Anda di halaman 1dari 58

Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam LAPORAN

RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda KASUS


Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman

AKUT ON CKD PADA CA SERVIKS


Disusun sebagai Salah Satu Tugas Kepaniteraan Klinik
di Bagian Ilmu Penyakit Dalam

Grasia Angger Ayu Wilujeng


NIM. 1810029030

Pembimbing:
dr. Kuntjoro Yakti, Sp.PD

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA, APRIL 2019
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat dan
kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan kasus
dengan judul “Akut on CKD Pada Ca Seviks”. Tulisan ini disusun sebagai tugas
kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam di RSUD Abdul Wahab
Sjahranie Samarinda.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada dr. Kutjoro Yakti, Sp.PD, atas ilmu dan bimbingan yang
diberikan selama menjalani kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam.
Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan ini.
Namun, penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi proses
pembelajaran kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Dalam.

Samarinda, April 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i


KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2 Tujuan Penulisan ............................................................................ 2
BAB 2 LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien ............................................................................... 3
2.2 Anamnesis ....................................................................................... 3
2.3 Pemeriksaan Fisik .......................................................................... 5
2.4 Pemeriksan Penunjang ................................................................... 6
2.5 Diagnosis Kerja .............................................................................. 7
2.6 Follow Up ...................................................................................... 8
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Kanker Serviks .............................................................................. 15
3.2 Uropati obstruksi ............................................................................ 28
3.3 Akut on CKD .................................................................................. 33
BAB 4 PEMBAHASAN ..................................................................................... 44
BAB 5 KESIMPULAN ....................................................................................... 51
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 52

iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kanker adalah penyakit yang disebabkan oleh pertumbuhan sel-sel
jaringan tubuh yang tidak normal dan dapat menyerang berbagai jaringan di
dalam organ tubuh, termasuk organ reproduksi perempuan yang terdiri dari
payudara, uterus, ovarium, dan vagina. Menurut World Health Organization
(WHO), kanker merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas di
dunia, dengan perkiraan 14 juta kasus baru pada tahun 2012. Kanker merupakan
penyakit yang serius, dimana ia merupakan penyebab kematian nomor dua di
dunia, dengan jumlah 8,8 juta kasus kematian pada tahun 2015. Secara global, 1
dari 6 kematian disebabkan oleh kanker.1
Salah satu kanker yang menyebabkan kesakitan dan kematian pada
perempuan adalah kanker serviks. Angka kejadian dan angka kematian akibat
kanker serviks di dunia menempati urutan kedua setelah kanker payudara,
termasuk di Indonesia. Menurut WHO, pada tahun 2012 diperkirakan ada 445.000
kasus baru kanker serviks dan lebih dari 270.000 kematian akibat kanker serviks
di seluruh dunia.2 Di Indonesia, diperkirakan insidensi kasus baru kanker serviks
adalah sekitar 20.928 kasus pertahunnya, dan menyebabkan hingga 9.498
kematian.3
Di Indonesia kanker serviks menduduki urutan kedua dari 10 kanker
terbanyak berdasar data dari Patologi Anatomi tahun 2010 dengan insidens
sebesar 12,7%. Menurut perkiraan Departemen Kesehatan RI saat ini, jumlah
wanita penderita baru kanker serviks berkisar 90-100 kasus per 100.000 penduduk
dan setiap tahun terjadi 40 ribu kasus kanker serviks.16
Penyebab kanker serviks belum diketahui secara pasti. Beberapa faktor
ekstrinsik mempunyai hubungan erat dengan kejadiannya, diantaranya adalah
jarang ditemukan pada perawan, insiden tinggi pada wanita yang telah menikah,
terutama pada gadis yang koitus pertama dialami pada usia amat muda (kurang
dari 16 tahun), insidensi meningkat dengan tingginya paritas, apalagi apabila jarak
persalinan amat dekat, sosio-ekonomi rendah, hygiene seksual yang jelek,
aktivitas seksual yang sering berganti-ganti pasangan (promiskuitas), jarang

1
ditemukan pada pasangan suami yang disunat (sirkumsisi), sering ditemukan pada
wanita yang mengalami infeksi HPV (human papilloma virus) tipe 16 dan 18 dan
kebiasaan merokok.4
Kanker serviks merupakan penyakit yang harus ditangani dengan serius.
Selain dari segi penyakitnya sendiri yang menimbulkan angka mortalitas yang
tinggi, penyulit lain seperti gangguan ginjal sebagai komplikasi dari penyakit ini
cukup banyak dikeluhkan. Gangguan ginjal pada pasien dengan keganasan
ginekologi banyak disebabkan oleh obstruksi dari massa tumor itu sendiri pada
organ urologi.
Dalam beberapa kasus kanker serviks stadium lanjut, tumor kanker
(pertumbuhan jaringan abnormal) dapat menekan ureter, menghalangi aliran urin
dari ginjal. Penumpukan urin dalam ginjal dikenal sebagai hidronefrosis dan dapat
menyebabkan ginjal menjadi bengkak. Kasus yang parah dapat menyebabkan
hidronefrosis ginjal menjadi bekas luka, yang dapat menyebabkan hilangnya
sebagian atau seluruh fungsi ginjal. Hal ini dikenal sebagai gagal ginjal.
Oleh karena itu, penanganan kanker ginekologi di masa depan haruslah
terdiri dari berbagai disiplin ilmu mulai dari dokter spesialis urologi, obgyn, dan
penyakit dalam dalam upaya mencegah terjadinya perburukan dari penyakit ini.

1.2 Tujuan Penulisan


Laporan kasus ini bertujuan untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan
mengenai akut on CKD pada kanker serviks, serta perbandingan antara teori dan
kasus.

2
BAB 2
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas pasien


Nama : Ny. Y
Usia : 35 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
Alamat : Sangatta
MRS tanggal 6 April 2019

2.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan pada tanggal 12 April di ruang Anggrek.
Autoanamnesis oleh pasien dan heteroanamnesis oleh ibu pasien.

2.2.1 Keluhan Utama


Pasien datang dengan keluhan nyeri saat buang kecil sejak ± 2 hari
sebelum masuk rumah sakit

2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD dengan keluhan nyeri saat buang kecil sejak ± 2 hari
sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengatakan nyeri dirasakan dari perut bagian
bawah dan tembus hingga ke pinggang. Pasien mengatakan urin yang keluar
sedikit-sedikit dan frekuensi buang air kecil menjadi sering. Dalam satu hari
pasien dapat sekitar 20 kali buang air kecil. Keluhan buang air kecil yang sulit ini
sebenarnya telah dirasakan sejak ± sejak 3 bulan terakhir,namum memberat
disertai nyeri selama dua hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengatakan
satu hari sebelum masuk rumah sakit sempat demam yang diawali dengan
menggigil. Demam kemudian hilang setelah pasien mengkonsumsi obat penurun
panasyang dibeli di apotek. Selain keluhan diatas pasien juga merasakan mual dan
muntah. Mual terutama timbul saat pasien makan dan muntah hanya sesekali
berisi makanan bercampur air.

3
Pasien mengaku didiagnosa dengan Ca Serviks pada bulan Agustus 2018.
Awalnya pasien mengatakan sering menggalami perdarahan setelah melakukan
hubungan seksual. Perdarahan ini tidak disertai rasa nyeri dan hanya terasa tidak
nyaman pada perut bagian bawah. Keluhan perdarahan ini semakin lama semakin
memberat hingga perdarahan juga timbul walaupun tidak melakukan hubungan
seksual. Pasien memeriksakan diri ke rumah Sakit Dirgahayu dan kemudian
dirujuk ke RSUD Abdul Wahab Sjahranie untuk dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut. Pasien mengatakan bahwa pada saat tersebut dilakukan biopsi serviks dn
didapatkan hasil Ca servix. Pasien mengaku memiliki riwayat kista ovarium dan
awalnya menolak untuk dilakukan operasi, namun pada tanggal 19 Maret 2019
dilakukan pengangkatan tuba fallopi sebelah kiri dan didapatkan hasil patologi
anatomi metastase adenokarsinoma.

2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu


 Tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya
 Riwayat Ca serviks.
 Tidak ada riwayat hipertensi
 Tidak ada riwayat penyakit jantung
 Tidak ada riwayat DM
 Riwayat maag (gastritis) selama 1 tahun terakhir.

2.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga


Keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan yang sama dengan
pasien. Tidak ada riwayat hipertensi, DM, maupun penyakit jantung.

4
2.2.5 Riwayat Keluarga dan Kebiasaan
P2002A000
No. Tahun Tempat Usia Jenis Penolong Penyulit JK/BB Keadaan
Kehamilan Persalinan Lahir
1. 2002 Rumah Aterm Spontan Bidan - 2700 gr Hidup
pervaginam
2. 2012 Rumah Aterm Spontan Bidan - 3000 gr Hidup
pervaginam

a) Riwayat Kontrasepsi
Pasien menggunakan KB pil selama 6 tahun dan KB suntik per 3 bulan
selama 4 tahun

b) Riwayat Menstruasi
Umur Menarche : 12 tahun
Lama : 6-7 hari
Banyak darah : 3 kali ganti pembalut dalam sehari
Sakit waktu menstruasi : dalam batas normal

2.3 Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Berat Badan : 50 kg
Tinggi Badan : 152 cm
Indeks Massa Tubuh : 21,64
Tanda Vital : Tekanan Darah 110/80 mmHg
Nadi 88x/menit
Pernafasan 24x/menit
Temperatur 36,5o C

5
Kepala/leher
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), pupil isokor,
diameter 3mm/3mm, reflex cahaya (+/+).
Hidung : Sekret hidung (-)
Mulut : Sianosis (-), perdarahan (-), faring hiperemis (-)
Leher : Pembesaran KGB (-/-), pembesaran tiroid (-)

Thorax
Paru: Inspeksi : Tampak simetris, pergerakan simetris,
retraksi (-),
Palpasi : Pelebaran ICS (-), fremitus raba D=S
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing(-/-).

Jantung: Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak


Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS V
midclavicularis sinistra
Perkusi : Batas jantung kanan ICS III & IV
parasternal line dextra
Batas jantung kiri ICS V midclavicularis
line sinistra
Auskultasi : S1S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-).

Abdomen
Inspeksi : Berbentuk datar (flat), bekas operasi (+)
Auskultasi: Bising usus (+) kesan normal
Perkusi : Timpani keempat kuadran, shifting dullness (-).
Palpasi : Soefl, nyeri tekan epigastrium (-), splenomegali (-),
hepatomegali (-) teraba massa di simfisis pubis

Ekstremitas
Ekstremitas superior : Akral hangat, pucat (-/-), edema (-/-), CRT <2”
Ekstremitas inferior : Akral hangat, pucat (-/-), edema (-/-), CRT <2”

2.4 Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan Laboratorium 06 April 2019
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Leukosit 9.480/mm3 4.800 – 10.800/ mm3
Eritrosit 3.000.000/mm3 4.700.000 – 6.100.000/mm3
Hemoglobin 8,1 g/dL 14,0 – 18,0 g/dl
Hematokrit 27,1 % 37,0 – 54,0%
Trombosit 321.000 / mm3 150.000 – 450.000/ mm3
KIMIA KLINIK
GDS 106 mg/dL 70-140 mg/dL
Ureum 168,8 mg/dL 19,3-49,2 mg/dL
Creatinin 10,4 mg/dL 0,7-1,3 mg/dL
ELEKTROLIT

6
Natrium 135 mmol/L 135-155 mmol/L
Kalium 5,2 mmol/L 3,6-5,5 mmol/L
Cloride 100 mmol/L 98-108 mmol/L
b. GFR
GFR = 56 ml/min/1,73m2

Hasil Pemeriksaan Patologi Anatomi (19/03/2019)


Makroskopis : Diterima jaringan abu abu kenyal padat ukuran 2,5 x 1 x 1 cm
Mikroskopis : Sediaan jaringan tuba fallopi dengan mukus yang erosif, sel epitel
silindris inti vesiculer,mitosis banyak dengan submukosa edematous dan
pembuluh darah kecil-kecil
Kesimpulan : Metastase adenokarsinoma
2.5 Diagnosis Kerja
Ca Serviks stadium IIIB + Akut on CKD + Anemia
2.6 Tatalaksana IGD
- IVFD Nacl 0,9% 12 tpm
- Injeksi Furodemide 2x1 ampul
- Injeksi metoclopramide 3x1 ampul
- CaCO3 2x1
- Asam folat 2x1
- Drip omeprazole 2x1 vial
- Konsul bagian nefrologi

7
Problem List Planning
Temporary PL Permanent PL Diagnostic Therapy Monitoring Edukasi
- Nyeri BAK Ca serviks stadium USG Ginjal - IVFD Nacl Keluhan  Rutin meminum
0,9% 12 tpm
- Muntah IIIB + Akut on CKD Laboratorium - Vital sign obat, diperlukan
- Injeksi
- Mual + Anemia darah rutin Furodemide - Klinis pasien pengawasan minum
2x1 ampul
- Balance cairan obat
- Injeksi
Pemeriksaan Fisik: metocloprami  Sampaikan
TD : 110/80 de 3x1 ampul
- CaCO3 2x1 prognosis mengenai
Hasil PA : - Asam folat penyakit
Metastase 2x1
- Drip omeprazole  Meningkatkan daya
adenokarsinoma
2x1 vial tahan tubuh dengan
Laboratorium: - Konsul bagian
nefrologi istirahat yang cukup,
Hb : 8,1 g/dL
Ur : 168,8 mg/dL mengkonsumsi
Cr : 10,4 mg/dL makanan gizi
seimbang, dan
cukup air putih.

8
Lembar Follow Up

Tanggal Pemeriksaan Terapi


7 April 2019 S: nyeri punggung, nyeri saat BAK A : Ca serviks stadium
IIIB + Akut on CKD +
O: Kesadaran CM, Nadi 90x/i, RR Anemia
26x/i, Suhu 37oC, TD: 110/70 mmHg
P:
Kepala: anemis +/+, ikterik -/- - IVFD Nacl
Tho: Rhonki -/-, wheezing -/-, S1S2 0,9% 12 tpm
tunggal reguler - Injeksi
Abd: soefl, nyeri tekan epigastrium Furodemide
(-) , BU (+) normal, teraba massa di stop
simfisis pubis - Injeksi
Ext: Edema (-), CRT <2” metoclopramide
3x1 ampul
- CaCO3 2x1
- Asam folat 2x1
- Drip omeprazole
2x1 vial
- Konsul bagian
- Pasang DC (+)
- R/ USG
abdomen, Cek UL, Co
urologi, Co Obgyn

8 April 2019 S: nyeri punggung, nyeri saat BAK A : Ca serviks stadium


IIIB + Akut on CKD +
O: Kesadaran CM, Nadi 70x/i, RR Anemia
24 x/i, Suhu 36,3oC, TD: 100/80
mmHg P:
Raber urologi
Kepala: anemis +/+, ikterik -/- - Cairan masuk 2000cc
Tho: Rhonki -/-, wheezing -/-, S1S2 - Nacl : esprimer 2:1,
tunggal reguler 1400cc/24 jam
Abd: soefl, nyeri tekan epigastrium - USG abdomen
(-) , BU (+),teraba massa di simfisis - Injeksi metoclopramide
pubis 3x1 ampul
Ext: Edema (-), CRT <2” - CaCO3 2x1
- Asam folat 2x1
Riwayat op pasien : oktober 2017 - Drip omeprazole 2x1
Januari 2018, april 2018,juli 2018, vial
oktober 2018, januari 2019

9
9 April 2019 S: nyeri punggung, nyeri saat BAK A : Ca serviks stadium
IIIB + Akut on CKD +
O: Kesadaran CM, Nadi 80x/i, RR Anemia
20 x/i, Suhu 36oC, TD: 120/70
mmHg UO: 2100cc/hari P:
- Rencana trasfusi PRC 1
Kepala: anemis +/+, ikterik -/- kolf s/d Hb > 10
Tho: Rhonki -/-, wheezing -/-, S1S2 - Kalitake 3x1 sach
tunggal reguler - Intake oral cairan
Abd: soefl, nyeri tekan epigastrium 1500cc/hari
(-) , BU (+) normal,teraba massa di - Esprimer : Nacl 1:3
simfisis pubis 20tpm
Ext: Edema (-), CRT <2” - Injeksi metoclopramide
3x1 ampul
Hasil USG Abdomen : - CaCO3 2x1
Hidronefrosis grade III bilateral + - Asam folat 2x1
terpasang dj stent - Drip omeprazole 2x1
vial
Pemeriksaan Hasil
Berat Jenis 1,010
Hb +4
Ph 5,0
Protein +1
Epitel +2
Leukosit 15-20
Eritrosit 30-40
Bakteri +1
10 April 2019 S: nyeri punggung, nyeri saat BAK A : Ca serviks stadium
telah berkurang. IIIB + Akut on CKD +
Anemia
O: Kesadaran CM, Nadi 82x/i, RR
22 x/i, Suhu 36,3oC, TD: 110/80 P:
mmHg Konsul GK :
Diet 1700 kkal
Kepala: anemis +/+, ikterik -/-
P = 0,8 gr/kgBB/hari Diet
Tho: Rhonki -/-, wheezing -/-, S1S2
tunggal reguler via oral, diet RP 40
Abd: soefl, nyeri tekan epigastrium
gram, minum
(-) , BU (+),teraba massa di simfisis
pubis 1500cc/hari
Ext: Edema (-), CRT <2”
- Transfusi PRC 1 Kolf
- Jika Hb < 10 transfusi
PRC 1 kolf/hari
- R/ Radioterapi apabila
kondisi umum
memungkinkan.
- Esprimer : Nacl 1:3
20tpm
- Injeksi metoclopramide

10
3x1 ampul
- CaCO3 2x1
- Asam folat 2x1
- Drip omeprazole 2x1
vial
- Kalitake 3x1 sach
11 April 2019 S: nyeri punggung, nyeri saat BAK A : Ca serviks stadium
berkurang IIIB + Akut on CKD
P:
O: Kesadaran CM, Nadi 80x/i, RR - Esprimer : Nacl 1:3
24 x/i, Suhu 37oC, TD: 100/80 20tpm
mmHg UO : 3200/24 jam - Injeksi metoclopramide
Kepala: anemis -/-, ikterik -/- 3x1 ampul
Tho: Rhonki -/-, wheezing -/-, S1S2 - CaCO3 2x1
tunggal reguler - Asam folat 2x1
Abd: soefl, nyeri tekan epigastrium - Drip omeprazole 2x1
(-) , BU (+),teraba massa di simfisis vial
pubis - Kalitake 3x1 sach
Ext: Edema (-), CRT <2”

Hasil lab 11/04/2019


Pemeriksaan Hasil
Hb 12,1 g/dL
Leukosit 13.490 µL
HT 36 %
PLT 407.000 µL
Ureum 91,4 mg/dL
Creatinin 3,5 mg/dL
Natrium 134 mmol/L
Kalium 4,1 mmol/L
Cloride 100 mmol/L
12 April 2019 S: nyeri punggung, nyeri saat BAK A : Ca serviks stadium
berkurang IIIB + Akut on CKD

O: Kesadaran CM, Nadi 80x/i, RR P:


22 x/i, Suhu 36,2oC, TD: 110/80 - Esprimer : Nacl 1:3
mmHg UO : 2100/24 jam 20tpm
- Injeksi metoclopramide
O: Kesadaran CM, Nadi 80x/i, RR 3x1 ampul
24 x/i, Suhu 37oC, TD: 100/80 - CaCO3 2x1
mmHg UO : 3200/24 jam - Asam folat 2x1
Kepala: anemis -/-, ikterik -/- - Drip omeprazole 2x1
Tho: Rhonki -/-, wheezing -/-, S1S2 vial
tunggal reguler - Kalitake 3x1 sach
Abd: soefl, nyeri tekan epigastrium (Stop)
(-) , BU (+),teraba massa di simfisis
pubis - Cek Ureum dan
Ext: Edema (-), CRT <2” Kreatinin hari ini
- Rencana ganti DJ Stent

11
16 April 2019

13 April 2019 S: nyeri punggung, nyeri saat BAK A : Ca serviks stadium


berkurang IIIB + Akut on CKD

O: Kesadaran CM, Nadi 78x/i, RR P:


22 x/i, Suhu 36,4oC, TD: 120/80 - Esprimer : Nacl 1:3
mmHg, UO : 1500cc/24jam 20tpm
- Injeksi metoclopramide
Kepala: anemis -/-, ikterik -/- 3x1 ampul
Tho: Rhonki -/-, wheezing -/-, S1S2 - CaCO3 2x1
tunggal reguler - Asam folat 2x1
Abd: soefl, nyeri tekan epigastrium - Drip omeprazole 2x1
(-) , BU (+),teraba massa di simfisis vial
pubis - Kalitake 3x1 sach
Ext: Edema (-), CRT <2” (Stop)
- Rencana ganti DJ Stent
16 April 2019
Hasil Lab 12/04/2019
Pemeriksaan Hasil
Ureum 97,9 mg/dL
Kreatinin 3,3 mg/dL

14 April 2019 S: nyeri punggung, nyeri saat BAK A : Ca serviks stadium


berkurang IIIB + Akut on CKD

O: Kesadaran CM, Nadi 77x/i, RR P:

12
20 x/i, Suhu 36,5oC, TD: 100/80 - Esprimer : Nacl 1:3
mmHg UO: 1700cc/24 jam 20tpm
- Injeksi metoclopramide
Kepala: anemis -/-, ikterik -/- 3x1 ampul
Tho: Rhonki -/-, wheezing -/-, S1S2 - CaCO3 2x1
tunggal reguler - Asam folat 2x1
Abd: soefl, nyeri tekan epigastrium - Drip omeprazole 2x1
(-) , BU (+),teraba massa di simfisis vial
pubis - Rencana ganti DJ Stent
Ext: Edema (-), CRT <2”
16 April 2019

15 April 2019 S: nyeri punggung, nyeri saat BAK A : Ca serviks stadium


berkurang IIIB + Akut on CKD

O: Kesadaran CM, Nadi 81x/i, RR P:


21 x/i, Suhu 36,5oC, TD: 100/80 - ACC operasi tanggal
mmHg UO: 1500cc/24 jam 16/04/2019
- Pasien puasa sejak jam
Kepala: anemis -/-, ikterik -/- 00.00
Tho: Rhonki -/-, wheezing -/-, S1S2 - Inj ceftriaxone 1 gram
tunggal reguler
Abd: soefl, nyeri tekan epigastrium
(-) , BU (+),teraba massa di simfisis
pubis
Ext: Edema (-), CRT <2”

13
16 April 2019 S: nyeri punggung, nyeri saat BAK A : Ca serviks stadium
berkurang IIIB + Akut on CKD post
pasang DJ stent
O: Kesadaran CM, Nadi 77x/i, RR
20 x/i, Suhu 36,5oC, TD: 100/80 P:
mmHg UO: 1500cc/24 jam - Inj. Ceftriaxone 2x1
- Inj Antrain 2x1
Kepala: anemis -/-, ikterik -/-
Tho: Rhonki -/-, wheezing -/-, S1S2
tunggal reguler
Abd: soefl, nyeri tekan epigastrium
(-) , BU (+),teraba massa di simfisis
pubis
Ext: Edema (-), CRT <2”

17 April2019 S: nyeri (+) A : Ca serviks stadium


IIIB + Akut on CKD post
O: Kesadaran CM, Nadi 75x/i, RR pasang DJ stent
20 x/i, Suhu 36,5oC, TD: 100/70
mmHg UO: 1500cc/24 jam P:
- Inj. Ceftriaxone 2x1
Kepala: anemis -/-, ikterik -/- - Inj Antrain 2x1
Tho: Rhonki -/-, wheezing -/-, S1S2
tunggal reguler
Abd: soefl, nyeri tekan epigastrium
(-) , BU (+),teraba massa di simfisis
pubis
Ext: Edema (-), CRT <2”

Hasil lab 17/04/2019


Pemeriksaan Hasil
Ureum 96,2 mg/dL
Creatinin 2,1 mg/dL

18 April S: Nyeri (-) P:


Raber urologi :
O: Kesadaran CM, Nadi 80x/i, RR Boleh pulang
20 x/i, Suhu 36oC, TD: 120/70
mmHg
Boleh pulang dengan obat
Urin Output : 2000cc/24 jam

14
Kepala: anemis -/-, ikterik -/- pulang :
Tho: Rhonki -/-, wheezing -/-, S1S2
- Paracetamol 3 x 500 mg
tunggal reguler
Abd: soefl, nyeri tekan epigastrium
(-) , BU (+),teraba massa di simfisis
pubis
Ext: Edema (-), CRT <2”

15
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 KANKER SERVIKS


3.1.1 Definisi Kanker Serviks
Kanker serviks (karsinoma serviks) adalah tumbuhnya sel-sel abnormal
yang terjadi pada daerah serviks uterus, suatu daerah pada organ reproduksi
wanita yang merupakan pintu masuk kearah rahim yang terletak antara rahim
(uterus) dan liang senggama (vagina), dan merupakan kanker primer yang berasal
dari serviks (kanalis servikalis dan atau porsio).6

Gambar 1: Genitalia Interna Wanita

Secara histologi, permukaan serviks dilapisi oleh epitel kolumnar pada


bagian proksimal dan epitel pipih tanpa keratin pada bagian distal. Zona
transformasi antara kedua jenis epitel tersebut disebut dengan zona
squamocolumnar junction (SCJ) dan merupakan daerah terbanyak kanker serviks
dan lesi prekursornya berasal.6
Sebagian besar kanker serviks (80-90%) adalah kanker sel skuamosa,
sedangkan 10-20% adalah adenokarsinoma. Selain itu, terdapat jenis histologi sel
kanker serviks yang lain yaitu yang berjenis sel kecil atau small cell. Gambaran
histologi small cell jarang ditemukan, namun sifatnya lebih progresif dan
potensial untuk menimbulkan metastase meski dalam stadium awal bila
dibandingkan dengan jenis histologi sel kanker serviks yang lain. Prognosisnya

16
pun sangat buruk dengan angka harapan hidup selama 5 tahun pada stadium awal
sebesar 31,6% - 36,4%, sedangkan untuk stadium lanjut sebesar 0% - 14%.4,7,8,9

Gambar 1. Struktur Anatomi Uterus

3.1.2 Etiologi
Kanker serviks adalah penyebab paling umum kedua dari kematian terkait
kanker pada wanita di negara berkembang. Di seluruh dunia kanker servik
meyebabkan 275.000 wanita meninggal pertahunya.15 Di Amerika Serikat, angka
kejadian kanker serviks invasif telah menurun selama beberapa dekade terakhir,
terkait dengan penggunaan metode skrining memakai tes Pap (Pap smear).2,7
Secara internasional, lebih dari 500.000 kasus baru didiagnosis setiap
tahun; dimana prevalensinya sangat bervariasi, mulai dari insiden tahunan 4.5
kasus per 100.000 di Asia Barat menjadi 34,5 per 100.000 wanita di Afrika
Timur.7 Menurut WHO, pada tahun 2012 diperkirakan ada 445.000 kasus baru
kanker serviks dan lebih dari 270.000 kematian akibat kanker serviks di seluruh
dunia.2 Di Indonesia, diperkirakan insidensi kasus baru kanker serviks adalah
sekitar 20.928 kasus pertahunnya, dan menyebabkan hingga 9.498 kematian.3
Pada tahun 2010 estimasi jumlah insiden kanker serviks adalah 454.000
kasus. Data ini didapatkan dari registrasi kanker berdasarkan populasi, registrasi
data vital, dan data otopsi verbal dari 187 negara dari tahun 1980 sampai 2010.
Per tahun insiden dari kanker serviks meningkat 3.1% dari 378.000 kasus pada
tahun 1980. Ditemukan sekitar 200.000 kematian terkait kanker serviks, dan
46.000 diantaranya adalah wanita usia 15-49 tahun yang hidup di negara sedang
berkembang.17

17
Berdasarkan GLOBOCAN 2012 kanker serviks menduduki urutan ke-7
secara global dalam segi angka kejadian (urutan ke urutan ke- 6 di negara kurang
berkembang) dan urutan ke-8 sebagai penyebab kematian (menyumbangkan 3,2%
mortalitas, sama dengan angka mortalitas akibat leukemia). Kanker serviks
menduduki urutan tertinggi di negara berkembang, dan urutan ke 10 pada negara
maju atau urutan ke 5 secara global.18
Di Indonesia kanker serviks menduduki urutan kedua dari 10 kanker
terbanyak berdasar data dari Patologi Anatomi tahun 2010 dengan insidens
sebesar 12,7%. Menurut perkiraan Departemen Kesehatan RI saat ini, jumlah
wanita penderita baru kanker serviks berkisar 90-100 kasus per 100.000 penduduk
dan setiap tahun terjadi 40 ribu kasus kanker serviks.16
Kejadian kanker serviks akan sangat mempengaruhi hidup dari
penderitanya dan keluarganya serta juga akan sangat mempengaruhi sektor
pembiayaan kesehatan oleh pemerintah. Oleh sebab itu peningkatan upaya
penanganan kanker serviks, terutama dalam bidang pencegahan dan deteksi dini
sangat diperlukan oleh setiap pihak yang terlibat.16
Surveilans Centers for Disease Control and Prevention (CDC) untuk kanker
yang terdeteksi melalui skrining (kolon dan rektum, payudara, dan serviks) di
Amerika Serikat dari tahun 2004 hingga 2006 melaporkan bahwa kejadian kanker
serviks stadium akhir paling tinggi di antara wanita berusia 50-79 tahun. Namun,
kanker serviks dapat didiagnosis pada wanita usia subur. Prevalensi
adenokarsinoma serviks telah meningkat pada wanita di bawah usia 40 tahun.
Kasus-kasus ini lebih sulit dideteksi dengan skrining tes Pap, dan survival rate-
nya rendah karena kasus cenderung terdeteksi pada tahap akhir. Selain itu, jenis
HPV yang menyebabkan adenokarsinoma berbeda dengan jenis yang
menyebabkan karsinoma skuamosa. HPV 16 merupakan karsinogen yang lebih
kuat daripada jenis HPV lainnya, dan ditemukan lebih sering pada wanita muda
daripada yang lebih tua.7

18
3.1.3 Etiologi
Penyebab terjadinya kanker serviks belum diketahui, tetapi terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kanker ini, sebagai berikut:
2.2.1 Usia
Kanker serviks terjadi mulai dari dekade kedua kehidupan.
Setengah dari perempuan didiagnosis dengan penyakit ini adalah
antara 35 - 55 tahun dan jarang mempengaruhi perempuan di bawah
usia 20 tahun. Usia lebih dari 35 tahun mempunyai risiko tinggi
terhadap kanker serviks. Semakin tua usia seseorang, maka semakin
meningkat risiko terjadinya kanker laher rahim. Meningkatnya risiko
kanker serviks pada usia lanjut merupakan gabungan dari
meningkatnya dan bertambah lamanya waktu pemaparan terhadap
karsinogen serta makin melemahnya sistem kekebalan tubuh akibat
usia.4,8,9
2.2.2 Usia pertama menikah
Usia pertama kali menikah atau berhubungan seksual
merupakan salah satu faktor yang cukup penting, karena terjadinya
kanker serviks dengan masa latennya memerlukan waktu 30 tahun
sejak melakukan hubungan seksual pertama, sehingga hubungan
seksual pertama dianggap awal dari mula proses munculnya kanker
serviks. Wanita yang menikah dibawah usia 16 tahun biasanya 10-12
kali lebih besar kemungkinan terjadinya kanker serviks daripada yang
menikah setelah berusia 20 tahun ke atas.4,8,9
Hubungan seks idealnya dilakukan setelah seorang wanita
benar-benar matang. Ukuran kematangan bukan hanya dilihat dari
sudah menstruasi atau belum. Kematangan juga bergantung pada sel-
sel mukosa yang terdapat di selaput kulit bagian dalam rongga tubuh.
Umumnya sel-sel mukosa baru matang setelah wanita berusia 20
tahun ke atas. Hal ini berkaitan dengan kematangan sel-sel mukosa
pada serviks. Pada usia muda, sel-sel mukosa pada serviks belum
matang dan terjadi proses metaplasia skuamosa yang aktif yang terjadi
di dalam zona transformasi. Artinya, masih rentan terhadap

19
rangsangan sehingga tidak siap menerima rangsangan dari luar.
Termasuk zat-zat kimia yang dibawa sperma ataupun bahan
karsinogenik.4,8,9
Metaplasia skuamosa merupakan suatu proses fisiologi, tetapi di
bawah pengaruh karsinogen, perubahan sel dapat terjadi sehingga
mengakibatkan suatu zona transformasi yang tidak patologik.
Perubahan ini menginisiasi suatu proses neoplasia intraepitel serviks
(Cervic Intraepithel Neoplasma = CIN) yang merupakan fase
prainvasif dari kanker serviks.10,11
2.2.3 Paritas
Kanker serviks dijumpai pada wanita yang sering partus.
Semakin sering partus semakin besar kemungkinan risiko mendapat
kanker serviks. Pada beberapa penelitian dengan metode case control
didapatkan bahwa wanita yang 3 atau 4 kali partus memiliki 2,6 kali
risiko untuk terkena kanker serviks, sedangkan wanita yang
melahirkan lebih dari 7 memiliki risiko sebesar 3,8 kali.8,9
Alasan fisiologi adanya hubungan antara paritas dan kanker
serviks sampai saat ini belum jelas, namun kemungkinan faktor
hormonal pada saat kehamilan yang membuat wanita lebih peka
terhadap infeksi HPV (human papilloma virus) dan trauma serviks
pada saat melahirkan diduga sebagai alasannya.8,9
2.2.4 Kontrasepsi yang pernah digunakan
Penggunaan kontrasepsi oral yang dipakai dalam jangka lama
yaitu lebih dari 4 tahun dapat meningkatkan risiko kanker serviks 1,5-
2,5 kali. Kontrasepsi oral mungkin dapat meningkatkan risiko kanker
serviks karena jaringan serviks merupakan salah satu sasaran yang
disukai oleh hormon steroid perempuan.8,9
2.2.5 Berganti-ganti pasangan seksual
Kebiasaan berganti-ganti pasangan akan memungkinkan
tertularnya penyakit kelamin, salah satunya HPV. Risiko terjadinya
kanker serviks meningkat lebih dari 10 kali bila mitra seks 6 atau
lebih.4,8,9

20
2.2.6 Penyakit menular seksual (PMS)
Penyakit menular seksual merupakan penyakit yang ditularkan
melalui hubungan seksual. Penyakit ini dapat disebabkan oleh bakteri
maupun virus, diantaranya adalah HPV (human papilloma virus),
HSV (herpes simplek virus), HIV (human immunodeficiency virus)
dan Klamidia. Pada proses karsinogenesis asam nukleat virus tersebut
dapat bersatu ke dalam gen DNA sel pejamu sehingga menyebabkan
terjadinya mutasi sel.4,8,9
Wanita yang terkena penyakit akibat hubungan seksual berisiko
terkena virus HPV, karena virus HPV diduga sebagai penyebab utama
terjadinya kanker serviks sehingga wanita yang mempunyai riwayat
penyakit kelamin berisiko terkena kanker serviks.4,9
Saat ini terdapat 138 jenis HPV yang sudah dapat teridentifikasi
yang 40 di antaranya dapat ditularkan lewat hubungan seksual.
Beberapa tipe HPV merupakan virus risiko rendah yang jarang
menimbulkan kanker, sedangkan tipe yang lain bersifat virus risiko
tinggi. Baik tipe risiko tinggi maupun tipe risiko rendah dapat
menyebabkan pertumbuhan abnormal pada sel tetapi pada umumnya
hanya HPV tipe risiko tinggi yang dapat memicu kanker. Virus HPV
risiko tinggi yang dapat ditularkan melalui hubungan seksual adalah
tipe 16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, 68, 69, dan mungkin
masih terdapat beberapa tipe yang lain. Beberapa penelitian
mengemukakan bahwa lebih dari 90% kanker serviks disebabkan oleh
tipe 16 dan 18. Dari kedua tipe ini HPV 16 sendiri menyebabkan lebih
dari 50% kanker serviks. Dari berbagai penelitian terdapat tiga
golongan HPV yang berhubungan dengan kanker serviks, yaitu: HPV
risiko rendah (HPV tipe 6, 11 dan jarang tipe 46 pada kanker invasif),
HPV risiko sedang (HPV tipe 33, 35, 40, 43, 51, 56, dan 58) dan HPV
risiko tinggi (HPV tipe 16, 18, dan 31).9

21
3.1.4 Manifestasi Klinis
Pada stadium dini kanker serviks tidak menunjukkan gejala yang khas atau
bahkan tidak ada gejala sama sekali sehingga sulit diketahui. Beberapa tanda
dan gejala pada kanker serviks antara lain keputihan, perdarahan vagina yang
abnormal, nyeri, anemia dan lain-lain. Pada stadium lanjut baru terlihat tanda-
tanda yang lebih khas untuk kanker serviks, baik berupa perdarahan yang hebat
(terutama dalam bentuk eksofilik), fluor albus yang berbau dan rasa sakit yang
sangat hebat.4,9
Keputihan merupakan keluarnya cairan mukus yang encer, yang keluar
dari vagina makin lama akan berbau busuk akibat infeksi dan nekrosis
jaringan. Sedangkan perdarahan timbul sebagai akibat terbukanya pembuluh
darah yang makin lama akan lebih sering terjadi. Perdarahan ini dapat terjadi
setelah coitus, dicurigai terjadi pada menstruasi yang lama dan banyak dan
dapat pula terjadi pada wanita menopause. Perdarahan spontan umumnya
terjadi pada tingkat stadium lanjut, terutama pada tumor yang bersifat
eksofitik.4,9
Gejala klinis lain pada kanker serviks yaitu nyeri, rasa nyeri timbul
akibat infiltrasi sel tumor ke serabut saraf. Rasa nyeri daerah pelvis dirasakan
di perut bagian bawah sekitar panggul yang biasanya unilateral yang terasa
menjalar ke paha dan ke seluruh panggul. Nyeri bersifat progresif, sering
dimulai dengan low back pain di daerah lumbal, menjalar ke pelvis dan
tungkai bawah. Dapat pula terjadi nyeri pada saat BAK (buang air kecil) atau
BAB (buang air besar). Anemia juga dapat terjadi karena adanya perdarahan
pervaginam yang berulang. Pada stadium kanker lanjut, badan menjadi kurus
karena kekurangan gizi, timbul iritasi pada kandung kemih dan poros usus
besar bagian bawah (rectum), kegagalan faal ginjal (CRF= Chronic Renal
Failure) akibat infiltrasi tumor ke ureter sebelum memasuki kandung kemih,
yang menyebabkan obstruksi total, atau timbul gejala-gejala lain yang
disebabkan oleh metastasis jauh dari kanker serviks itu sendiri.4,9
Berdasarkan dari pemeriksaan fisik, dapat ditemukan:
a) Serviks dapat teraba membesar, ireguler, teraba lunak

22
b) Bila tumor tumbuh eksofitik maka terlihat lesi pada porsio atau
sudah sampai vagina.
Pemeriksaan in spekulo:
a) Adanya portio ulseratif
b) Adanya fluor albus
c) Muncunya darah jika lesi tersentuh (lesi rapuh)
d) Terdapat gambaran seperti bunga kol pada stadium lanjut
Pemeriksaan bimanual:
a) Adanya fluor albus
b) Adanya massa benjolan ataupun erosi ataupun ulkus pada
portio uteri.4,9

3.1.5 Diagnosa Kanker Serviks


Kanker serviks pada masa prakanker atau stadium awal tidak
menimbulkan gejala sehingga dengan membuat diagnosis sedini mungkin dan
memulai pengobatan yang sesuai, hasil yang diperoleh akan lebih baik sehingga
jumlah wanita yang meninggal akibat kanker serviks dapat berkurang.
1. Pemeriksaan Sitologi
Pemeriksaan ini dikenal sebagai tes Papanicolaou (tes Pap). Pap
smear dapat mendeteksi lesi secara dini dengan tingkat ketelitian sampai
90% pada kasus kanker serviks, akibatnya angka kematian akibat kanker
serviks pun menurun sampai lebih dari 50%. Sitodiagnosis didasarkan
pada kenyataan, bahwa sel-sel permukaan secara terus menerus
dilepaskan oleh epitel dari permukaan traktus genitalis. Sel-sel yang
dieksfoliasi atau dikerok dari permukaan epitel serviks merupakan
mikrobiopsi yang memungkinkan kita mempelajari proses dalam keadaan
sehat dan sakit. Sitologi adalah cara skrining sel-sel serviks yang tampak
sehat dan tanpa gejala untuk kemudian diseleksi. Kanker hanya dapat
didiagnosis secara histologik.4,6,8
2. Biopsi

23
Biopsi dilakukan jika pada pemeriksaan panggul tampak suatu
pertumbuhan atau luka pada serviks, atau jika hasil pemeriksaan pap
smear menunjukkan suatu abnormalitas atau kanker.4,6,8
Biopsi dilakukan di daerah abnormal jika squamocolumnar
junction (SCJ) terlihat seluruhnya dengan kolposkopi. Jika SCJ tidak
terlihat seluruhnya atau hanya terlihat sebagian sehingga kelainan di
kanalis servikalis tidak dapat dinilai, maka contoh jaringan diambil
secara konisasi. Biopsi harus dilakukan dengan tepat dan alat biopsy
harus tajam sehingga harus diawetkan dalam larutan formalin 10%. 4,6,8
3. Kolposkopi (pemeriksaan serviks dengan lensa pembesar)
Pemeriksaan melihat porsio (juga vagina dan vulva) dengan
pembesaran 10-15x, untuk menampilkan porsio dipulas terlebih dahulu
dengan asam asetat 3-5%. Pada porsio dengan kelainan (infeksi HPV
atau NIS) terlihat bercak putih atau perubahan corakan pembuluh
darah.4,6,8
4. Konisasi
Konisasi serviks adalah pengeluaran sebagian jaringan serviks
sedemikian rupa sehingga yang dikeluarkan berbentuk kerucut (konus),
dengan kanalis servikalis sebagai sumbu kerucut. Untuk tujuan
diagnostik, konisasi harus dilanjutkan dengan kuretase. Batas jaringan
yang dikeluarkan ditentukan dengan pemeriksaan kolposkopi atau dapat
pula dengan menggunakan tes Schiller. Pada tes ini digunakan larutan
lugol (yodium 5g, kalium yodida 10g, air 10 ml). Serviks diolesi dengan
larutan yodium, sel yang sehat warnanya akan berubah menjadi coklat,
sedangkan sel yang abnormal warnanya menjadi putih atau kuning.6,8
Konisasi diagnostic dilakukan pada keadaan dimana proses
dicurigai berada di endoserviks rahim, lesi tidak tampak seluruhnya
dengan pemeriksaan kolposkopi, diagnostik mikroinvasi ditegakkan atas
dasar spesimen biopsi, dan jika terdapat kesenjangan hasil sitologi dan
histopatologik.6,8
5. Tes IVA (Inspeksi Visual Asam Asetat)

24
IVA merupakan pemeriksaan skrining alternative dari Papsmear
karena murah dan praktis, sangat mudah dilakukan dengan peralatan
sederhana. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara melihat serviks yang
telah diberi asam asetat 3-5% secara inspekulo. Zat ini akan
meningkatkan osmolaritas cairan ekstraseluler epitel abnormal. Cairan
ekstraseluler hipertonik ini akan menarik cairan intraseluler sehingga
membrane akan kolaps dan jarak antar sel semakin dekat. Akibatnya jika
permukaan epitel disinari maka sinar tersebut tidak akan diteruskan ke
stroma namun akan dipantulkan dan permukaan epitel abnormal akan
berwarna putih.4,6
Daerah metaplasia yang merupakan daerah peralihan juga akan
berwarna putih setelah pengusapan asam asetat tetapi dengan intensitas
yang kurang dan cepat menghilang, ini yang membedakannya dengan
proses pra-kanker dimana epitel putih lebih tajam dan lebih lama
menghilang karena asam asetat berpenetrasi lebih dalam sehingga terjadi
koagulasi protein yang lebih banyak.4,6
Makin putih dan makin jelas, makin tinggi derajat kelainan
histologiknya. Demikian pula makin makin tajam batasnya, makin tinggi
derajat jaringannya, sehingga dengan pemberian asam asetat akan
didapatkan hasil gambaran serviks yang normal (merah homogen) dan
bercak putih (displasia). Dibutuhkan satu sampai dua menit untuk dapat
melihat perubahan-perubahan pada epitel. Serviks yang diberi larutan
asam asetat 5% akan merespon lebih cepat daripada larutan 3%. Efek
akan hilang setelah sekitar 50-60 detik. Lesi yang tampak sebelum
aplikasi larutan asam asetat bukan merupakan epitel putih namun
dikatakan suatu leukoplakia.4,6

25
3.1.6 Stadium Kanker Serviks

Gambar 4: Stadium Klinis Kanker Serviks8


Tabel 1: Stadium Klinik Kanker Serviks Menurut FIGO 20004,8,9

Stadium Kriteria
0 Lesi belum menembus membrane basalis
I Lesi tumor masih terbatas di serviks
IA1 Lesi telah menembus membrane basalis kurang dari 3
mm dengan diameter permukaan tumor < 7 mm
IA2 Lesi telah menembus membrane basalis > 3mm tetapi <
5 mm dengan diameter permukaan tumor <7 mm
IB1 Lesi terbatas di serviks dengan ukuran lesi primer < 4
mm
IB2 Lesi terbatas di serviks dengan ukuran lesi primer > 4
mm
II Lesi telah keluar serviks (meluas ke parametrium dan
sepertiga proksimal vagina)
IIA Lesi telah meluas ke sepertiga vagina proksimal
IIB Lesi telah meluas ke parametrium tetapi tidak mencapai
dinding panggul
III Lesi telah keluar dari serviks (menyebar ke parametrium

26
dan atau sepertiga vagina distal)
IIIA Lesi menyebar ke sepertiga vagina distal/bawah

IIIB Lesi menyebar ke parametrium sampai dinding pangul


IV Lesi menyebar keluar dari organ genitalia
IVA Lesi meluas keluar rongga panggul, dan atau menyebar
ke mukosa vesika urinaria
IVB Lesi meluas ke mukosa rectum, dan atau meluas ke
organ jauh

3.1.7 Terapi Kanker Serviks


Bila diagnosa histopatologik telah dibuat,maka pengobatan harus segera
dilakukan dan pilihan pengobatan tergantung pada beberapa faktor yaitu:
1. Letak dan luas lesi
2. Usia dan jumlah anak serta keinginan menambah jumlah anak
3. Adanya patologi lain dalam uterus
4. Keadaan sosial ekonomi
5. Fasilitas
Pengobatan kanker serviks tergantung pada tingkatan stadium klinis.
Secara umum dapat digolongkan ke dalam tiga golongan terapi yaitu:
A.Operasi
Operasi dilakukan pada stadium klinis І dan П, meliputi histerektomi
radikal, histerektomi ekstrafasial dan limpadenotomi. Pada stadium klinis П, di
samping operasi, dilakukan juga terapi radiasi untuk mengurangi risiko penyakit
sentral yang terus berlanjut.

B. Radioterapi
Terapi radiasi yaitu dengan menggunakan sinar X berkekuatan tinggi yang
dapat dilakukan secara internal maupun eksternal. Terapi radiasi dilakukan pada
Stadium klinis Ш. Selain radiasi terkadang diberikan pula kemoterapi sebagai
kombinasi terapi.

27
C. Kemoterapi
Kemoterapi dilakukan bila terapi radiasi tidak mungkin diberikan karena
metastase sudah sangat jauh. Umumnya diberikan pada Stadium klinis ІV B dan
hanya bersifat paliatif.

3.1.8 Komplikasi Kanker Serviks


Komplikasi kanker serviks dapat terjadi karena adanya efek samping
pengobatan atau hasil dari kanker serviks stadium lanjut7.
1. Efek samping pengobatan
a. Menopause dini
b. Penyempitan vagina
b. Lymphoedema
c. Dampak emosional
2. Kanker Stadium Lanjut
a. Nyeri
Jika kanker menyebar ke ujung saraf, tulang, atau otot sering dapat
menyebabkan nyeri yang parah.
b. Gagal ginjal
Ginjal membuang limbah dari darah. Limbah dilewatkan
keluar dari tubuh dalam urin melalui tabung yang disebut ureter.
Fungsi ginjal dapat dipantau dengan tes darah sederhana yang
disebut kadar kreatinin serum. Dalam beberapa kasus kanker serviks
stadium lanjut, tumor kanker (pertumbuhan jaringan abnormal)
dapat menekan ureter, menghalangi aliran urin dari ginjal.
Penumpukan urin dalam ginjal dikenal sebagai hidronefrosis dan
dapat menyebabkan ginjal menjadi bengkak. Kasus yang parah
dapat menyebabkan hidronefrosis ginjal menjadi bekas luka, yang
dapat menyebabkan hilangnya sebagian atau seluruh fungsi ginjal.
Hal ini dikenal sebagai gagal ginjal.
c. Perdarahan

28
Kerusakan yang signifikan dan mengakibatkan perdarahan
dapat terjadi apabila kanker menyebar ke dalam vagina, usus atau
kandung kemih, dapat terjadi. Perdarahan dapat terjadi pada vagina,
rektum, atau dapat terjadi lewatnya darah ketika buang air kecil.

3.2 Uropati Obstruktif


3.2.1 Definisi
Obstruksi traktus urinarius merupakan terhambatnya aliran urin dari ginjal
yang bisa disebabkan oleh berbagai macam etiologi. Obstruksi ini dapat terjadi
pada seluruh bagian traktus urinarius, termasuk pelvis renalis, ureter, buli-buli dan
urethra.11
Istilah Obstruktif Nefropati dipakai untuk menggambarkan gangguan
fungsi ginjal akibat obstruksi saluran kemih, sedangkan istilah hidronefrosis
dipakai untuk menggambarkan adanya dilatasi saluran kemih bagian atas (ureter
dan sistem kaliseal), tetapi hidronefrosis tidak selalu mengindikasikan adanya
obstruksi.

3.2.2 Etiologi
Obstruksi dari aliran urin dapat terjadi di mana saja dari ginjal sampai
meatus urethra. Secara anatomis terdapat beberapa tempat yang ukuran
diameternya relatif lebih sempit daripada ditempat lain, sehingga batu atau benda-
benda lain yang berasal dari ginjal seringkali tersangkut di tempat itu. Tempat-
tempat penyempitan itu antara lain adalah : pada perbatasan antara pelvis renalis
dan ureter (UPJ), tempat arteri menyilang arteri iliaka di rongga pelvis, dan pada
saat ureter masuk ke buli-buli (UVJ). Pada perempuan, tempat penyempitannya
ada pada ureter distal yang menyilang secara posterior dari pembuluh darah pelvis
dan broad ligament pada pelvis posterior.14
Penyebab obstruksi traktus urinarius sendiri dapat dibagi menjadi obstruksi
mekanik dan obstruksi fungsional. Obstruksi mekanik terbagi lagi menjadi
obstruksi mekanik kongenital, akuisita intrinsik dan akuisita ekstrinsik. Keadaan
yang termasuk obstruksi mekanik kongenital antara lain ureterocele (dilatasi kistik
yang timbul pada bagian ureter intravesikal), posterior urethral valve
(terbentuknya membran abnormal pada bagian posterior dari urethra laki-laki),

29
megaureter (pelebaran ureter dengan diameter > 7 mm), serta penyempitan
kongenital dari UPJ dan UVJ. Pemantauan periode perinatal dengan USG penting
dilakukan untuk mengidentifikasi kelainan anatomis yang menyebabkan
terjadinya obstruksi.
Keadaan yang termasuk obstruksi mekanik intrinsik yang didapat antara lain
batu saluran kemih, proses infeksi dan inflamasi, trauma, sloughed papillae
(papilla ginjal yang nekrosis dan terpisah dari jaringan sekitar yang disebabkan
karena iskemia), tumor (terutama pada ureter, vesica urinaria, dan urethra).
Keadaan yang termasuk obstruksi mekanik ekstrinsik yang didapat antara
lain pada perempuan dapat terjadi bila ureter ditekan dari luar oleh tumor pelvis
(myoma uteri, karsinoma uteri). Obstruksi traktus urinarius pada perempuan yang
lebih tua paling sering terjadi akibat prolapnya struktur pelvis, seperti uterus dan
buli-buli. Kehamilan dapat menyebabkan obstruksi traktus urinarius pada
perempuan yang lebih muda akibat obstruksi ureter oleh uterus yang gravid. Pada
laki-laki, pembesaran prostat (BPH) dapat menyebabkan obstruksi traktus
urinarius dengan cara mengobstruksi uretra. Selain itu juga dapat diakibatkan oleh
striktur urethra, tumor (misalnya pada kolon atau rectum), fibrosis retroperitoneal
(terjadi fibrosis luas yang menyebabkan obstruksi terutama pada ureter). 10,11,14
Keadaan yang termasuk obstruksi fungsional adalah buli-buli neurogenik,
yaitu keadaan dimana buli-buli tidak berfungsi dengan normal karena kelainan
neurologis dan dapat disebabkan oleh lesi pada otak, medulla spinalis, segmen
sakralis, dan sistem saraf perifer. Obstruksi buli-buli umumnya disebabkan oleh
lesi pada segmen sakralis dan sistem saraf perifer. Pasien dapat merasakan buli-
bulinya terisi penuh tetapi terjadi arefleksia yang menyebabkan m.detrusor tidak
berkontraksi sehingga tidak terjadi proses miksi. Buli-buli akan mengalami
overdistensi dan urin akan keluar secara paksa (overflow incontinence).
Riwayat pasien sangat membantu dalam mencari penyebab dari obstruksi,
yaitu riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu (diabetes, kalkuli,
tumor, radiasi, fibrosis retroperitoneal, penyakit neurologi), riwayat konsumsi
obat-obatan (antara lain, antikolinergik, narkotik), dan riwayat operasi
sebelumnya (operasi pelvis, radiasi). 10,11,14

30
3.2.3 Patogenesa
Pada uropati obstruktif, tidak ada proses inflamasi pada ginjal, namun
terdapat peningkatan tekanan balik pada tubulus ginjal yang menyebabkan
disfungsi tubulus. Hampir semua fungsi tubulus terganggu meliputi konsentrasi
dan dilusi urin, reabsorpsi Na dan air, dan sekresi K dan ion hidrogen.15
Hal ini dapat menyebabkan kegagalan fungsi dan kerusakan struktur ginjal
yang permanen (Nefropati Obstruktif). Keparahannya tergantung dari onset dan
durasi (Akut – Kronik), derajat sumbatan (Unilateral – Bilateral, Parsial – Total),
level Obstruksi (Infravesica – Supravesica), kondisi awal ginjal sebelum
terjadinya sumbatan, dan adanya keterlibatan infeksi saluran kemih. Perubahan
yang terjadi dibagi menjadi 3 waktu kritis: Trifase Obstruktif : Fase Akut (0-90
menit), Fase Pertengahan (2-5jam), Fase Lanjut (24 jam) 15.
 Tekanan Intra Renal
Saat obstruksi, tekanan hidrostatik intra ureter dan intrarenal terjadi
peningkatan mendadak yang sejalan dengan keadaan diuresis. Kenaikan
tekanan tersebut ditransmisikan kedalam lumen tubulus. Namun,
kenaikan tidak berlangsung lama, diikuti oleh penurunan tekanan
perlahan-lahan karena adanya dilatasi pelvis renalis sebagai komplians
otot polos saluran kemih (tekanan akan menurun karena kenaikan
volume), penurunan aliran darah ke ginjal (RBF) dan laju filtrasi
glomerulus (GFR).
 Renal Blood Flow (RBF) meningkat
Pada fase awal obstruksi akut, RBF meningkat perlahan lahan karena
adanya vasodilatasi yang diinduksi prostaglandin E2. Jika obstruksi
terjadi lebih lama, terjadi vasokonstriksi, yang diinduksi tromboksan A2,
sehingga menimbulkan penurunan RBF mencapai 40-70% dari harga
normal pada 24 jam.
 Laju Filtrasi Gromelurus (GFR) menurun
Penurunan RBF akan dengan sendirinya menurunkan GFR. Setelah 1
minggu obstuksi unilateral GFR akan menurun hingga 20% dari pre-
obstruksi namun dikompensasi dengan meningkatnya GFR disisi lain
menjadi 165%

31
 Pada obstruksi akut, aliran urin menjadi lambat sehingga volum cairan
yang diteruskan ke nefron distal berkurang, disertai dengan retensi
nitrogen menghasilkan urine yang sangat encer dengan kandungan
natrium yang tinggi
 Atrofi ginjal, mekanisme: Aliran urine terhambat  dilatasi saluran
kemih  urine masuk ke parenkim ginjal  oedema ginjal  atrofi
ginjal  setelah beberapa minggu terjadi iskemia, edema sel darah
merah, dan nekrosis
 Perubahan morfologi sistem pelvikokalices
Peningkatan intrapelvik karena obstruksi  merusak papilla ginjal dan
sistem kalises, dapat menyebabkan: kedua kaliks menjadi tumpul, kaliks
menjadi datar, kaliks menjadi konveks, semakin lama parenkim ginjal
tertekan ke perifer sehingga korteks menipis
3.2.4 Manifestasi Klinis
Obstruksi traktus urinarius dapat menyebabkan bermacam-macam gejala,
mulai dari asimptomatis sampai kolik renal. Hal ini dipengaruhi oleh:14,15
1. Berapa lama obstruksi terjadi (akut atau kronis)
2. Letak obstruksi
3. Penyebab obstruksi (intrinsik atau ekstrinsik)
4. Obstruksi total atau parsial
Bila obstruksi terjadi di traktus urinarius bagian atas (ginjal, ureter),
manifestasinya berupa nyeri pinggang yang bisa menjalar ke punggung atau testis
dan labia ipsilateral. Mual dan muntah juga sering terjadi, terutama pada obstruksi
akut. Jika terjadi infeksi, pasien dapat mengeluh demam, menggigil, dysuria dan
pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan nyeri ketok costovertebra angle (CVA)
bila terjadi pielonefritis. Hematuria juga dapat terjadi. Jika obstruksi terjadi
bilateral dan parah, dapat terjadi gagal ginjal yang berakibat pada uremia. Uremia
memiliki gejala yaitu rasa lemas, edema perifer, dan penurunan kesadaran. 14,15
Bila obstruksi terjadi traktus urinarius bagian bawah (buli-buli, urethra),
manifestasinya berupa gangguan miksi, seperti urgensi, frekuensi, nokturia,
inkontinensia, hesitansi, aliran yang berkurang, urin yang menetes (post void

32
dribbling) dan perasaan kurang tuntas seusai berkemih. Nyeri suprapubik atau
buli-buli yang teraba merupakan tanda retensi urin. 14,15
3.2.5 Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan meliputi pemeriksaan
laboratorium dan radiologis. Bila ditemukan leukositosis pada pemeriksaan darah
menunjukkan adanya infeksi. Anemia dapat terjadi pada proses akut (kehilangan
darah bila terjadi hematuria) dan kronik (insufisiensi renal kronik, malignansi).11,
14,15

Urinalisis dapat berguna untuk menunjukkan adanya infeksi atau hematuria.


Ditemukannya leukosit pada urin menunjukkan proses inflamasi atau infeksi.
Ditemukannya nitrit atau leukosit esterase pada urin menunjukkan adanya infeksi.
Setiap urin yang mengandung leukosit atau nitrit sebaiknya dikirim untuk analisis
kultur dan sensitivitas antibiotik. Bakteri penghasil nitrit misalnya E. coli,
Kleebsiella, Enterobacter, Pseudomonas. Leukosit esterase dihasilkan ketika
leukosit mengalami lisis. Adanya leukosit esterase menandakan terjadinya pyuria.
Ditemukannya eritrosit pada urin dapat menunjukkan adanya infeksi, batu
maupun tumor. Suatu sampel dikatakan positif hematuria mikroskopik bila
eritrosit > 2 sel/lapang pandang. Bisa diperiksa juga pH urin pada kasus batu
saluran kemih untuk membedakan jenis batu. Batu kalsium oksalat, kalsium
fosfat, struvit dan staghorn akan menmberikan hasil pH yang lebih alkali
sedangkan pada batu asam urat dan sistin akan memberikan pH yang lebih asam.
Untuk pemeriksaan tambahan atau jika akan dilakukan pemeriksaan
radiologis dengan kontras, dapat dilakukan pemeriksaan fungsi ginjal (ureum dan
kreatinin). Pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan antara lain intravenous
pyelography (IVP), USG, dan CT scan.11, 14,15
IVP dilakukan dengan cara memasukkan kontras ke dalam vena. Tujuan
IVP adalah untuk mendeteksi adanya obstruksi pada pasien dengan fungsi ginjal
yang normal, tidak alergi dengan kontras dan tidak sedang hamil. IVP dapat
menilai anatomi dan fungsi dari organ traktus urinarius yang mengalami
obstruksi.
Pada obtruksi urinarius yang akut maka pada IVP akan terlihat:14
(a). Obstruksi nefrogram

33
(b). Terlambatnya pengisian kontras pada system urinarius
(c). Dilatasi dari system urinarius, mungkin juga terjadi ginjal membesar
(d). Dapat juga terjadi ruptur fornix akibat extravasasi traktus urinarius
Pada kasus obstruksi ureter yang kronis maka biasanya terlihat dilatasi
ureter, berliku-liku, dan contras mengumpul pada daerah ureter yang mengalami
obstruksi. Pada ginjal dapat terlihat parenkimnya menipis (baik segmental
maupun komplet), kaliks nampak seperti bulan sabit, dan nafrogramnya nampak
menggembung.14
USG merupakan alat pemeriksaan yang baik untuk pemeriksaan awal.
Pemeriksaan USG terutama sangat berguna pada pasien yang alergi terhadap
kontras IVP, hamil atau kreatinin meningkat karena USG tidak menggunakan
kontras, radiasi, dan tidak bergantung pada fungsi ginjal. USG sensitif untuk
melihat massa parenkim ginjal, hidronefrosis, distensi buli-buli, dan batu ginjal.
CT Scan berguna untuk memberikan informasi tentang detail anatomis
mengenai traktus urinarius dan dapat digunakan untuk mengidentifikasi atau
menyingkirkan kemungkinan proses intraabdominal lain sebagai penyebab gejala
yang ada (misal: appendisitis, kolesistitis, diverticulitis).14

Gambar 5: CT Scan Non Kontras pada Urolithiasis.


3.3 Acute on Chronic Kidney Disease
3.3.1Definisi
Penurunan fungsi ginjal yang mendadak pada pasien dengan penyakit
ginjal kronis (CKD) membutuhkan penilaian cepat, diagnosis dan
penatalaksanaan yang tepat untuk mencegah penurunan fungsi ginjal yang
dipercepat dan mungkin ireversibel (tidak dapat diubah). CKD mempengaruhi
episode cedera ginjal akut (AKI) dan perawatan optimal CKD sangat penting
untuk mengurangi risiko AKI.

34
Pasien mungkin diketahui menderita CKD atau mungkin baru pertama kali
mengidap/memiliki, karena sebelumnya tidak diketahui menderita CKD. Ada juga
hubungan antara AKI dengan pemulihan yang tidak lengkap atau kurangnya
pemulihan dan CKD. Penatalaksanaan diarahkan pada identifikasi dan pengobatan
terhadap penyebab yang mendasari kerusakan akut fungsi ginjal, dan perawatan
untuk AKI. Selain morbiditas dan mortalitas yang terkait dengan AKI, ada
peningkatan bukti bahwa AKI mempercepat perkembangan CKD.
Penyakit ginjal kronis adalah faktor risiko utama untuk cedera ginjal
akut. Secara konseptual AKI adalah penurunan cepat (dalam jam hingga minggu)
laju filtrasi glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung reversibel, diikuti
kegagalan ginjal untuk mengekskresi sisa metabolisme nitrogen, dengan/ '
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Kebanyakan orang yang mengalami
cedera ginjal akut memiliki beberapa tingkat penyakit ginjal kronis (CKD) yang
sudah ada sebelumnya. Dalam sebuah penelitian terhadap lebih dari 1700 pasien
dengan cedera ginjal akut yang membutuhkan dialisis, 74% memiliki perkiraan
laju filtrasi glomerulus (eGFR) kurang dari 60 mL / min / 1,73 m2 pada bulan-
bulan sebelum masuk. Oleh karena itu, fungsi ginjal yang menurun dengan cepat
sangat mungkin disebabkan oleh penurunan CKD akut, yang disebut penyakit
ginjal akut-kronis. Cedera ginjal akut menyumbang sekitar 1% dari semua rawat
inap di rumah sakit. Ketika cukup parah untuk memerlukan cuci darah, angka
kematian di rumah sakit terkait dapat melebihi 30% . Diagnosis yang cepat adalah
penting, karena dalam kebanyakan kasus penyebabnya adalah reversibel dan
pengobatan dini dapat mencegah kerusakan ginjal permanen.
Secara konseptual AKI adalah penurunan cepat (dalam jam hingga minggu)
laju filtrasi glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung reversibel, diikuti
kegagalan ginjal untuk mengekskresi sisa metabolisme nitrogen, dengan/ tanpa
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Acute Dialysis Quality Initia- tive
(ADQI) yang beranggotakan para nefrolog dan intensivis di Amerika pada tahun
2002 sepakat mengganti istilah ARF menjadi AKI. Penggantian istilah renal
menjadi kidney diharapkan dapat membantu pemahaman masyarakat awam,
sedangkan penggantian istilah failure menjadi injury dianggap lebih tepat
menggambarkan patologi gangguan ginjal.18

35
Evaluasi dan manajemen awal pasien dengan cedera ginjal akut-kronik
(Acute on CKD) harus mencakup: 1) sebuah assessment penyebab yang
berkontribusi dalam cedera ginjal, 2) penilaian terhadap perjalanan klinis
termasuk komorbiditas, 3) penilaian yang cermat pada status volume, dan 4)
langkah-langkah terapi yang tepat yang dirancang untuk mengatasi atau mencegah
memburuknya fungsional atau struktural abnormali ginjal. Penilaian awal pasien
dengan Acute on CKD termasuk perbedaan antara prerenal, renal, dan penyebab
pasca-renal.
3.3.2 Patogenesa
Acute on CKD dapat dibagi menjadi 3 bagian besar, antara lain :

1. Acute on CKD pre-renal


Penyebab Acute on CKD pre-renal adalah hipoperfusi ginjal. Hipoperfusi
ginjal dapat disebabkan karena hipovolemia atau menurunnya volume
sirkulasi yang efektif. Pada Acute on CKD pre-renal integritas jaringan
ginjal masih terpelihara sehingga prognosis dapat lebih baik apabila factor
penyebab dapat dikoreksi. Apabila upaya perbaikan hipoperfusi ginjal
tidak berhasil maka akan timbul Acute on CKD renal berupa nekrosis
Tubular Akut (NTA) karena iskemik. Keadaan ini dapat timbul akibat
bermacam-macam penyakit. Pada kondisi ini fungsi otoregulasi ginjal
akan berupaya mempertahankan tekanan perfusi, melalui mekanisme
vasodilatasi intrarenal. Dalam keadaan normal, aliran darah gunjal dan
LFG relative konstan, diatur oleh suatu mekanisme yang disebut
otoregulasi.
Acute on CKD pre-renal disebabkan oleh hipovolemia, penurunan
volume efektif intravaskuler seperti pada sepsis dan gagal jantung serta
disebabkan oleh gangguan hemodinamik intra renal seperti pada
pemakaian anti inflamasi non steroid, obat yang menghambat angiotensin
dan pada tekanan darah yang akan mengaktifasi baroreseptor
kardiovaskuler yang selanjutnya mengaktifasi system saraf simpatis,
system rennin-angiotensin serta merangsang pelepasan vasopressin dan
endhotelin -1 (ET1), yang merupakan mekanisme tubuh untuk
mempertahankan tekanan darah dan curah jantung serta perfusi serebral.

36
Pada keadaan ini mekanisme otoregulasi mempertahankan aliran darah
ginjal dan laju filtrasi glomerulus. Dengan vasodilatasi arteriol aferen yang
di pengaruhi oleh reflex miogenik serta prostaglandin dan nitric oxide.,
serta vasokontriksi arteriol afferent yang terutama dipengaruhi oleh
angiotensin –II (A-II) dan ET-1. Mekanisme ini bertujuan untuk
mempertahankan homeostasis intrarenal. Pada hipoperfusi ginjal yang
berat (tekanan arteri rata-rata <70 mmHg) serta berlangsung dalam jangka
waktu yang lama, maka mekanisme otoregulasi tersebut akan terganggu,
dimana arteroid aferen mengalami vasokontriksi , terjadi kontraksi
mesangial dan peningkatan reabsorpsi Na+ dan air. Keadaan ini disebut
pre-renal atau Acute on CKD fungsional, dimana belum terjadi kerusakan
structural dari ginjal. Penanganan terhadap penyebab hipoperfusi ini akan
memperbaiki homeostasis intra-renal menjadi normal kembali. Otoregulasi
ginjal bisa di pengaruhi beberapa obat seperti ACE/ARB, NSAID,
terutama pada pasien-pasien berusia di atas 60 tahun dengan kadar serum
kreatinin mg/dl sehingga dapat terjadi Acute on CKD pre-renal. Proses ini
lebih mudah terjadi pada kondisi hiponatremi, hipotesis penggunaan
diuretic, sirosis hati dan gagal jantung. Perlu di ingat pada pasien berusia
lanjut dapat timbul keadaan-keadaan yang merupakan resiko Acute on
CKD pre-renalseperti penyempitan pembuluh darah ginjal (penyakit
renovaskular) penyakit ginjal polikistik dan nefrosklerosis internal.
2. Acute on CKD Renal
Acute on CKD Renal yang disebabkan oleh kelainan vascular seperti
vaskulitis, hipertensi maligna, glomerulus nefritis akut, nefritis interstitial
akut akan dibicarakan tersendiri pada bab lain. Nekrosis tubular akut dapat
disebabkan oleh berbagai sebab seperti penyakit tropic, gigitan ular,
trauma (crushing injury/bencana alam, peperangan), toksin lingkungan dan
zat-zat nefrotoksik. Di rumah sakit(35-50% di ICU) NTA terutama
disebabkan oleh sepsis. Selain itu pasca operasi dapat terjadi NTA pada
20-25% hal ini disebabkan adanya penyakit-penyakit se[erti hipertensi,
penyakit jantung, penyakit pembuluh darah, diabetes mellitus, ikterus dan
usia lanjut, jenis operasi yang berat seperti transplantasi hati, ,

37
transplantasi jantung. Dari zat-zat nefrotoksik perlu dipikirkan nefropati
karena zat radio kontras, obat-obatan seperti anti jamur, anti virus dan anti
neoplastik. Meluasnya pemakaian narkoba juga meningkatkan
kemungkinan NTA.
3. Acute on CKD post-renal
Acute on CKD post renal merupakan 10% dari keselurahan Acute on
CKD. Acute on CKD post renal disebabkan oleh obstruksi intra-renal dan
ekstra renal posisi Kristal ( urat,oxalate, sulfonamide) dan protein (
mioglobin, hemoglobin). Obstruksi ekstra renal dapat terjadi pada pelvis
ureter oleh obstruksi intrinsic (tumor, batu, nekrosis papilla) dan ekstrinsik
(keganasan pada pelvis dan retroperitoneal,fibrosis) serta pada kandung
kemih (batu, tumor, hipertrofi / keganasan prostat) dan urethra (striktura).
Acute on CKD post renal terjadi bila obstruksi akut terjadi pada urethra,
buli-buli dan ureter bilateral atau obstruksi pada ureter unilateral dimana
ginjal satunya tidak berfungsi. Pada fase awal dari obstruksi total ureter
yang akut, terjadi peningkatan aliran darah ginjal dan peningkatan tekanan
pelvis ginjal diman hal ini disebabkan oleh prostaglandin E2. Pada fase
kedua setelah 1,5-2 jam terjadi penurunan aliran darah ginjal di bawah
normal akibat pengaruh tromboxane A2 (TxA2) dan A-II. Tekanan pelvis
ginjal tetap meningkat tetapi setelah 5 jam mulai meningkat. Fase ketiga
atau fase kronik di tandai oleh aliran darah ke ginjal yang makin menurun
atau penurunan tekanan pelvis ginjal ke normal dalam beberapa minggu.
Aliran darah ginjal setelah 24 jam adalah 50% dari normal dan setelah 2
minggu tinggal 20% dari normal. Pada fase ini mulai terjadi pengeluaran
mediator inflamasi dan factor-faktor pertumbuhan yang akan
mennyebabkan febriosis interstisial ginjal.22,23,24,25
Pasien dengan CKD, datang dengan penyakit akut, harus memiliki
penilaian awal fungsi ginjal. Tekanan darah dan pemeliharaan volume,
dikombinasikan dengan menghindari obat-obatan nefrotoksik dan pilihan gaya
hidup sehat, adalah strategi yang direkomendasikan untuk mengurangi risiko
cedera ginjal akut pada orang dengan CKD. Pasien yang telah mengalami
penurunan fungsi ginjal akut sebelumnya harus ditandai dan diidentifikasi sebagai

38
risiko cedera ginjal di masa depan. Pasien dengan CKD telah mengubah
pengaturan otomatis aliran darah glomerulus. Akibatnya kreatinin dan GFR
mereka bervariasi sesuai dengan tekanan darah mereka. Hal ini menyebabkan
kreatinin serum berfluktuasi tanpa adanya endapan yang jelas. Kreatinin sering
bervariasi 10-20% dalam pengaturan ini dan diperlukan tes kreatinin ulang untuk
mengecualikan perkembangan lebih lanjut.
Obat-obatan dilaporkan berkontribusi terhadap cedera ginjal akut-kronik
pada sekitar 20% kasus. Secara khusus, kombinasi tiga kombinasi NSAID, ACE
inhibitor (atau ARB) dan diuretik dapat menyebabkan cedera ginjal akut-kronik
dengan mengganggu mekanisme homeostatik. Ini terjadi ketika darah aliran ke
ginjal terganggu, karena vasodilatasi arteriol aferen yang dimediasi prostaglandin
diblokir oleh NSAID, dan aliran darah dari ginjal tidak dapat dikurangi, karena
vasokonstriksi arteriol eferen dicegah oleh inhibitor ACE atau ARB. Efek
gabungan adalah penurunan laju filtrasi glomerulus yang diperburuk pada orang
yang juga menggunakan diuretik. Orang yang menggunakan kombinasi obat-
obatan ini, terutama mereka yang memiliki CKD dan penyakit konkuren akut,
memerlukan pemantauan kreatinin serum dan kalium secara teratur.
Banyak obat lain dapat menyebabkan cedera ginjal akut intrinsik,
termasuk; furosemide, inhibitor pompa proton, antibiotik beta-laktam,
aminoglikosida, siklosporin, sulfonamid, kolkisin, fenitoin, litium dan
parasetamol (dosis tinggi atau penggunaan kronis). Pasien yang tidak sehat atau
mengalami gejala tipe alergi (nefritis alergi) setelah memulai pengobatan baru
mungkin perlu memeriksakan fungsi ginjalnya.

3.3.5 Diagnosis

Membedakan CKD murni dari ACRF adalah penting karena pasien


dengan ACRF sering memulihkan beberapa derajat fungsi ginjal jika dirawat
dengan tepat. Karena pasien dengan ACRF beresiko tinggi untuk berkembang
menjadi gagal ginjal yang memerlukan terapi penggantian ginjal, mencegah
perkembangan ini dengan intervensi yang tepat sangat penting. Oleh karena itu,
jika fungsi ginjal awal tidak diketahui, berbagai investigasi dapat digunakan untuk
menentukan apakah ada penyakit ginjal yang mendasarinya. Ukuran ginjal, seperti

39
yang dipastikan dengan CT atau ultrasound, seringkali membantu. Pasien dengan
ukuran ginjal abnormal (terutama jika kecil) biasanya memiliki beberapa bentuk
penyakit ginjal yang mendasarinya. Selain itu, peningkatan echogenisitas
sebagaimana dinilai oleh AS sering menunjukkan CKD yang mendasarinya.
Investigasi laboratorium terkadang bermanfaat dalam membantu membedakan
CKD dari ACRF. Pasien dengan CKD sering mengalami anemia dan sering
menderita hiperparatiroidisme sekunder. Ini sering menghasilkan kalsium total
serum rendah, fosfor serum tinggi dan hematokrit rendah. Namun, karena pasien
dengan AKI juga dapat mengembangkan kelainan biokimia ini, parameter
laboratorium dalam isolasi mungkin tidak dapat membedakan CKD dari ACRF.
Penilaian urin dapat membantu membedakan CKD dari ACRF.
Penilaian urin pada pasien dengan CKD sering menunjukkan kelainan terkait
dengan penyebab CKD yang mendasarinya. Kelainan umum pada CKD adalah
proteinuria, gips luas dan isosthenuria. Dalam ACRF, bukti penyebab AKI sering
hadir (nekrosis tubular akut [ATN] - gips granular; nefritis interstitial akut [AIN] -
piuria, eosinofil urin). AKI adalah sindrom dengan berbagai penyebab potensial,
dan ACRF juga memiliki beberapa penyebab potensial. Cara saat ini untuk
memastikan diagnosis yang benar adalah dengan mendokumentasikan hilangnya
fungsi ginjal dengan peningkatan kreatinin serum dan / atau oliguria.
Penyebab non-AKI dari peningkatan kreatinin dapat disebabkan oleh
obat-obatan tertentu, terutama pada pasien dengan CKD. Obat-obatan yang
menghalangi sekresi kreatinin yang menyebabkan peningkatan kreatinin serum
bukan karena penurunan GFR termasuk simetidin, trimetoprim, cefoxitin dan
flucytosine. AKI yang terutama dimanifestasikan sebagai oliguria membutuhkan
penilaian penyebab obstruktif. AKI yang terutama dimanifestasikan sebagai
peningkatan kecil kreatinin serum harus dinilai untuk memastikan bahwa obat
yang mempengaruhi sekresi kreatinin bukanlah penyebab peningkatan kreatinin.
Penilaian klinis harus mencakup identifikasi kemungkinan penyebab
eksaserbasi akut - misalnya, riwayat obat, tanda-tanda infeksi atau bukti hipertrofi
prostat. Identifikasi derajat obstruksi saluran kemih. Penilaian fungsi ginjal yang
sudah ada sebelumnya dan apakah suatu episode mewakili akut pada penyakit

40
ginjal kronis atau cedera ginjal akut pada pasien dengan fungsi ginjal yang
sebelumnya normal. Penilaian tekanan darah dan status kardiovaskular umum.
1. Anamnesis
Anamnesis yang baik, serta pemeriksaan jasmani yang teliti di tujukkan
untuk mencari sebab gangguan ginjal akut seperti misalnya operasi
kardiovaskular, angiografi, riwayat infeksi ( infeksi kulit, infeksi
tenggorokan, infeksi saluran kemih) riwayat bengkak, riwayat kencing
batu.
2. Membedakan ganguan ginjal akut (GGA) dengan gangguan ginjal kronik
(GGK) misalnya anemia dan ukuran ginjal yang kecil menunjukkan gagal
ginjal kronis.
3. Untuk mendiagnosis diperlukan pemeriksaan berulang fungsi ginjal yaitu
kadar ureum, kreatinin atau laju filtrasi glomerulus. Pada pasien yang di
rawat selalu di periksa asupan dan keluaran cairan, berat badan untuk
memperkirakan adanya kehilangan atau kelebihan cairan tubuh. Pada
gangguan ginjal akut yang berat dengan berkurangnya fungsi ginjal
ekskresi air dan garam berkurang sehingga dapat menimbulkan edema
bahkan sampai terjadi kelebihan air yang berat atau edema paru. Eksresi
asam yang berkurang juga dapat menimbulkan asidosis metabolic dengan
kompensasi pernapasan kussumall. Umumnya manifestasi akut on CKD
lebih di dominasi oleh factor-faktor ppresipitasi atau penyakit utamanya.
4. Penilaian pasien
a) Kadar kreatinin serum
Pada gangguan ginjal akut faal ginjal di nilai dengan memeriksa
berulang kali kadar serum kreatinin . kadar serum kreatinin tidak dapat
mengukur secara tepat laju filtrasi glomerulus karena tergantung dari
produksi (otot) distribusi dalam cairan tubuh, ekskresi oleh ginjal.
b) Kadar cystatin C serum
Walaupun belum diakui secara umum nilai serum cystatin C dapat
menjadi indicator gangguan ginjal akut tahap awal yang cukup dapat di
percaya.
c) Volume urin

41
Anuria akut atau oliguria berat merupakan indicator yang spesifik untuk
gangguan ginajal akut, yang dapat terjadi sebelum perubahan nilai-nilai
biokimia darah. Walaupun demikian volume urin pada kasus ini bisa
bermacam-macam.
3.3.6 Tata Laksana
Tujuan pengelolaan adalah mencegah kerusakan ginjal , mempertahankan
homestasis, melakuka resusitasi, mencegah komplikasi metabolic dan infeksi serta
mempertahankan pasien tetap hidup sampai faal ginjalnya sembuh secara spontan.
Prinsip pengelolaannya sesuai dengan mengidentifikasi pasien beresiko akut on
CKD ( sebagai tindak pencegahan) mengatasi penyakit penyebab Akut on CKD,
mempertahankan homeostasis, mempertahankan eopolemia, keseimbangan cairan
dan elektrolit, mencegah komplikasi seperti hiperkalemia, asidosis,
hiperfospatemia, mengevaluasi status nutrisi, kemudian mencegah infeksi dan
seklalu mengevaluasi obat-obatan yang di pakai.
Penatalaksanaan meliputi pengobatan penyebab yang mendasari dan
penatalaksanaan cedera akut.Tergantung pada sifat dan kepastian penyebabnya,
kesejahteraan klinis dan fungsi ginjal yang mendasarinya, pasien seringkali
memerlukan rujukan ke rumah sakit untuk penilaian penuh dan
manajemen/penatalaksanaan yang tepat. Namun, beberapa pasien dengan
penyebab yang jelas dan yang secara klinis stabil, dapat dikelola dengan aman di
rumah.
Terapi khusus ACRF
Prioritas tatalaksana pasien dengan Akut on CKD
1. Cari dan perbaiki factor pre dan pasca renal
2. Evaluasi obat-obatan yang telah diberikan
3. Optimalkan curah jantung dan aliran darah ke ginjal
4. Perbaiki atau tingkatkan aliran urin
5. Monitor asupan cairan dan pengeluaran cairan dan timbang badan tiap hari
6. Cari dan obati komplikasi akut ( hiperkalemia, hipernatremia, asidosis,
hiperfosfatemia, edema paru)
7. Asupan nutrisi yang adekuat sejak dini
8. Cari focus infeksi dan atasi infeksi secara agresif

42
9. Penyerawatan menyeluruh yang baik (kateter,kulit, psikologis)
10. Segera memulai terapi dialysis sebelum timbul komplikasi
11. Berikan obat-obat dengan dosis tepat sesuai kapasitas bersihan ginjal.

Pengobatan suportif pada gangguan ginjal akut


 Kelebihan volume intravascular
Batas garam ( 1-2 g/hari) dan air ( <1 L/hari), furosemide, ultrafiltrasi, atau
dialysis.
 Hipobatremia
Batas asupan air (<1L/h): hindari infuse larutan hipotonik.
 Hiperkalemia
Batasi asupan diet K (<40 mmol/hari): hindari diuretic hemat K, potassium
binding ion exchange resins, glukosa (50 ml dextrose 50%) dan insulin (10
unit), natrium bikarbonat (50-100 mmol), agonis β (salbutamol, 10 -20 mdg
di inhalasi atau 0,5 1 mg IV) kalsium glukonat ( 10 ml larutan 10% dalam 2-
5 menit).
 Asidosis metabolic
Natrium bikarbonat (upayakan bikarbonat serum > 15 mmol/L, PH >7,2)
 Hiperfosfatemia
Batasi asupan diet fosfat ( 800mg/hari) obat pengikat fosfat (kalsium asetat;
kalsium karbonat)
 Hipokalemia
Kalsium karbonat ; kalsium glukonat ( 10-20 ml larutan 10%)
 Nutrisi
Batasi asupan protein diet ( 0,8-1 g/kg BB/hari) jika tidak dalam kondisi
katabolic, karbohidrat (100 g/hari) nutrisi enternal atau parenteral jika
perjalanan klinik lama katabolic. 8,9,10

Indikasi dilakukannya dialysis


 Oliguria
Oliguria didefinisikan sebagai keluaran urin kurang dari 1 mL/kg/jam pada
bayi, kurang dari 0,5 mL/kg/jam pada anak, dan kurang dari 400 mL/hari
pada dewasa.

43
 Anuria
Anuria adalah ketidakmampuan untuk buang air kecil baik karena tidak
dapat menghasilkan urin atau memiliki sumbatan di sepanjang saluran
kemih.
 Hiperkalemia (K> 6,5 mEq/l)
 Asidosis berat ( pH ,7,1)
 Azotemia (ureu>200mg/dl)
 Edema paru
 Ensefalopati uremikum
 Perikarditis uremik
 Neuropati /miopati uremik
 Disnatremia berat (na . 160 mEq/l atau <115 mEq/l)
 Hipernatremia
 Kelebihan dosis obat yang dapat didialisis (keracun

44
BAB 4
PEMBAHASAN
Anamnesis
Fakta Teori
-
Keluhan Utama: nyeri saat buang air kecil Nyeri pinggang yang bisa
Riwayat Penyakit Sekarang menjalar ke punggung atau testis
 Pasien mengatakan nyeri dirasakan dan labia ipsilateral.
dari perut bagian bawah dan tembus hingga -
Mual dan muntah juga sering
ke pinggang.
 Pasien mengatakan urin yang keluar terjadi, terutama pada obstruksi
sedikit-sedikit dan frekuensi buang air kecil akut.
menjadi sering.
-
 Keluhan buang air kecil yang sulit Jika terjadi infeksi, pasien dapat
ini sebenarnya telah dirasakan sejak ± sejak mengeluh demam, menggigil,
3 bulan terakhir,namum memberat disertai
nyeri selama dua hari sebelum masuk dan disuria. Hematuria juga
rumah sakit. dapat terjadi.
 Pasien mengatakan satu hari sebelum
masuk rumah sakit sempat demam yang - Jika obstruksi terjadi bilateral
diawali dengan menggigil. dan parah, dapat terjadi gagal
 Pasien juga merasakan mual dan
muntah. ginjal yang berakibat pada
Riwayat Penyakit Dahulu uremia. Uremia memiliki gejala
 Tidak pernah mengalami keluhan yaitu rasa lemas, edema perifer,
serupa sebelumnya dan penurunan kesadaran.
 Riwayat Ca serviks. - Keadaan yang termasuk
 Tidak ada riwayat hipertensi obstruksi mekanik intrinsik yang
 Tidak ada riwayat penyakit jantung didapat antara lain batu saluran
 Tidak ada riwayat DM kemih, proses infeksi dan
 Riwayat maag (gastritis) selama 1 inflamasi, trauma, sloughed
tahun terakhir. papillae (papilla ginjal yang
Riwayat Keluarga dan Kebiasaan nekrosis dan terpisah dari
Keluarga pasien tidak ada yang jaringan sekitar yang disebabkan
mengalami keluhan yang sama dengan karena iskemia), tumor
pasien. Tidak ada riwayat hipertensi, DM, (terutama pada ureter, vesica
maupun penyakit jantung. urinaria, dan urethra).
G2P2002A000

45
 Anak pertama lahir pada tahun 2002
 Anak kedua lahir pada tahun 2012

Pasien menggunakan KB pil selama 6 tahun


dan KB suntik per 3 bulan selama 4 tahun

Gejala obstruksi di traktur urinarius bergantung pada lokasi obstruksi dari


pasien. Bila obstruksi terjadi di traktus urinarius bagian atas (ginjal, ureter),
manifestasinya berupa nyeri pinggang yang bisa menjalar ke punggung atau testis
dan labia ipsilateral. Mual dan muntah juga sering terjadi, terutama pada obstruksi
akut. Jika terjadi infeksi, pasien dapat mengeluh demam, menggigil, dysuria dan
pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan nyeri ketok costovertebra angle (CVA)
bila terjadi pielonefritis. Hematuria juga dapat terjadi. Jika obstruksi terjadi
bilateral dan parah, dapat terjadi gagal ginjal yang berakibat pada uremia. Uremia
memiliki gejala yaitu rasa lemas, edema perifer, dan penurunan kesadaran. Pada
pasien keluhan utama merupakan nyeri buang air kecil yang disebabkan karena
adanya penyumbatan dibagian atas dari traktus urinarius selain itu pasien juga
mengeluhkan urin yang dikeluarkan sedikit disertai mual muntah dan sempat ada
demam satu hari sebelumnya namun demam turun setelah pasien minum
parasetamol. Keluhan ini sesuai dengan gejala akut dari obstruksi yang terjadi
pada traktur urinarius atas. Keluhan lain berupa kencing yang semakin sedikit
walaupun pasien mengatakan minum seperti biasa sejak 2 bulan. Keluhan lain
berupa rasa nyeri di daerah perut bawah yang terkadang menjalar hingga ke
bagian pinggang. Pasien telah didagnosa dengan kanker serviks stadium III B
dimana salah satu komplikasi dari penyakit tersebut dapat mengenai ginjal. Dalam
beberapa kasus kanker serviks stadium lanjut, tumor kanker (pertumbuhan
jaringan abnormal) dapat menekan ureter, menghalangi aliran urin dari ginjal.
Penumpukan urin dalam ginjal dikenal sebagai hidronefrosis dan dapat
menyebabkan ginjal menjadi bengkak. Kasus yang parah dapat menyebabkan
hidronefrosis ginjal menjadi bekas luka, yang dapat menyebabkan hilangnya
sebagian atau seluruh fungsi ginjal. Hal ini dikenal sebagai gagal ginjal.

46
Pemeriksaan Fisik
Fakta Teori
 Tekanan Darah 110/80 mmHg a. Jika terdapat Akut on CKD 
 Nadi 88x/menit dapat terjadi edema pada kedua
 Pernafasan 24x/menit
 Temperatur 36,5o C tungkai, sesak nafas.

Mata : Konjungtiva anemis (+/+),


sklera ikterik (-/-),
pupil isokor,
diameter 3mm/3mm,
reflex cahaya (+/+).
Abdomen
Inspeksi : Berbentuk datar (flat),
bekas operasi (+)
Auskultasi: Bising usus (+) kesan
normal
Perkusi : Timpani keempat kuadran,
shifting dullness (-).
Palpasi : Soefl, nyeri tekan
epigastrium (-), splenomegali
(-),
hepatomegali (-) teraba
massa di simfisis pubis

Pemeriksaan Penunjang
Fakta Teori
Laboratorium Pemeriksaan diagnostik yang
Pemeriksaan Hasil dapat dilakukan meliputi
Leukosit 9.480/mm3 pemeriksaan laboratorium dan
Eritrosit 3.000.000/mm3
Hemoglobin 8,1 g/dL radiologis. Bila ditemukan
Hematokrit 27,1 % leukositosis pada pemeriksaan darah
Trombosit 321.000 / mm3
KIMIA KLINIK menunjukkan adanya infeksi.

GDS 106 mg/dL Anemia dapat terjadi pada proses


Ureum 168,8 mg/dL akut (kehilangan darah bila terjadi
Creatinin 10,4 mg/dL
ELEKTROLIT hematuria) dan kronik (insufisiensi
Natrium 135 mmol/L renal kronik, malignansi).11, 14,15
Kalium 5,2 mmol/L
Pasien dengan uropati
Cloride 100 mmol/L

47
obstruktif selalu di monitoring fungsi
Hasil Pemeriksaan Patologi Anatomi ginjal (ureum dan kreatinin). Untuk
(19/03/2019) mendiagnosis Akut on CKD
Makroskopis : Diterima jaringan abu abu diperlukan pemeriksaan berulang
kenyal padat ukuran 2,5 x 1 x 1 cm fungsi ginjal yaitu kadar ureum,
Mikroskopis : Sediaan jaringan tuba fallopi kreatinin atau laju filtrasi glomerulus.
dengan mukus yang erosif, sel epitel Pada pasien yang di rawat selalu di
silindris inti vesiculer,mitosis banyak periksa asupan dan keluaran cairan,
dengan submukosa edematous dan berat badan untuk memperkirakan
pembuluh darah kecil-kecil adanya kehilangan atau kelebihan
Kesimpulan : Metastase adenokarsinoma cairan tubuh.
Untuk pemeriksaan tambahan
Hasil USG Abdomen :
atau jika akan dilakukan pemeriksaan
Hidronefrosis grade III bilateral + terpasang
dj stent radiologis dengan kontras,
Pemeriksaan radiologis yang dapat
dilakukan antara lain intravenous
pyelography (IVP), USG, dan CT
scan.11, 14,15
Pada uropati obstruktif, pemeriksaan radiologi menjadi pemeriksaan
penunjang yang penting. USG merupakan alat pemeriksaan yang baik untuk
pemeriksaan awal. Pemeriksaan USG terutama sangat berguna pada pasien yang
alergi terhadap kontras IVP, hamil atau kreatinin meningkat karena USG tidak
menggunakan kontras, radiasi, dan tidak bergantung pada fungsi ginjal. USG
sensitif untuk melihat massa parenkim ginjal, hidronefrosis, distensi buli-buli, dan
batu ginjal.
Pemeriksaan fungsi ginjal melalui kadar ureum dan kreatinin penting dalam
mengevaluasi apakan obstruksi yang terjadi sudah menyebabkan ganguan pada
ginjal ataupun tidak. Serum kreatinin naik sebesar ≥ 26μmol / L dalam waktu 48
jam atau
 Serum kreatinin meningkat ≥ 1,5 kali lipat dari nilai referensi, yang
diketahui atau dianggap telah terjadi dalam waktu satu minggu atau
 Output urine <0.5ml/kg/hr untuk> 6 jam berturut-turut

48
Pada pasien ini terjadi peningkatan ureum dan kreatinin dengan kadar ureum
sebesar 168,8 mg/dL dan creatinin sebesar 10,4 mg/dL. Hal ini memenuhi kriteria
2 dimana terjadi peningkatan serum kreatinin ≥ 1,5 kali lipat dari nilai referensi.
Penatalaksanaan

Fakta Teori
Konsul urologi : Penanganan dari obstruksi
Pro Ganti DJ stent tergantung dari penyebab obstruksi
- Transfusi PRC 1 Kolf
dengan prinsip penanganan yaitu
- Jika Hb < 10 transfusi PRC 1 kolf/hari
- R/ Radioterapi apabila kondisi umum menghilangkan obstruksi sebelum
memungkinkan.
terjadinya gangguan fungsi ginjal.
- Esprimer : Nacl 1:3 20tpm
- Injeksi metoclopramide 3x1 ampul Jika terdapat sumbatan pada ginjal
- CaCO3 2x1
hingga ureter, perbaikan menjadi
- Asam folat 2x1
- Drip omeprazole 2x1 vial pilihan utama apabila terdapat
- Kalitake 3x1 sach
hidronefrosis akibat refluks.
Drainase dengan menggunakan
kateter diindikasikan untuk
memperbaiki fungsi ginjal. Jika
dalam beberapa bulan drainase,
refluks tetap ada, ureterovesikal yang
inkompeten harus diperbaiki melalui
pembedahan.

Tujuan pengelolaan adalah


mencegah kerusakan ginjal ,
mempertahankan homestasis,
melakuka resusitasi, mencegah
komplikasi metabolic dan infeksi
serta mempertahankan pasien tetap
hidup sampai faal ginjalnya sembuh
secara spontan.

49
Kalsium karbonat merupakan agen pengikat fosfat yang banyak digunakan
pada penderita gangguan ginjal. Kontrol terhadap kadar fosfat meliputi diet
rendah fosfor, dialisis, pengikat fosfat oral, dan pengendalian hormon paratiroid.
Pengikat fosfat diperlukan untuk membatasi penyerapan fosfat. Agen pengikat
fosfat yang sering digunakan adalah kalsium karbonat (CaCO3) dengan dosis
harian yang digunakan adalah 1000–1500 mg/hari.
Asam folat adalah jenis vitamin B yang biasanya diberikan sebagai
suplemen pada pasien dengan gangguan ginjal. Beberapa penelitian mengatakan
jika pada penderita gangguan ginjal terjadi hiperhomosistemia yang di duga
disebabkan oleh karena peningkatan kadar ureum dan kreatinin sehingga terjadi
defek pada metabolisme homosistein yang menyebabkan terjadinya defisisensi
asam folat. Hal ini menjadi dasar diberikannya asam folat sebagai suplemen
tambahan.
Omeprazol mempunyai mekanisme kerja yang unik karena mempunyai
tempatkerja dan bekerja langsung pada pompa asam (H+ /K+ ATPase) yang
merupakan tahapakhir proses sekresi asam lambung dari sel-sel parietal. Enzim
gastrik atau pompaproton atau disebut juga pompa asam ini banyak terdapat
dalam sel-sel parietal.Pompa proton ini berlokasi di membran apikal sel parietal.
Dalam proses ini, ion Hdipompa dari sel parietal ke dalam lumen dan terjadi
proses pertukaran dengan ion K.Omeprazol memblok sekresi asam lambung
dengan cara menghambat H+ /K+ ATPasepump dalam membran sel parietal
Metoclopramide merupakan agen prokinetik yang bekerja sebagai
antagonis D2-dopamin reseptor. Inhibisi dopamin dapat meningkatkan kekuatan
sphincter esophageal bagian bawah, meningkatkan motilitas saluran pencernaan
bagian atas tanpa mempengaruhi usus halus dan kolon, serta meningkatkan laju
pengosongan lambung tanpa mempengaruhi sekresi lambung, empedu dan
pancreas. Mekanisme aksi metoclopramide selain sebagai antagonis D2-dopamin
reseptor, juga melibatkan agonis 5-HT4 reseptor, antagonis 5-HT3 vagal dan
sentral, serta sensitisasi reseptor muscarinic pada otot polos. Keterlibatan
beberapa reseptor pada mekanisme aksi metoclopramide menimbulkan efek yang
lebih kuat dibandingkan obat antiemetic yang lain.

50
Kalitake mengandung ion Ca2+ dalam grup radikal resin sulfonate yang
merupakan kopolimer styrenedivinil benzene. Dengan mekanisme kerja sebagai
resin penukar ion. Kalitake melepaskan ion Ca2+ dan mengikat ion K+
melalui adsorpsi. Pada konsumsi per oral, obat ini mengakibatkan terjadinya
proses pertukaran ion dalam traktusgastrointestinalis, diekskresi dalam feses.
Kalitake tidak mempengaruhi aktivitas motorik spontan.Dalam larutan Tyrode,
Kalitake mengakibatkan peningkatan bermakna ion Ca2+ dan penurunan
Mg2+dan Na+ sampai 10%. Kalitake mengakibatkan eliminasi ion K+ pada
pasien gagal ginjal. Kalitake diberikan untuk menurunkan absorbsi kalium dalam
saluran pencernaan, dengan tujuan mencegah hiperkalemi pada pasien.

51
BAB 5
KESIMPULAN

Telah dilakukan perbandingan antara teori dan kasus pada pasien dengan
Ca serviks dengan Akut on CKD, dari anamnesis ditemukan keluhan utama nyeri
saat BAK, Nyeri dari perut bawah dan tembus hingga kepinggang serta BAK
yang semakin sedikit. Pemeriksaan fisik ditemukan anemis dan terdapat massa
pada supra pubis serta pemeriksaan penunjang berupa USG didapatkan terjadinya
hidronefrosis bilateral disertai dengan peningkatan kadar ureum dan kreatinin.
Penatalaksaan yang dilakukan berupa pemasangan DJ Stent serta pemberian obat
simptomatis pada pasien. Secara umum, temuan klinis dan laboratoris pada
pasien ini sudah sesuai dengan literatur.

52
DAFTAR PUSTAKA

1. WHO (Februari, 2017). Cancer factsheet (online). Diperoleh dari


http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs297/en/ tanggal 21 oktober
2018.
2. WHO (Juni, 2016). HPV and Cervical cancer factsheet. Diperoleh dari
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs380/en/ tanggal 21 oktober
2018.
3. ICO Information Centre on HPV and Cancer (2016). Indonesia – Human
papillomavirus and related cancers, factsheet 2016. Barcelona: pengarang.
4. Kampono, N. (2011). Kanker Ganas Alat genital dalam Ilmu Kandungan
Sarwono, edisi ketiga (Ed: M. Anwar, A. Baziad, R. P. Prabowo). Jakarta:
PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
5. Aziz, N., & Yousfani, S. (2013). Pattern of presentation of cervical
carcinoma at Nuclear Institute of Medicine and Radiotherapy, Pakistan.
Pak J Med Sci, 29 (3): 814-817.
6. American Cancer Society. (2016). Cervical Cancer Overview.
7. Boardman, C. (2014). Cervical Cancer Clinical Presentation. Dipetik
December 1, 2015, dari Cervical Cancer Clinical Presentation:
http://emedicine.medscape.com/article/253513-clinical#b3
8. Cunningham, F. (2007). Williams Ginekolog. Jakarta: EGC

53
9. Gibbs, R. S., Karlan, B. Y., Haney, A. F., & Nygaard, I. E. (2008).
Cervical Cancer. In Danforth’s Obstetry and Gynecology, 10th ed. USA:
Lippincott Williams & Wilkins.
10. Towsend MC. Sabiston textbook of surgery. 19th ed. Philadelphia:
Saunders Elsevier.2012.p.2052-9.
11. Brunicardi DC, Andersen DK. Schwartz’s principle of surgery. 10th ed.
New York: McGraw-Hill.2014.p.1176, 1661-2,1665.
12. Netter FH. Atlas of human anatomy. 6th ed. Philadelphia: Saunders
Elsevier.2014.p.264.
13. Doherty GM. Current diagnosis and treatment surgery. 13th ed. New York:
McGraw-Hill.2010.p.923-5, 935.
14. Blandy J, Kaisary A. Lecture notes: urology. 6th ed. West Sussex:
Blackwell.2009.p.77-89, 174-98.
15. Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2. Jakarta:
Penerbit EGC.2004.h.431-3.
16. Ellis H, Calne SR, Watson C. Lecture notes: general surgery. 12th ed. West
Sussex: Blackwell.2011.p.355-8, 368-74.
17. Markum H.M.S, , Gangguan Ginjal Akut, Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Ed 2, edi-tor, Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrta MK
Setiati S, Interna Publishing, Jakarta: 2009. Vol II: 1041-1058
18. Sinto, R., Nainggolan, G.,. Acute on Chronic Kidney Disease: pendekatan
klinis dan tata laksana. Majalah Kedokteran Indonesia. 2010. 60(2): 81-
88.
19. Dennis L. Kasper, Eugene Braunwald, Anthony Fauci. Harrison's
Principles of Internal Medicine 17th Edition.McGraw-Hill, USA. 2004.
789-792
20. Brenner B.M, Lazarus J.M. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume
3 Edisi 13. EGC, Jakarta,2000.1435-1443.
21. Boediwarsono.Gagal ginjal akut. Segi pengobatan penyakit dalam. PT
Bina Indra Karya. Surabaya, 1985. Hal 68-73
22. Hladik G,A. Chronic Kidney Disease. In: Runge MS, Greganti MA.
Netter’s Internal Medicine. 2nd ed. Philadelphia: Saunders; 2009. P. 975-

54
83.
23. Wilson, L.M.,. Gagal ginjal kronik. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. Ed.6. Vol.2 2005. Hal:992-1003.
24. Cooper K, Craig L, Cummings EL, Magaletto P, Moody P, Petersen TA,
et al. Pathophysiology mase Incredibly Easy. 4th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams&Wilkins;2008. P.307-10.
25. Stein,Jay H. Kelainan ginjal dan elektrolit. panduan klinik ilmu penyakit
dalam.edisi ke-3. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta : 2001. Hal
143-149.
26. Rahardjo, J.Pudji. Kegawatan pada Gagal Ginjal. Penatalaksanaan
Kedaruratan di bidang Ilmu Penyakit Dalam. Pusat infomasi dan
Penerbitan FKUI. Jakarta. 2000. Hal 236-239
27. Patient. Acute on Chronic Kidney Disease. Patient.info/doctor/acute-on-
chronic-kidney-disease
28. Lakhmir, Chawla, Paul, Kimmel. Acute on chronic kidney disease clinical
syndrome. 2012

55

Anda mungkin juga menyukai