Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENELITIAN ILMIAH

Lichen Sebagai Bioindikator Pencemaran Udara Di Kota


Bandung
Diajukan untuk memenuhi tugas salah satu Mata Kuliah Biologi Dasar.
Dosen pengampu : Dr. Hj. Sri Anggraeni, M.S.

Oleh :
Aghisna Binurilla S. (1703151)
Fitamala Juliasih (1703525)
Rahayu Meilawati (1700311)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU
PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Atas segala limpahan
karunia serta rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang
merupakan tugas dan syarat untuk memenuhi tugas bahasa indonesia. Sholawat
serta salam tetap terhaturkan kepada Nabi Muhammad SAW. Yang telah membawa
risalah suci, petunjuk dan jalan lurus menuju keridhoan Ilahi Robbi. Penulis sadar
sepenuhnya bahwa makalah ini tidak mungkin terselesaikan tanpa bimbingan dan
bantuan dari semua pihak. Dengan terinring rasa hormat, penulis mengucapkan
terima kasih kepada:

1. Ibu Dr. Hj. Sri Anggraeni, M.S. selaku Dosen Mata Kuliah Biologi Dasar
dan Dosen pembimbing.
2. Dan kepada semua pihak yang telah membantu penyelesain makalah ini.

Penulis meyadari bahwa makalah ini belumlah sempurna. Oleh karena itu,
saran dan kritik yang membangun dibutuhkan untuk pembuatan makalah ini.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................................


i
DAFTAR ISI ..............................................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang.....................................................................................................................
1
1.2 Rumusan
Masalah ......................................................................................................................
2
1.3 Tujuan
Penelitian ....................................................................................................................
3
1.4
Hipotesis.....................................................................................................................
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
Lichen .............................................................................................................
4
2.2 Struktur Morfologi
Lichen .............................................................................................................
4
2.3 Reproduksi
Lichen .............................................................................................................
5
2.4 Anatomi
Lichen .............................................................................................................
7
2.5 Habitat dan Penyebaran Lumut
Kerak. .............................................................................................................
8

ii
2.6 Pengaruh Faktor Lingkungan bagi
Lichen .............................................................................................................
9
2.7 Bioindikator Kualitas
Udara ..............................................................................................................
9
BAB III METODELOGI PENELITIAN
3.1 Tempat dan waktu
penelitian ........................................................................................................
12
3.2 Metode
Penelitian ........................................................................................................
12
3.3 Alat dan
bahan ..............................................................................................................
12
3.4 Cara
Kerja ...............................................................................................................
12
3.5 Hasil
Penelitian ........................................................................................................
13
BAB IV PENUTUP
4.1
Kesimpulan.....................................................................................................
20
4.2
Saran ...............................................................................................................
20 ....................................................................................................................
DAFTAR
PUSTAKA .................................................................................................................
21

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.


Pada jaman ini, kemajuan teknologi dan industri terjadi sangat pesat. Hal
ini terjadi karena semakin banyaknya kebutuhan manusia serta keinginan untuk
dapat mempermudah segala urusan. Selain itu kebutuhan akan bahan mentah
semakin berkurang dan harganya yang semakin menurun, sedangkan bahan
jadi atau semi-jadi lebih banyak dibutuhkan dan memiliki daya jual yang
tinggi. Maka dari itulah negara yang hanya mengandalkan hasil sumber daya
alamnya semakin lama akan semakin tertinggal, sedangkan negara yang
menumpukan pendapatan negaranya pada bidang industri menjadi negara-
negara yang maju. Hal ini berdampak pada semakin banyaknya negara-negara
di dunia yang berlomba-lomba untuk memajukan bidang industri di negaranya
masing-masing. Tak tertinggal indonesia di dalamnya.

Indonesia mulai membuka mata dan mulai menfokuskan diri pada bidang
industri. Dampaknya, pabrik-pabrik mulai di bangun dimana-mana, di daerah-
daerah dan lebih banyak lagi di kota-kota besar..

Namun masalah kota besar tidak hanya soal industri, namun juga
banyaknya kendaran bermotor karena pesatnya mobilisasi orang-orang dikota.
Hal-hal ini lah yang mengakumulasi banyaknya zat-zat yang berbahaya ke
udara, hingga membuat udara perkotaan tercemar.

Pencemaran udara adalah masuknya zat pencemar ke dalam udara baik


secara alamiah maupun oleh aktivitas manusia. kegiatan transportasi dan
industri termasuk kedalam pencemaran udara oleh aktivitas manusia, hal
tersebut akan menyebabkan penurunan kualitas lingkungan berupa polusi
udara. Udara bagi kehidupan merupakan komponen abiotik pada atmosfer yang
dibutuhkan oleh barbagai organisme.(kajian lumut kerak sebagai bioindikator-
IPB). Maka udara perlu dipelihara dan ditingkatkan kualitasnya sehingga dapat
memberikan daya dukungan bagi makhluk hidup secara optimal. Oleh karena
itu, tumbuhan dapat digunakan sebagai bioindikator yang akan menunjukan

1
perubahan kondisi lingkungan yang akan memberikan informasi tentang
perubahan dan tingkat pencemaran lingkungan (Kovacs, 1992). Sehingga
pencemaran bisa segera ditangani.

Penggunaan lichen sebagai bioidikator dinilai lebih efisien dibandingkan


menggunakan alat atau mesin indikator ambien yang dalam pengoperasiaanya
memerlukan biaya yang besar dan penangan khusus (Loopi et al, 2002). lumut
kerak lichen adalah salah satu organisme yang digunakan sebagai bioindikator
pencemarn udara. Kematian lichen yang sensitif dan peningkatan dalam jumlah
spesies yang lebih tahan lama dalam suatu daerah dapat dijadikan peringatan
dini akan kualitas udara yang memburuk (Cambell, 2003)(bioindikator
pencemaran udara di kediri).

Lichenes (lumut kerak) merupakan simbiosis antara jamur dari golongan


Ascomycotina atau Basidiomycotina (mikobion) dengan Chlorophyta atau
Cyanobacteria bersel satu (fikobion). Tumbuhan ini tergolong tumbuhan
perintis yang ikut berperan dalam pembentukan tanah. Lumut kerak bersifat
endolitik karena dapat masuk pada bagian pinggir batu. Jamur pada liken
berfungsi mengokohkan tubuhnya dan menghisap air atau zat makanan.
Sedangkan ganggang, berfungsi melakukan fotosintesis. Simbiosis antara
kedua jenis tumbuhan tersebut bersifat simbiosis mutualisme (Hasanuddin,
20014).
Lichenes merupakan tumbuhan epifit pada pohon-pohon, di atas tanah,
terutama di daerah tundra di sekitar kutub utara. Tergolong tumbuhan perintis
yang berperan dalam pembentukan tanah. Tidak memerlukan syarat hidup
yang tinggi dan tahan kekurangan air dalam jangka waktu yang lama dan
pertumbuhan talus sangat lambat. Lichen adalah spesies indikator terbaik yang
menyerap sejumlah besar kimia dari air hujan dan polusi udara (Hardini: 2010).

1.2 Rumusan Masalah.


Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, maka rumusan
masalah dalam mini riset ini adalah,
1. Apakah faktor lingkungan sangat mempengaruhi pertumbuhan lichen?
2. Bagaimana keanekaragaman lichen bila dilihat dari lingkungan sekitarnya?

2
1.3 Tujuan Penelitian.
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari mini riset ini adalah :
1. Untuk mengidentifikasi daerah-daerah yang mulai tercemar dalam hutan

1.4 Hipotesis.
Adanya perbedaan keragaman serta morfologi lichen yang dijumpai pada
tempat yang tercemar dan tidak.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Lichen.


Lichenes (lumut kerak) merupakan gabungan antara fungi dan alga
sehingga secara morfologi dan fisiologi merupakan satu kesatuan. Lumut ini
hidup secara epifit pada pohon-pohonan, di atas tanah terutama di daerah
sekitar kutub utara, di atas batu cadas, di tepi pantai atau gunung-gunung yang
tinggi.
Tumbuhan ini tergolong tumbuhan perintis yang ikut berperan dalam
pembentukan tanah. Tumbuhan ini bersifat endolitik karena dapat masuk
pada bagian pinggir batu. Dalam hidupnya lichenes tidak memerlukan syarat
hidup yang tinggi dan tahan terhadap kekurangan air dalam jangka waktu
yang lama. Lichenes yang hidup pada batuan dapat menjadi kering karena
teriknya matahari, tetapi tumbuhan ini tidak mati, dan jika turun hujan bisa
hidup kembali.

2.2 Struktur Morfologi Lichen.


Tubuh lichenes dinamakan talus yang secara vegetatif mempunyai
kemiripan dengan alga dan jamur. Talus ini berwarna abu-abu atau abu-abu
kehijauan. Beberapa spesies ada yang berwarna kuning, oranye, coklat atau
merah dengan habitat yang bervariasi. Bagian tubuh yang memanjang secara
selluler dinamakan hifa. Hifa merupakan organ vegetatif dari talus atau
miselium yang biasanya tidak dikenal pada jamur yang bukan lichenes. Alga
selalu berada pada bagian permukaan dari talus.
Berdasarkan bentuknya lichenes dibedakan atas empat bentuk, yaitu:
2.2.1 Crustose.
Lichenes yang memiliki talus yang berukuran kecil, datar, tipis
dan selalu melekat ke permukaan batu, kulit pohon atau di tanah.
Jenis ini susah untuk mencabutnya tanpa merusak substratnya.
Contoh : Graphis scipta, Haematomma puniceum, Acarospora atau
Pleopsidium. Lichenes Crustose yang tumbuh terbenam di dalam

4
batu hanya bagian tubuh buahnya yang berada di permukaan
disebut endolitik, dan yang tumbuh terbenam pada jaringan
tumbuhan disebutendoploidik atau endoploidal. Lichenes yang
longgar dan bertepung yang tidak memiliki struktur berlapis, disebut
leprose.

2.2.2 Foliose.
Lichen foliose memiliki struktur seperti daun yang tersusun oleh
lobuslobus.Lichen ini relatif lebih longgar melekat pada substratnya.
Thallusnya datar, lebar, banyak lekukan seperti daun yang
mengkerut berputar. Bagian permukaan atas dan bawah berbeda.
Lichenes ini melekat pada batu, ranting dengan rhizines. Rhizines ini
juga berfungsi sebagai alat untuk mengabsorbsi makanan. Contoh
: Xantoria, Physcia, Peltigera, Parmelia dll.

2.2.3 Fruticose.
Thallusnya berupa semak dan memiliki banyak cabang dengan
bentuk seperti pita. Thallus tumbuh tegak atau menggantung pada
batu, daun-daunan atau cabang pohon. Tidak terdapat perbedaan
antara permukaan atas dan bawah. Contoh: usnea, Ramalina, dan
Cladonia.

2.2.4 Squamulose.
Lichen ini memiliki lobus-lobus seperti sisik, lobus ini disebut
squamulus yang biasanya berukuran kecil dan saling bertindih dan
sering memiliki struktur tubuh buah yang disebut podetia.
Contoh: Psora pseudorusselli, Cladonia carneola.

2.3 Reproduksi Lichen.


Reproduksi lichen dapat melalui aseksual, vegetative, dan seksual.
Reproduksi secara aseksula umunya dilakukan oleh tipe Fructiose Lichen.
Fructiose Lichen dapat dengan mudah melakukan fragmentasi. Sebagian

5
besar fragmentasi tersebut dilakukan saat musim kering atau saat talus pada
Lichen mengalami kekeringan dan memulai pertumbuhannya ketika mulai
terdapat embun. Perkembangbiakan lumut kerak dapat dilakukan dengan
dua cara, yaitu vegetatif dan generatif.

2.3.1 Reproduksi Vegetatif.


Lichenes yang berkembang biak dengan cara vegetatif yaitu sebagai
berikut:
1) Sebagian talus memisahkan diri yang kemudian akan
berkembang menjadi individu baru.
2) Perkembangbiakan melalui soredia. Soredia adalah kelompok
sel-sel ganggang yang sedang membelah diselubungi oleh hifa-
hifa Fungi. Soredia ini sering terbentuk dalam bagian khusus dari
talus yang mempunyai batas-batas yang jelas yaitu sorala.
3) Perkembangbiakan dengan spora Fungi yang hanya
menghasilkan Lichenes baru jika Fungi tersebut dapat
menemukan partner alga yang cocok.
Perkembangbiakan secara seksual umumnya terjadi pada
Basidiolichen. Perkembangbiakan ini melalui spora yang dihasilkan
oleh hifa-hifa Fungi yang kemudian bertemu dengan partner alga yang
cocok maka akan terjadi sexual fusion dan pembelahan meiosis.
2.3.2 Reproduksi Generatif.
Reproduksi Generatif spora yang dihasilkan oleh askokarp atau
basidiokarp, sesuai dengan jenis jamurnya. Spora dapat tumbuh
menjadi lumut kerak baru jika bertemu dengan jenis alga yang sesuai.
Sel-sel alga tidak dapat melakukan perkembangbiakan dengan
meninggalkan induknya, melainkan hanya dapat berbiak dengan
membelah diri dalam tubuh lumut kerak.

6
2.4 Anatomi Lichen.
Secara umum anatomi jaringan talus lichen tersusun atas beberapa
lapisan diantaranya sebagai berikut :

1. Korteks Atas
Lapisan teratas disebut sebagai lapisan hifa fungi. Lapisan ini tidak
memiliki ruang antar sel dan jika ada maka ruang antar sel biasanya diisi
oleh gelatin. Pada beberapa jenis lumut kerak yang bergelatin, kulit atas juga
kekurangan satu atau beberapa sel tipis. Namun, permukaan tersebut dapat
ditutupi oleh epidermis (Misra & Agrawal, 1978). Alga sangat penting
untuk memenuhi kebutuhan nutrisi lumut kerak, karena alga dapat
melakukan fotosintesis (Moore, 1972). secara umum, lapisan atas alga
diketahui dapat menerima cahaya matahari. Simbiosis yang terjadi
mengakibatkan kedia komponen tersebut saling bergantung satu sama lain.
Lumut kerak dapat mengabsorbsi air dari hujan, aliran permukaan, dan
embun.
2. Lapisan Alga
Lapisan ini berada dibawah lapisan korteks atas yang terdiri atas
lapisan gonodial. Lapisan ini merupakan jalinan hifa fungi yang
bercampur dengan alga. Berdasarkan penyeberan lapisan alga pada
talusnya, lumut kerak telah diklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu
homoiomerus dan heteromerous.
Pada homoimerus, sel alga tersebar merata pada jaringan longgar hifa
fungi sedangkan pada heteromerus sel-sel alga terbatas pada lapisan atas
talus (Misra & Agrawal, 1978)
3. Medulla
Menurut Misra & Agrawal (1978), lapisan medulla terdiri dari jalinan
longgar hifa-hifa. Lapisan ini akan memberikan kekuatan dan penghubung
anatar lapisan bawah dan atas atau bagian luar dan dalam talus. Menurut
Fink (1961), lapisan ini menyerupai parenkim bung karang seperti pada
jaringan daun. Pembagian atau pemisahan antara lapisan alga dan lapisan
medula tidak selalu terjadi secara sempurna. Pada lapisan ini hanya sedikit
terdapat sel-sel alga, dan pada umumnya lapisan ini realtif tebal dan tidak
berwarna atau transparan.
4. Korteks Bawah
Menurut Fink (1961), lapisan korteks bagian bawah sangat mirip
dengan lapisan korteks bagian atas. Pada lapisan ini akan terbentuk rizoid
yang berkembang masuk ke substrat. Jika rizoid tidak ada, maka fungsinya

7
akan digantikan oleh hifa-hifa fungi yang merupakan perpanjangan hifa
dari lapisan medulla.
Menurut Meler & Chapman (1983) diacu dalam Ronoprawiro (1989)
menyatakan bahwa hubungan fungi dan alga merupakan simbiosis dan
hubungan ini terjadi melalui houstoria, yaitu terjadi pelekatan yang erat
benang fungi pada alga. Pada lumut kerak, terdapat dua tipe houstaria,
yaitu houstaria intramembran yang masuk kedalam dinding sel alga dan
tidak banyak yang melewatinya dan houstaria intrasel, masuk jauh ke
dalam sel alga (Pevelling, 1973; Fitting et al., 1954 diacu dalam
Ronoprawiro, 1989). lumut kerak yang memiliki struktur talus yang jelas
pada umumnya hanya mempunyai houstaria intramembran (Tschermak,
Geitler, Plessl, cit Pevelling, 1973 diacu dalam Ronoprawiro, 1989).

2.5 Habitat dan Penyebaran Lumut Kerak.


Lumut kerak hidup sebagai tidak hanya tumbuh menjadi tumbuh pada
pohon-pohonan, tetapi juga di atas tanah, terutama pada daerah tundra di
sekitar kutub utara. Lokasi tumbuhnya dapat di atas maupun di dalam batu
dan tidak terikat pada tingginya tempat di atas permukaan laut. Lumut
kerak dapat ditemukan dari tepi pantai sampai di atas gunung-gunung yang
tinggi. Tumbuhan ini tergolong dalam tumbuhan perintis yang ikut
berperan dalam pembentukan tanah. Beberapa jenis dapat masuk pada
bagian pinggir batu-batu, yang biasa disebut sebagai bersifat endotilik
(Tjitrosoepomo, 1981). Lumut kerak juga dapat hidup dan tumbuh pada
habitat yang agak kering (Polunin, 1990).

Menurut Fink (1981), lumut kerak yang ada pada pohon umumnya
tumbuh pada batang atau bagian batang yang lebih rendah. Menurut Pandey
& Trivendi (1977); Misra & Agrawal (1978), habitat lumut kerak dapa
dibagi menjadi 3 kategori, yaitu :
1) Saxicolous adalah jenis lumut kerak yang hidup di batu. Menempel
pada substrat yang padat dan di daerah dingin.
2) Corticolous adalah jenis lumut kerak yang hidup pada kulit pohon.
Jenis ini sangat terbatas pada daerah tropis dan subtropis, yang
sebagian besar kondisi lingkungannya lembab.
3) Terricolous adalah jenis lumut kerak terestrial, yang hidup pada
permukaan tanah

8
2.6 Pengaruh Faktor Lingkungan bagi Lichen
2.6.1 Faktor Lingkungan.
Pertumbuhan lumut dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan,
antara lain suhu udara, kelembapan udara dan kualitas udara.
2.6.1.1 Suhu udara
Lumut kerak memiliki kisaran toleransi suhu yang cukup
luas. Lumut kerak dapat hidup baik pada suhu yang sangat
rendah atau pada suhu yang sangat tinggi. Lumut kerak akan
segera menyesuaikan didi bila keadaan lingkungannya kembali
normal. Salah satu contohnya alga jenis Trebouxia tumbuh baik
pada kisaran suhu 12-24 C, dan fungi penyusun lumut kerak
pada umumnya baik pada suhu 18-21 C (Ahmadjian, 1967).
2.6.1.2 Kelembapan udara
Walaupun lumut kerak tahan pada kekeringan dalam jangka
waktu yang cukup panjang, namun lumut kerak tumbuh dengan
optimal pada lingkungan yang lembab (Ronoprawiro, 1989).
2.6.1.3 Kualitas udara
Kemampuan lumut kerak untuk merespon perubahan yang
ditimbulkan oleh kondisi lingungan menyebabkan lumut kerak
dapat dipakai sebagai bioindikator untuk pencemaran udara
(Galun, 1988 diacu dalam Noer, 2004). hal tersebut dijelaskan
oleh Woodruff (1996) diacu dalam Simoson (1996) yang
menyatakan bahwa berdasarkan objek penelitian yang telah
dilakukan beberapa jenis lumut kerak dapat menjadi indikator
dalam waktu pendek karena pertumbuhannya yang lambat dan
di dalam sel terdapat bahan campuran dari polusi yang telah ada.
2.7 Bioindikator Kualitas Udara
Alexopolous & Mims (1979) menyatakan bahwa pusat kota dengan
polusi industri beratnya tidak ditemukan atau jarang ditemukan lumut kerak.
Populasi lumut kerak secara bertahap bertambah pada jarak semakin jauh
dari pusat kota tersebut. Dengan demikian lumut kerak dapat digunakan
sebagai petunjuk di dalam program mengukut kualitas lingkungan, dimana

9
bahwa tidak ada organisme lain yang lebih peka terhadapat sulfur dioksida
(SO2) dari pada lumut kerak.

sulfur dioksida (SO2) merupakan hasil sampingan pembakaran


batubara (dan juga minyak bumi oada batas-baas tertentu) dan bentuk sulfur
lainnya, dimana hasil-hasil tersebut akan mempengaruhi banyak tumbuh-
tumbuhan, khususnya lumut kerak (Lubis, 1996).
Menurut Clark et al. (1999) diacu dalam Wijaya (2004), ada beberapa
sifat lumut kerak yang idela sebagai bioindikator antara lain :
1) Secara geografis penyebarannya luas
2) Morfologinya tetap meskipun terjadi perubahan musim
3) Tidak memiliki kutikula, sehingga mempermudaj air, larutan dan
logam serta mineral diserap oleh lumut kerak.
4) Nutrisinya tergantun dari bahan-bahan yang diendapkan diudara
5) Mampu menimbun pencemar selama bertahun-tahun
Menurut Kovacs (1992), lumut kerak sangat peka terhadap emisi
pencemar bila dibanding dengan tumbuhan tinggi. Adapun kepekaan
tersebut dikarenakan adanya perbedaan fisiologi dan morfologi, yaitu :
1) Kandungan klorofil yang sangat kurang, sehingga mengakibatkan laju
fotosintesis dan metabolisme yang rendah serta kemampuan regenerasi
yang terbatas.
2) Tidak hanya kutikula, maka pencemar dapat dengan mudah masuk ke
dalam talus.
3) Lumut kerak golongan corticolous, dapat menyerap air dan nutrien
langsung dari udara.
4) Keseimbangan air di dalam lumut kerka hampir sepenuhnya untuk
menjaga kelembapan atau presipitasi, sehingga menyebabkan
kesempatan untuk asimilasi dan regenerasi menjadi terbatas.
5) Lumut kerak dapat mengakumulasi berbagai macam bahan tanpa
melakukan seleksi
6) Sekali bahan pencemar diserap, maka akan diakumulasikan dan tidak
dieksreksikan.
7) Terjadi perubahan warna talus, akibat adanya bahan pencemar.
Kadar tertentu zat pencemar udara akan mampu menghambat
pertumbuhan lumut kerak, tetapi ligam-logam berat tidak banyak
mempengaruhi pertumbuhan lumut kerak dan Bryophyta akan mampun

10
menimbun logam-logam berat yang dipancarkan ke udara lebih cepat
daripada tanaman tinggi (Noer dan Bonito, 1982 diacu dalam Soedaryanto
et al, 1992).
Menurut Garty (2000) diacu dalam Wijaya (2004), berdasarkan daya
sensitivitasnya terhadap pencemaran udara maka lumut kerak
dikelompokkan menjadi tiga yaitu: sensitif, merupkan jenis yang sangat
peka terhadap pencemaran udara, pada daerah yang telah tercemar jenis ini
tidak akan dijumpai, toleran merupakan jenis yang tahan (resisten) terhadap
pencemaran udara dan tetap mampu hidup pada daerah yang tercemar,
pengganti merupakan jenis yang muncul setelah sebagian besar komunitas
lumut kerak yang asli rusak karena pencemaran udara.
Menurut Noer (2004), terdapat beberapa paremeter yang dapat
dipergunakan dalam penelitian lumut kerak untuk mengukur adanya
pencemaran udara:
1) Keanekaan : jumlah jenis yang terdapat di setiap substrat yang diamati.
Pada daerah dimana pencemaran telah terjadi, jumlah jenis yang ada
sedikit dan jenis-jenis yang peka sekali akan hilang.
2) Pertumbuhan : diamati dengan melihat keadaan morfologi dan warna
talusnya. Lumut kerak di daerah yang tercemar pertumbuhannya kurang
baik, warnanya pucat atau berubah.
3) Kesuburan : dilihat ada tidaknya alat berkembangbiak yaitu soredia,
isidia, lobules, chypellea dan chepaloidia. Pada daerah tercemar, lumut
kerak yang ada kurang subur dan alat berkembang biak tidak ada.
4) Frekuensi : penyebaran dan pengelompokan lumut kerak pada setiap
substrat yang diamati, sedangkan frekuensi adalah kehadiran lumut kerak
pada setiap pohon contoh dimasing-masing stasiun pengamatan.
5) Persentase penutupan (density) : diukur dengan menghitung luas
penutupan lumut kerak pada substrat atau habitat yang diamati.

11
BAB III
METODELOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian


3.1.1 Tempat Penelitian
Kegiatan penelitian ini dilakukan di
1. Kompleks Tahura Ir. H. Djuanda No.99, Dago Pakar, Ciburial,
Cimenyan, Bandung, Jawa Barat 40198
2. Jl. Tamansari No.73, Lb. Siliwangi, Coblong, Kota Bandung, Jawa
Barat 40132
3. Jl. DR. Setiabudhi,
3.1.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan selama dua hari dari tanggal 13
sampai 14 Desember 2017

3.2 Metode Penelitian


Kami melakukan penelitian dengan cara mengamati perbedaan tipe
morfologi talusnya yaitu dengan melihat penutupan lichen, warna, bentuk,

3.3 Alat dan Bahan


1. Plastik spesimen
2. Label
3. Cutter
4. Alat dokumentasi
5. Alat Tulis
6. Peta lokasi

3.4 Cara Kerja


1. Amati tipe morfologi talus pada lichen seperti warna, bentuk, dan
penutupan lichen.
2. Catat segala yang diamati di bagan yang sudah disediakan
3. Dokumentasikan lichen.

12
4. Ambil sample lichen dengan cara dikerik lalu masukan pada plastik
spesimen dan di labeli.

3.5 Hasil Penelitian


3.5.1 Karakteristik tempat hidup Lichen
Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda
Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda merupakan kawasan
konservasi yang terpadu antara alam sekunder dengan hutan tanaman
yang terletak di Kota Bandung, Indonesia. Luasnya mencapai 590
hektare membentang dari kawasan Dago Pakar sampai Maribaya.
Letak Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda berada di Kampung
Pakar, Desa Ciburial, Kecamatan Cimenyan, pada ketinggian antara
770 mdpl sampai 1330 mdpl. Di atas tanahnya yang subur terdapat
sekitar 2500 jenis tanaman yang terdiri dari 40 familia dan 112
species. Pada tahun 1965 luas taman hutan raya baru sekitar 10 ha
saja, namun saat ini sudah mencapai 590 ha membentang dari
kawasan Pakar sampai Maribaya. Saat ini pengelolaannya dilakukan
oleh Dinas Kehutanan Pemda Provinsi Jawa Barat (sebelumnya
berada di bawah naungan Perum Perhutani).

13
Hutan Bababkan Siliwangi

Babakan Siliwangi atau yang dikenal disingkat dengan Baksil


adalah salah satu kawasan hutan kota di Bandung, tepatnya berada di
Kelurahan Babakan Siliwangi, Kecamatan Coblong, Kota Bandung.
Lokasi Babakan Siliwangi yang tidak jauh dari pusat kota (berada di
utara pusat kota Bandung) membuat Babakan Siliwangi menjadi
Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang paling terjangkau oleh masyarakat
kota Bandung. Keberadaan Babakan Siliwangi sebagai RTH juga
membuat kawasan ini menjadi paru-paru kota sekaligus tempat
rekreasi bagi masyarakat. Babakan Siliwangi memiliki luas sebesar
3,8 hektar diisi dengan berbagai satwa yang melengkapi ekosistem
yang ada. Dalam perjalanannya, pengelolaan Babakan Siliwangi
mengalami banyak kontroversi, terutama adanya rencana pengalihan
pengelolaan Babakan Siliwangi kepada pihak swasta yang
merencanakan pembangunan yang dapat dikomersilkan.

14
Jl. DR. Setiabudhi

Jalan Setiabudi merupakan jalan utama yang menghubungkan


pusat kota Bandung menuju Lembang dan sekitarnya yang terdapat
banyak tempat wisata. Maka tak heran jika Jl. DR. Setiabudhi sering
mengalami kemacetan dikondisi-kondisi dan waktu-waktu tertentu,
misalnya saat jam berangkat kerja atau pulang kerja. Banyaknya
kendaran yang melintas dijalan ini membuat udara di sekitar tercemari
oleh asap kendaraan bermotor.

15
3.5.2 Hasil penelitian

No. Bentuk Warna Tempat

1 Crustose Hijau muda, Abu-abu Hutaan Babakan Siliwangi

Hijau Tua pucat, Hijau


2 Crustose Hutaan Babakan Siliwangi
muda

Foliose Hijau muda

3 Crustose Hijau abu-abu Hutaan Babakan Siliwangi

Squamulose Hijau tua

4 Crustose Hijau tua segar Hutaan Babakan Siliwangi

5 Crustose Hijau muda pucat Jl. Setiabudi

Crustose Hijau muda pucat


6 Jl. Setiabudi
Foliose Hijau muda pucat

7 Foliose Hijau abu-abu Jl. Setiabudi

8 Foliose Hijau muda, tosca Jl. Setiabudi

Crustose Orange
9 Taman Hutan Ir. Djuanda
Foliose Hijau muda

Crustose Hijau tua, Hijau pucat


10 Taman Hutan Ir. Djuanda
Foliose Hijau muda

11 Crustose Hijau, Orange kehijauan Taman Hutan Ir. Djuanda

Foliose Hijau muda


12 Taman Hutan Ir. Djuanda
Crustose Orange

Crustose Hijau muda


13 Taman Hutan Ir. Djuanda
Foliose Hijau muda

16
Dari data di atas terlihat bahwa bentuk lumut kerak yang banyak dijumpai adalah
bentuk crustose dan foliose. Bentuk squamulose hanya ditemukan satu di hutan
babakan siliwangi. Sedangkan bentuk fructicose tidak dijumpai di tiga tempat
pengamatan.

Warna lumut kerak di babakan siliwangi beraneka ragam, mulai dari hijau muda,
hijau tua pucat, hingga abu-abu. Sedangkan di Jl. DR. Setiabudhi terlihat lumut
kerak memiliki warna hijau pucat hingga abu-abu. Pada Taman Hutan Ir. Djuanda,
terlihat lumut kerak lebih beraneka warna. Mulai dari orange, hijau muda, hijau tua,
sampai abu-abu.

Jika dilihat dengan mata tanpa pengukuran, di Hutan Babakan Siliwangi, lumut
kerak hanya menutupi sedikit dari batang pohon, begitupun dengan lumut kerak
yang terdapat di pohon sepanjang Jl. DR. Setiabudhi, lumut kerak disana tidak
penuh menutupi batang pohon. Berbeda dengan lumut kerak yang terdapat di
pohon-pohon di Taman Hutan Ir. Djuanda, jika dilihat dengan dekat dan seksama
maka lumut kerak menutupi hampir seluruh batang terutama batang bagian bawah.

3.5.3 Foto Hasil Penelitian


Hutan Babakan Siliwangi

17
Jl. DR. Setiabudhi

18
Taman
Hutan Ir.
Djuanda

19
20
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan.
Lumut kerak ini merupakan salah satu organisme yang digunakan sebagai
bioindikator pencemaran udara. Kematian lichen yang sensitif dan peningkatan
dalam jumlah spesies yang lebih tahan lama dalam suatu daerah dapat dijadikan
peringatan dini akan kualitas udara yang memburuk. Pada daerah yang cukup
baik dan tidak mengalami pencemaran, kepadatan lichen pada pohon-pohon
disekitar dan dominan ditumbuhi oleh berbagai jenis lichen dengan warna yang
tidak pucat.

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa lichen di lingkunagn Hutan


Taman Raya Ir. Djuanda tidak begitu pucat dan juga tumbuh banyak, selain itu
presentase penutuppan lichen lebih luas hal ini menandakan bahwa lingkungan
sekitar belum tercemar karena lokasinya yang jauh dari jalan raya. Namun di
Hutan Babakan Siliwangi dan sekitaran jalan Setiabudi lichen berwarnaa lebih
pucat dan presentasi penutupannya sedikit, hal ini dikarena udara sekitar kotor
karena lokasinya yang dekat dengan jalan raya yang dilalui oleh banyak
kendaraan bermotor.

4.2 Saran.
Sebelum melakukan penelitian sebbaiknya lebih mempersiapkan alat yang
akan digunakan. Selain itu juga harus mempersiapkan ilmu agar hasil penelitian
lebih akurat dan lebih detail.

21
DAFTAR PUSTAKA

http://biologipedia.blogspot.co.id/2010/09/lichenes.html?m=1

http://biodiversitywarriors.org/m/article.php?idj=1850

Pratiwi, M.E. (2006). Kajian Lumut Kerak Sebagai Bioindikator Kualitas Udara
(Studi Kasus : Kawasan Industri Pulo Gadung, Arboretum Cibubur dan Tegakan
Mahoni Cikabayan). Skripsi. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Nurjanah, H, dkk. Keragaman dan Kemampuan Lichen Menyerap Air Sebagai
Bioindikator Pencemaran Udara di Kediri. Jurnal Ilmiah. Kediri : Universitas
Nusantara PGRI Kediri.

22

Anda mungkin juga menyukai