Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH PATOLOGI KLINIK

ALERGI DAN ASTHMA


Dosen Pengampu:
MEILINA RATNA DIANTI., S.Kep.,Ns.,M.Kep

Disusun Oleh:
AISYAH MIFTAHUL ILMIYAH (18930002)
M. MURSYID ALI (18930008)
ULVA NUR RAHMAWATI (18930016)
INDAH FITRIANI (18930032)

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

TAHUN AJARAN 2019

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sistem imunitas didalam tubuh manusia merupakan satu kesatuan yang
kompleks dan berlapis-lapis dalam menghadapi invasi patogen yang masuk seperti
bakteri, jamur, virus dan parasit. Beberapa upaya tubuh untuk melawan patogen
tersebut ialah dengan adanya respon imun spesifik dan non-spesifik. Imunitas non-
spesifik ,seperti fagosit, sel NK dan sistem komplemen, selalu ada pada individu
yang sehat dan akan dengan cepat mengeliminasi mikroba yang masuk ke jaringan
pada 12 jam pertama infeksi. Berbeda dengan sistem imun non-spesifik, sistem
imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing
dan memiliki memori untuk mengatasi pajanan ulang
dengan cepat.
Alergi merupakan reaksi hipersensitivitas akibat mekanisme imunologi yang
pada banyak kasus dipengaruhi oleh immunoglobulin E (IgE). Atopi merupakan
suatu kecenderungan seseorang dan atau keluarga untuk membentuk
immunoglobulin E sebagai respon terhadap alergen. Manifestasi yang dapat
muncul pada penderita atopi diantaranya asma, dermatitis/ekzema atopik atau
rinitis alergik Penyakit asma merupakan salah satu masalah kesehatan di seluruh
dunia, baik di negara maju maupun di negara yang sedang berkembang. Saat ini,
penyakit asma juga sudah tidak asing lagi di masyarakat.
Asma dapat diderita oleh semua lapisan masyarakat dari usia anak-anak sampai
usia dewasa. Penyakit asma awalnya merupakan penyakit genetik yang diturunkan
dari orang tua pada anaknya. Namun, akhir-akhir ini genetik bukan merupakan
penyebab utama penyakit asma. Polusi udara dan kurangnya kebersihan lingkungan
di kota-kota besar merupakan faktor dominan dalam peningkatan serangan asma.

1.2. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas presentasi
mata kuliah patologi klinik dan untuk mempelajari seputar sistem imun, alergi
dan asthma dalam konteks patologi

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 SISTEM IMUN

2.1 Sistem Imun


a. Kekebalan tubuh
Kekebalan (imunitas) yang terdapat dalam protein pada butir darah putih
(globulin) disebut globulin imun (immunoglobulin). Immunoglobulin ini
merupakan suatu golongan protein yang mempunyai daya zat anti. Istilah
immunoglobulin ini pertama kali diperkenalkan oleh Hitzig pada tahun 1955.
Immunoglobulin (Ig) dibagi lima kelas atau golongan
1. Immunoglobin G (IgG) komponen fungsionalnya memberi respon
antibakteri, anivirus, antitoksin dan antijamur.
2. Immunoglobin M (IgM), komponen fungsionalnya merupakan
antibodi terhadap polishacarida dan lipopolishacarida (bentuk gula).
3. Immunoglobin A (IgA), terbentuk oleh rangsangan terhadap selaput
lendir, dan memegang peran penting dalam melawan infeksi saluran
pernapasan, pencernaan dan bagian alat reproduksi.
4. Immunoglobin D (IgD) , fungsinya belum diketahui dengan pasti
5. Immunoglobin E ( IgE ), berfungsi sebagai zat antikimia. IgE ini
terbentuk pada orang yang menderita alergi dan dapat terjadi pada
pemberian vaksin Petrusis.
b. Terbentuknya zat kekebalan tubuh
Zat kekebalan tubuh terbentuk tidak secara bersamaan. Pada trimester
pertama kehamilan seorang ibu, biasanya belum ada pembentukan Ig. Eman
bulan berikutnya janin baru membentuk sel-sel plasma yang dapat membuat
Ig spesifik, seperti IgM dan IgA. IgM disintesis pada minggu ke-14
kehamilan. Kadar IgM meningkat lebih cepat dibandingkan dengan IgA dan
IgG. Kadar IgM dapat juga meningkat jumlahnya jika dalam tubuh ibu
terjadi peredaran dan masuk kedalam sirkulasi janin . produksi kadar IgM
mencapai jumlah optimal setelah 1-2 tahun sejak IgM terbentuk.
IgM terbentuk sejak kehamilan memasuki usia tiga bulan. IgG
diturunkan melalui plancenta. Baru pada minggu ke-20 kehamilan, janin
mulai membentukIgG dalam jumlah sedikit. Setelah lahir, IgG pada bayi
hampir sama dengan IgG pada ibunya . kemudian secara progresif, IgG
terus bertambah sampai berusia tujuh tahun. Pada jumlah ini jumlah kadar
IgG anak sama dengan IgG orang dewasa.

3
Seperti halnya IgM, IgA pun mampu dibentuk janin dalam jumlah kecil.
Meskipun demikian, pada waktu lahir tidak ditemukan IgA didalam darat
tali pusat. Kadar optimal serum IgA baru tercapai setelah anak berumur 12
tahun (Widjaja,2008)

2.2 Reaksi Hipersensitivitas


Definisi Reaksi Alergi (Reaksi Hipersensitivitas) adalah reaksi-reaksi
dari sistem kekebalan yang terjadi ketika jaringan tubuh yang normal mengalami
cedera/terluka. Mekanisme dimana sistem kekebalan melindungi tubuh dan
mekanisme dimana reaksi hipersensitivitas bisa melukai tubuh adalah sama.
Karena itu reaksi alergi juga melibatkan antibodi, limfosit dan sel-sel lainnya
yang merupakan komponen dalam sistem imun yang berfungsi sebagai
pelindung yang normal pada sistem kekebalan. Reaksi ini terbagi menjadi empat
kelas (tipe I – IV) berdasarkan mekanisme yang ikut serta dan lama waktu reaksi
hipersensitif. Tipe I hipersensitivitas sebagai reaksi segera atau anafilaksis
sering berhubungan dengan alergi. Gejala dapat bervariasi dari
ketidaknyamanan sampai kematian. Hipersensitivitas tipe I ditengahi oleh IgE
yang dikeluarkan dari sel mast dan basofil. Hipersensitivitas tipe II muncul
ketika antibodi melilit pada antigen sel pasien, menandai mereka untuk
penghancuran. Hal ini juga disebut hipersensitivitas sitotoksik, dan ditengahi
oleh antibodi IgG dan IgM. Kompleks imun (kesatuan antigen, protein
komplemen dan antibodi IgG dan IgM) ditemukan pada berbagai jaringan yang
menjalankan reaksi hipersensitivitas tipe III. Hipersensitivitas tipe IV (juga
diketahui sebagai selular) biasanya membutuhkan waktu antara dua dan tiga hari
untuk berkembang. Reaksi tipe IV ikut serta dalam berbagai autoimun dan
penyakit infeksi, tetapi juga dalam ikut serta dalam contact dermatitis. Reaksi
tersebut ditengahi oleh sel T, monosit dan makrofag (Hikmah,2010).

2.3 Diagnosa
Diagnosa Setiap reaksi alergi dipicu oleh suatu alergen tertentu, karena
itu tujuan utama dari diagnosis adalah mengenali alergen. Alergen bisa berupa
tumbuhan musim tertentu (misalnya serbuk rumput atau rumput liar) atau bahan
tertentu (misalnya bulu kucing). Jika bersentuhan dengan kulit atau masuk ke
dalam mata, terhirup, termakan atau disuntikkan ke tubuh, dengan segera
alergen akan bisa menyebabkan reaksi alergi. Pemeriksaan bisa membantu
menentukan apakah gejalanya berhubungan dengan allergen apa penyebabnya
serta menentukkan obat yang harus diberikan. Pemeriksaan darah bisa
menunjukkan banyak eosinofil (yang biasanya meningkat).Tes RAS
(radioallergosorbent) dilakukan untuk mengukur kadar antibodi IgE dalam

4
darah yang spesifik untuk alergen individual. Hal ini bisa membantu
mendiagnosis reaksi alerki kulit, rinitis alergika musiman atau asma alergika.
Tes kulit sangat bermanfaat untuk menentukan alergen penyebab terjadinya
reaksi alergi. Larutan encer yang terbuat dari saripati pohon, rumput, rumput
liar, serbuk tanaman, debu, bulu binatang, racun serangga, makanan dan
beberapa jenis obat secara terpisah disuntikkan pada kulit dalam jumlah yang
sangat kecil. Jika terdapat alergi terhadap satu atau beberapa bahan tersebut,
maka pada tempat penyuntikkan akan terbentuk bentol dalam waktu 15-20
menit. Jika tes kulit tidak dapat dilakukan atau keamanannya diragukan, maka
bisa digunakan tes RAS. Kedua tes ini sangat spesifik dan akurat, tetapi tes kulit
biasanya sedikit lebih akurat dan lebih murah serta hasilnya bisa diperoleh
dengan segera (Hikmah,2010).

5
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 ALERGI
3.1.1 Definisi Alergi
Alergi termasuk jenis penyakit yang paling sering dijumpai dalam masyarakat. Ada tiga
jenis atau golongan alergi, yakni alergi pada hidung (ranitis), pada saluran napas bagian bawah
(asma), dan pada kulit (eksim/kaligata). Dari seluruh penyakit akibat alergi, angka kejadian
ranitis diperkirakan lebih kurang sebanyak 20%, asma antara 2-10% dan eksim 1-2%. Alergi
sudah menjadi penyakit umum dalam masyarakat kita. Hal ini disebabkan penyebabnya ada
dimana-mana, tidak disadari datangnya, dan kurang diperhatikan masyarakat. Masyarakat
masih menganggap bahwa penyakit ini dapat sembuh dengan sendirinya . pada kenyataannya,
penyakit ini dapat hilang setelah diobati, kemudian timbul lagi setelah obatnya habis. Artinya
alergi adalah sebuah penyakit kambuhan yang tidak dapat diobati. Terjadinya alergi didalam
tubuh yaitu sel limfosit membentuk suatu antibodi yang mampu mengikat antigen seperti
kuman dan sebagainya. Jika tubuh dalam keadaan normal, antigen tersebut tidak akan
menyebabkan sakit , karena limfosit memproduksi antibodi yang dapat melindungi tubuh.
Antibodi ini disebut : immunoglobulin. Pada tubuh normal, immunoglobulin yang terbentuk
adalah IgA, IgM, dan IgG. Pada orang yang menderita alergi, immunoglobulin yang terbentuk
adalah IgE. Immunoglobulin ini tidak mampu melindungi tubuh, tetapi justru akan
menimbulkan gangguan pada kulit, saluran pernapasan, atau saluran pencernaan. Gejala yang
timbul kemudian disebut alergi. IgE akan mengikat alergen dipermukaan sel dan melepaskan
histamin (zat yang menimbulkan kepekaan tubuh) yang ada didalam sel. Histamin
menyebabkan hidung berair, hidung tersumbat , kulit gatal, dan sesak napas. Karenanya ,
histamin disebut juga sebagai mediator (perantara) timbulnya gejala alergi.

Alergi adalah perubahan reaksi tubuh / pertahanan tubuh tehadap suatu benda asing yang
terdapat didalam lingkungan hidup sehari-hari. Agar tidak terkena penyakit, tubuh
mempunyai suatu cara untuk menghadapi benda asing yang masuk. Cara ini disebut sistem
imun. Ada dua macam sistem imun, yakni sistem imun spesifik dan sistem imun non spesifik.
a. Sistem Imun Spesifik
Sistem imun spesifik terjadi didalam tubuh. Untuk menangkal gangguan benda
asing, tubuh akan mengeluarkan kelenjar limfosit yang berasal dari sel darah putih
untuk melawan gangguan bakteri, kuman, virus atau jamur.
b. Sistem Imun Nonspesifik
Dalam sistem imun nonspesifik ini, tubuh mengeluarkan tanda-tanda untuk
melawan benda asing berupa kuman, bakteri, virus, jamur dan alergen (polutan).
Polutan yang meliouti debu rumah, asap pabrik, asap kendaraan, bulu binatang, dan
sebagainya disebut juga antigen. Tanda-tanda yang dimaksud adalah bersin dan batuk,
yang berguna untukmerangsang benda asing / lendir yang banyak dan mengganggu
saluran pernapasan agar keluar dari dalam tubuh. Disamping itu, ludah, asam lambung,

6
keringat, air mata dan lilin ditelinga dibentuk tubuh untuk menghancurkan kuman atau
benda-benda kecil.

3.1.2 Jenis Alergi


Alergi dibagi menjadi dua tipe. Tipe pertama adalah alergi berdasarkan penyebabnya .
tipe kedua adalah alergi berdasarkan gejala yang muncul ditubuh.
a. Tipe pertama ( Berdasarkan Penyebab)
Alergi yang dibedakan atas dasar penyebabnya juga terbagi atas dua macam,
yaitu penyebab yang berasal dari luar tubuh (ekstrinsik) dan penyebab yang
berasal dari dalam tubuh (ekstrinsik).
Penyebab yang berasal dari luar tubuh terdiri dari hal-hal sebagai berikut:
 Alergi terhadap debu rumah, kapuk, dan serbuk sari bunga, biasanya
berupa asma dan batuk
 Alergi terhadap makanan, seperti udang, kepiting, susu, dan telur.
Biasanya berupa alergi kulit
 Alergi terhadap tembaga, kulit, rantai jam tangan, dan sebagainya
 Alergi terhadap obat-obat antibiotik, seperti tetrasiklin

Sementara itu, penyebab yang berasal dari dalam tubuh (intrinsik) pada
umumnya merupakan faktor keturunan (genetis).

b. Tipe kedua (Berdasarkan Gejala)


 Tipe cepat, reaksi timbul 15-20 menit setelah alergen masuk kedalam
tubuh penderita.
 Tipe lambat,reaksi baru timbul 2 atau 3 hari setelah tubuh kontak dengan
alergen.
 Jika terjadi pada kulit, yang timbul adalah gejala eksim. Jika terjadi pada
hidung, yang timbul adalah rinitis, sinusitis, dan polip hidung.

Kedua tipe alergi ini paling banyak ditemui di Indonesia. Dibandingkan


dengan alergi tipe lambat, alergi tipe cepat kasusnya lbih banyak terjadi . di
Indonesia, kemunculan IgE lebih sering dibandingkan dengan di negara
maju(Eropa). Hal ini disebabkan Indonesia terletak di wilayah tropis. IgE juga dapat
diproduksi oleh cacing, virus dan limfosit.
Alergi tipe cepat biasanya disebabkan alergen hirup, alegen makanan dan
alergen obat-obatan. Alergi lambat biasanya, selain oleh alergen makanan, juga
disebabkan oleh alergen yang menempel dikulit. Alergen tipe lambat membutuhkan
waktu yang agak lama dan menimbulkan reaksi lokal, seperti gejala eksim dan
bintik-bintik berair dilokasi tubuh tertentu. Misalnya alergi pada saluran pernapasan
(asma bronkial), alergi pada kulit (biduran, kaligata, eksim) dan alergi pada saluran
pencernaan..

7
3.1.3 Faktor-Faktor Penyebab Alergi
Gejala alergi jarang menimbulkan kematian. Namun, tetap saja perlu diwaspadai.
Sebagai contoh serangan asma yang berat ditambah reaksi terhadap obatyang diminum
anak-anak akan menimbulkan shock(pingsan). Jika tidak segera ditolong, serangan ini akan
menyebabkan kematian. Beriku ini beberapa faktor penyebab alergi yang harus diwaspadai.
a. Faktor keturunan (Genetis)
Walaupun alergi dapat terjadi pada smua orang dan semua golongan umur-
sejak bayi sampai berusia lanjut, risiko terbesar ada pada anak yang membawa
bakatalergi yang diturunkan oleh orangtuanya. Pada anak ini, gejala, gejala alergi
(seperti asma, alergi makanan, dan alergi obat) menjadi sering muncul.
Jadi, alergi biasanya hanya terjadi pada orang tertentu, yang mempunyai faktor
penentu yang dibawa sejak lahir(keturunan). Misalnya pada anak penderita asma
ternyata mempunyai orang tua (ayah atau ibu) atau saudara (kakak, adik, paman,
bibi) yang menderita asma atau alergi jenis lain. Dapat jadi juga, alergi tidak
diturunkan kepada generasi pertama, tetapi pada generasi selanjutnya, seperti
cucu.
Banyak orang yang tidak mengalami alergi dalam waktu cukup la,a, tetapi
setelah5-10 tahun ternyata mengalaminya, dengan kerentanan yang sama terhadap
alergen yang diderita orang tuanya. Perlu diingat juga, walaupun kedua orang
tuanya tidak menderita alergi, dapat juga seorang anak menderita alergi. Anak
seperti ini memilikikemungkinan terkena alergi sebesar 12,5%. Namun, anak yang
salah satu orang tuanya menderita alergi, kemungkinannyamenjadi 19,8%. Jika
kedua orang tuanya menderita alergi, kemungkinan anakitu menderita alergi
bertambah lagi menjadi 42,9%.
b. Faktor Kejiwaan
Faktor lain juga sering menjadi pencetus alergi adalah gangguan kejiwaan,
seperti rasa cemas, marah, dan takut. Gejala yang sering munculadalah eksim pada
kulit. Pada orang yang memiliki “bakat” alergi, sifat pemarah, pencuriga, dan
emosional akan menyebabkan timbulnya gejala gangguan alergi akut pada kulit.

2.1.4 Contoh Alergi


a. Asthma
Jika alergen kontak dengan saluran pernapasan, serangan asma dengan gejala sesak
napas akan timbul. Ini akibat terjadinya penyempitan saluran pernapasan. Alergen
biasanya menyebabkan timbulnya banyak lendir di tenggorokan dan saluran pernapasan.
Kejadian ini terutama muncul pada malam hari. Gejala yang menonjol dari asma berupa
sesak napas, napas berbunyi, dan batuk yang berlang-ulang.
b. Ranitis Alergi
Gejalanya berupa hidung tersumbat, gatal dan bersin-bersin, ingus mengalir terus
menerus, gatal ditenggorokan, dan kadang-kadang batuk akibat rangsangan dari ingus
yang jatuh ketenggorokan. Gejala ranitis sering pula diikuti gejala konjungtivitis
(peradangan selaput lendi mata).

8
c. Alergi Saluran Pencernaan
Alergi ini jarang terjadi pada bayi yang minum ASI. Namun, dapat terjadi jika
ibunya minum susu sapi. Intinya, alergi saluran pencarnaan paling banyak terjadi pada
anak yang minum susu sapi, dengan gejala berupa muntah , diare dan kehilangan nafsu
makan.
d. Eksim
Eksim( dermatitis Atopi) merupakan penyakit keradangan kulit yang kronis,
ditandai rasa gatal ringan sampai berat, bersifat kumat-kumatan. Faktornya bisa karena
faktor genetik terkait kelainan sawar kulit, kelainan immunologik, dan faktor
lingkungan.
e. Biduran ( Urtikaria)
Gejalanya berupa bentol berwarna kemerahan dibagian tubuh setempat. Jika
dibiarkan, gejalanya dapat lebih hebat, yaitu timbulnya pembengkakan dihidung , muka,
dan bibir. Bahkan dapat mengakibatkan gangguan pernapasan jika terjadi di mulut.
(Widjaja,2008)

2.1.6 Diagnosa Alergi


Sejumlah tes yang bisa dilakukan untuk mendeteksi apakah gejala yang anda derita
disebabkan oleh alergi, dan mengidentifikasi allergen yang bersangkutan.
1.Tes Melalui Kulit
Sel mast yang dilekati antibodi alergi IgE, ditemukan di seluruh jaringan kulit, lapisan
dalam hidung, mulut, lidah, jalan napas paru dan sepanjang usus Kulit anda dapat digunakan
sebagai tempat tes untuk mengetahui apa yang terjadi pada bagian lain tubuh anda. Sebuah
tusukan kecil dibuat pada bagian muka atau punggung kulit lengan anda dengan sebualh jarum
atau lanset melalui setetes alergen. Jika allergen memicu pelepasan histamin, anda akan
merasakan reaksi gatal kemerahan dalam beberapa menit. Bercak merah ini kemudian
membengkak dan melepuh di tengahnya, dan mencapai ukuran maksimum dalam waktu 20
menit, lalu memudar dalam beberapa jam. Ukuran bengkaknya rergantung pada kadar alergi
anda terhadap allergen tertentu tersebut. Tes melalui kulit ini hanya menggunakan sejumlah
kecil allergen yang dipaparkan ke dalam! kulit hingga tes ini cukup aman dan dapat dilakukan
pada kelompok usia mana pun. Duapuluh hinggadengan tigapuluh allergen dapat dites pada
saat yang sama Perlu beberapa waktu bagi sel mast di seluruh tubuh untuk dapat dilapisi
antibodi IgE, sehingga tes kulit hasilnya mungkin negatif pada anak di bawah usia tiga tahun,
meskipun sebenarnya ia alergi terhadap allergen tersebut. Bahkan jika anda menunjukkan hasil
positif terhadap suatu allergen, anda mungkin tak mendapat gejala apapun bila terjadi kontak
dengan allergen itu karena tubuh memiliki mekanisme, vang mampu meredam reaksi terhadap
allergen yang terhirup. Bila tes kulit yang positif berhubungan dengan gejalanya, pasti itu
disebabkan alergi terhadap allergen tersebut.
2.Tes Bercak Kulit
Pada tes ini, larutan beberapa allergen yang umum menyebabkan dermatitis kontak
seperti bahan- bahan kosmetik, nikel atau zat pengawet ditaruh pada kulit punggung anda dan
dibiarkan dengan balutan khusus selama tiga hari. Jika timbul bercak- bercak merah dan gatal

9
yang menonjol pada kulit, berarti hasilnya positif. Sama dengan sejarah gejala pada kulit, tes
ini memiliki ketepatan tinggi.
3.Tes Darah (Cap-Rast)
Tes darah (dikenal sebagai CAP-RAST) kini sering digunakan untuk menguji adanya
antibodi IgE dalam darah. Berbeda dengan tes kulit, tes ini dapat secara akurat mengukur
jumlah antibodi alergi yang ada dalam tubuh secara tepat, dan biasanya hasilnya bertingkat
dengan skala nol sampai enam. Jika tidak ada atau hanya sedikit antibodi (0 sampai ditemukan,
anda cenderung tak akan menderita penyakit alergi, tetapi kadar sedang (2 ke atas) dapat
dihubungkan dengan keadaan alergi. Seperti halnya tes kulit, 20 sampai 30 allergen dapat dites
dalam satu sampel darah. Tes darah akan sangat berguna jika anda mengkonsumsi antihistamin
untuk mengendalikan alergi anda, karena hal ini akan menghambat reaksi kulit, atau jika anda
menderita eksim, hingga tes tusukan atau tes bercak kulit sulit dilakukan.
4.Tes Lain
Ada pula sejumlah tes lain untuk alergi. Di antaranya adalah tes netralisasi/provokasi
(teknik Miller); tes sitotoksik sel darah; analisis rambut; tes Vega;kinesiologi terapan; dan
metode refleks aurikular jantung. Rasionalisasi tes ini sulit dipahami dan hasilnya sering tidak
sesuai dengan hasil yang didapat dari tes tusukan kulit, tes bercak kulit atau CAP-RAST tidak
ini Kini tes-tes tes direkomendasikan lagi.

3.1.7 Obat-Obatan Untuk Alergi


Golongan obat anti-alergi (juga dikenal sebagai pengimbang sel mast), termasuk di
antaranya sodium kromoglikat dan nedokromil sodium, tetap unik karena obat ini bekerja
dengan mencegah sel mast dan eosinofil melepaskan histamin dan zat kimia lainnya
menyebabkan peradangan. Obat ini harus dikonsumsi sebelum anda berkontak dengan allergen
jadi anda harus mengkonsumsinya secara teratur. Efek sampingnya yang minim membuatnya
cocok untuk mengatasi alergi, terutama alergi konjungtivitis demam serbuk sari dan asma,
khususnya bagi anak yang memerlukan terapi jangka panjang bila ada kekhawatiran adanya
efek samping dari golongan obat lain (Widjaja,2008)
Faktor terpenting untuk mengatasi alergi adalah mengenali allergen yang
menyebabkan gejala alergi, dan menghindari kontak dengannya. Namun ada sejumlah obat
yang jika digunakan dengan benar, dapat meredakan gejalanya, dan mampu mengurang radang
jaringan akibat alergi kronis. Berikut obat untuk alergi:

1. Dekongestan
Obat tetes hidung atau semprotan dekongestan seperti efedrin dan
xylometazolin (Otrivine atau Sudafed) bekerja dengan menyempitkan pembuluh darah
yang mensuplai lapisan tepi hidung, hingga membuat hidung jaringan mengkerut dan
melapangkan sumbatan di hidung. Obat-obatan ini bekerja sangat cepat dan efektif,
namun sebaiknya jangan digunakan untuk jangka waktu terlalu lama karena akan
menutup suplai darah dengan menyempitkan pembuluh darah, hingga dapat
menimbulkan kerusakan jaringan dan memperparah gejala anda.
2. Bronkodilator

10
Bekerja dengan melemaskan pengerutan otot-otot halus yang mempersempit
jalan napas pada paru-paru penderita asma. Obat ini bekerja cepat dan sangat efektif
bagi Obat-obatan bronkodilator
penderita asma ringan yang hanya mendaba serangan sesak napas sewaktu-waktu
setelah kontak dengan allergen tertentu atan Serelah berolah raga. Namun anda tak
dapat mengandalkan obat ini jika asma yang anda derita lebih parah, karena tidak
Inbaler dapat mengatasi radang kronik yang terus berlangsung. Agar keadaan tidak
bertambah parah, anda juga perlu pengobatan lain dengan obat anti-alergi hirup seperti
sodium kromoglikat (Intal), nedokromil sodium (Tilade) atau steroid.
3. Emolien
Emolien melemaskan dan melembabkan kulit dan merupakan pengobatan
dasar untuk kelainan kulit seperti gatal dan bersisik. Ada beberapa jenis emolien,
seperti krim Aqueous, Diprobase, dan E45 Meski beda antara ketiganya hanya sedikit,
mungkin anda merasa lebih cocok dengan salah satu produk Kebanyakan orang lebih
suka menggunakan krim daripada salep, yang terasa lengket, dan anda mungkin
disarankan untuk menambahkan emolien ke air mandi anda. Namun anda perlu
berhati-hati, karena pengawet yang terdapat dalam sebagian besar emolien dapat
menimbulkan alergi pada beberapa Orang.
4. Antihistamin
Antihistamin pertama kali ditemukan lebih dari setengah abad lalu, dan tetap
menjadi andalan untuk pengobatan alergi. Pada dekade lalu, sejumlah antihistamin
baru dan amat berbeda telah diproduksi -yang disebut 'antihistamin generasi kedua."
Seperti halnya antihistamin generasi pertama', golongan ini (lihat hal. 35) menghambat
kerja histamin yang dilepaskan dari sel mast dan sangat efektif untuk mengobati gatal-
gatal dan bersin- bersin. Namun obat-obat ini mempunyai banyak kelebihan
dibandingkan antihistamin generasi pertama, seperti klorfeniramin (Piriton).
Antihistamin generasi kedua mempunyai kelebihan tidak dapat menembus otak,
hingga tidak menim- bulkan rasa kantuk. Inilah kelebihan utamanya, jadi
mengkonsumsi obat ini tidak akan mengganggu kerja anda yang kompleks seperti
mengemudi dan mengoperasikan mesin. Obat ini juga jarang membuat mulut anda
kering.
5. Kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan obat anti-alergi dan anti- peradangan yang
sangat ampuh dan efektif. Meski menghambat pelepasan histamin dan zat
kimia kompleks dari sel mast, obat ini sangat efektif meredakan radang yang
menjadi ciri keadaan kulit kronis akibat alergi, demam serbuk sari yang
berlangsung lama dan parah (terutama yang disertai hidung tersumbat), serta
asma yang cukup parah maupun yang kronis. Obat ini bekerja pada tingkat
gen di dalam sel, mencegahnya membuat lebih banyak zat kimia penting
penyampai pesan yang disebut sitokin, yang memnpengaruhi sistem

11
kekebalan tubuh pada tingkat yang sangat mendasar. Meskipun obat ini tidak
diragukan lagi kemampuannya, ada pertimbangan mengenai efek

3.2 ASTHMA

3.2.1 Definisi Asthma


Asma pertama kali digambarkan oleh orang kuno , Dokter Yunani Hippocrates
dan berasal dari kata Yunani yang berarti "asthmaino" terengah-engah atau terengah-
engah . Sejak zaman kuno, banyak kemajuan telah dibuat dalam memahami genetika,
epidemiologi dan patofisiologi asma, suatu kondisi yang telah meningkat di prevalensi
di seluruh dunia selama 20 tahun terakhir. Asma merupakan penyakit paru obstruktif
kronis yang sering diderita oleh anak-anak, orang dewasa, maupun para lanjut usia.
Penyakit ini memiliki karakteristik serangan periodik yang stabil (Kaufman, G. 2011) .
Asma merupakan penyakit yang ditandai dengan serangan berulang sesak napas
dan mengi, dengan tingkat keparahan dan frekuensi tiap orang bervariasi, yang
disebabkan peradangan saluran udara paru-paru dan mempengaruhi sensitivitas ujung
saraf disaluran napas sehingga mudah menimbulkan iritasi. Penyakit asthma memang
sulit diberi definisi pasti. Bahkan, semakin dicari definisi yang setepat-tepatnya, kita
justru akan semakin jauh dari tujuan semula. Karena itu, sejak dahulu semua buku
hanya memberikan definisi deskriptif saja. Mula-mula, dikatakan asthma adalah
penyakit dengan serangan-serangan sesak napas atas dasar obstruksi jalan napas perifer
yang diselingi interval bebas keluhan. Ternyata definisi ini tumpang tindih dengan,
terutama dengan bronkitis kronis tipe ibstruktif, dan bisa juga dengan bronkitis kronis
tipe kataral (non-obstruktif) serta bronki-ekstasis yang sedang mengalami infeksi
sekunder sehingga akan ada akumulasi dahak kental didalam saluran pernapasan yang
juga menyebabkan penyempitan lumen. Kalau penyakit-penyakit ini diobati dengan
baik, untuk sementara keluhan sesak pasien akan hilang. Dengan demikian, penyakit-
penyakit ini akan ikut tercakup definisi di atas; dan tentunya, tidak dapat dibenarkan.
Mengingat hal tersebut, semua orang cenderung menyempitkan definisi asthma
menjadi penyakit saluran napas dengan obstruksi yang bersifat reversibel. Mengenai
reversibilitas tersebut, tak dipersoalkan apakah terjadi secara spontan atau karena
pengaruh obat. Sejak tahun 1990-an, di Belanda dikembangkan cara pengertian yang
semakin melebar lagi, yaitu CARA (Chronische Aspescifieke Respiratorische
Aandoeningen atau Gangguan Pernafasan Kronis dan Aspesifik) yang mencakup
asthma beserta bronkitis kronis, bronkiekstasis, emfisema/PPOM (COPD), dsb.
Dengan demikian, definisi ini akan selalu benar mengingat cakupan yang begitu luas,
sebaliknya untuk menentukan diagnosis asthma yang murni diperlukan kewaspadaan
yang besar, mengingat hal-hal yang telah diuraikan diatas. Belakangan dikemukakan

12
pendapat yang lebih pragmatis, yaitu bila yang kebih dominan adalah gejala gejala
akibat obstruksi saluran pernafasan yang reversibel ,diagnosisnya adalah asthma,
sedangkan bila gejala batuk dan dahak yang lebih dominan, diagnosisnya lebih
menjurus ke arah bronkitis kronis. Pada awal 1990-an dikemukakan definisi yang
boleh dikata lengkap, yaitu bahwa asthma adalah kombinasi antara keluhan sesak napas
dengan suara napas ngiik-ngiik (wheezing), dada terasa sempit, batuk, dan sifatnya
hilang timbul. Tidak dipersoalkan apakah reversibilitasnya terjadi secara spontan
ataupun karena pengaruh obat. Asthma dijumpai di seluruh dunia, menyerang laki-laki
maupun perempuan, dewasa maupun anak, kaya maupun miskin. Prevalensi asthma
berkisar antara 1-10%. Tentunya, makin lebar definisi yang dipakai, angka ini akan
semakin tinggi. Namun, memang ada peningkatan prevalensi asthma dimana-mana.
Walaupun kemajuan dunia kedokteran dan farmasi luar biasa pesat, sehingga sekarang
semakin banyak obat anti-asthma yang ampuh tersedia secara luas, sungguh
mengherankan prevalensi asthma tetap meningkat. Diperkirakan penyebabnya adalah
lebih besar faktor lingkungan daripada faktor genetik. Serangan pertama dapat timbul
pada masa kanak-kanak sampai masa setengah umur. Tampaknya, asthma lebih sering
dijumpai pada anak laki-laki daripada anak perempuan, tetapi pada pasien dewasa
perbedaan ini semakin tidak nyata (Danusantoso, 2011)

3.2.2 Pembagian Asthma


Menurut Kaufman (2011), asthma dibagi menjadi 2, yaitu asthma atopic dan
asthma non-atopik.
a. Asthma Atopik, Asma atopik umumnya dimulai pada masa kanak-kanak atau
remaja dan dikaitkan dengan pemicu yang dapat diidentifikasi yang memicu
mengi. Asma atopik sering dikaitkan dengan keluarga riwayat penyakit alergi dan
fitur atopi seperti eksim dan rinitis (Diamant (2007) dan Townshend (2007).
Penyakit umumnya terjadi sebagai akibat dari alergi Menanggapi alergen tertentu
seperti rumah tungau debu, rumput dan serbuk sari pohon dan bulu dari hewan
peliharaan domestik (Ward,2010). Paparan alergen pada individu atopik mengarah
ke pelepasan jumlah berlebihan Immunoglobulin E (IgE) dari limfosit B. IgE
mengikat sel-sel yang terlibat dalam peradangan, yang merangsang pelepasan
inflamasi mediator yang menyebabkan bronkokonstriksi dan radang saluran udara
(Holgate dan Douglass 2010). Polusi atmosfer dan merokok ibu selama kehamilan
bisa pra-buang individu untuk meningkatkan level IgE dan perkembangan asma
dan saluran napas hiper-responsif (Ward, 2010).
b. Asthma Non-Atopik, Tidak semua kasus asma disebabkan atopik, oleh karena itu
faktor-faktor yang tidak terkait dengan atopik penyakit juga penting. Beberapa
pasien yang mengalami asma dalam kehidupan dewasa sering sebagai akibat dari
pernapasan virus infeksi; ini sering disebut sebagai asma non-atopik. Asma jenis ini

13
bisa lebih gigih dengan beberapa pemicu yang jelas selain infeksi. Asma non-atopik
adalah Independen IgE (Ward,2010).

3.2.3 Faktor Penyebab dan Faktor Pencetus Asthma


Ternyata faktor genetik maupun non-genetik tidak menentukan secara mutlak
faktor apakah seseorang bakal menderita asthma, sebaliknya, tampak jelas juga bahwa
adanya faktor genetik memang memudahkan seseorang untuk mendapatkan penyakit ini.
Predisposisi pada orang-orang tertentu untuk mendapatkan asthma didasarkan atas
adanya kecenderungan hiper-reaktifitas bronkus (HRB). Mengingat bahwa HRB bisa
dipicu oleh banyak faktor, diperkirakan bukan hanya satu gen saja yang dapat
menimbulkan nya. Perlu juga diingat, bahwa walaupun seseorang mempunyai
predisposisi untuk asthma karena memang mempunyai keturunan keluarga asthma,
selama yang bersangkutan bebas dari semua faktor penyebab maupun pencetus, orang
tersebut tidak akan menderita asthma.
Secara genetis, walaupun orang memiliki gen atau gen-gen yang membuatnya
rentan terhadap asthma, kalau ia tidak terpajan trhadap stimulus yang tepat dan dengan
dosis yang cukup kuat, gen-gen tersebut tetap tak akan terekspresikan. Yang dimaksud
dengan faktor penyebab adalah bahan atau keadaan tertentu yang secara langsung dapat
menyebabkan seseorang menderita asthma. Kadang-kadang faktor ini bisa berdiri sendiri
atau menjadi penyebab tunggal (single causative agent), misalnya beberapa alergen yang
dapat ditemukan dalam udara. Kadang-kadang, faktor ini hanya menjadi landasan untuk
memungkinkan timbulnya asthma; misalnya, semua keadaan yang dapat menimbulkan
inflamasi Tractus Respiratorius. Sebaliknya, yang dimaksud dengan faktor pencetus
adalah bahan adalah bahan atau keadaan tertentu yang dapat menimbulkan serangan
asthma walaupun orang tersebut tidak menderita asthma. Dengan menyingkirkan faktor
pencetus ini selamanya, serangan juga akan hilang sendiri dan tak akan terulang. Contoh
yang khas ialah pemakaian obat anti-hipertensi golongan penyekat beta yang tak-
kardioselektif pada mereka yang tidak dapat menoleransi obat ini. Perlu diingat bahwa
seringkali kedua pengertian ini menjadi kabur, karena faktor penyebab sekaligus dapat
menjadi faktor pencetus (misalnya alergen dalam udara). Sebaliknya, faktor pencetus
hanya dapat menjadi faktor penyebab bila dalam jangka waktu lama tak diketahui faktor
apa itu, sehingga pasien berulang-ulang mendapatkan serangan asthma dengan segala
akibat sekundernya yang akan dapat menjadi alasan bagi inflamasi TR
(Danusantoso,2011).

3.2.4 Patogenesis5a Asthma


Pada dasarnya ada 6 jalur menuju penyakit asthma, yang masing-masing dapat
menjadikan seseorang menjadi pasien asthma. Tentunya, bila beberapa jalur sekaligus
teraktivasi, akan semakin memudahkan seseorang menderita penyakit ini. Walaupun ke-

14
6 jalur ini mempunyai mekanisme. Yang tak saling berhubungan sama sekali, semuanya
tertumpu pada adanya hiper-reaktivitas bronkus (HRB); dengan perkataan lain, pada
orang orang-orang yang tanpa HRB, adanya jalur-jalur ini dengan beraneka ragam faktor
penyebab maupun pencetus tidak akan menyebabkan timbulnya penyakit asthma. Dalam
kehidupan sehari-hari kita bisa melihat begitu banyak orang yang berkecimpung dengan
berbagai alergen, tetapi tetap bebas dari asthma; para 'groomer' anjing atau kucing
sehari-hari mencukur entah berapa banyak anjing dan kucing selama bertahun-tahun.
Begitu pula jalur infeksi, walaupun manusia pada umumnya pernah mengalami infeksi
saluran pernafasan atas seperti flu, dsb., hanya sedikit yang diikuti serangan asthma.

Pada kontak pertama, alergen X akan mensensitasi limfosit B sehingga kemudian


berubah menjadi plasma. Kalau pajanan terhadap X ini berlangsung terus, sel Plasma
yang sekarang sudah tersensitasi tersebut akan mengeluarkan IgE-anti X. IGE-anti-X

15
kemudian akan terfiksasi pada sel mast yang banyak terdapat di mukosa bronkus. Bila
pajanan tetap saja berlangsung terus, akan terjadi ikatan antara X dan IgE yang sudah
terfiksasi pada sel mast. Untuk bisa mengaktifkan jalur ini, X harus merupakan alergen
bipolar, yaitu molekul X dapat mengikat 2 IgE. Jadi pajanan terhadap harus secara
bertubi-tubi sehingga mampu meng- aktivasi limfosit B. Sebagai akibatnya, kemudian
akan terbentuk sel plasma dan juga sel mast yang sudah memiliki IgE terhadap X tsb
Terikatnya X dengan IgE-antiX akan menyebabkan degranulasi sel mast dan dari granul-
granul ini akan keluar berbagai mediator inflamasi yang sebelumnya memang sudah
terbentuk dan tersimpan di dalamnya (dahulu dikenal sebagai mediator primer), antara
lain histamin, tumor necrosis factor (TNF-a), interleukin-4 (IL-4) dan IL-13. Beberapa
menit kemudian dinding sel mast juga akan menghasilkan apa yang dahulu dikenal
sebagai mediator sekunder yaitu slow reacting Substance-A (SRS-A). Belakangan
diketahui bahwa SRS-A adalah juga sekelompok mediator inflamasi, antara lain
leukotrien C, (LTC), prostaglandin D PGD), dan faktor agregasi trombosit atau platelet
activating factor (PAF) Histamin akan cepat sekali (dalam hanya beberapa enit saja)
merangsang reseptor H, pada tunica muscularis dan reseptor H, pada mukosa bronkus,
sehingga segera timbul bronkokonstriksi serta hipervaskularisasi mukosa.
Hipervaskularisasi ini selanjutnya menyebab- kan edema mukosa dan hipersekresi dahak
yang lengket dan kental di dalam lumen bronkus. Ini adalah TRIAS yang khas untuk
penyakit asthma! Dengan demikian, lumen bronkus akan menyempit secara akut dan
pasien akan merasakan mendadak napasnya terasa sesak dan akan terdengar suara napas
tambahan ngiük-ngiik (whee- zing). Bila obstruksi ini masih ringan, wheezing hanya
bisa didengarkan dengan auskultasi saat ekspirasi karena ekspirasi adalah proses pasif
maka aliran udara jalannya pelahan-lahan), tetapi, bila obstruksi semakin narah,
wheezing juga akan terdengar pada saat inspirasi. Bila lebih berat lagi, wheezing ini
dapat terdengar dengan kuping telanjang, bahkan bisa dari jarak be- herapa meter. Semua
ini juga dikenal sebagai immediate response (IR). Di samping menyebabkan TRIAS-
segera, histamin juga berperan dalam meningkatkan profil inflamasi mukosa bronkus
dan akan merangsang ujung-ujung saraf untuk mengeluarkan berbagai neuropeptid yang
juga berperan sebagai mediator inflamasi. (lihat selanjutnya dalam Jalur Rangsangan
Fisik dan Kimiawi atau RFK maupun jalur stress Psikis) Histamin akan cepat sekali
mengalami degradasi dan inaktivasi karena ada beberapa enzim dalam tubuh yang
bekerja sebagai histaminase. Dengan demikian, seharusnya IR hanya bisa berlangsung
sebentar saja. Namun, seringkali IR disusul segera dengan TRIAS- lambat (juga disebut
late asthmatic response atau LAR) karena efek LTC, dan PGD, yang baru terbentuk
tersebut dan dapat berlangsung lama (dari beberapa jam sampai beberapa hari). Selain
itu, TNF-a, IL-4, LTC dan PGD, juga mempunyai efek kemotaktik terhadap netrofil dan
eosinofil serta juga mengaktivasi eosinofil; sedang IL-13 di samping menyebabkan

16
hiper- sekresi mukus juga mendatangkan eosinofil ke bronkus dan meningkatkan
produksi IgE.
PAF, selain menyebabkan agregasi trombosit, juga akan menyebabkan
eosinofil berdatangan, menginduksi proses inflamasi dan hipersekresi bronkus, serta
meng- hambat gerakan menyapu keluar silia sehingga akan memperberat serangan
asthma. Bila proses pemajanan terhadap antigen tersebut berjalan terus, lama-kelamaan
semua kejadian ini akan semakin memperparah inflamasi mukosa bronkus Belakangan
ini, makin terungkap bahwa mekanisTme di atas bukanlah suatu rentetan dari single-
step-mecha nisms, melainkan masing-masing tahap ternyata terdiri atas berbagai sub-
tahap dan melibatkan berbagai mediator inflamasi lainnya. Sekedar sebagai contoh.
dapat dikemukakan bahwa alergen hanya mampu merangsang limfosit B kalau dibantu
oleh antigen presenting cell dan limfosit T helper-2. Karena buku saku ini bukanlah buku
khusus tentang asthma, hanya tahap-tahap prinsip saja yang dikemukakan di sini. Di
samping mediator-mediator inflamasi yang sudah disebut di atas, dinding sel mast juga
menghasilkan PGE,.PGE,, dan prostacyclin; dan ketiganya berkhasiat sebagai bronko-
dilator. Ditambah dengan adanya beberapa enzim tubuh yang bekerja sebagai
histaminase lengkaplah sudah mekanisme perlindungan tubuh ter nadap serangan
alergen (tentunya predisposisi genetik juga ikut berperan!) Sekarang menjadi jelas
mengapa semakin tinggi kadar total IgE darah seseorang (jadi makin banyak pula sel
mast yang sudah memiliki lgE ini, semakin gampang pula yang bersangkutan menderita
penyakit asthma.
Tampaklah bahwa pada hakekatnya serangan asthma akut hanyalah suatu
manifestasi reaksi hipersensitivitas yang menyerang saluran pernapasan bagian I tipe
bawah, khususnya saluran napas kecil (bronkus dan bronkeolus), yang dapat berlanjut
menjadi asthma kronis yang berdasarkan proses intlamasi setempat. Ini adalah definisi
asthma yang kontemporer. Bandingkan definisi ini dengan definisi klasik pada awal Bab
ini untuk menghayati betapa pesatnya kemajuan dunia kedokteran. Kesimpulan ini
dalam praktek sehari-hari didukung oleh fakta bahwa di dalam sputum pasien asthma
berat ditemukan jauh lebih banyak netrofil, eosinofil, dan berbagai mediator inflamasi
daripada penderita yang asthma-nya masih moderat, apalagi kalau dibandingkan dengan
orang normal. Secara tidak sengaja, masih datang bukti dari segi lain, yaitu
ditemukannya gas NO (nitrogenoksida) dalam udara ekspirasi manusia pada tahun 1991
yang kemudian secara cepat berkembang menjadi ukuran keparahan derajat inflamasi di
paru. Ternyata NO dalam udara ekspirasi pasien asthma semakin meningkat sesuai
dengan keparalhan proses inflamasi di paru, karena NO ini memang diproduksi sel epitel
saluran pernapasan dan sel-sel penggerak proses inflamasi. Khususnya eosinophil

17
3.2.5 Diagnosis Asthma
Diagnosa penyakit asma bronkial perlu dipikirkan bilamana ada gejala batuk yang
disertai dengan wheezing (mengi) yang karakteristik dan timbul secara episodik. Gejala
batuk terutama terjadi pada malam atau dini hari, dipengaruhi oleh musim, dan aktivitas
fisik. Adanya riwayat penyakit atopik pada pasien atau keluarganya memperkuat dugaan
adanya penyakit asma. Pada anak dan dewasa muda gejala asma sering terjadiakibat
hiperaktivitas bronkus terhadap alergen,banyak diantaranya dimulai dengan adanya
eksim, rinitis, konjungtivitis, atau urtikaria.
Penderita asma yang tidak memberikan reaksi terhadap tes kulit maupun uji
provokasi bronkus, tetapi mendapat serangan asma sesudah infeksi saluran napas,
disebut asma idiosinkrasi. Dermatitis atopik dan alergi makanan merupakan penyakit
alergi yang pertama kali muncul pada usia tahun pertama anak, kemudian dapat
berkembang menjadi alergi respiratorik. Penyakit penyerta seperti otitis media,
konjungtivitis, rinitis, polip hidung, sinusitis, atau hiperplasia tonsil sering ditemukan.
Diagnosis asma dapat ditegakkan melalui gejala klinis, gambaran radiologis paru dan
test provokasi. Uji faal paru dilakukan untuk menentukan berat ringannya obstruksi
saluran napas, variasi dari fungsi saluran napas, evaluasi hasil terapi, dan beratnya

18
serangan asma. Variasi nilai arus puncak ekspirasi (APE) t 20% antara pagi dan sore hari
mempunyai nilai diagnostik terhadap asma, dan dapat menentukan derajat
hiperreaktivitas bronkus. Hal lain yang mendukung diagnosa asma antara lain: adanya
variasi pada arus puncak ekspirasi (APE) 15% pada pagi dan sore hari, kenaikan t 15%
pada APE atau volume ekspirasi detik 1 (VEP1) setelah pemberian bronkodilator secara
inhalasi, penurunan > 20% VEP1 setelah uji provokasi bronkus. Uji kulit dengan alergen
dilakukan sebagai pemeriksaan diagnostik pada asma ekstrinsik alergi.Keadaan alergi
ini dihubungkan dengan adanya produksi antibodi Ig E.
Uji provokasi bronkus dapat menentukan derajat beratnya hiperreaktivitas
bronkus. Untuk uji provokasi dapat dilakukan inhalasi dengan histamin, metakolin,
sulfur dioksis, air dingin, atau dengan latihan fisik. Pemeriksaan radiologis dilakukan
hanya untuk menyingkirkan kemungkinan adanya penyakit paru lain. Pemeriksaan
patologi ditemukan adanya hipertrofi otot polos bronkus, peningkatan sekresi mukus
dalam lumen bronkus, edema pada mukosa saluran nafas, inflamasi pada dinding dan
lumen saluran napas dengan infiltrasi sel eosinofil dan netrofil. Kay membagi obstruksi
bronkus atas 3 fase utama yaitu fase cepat (spasmogenik), fase lambat menetap
(late,sustained), fase subakut/kronik. Fase cepat identik dengan respon awal yang terlihat
pada uji provokasi bronkus. Ciri utamanya adalah pelepasan histamin sebagai mediator
utama yang mengakibatkan spasme otot polos bronkus, reaksi ini terjadi sangat cepat
dan berakhir setelah 1-2 jam. Reaksi dapat menghilang dengan sendirinya atau kemudian
diikuti fase lambat menetap. Fase lambat menetap ditandai oleh spasme bronkus dan
akumulasi sel-sel neutrofil, dengan mediator utamanya adalah leukotrin, prostaglandin
dan tromboksan.Serangan dapat berlangsung 6-8 jam atau lebih. Pada fase subakut,
reaksi inflamasimerupakan ciri utamanya dan terdapat infiltrasi eosinofil dan sel
mononuklear. Fase lambat menetap dan fase subakut sangat mempengaruhi terjadinya
asma kronis. Tujuan pengobatan asma bronkial adalah agar penderita dapat hidup
normal, bebas dari serangan asma serta memiliki faal paru senormal mungkin,
mengurangi reaktifasi saluran napas, sehingga menurunkan angka perawatan dan angka
kematian akibat asma.
Suatu kesalahan dalam penatalaksanaan asma dalam jangka pendek dapat
menyebabkan kematian , sedangkan jangka panjang dapat mengakibatkan peningkatan
serangan atau terjadi obstruksi paru yang menahun. Untuk pengobatan asma perlu
diketahui juga perjalanan penyakit, pemilihan obat yang tepat,cara untuk menghindari
faktor pencetus.Dalam penanganan pasien asma penting diberikan penjelasan tentang
cara penggunaan obat yang benar, pengenalan dan pengontrolan faktor alergi. Faktor
alergi banyak ditemukan dalam rumah seperti tungau debu rumah, alergen dari hewan,
jamur, dan alergen di luar rumah seperti zat yang berasal dari tepung sari, jamur, polusi
udara. Obat aspirin dan anti inflamasi non steroid dapat menjadi faktor pencetus asma.
Olah raga dan peningkatan aktivitas secara bertahap dapat mengurangi gejala asma.

19
Psikoterapi dan fisioterapi perlu diberikan pada penderita asma.Obat asma digunakan
untuk menghilangkan dan mencegah timbulnya gejala dan obstruksi saluran pernafasan.
Pada saat ini obat asma dibedakan dalam dua kelompok besar yaitu reliever dan
controller (Meiyanti,2000).

3.2.6 Pengobatan Asthma


Pengobatan Asthma menurut Meiyanti (2000):
1. Reliever
Adalah obat yang cepat menghilangkan gejala asma yaitu obstruksi saluran
napas . Controller adalah obat yang digunakan untuk mengendalikan asma yang
persisten. Obat yang termasuk golongan reliever adalah agonis beta-2,
antikolinergik,teofilin,dan kortikosteroid sistemik. Agonis beta-2 adalah bronkodilator
yang paling kuat pada pengobatan asma. Agonis Beta-2 mempunyai efek bronkodilatasi,
menurunkan permeabilitas kapiler , dan mencegah pelepasan mediator dari sel mast dan
basofil. Golongan agonis beta-2 merupakan stabilisator yang kuat bagi sel mast, tapi obat
golongan ini tidak dapat mencegah respon lambat maupun menurunkan hiperresponsif
bronkus. Obat agonis beta-2 seperti salbutamol, terbutalin,fenoterol, prokaterol dan
isoprenalin,merupakan obat golongan simpatomimetik .Efek samping obat golongan
agonis beta-2 dapat berupa gangguan kardiovaskuler,peningkatan tekanan darah, tremor,
palpitasi, takikardi dan sakit kepala . Pemakaian agonis beta-2 secara reguler hanya
diberikan pada penderita asma kronik berat yang tidak dapat lepas dari bronkodilator.
Antikolinergik dapat digunakan sebagai bronkodilator, misalnya ipratropium bromid
dalam bentuk inhalasi. Ipratropium bromid mempunyai efek menghambat reseptor
kolinergik sehingga menekan enzim guanilsiklase dan menghambat pembentukan
cGMP. Efek samping ipratropium inhalasi adalah rasa kering di mulut dan tenggorokan.
Mula kerja obat ini lebih cepat dibandingkan dengan kerja obat agonis beta- 2 yang
diberikan secara inhalasi. Ipratropium bromid digunakan sebagai obat tambahan jika
pemberian agonis beta-2 belum memberikan efek yang optimal. Penambahan obat ini
terutama bermanfaat untuk penderita asma dengan hiperaktivitas bronkus yang ekstrem
atau pada penderita yang disertai dengan bronkitis yang kronis. Obat golongan xantin
seperti teofilin dan aminofilin adalah obat bronkodilator yang lemah, tetapi jenis ini
banyak digunakan oleh pasien karena efektif, aman , dan harganya murah . Dosis teofilin
peroral 4 mg/kgBB/kali,pada orang dewasa biasanya diberikan 125-200 mg/kali. Efek
samping yang ditimbulkan pada pemberian teofilin peroral terutama mengenaisistem
gastrointestinal seperti mual, muntah,rasa kembung dan nafsu makan berkurang. Efek
samping yang lain ialah diuresis. Pada pemberian teofilin dengan dosis tinggi dapat
menyebabkan terjadinya hipotensi , takikardi dan aritmia, stimulasi sistem saraf pusat.

2. Controller

20
Obat yang termasuk dalam golongan controller adalah obat anti inflamasi
seperti kortikosteroid, natrium kromoglikat, natrium nedokromil , dan
antihistamin aksi lambat. Obat agonis beta-2 aksi lambat dan teofilin lepas lambat
dapat juga digunakan sebagai controller. Natrium kromoglikat dapat mencegah
bronkikonstriksi respon cepat atau lambat, dan mengurangi gejala klinis penderita asma.
Natrium kromoglikat lebih sering digunakan pada anak karena dianggap lebih aman
daripada kortikosteroid . Perkembangan terbaru natrium kromoglikat menghasilkan
natrium nedoksomil yang lebih poten. Obat ini digunakan sebagai tambahan pada
penderita asma yang sudah mendapat terapi kortikosteroid tetapi belum mendapat hasil
yang optimal. Antihistamin tidak digunakan sebagaiobat utama untuk mengobati asma.,
biasanyahanya diberikan pada pasien yang mempunyai riwayat penyakit atopik seperti
rinitis alergi.Pemberian antihistamin selama 3 bulan pada sebagian penderita asma
dengan dasar alergi dapat mengurangi gejala asma. Pengobatan asthma menurut
Meiyanti (2000):

21
BAB IV
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah ini adalah Sistem imun merupakan sistem kekebalan
yang mempertahankan tubuh dari alergen / zat asing yang dapat membahayakan tubuh
dengan mekanisme tertentu yaitu spesifik dan non spesifik yang mempunyai 4 respon
hipersensitifitas antara lain Reaksi hipersensitivitas tipe 1, tipe 2, tipe 3, dan tipe 4.
Alergi merupakan adalah perubahan reaksi tubuh / pertahanan tubuh tehadap suatu benda
asing yang terdapat didalam lingkungan hidup sehari-hari. Agar tidak terkena penyakit, tubuh
mempunyai suatu cara untuk menghadapi benda asing yang masuk. Sedangkan asthma
merupakan penyakit yang ditandai dengan serangan berulang sesak napas dan mengi,
dengan tingkat keparahan dan frekuensi tiap orang bervariasi, yang disebabkan
peradangan saluran udara paru-paru dan mempengaruhi sensitivitas ujung saraf
disaluran napas sehingga mudah menimbulkan iritasi. Baik alergi dan asthma memiliki
diagnosis dan cara pengobatan/treatment masing-masing.

5.2 Saran
Saran dari penulisan makalah ini adalah sebaiknya mahasiswa lebih teliti dalam
memilah materi yang disampaikan. Selain itu, referensi yang digunakan sebaiknya
juga dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya serta pihak dosen membimbing dan
mengarahkan mahasiswa dengan baik.

22
DAFTAR PUSTAKA
Danusantoso, Halim.2011.Buku Saku Ilmu Penyakit Paru.Jakarta:EGC.
Diamant Z, Diderik Boot JD, Virchow JC .2007.Summing up 100 years of asthma.
Respiratory Medicine. 101, 3, 378-388.
Hikmah, Nuzulul., I Dewa Ayu Ratna Dewanti.2010. Seputar Reaksi
Hipersensitivitas (Alergi). Stomatognatic (J.K.G Unej).Vol. 7 No. 2.halaman
118-111.
Holgate ST, Douglass J.2010.Fast Facts: Asthma Third edition.Oxford:Health Press
Limited.
Kaufman, G.2011.Asthma: Pathophysiology, Diagnosis And Management.
Nursing Standard.vol 26 no 5.halaman 48-50.
Meiyanti., Julius I. Mulia.2000.Perkembangan Patogenesis dan Pengobatan Asma
Bronkial.Jurnal Kedokteran Trisakti.vol 19 no 3. Halaman 125-131.
Townshend J, Hails S, Mckean M.2007.Diagnosis of asthma in children. British
Medical Journal. 335, 7612, 198-202.
Ward JPT, Ward J, Leach RM .2010.The Respiratory System at a Glance. Third
edition.Chichester: Blackwell
Widjaja, M.C.2008. Mencegah Dan Mengatasi Alergi Dan Asma Pada Balita.
Jakarta:Kawan pustaka.

23

Anda mungkin juga menyukai