Anda di halaman 1dari 23

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Persentase Lemak Tubuh Berlebih

2.1.1 Definisi

Persentase lemak tubuh adalah persentase berat lemak total dalam tubuh

terhadap berat badan. Pada penilaian persentase lemak tubuh digunakan

pengukuran antropometri dengan objek pengukuran lemak tubuh yang

terakumulasi dibawah kulit yang dikenal dengan sebutan lemak subkutan.

Gambar 2.1 menunjukkan lokasi timbunan lemak subkutan yang biasanya

dilakukan pengukuran antropometri untuk mengetahui persentase lemak tubuh.

Gambar 2.1 Lokasi timbunan lemak subkutan pada sisi ventral tubuh (kiri) dan
sisi dorsal tubuh (kanan) (ISAK, 2001)

10
11

Persentase lemak tubuh umumnya digunakan untuk menentukan

komposisi optimal tubuh seseorang. Persentase lemak tubuh optimal pada anak-

anak dan remaja yaitu 11-20% untuk laki-laki dan 16-25% untuk perempuan.

Pengukuran komposisi tubuh secara rutin diperlukan untuk memonitor perubahan

massa otot dan massa lemak tubuh. Penurunan massa otot dan/atau peningkatan

massa lemak tubuh memberikan dampak negatif pada metabolisme tubuh,

kekuatan, dan daya tahan (Manore et al., 2009).

Persentase lemak berlebih biasanya dialami oleh orang gemuk

(overweight) dan obesitas. Cara untuk menentukan klasifikasi seseorang termasuk

underweight, normal, overweight, atau obesitas yang paling sering digunakan

yaitu Indeks Massa Tubuh (IMT) dimana berat badan dalam satuan kilogram yang

dibagi tinggi badan kuadrat dalam satuan meter seperti rumus berikut:

Berat badan (kg)


IMT =
[Tinggi badan (m)]2

Indeks massa tubuh bukan merupakan patokan status gizi seseorang, tidak

menggambarkan komposisi tubuh, tidak merepresentasikan persen lemak tubuh,

dan tidak akurat untuk memprediksi kelebihan massa lemak dan massa otot.

Komposisi tubuh dan berat badan memberi kontribusi terhadap performa latihan.

Berat badan dapat mempengaruhi kecepatan, daya tahan, dan power seseorang

sementara komposisi tubuh (massa lemak dan massa tubuh bebas lemak) dapat

menghasilkan kekuatan, kelincahan, dan penampilan (Ode et al., 2007). Pada

orang dewasa hasil penghitungan IMT diklasifikasikan seperti pada Tabel 2.1

berikut:
12

Tabel 2.1
Klasifikasi IMT menurut kriteria Asia Pasifik

Klasifikasi IMT (kg/m2)


Underweight < 18,5
Normal 18,6 – 22,9
Overweight 23 – 24,9
Obesitas I 25 – 29,9
Obesitas II > 30
Sumber: National Institute for Health (2006)

2.1.2 Faktor penyebab meningkatnya persentase lemak tubuh

Beberapa faktor penyebab meningkatnya persentase lemak tubuh,

diantaranya:

1. Faktor genetik

Penelitian yang dilakukan oleh Sekolah Medis Universitas Boston

menemukan bahwa gen bernama INSIG2 bertanggung jawab terhadap obesitas.

Gen INSIG2 bertanggung jawab dalam menginhibisi sintesis asam lemak dan

kolesterol. Beberapa produk protein dari varian gen INSIG2 memiliki daya

inhibisi yang rendah sehingga orang-orang dengan varian gen ini akan cenderung

lebih banyak menumpukkan lemak didalam tubuhnya. Sekitar 1:10 orang (10%)

diduga membawa varian gen ini (Froguel and Boutin, 2001).

Gen lain yang bertanggung jawab terhadap obesitas adalah gen FTO. FTO

adalah nama gen yang terletak pada kromosom 16 manusia. Gen FTO sangat aktif

di hipotalamus, bagian otak yang penting dalam pengendalian rasa lapar. Tingkat

gen FTO dipengaruhi oleh pemberian makanan dan berpuasa (Froguel and Boutin,

2001).
13

Gen ob adalah gen yang menghasilkan hormon leptin. Pada manusia gen

ini terdapat pada kromosom ke-7. Gen yang terdiri dari 3 ekson dan 2 intron

menyandi protein leptin yang diproduksi oleh sel-sel lemak (adiposit). Saat leptin

mengikat reseptor leptin yang berada di otak terjadi proses penghambatan

pengeluaran neuropeptida Y (NPY) yang berpengaruh pada peningkatan nafsu

makan. Bila tidak ada leptin nafsu makan menjadi tidak terkontrol. Pada level

leptin rendah dan makanan yang masuk sedikit, hipotalamus mengeluarkan NPY

yang menyebabkan keinginan untuk makan dan memperlambat metabolisme,

suatu tindakan mengembalikan keadaan homeostatis. Pada waktu perut kosong

akan disekresikan hormon ghrelin yang merangsang nafsu makan (Solomon et al.,

2008).

Faktor genetik yang mempunyai peranan kuat yang diketahui adalah

parental fatness, yaitu seseorang yang obesitas biasanya berasal dari orang tua

yang obesitas juga. Penelitian Whitaker et al. (2007) menjelaskan jika salah satu

orang tua obesitas, maka risiko anak-anak menjadi obesitas pada saat dewasa

menjadi tiga kali lipat, tetapi jika kedua orang tua mengalami obesitas, maka

risiko anak menjadi obesitas meningkat lebih dari 10 kali.

2. Usia

Semakin bertambahnya usia manusia, metabolisme, serta produksi hormon

tubuh pun menurun sehingga membuat komposisi antara lemak dan otot dalam

tubuh berubah dimana terjadi penurunan massa otot dan peningkatan jumlah

lemak (Pangkahila, 2007).


14

3. Jenis kelamin

Menurut Sudibjo (2012), faktor hormonal mempengaruhi pola penyebaran

lemak tubuh antara laki-laki dan perempuan. Perempuan memiliki pola distribusi

lemak yang khas sejak masa pubertas dan biasanya tersebar pada daerah payudara,

perut bagian bawah, paha, dan sekitar alat genital. Pada perempuan memiliki lebih

banyak lemak (sebagian terletak pada payudara dan pinggang) karena untuk

melindungi organ reproduksi dan jaminan penyediaan kalori saat hamil,

sedangkan pada laki-laki tidak memiliki pola distribusi lemak yang khas setelah

pubertas. Nilai storage fat (cadangan energi) pada laki-laki dan perempuan

mempunyai rata-rata yang tidak jauh berbeda sekitar 12% dan 15% dari berat

badan, tetapi mempunyai perbedaan yang sangat besar pada essensial fat-nya

(untuk menjaga fungsi fisiologis organ), yaitu sekitar 12% pada perempuan dan

3% pada laki-laki.

4. Kondisi psikologis

Banyak orang yang memberikan reaksi terhadap emosinya dengan makan.

Salah satu bentuk gangguan emosi adalah persepsi diri yang negatif. Gangguan ini

merupakan masalah yang serius pada banyak wanita muda yang menderita

obesitas. Ada dua pola makan abnormal yang bisa menjadi penyebab obesitas

yaitu makan dalam jumlah sangat banyak (binge) dan makan di malam hari.

Kedua pola makan ini biasanya dipicu oleh stres dan kekecewaan. Binge mirip

dengan bulimia nervosa, dimana seseorang makan dalam jumlah sangat banyak

lalu memuntahkan kembali apa yang telah dimakan akibat kalori yang dikonsumsi

sangat banyak. Pada sindroma makan di malam hari, konsekuensinya adalah


15

berkurangnya nafsu makan di pagi hari dan diikuti dengan makan yang berlebihan

dan insomnia pada malam hari (Witjaksono, 2016).

5. Pola makan

Pola makan remaja yang senang mengkonsumsi makanan cepat saji (fast

food) memiliki andil besar terhadap peningkatan persentase lemak tubuhnya. Jenis

makanan cepat saji yang sering dikonsumsi adalah pizza, burger, hot dog, french

fries, chicken fries, chicken nugget, dan banyak lagi. Menurut hasil penelitian

Fraser et al. (2011), remaja yang sering makan di restoran cepat saji

mengkonsumsi lebih banyak makanan yang tidak sehat dan cenderung memiliki

IMT lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak secara periodik makan di

restoran cepat saji. Hasil penelitian ini senada dengan studi yang dilakukan

sebelumnya oleh Jeffery et al. (2006), yang menunjukkan bahwa kebiasaan makan

di restoran cepat saji (sedikitnya seminggu sekali) berhubungan positif dengan

diet tinggi lemak dan IMT.

6. Aktivitas Fisik Harian

Diseluruh dunia terjadi kecenderungan pergeseran pekerjaan yang

menuntut aktivitas fisik lebih sedikit dan saat ini setidaknya 60% populasi dunia

tidak melakukan olahraga yang cukup (Brownson et al., 2005). Hal ini terutama

disebabkan oleh bertambahnya penggunaan transportasi mekanik dan teknologi

hemat tenaga fisik yang ada di rumah sehingga menyebabkan orang lebih memilih

naik kendaraan daripada berjalan kaki walaupun pada jarak yang tidak jauh atau

lebih memilih naik tangga berjalan (escalator) atau lift untuk berpindah lantai

daripada menggunakan tangga.


16

Kecenderungan dunia dalam mengisi waktu luang secara aktif pun tampak

kurang nyata. Organisasi kesehatan dunia menyatakan bahwa orang di seluruh

dunia kurang mencari kegiatan rekreasi yang melibatkan aktivitas fisik dan studi

Brownson et al. (2005) di Amerika Serikat menunjukkan tidak adanya perubahan

signifikan dari kegiatan rekreasi yang melibatkan aktivitas fisik akibatnya

aktivitas fisik menurun. Hal ini berarti makin sedikit energi yang digunakan dan

makin banyak energi yang ditimbun dalam bentuk lemak.

7. Obat-obatan

Kandungan obat-obatan tertentu baik dari bahan kimia atau herbal dapat

memberikan efek secara tidak langsung terhadap penambahan berat badan dan

peningkatan lemak tubuh dengan peningkatan reaksi nafsu makan dan penyerapan

nutrisi dari makanan yang dikonsumsi. Obat-obatan yang dimaksud diantaranya

antidepresan, antipsikotik yang biasa digunakan untuk menangani gangguan

bipolar dan skizofrenia, serta anti-inflamasi non-steroid (OAINS) yang memiliki

efek samping menyebabkan kenaikan berat badan karena meningkatnya nafsu

makan seperti prednisolon. Orang yang mengonsumsi steroid juga dapat

mengalami perubahan pada bagian tubuh tertentu yang menyimpan lemak seperti

pada perut dan wajah (Witjaksono, 2016).

8. Hormonal

Penurunan kadar hormon seperti growth hormone, testosteron, dan thyroid

menjadi salah satu faktor penyebab meningkatnya persentase lemak tubuh. Ketika

kadar growth hormone dan testosteron menurun menyebabkan berkurangnya

massa otot disertai peningkatan lemak tubuh. Otot membakar lebih banyak kalori
17

dibandingkan lemak tubuh sehingga hal ini memicu peningkatan persentase lemak

tubuh (Beers, 2004).

2.1.3 Patofisiologi

Pengendalian asupan makanan melibatkan proses biokimiawi yang

menentukan rasa lapar dan kenyang termasuk penentuan selera jenis makanan,

nafsu makan, dan frekuensi makannya. Besar dan aktifitas penyimpanan energi

terutama di jaringan lemak dikomunikasikan ke sistem saraf pusat melalui

mediator leptin dan sinyal transduksi lain. Alur leptin merupakan regulator

terpenting dalam keseimbangan energi tubuh. Mutasi gen-gen penyandi leptin dan

sinyal transduksi tersebut akan mempengaruhi pengendali asupan makanan dan

menjurus ke timbulnya obesitas (Gwartney, 2007).

Leptin disekresi adiposit ke sirkulasi dan ditransport ke sistem saraf pusat

untuk berikatan dengan reseptor leptin di nukleus arkuatus hipotalamus. Ikatan ini

merangsang sintesis pro-opiomelanokortin (POMC). Dua zat yang dihasilkan dari

POMC adalah alpha-melanocyte stimulating hormone (α-MSH) dan

adrenocorticotrophine (ACTH). Alpha-MSH selanjutnya berikatan dengan

reseptor melanokortin-4 (MC4-R) di nukleus paraventrikular hipotalamus yang

akan menyebabkan penurunan asupan makanan (McMurray, 2005).

Pada kondisi simpanan lemak berlebih, leptin diproduksi sebanding

dengan tingginya simpanan energi dalam bentuk lemak. Leptin melalui sirkulasi

darah mencapai hipotalamus, sedangkan α-MSH merupakan mediator alur

hilirnya. Sintesis dan sekresi α-MSH oleh nukleus arkuatus hipotalami

dikendalikan secara positif oleh ikatan antara leptin dengan reseptornya di badan
18

saraf tersebut yang diikuti perubahan POMC menjadi α-MSH. Selanjutnya α-

MSH menekan pusat lapar dan melalui sirkulasi darah ke perifer meningkatkan

metabolisme dengan memacu lipolisis di jaringan adiposa {Gambar 2.2 (kiri)}

(Tischler, 2004).

Gambar 2.2 Sistem sinyal leptin dan efeknya pada kondisi simpanan lemak di
adiposit tinggi (kiri) dan rendah (kanan) (Tischler, 2004)

Pada kondisi simpanan lemak kurang setelah pembatasan asupan makanan

dan pembakaran lemak karena aktivitas, leptin turun sehingga kadar α-MSH di

hipotalamus berkurang. Keadaan ini memicu neuron pusat lapar di hipotalamus

melepaskan agouti related protein (AGRP) yang sintesisnya ditekan oleh leptin

melalui ikatan dengan reseptornya. AGRP merangsang nafsu makan melalui

mekanisme antagonis α-MSH terhadap MC4-R. Selanjutnya, pengurangan sintesis

α-MSH dari POMC menekan katabolisme lemak sampai simpanan lemak di

adiposit terisi kembali sebagai hasil kombinasi efek tersebut dengan perilaku

makan. Bila simpanan lemak sudah cukup, mekanisme kontrol kembali ke


19

penghambatan nafsu makan dan peningkatan penggunaaan energi sehingga berat

badan dapat dipertahankan pada rentang tertentu {Gambar 2.2 (kanan)} (Tischler,

2004).

2.1.4 Dampak lemak tubuh berlebih terhadap kesehatan

Pada individu tua, akumulasi lemak tubuh terutama terjadi pada regio

abdominal sebagai lemak viseral yang dapat memungkinkan terjadinya

komplikasi metabolik seperti intoleransi glukosa, hiperinsulinemia, non insulin

dependent diabetes mellitus (NIDDM), hipertensi, maupun dislipidemia. Kelima

komplikasi metabolik tersebut dapat meningkatkan risiko terhadap terjadinya

penyakit jantung dan kardiovaskuler (Sudibjo, 2012).

Jaringan lemak (adiposa) mengeluarkan zat adipositokin yang memiliki

efek obesitas, diabetes, dan penyakit kardiovaskuler sehingga jaringan lemak

secara langsung berhubungan dengan kelainan yang diakibatkan obesitas

(Purnamawati, 2009).

2.2 Program Olahraga Terhadap Persentase Lemak Tubuh

2.2.1 Penggunaan lemak untuk energi

Dalam menjalani kehidupan sehari-hari manusia memerlukan energi

untuk melakukan berbagai aktivitas fisik termasuk latihan fisik dalam bentuk

olahraga. Energi didapat dari asupan makanan yang kita konsumsi. Asupan

makanan yang mengandung lemak yang tidak terpakai akan disimpan sebagai

cadangan makanan di jaringan adiposa, jika tubuh memerlukan energi maka

cadangan makanan yang tersimpan di jaringan adiposa akan terurai dan diproses

menjadi suatu energi (Achmad, 2000).


20

Saat sel-sel tubuh kita memerlukan energi maka enzim lipase dalam sel

adiposa menghidrolisis simpanan trigliserida menjadi gliserol dan asam lemak

serta melepasnya kedalam pembuluh darah. Pada sel-sel yang membutuhkan,

komponen-komponen tersebut diolah untuk menghasilkan energi, CO2, dan H2O.

Pada tahap akhir hidrolisis setiap pecahan berasal dari lemak mengikat pecahan

dari karbohidrat (glukosa) sebelum akhirnya dioksidasi secara lengkap menjadi

CO2 dan H2O. Sel adiposa tubuh tidak dapat dihidrolisis secara sempurna tanpa

kehadiran karbohidrat karena akan terjadi hasil pembakaran lemak berupa bahan-

bahan keton yang dapat menimbulkan keto-asidosis. Tubuh mempunyai kapasitas

tidak terhingga untuk menyimpan lemak. Namun lemak tidak sepenuhnya

menggantikan karbohidrat sebagai sumber energi (Almatsier, 2003).

Apabila manusia melakukan aktivitas fisik (termasuk latihan fisik dalam

bentuk olahraga) dalam arti tubuh mengeluarkan energi lebih besar dibanding

energi masuk yang berasal dari makanan yang kita konsumsi, maka diharapkan

persentase lemak tubuh sedikit demi sedikit akan berkurang karena sel adiposa

akan dihidrolisis untuk menghasilkan energi.

2.2.2 Kegunaan energi bagi tubuh

Tujuan kita makan adalah untuk menghasilkan energi. Energi ada dalam

bentuk ATP (adenosine triphosfate) dan panas. ATP diperlukan untuk kontraksi

otot, konduksi saraf, transport nutrisi, sintesis hormonal, dan sebagainya. Energi

diperlukan tubuh untuk memenuhi kebutuhan energi basal, aktivitas tubuh, dan

keperluan khusus (Moehji, 2002).


21

1. Kebutuhan energi basal

Dalam kondisi duduk, berbaring, atau tidak melakukan pekerjaan apapun,

ternyata tubuh masih memerlukan sejumlah energi. Energi tersebut digunakan

untuk terlaksananya berbagai fungsi faal tubuh seperti untuk gerak peristaltik

usus, pemompaan darah oleh jantung, pengambilan O2, pembuangan CO2 oleh

paru-paru, dan sebagainya. Jumlah energi yang diperlukan untuk pelaksanaan

fungsi faal tubuh disebut energi basal tubuh. Angka metabolisme basal dinyatakan

dalam kilokalori per kilogram berat badan per jam {Kkal/kgBB/jam} (Almatsier,

2003).

2. Kebutuhan energi untuk aktivitas fisik

Jumlah energi yang diperlukan untuk berbagai jenis aktivitas fisik tidak

sama. Banyaknya energi yang dibutuhkan bergantung pada berapa banyak otot

yang bergerak, berapa lama, dan berapa berat aktivitas yang dilakukan.

(Almatsier, 2003).

3. Kebutuhan energi khusus

Ada beberapa keadaan yang memerlukan tambahan energi khusus, seperti

pada ibu hamil, ibu menyusui, dan orang yang baru sembuh dari sakit (Almatsier,

2003).

2.3 Pelatihan Interval Itensitas Tinggi

2.3.1 Definisi

Pelatihan interval intensitas tinggi adalah sebuah konsep latihan yang

menggunakan kombinasi antara latihan intensitas tinggi diselingi dengan latihan

intensitas sedang atau rendah (Laursen et al., 2002).


22

Talanian et al. (2006) menyebutkan respon klasik yang dapat diobservasi

pada pelatihan interval intensitas tinggi, diantaranya dapat menstimulasi

ketahanan tubuh, meningkatkan oksidasi lemak setelah latihan, dan meningkatkan

aktivitas enzim mitokondria.

2.3.2 Dosis

Dosis pelatihan interval intensitas tinggi pada penelitian ini adalah

intensitas latihan 80–90% DNM, durasi 60 menit (10 detik sprint - 60 detik jalan

cepat - 10 detik sprint - 60 detik jalan cepat - dan seterusnya), frekuensi 3 kali per

minggu selama 8 minggu.

Pelatihan interval intensitas tinggi selama dua minggu dengan intensitas

latihan 80–95% VO2max dan periode 4-6 minggu menunjukkan peningkatan

performa intensitas tinggi, kapasitas pembakaran dalam otot, oksidasi lemak

tubuh, dan kapasitas aerobik. Setiap melakukan pelatihan interval intensitas

tinggi setidaknya terdiri dari 10 sesi mengayuh sepeda statik selama 4 menit pada

90% VO2max dengan diselingi pemulihan 2 menit (Talanian et al., 2006).

Hasil penelitian King (2001) menyebutkan pelatihan interval intensitas

tinggi yang dilakukan 3 kali per minggu selama 8 minggu atau setara dengan 300

kkal per sesi latihan dapat meningkatkan kebugaran, menurunkan persentase

lemak tubuh, dan RMR (resting metabolic rate) dibandingkan pelatihan yang

intensitasnya lebih rendah.


23

2.3.3 Efek pelatihan interval intensitas tinggi terhadap persentase lemak

tubuh

Pelatihan pelatihan intensitas tinggi dapat memacu kerja jantung dengan

lebih keras sehingga dapat meningkatkan konsumsi oksigen dan meningkatkan

metabolisme tubuh. Selain itu juga dapat meningkatkan oksidasi asam lemak pada

otot skeletal dan memberi kontribusi terhadap peningkatan oksidasi lemak tubuh

(Talanian et al., 2006).

Peningkatan oksidasi lemak pada otot skeletal merupakan hasil reaksi

adaptasi, termasuk peningkatan volume mitokondria dan lipolysis jaringan

adiposa (triglyserides/TG) menjadi asam lemak, transport asam lemak kedalam

sel, lipolysis intramuskuler dari TG menjadi asam lemak, dan transport asam

lemak kedalam mitokondria. Hasil dari pelatihan yang dapat diobservasi adalah

lebih banyaknya kontribusi energi yang berasal dari asam lemak pada jaringan

adiposa (Talanian et al., 2006).

2.4 Pelatihan Kontinyu Submaksimal

2.4.1 Definisi

Aucouturier et al. (2008) mengartikan pelatihan kontinyu submaksimal

sebagai pelatihan yang bersifat konsisten, mempunyai intensitas 65-75% VO2max,

dan tidak melebihi 85% VO2max. Saat melakukan pelatihan dengan intensitas

submaksimal dan menghasilkan energi keluaran, lemak berkontribusi lebih tinggi

(dibanding karbohidrat). Hal ini dapat menjadikan persentase lemak tubuh

menurun.
24

2.4.2 Dosis

Jenis pelatihan kontinyu submaksimal yang dipilih adalah lari dengan

dosis, yaitu intensitas latihan 60-75% DNM, durasi 60 menit, dan frekuensi 3 kali

per minggu selama 8 minggu.

Sebagian besar studi tentang pelatihan jangka pendek dan jangka panjang

pada individu sedentari yang melakukan latihan kontinyu submaksimal secara

rutin (2 jam/hari, 65-75% VO2max) dengan periode latihan jangka pendek yang

relatif cepat (3 hari) terjadi adaptasi sentral yaitu peningkatan kapasitas kerja fisik,

sedangkan periode latihan yang lebih panjang/jangka panjang (3-5 kali per

minggu, 12-38 hari) diperlukan untuk meningkatkan VO2max dan oksidasi lemak

(Talanian et al., 2006).

Dalam penelitian Talanial et al. (2006), subjek mengikuti protokol

pelatihan kontinyu submaksimal dengan tiga perbedaan kapasitas kerja yaitu 55,

65, dan 75% VO2max dengan 1-2 kali latihan per hari. 65% VO2max setara

dengan 74% denyut nadi maksimal (DNM = 220 – usia) (McMurray, 2005).

Subjek disarankan untuk mengikuti diet normal. Beberapa sesi pelatihan kontinyu

submaksimal terakhir dilaporkan selama 20 menit. Konsumsi oksigen (VO2)

secara kontinyu dihasilkan dalam 20 menit latihan (Bircher dan Knechtle, 2004).

2.4.3 Efek pelatihan kontinyu submaksimal terhadap persentase lemak

tubuh

Efek pelatihan kontinyu submaksimal adalah meningkatkan oksidasi

lemak yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya peningkatan volume

mitokondria di otot rangka, yang meningkatkan kapasitas untuk oksidasi lemak;


25

proliferasi kapiler dalam otot rangka, yang meningkatkan pengiriman asam lemak

ke otot; peningkatan karnitin transferase, yang memfasilitasi asam lemak

transportasi melintasi membran mitokondria; dan peningkatan asam lemak

mengikat protein, yang mengatur miosit transportasi asam lemak (Horowitz dan

Klein, 2000).

2.5 Pengukuran Persentase Lemak Tubuh dengan Teknik Skinfold

Metode yang sering digunakan untuk mengukur persentase lemak tubuh

adalah metode antropometri dengan teknik skinfold. Pada pengukuran persentase

lemak tubuh dilakukan pada lemak tubuh yang terakumulasi di bawah kulit

(lemak subkutan) dengan menggunakan alat skinfold caliper. Dasar pemikirannya

adalah bahwa 50% lemak tubuh total terdapat pada subkutan. Ketebalan lemak

subkutan yang diukur yakni pada bagian tubuh yang dianggap memiliki timbunan

lemak pada daerah ekstremitas dan batang tubuh, diantaranya biseps, triseps,

subskapula, iliac crest, supraspinal, abdominal, front thigh dan medial calf

(ISAK, 2001).

Metode antropometri dengan teknik skinfold telah diuji silang validitas dan

reliabilitasnya dalam memprediksi persentase lemak tubuh dengan teknik under

water weighing (UWW) yang dianggap sebagai standar. Akurasi pengukuran

dengan skinfold adalah ±97% dengan validitas r = 0.90 (McArdle et al., 2005).

Kelebihan dari metode skinfold diantaranya ekonomis, mudah

mengaplikasikannya, dan tidak merugikan kesehatan subjek yang diukur karena

tidak terpapar oleh sinar x-ray seperti metode lainnya. Adapun kelemahan metode

ini bersifat etnicaly dependent, yaitu berbeda antar jenis kelamin serta ras, pola
26

makan, dan budaya setempat (Sudibjo, 2012).

Petunjuk umum pengukuran skinfold (ISAK, 2001):

1. Pengukuran skinfold biasanya dilakukan pada sisi kanan tubuh saja.

Perbandingan antara sisi kiri dan kanan tubuh tidak terdapat perbedaan

ketebalan lemak subkutan yang signifikan atau terdapat perbedaan yang

tidak signifikan menurut statistik/sedikit perbedaan pada subjek yang

mempunyai otot dan tulang yang hypertropy pada salah satu sisi tubuh

seperti pada pemain tenis atau pada subjek yang dominan menggunakan

sisi kiri tubuh.

2. Apabila memungkinkan, masing-masing pengukuran sebaiknya

dilakukan sebanyak dua sampai tiga kali kemudian nilai yang diperoleh

merupakan nilai rata-rata jika pengukuran dilakukan dua kali dan nilai

median bila pengukuran dilakukan tiga kali.

3. Pengukuran skifold sebaiknya jangan dilakukan segera setelah subjek

melakukan latihan fisik atau perlombaan, mandi sauna, berenang atau

mandi, selama latihan fisik, dan kondisi yang menyebabkan hyperemia

(peningkatan aliran darah) karena dapat meningkatkan ketebalan lemak

subkutan. Selain itu dehidrasi juga dapat menyebabkan peningkatan

ketebal lemak subkutan akibat perubahan ketegangan dan turgidity

kulit.

Teknik pengukuran skinfold caliper (ISAK, 2001):

1. Memastikan kaliper pada posisi nol sebelum digunakan.

2. Menempatkan permukaan kaliper pada lokasi yang tepat (yang telah


27

ditentukan) untuk meminimalisir kesalahan lokasi pengukuran.

3. Menarik/menjepit lipatan kulit beserta lemak subkutan dengan

menempatkan jempol dan jari tangan (kiri) lalu menempatkan kaliper

diantaranya dengan tangan lain (kanan). Untuk mengeliminasi otot yang

ikut tertarik, jempol dan jari tangan menyusuri lipatan kulit daerah

tersebut. Apabila hal ini sulit dilakukan, perintahkan subjek agar lebih

rileks lagi sampai tidak ada ketegangan pada ototnya dan yakin hanya

kulit dan lemak subkutan saja yang ditarik/dijepit.

4. Menempatkan permukaan kaliper berjarak ±1 cm dari jempol dan jari

tangan. Apabila terlalu dekat mungkin menyebabkan kesalahan pada

pengukurannnya.

5. Memposisikan kaliper 90° terhadap semua permukaan lipatan kulit

(lemak subkutan) yang akan diukur.

Ada beberapa lokasi pengukuran spesifik yang biasanya dilakukan dalam

skinfold caliper (ISAK, 2001) untuk menentukan persentase lemak tubuh:

1. Triceps skinfold

Lokasi : Bagian yang paling posterior m. triceps brachii pada

penampakan dari samping (paling posterior dari

lengan atas) bila dilihat dari gambar (kiri) yaitu area

yang ditandai X.

Posisi subjek : Subjek berdiri rileks (posisi anatomi) dengan lengan

kiri menggantung di samping tubuh dan lengan kanan

rileks dengan posisi sendi bahu sedikit eksorotasi dan


28

sendi siku ekstensi.

Metode : Flip dipasang sejajar dengan panjang sumbu lengan.

Gambar 2.3 Triceps skinfold (ISAK, 2001)

2. Supraspinal skinfold

Lokasi : Perpotongan antara garis yang terbentang dari spina

iliaca anterior superior (SIAS) ke batas anterior

axilla dan garis horizontal yang melalui tepi atas

crista illiaca, bila dilihat dari gambar (kiri) yaitu area

yang ditandai X.

Posisi subjek : Subjek berdiri rileks dengan lengan kiri menggantung

di samping tubuh dan lengan kanan posisi abduksi.

Metode : Cubitan dilakukan pada daerah sekitar 5–7cm diatas

SIAS, tergantung pada ukuran subjek dewasa. Arah

cubitan membentuk sudut 45° terhadap garis

horizontal.
29

Gambar 2.4 Supraspinal skinfold (ISAK, 2001)

3. Front thigh skinfold

Lokasi : Bagian garis tengah aspek anterior paha diambil dari

titik tengah jarak antara lipat paha (inguinal) dengan

permukaan anterior patella, bila dilihat dari gambar

(kiri) yaitu area yang ditandai X.

Posisi subjek : Subjek posisi duduk tegak dan kedua lengan

menggantung di samping tubuh. Lutut kanan pada

posisi fleksi 90° sehingga telapak kaki kanan menapak

lantai.

Metode : Cubitan dilakukan dengan arah vertikal pada garis

tengah paha di pertengahan antara lipat paha

(inguinal) dengan permukaan anterior patella.


30

Gambar 2.5 Front thigh skinfold (ISAK, 2001)

4. Medial calf skinfold

Lokasi : Bagian yang paling medial dari betis, bila dilihat dari

gambar (kiri) yaitu area yang ditandai X.

Posisi subjek : Subjek berdiri rileks dengan kedua lengan

menggantung di samping tubuh dan kaki kanan

ditempatkan pada kotak sehingga lutut kanan pada

posisi fleksi sekitar 90°. Subjek dalam posisi duduk di

kursi dengan sendi lutut dalam keadaan fleksi 90° dan

otot-otot betis dalam keadaan rileks.

Metode : Cubitan dilakukan dengan arah vertikal pada aspek

medial betis yang mempunyai lingkar paling besar

(untuk menentukan lingkar terbesar pada betis

dilakukan pengamatan dari sisi depan).


31

Gambar 2.6 Medial calf skinfold (ISAK, 2001)

2.6 Prosedur Pengukuran Persentase Lemak Tubuh

Pada persamaan antropometri ada dua macam cara dalam memprediksi

persentase lemak tubuh, yaitu 1) persamaan yang langsung menghitung persentase

lemak tubuh dari data skinfold yang sudah dikumpulkan dan 2) melalui

penghitungan densitas tubuh terlebih dahulu sebelum dapat menghitung

persentase lemak tubuh.

Pada persamaan yang langsung menghitung persentase lemak tubuh

diterapkan pada populasi laki-laki dengan rumus sebagai berikut:

PLT = 5,87 + 1,37 (medial calf)

Pada cara yang kedua ini setelah densitas tubuh dihitung berdasarkan data

skinfold yang sudah didapat melalui rumus Jackson, Pollock, dan Ward, maka

nilai densitas tersebut dikonfersikan dalam rumus Brozek sebagai berikut:

Jackson, Pollock, dan Ward (untuk populasi perempuan)

D = 1,0994921 – 0,0009929 (X2) + 0,0000023 (X2)2– 0,0001392 (usia)


32

Rumus Brozek

PLT = [(4,971/D)-4,519]x100

Ket: PLT : persentase lemak tubuh


D : densitas tubuh
X2 : jumlah pengukuran skinfold pada triceps, supraspinal, dan
front thigh (dalam milimeter)
Usia : dalam tahun

Anda mungkin juga menyukai