pembayaran /
biaya ditentukan sebelum pelayanan diberikan

Diantara keuntungan penerapan sistem Casemix pada Pelayanan Kesehatan adalah:


 Mendorong peningkatan mutu
 Mendorong layanan berorientasi pasien
 Mendorong efisiensi
 Tidak memberikan reward terhadap provider yang melakukan over treatment,
under treatment maupun melakukan adverse event.
 Mendorong untuk pelayanan tim (koordinasi/kerjasama antar provider)

Kekurangan sistem Casemix adalah:


• Code creep : Code Creep sering disebut sebagai upcoding, dan apabila mengacu pada
konteks Tagihan Rumah Sakit (hospital billing) maka disebut DRG Creep. Kurangnya
pengetahuan koder juga dapat menimbulkan code creep. Namun, tidak semua variasi yang
timbul dalam pengkodingan dapat disebut code creep. Pengembangan, revisi sistem koding
dan kebijakan yang diambil oleh suatu negara dalam pengklaiman kasus tertentu dapat
menyebabkan variasi pengkodean.
Contoh :
1. Kode “Z” dan “R” dipakai sebagai diagnosis utama, padahal ada
diagnosis lain yang lebih spesifik.
Contoh :
Diagnosis Utama : Chest Pain (R07.1)
Diagnosis Sekunder : Unstable Angina Pectoris (I20.0),
Seharusnya
Diagnosis Utama : Unstable Angina Pectoris (I20.0)
Diagnosis Sekunder : Chest Pain (R07.1)
2. Beberapa diagnosis yang seharusnya dikode jadi satu, tetapi dikode
terpisah
Contoh :
Diagnosis Utama : Hypertensi (I10)
Diagnosis Sekunder : Renal disease (N28.9)
Seharusnya dikode jadi satu yaitu Hypertensive Renal Disease (I12.9)
3. Kode asteris diinput menjadi diagnosis utama dan dagger sebagai
diagnosis sekunder.
Contoh :
Diagnosis Utama : Myocardium (I41.0*)
Diagnosis Sekunder : Tuberculosis of after specified organs
(A18.5†)
Seharusnya
Diagnosis Utama : Tuberculosis of after specified organs
(A18.5†)
Diagnosis Sekunder : Myocardium (I41.0*)
4. Kode untuk rutin prenatal care Z34-Z35 digunakan sebagai diagnosis
sekunder pada saat proses persalinan.
Contoh :
Diagnosis Utama : Persalinan dengan SC (O82.9)
Diagnosis Sekunder : Supervision of other high-risk pregnancies
(Z35.8)
Ketuban Pecah Dini (O42.9)
Seharusnya
Persalinan dengan SC (O82.9)
Ketuban Pecah Dini (O42.9)
5. Diagnosis Utama tidak signifikan dbandingkan diagnosis sekundernya
Contoh :
Diagnosis utama : D69.6 Thrombocytopenia
- 43 -
Diagnosis sekunder : A91 Dengue Hemorrhagic Fever (DHF)
Seharusnya
Diagnosis Utama : A91 Dengue Hemorrhagic Fever (DHF)
Diagnosis sekunder : D69.6 Thrombocytopenia
6. Tindakan/Prosedur seharusnya relevan dengan diagnosis utama
Contoh :
Diagnosis utama : K30 Dyspepsia
Diagnosis sekunder : I25.1 Atherocsclerotic heart disease (CAD)
Tindakan : 36.06 Percutaneous transluminal
coronary angioplasty (PTCA)
Seharusnya
Diagnosis Utama : I25.1 Atherosclerotic heart disease (CAD)
Diagnosis sekunder : K30 Dyspepsia
Tindakan : 36.06 Percutaneous transluminal
coronary angioplasty (PTCA)

• Underprovide services >> discharge admissions prematurely


• Increase both admission and unnecessary readmissions

Tarif INA CBG’s meliputi:


 Pelayanan Rawat Inap :
Merupakan paket jasa pelayanan, prosedur/tindakan, penggunaan alat, ruang perawatan, serta
obat-obatan dan bahan habis pakai yang diperlukan

 Pelayanan Rawat Jalan:


Merupakan paket jasa pelayanan kesehatan pasien rawat jalan sudah termasuk Jasa
pelayanan, Pemeriksaan penunjang, Prosedur/ tindakan, obat-obatan yang dibawa pulang,
Bahan habis pakai lain.

Pada Case-mix membutuhkan 14 variabel yang diperoleh dari data rekam medis
antara lain:
1. Identitas pasien (misal, nomor RM,dll)
2. Tanggal masuk RS
3. Tanggal keluar RS
4. Lama hari rawat (LOS)
5. Tanggal lahir
6. Umur (th) ketika masuk RS
7. Umur (hr) ketika masuk RS
8. Umur (hr) ketika keluar RS
9. Jenis kelamin
10. Status keluar RS (Outcome)
11. Berat Badan Baru lahir (gram)
12. Diagnosis Utama
13. Diagnosis sekunder (komplikasi & Ko-morbiditi)
14. Prosedur/pembedahan utama

INA CBGs merupakan Sistem Case-mix yang di Implementasikan di Indonesia pada saat ini.
INA CBGS dijalankan dengan menggunakan UNU-Grouper dari UNU-IIGH (United Nation
University Internasional Institute for Global Health). INA CBGs dibuat dengan dasar
Pengelompokan menggunakan :
1. ICD – 10 Untuk Diagnosa (14.500 kode)
2. ICD – 9 CM Untuk Prosedur/Tindakan (7.500 kode)
3. Dikelompokkan menjadi menjadi 1077 kode group INA-CBG (789 kode rawat inap
dan 288 kode rawat jalan)
Dasar hukum implementasi INA CBGs di indonesia
1. UU nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)
2. UU nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
3. UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
4. UU Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit
5. SK Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Nomor HK.03.05/I/589/2011 Tentang
Kelompok Kerja Centre for Casemix tahun 2011

Sifat UNU CASE-MIX Gouper


1. Universal Grouper artinya mencakup seluruh jenis perawatan pasien
2. Dynamic artinya total jumlah CBGs bisa disetting berdasarkan kebutuhan sebuah
Negara
3. dvance Grouper artinya bisa digunakan jika terdapat perubahan dalam pengkodean
diagnosa dan prosedur dengan system klasifikasi penyakit baru ICD-11 dan prosedur
dalam klasifikasi ICHI (International Clasification of Health Intervention).
Komponen Case-Mix
 Coding
 Costing
 Clinical Pathway
 Tekhnologi Informasi

1. Coding for diagnostic (ICD-10) Coding for procedures (ICD-9 CM)


Proses terbentuknya tarif INA CBG’s tidak terlepas dari adanya peran dari sistem informasi
klinik rekam medis, dimana rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen
tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan layanan lain kepada pasien pada
layanan kesehatan baik untuk rawat jalan maupun rawat inap yang dikelola oleh pemerintah
maupun swsta, tujuan rekam medis untuk menunjang tercapainya tertib administrasi adalah
salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pelayanan kesehatan di rumah sakit,
sehingga keberhasilan pelaksanaan INA CBG’s pun sangat tergangu dengan data pada rekam
medis. Tak jauh berbeda dengan data dalam rekam medis, data dasar dalam INA CBG’s
terdiri dari :
a. Nama pasien
b. Tanggal masuk RS
c. Tanggal keluar RS
d. Lama rawatan (Length of Stay/LOS)
e. Tanggal lahir
f. Umur dalam tahun ketika masuk RS, umur dalam hari ketika masuk RS
g. Jenis kelamin
h. Status ketika pulang (discharge)
i. Berat badan baru lahir (gram)
j. Diagnosis utama, diagnosis sekunder (komplikasi, komorbiditi)
k. Tindakan pembedahan

2. Costing
Ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam menentukan pembiayaan untuk DRG
yaitu :
a. Top Down Costing
b. Activity Based Costing

3. Clinical Pathway
Clinical pathway adalah dokumen perencanaan pelayanan kesehatan terpadu yang
merangkum setiap lagkah yang dilakukan pada pasien mulai masuk RS sampai keluar RS
berdasarkan standar pelayanan medis, standar asuhan keperawatan, dan standar pelayanan
tenaga kesehatan lainnya yang berbasis bukti dengan hasil yang dapat diukur (Tim Casemix).
Tujuan clinical pathway antara lain, memfasilitasi penerapan clinical guide dan audit klinik
dalam praktek klinik, memperbaiki komunikasi dan perencanaan multidisiplin, mencapai atau
melampaui standar mutu yang ada, mengurangi variasi yang tidak diinginkan dalam praktek
klinik, memperbaiki komunikasi antara klinik dan pasien, meningkatkn kepuasan pasien,
identifikasi masalh riset dan pengembangan.

Alur INA CBGs Di Rumah Sakit


Peran Dokter & Koder dalam INA CBGs
1. DOKTER
menegakkan dan menuliskan diagnosis primer dan sekunder (bila ada) sesuai dengan ICD 10
menulis seluruh prosedur/tindakan yang telah dilaksanakan sesuai dengan ICD – 9 – CM
membuat resume medis pasien secara lengkap dan jelas selama pasien dirawat di rumah sakit.

2. KODER
melakukan kodifikasi dari diagnosis dan prosedur/tindakan yang diisi oleh dokter yang
merawat pasien sesuai dengan ICD 10 untuk diagnosa dan ICD 9 CM untuk
prosedur/tindakan

Dalam Pengkodean pondasi utamanya adalah rekam medis. Tanpa dokumentasi


rekam medis pengkodean tidak bisa dilakukan. Peran dokter dalam hal ini adalah mengisi
kelengkapan baik resume medis atau pendokumentasian lainya dalam rekam medis. Di
samping itu faktor kejelasan dan keterbacaan dari diagnosa dokter pada dokumen rekam
medis sangat menentukan keakuratan dan ketepatan proses pengkodean. Sama halnya
seorang koder haruslah juga untuk berkomunikasi dengan dokter dimana nantinya
menemukan diagnosa dari dokter yang kurang jelas dan kurang terbaca.

Sistem INA-CBG terdiri dari beberapa komponen yang saling terkait satu sama lain.
Komponen yang berhubungan langsung dengan output pelayanan adalah clinical pathway,
koding dan teknologi informasi, sedangkan secara terpisah terdapat komponen kosting yang
secara tidak langsung mempengaruhi proses penyusunan tarif INA-CBG untuk setiap
kelompok kasus.

STRUKTUR KODE INA-CBG


Dasar pengelompokan dalam INA-CBG menggunakan sistem kodifikasi dari
diagnosis akhir dan tindakan/prosedur yang menjadi output pelayanan, dengan acuan ICD-10
Revisi Tahun 2010 untuk diagnosis dan ICD-9-CM Revisi Tahun 2010 untuk
tindakan/prosedur. Pengelompokan menggunakan sistem teknologi informasi berupa Aplikasi
INA-CBG sehingga dihasilkan 1.075 Group/Kelompok Kasus yang terdiri dari 786 kelompok
kasus rawat inap dan 289 kelompok kasus rawat jalan. Setiap group dilambangkan dengan
kode kombinasi alfabet dan numerik dengan contoh sebagai berikut :

Keterangan :
1.Digit ke-1 (alfabetik) : menggambarkan kode CMG (Casemix Main Groups)
2.Digit ke-2 (numerik) : menggambarkan tipe kelompok kasus (Case Groups)
3.Digit ke-3 (numerik) : menggambarkan spesifikasi kelompok kasus
4.Digit ke-4 (romawi): menggambarkan tingkat keparahan kelompok kasus

Struktur Kode INA-CBG terdiri atas :


1. Case-Mix Main Groups(CMG) : Adalah klasifikasi tahap pertama yang dilabelkan
dengan huruf Alphabet (A sampai Z) yang di sesuaikan dengan ICD 10 untuk setiap
sistem organ tubuh manusia.
Klasifikasi tahap pertama
 Dilabelkan dengan huruf Alphabet (A to Z)
 Berhubungan dengan sistem organ tubuh
 Pemberian Label Huruf disesuaikan dengan yang ada pada ICD 10 untuk setiap
sistem organ
Terdapat 30 CMGs dalam UNU Grouper (22 Acute Care CMGs, 2 Ambulatory CMGs, 1
Subacute CMGs, 1 Chronic CMGs, 4 Special CMGs dan 1 Error CMGs)
Total CBGs sampai saat ini sebanyak 1220.

Terdapat 29 CMG dalam INA-CBG yaitu :


2. Case Group Adalah sub-group kedua yang menunjukkan spesifikasi atau tipe
kelompok kasus, yang dilabelkan dengan angka 1 (satu) sampai dengan 9 (sembilan).

3. Sub-group ke-3 : menunjukkan spesifik CBG (kode CBG)


4. Sub-group ke-4 menunjukkan severity level (0 – III)
Sub-group keempat merupakan resource intensity level yang menunjukkan
tingkat keparahan kasus yang dipengaruhi adanya komorbiditas ataupun
komplikasi dalam masa perawatan. Keparahan kasus dalam INA-CBG terbagi
menjadi :
1. “0” Untuk Rawat jalan
2. “I - Ringan” untuk rawat inap dengan tingkat keparahan 1 (tanpa
komplikasi maupun komorbiditi)
3. “II - Sedang” Untuk rawat inap dengan tingkat keparahan 2 (dengan
mild komplikasi dan komorbiditi)
4. “III - Berat” Untuk rawat inap dengan tingkat keparahan 3 (dengan
major komplikasi dan komorbiditi)

KELEBIHAN DAN KEKURANGAN SISTEM PEMBAYARAN INDONESIA CASE


BASE GROUPS (INA-CBG’S)
Menurut Thabrany (2014), pembayaran casemix ini membawa konsekuensi rumah sakit dan
tim dokter harus bekerja secara efisien agar surplus, lewat casemix pendapatan sebuah rumah
sakit ditentukan dari keberhasilan tim, bukan orang per orang. Sehingga seluruh elemen
rumah sakit harus bekerja sama dengan baik untuk menghindari risiko. Adapun kelebihan dan
kekurangan sistem pembayaran Indonesia Case Base Groups (INA-CBG‟s) menurut
Thabrany (2014), yaitu :

a. Kelebihan sistem pembayaran Indonesia Case Base Groups (INA-CBG‟s):


1. Memudahkan administrasi pembayaran bagi rumah sakit dan pihak pembayar
2. Memudahkan pasien memahami besaran tarif yang harus dibayar
3. Memudahkan perhitungan pendapatan rumah sakit
4. Memberikan intensif kepada rumah sakit dan tenaga kesehatan untuk menggunakan
sumber daya seefisien mungkin
5. Mendorong kerja tim rumah sakit yang berpotensi meningkatkan kualitas layanan dan
menurunkan risiko kesalahan medis.

b. Kekurangan sistem pembayaran Indonesia Case Base Groups (INA-CBG’s) :


1. Penerapannya membutuhkan pembayar pihak ketiga yang cukup dominan
2. Penerapannya membutuhkan sistem informasi kesehatan, seperti rekam
medis, teknologi, jaringan computer, dll.
3. Membatasi dokter dari upaya coba-coba produk obat, medis, yang ditawarkan oleh
perusahaan farmasi atau alat kesehatan.
4. Menimbulkan goncangan bagi para dokter yang biasa menentukan sendiri besaran
jasa medisnya.
5. Membutuhkan komitmen yang kuat dari seluruh elemen rumah sakit.

MANFAAT INDONESIA CASE BASE GROUPS (INA-CBG’S)


Casemix memberikan informasi tentang klasifikasi kasus-kasus dengan diagnosa yang sejenis
disertai standar-standar pelayanan yang digunakan sehingga memudahkan dalam perhitungan
tarif yang tercermin pada casemix (unit cost per jenis penyakit). Menurut Thabrany (2014),
jika ditinjau dari beberapa aspek, casemix mempunyai manfaat antara lain :
1. Dari aspek perencanaan, casemix dapat menyediakan informasi yang akurat tentang
tarif kesehatan yang dibutuhkan per penyakit.
2. Dari aspek pemtarifan, casemix dapat digunakan sebagai dasar persamaan persepsi
dan alat ukur untuk penetapan kerjasama dengan Bapel.
3. Dari aspek pemeliharaan, casemix dapat digunakan sebagai alat ukur dari output
rumah sakit dan menjadi dasar dari negosiasi tarif dengan pasien ataupun badan
penyelenggara
4. Dari mutu pelayanan kesehatan, casemix membantu meningkatkan mutu melalui
penyediaan informasi bagi para tenaga medis dan tenaga kesehatan lain tentang jenis
perawatan, rata-rata lama hari rawat serta tarif pelayanan
kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai