Disusun Oleh:
AISYAH MIFTAHUL ILMIYAH (18930002)
M. MURSYID ALI (18930008)
ULVA NUR RAHMAWATI (18930016)
INDAH FITRIANI (18930032)
JURUSAN FARMASI
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.2. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas presentasi
mata kuliah patologi klinik dan untuk mempelajari seputar sistem imun, alergi
dan asthma dalam konteks patologi
2
BAB II
TINJAUAN TEORI
3
Seperti halnya IgM, IgA pun mampu dibentuk janin dalam jumlah kecil.
Meskipun demikian, pada waktu lahir tidak ditemukan IgA didalam darat
tali pusat. Kadar optimal serum IgA baru tercapai setelah anak berumur 12
tahun (Widjaja,2008)
2.3 Diagnosa
Diagnosa Setiap reaksi alergi dipicu oleh suatu alergen tertentu, karena
itu tujuan utama dari diagnosis adalah mengenali alergen. Alergen bisa berupa
tumbuhan musim tertentu (misalnya serbuk rumput atau rumput liar) atau bahan
tertentu (misalnya bulu kucing). Jika bersentuhan dengan kulit atau masuk ke
dalam mata, terhirup, termakan atau disuntikkan ke tubuh, dengan segera
alergen akan bisa menyebabkan reaksi alergi. Pemeriksaan bisa membantu
menentukan apakah gejalanya berhubungan dengan allergen apa penyebabnya
serta menentukkan obat yang harus diberikan. Pemeriksaan darah bisa
menunjukkan banyak eosinofil (yang biasanya meningkat).Tes RAS
(radioallergosorbent) dilakukan untuk mengukur kadar antibodi IgE dalam
4
darah yang spesifik untuk alergen individual. Hal ini bisa membantu
mendiagnosis reaksi alerki kulit, rinitis alergika musiman atau asma alergika.
Tes kulit sangat bermanfaat untuk menentukan alergen penyebab terjadinya
reaksi alergi. Larutan encer yang terbuat dari saripati pohon, rumput, rumput
liar, serbuk tanaman, debu, bulu binatang, racun serangga, makanan dan
beberapa jenis obat secara terpisah disuntikkan pada kulit dalam jumlah yang
sangat kecil. Jika terdapat alergi terhadap satu atau beberapa bahan tersebut,
maka pada tempat penyuntikkan akan terbentuk bentol dalam waktu 15-20
menit. Jika tes kulit tidak dapat dilakukan atau keamanannya diragukan, maka
bisa digunakan tes RAS. Kedua tes ini sangat spesifik dan akurat, tetapi tes kulit
biasanya sedikit lebih akurat dan lebih murah serta hasilnya bisa diperoleh
dengan segera (Hikmah,2010).
5
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 ALERGI
3.1.1 Definisi Alergi
Alergi termasuk jenis penyakit yang paling sering dijumpai dalam masyarakat. Ada tiga
jenis atau golongan alergi, yakni alergi pada hidung (ranitis), pada saluran napas bagian bawah
(asma), dan pada kulit (eksim/kaligata). Dari seluruh penyakit akibat alergi, angka kejadian
ranitis diperkirakan lebih kurang sebanyak 20%, asma antara 2-10% dan eksim 1-2%. Alergi
sudah menjadi penyakit umum dalam masyarakat kita. Hal ini disebabkan penyebabnya ada
dimana-mana, tidak disadari datangnya, dan kurang diperhatikan masyarakat. Masyarakat
masih menganggap bahwa penyakit ini dapat sembuh dengan sendirinya . pada kenyataannya,
penyakit ini dapat hilang setelah diobati, kemudian timbul lagi setelah obatnya habis. Artinya
alergi adalah sebuah penyakit kambuhan yang tidak dapat diobati. Terjadinya alergi didalam
tubuh yaitu sel limfosit membentuk suatu antibodi yang mampu mengikat antigen seperti
kuman dan sebagainya. Jika tubuh dalam keadaan normal, antigen tersebut tidak akan
menyebabkan sakit , karena limfosit memproduksi antibodi yang dapat melindungi tubuh.
Antibodi ini disebut : immunoglobulin. Pada tubuh normal, immunoglobulin yang terbentuk
adalah IgA, IgM, dan IgG. Pada orang yang menderita alergi, immunoglobulin yang terbentuk
adalah IgE. Immunoglobulin ini tidak mampu melindungi tubuh, tetapi justru akan
menimbulkan gangguan pada kulit, saluran pernapasan, atau saluran pencernaan. Gejala yang
timbul kemudian disebut alergi. IgE akan mengikat alergen dipermukaan sel dan melepaskan
histamin (zat yang menimbulkan kepekaan tubuh) yang ada didalam sel. Histamin
menyebabkan hidung berair, hidung tersumbat , kulit gatal, dan sesak napas. Karenanya ,
histamin disebut juga sebagai mediator (perantara) timbulnya gejala alergi.
Alergi adalah perubahan reaksi tubuh / pertahanan tubuh tehadap suatu benda asing yang
terdapat didalam lingkungan hidup sehari-hari. Agar tidak terkena penyakit, tubuh
mempunyai suatu cara untuk menghadapi benda asing yang masuk. Cara ini disebut sistem
imun. Ada dua macam sistem imun, yakni sistem imun spesifik dan sistem imun non spesifik.
a. Sistem Imun Spesifik
Sistem imun spesifik terjadi didalam tubuh. Untuk menangkal gangguan benda
asing, tubuh akan mengeluarkan kelenjar limfosit yang berasal dari sel darah putih
untuk melawan gangguan bakteri, kuman, virus atau jamur.
b. Sistem Imun Nonspesifik
Dalam sistem imun nonspesifik ini, tubuh mengeluarkan tanda-tanda untuk
melawan benda asing berupa kuman, bakteri, virus, jamur dan alergen (polutan).
Polutan yang meliouti debu rumah, asap pabrik, asap kendaraan, bulu binatang, dan
sebagainya disebut juga antigen. Tanda-tanda yang dimaksud adalah bersin dan batuk,
yang berguna untukmerangsang benda asing / lendir yang banyak dan mengganggu
saluran pernapasan agar keluar dari dalam tubuh. Disamping itu, ludah, asam lambung,
6
keringat, air mata dan lilin ditelinga dibentuk tubuh untuk menghancurkan kuman atau
benda-benda kecil.
Sementara itu, penyebab yang berasal dari dalam tubuh (intrinsik) pada
umumnya merupakan faktor keturunan (genetis).
7
3.1.3 Faktor-Faktor Penyebab Alergi
Gejala alergi jarang menimbulkan kematian. Namun, tetap saja perlu diwaspadai.
Sebagai contoh serangan asma yang berat ditambah reaksi terhadap obatyang diminum
anak-anak akan menimbulkan shock(pingsan). Jika tidak segera ditolong, serangan ini akan
menyebabkan kematian. Beriku ini beberapa faktor penyebab alergi yang harus diwaspadai.
a. Faktor keturunan (Genetis)
Walaupun alergi dapat terjadi pada smua orang dan semua golongan umur-
sejak bayi sampai berusia lanjut, risiko terbesar ada pada anak yang membawa
bakatalergi yang diturunkan oleh orangtuanya. Pada anak ini, gejala, gejala alergi
(seperti asma, alergi makanan, dan alergi obat) menjadi sering muncul.
Jadi, alergi biasanya hanya terjadi pada orang tertentu, yang mempunyai faktor
penentu yang dibawa sejak lahir(keturunan). Misalnya pada anak penderita asma
ternyata mempunyai orang tua (ayah atau ibu) atau saudara (kakak, adik, paman,
bibi) yang menderita asma atau alergi jenis lain. Dapat jadi juga, alergi tidak
diturunkan kepada generasi pertama, tetapi pada generasi selanjutnya, seperti
cucu.
Banyak orang yang tidak mengalami alergi dalam waktu cukup la,a, tetapi
setelah5-10 tahun ternyata mengalaminya, dengan kerentanan yang sama terhadap
alergen yang diderita orang tuanya. Perlu diingat juga, walaupun kedua orang
tuanya tidak menderita alergi, dapat juga seorang anak menderita alergi. Anak
seperti ini memilikikemungkinan terkena alergi sebesar 12,5%. Namun, anak yang
salah satu orang tuanya menderita alergi, kemungkinannyamenjadi 19,8%. Jika
kedua orang tuanya menderita alergi, kemungkinan anakitu menderita alergi
bertambah lagi menjadi 42,9%.
b. Faktor Kejiwaan
Faktor lain juga sering menjadi pencetus alergi adalah gangguan kejiwaan,
seperti rasa cemas, marah, dan takut. Gejala yang sering munculadalah eksim pada
kulit. Pada orang yang memiliki “bakat” alergi, sifat pemarah, pencuriga, dan
emosional akan menyebabkan timbulnya gejala gangguan alergi akut pada kulit.
8
c. Alergi Saluran Pencernaan
Alergi ini jarang terjadi pada bayi yang minum ASI. Namun, dapat terjadi jika
ibunya minum susu sapi. Intinya, alergi saluran pencarnaan paling banyak terjadi pada
anak yang minum susu sapi, dengan gejala berupa muntah , diare dan kehilangan nafsu
makan.
d. Eksim
Eksim( dermatitis Atopi) merupakan penyakit keradangan kulit yang kronis,
ditandai rasa gatal ringan sampai berat, bersifat kumat-kumatan. Faktornya bisa karena
faktor genetik terkait kelainan sawar kulit, kelainan immunologik, dan faktor
lingkungan.
e. Biduran ( Urtikaria)
Gejalanya berupa bentol berwarna kemerahan dibagian tubuh setempat. Jika
dibiarkan, gejalanya dapat lebih hebat, yaitu timbulnya pembengkakan dihidung , muka,
dan bibir. Bahkan dapat mengakibatkan gangguan pernapasan jika terjadi di mulut.
(Widjaja,2008)
9
yang menonjol pada kulit, berarti hasilnya positif. Sama dengan sejarah gejala pada kulit, tes
ini memiliki ketepatan tinggi.
3.Tes Darah (Cap-Rast)
Tes darah (dikenal sebagai CAP-RAST) kini sering digunakan untuk menguji adanya
antibodi IgE dalam darah. Berbeda dengan tes kulit, tes ini dapat secara akurat mengukur
jumlah antibodi alergi yang ada dalam tubuh secara tepat, dan biasanya hasilnya bertingkat
dengan skala nol sampai enam. Jika tidak ada atau hanya sedikit antibodi (0 sampai ditemukan,
anda cenderung tak akan menderita penyakit alergi, tetapi kadar sedang (2 ke atas) dapat
dihubungkan dengan keadaan alergi. Seperti halnya tes kulit, 20 sampai 30 allergen dapat dites
dalam satu sampel darah. Tes darah akan sangat berguna jika anda mengkonsumsi antihistamin
untuk mengendalikan alergi anda, karena hal ini akan menghambat reaksi kulit, atau jika anda
menderita eksim, hingga tes tusukan atau tes bercak kulit sulit dilakukan.
4.Tes Lain
Ada pula sejumlah tes lain untuk alergi. Di antaranya adalah tes netralisasi/provokasi
(teknik Miller); tes sitotoksik sel darah; analisis rambut; tes Vega;kinesiologi terapan; dan
metode refleks aurikular jantung. Rasionalisasi tes ini sulit dipahami dan hasilnya sering tidak
sesuai dengan hasil yang didapat dari tes tusukan kulit, tes bercak kulit atau CAP-RAST tidak
ini Kini tes-tes tes direkomendasikan lagi.
1. Dekongestan
Obat tetes hidung atau semprotan dekongestan seperti efedrin dan
xylometazolin (Otrivine atau Sudafed) bekerja dengan menyempitkan pembuluh darah
yang mensuplai lapisan tepi hidung, hingga membuat hidung jaringan mengkerut dan
melapangkan sumbatan di hidung. Obat-obatan ini bekerja sangat cepat dan efektif,
namun sebaiknya jangan digunakan untuk jangka waktu terlalu lama karena akan
menutup suplai darah dengan menyempitkan pembuluh darah, hingga dapat
menimbulkan kerusakan jaringan dan memperparah gejala anda.
2. Bronkodilator
10
Bekerja dengan melemaskan pengerutan otot-otot halus yang mempersempit
jalan napas pada paru-paru penderita asma. Obat ini bekerja cepat dan sangat efektif
bagi Obat-obatan bronkodilator
penderita asma ringan yang hanya mendaba serangan sesak napas sewaktu-waktu
setelah kontak dengan allergen tertentu atan Serelah berolah raga. Namun anda tak
dapat mengandalkan obat ini jika asma yang anda derita lebih parah, karena tidak
Inbaler dapat mengatasi radang kronik yang terus berlangsung. Agar keadaan tidak
bertambah parah, anda juga perlu pengobatan lain dengan obat anti-alergi hirup seperti
sodium kromoglikat (Intal), nedokromil sodium (Tilade) atau steroid.
3. Emolien
Emolien melemaskan dan melembabkan kulit dan merupakan pengobatan
dasar untuk kelainan kulit seperti gatal dan bersisik. Ada beberapa jenis emolien,
seperti krim Aqueous, Diprobase, dan E45 Meski beda antara ketiganya hanya sedikit,
mungkin anda merasa lebih cocok dengan salah satu produk Kebanyakan orang lebih
suka menggunakan krim daripada salep, yang terasa lengket, dan anda mungkin
disarankan untuk menambahkan emolien ke air mandi anda. Namun anda perlu
berhati-hati, karena pengawet yang terdapat dalam sebagian besar emolien dapat
menimbulkan alergi pada beberapa Orang.
4. Antihistamin
Antihistamin pertama kali ditemukan lebih dari setengah abad lalu, dan tetap
menjadi andalan untuk pengobatan alergi. Pada dekade lalu, sejumlah antihistamin
baru dan amat berbeda telah diproduksi -yang disebut 'antihistamin generasi kedua."
Seperti halnya antihistamin generasi pertama', golongan ini (lihat hal. 35) menghambat
kerja histamin yang dilepaskan dari sel mast dan sangat efektif untuk mengobati gatal-
gatal dan bersin- bersin. Namun obat-obat ini mempunyai banyak kelebihan
dibandingkan antihistamin generasi pertama, seperti klorfeniramin (Piriton).
Antihistamin generasi kedua mempunyai kelebihan tidak dapat menembus otak,
hingga tidak menim- bulkan rasa kantuk. Inilah kelebihan utamanya, jadi
mengkonsumsi obat ini tidak akan mengganggu kerja anda yang kompleks seperti
mengemudi dan mengoperasikan mesin. Obat ini juga jarang membuat mulut anda
kering.
5. Kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan obat anti-alergi dan anti- peradangan yang
sangat ampuh dan efektif. Meski menghambat pelepasan histamin dan zat
kimia kompleks dari sel mast, obat ini sangat efektif meredakan radang yang
menjadi ciri keadaan kulit kronis akibat alergi, demam serbuk sari yang
berlangsung lama dan parah (terutama yang disertai hidung tersumbat), serta
asma yang cukup parah maupun yang kronis. Obat ini bekerja pada tingkat
gen di dalam sel, mencegahnya membuat lebih banyak zat kimia penting
penyampai pesan yang disebut sitokin, yang memnpengaruhi sistem
11
kekebalan tubuh pada tingkat yang sangat mendasar. Meskipun obat ini tidak
diragukan lagi kemampuannya, ada pertimbangan mengenai efek
3.2 ASTHMA
12
pendapat yang lebih pragmatis, yaitu bila yang kebih dominan adalah gejala gejala
akibat obstruksi saluran pernafasan yang reversibel ,diagnosisnya adalah asthma,
sedangkan bila gejala batuk dan dahak yang lebih dominan, diagnosisnya lebih
menjurus ke arah bronkitis kronis. Pada awal 1990-an dikemukakan definisi yang
boleh dikata lengkap, yaitu bahwa asthma adalah kombinasi antara keluhan sesak napas
dengan suara napas ngiik-ngiik (wheezing), dada terasa sempit, batuk, dan sifatnya
hilang timbul. Tidak dipersoalkan apakah reversibilitasnya terjadi secara spontan
ataupun karena pengaruh obat. Asthma dijumpai di seluruh dunia, menyerang laki-laki
maupun perempuan, dewasa maupun anak, kaya maupun miskin. Prevalensi asthma
berkisar antara 1-10%. Tentunya, makin lebar definisi yang dipakai, angka ini akan
semakin tinggi. Namun, memang ada peningkatan prevalensi asthma dimana-mana.
Walaupun kemajuan dunia kedokteran dan farmasi luar biasa pesat, sehingga sekarang
semakin banyak obat anti-asthma yang ampuh tersedia secara luas, sungguh
mengherankan prevalensi asthma tetap meningkat. Diperkirakan penyebabnya adalah
lebih besar faktor lingkungan daripada faktor genetik. Serangan pertama dapat timbul
pada masa kanak-kanak sampai masa setengah umur. Tampaknya, asthma lebih sering
dijumpai pada anak laki-laki daripada anak perempuan, tetapi pada pasien dewasa
perbedaan ini semakin tidak nyata (Danusantoso, 2011)
13
bisa lebih gigih dengan beberapa pemicu yang jelas selain infeksi. Asma non-atopik
adalah Independen IgE (Ward,2010).
14
6 jalur ini mempunyai mekanisme. Yang tak saling berhubungan sama sekali, semuanya
tertumpu pada adanya hiper-reaktivitas bronkus (HRB); dengan perkataan lain, pada
orang orang-orang yang tanpa HRB, adanya jalur-jalur ini dengan beraneka ragam faktor
penyebab maupun pencetus tidak akan menyebabkan timbulnya penyakit asthma. Dalam
kehidupan sehari-hari kita bisa melihat begitu banyak orang yang berkecimpung dengan
berbagai alergen, tetapi tetap bebas dari asthma; para 'groomer' anjing atau kucing
sehari-hari mencukur entah berapa banyak anjing dan kucing selama bertahun-tahun.
Begitu pula jalur infeksi, walaupun manusia pada umumnya pernah mengalami infeksi
saluran pernafasan atas seperti flu, dsb., hanya sedikit yang diikuti serangan asthma.
15
kemudian akan terfiksasi pada sel mast yang banyak terdapat di mukosa bronkus. Bila
pajanan tetap saja berlangsung terus, akan terjadi ikatan antara X dan IgE yang sudah
terfiksasi pada sel mast. Untuk bisa mengaktifkan jalur ini, X harus merupakan alergen
bipolar, yaitu molekul X dapat mengikat 2 IgE. Jadi pajanan terhadap harus secara
bertubi-tubi sehingga mampu meng- aktivasi limfosit B. Sebagai akibatnya, kemudian
akan terbentuk sel plasma dan juga sel mast yang sudah memiliki IgE terhadap X tsb
Terikatnya X dengan IgE-antiX akan menyebabkan degranulasi sel mast dan dari granul-
granul ini akan keluar berbagai mediator inflamasi yang sebelumnya memang sudah
terbentuk dan tersimpan di dalamnya (dahulu dikenal sebagai mediator primer), antara
lain histamin, tumor necrosis factor (TNF-a), interleukin-4 (IL-4) dan IL-13. Beberapa
menit kemudian dinding sel mast juga akan menghasilkan apa yang dahulu dikenal
sebagai mediator sekunder yaitu slow reacting Substance-A (SRS-A). Belakangan
diketahui bahwa SRS-A adalah juga sekelompok mediator inflamasi, antara lain
leukotrien C, (LTC), prostaglandin D PGD), dan faktor agregasi trombosit atau platelet
activating factor (PAF) Histamin akan cepat sekali (dalam hanya beberapa enit saja)
merangsang reseptor H, pada tunica muscularis dan reseptor H, pada mukosa bronkus,
sehingga segera timbul bronkokonstriksi serta hipervaskularisasi mukosa.
Hipervaskularisasi ini selanjutnya menyebab- kan edema mukosa dan hipersekresi dahak
yang lengket dan kental di dalam lumen bronkus. Ini adalah TRIAS yang khas untuk
penyakit asthma! Dengan demikian, lumen bronkus akan menyempit secara akut dan
pasien akan merasakan mendadak napasnya terasa sesak dan akan terdengar suara napas
tambahan ngiük-ngiik (whee- zing). Bila obstruksi ini masih ringan, wheezing hanya
bisa didengarkan dengan auskultasi saat ekspirasi karena ekspirasi adalah proses pasif
maka aliran udara jalannya pelahan-lahan), tetapi, bila obstruksi semakin narah,
wheezing juga akan terdengar pada saat inspirasi. Bila lebih berat lagi, wheezing ini
dapat terdengar dengan kuping telanjang, bahkan bisa dari jarak be- herapa meter. Semua
ini juga dikenal sebagai immediate response (IR). Di samping menyebabkan TRIAS-
segera, histamin juga berperan dalam meningkatkan profil inflamasi mukosa bronkus
dan akan merangsang ujung-ujung saraf untuk mengeluarkan berbagai neuropeptid yang
juga berperan sebagai mediator inflamasi. (lihat selanjutnya dalam Jalur Rangsangan
Fisik dan Kimiawi atau RFK maupun jalur stress Psikis) Histamin akan cepat sekali
mengalami degradasi dan inaktivasi karena ada beberapa enzim dalam tubuh yang
bekerja sebagai histaminase. Dengan demikian, seharusnya IR hanya bisa berlangsung
sebentar saja. Namun, seringkali IR disusul segera dengan TRIAS- lambat (juga disebut
late asthmatic response atau LAR) karena efek LTC, dan PGD, yang baru terbentuk
tersebut dan dapat berlangsung lama (dari beberapa jam sampai beberapa hari). Selain
itu, TNF-a, IL-4, LTC dan PGD, juga mempunyai efek kemotaktik terhadap netrofil dan
eosinofil serta juga mengaktivasi eosinofil; sedang IL-13 di samping menyebabkan
16
hiper- sekresi mukus juga mendatangkan eosinofil ke bronkus dan meningkatkan
produksi IgE.
PAF, selain menyebabkan agregasi trombosit, juga akan menyebabkan
eosinofil berdatangan, menginduksi proses inflamasi dan hipersekresi bronkus, serta
meng- hambat gerakan menyapu keluar silia sehingga akan memperberat serangan
asthma. Bila proses pemajanan terhadap antigen tersebut berjalan terus, lama-kelamaan
semua kejadian ini akan semakin memperparah inflamasi mukosa bronkus Belakangan
ini, makin terungkap bahwa mekanisTme di atas bukanlah suatu rentetan dari single-
step-mecha nisms, melainkan masing-masing tahap ternyata terdiri atas berbagai sub-
tahap dan melibatkan berbagai mediator inflamasi lainnya. Sekedar sebagai contoh.
dapat dikemukakan bahwa alergen hanya mampu merangsang limfosit B kalau dibantu
oleh antigen presenting cell dan limfosit T helper-2. Karena buku saku ini bukanlah buku
khusus tentang asthma, hanya tahap-tahap prinsip saja yang dikemukakan di sini. Di
samping mediator-mediator inflamasi yang sudah disebut di atas, dinding sel mast juga
menghasilkan PGE,.PGE,, dan prostacyclin; dan ketiganya berkhasiat sebagai bronko-
dilator. Ditambah dengan adanya beberapa enzim tubuh yang bekerja sebagai
histaminase lengkaplah sudah mekanisme perlindungan tubuh ter nadap serangan
alergen (tentunya predisposisi genetik juga ikut berperan!) Sekarang menjadi jelas
mengapa semakin tinggi kadar total IgE darah seseorang (jadi makin banyak pula sel
mast yang sudah memiliki lgE ini, semakin gampang pula yang bersangkutan menderita
penyakit asthma.
Tampaklah bahwa pada hakekatnya serangan asthma akut hanyalah suatu
manifestasi reaksi hipersensitivitas yang menyerang saluran pernapasan bagian I tipe
bawah, khususnya saluran napas kecil (bronkus dan bronkeolus), yang dapat berlanjut
menjadi asthma kronis yang berdasarkan proses intlamasi setempat. Ini adalah definisi
asthma yang kontemporer. Bandingkan definisi ini dengan definisi klasik pada awal Bab
ini untuk menghayati betapa pesatnya kemajuan dunia kedokteran. Kesimpulan ini
dalam praktek sehari-hari didukung oleh fakta bahwa di dalam sputum pasien asthma
berat ditemukan jauh lebih banyak netrofil, eosinofil, dan berbagai mediator inflamasi
daripada penderita yang asthma-nya masih moderat, apalagi kalau dibandingkan dengan
orang normal. Secara tidak sengaja, masih datang bukti dari segi lain, yaitu
ditemukannya gas NO (nitrogenoksida) dalam udara ekspirasi manusia pada tahun 1991
yang kemudian secara cepat berkembang menjadi ukuran keparahan derajat inflamasi di
paru. Ternyata NO dalam udara ekspirasi pasien asthma semakin meningkat sesuai
dengan keparalhan proses inflamasi di paru, karena NO ini memang diproduksi sel epitel
saluran pernapasan dan sel-sel penggerak proses inflamasi. Khususnya eosinophil
17
3.2.5 Diagnosis Asthma
Diagnosa penyakit asma bronkial perlu dipikirkan bilamana ada gejala batuk yang
disertai dengan wheezing (mengi) yang karakteristik dan timbul secara episodik. Gejala
batuk terutama terjadi pada malam atau dini hari, dipengaruhi oleh musim, dan aktivitas
fisik. Adanya riwayat penyakit atopik pada pasien atau keluarganya memperkuat dugaan
adanya penyakit asma. Pada anak dan dewasa muda gejala asma sering terjadiakibat
hiperaktivitas bronkus terhadap alergen,banyak diantaranya dimulai dengan adanya
eksim, rinitis, konjungtivitis, atau urtikaria.
Penderita asma yang tidak memberikan reaksi terhadap tes kulit maupun uji
provokasi bronkus, tetapi mendapat serangan asma sesudah infeksi saluran napas,
disebut asma idiosinkrasi. Dermatitis atopik dan alergi makanan merupakan penyakit
alergi yang pertama kali muncul pada usia tahun pertama anak, kemudian dapat
berkembang menjadi alergi respiratorik. Penyakit penyerta seperti otitis media,
konjungtivitis, rinitis, polip hidung, sinusitis, atau hiperplasia tonsil sering ditemukan.
Diagnosis asma dapat ditegakkan melalui gejala klinis, gambaran radiologis paru dan
test provokasi. Uji faal paru dilakukan untuk menentukan berat ringannya obstruksi
saluran napas, variasi dari fungsi saluran napas, evaluasi hasil terapi, dan beratnya
18
serangan asma. Variasi nilai arus puncak ekspirasi (APE) t 20% antara pagi dan sore hari
mempunyai nilai diagnostik terhadap asma, dan dapat menentukan derajat
hiperreaktivitas bronkus. Hal lain yang mendukung diagnosa asma antara lain: adanya
variasi pada arus puncak ekspirasi (APE) 15% pada pagi dan sore hari, kenaikan t 15%
pada APE atau volume ekspirasi detik 1 (VEP1) setelah pemberian bronkodilator secara
inhalasi, penurunan > 20% VEP1 setelah uji provokasi bronkus. Uji kulit dengan alergen
dilakukan sebagai pemeriksaan diagnostik pada asma ekstrinsik alergi.Keadaan alergi
ini dihubungkan dengan adanya produksi antibodi Ig E.
Uji provokasi bronkus dapat menentukan derajat beratnya hiperreaktivitas
bronkus. Untuk uji provokasi dapat dilakukan inhalasi dengan histamin, metakolin,
sulfur dioksis, air dingin, atau dengan latihan fisik. Pemeriksaan radiologis dilakukan
hanya untuk menyingkirkan kemungkinan adanya penyakit paru lain. Pemeriksaan
patologi ditemukan adanya hipertrofi otot polos bronkus, peningkatan sekresi mukus
dalam lumen bronkus, edema pada mukosa saluran nafas, inflamasi pada dinding dan
lumen saluran napas dengan infiltrasi sel eosinofil dan netrofil. Kay membagi obstruksi
bronkus atas 3 fase utama yaitu fase cepat (spasmogenik), fase lambat menetap
(late,sustained), fase subakut/kronik. Fase cepat identik dengan respon awal yang terlihat
pada uji provokasi bronkus. Ciri utamanya adalah pelepasan histamin sebagai mediator
utama yang mengakibatkan spasme otot polos bronkus, reaksi ini terjadi sangat cepat
dan berakhir setelah 1-2 jam. Reaksi dapat menghilang dengan sendirinya atau kemudian
diikuti fase lambat menetap. Fase lambat menetap ditandai oleh spasme bronkus dan
akumulasi sel-sel neutrofil, dengan mediator utamanya adalah leukotrin, prostaglandin
dan tromboksan.Serangan dapat berlangsung 6-8 jam atau lebih. Pada fase subakut,
reaksi inflamasimerupakan ciri utamanya dan terdapat infiltrasi eosinofil dan sel
mononuklear. Fase lambat menetap dan fase subakut sangat mempengaruhi terjadinya
asma kronis. Tujuan pengobatan asma bronkial adalah agar penderita dapat hidup
normal, bebas dari serangan asma serta memiliki faal paru senormal mungkin,
mengurangi reaktifasi saluran napas, sehingga menurunkan angka perawatan dan angka
kematian akibat asma.
Suatu kesalahan dalam penatalaksanaan asma dalam jangka pendek dapat
menyebabkan kematian , sedangkan jangka panjang dapat mengakibatkan peningkatan
serangan atau terjadi obstruksi paru yang menahun. Untuk pengobatan asma perlu
diketahui juga perjalanan penyakit, pemilihan obat yang tepat,cara untuk menghindari
faktor pencetus.Dalam penanganan pasien asma penting diberikan penjelasan tentang
cara penggunaan obat yang benar, pengenalan dan pengontrolan faktor alergi. Faktor
alergi banyak ditemukan dalam rumah seperti tungau debu rumah, alergen dari hewan,
jamur, dan alergen di luar rumah seperti zat yang berasal dari tepung sari, jamur, polusi
udara. Obat aspirin dan anti inflamasi non steroid dapat menjadi faktor pencetus asma.
Olah raga dan peningkatan aktivitas secara bertahap dapat mengurangi gejala asma.
19
Psikoterapi dan fisioterapi perlu diberikan pada penderita asma.Obat asma digunakan
untuk menghilangkan dan mencegah timbulnya gejala dan obstruksi saluran pernafasan.
Pada saat ini obat asma dibedakan dalam dua kelompok besar yaitu reliever dan
controller (Meiyanti,2000).
2. Controller
20
Obat yang termasuk dalam golongan controller adalah obat anti inflamasi
seperti kortikosteroid, natrium kromoglikat, natrium nedokromil , dan
antihistamin aksi lambat. Obat agonis beta-2 aksi lambat dan teofilin lepas lambat
dapat juga digunakan sebagai controller. Natrium kromoglikat dapat mencegah
bronkikonstriksi respon cepat atau lambat, dan mengurangi gejala klinis penderita asma.
Natrium kromoglikat lebih sering digunakan pada anak karena dianggap lebih aman
daripada kortikosteroid . Perkembangan terbaru natrium kromoglikat menghasilkan
natrium nedoksomil yang lebih poten. Obat ini digunakan sebagai tambahan pada
penderita asma yang sudah mendapat terapi kortikosteroid tetapi belum mendapat hasil
yang optimal. Antihistamin tidak digunakan sebagaiobat utama untuk mengobati asma.,
biasanyahanya diberikan pada pasien yang mempunyai riwayat penyakit atopik seperti
rinitis alergi.Pemberian antihistamin selama 3 bulan pada sebagian penderita asma
dengan dasar alergi dapat mengurangi gejala asma. Pengobatan asthma menurut
Meiyanti (2000):
21
BAB IV
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah ini adalah Sistem imun merupakan sistem kekebalan
yang mempertahankan tubuh dari alergen / zat asing yang dapat membahayakan tubuh
dengan mekanisme tertentu yaitu spesifik dan non spesifik yang mempunyai 4 respon
hipersensitifitas antara lain Reaksi hipersensitivitas tipe 1, tipe 2, tipe 3, dan tipe 4.
Alergi merupakan adalah perubahan reaksi tubuh / pertahanan tubuh tehadap suatu benda
asing yang terdapat didalam lingkungan hidup sehari-hari. Agar tidak terkena penyakit, tubuh
mempunyai suatu cara untuk menghadapi benda asing yang masuk. Sedangkan asthma
merupakan penyakit yang ditandai dengan serangan berulang sesak napas dan mengi,
dengan tingkat keparahan dan frekuensi tiap orang bervariasi, yang disebabkan
peradangan saluran udara paru-paru dan mempengaruhi sensitivitas ujung saraf
disaluran napas sehingga mudah menimbulkan iritasi. Baik alergi dan asthma memiliki
diagnosis dan cara pengobatan/treatment masing-masing.
5.2 Saran
Saran dari penulisan makalah ini adalah sebaiknya mahasiswa lebih teliti dalam
memilah materi yang disampaikan. Selain itu, referensi yang digunakan sebaiknya
juga dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya serta pihak dosen membimbing dan
mengarahkan mahasiswa dengan baik.
22
DAFTAR PUSTAKA
Danusantoso, Halim.2011.Buku Saku Ilmu Penyakit Paru.Jakarta:EGC.
Diamant Z, Diderik Boot JD, Virchow JC .2007.Summing up 100 years of asthma.
Respiratory Medicine. 101, 3, 378-388.
Hikmah, Nuzulul., I Dewa Ayu Ratna Dewanti.2010. Seputar Reaksi
Hipersensitivitas (Alergi). Stomatognatic (J.K.G Unej).Vol. 7 No. 2.halaman
118-111.
Holgate ST, Douglass J.2010.Fast Facts: Asthma Third edition.Oxford:Health Press
Limited.
Kaufman, G.2011.Asthma: Pathophysiology, Diagnosis And Management.
Nursing Standard.vol 26 no 5.halaman 48-50.
Meiyanti., Julius I. Mulia.2000.Perkembangan Patogenesis dan Pengobatan Asma
Bronkial.Jurnal Kedokteran Trisakti.vol 19 no 3. Halaman 125-131.
Townshend J, Hails S, Mckean M.2007.Diagnosis of asthma in children. British
Medical Journal. 335, 7612, 198-202.
Ward JPT, Ward J, Leach RM .2010.The Respiratory System at a Glance. Third
edition.Chichester: Blackwell
Widjaja, M.C.2008. Mencegah Dan Mengatasi Alergi Dan Asma Pada Balita.
Jakarta:Kawan pustaka.
23