Nim : 031531576
Teori keterbelakangan mengarahkan pada pendekatan yang menyatu (a unity approach) yang menolak
(denies) kenyataan-kenyataan perbedaan yang penting. Dalam studi, perbedaan-perbedaan ini ditangani
dengan konsisten atas isu-isu (consistent of issue) dan kemungkinan-kemungkinan menangani dengan
kebijakan-kebijakan sosial sebagai suatu yang dinamis dalam perubahan (change) pada negara-negara
dunia ketiga.
Dalam perkembangannya dunia ketiga telah bergerak (has emerged) sebagai satu kekuatan yang nyata.
Sampai abad ke 20, menjadi subjek dari sistem kapitalis yang didominasi oleh negara-negara barat yang
berbasis industri (western industrial nation) atau dilihat tidak relevan.
Dalam jumlah penduduk, dunia ketiga memiliki jumlah terbesar penduduk dunia dan berkembang sangat
pesat. Dalam istilah ekonomi (economic terms) memp bagian terbesar dari kekuatan buruh (greatest
share of labour power), dan dalam jangka panjang akan merupakan peluang pasar yang sangat besar.
Secara politis, meskipun belum menunjukkan kekuatannya di PBB, namun merupakan kekuatan yang
nyata, khususnya berdampak dalam menjembatani keseimbangan (the balance) antara dunia pertama
dan kedua. Secara keseluruhan dunia ketiga sebagai kelompok masyarakat (mass of societies) yang
berbeda keterbelakangannya. Sejak pertengahan abad ke 20 meskipun tidak dikehendaki oleh analist
negara-negara barat untuk mengadakan pendekatan bagian lainnya sebagai kelompok bangsa yang
kompleks dan berubah yang berhasil memperoleh kemerdekaan politiknya. Selanjutnya sebagai bangsa
yang baru, dilihat memerlukan bimbingan (guidance) dan bantuan untuk mencapai “modernisasi.”
Dalam proses ini banyak asumsi yang dibuat, paling banyak dan mendasar, kepentingan umum antara
developed dan underdeveloped. Asumsi-asumsi tersebut kemungkinan sangat naïf. Hubungan antara
sebelum dan sesudah kemerdekaan (political independence) dan dinamika underdevelopment, mungkin
tidak terlalu naïf seperti bukan nilai setempat (disingenious).
Kepentingan umum, misalnya antara petani dengan peladang kepentingannya sama: hasil pertanian
bagus. Dalam pandangan modern sesuatu yang dominan untuk jangka waktu tertentu, bagaimanapun
dilihat mencakup (embodied) asumsi banyak kekuatan yang akan berbalikarah (in turn) pada pengaruh
langsung + tidak langsung pada strategi-strategi untuk pemb + kebijakan khusus antara (within) strategi-
strategi tersebut.
Dalam perkembangannya tahap-tahap yang terjadi ditandai oleh : pusat kegiatan dan sumberdaya
tentang informasi pemikiran (informed thinking) yang berubah dari barat kepada dunia ketiga. Bantuan
(aid and assistance) dari barat sebelumnya diberikan secara ringkas (epitomising) kepentingan umum
(common interest), dan yang terburuk, maksud yang baik tapi mungkin tidak efisien.
Sekarang ikatan ini dilihat sebagai bagian dari proses keberhasilan dimana negara-negara barat telah
membentuk kembali (re established) dan mempertahankannya. Dalam istilah ekonomi disebut hegemoni
yang hilang dalam istilah politik (political terms), melalui dekolonisasi.
Baik para ahli maupun pemimpin politik (political leaders) di dunia ketiga mengkritik tulisan barat yang
berpendapat meneruskan eksploitasi dengan menempatkan penyebab dari keterbelakangan pada dunia
ketiga. Istilah “blaming the victim” merupakan fenomena yang dipergunakan oleh mereka yang
mempelajari kemiskinan dan kesenjangan (inequality) antara masyarakat barat.
Dari negara-negara yang mempunyai pengalaman keterbelakangan berpendapat (judged) teori serta
penjelasan sebelumnya bertentangan dengan pendapat mereka tentang dunia. Pengalaman Amerika
Latin+ Afrika, kemarahan mereka yang tertindas + pemerasan (oppression) dan eksploitasi, juga
dikembangkan teori yang berpengaruh sebagai senjata “The Psychology of Oppression,” dimana korban
kolonialisasi tidak hanya menyalahkan kekurangannya, tapi secara efektif mengajarkan untuk menerima
dan mendalami (internalise) pandagan tidak kompeten dan rendah diri dari mereka sendiri (to accept
and interalise this view of his own incompetence and inferiority). Teori ketergantungan (theories
dependency) digambarkan sebagai hakekat hubungan struktural (structural relationships) dan diusulkan
ketidakadilan antara yang kaya dan yang miskin, daerah perkotaan dan pedesaan, baik dengan/tidak
dengan kekuatan (those with power and those without), diantara negara-negara dunia ketiga telah
menimbulkan dan dipertahankan oleh proses kemajuannya (their development) dalam subordinasi
terhadap kekuatan ekonomi metropolitan.
Teori-teori tentang kemajuan dan keterbelakangan menimbulkan perbedaan yang mendasar antara
keterbelakangan sebagai suatu negara (between underdevelopment as a state), sebagaimana dalam
teori-teori modernisasi, dan sebagai suatu proses.
Memahami sebagai suatu proses, keterbelakangan menjadi suatu kekuatan senjata teoritis (a power
theoretical weapon), memperbolehkan kita untuk melihat keterbelakangan bukan suatu posisi dari mana
masyarakat dapat bergerak ke depan tapi hasilnya (the outcome) proses yang berkelanjutan dengan
mana baik hubungan keluar mereka (their external relationship) dan formasi sosial ekonomi di dalam
(internal social and economic formations) diputarbalikkan (perveted) untuk meyakinkan secara progresif
integrasi lebih mendalam sebagai bagian-bagian yang dieksploitasi dari ekonomi internasional.
Swedia yang termasuk menerapkan negara kesejahteraan sejak lama, dalam perdebatan untuk
perubahan yang akan datang (future change), mengemukakan fokus tentang konsep development,
dengan perhatian pada hakekat dasar tentang masyarakat (society) dan menyadari bahwa asumsi yl
untuk meneruskan pertumbuhan ekonomi tidak berlaku lagi.
Dalam membicarakan konsep development tidak bisa terlepas dari value judgements. Development
tidak bisa dilepaskan di suatu konsep yang normatif (development is inevitably a normative concept),
tampaknya hampir sinonim dengan perbaikan (improvement). Dilihat dari sisi pemerintah, dilihat dari
beberapa penjelasan yang terkait dengan improvements, menggambarkan berbagai proses yang hasilnya
berupa keputusan kebijakan (official policy).
Pendekatan lain yang biasa diterapkan, dengan melihat apa yang telah diterapkan oleh negara lain,
mengikuti pola ekonomi negara tersebut dan perubahan sosial yang berdampak kenyataan negara
tersebut sebagai tujuan. Hal ini sering terjadi, khususnya pada negara-negara yang pada masa-masa
tertentu dibawah kekuasaan langsung oleh negara-negara penjajah, bersama-sama melanjutkan transfer
budaya, sosial, politik dan ekonomi yang direcanakan secara eksplisit dan implisit untuk mendirikan dan
mempertahankan hegemoni dari sistem-sistem yang khusus dari nilai dan formasi ekonomi (to establish
and maintain the hegemony of particular system of values and economic formations), (Long 1977,
Hoogvelt 1978).
Secara persuasif telah diperdebatkan kebutuhan mendasar lain dalam masyarakat (human society)
adalah pekerjaan (employment), (Seers, 1972). Dalam perdebatan diantara para penulis barat tentang
employment sering diartikan income producing employment, baik wage- employment maupun self-
employment dalam produksi untuk pasar. Hal ini diasumsikan perlunya cash relationship yang
merupakan pemikiran mendasar bagi orang barat untuk pengertian development. Jadi sangat penting
kedudukan orang dalam masyarakat diukur dari hubungannya dengan pasar, dengan dampak berbagai
konsekwensinya.
Tidak berkeinginan untuk tergantung pada orang lain merupakan rasa harga diri. Employment diartikan,
termasuk belajar, bekerja di lapangan untuk konsumsi dan bukan pasar, peduli terhadap mereka yang
tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, dan berbagai peran lain sesuai dengan tujuan
masyarakay (society). Pendekatan ini berbeda dengan occupation with paid employment.
Perbedaan tentang equality tidak terlepas dari posisi moral dan persepsi fundamental terhadap hakekat
human society (Blowers & Thompson, 1976). Dalam konteks ini lebih diperhatikan equality of condition
yang berbeda dengan pengertian yang sering dianut, equality of opportunity. Equality tidak diartikan
sebagai kemampuan (talent or ability) yang didistribusikan secara sama, tapi pengakuan bahwa setiap
orang sama nilainya (equal worth).
Diyakini banyak pendapat yang tidak setuju equality dipandang sebagai tujuan sebagaimana dikehendaki
(in its own right) sebagai elemen ketiga dalam pembangunan (the third element in development) yaitu
kemiskinan, unemployment, dan inequality. Karenanya development never will be defined to universal
satisfaction.
Banyak penulis berpendapat, asumsi teori-teori modernisasi dapat dikatakan tidak adil (false) dan
model-modelnya dibangun berbasi pada teori yang tidak relevan untuk negara-negara dunia ketiga
(Long, 1977; Hoogvelt, 1978; Taylor, 1979) dua hal penting yang perlu dibuat tentang teori-teori
tersebut:
Teori-teori struktural-fungtionalist dari modernisasi dalam kenyataan sangat berguna untuk mendukung
ideologi yang menutupi hakekat imperialis dari kapitalisme barat (Hoogvelt, 1978: 62).
Selai penolakan-penolakan yang berkesinambungan dari teori-teori tersebut baik pada landasan teori
maupun penerapannya, namun tetap mempunyai peran dalam pengembangan kebijakan sosial, setidak-
tidaknya melalui organisasi internasional.
Terdapat berbagai versi tentang teori-teori underdevelopment (Foster-Carter, 1974) terdapat berbagai
tema penting yang membedakannya dengan teori modernisasi. Perspektif neo-marxist tidak
mengasumsikan:
Baik developed maupun underdeveloped societies berdiri sendiri sebagai sistem sosial (self sufficience
social systems) tapi lebih menitikberatkan pada saling terkait dari ekonomi global (places emphasis on
the interconnections of a global economic) dan sistem sosial.
Struktur kapitalis dipaksa pada formasi-formasi ekonomi + sosial yang telah ada (capitalist structures are
imposed on already economic and social formations) struktur yang dipaksakan bukan yang indigenous,
diperluas dengan dengan perbedaan-perbedaan antara the domestic and export-oriented economies.
Hakekat hubungan ekonomi antara metropolitan countries da underdevelop countries seperti itu berarti
surplus dikirim ke negara yang kuat sementara yang tertinggal relatif makin miskin dan makin tergantung
(relatively impoverished and chronically dependent).
Konsep development sangat mendasar pada setiap diskusi tentang kebijakan sosial di negara-negara
dunia ketiga. Meskipun sering dipergunakan, namun definisinya sering kabur. Konsep-konsep tersebut
telah ditantang dan pendekatan-pendekatan modernisasi yang meluas menitik beratkan pada
pertumbuhan ekonomi. Diatas semua pandangan tersebut, ditekankan kalau underdevelopment sangat
kuat (powerful) dan melanjutkan suatu proses yang menghasilkan beberapa formasi khusus tentang
ekonomi dan sosial (continuing set of processes producing particular kinds of economic and social
formations) keduanya dalam negara-negara yang sedang berkembang dan antara negara-negara tersebut
(both within developing countries and between those countries) dan dengan bangsa-bangsa yang lebih
kuat dalam ekonomi internasional (the more powerfull nations in the international economy). Meskipun
bentuknya bervariasi dan khusus (specific forms vary), secara umum pemutarbalikan istilah-istilah dari
dunia ketiga (in general terms the perversion of third world) political economies may be seen as directing
change in the interest of external forces.