Anda di halaman 1dari 4

(Urgensi Dua Kalimat Syahadat)

Muqaddimah
Dua kalimat syahadat, Asyhadu Allaa Ilaaha Illallah wa Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah, adalah
tujuan utama dari diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Menjadikan seluruh manusia
memberikan kesaksian, ikrar, dan sumpah, bahwa tidak ada Ilah yang berhak disembah
secara haq kecuali Allah‘Azza wa Jalla, dan Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah hambaNya
dan utusanNya. Dua kalimat syahadat merupakan bingkai dari semua tujuan da’wah lainnya. Semua
aktifitas da’wah dan jihad diarahkan demi tegaknya kalimat ini. Maka, bagi aktifis da’wah, di mana pun
mereka, apa pun profesinya, hendaknya menjadikan dua kalimat syahadat sebagai muara semua tujuan
dan arahan da’wahnya.

Hal ini sesuai dengan nash-nash sebagai berikut:

‫جت تن نغبوا ال ط‬ ‫ت‬ ‫في ك غ ل غ‬


‫ت‬ ‫طا غ‬
‫غو ت‬ ‫وا ج‬ ‫دوا الل ط ت‬
‫ه ت‬ ‫ن اغ ج‬
‫عب غ غ‬ ‫سول أ ن‬
‫ة تر غ‬
‫م ة‬
‫لأ ط‬ ‫عث جتنا ن‬ ‫ول ت ت‬
‫قد ج ب ت ت‬ ‫ت‬

“Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):
"Sembahlah Allah (saja), dan jauhi lah Thaghut itu". (QS. An Nahl (16): 36)

Dengan sangat jelas dalam ayat ini Allah ‘Azza wa Jalla mengabarkan tentang tujuan utama da’wah para
rasul, yakni agar manusia menyembah Allah semata, dan tidak mempersekutukan diriNya dengan apa
pun, yang oleh manusia dijadikan sebagai Ilah selain Allah ‘Azza wa Jalla, yakni Thaghut.
(pembahasan thaghut akan ada babnya tersendiri Insya Alah)

Urgensi Pertama: Dua Kalimat Syahadat Merupakan Pintu Gerbang Keislaman


Dua kalimat syahadat merupakan madkhalun ilal Islam (pintu gerbang masuk ke Islam). siapa pun yang
ingin memeluk Islam, maka dia wajib mengucapkannya, tanpa keraguan, tanpa dipaksa atau terpaksa,
jika demikian maka dia sah disebut muslim, tanpa harus ada saksi sebagaimana keislaman raja Najasyi.

Konsekuensi dua kalimat syahadat bagi pengucapnya adalah maka dia hendaknya tidak sekedar
bersyahadat tetapi menyempurnakannya dengan rukun Islam lainnya, sebagaimana yang dikataka oleh
Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu. Dia dimaafkan ketika masih awal muallaf belum mengetahui
bahkan belum mengerjakan hal-hal urgen dalam Islam yang wajib dilakukan oleh semua orang Islam.
Namun, dia tidak boleh berlama-lama dalam ketidaktahuannya, harus terus belajar dan mengamalkan
Islam secara bertahap.

Sedangkan konsekuensi bagi saudara muslim lainnya, maka hendaknya melindungi muallaf baru ini baik
darah, harta, dan kehormatannya, dan disikapi seperti muslim lainnya. Dia sudah berhak mendapatkan
waris atau mewariskan[1] dengan sesama umat islam lainnya yang senasab dengannya atau karena
faktor pernikahan. Dia sudah berhak diberikan dan dijawab salamnya secara wajar, dan sikap-sikap
lainnya yang diajarkan syariat terhadap sesama muslim.

Selanjutnya, dua kalimat syahadat merupakan pintu masuk ke dalam Islam, namun bagi manusia yang
lahir dari keluarga muslim, sehingga sejak kecil dia adalah muslim dan sampai dewasa tetap muslim,
maka tidak ada istilah syahadat ulang bagi mereka dan itu tidak dibenarkan, sebagaimana yang dilakukan
kelompok-kelompok sempalan dalam Islam yang meminta anggotanya untuk melakukan syahadat ulang,
jika ingin bergabung dengan mereka, jika tidak melakukannya maka kafir, menurut mereka.

Ayat ini menjelaskan bahwa ketika manusia masih di alam ruh, sebelum mereka ada di rahim ibunya,
mereka telah mengambil janji dan mengakui bahwa Allah ‘Azza wa Jalla sebagai Tuhan mereka. Oleh
karena itu, setiap bayi yang lahir maka dia dalam keadaan fitrah (muslim). Apalagi jika dia dilahirkan dari
keluarga yang muslim dan dibesarkan dengan cara islam, maka tidak perlu lagi syahadat ulang, kecuali
jika dia dibesarkan oleh orang tuanya dengan cara kafir, sehingga dia pun ikut menjadi kafir, maka jika
dia ingin masuk Islam (tepatnya adalah kembali kepada Islam), wajiblah baginya mengucapkan dua
kalimat syahadat. Lantaran dia telah ‘menanggalkan’ kesaksiannya itu ketika dibesarkan secara kafir oleh
kedua orang tuanya di dunia.

Hal ini diperkuat lagi oleh riwayat dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasululah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:

‫فأ تبواه يهودان نه أ تو ين تصران ن ت‬


‫ه‬
‫سان ن ن‬
‫ج ت‬
‫م ل‬
‫و يغ ت‬
‫هأ ج‬‫ة ت ت ت غ غ ت ل ت ن ج غ ل ت ن‬ ‫فطجتر ن‬
‫عتلى ال ج ن‬
‫د غيول تدغ ت‬
‫وغلو ة‬
‫م ج‬ ‫كغ ل‬
‫ل ت‬

“Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka bapaknyalah yang mebuatnya menjadi Yahudi, atau
Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari No. 1319. Muslim No. 2658)

Sehingga, dengan berdalil pada hadits ini, maka jika ada seorang bayi yang wafat dan dia lahir dari orang
tua yang kafir maka dia tetaplah Islam menurut sebagian ulama dan dishalatkan, sebagaimana pendapat
Az Zuhri. Atau jika yang wafat adalah kedua orang tuanya, maka dia pun dihukumi sebagai muslim.
Berkata Imam Ahmad:
‫ت‬
‫ه‬ ‫ستل ن‬
‫م ن‬ ‫م ب نإ ن ج‬
‫حك ن ت‬
‫ن غ‬
‫فترا ن‬ ‫ما ت‬
‫كا ن‬ ‫ه ت‬
‫و غ‬
‫واهغ ت‬
‫ت أب ت ت‬
‫ما ت‬
‫ن ت‬
‫م ج‬
‫ت‬
“Barangsiapa yang kedua orangtuanya wafat, dan mereka berdua kafir, maka bayi itu dihukumi sebagai
Islam.” (Ibid) selesai.

Pembahasan ini menegaskan sekali lagi bahwa dua kalimat syahadat merupakan pembatas antara muslim
dan kafir. Dia adalah kalimat revolusioner yang telah merubah seorang budak seperti Bilal bin
RabahRadhiallahu ‘Anhu menjadi manusia mulia, seorang ‘preman’ seperti Umar bin Al
Khathab Radhiallahu ‘Anhumenjadi manusia agung. Bukan hanya dalam lingkup pribadi, juga dalam
jangkauan komunitas, dua kalimat syahadat telah merubah masyarakat Arab yang jahiiyah menjadi
berperikemanusiaan dengan bimbingan Islam. Bahkan menjadi guru dunia selama hampir satu mellenium
lamanya.

Urgensi Kedua: Dua kalimat Syahadat Merupakan Intisari Ajaran Kandungan Islam
Jika kita perhatikan semua kandungan ajaran Islam yang tertera dalam Al Quran dan As Sunah, baik
cakupan individu, keluarga, atau komunitas, negara atau antara negara, ekonomi, budaya, politik,
pendidikan, militer, dakwah, jihad, silaturrahim, menutup aurat, puasa, shalat, berkata baik dan
benar, dan semua jenis perbuatan baik, maka semua ini memiliki satu tema yang sama yakni ibadah dan
pengabdian kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Berada di mana pun dan profesi positif apa pun, semuanya bisa
bernilai ibadah di sisi Allah ‘Azza wa Jalla. Inilah tujuan dari penciptaan jin dan manusia.

Demikianlah intisari dua kalimat syahadat, Laa Ilaha Illallah Muhammadarrasulullah. Implikasi kalimat Laa
Ilaha Illallah adalah ibadah itu hendaknya ditujukan untuk Allah ‘Azza wa Jalla semata (Al ‘Ibadat Lillah).
Tidak memperuntukkan peribadatan semata-mata demi kepuasan, kekhusyu’an, ketenangan, apalagi
pujian manusia. Bukan itu. Tetapi menjadikan peribadatan semua untuk Allah Ta’ala, ikhlas dan murni
untukNya semata. Sebagai bukti kecintaan, khauf (takut), dan raja’ (harap) kepadaNya. Baik
ibadah infiradi (pribadi) atau jama’i(bersama-sama).

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

‫غ‬
‫حن ت ت‬
‫فاءت‬ ‫ن غ‬
‫دي ت‬ ‫ن لت غ‬
‫ه ال ل‬ ‫صي ت‬
‫خل ن ن‬
‫م ج‬ ‫دوا الل ط ت‬
‫ه غ‬ ‫مغروا إ نطل ل ني ت ج‬
‫عب غ غ‬ ‫ما أ ن‬
‫و ت‬
‫ت‬
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus ..” (QS. Al Bayyinah (98):
5)

Ayat lainnya:
‫ن‬ ‫عال ت ن‬
‫مي ت‬ ‫ب ال ج ت‬ ‫مانتي ل نل ط ن‬
‫ه تر ل‬ ‫م ت‬
‫و ت‬
‫ي ت‬
‫حتيا ت‬
‫م ج‬
‫و ت‬
‫كي ت‬
‫س ن‬ ‫صتلنتي ت‬
‫ون غ غ‬ ‫ن ت‬
‫ل إن ط‬ ‫غ‬
‫ق ج‬

“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk


Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al An’am (6): 162)

Urgensi Ketiga: Dua Kalimat Syahadat Merupakan Pondasi Bagi Perubahan

Masyarakat dan pribadi bertauhid. Inilah yang kita inginkan. Di tangan merekalah dahulu umat ini pernah
jaya, dan di tangan merekalah musuh-musuh Islam terkapar tak berdaya. Namun, di manakah mereka
gerangan hari ini? .. hari ini kalimat tauhid hanya diperlakukan sebagai dzikir kosong oleh umumnya umat
Islam. Mereka melakukan tahlil sampai ratusan kali, tanpa mengerti apa yang mereka ucapkan itu. Tanpa
mau tahu, konsekuensi yang harus mereka kerjakan dari dua kalimat syahadat.

Dua kalimat syahadat ini bisa merubah seorang budak Bilal bin Rabbah, menjadi mulia bahkan dialah
yang akhirnya berhasil membunuh Umayah bin Khalaf bekas majikannya yang kejam. Bahkan
terompahnya mendahului dirinya di dalam surga, dan ini masyhur.

Dalam tataran masyarakat, kalimat ini mampu merubah jazirah Arab dari kegelapan jahiliyah menuju
cahaya Islam, hanya butuh waktu 23 tahun kurang. Berbeda dengan bangunan peradaban lainnya yang
membuktuhkan waktu berabad lamanya. Maka tepat dikatakan bahwa dua kalimat syahadat
merupakan Asas Al Inqilab (dasar bagi perubahan).

Urgensi Kelima: Dua kalimat syahadat memiliki Keutamaan yang agung


Dua kalimat syahadat merupakan kalimat pembeda antara muslim dan kafir, inilah keutamaan yang
paling besar di dunia, yang dengan kalimat ini maka terlindunglah darah dan hartanya. Ini sudah
disinggung pada urgensi pertama. Dan dua kalimat syahadat memiliki keutamaan-keutamaan agung
lainnya bagi para pengucapnya. Di antaranya:

1. Jaminan Surga Bagi Pengucapnya


Telah kita ketahui, bahwa ketika manusia mengucapkan dua kakimat syhadat dengan benar, tidak
terpaksa dan dipaksa, maka dia sudah muslim dan memilih jalan yang benar. Tentunya tak ada balasan
baginya kecuali surga. Sedangkan yang tidak bersyahadat (baca: kafir) maka mereka telah memilih jalan
yang sesat dan menjadi orang yang merugi.

Allah Ta’ala berfirman:


‫ن‬‫ري ت‬
‫س ن‬ ‫ن ال ج ت‬
‫خا ن‬ ‫م ت‬
‫ة ن‬ ‫في اجل ت ن‬
‫ختر ن‬ ‫و ن‬
‫ه ت‬
‫و غ‬
‫ه ت‬
‫من ج غ‬
‫ل ن‬ ‫فل ت ج‬
‫ن يغ ج‬
‫قب ت ت‬ ‫ستلم ن ن‬
‫ديننا ت‬ ‫غي جتر اجل ن ج‬
‫غ ت‬
‫ن ي تب جت ت ن‬
‫م ج‬
‫و ت‬
‫ت‬
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat Termasuk orang-orang yang rugi.”
(QS. Ali Imran (3): 85)

Imam Al Qurthubi mengatakan, bahwa Mujahid dan As Sudi menyebutkan, ayat ini turun berkenaan
tentang Al Harits bin Suwaid, saudara Al Halas bin Suwaid, dia seorang dari kalangan Anshar dan dia
murtad bersama dua belas orang lainnya dan menuju Mekkah dalam keadaan kafir. Lalu turunlah ayat ini,
maka saudaranya menyampaikan ayat ini dan memintanya untuk bertaubat. Ibnu Abbas dan lainnya
meriwayatkan bahwa setelah turun ayat ini dia masuk Islam lagi. (Jami’ Li Ahkamil Quran, 4/128. Dar
‘Alim Al kutub, Riyadh)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di mengatakan, barangsiapa yang tidak beragama dengan agama
yang diridhai Allah untuk hambaNya, maka amal perbuatannya tertolak dan tidak diterima. Karena agama
Islam mengandung makna penyerahan diri kepada Allah secara murni dan mengikuti RasulNya, barang
siapa seorang hamba yang datang kepadaNya tidak beragama Islam, maka dia tidak memiliki alasan
untuk selamat dari azab Allah, dan setiap agama selain Islam adalah batil (sia-sia). (Syaikh Abdurrahman
bin Nashir As Sa’di, Taisir Al Karim Ar Rahman fi Tafsir Kalam Al Manan, 1/137. Muasasah Ar Risalah)

Ayat lainnya:
‫م‬
‫سل غ‬ ‫عن جدت الل ط ن‬
‫ه ال ن ج‬ ‫ن ن‬
‫دي ت‬
‫ن ال ل‬
‫إن ط‬
“Sesungguhnya agama yang diridhai Allah adalah Islam.” (QS. Ali Imran (3): 19)

Ketika membahas ayat ini, Imam Al Qurthubi membawakan sebuah hadits, dari Ibnu Mas’ud Radhiallahu
‘Anhu:

‫يجاء بصاحبها يوم القيامة فيقول الله تعالى عبدي عهد إلي وأنا أحق من وفى أدخلوا عبدي الجنة‬

“Didatangkan kepada para pembaca syahadat pada hari kiamat, maka Allah Ta’ala berfirman: HambaKu
telah berjanji setia kepadaKu dan Aku lebih berhak untuk memenuhi janji, maka masukkanlah hambaKu
ke surga.” (Ibid, 4/41)[4]

Ini menjadi keyakinan Ahlus Sunnah wal Jamaah, bahwa jika seorang sudah bersyahadat dengan ikhlas,
sadar, dan penuh keyakinan, dan dia setelah itu tidak melakukan kesyirikan, maka baginya surga, walau
pun dia juga melakukan dosa-dosa selain syirik. Dengan dosanya itu, orang tersebut tahta
masyi’atillah (di bawah kehendak) Allah‘Azza wa Jalla, apakah dia akan disiksa dahulu sesuai kadar
dosanya lalu setelah itu dimasukkan ke dalam surga, ataukah dosanya itu akan diampunkan langsung
oleh Allah ‘Azza wa Jalla sesuai rahmat dan kasih sayangNya. Ketetapan ini berdasarkan pada ayat
berikut:

‫ضتلنل ب ت ن‬ ‫غ ن ت‬
‫دا‬
‫عي ن‬ ‫ض ط‬
‫ل ت‬ ‫ف ت‬
‫ق دج ت‬ ‫ك نبالل ط ن‬
‫ه ت‬ ‫ر ج‬ ‫ن يغ ج‬
‫ش ن‬ ‫م ج‬
‫و ت‬ ‫ن يت ت‬
‫شاءغ ت‬ ‫م ج‬ ‫ن ذتل ن ت‬
‫ك لن ت‬ ‫دو ت‬
‫ما غ‬
‫فغر ت‬
‫غ ن‬
‫وي ت ج‬
‫ه ت‬ ‫شتر ت‬
‫ك بن ن‬ ‫ن يغ ج‬
‫فغر أ ج‬ ‫ه تل ي ت ج‬
‫ن الل ط ت‬
‫إن ط‬

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia,


dan Dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya.
Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, Maka Sesungguhnya ia telah
tersesat sejauh-jauhnya.” (QS. An Nisa’ (4): 116)

2. Barangsiapa yang Mengucapkan di akhir hidupnya maka akan masuk surga


Dari Muadz bin Jabal Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
‫من كان آخر كلمه ل إله إل اللله دخل الجنة‬

“Barang siapa yang akhir ucapannya adalah Laa Ilaaha Illallahu, dia akan masuk surga.” (HR. Abu Daud
No. 3116. Al Hakim No. 1299, katanya: shahihul isnad (sanadnya shahih). Syaikh Al Albani juga
menshahihkan dalamShahih Sunan Abi Daud, 3/190/3116)

Maksud ‘akhir ucapannya’ dalam hadits ini adalah ucapan menjelang kematian. Imam Abu Daud
meletakkan hadits ini dalam Bab At Talqin. Sebagaimana kita ketahui bahwa disunahkan bagi orang yang
sehat untuk mentalqinkan orang yang sedang naza’ (sakaratul maut), dan itu sebagai bimbingan baginya,
agar akhir ucapannya adalah kalimat tauhid.

Talqin adalah memahamkan atau mengajarkan. Laqqana Al kalam artinya mengajarkan sebuah ucapan.
Talqin menurut syariat adalah memahamkan kalimat tauhid ketika manusia mengalami sakaratul maut
(naza’). (Mausu’ah Fiqh Al ‘Ibadah, 1/187. Al Maktabah Asy Syamilah).

Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan, “Yakni barang siapa yang menghadapi kematian,
maksudnya ingatkanlah dia dengan Laa Ilaha Illallah agar itu menjadi akhir ucapan dalam hidupnya.
Sebagaimana hadits: “Barang siapa yang akhir ucapannya adalah Laa Ilaha Illallahu maka dia akan masuk
surga.” Dan perintah talqin di sini adalah sunah, dan ulama telah ijma’ (sepakat) tentang talqin.” (Syarh
Shahih Muslim, No. 1523. Mausu’ah Syuruh Al Hadits. Mauqi’ Ruh Al Islam)
Jadi, maknanya adalah membaca Laa Ilaha Illallah untuk orang sedang menghadapi sakaratul maut,
bukan membacanya setelah mati.

3. Bagi Yang Mengucapkan Dua alimat Syahadat Maka Terlindung Darah dan Hartanya
Tidak boleh siapa pun mengganggu muslim lainnya, bukan hanya menumpahkan darahnya dan
mengambil hartanya secara tidak hak, tetapi juga menodai harga dirinya dan nasabnya. Bahkan
melanggar ketetapan ini termasuk dosa besar.

Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

‫ فإذا‬،‫ ويؤتوا الزكاة‬،‫ ويقيموا الصلة‬،‫أمرت أن أقاتل الناس حتى يشهدوا أن ل إله إل الله وأن محمدا رسول الله‬
‫ وحسابهم على الله‬،‫فعلوا ذلك عصموا مني دماءهم وأموالهم إل بحق السلم‬

“Aku diutus untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi (bersyahadat), bahwa tidak
ada Ilahkecuali Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat,
menunaikan zakat, dan jika mereka telah melakukan ini maka mereka terjaga dariku darah dan harta
mereka, kecuali dengan hak Islam, dan atas Allah-lah perhitungan mereka.” (HR. Bukhari No. 25, Muslim
No. 36)

Dari Al Miqdad bin Amru Al Kindi, dia bertanya:

‫ أسلمت‬:‫ ثم لذ مني بشجرة فقال‬،‫ فضرب إحدى يدي بالسيف فقطعها‬،‫أرأيت إن لقيت رجل من الكفار فاقتتلنا‬
‫ يا رسول الله‬:‫ فقال‬.(‫ل تقتله‬
) : ‫ أقتله يا رسول الله بعد أن قالها؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم‬،‫لله‬
) : ‫ ثم قال ذلك بعد ما قطعها؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم‬،‫إنه قطع إحدى يدي‬
‫ فإن قتلته‬،‫ل تقتله‬
.(‫ وإنك بمنزلته قبل أن يقول كلمته التي قال‬،‫فإنه بمنزلتك قبل أن تقتله‬

“Apa pendapatmu jika aku berjumpa dengan orang kafir, kami berperang, dia menebas tanganku
dengan pedangnya hingga putus, kemudian dia mendekat ke sebuah pohon, lalu dia berkata: “Aku masuk
Islam karena Allah” apakah aku boleh membunuhnya setelah dia mengatakan demikian?”
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab: “Jangan membunuhnya.” Dia (Al Miqdad) berkata: “Ya
Rasulullah dia memutuskan satu tanganku, kemudian dia berkata (pernyataan masuk Islam) itu setelah
dia memutuskan tanganku?” RasulullahShallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata: “Jangan kau membunuhnya,
jika kau membunuhnya maka kedudukan orang itu adalah sama denganmu ketika kau belum
membunuhnya, dan kedudukanmu adalah sama dengannya ketika sebelum dia mengatakan perkataannya
itu (yakni ketika dia belum menyatakan masuk Islam).” (HR. Bukhari No. 3794, 6472. Muslim No. 155)

Ada kisah tenar dari Usamah bin Zaid Radhiallahu ‘Anhu, ketika beliau bersama seorang dari anshar,
berperang melawan orang kafir. Ketika orang kafir itu terdesak tak berdaya, dia mengucapkan Laa Ilaaha
Illallah, namun Usamah tetap membunuhnya. Hal ini diceritakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam, dan akhirnya Rasulullah pun bersabda:

‫ )أقتلته بعدما قال ل‬:‫ قال‬،‫ إنما كان متعوذنا‬،‫ يا رسول الله‬:‫ قلت‬:‫ قال‬.‫ أقتلته بعد ما قال ل إله إل الله‬،‫يا أسامة‬
.‫ حتى تمنيت أني لم أكن أسلمت قبل ذلك اليوم‬،‫ فما زال يكررها علي‬:‫ قال‬.(‫إله إل الله‬

“Wahai Usamah, apakah kau membunuhnya dan dia sudah mengucapkan Laa Ilaha Illallah?” Usamah
berkata: “Ya Rasulullah, ucapan itu hanya untuk melindungi diri?” Rasulullah bersabda lagi: “Apakah kau
membunuhnya dan dia sudah mengucapkan Laa Ilaha Illallah?” Usamah berkata: “maka, senantiasa hal
itu terus-terus terngiang pada diri saya, sampai saya berharap bahwa saya belum masuk Islam sebelum
hari itu.” (HR. Bukhari No. 4021, 6478)

Dua hadits ini berisi sangat jelas bahwa kita dilarang membunuh musuh, ketika dia sudah bersyahadat.
Ada pun apa latar belakang dia bersyahadat; apakah nyari selamat agar tidak dibunuh atau benar-benar
ikhlas, kita tidak dibebankan untuk mengetahuinya.

Anda mungkin juga menyukai