A. Definisi
Dalam Jurnal yang ditulis Masna dan Fachri (2014) menyebutkan The
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD)
mendefinisikan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) sebagai penyakit
yang dapat dicegah dan diobati, disertai manifestasi ekstrapulmoner yang
mempengaruhi tingkat keparahan penyakit, ditandai dengan keterbatasan
aliran udara paru yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif, dan
merupakan respons infl amasi abnormal akibat partikel toksik dan gas
beracun.
Menurut Perhimpuhan Dokter Paru Indonesia (2003) PPOK adalah
penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran
napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK
terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya. Bronkitis
kronik merupakan kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik
berdahak minimal 3 bulan dalam setahun,sekurang-kurangnya dua tahun
berturut - turut, tidak disebabkan penyakit lainnya. Sedangkan emfisema
adalah suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga
udara distal bronkiolus terminal,disertai kerusakan dinding alveoli. Pada
prakteknya cukup banyak penderita bronkitis kronik juga memperlihatkan
tanda-tanda emfisema,termasuk penderita asma persisten berat dengan
obstruksi jalan napas yang tidak reversibel penuhmemenuhi kriteria PPOK.
B. Etiologi
Mengutip dari jurnal berjudul Kajian Epidemiologis Penyakit Paru
Obstruktif Kronik pada tahun 2013, terdapat beberapa faktor resiko yang
dapat merangsang timbulnya PPOK. Faktor resiko tersebut yaitu:
1. Pajanan dari partikel lain:
a. Rokok
Merokok merupakan penyebab PPOK terbanyak (95% kasus) di
negara berkembang. Perokok aktif dapat mengalami hipersekresi
mucus dan obstruksi jalan napas kronik. Dilaporkan ada hubung-an
antara penurunan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1)
dengan jumlah, jenis dan lamanya merokok. Perokok pasif juga
menyumbang terhadap symptom saluran napas dan PPOK dengan
peningkatan kerusakan paru-paru akibat menghisap partikel dan gas-
gas berbahaya. Merokok pada saat hamil juga akan meningkatkan
risiko terhadap janin dan mempengaruhi pertumbuhan paru-paru-nya.
b. Polusi indoor
Memasak dengan bahan biomass dengan ventilasi dapur yang
jelek misalnya terpajan asap bahan bakar kayu dan asap bahan bakar
minyak diperkirakan memberi kontribusi sampai 35%. Polutan
indoor yang penting antara lain SO2, NO2 dan CO yang dihasilkan
dari memasak dan kegiatan pemanasan, zat-zat organik yang mudah
menguap dari cat, karpet, dan mebelair, bahan percetakan dan alergi
dari gas dan hewan peliharaan serta perokok pasif.
c. Polusi outdoor
Polusi udara mempunyai pengaruh buruk pada VEP1, inhalan
yang paling kuat menyebabkan PPOK adalah Cadmium, Zinc dan
debu. Bahan asap pem-bakaran/pabrik/tambang.
2. Genetik (defisiensi enzim alfa-1-antitripsin)
Faktor risiko dari genetic memberikan kontribusi 1 – 3% pada
pasien PPOK.
3. Riwayat infeksi saluran napas berulang
Infeksi saliran napas akut adalah infeksi akut yang melibatkan
organ saluran pernafasan, hidung, sinus, faring, atau laring. Infeksi
saluran napas akut adalah suatu penyakit terbanyak diderita anak-anak.
Penyakit saluran pernafasan pada bayi dan anak-anak dapat pula
memberi kecacat-an sampai pada masa dewasa, dimana ada hubungan
dengan terjadinya PPOK.
4. Gender, usia, konsumsi alkohol dan kurang aktivitas fisik
Studi pada orang dewasa di Cina14 didapatkan risiko relative pria
terhadap wanita adalah 2,80 (95% C I ; 2,64-2,98). Usia tua RR 2,71 (95%
CI 2,53-2,89). Konsumsi alkohol RR 1,77 (95% CI : 1,45 – 2,15), dan
kurang aktivitas fisik 2,66 (95% CI ; 2,34 – 3,02).
C. Patofisiologi
Karakteristik utama PPOK adalah keterbatasan aliran udara sehingga
membutuhkan waktu lebih lama untuk pengosongan paru. Peningkatan
tahanan jalan napas pada saluran napas kecil dan peningkatan compliance
paru akibat kerusakan emfisematus menyebabkan perpanjangan waktu
pengosongan paru. Hal tersebut dapat dinilai dai pengukuran Volume
Ekspirasi Paksa detik pertama (VEP1) dan rasio VEP1 dengan Kapasitas
Vital Paksa (VEP1/VEP) (Masna dan Fachri , 2014).
Lesi patologi PPOK merupakan respon imun innate dan adaptif dari
inflamasi kronik akibat pajanan gas dan partikel toksik yang dihirup.
Walaupun sering digunakan istilah bronkitis kronik, namun sesungguhnya
lokasi obstruksi jalan napas terletak di saluran napas kecil (diameter kurang
dari 2 mm). Proses obstruksi yang terjadi meliputi kerusakan barier epitela,
gangguan bersihan mukosilier yang menyebabkan penumpukan mukus
eksudatif di saluran napas kecil, infiltrasi dinding saluran napas oleh sel-sel
inflamai, serta deposisi jaringan ikat pada dinding saluran napas. Mekanisme
remodeling dan perbaikan tersebut menyebabkan penambahan tebal dinding
saluran napas, mengurangi kaliber lumen, serta membatasi peningkatan
kaliber normal oleh inflamasi paru (Masna dan Fachri , 2014). `
Kerusakan paru emfisematus dikaitkan dengan inflamasi sel yang sama
dengan yang ditemukan di saluran napas besar. Pola emfisema sentrilobular
dikaitkan terutama dengan kebiasan merokok sedangkan pola emfisema
panasinar/panlobular yang melibatkan kerusakan asinus secara lebih merata
dikaitkan terutama dengan defisiensi enzim alfa-1-antitripsin (Masna dan
Fachri, 2014).
D. Gejala
Gejala yang paling sering pada pasien PPOK adalah sesak napas.
Sesak napas biasanya menjadi keluhan utama pada pasien PPOK karena
terganggunya aktivitas fisik akibat gejala ini. Sesak napas biasanya menjadi
komplain ketikaa FEV1 < 60% prediksi. Pasien biasanya mendefinisikan
sesak napas sebagai peningkatan usaha untuk bernapas, rasa berat saat
bernapas, gasping, dan air hinger(Soeroto dan Suryadinata, 2014). Menurut
Putra & Artika (2013), orang dengan PPOK biasanya pertama sadar
mengalami dyspnea pada saat melakukan olahraga berat ketika tuntutan
pada paru-paru yang terbesar. Selama bertahun-tahun, dyspnea cenderung
untuk bertambah parah secara bertahap sehingga dapat terjadi pada aktivitas
yang lebih ringan, aktivitas sehari-hari seperti pekerjaan rumah tangga. Pada
tahap lanjutan dari PPOK, dyspnea dapat menjadi begitu buruk yang terjadi
selama istirahat dan selalu muncul.
Batuk bisa muncul secara hilang timbul, tapi biasanya batuk kronis
adalah gejala awal perkembangan PPOK. Gejala ini juga biasanya
merupakan gejala klinis yang pertama kali disadari oleh pasien. Batuk
kronis pada PPOK bisa juga muncul tanpa dahak (Soeroto dan Suryadinata,
2014).
E. Klasifikasi
Menurut GOLD, 2013 berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan
spirometri dapat ditentukan klasifikasi (derajat) PPOK, sebagai berikut:
Derajat Penyakit Gejala Klinis Spirometri
Derajat I a. Dengan atau tanpa a. VEP1 ≥ 80%
PPOK batuk prediksi (nilai
Ringan b. Dengan atau tanpa normal spirometri)
produksi sputum b. VEP1/KVP < 70%
c. Sesak napas derajat
sesak 1 sampai
derajat sesak 2
Derajat II a. Dengan atau tanpa a. VEP1/KVP < 70%
PPOK batuk b. 50% ≤ VEP1 < 80%
Sedang b. Dengan atau tanpa prediksi
produksi sputum
c. Sesak napas derajat 3
Derajat III a. Sesak napas derajat a. VEP1/KVP < 70%
PPOK Berat sesak 4 dan 5 b. 30% ≤ VEP1 < 50%
b. Eksaserbasi lebih prediksi
sering terjadi
Derajat IV a. Sesak napas derajat a. VEP1/KVP <70
PPOK sesak 4 dan 5 dengan b. VEP1 < 30%
Sangat Berat gagal napas kronik prediksi,
b. Eksaserbasi lebih atau
sering terjadi c. VEP1 < 50%
c. Disertai komplikasi dengan gagal napas
kor pulmonale atau kronik
gagal jantung kanan
F. Penatalaksanaan
1. Terapi Farmakologi
a. Bronkodilator
Bronkodilator merupakan pengobatan yang berguna untuk
meningkatkan FEV1 (Volume udara dalam 1 detik pertama
ekspirasi) yang akanmempengaruhi tonus ototpolospadajalannapas.
(Soeroto dan Suryadinata, 2014)
1) β2 Agonis (short-acting dan long-acting)
Prinsip kerja dari β2 agonis yaitu menyebabkan relaksasi
otot polos pada jalan napas dengan cara menstimulasi reseptor
β2 adrenergik pada otot polos dan menghasilkan antagonisme
fungsional terhadap bronko kontriksi. Efek β2 agonist pada
otot polos jalan nafas biasanya dalam waktu 4-6 jam setelah
pemberian. Contoh obat dari golongan antikolinergik yaitu
tiotropium, ipratropium, glycopyrronium, dan aclidinium
(Soeroto dan Suryadinata, 2014).
Efek samping dari obat ini adalah menimbulkan sinus
takikardia saat kondisi istirahat dan memiliki potensi
timbulnya aritmia. Pada pasien PPOK lansia akan
menyebabkan Tremor somatic.
2) Antikolinergik
Prinsip kerja dari Antikolinergik adalah memblok efek
asetilkolin pada reseptor muskarinik. Efek samping yang bisa
timbul akibat penggunaan antikolinergik adalah mulut kering
(Soeroto dan Suryadinata, 2014).
Obat yang termasuk dalam golongan ini yaitu:
a) Ipratropium
b) Oxitropium
c) Tiopropium bromide
b. Methylxanthine
Obat ini akan mempengaruhi perubahan otot-otot inspirasi.
Contoh obat yang tergolong methylxanthine adalah teofilin. Obat
ini tidak direkomendasikan jika obat lain tersedia (Soeroto dan
Suryadinata, 2014).
c. Kortikosteroid
Kortikosteroid dapat memperbaiki gejala PPOK, fungsi paru,
dan mengurangi frekuensi eksaserbasi (kekambuhan) pada pasien
(Soeroto dan Suryadinata, 2014).
d. Phosphodiesterase-4 inhibitor
Prinsip kerja obat ini yaitu mengurangi inflamasi dengan cara
menghambat pemecahan intraselular C-AMP. Penggunaan obat ini
memiliki efek samping seperti mual, menurunnya nafsu makan,
sakit perut, diare, gangguan tidur dan sakit kepala (Soeroto dan
Suryadinata, 2014).
e. Vaksin Pneumococcus
Vaksin pneumococcus direkomendasikan untuk pasien PPOK
usia> 65 tahun (Soeroto dan Suryadinata, 2014).
f. Antibiotik
Penggunaannya untuk mengobati infeksi bakterial yang akan
menimbulkan eksaserbasi (kekambuhan). Hanya diberikan bila
terdapat infeksi (PDPI,2003).
2. Terapi Non Farmakologis
a. MemperbaikiNutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada penderita PPOK, karena
bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulusrespirasi
meningkat yang akan menyebabkan terjadi hipermetabolisme. Cara
mengatasi malnutrisi adalah pemberian makanan yang agresis tidak
akan mengatasi masalah, karena gangguan ventilasi pada PPOK
tidak dapat mengeluarkan CO2 yang terjadi akibat metabolisme
karbohidrat. Diperlukan keseimbangan antara kalori yang masuk
dengan kalori yang dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat diberikan
secara terus menerus (nocturnal feedings). Komposisi nutrisi yang
seimbang dapat berupa tinggi lemak dan rendah karbohidrat
(PDPI,2003).
b. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka
panjang pada PPOK stabil. Edukasi PPOK diberikan sejak
ditentukan diagnosis dan berlanjut secara berulang pada setiap
kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi keluarganya.
Edukasi yang tepat diharapkan dapat mengurangi kecemasan
pasien PPOK, memberikan semangat hidup walaupun dengan
keterbatasan aktivitas. Penyesuaian aktivitas dan pola hidup
merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualiti hidup pasien
PPOK (PDPI,2003).
Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah
1) Pengetahuan dasar tentang PPOK
2) Informasi tentang obat - obatan, manfaat dan efeksampingnya
3) Cara pencegahan perburukan penyakit
4) Menghindari pemicu terjadinya kekambuhan (misalnya:
berhenti merokok)
5) Penyesuaian aktivitas
c. Terapi Oksigen
Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting
untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan
sel baik di otot maupun organ-organ lainnya. Pada PPOK derajat
sedang oksigen hanya digunakan bila timbul sesak yang disebabkan
pertambahan aktivitas. Pada PPOK derajat berat terapi oksigen
dilakukan di rumah pada waktu aktivitas atau terus menerus selama
15 jam terutama pada waktu tidur. Dosis oksigen tidak lebih dari 2
liter (PDPI,2003).
3. Pemantauan dan Follow Up
Follow up rutin penting pada penatalaksanaan semua pasien
termasuk PPOK. Fungsi paru bisa diperkirakan memburuk, bahkan
dengan pengobatan terbaik. Gejala dan pengukuran objektif dari
keterbatasan aliran udara harus dimonitor untuk menentukan kapan
dilakukan modifikasi terapi dan untuk identifikasi beberapa komplikasi
yang bisa timbul (Soeroto dan Suryadinata, 2014).
4. Pemantauan Progresifitas Penyakit dan Komplikasi
a. Spirometri
Penurunan fungsi paru terbaik diukur dengan spirometri,
dilakukan sekurang-kurangnya setiap 1 tahun sekali. Kuesioner
seperti CAT bisa dilakukan setiap 2 atau 3 bulan.
b. Gejala
Pada setiap kunjungan, tanyakan perubahan gejala dari saat
kunjungan terakhir termasuk batuk dan dahak, sesak napas, fatique,
keterbatasan aktivitas dan gangguan tidur.
c. Merokok
Pada setiap kunjungan, tanyakan status merokok terbaru dan
paparan terhadap rokok. Pemantauan farmakoterapi dan terapi
medis lain agar penyesuaian terapi sesuai sejalan dengan
berjalannya penyakit, setiap follow up harus termasuk diskusi
mengenai regimen terapi terbaru. Dosis setiap obat, kepatuhan
terhadap regimen, teknik penggunaan terapi inhalasi, efektivitas
regimen terbaru dalam mengontrol gejala dan efek samping terapi
harus selalu dalam pengawasan. Modifikasi terapi harus dianjurkan
untuk menghindari polifarmasi yang tidak diperlukan (Soeroto dan
Suryadinata, 2014).
5. Pemantauan Riwayat Eksaserbasi
Evaluasi frekuensi, beratnya dan penyebab terjadinya eksaserbasi.
Peningkatan jumlah sputum, perburukan akut sesak napas dan adanya
sputum purulen harus dicatat. Penyelidikan spesifik terhadap kunjungan
yang tidak terjadwal, panggilan telepon terhadap petugas kesehatan dan
penggunaan fasilitas emergensi adalah penting. Tingkat beratnya
eksaserbasi bisa diperkirakan dari peningkatan penggunaan obat
bronkhodilator atau kortikosteroid dan kebutuhan terhadap terapi
antibiotik. Perawatan di rumah sakit harus terdokumentasi, termasuk
fasilitas, lamanya perawatan, dan penggunaan ventilasi mekanik (Soeroto
dan Suryadinata, 2014).
G. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Perawat mengumpulkan informasi tentang riwayat kesehatan
pasien, melakukan pengkajian fisik, meliputi:
a. Inspeksi
Pada saat inspeksi, terlihat pasien mempunyai bentuk dada barrel
chest akibat udara yang terperangkap, penipisan massa otot, bernafas
dengan bibir yang dirapatkan, dan pernapasan abnormal yang tidak efektif.
Fokus inspeksi pada setiap bagian tubuh meliputi : ukuran tubuh, warna,
bentuk, posisi, kesimetrisan, lesi, dan penonjolan/pembengkakan. Setelah
inspeksi, perlu dibandingkan hasil normal dan abnormal bagian tubuh satu
dengan bagian tubuh lainnya. Contoh : mata kuning (ikterus), terdapat
struma di leher, kulit kebiruan (sianosis).
b. Palpasi
Pada palpasi, dapat diketahui ekspansi meningkat dan taktil
fremitus biasanya menurun.
c. Perkusi
Adapun suara-suara yang dijumpai saat perkusi adalah:
1) Sonor : suara perkusi jaringan yang normal.
2) Redup : suara perkusi jaringan yang lebih padat, misalnya
di daerah paru-paru pada pneumonia.
3) Pekak : suara perkusi jaringan yang padat seperti pada
perkusi daerah jantung, perkusi daerah hepar.
4) Hipersonor/timpani : suara perkusi pada daerah yang lebih
berongga kosong, misalnya daerah caverna paru, pada pasien
asthma kronik.
Pada perkusi, didapatkan suara normal sampai hipersonor
sedangkan diafragma mendatar atau menurun.
d. Auskultasi
Suara tidak normal yang dapat diauskultasi pada nafas adalah:
1) Rales : suara yang dihasilkan dari eksudat lengket
saat saluran-saluran halus pernafasan mengembang pada
inspirasi (rales halus, sedang, kasar). Misalnya pada pasien
pneumonia, TBC.
2) Ronchi : nada rendah dan sangat kasar terdengar
baik saat inspirasi maupun saat ekspirasi. Ciri khas ronchi
adalah akan hilang bila pasien batuk. Misalnya pada edema paru.
3) Wheezing : bunyi yang terdengar “ngiii….k”. bisa
dijumpai pada fase inspirasi maupun ekspirasi. Misalnya pada
bronchitis akut, asma.
4) Pleura Friction Rub: bunyi yang terdengar “kering” seperti suara
gosokan amplas pada kayu. Misalnya pada pasien dengan
peradangan pleura. Sering didapatkan adanya bunyi napas
ronkhi dan wheezing sesuai tingkat keparahan obstruktif pada
bronkhiolus.
e. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan rutin
1) Faal paru
a) Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)
Spirometri merupakan suatu pemeriksaan yang
menilai fungsi dari paru, dinding dada, dan otot-otot
pernafasan dengan mengukur jumlah volume udara yang
dihembuskan dari kapasitas paru total ke volume residu.
Spirometer merupakan alat untuk mengukur aliran
udara yang masuk dan keluar paru-paru dan dicatat dalam
grafik volume per menit.
Cara pemakaian spirometer: