Anda di halaman 1dari 9

Pendahuluan

Kurikulum adalah perangkat mata pelajaran dan program pendidikan yang diberikan oleh
suatu lembaga penyelenggara pendidikan yang berisi rancangan pelajaran yang akan
diberikan kepada peserta pelajaran dalam satu periode jenjang pendidikan.Kurikulum
sebaiknya disusun berdasarkan tahapan perkembangan berpikir peserta didik.Kemampuan
berpikir bila ditinjau dari sisi biologis tidak dapat terlepas dari perkembangan otak yang
terdiri dari beberapa tahapan perkembangan. Adapun tahap-tahap perkembangan kemampuan
berpikir manusia dapat dibedakan menjadi 7 tahap, yaitu: (1) Membangun suatu pemahaman,
(2) Membandingkan hal yang diketahui dan yang tidak diketahui, (3) Meletakkan benda-
benda secara bersamaan, (4) Ide yang simultan, (5) Hubungan superordinat/subordinat, (6)
Penalaran yang berkombinasi, dan (7) Berpikir fleksibel (Lowery, 1998).
Dengan memahami ketujuh tahapan perkembangan kemampuan berpikir, diharapkan kita
mampu menyusun suatu kurikulum menjadi lebih baik dengan mengutamakan pada
kenyataan bagaimana manusia belajar dan pada perbedaan kemampuan intelektual siswa pada
semua tingkatan, mulai dari kanak-kanak sampai pada tingkat kedewasaan.

Perkembangan Kemampuan Berpikir


Otak merupakan organ fisik yang pada saat kelahiran diperkirakan terdiri dari sekitar 100
miliar sel. Pada saat lahir massanya diperkirakan sekitar sepertiga massa sesungguhnya.
Dalam dua tahun setelah kelahiran massanya akan meningkat dua kali lipat, dan lebih dari 15
tahun kemudian kebanyakan selnya akan berkembang hingga mencapai 600.000 sinapsis
(koneksi antar sel saraf otak) antara satu sel dengan sel lainnya (Lowery, 1998).

Segera setelah konsepsi (fertilisasi), sel – sel otak mulai berkembang dalam laju yang
menakjubkan. Permulaan yang dengan hanya sejumlah kecil sel pada ujung embrio, sebanyak
250.000 sel dihasilkan permenit dalam 20 minggu, dan setelah kelahiran, sekitar 200 miliar
sel otak telah terbentuk (Syaifuddin, 2007).

Jumlah sel otak yang dihasilkan lebih dari yang dibutuhkan individu. Kelebihan produksi
merupakan cara alamiah untuk memastikan bahwa tersedia jumlah sel yang cukup selama
masa perkembangan yang di dalamnya terdapat sejumlah kemampuan untuk bertahan hidup.
Sebelum lahir, tugas sel – sel otak adalah mengenal tubuh yang berkembang di sekitarnya.Sel
– sel melakukan hal ini dengan mengirimkan sinyal keluar melalui konektor akson dan
dendrit yang menghubungkan satu sel saraf dengan sel saraf lainnya. Kira-kira setengah dari
sel ini mati sebelum waktunya lahir, kebanyakan karena gagal tersambung dengan beberapa
bagian tubuh yang sedang berkembang, dan yang lainnya melalui proses pemangkasan yang
mengeleminasi sinapsis neural yang rusak.

Selama kehamilan, terutama sekitar minggu ke-20, faktor resiko seperti defisiensi vitamin,
rokok, alkohol, zat kimia tertentu, atau suhu yang terlalu tinggi dapat mencegah
perkembangan neural atau menyebabkan kerusakan pada neuron dan sinapsisnya. Sel – sel
otak menjadi semakin banyak setelah kelahiran, namun produksi berhenti sebelum akhir dari
tahun pertama kehidupan. Setelah usia satu tahun, manusia tidak pernah memperoleh sel otak
lainnya. Semua sel otak akan dibutuhkan dan akan tetap berada pada tempatnya. Namun,
massa otak hanya sekitar sepertiga massa otak dewasa. Otak akan membesar setelah
kelahiran karena sel otak membesar dan karena jaring – jarring sinapsis antara dan beberapa
sel meningkat. Sinapsis baru terbentuk dan meningkat jumlahnya dalam otak sebagai akibat
dari suatu pengalaman berpikir.

Berpikir
Dalam arti yang terbatas berpikir itu tidak dapat didefinisikan.Tiap kegiatan jiwa yang
menggunakan kata-kata dan pengertian selalu mengandung hal berpikir. Berpikir adalah
suatu aktifitas pribadi manusia yang mengakibatkan penemuan yang terarah kepada suatu
tujuan.Kita berpikir untuk menemukan pemahaman atau pengertian yang kita kehendaki
(Purwanto, 2006).

Ciri-ciri utama dalam berpikir adalah adanya abstraksi.Abstraksi dalam hal ini berarti
anggapan lepasnya kualitas atau relasi dari benda-benda, kejadian-kejadian dan situasi-situasi
yang mula-mula dihadapi sebagai kenyataan.Sebagai contoh, kita lihat sebungkus rokok,
rokok itu sebuah benda yang konkrit. Jika kita pandang hanya warna bungkus rokok itu,
maka warna isi kita lepaskan dari semua yang ada pada sebungkus rokok itu (bentuknya,
rasanya, beratnya, baunya, dan sebagainya). Mula-mula warna itu hanya pada benda konkrit
yang kita hadapi dan merupakan bagian dari keutuhan yang tidak dapat dilepaskan.Sekarang
warna itu sendiri kita pandang, dan kita pisahkan dari keseluruhan bungkus rokok.Dengan
demikian dalam arti luas kita dapat mengatakan bahwa berpikir adalah bergaul dengan
abstraksi – abstraksi.Dalam arti yang sempit, berpikir adalah meletakkan atau mencari
hubungan pertalian antara abstraksi – abstraksi. Berpikir erat hubungannya dengan daya-daya
jiwa yang lain, seperti dengan tanggapan, ingatan, pengertian, dan perasaan. Tangapan
memegang peranan penting dalam berpikir meskipun adakalanya dapat mengganggu jalannya
berpikir.Ingatan merupakan syarat yang harus ada dalam berpikir, karena memberikan
pengalaman-pengalaman dari pengamatan yang telah lampau. Pengertian meskipun hasil
berpikir dapat memberi bantuan yang besar pula dalam suatu proses berpikir. Perasaan selalu
menyertai pula, ia merupakan dasar yang mendukung suasana hati, atau sebagai pemberi
keterangan dan ketekunan yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah.

Kebanyakan orang menganggap berpikir (thinking) dan otak (brain) adalah kata-kata yang
bersinonim.Pemikir yang baik selalu dinyatakan “brainy”. Ketika orang-orang
berkata,”Brains over brawn,” maka mereka dengan jelas menyamakan “brain” dengan
berpikir cerdas. Seseorang yang “brainless” dianggap sebagai orang yang tidak memiliki
intelejensi. Namun meskipun demikian, berdasarkan terminologi, “brain” dan “thinking”
bukanlah sinonim. Kedua kata tersebut cukup berbeda.

Tahap Perkembangan Kemampuan Berpikir


Dibandingkan dengan mahluk hidup lainnya, manusia memasuki dunia ini dengan pemikiran
sempit yang sedikit pemahamannya. Kebanyakan spesies burung, ikan, dan hewan lain
terlahir dengan otak yang deprogram dengan informasi yang membuat mereka mampu
bertahan hidup, mencari makanan dari alam, dan menghasilkan keturunan mereka. Sebagai
contoh, beberapa burung yang bermigrasi dapat berjalan menuju lokasi yang tidak pernah
mereka huni dengan tujuan mengubah kesempatan bertahan hidup menjadi lebih baik. Hewan
lain juga berlaku sesuai dengan insting yang bebas berpikir. Namun, bayi manusia terlahir
cukup tanpa pertolongan dimana ia harus membangun pengetahuannya tentang dunia dengan
cara sendiri.

Dari sudut pandang biologi, merupakan suatu hal yang hebat bila individu tidak terlahir
dengan pengetahuan awal (tanpa otak yang terprogram). Hal ini memperkuat kemampuan
suatu spesies untuk bertahan hidup. Pada hakikatnya manusia menghasilkan keturunannya
dalam situasi lingkungan tertentu, dan anak yang lahir akan mempelajari lingkungan melalui
pengamatan dan berinteraksi di dalamnya. Bahkan hadir dalam kehidupan yang sudah
dipersiapkan dengan pengetahuan awal, kita telah diberkahi dengan hadiah genetik yang luar
biasa yaitu satu set kemampuan berpikir yang diprogram muncul berjarak dari waktu
kelahiran. Kekuatan kemampuan ini terletak bahwa kemampuan ini memperbolehkan kita
untuk belajar bagaimana bertahan hidup di lingkungan secara praktis.

Kemampuan ini seperti suatu seri peta transparan yang bertumpuk ke atas satu demi satu
untuk menggambarkan suatu peningkatan kompleksitas permukaan, jalan, kota, rel kereta api,
dan benua. Namun kemampuan yang dijelaskan dalam hal ini berupa peta tanpa konten/isi:
judul, menggambarkan apa, dan kualitasnya tidak serta merta ada pada peta ini. Interaksi
individual dengan lingkungannya secara bertahap akan terisi dan menjadi konten, awalnya
pada satu peta dan kemudian pada peta lainnya.

Berdasarkan penjelasan di atas, selanjutnya, dapat dibedakan tahapan berpikir dan belajar
menjadi 7 tahapan (Lowery, 1998), yaitu:
Tahap 1 : Membangun suatu pemahaman
Cara berpikir dibangun selama tahap perkembangan kognitif pertama yang didapat melalui
melakukan aktivitas “memperhatikan sesuatu” oleh anak. Ketika objek yang diberikan
dimainkan, anak akan menjelajahi kemampuan “sesuatu pada satu waktu” mereka,
diperagakan oleh tampilan perseptual mereka. Ketika anak telah selesai memperhatikan
secara menyeluruh suatu benda, biasanya benda tersebut akan dibuang. Kemampuan berpikir
pada tahapan ini lebih terutama kemampuan sensorik, dan tindakannya dilakukan terhadap
satu objek pada satu waktu, tindakannya seperti melihat benda tersebut dan memperhatikan
aspek warna, ukuran, dan bentuk; menyentuhnya dan merasakan tekstur dan kelenturannya;
menekan, menarik, atau melempar benda tersebut dan menandai bagaimana benda tersebut
menanggapi perlakuan; merasakan benda tersebut menandai rasanya, kelenturannya, dan
teksturnya. Pengalaman ini menghasilkan suatu pemahaman fundamental yang berguna bagi
tahapan selanjutnya. Secara biologis, kita menjalani tahapan membangun pemahaman
mengenai lingkungan ini selama tiga tahun. Sebagai tambahan, otak didesain untuk
mengkode kata dengan mudah di usia-usia permulaan kita. Anak akan mengkode sekitar 10
kata baru setiap hari selama usia dua sampai lima tahun. Balita dengan aktif dan giat
membangun konsep dan mengelompokkan konsep tersebut menjadi kata-kata. Bahkan pada
tahap awal ini, anak – anak dapat dilihat dengan sengaja menunjukkan proses inkuiri yang
berkontribusi membangun pemahaman personal anak.
Tahap 2 : Membandingkan hal yang diketahui dan yang tidak diketahui
Tahap kedua dari perkembangkan kognitif mulai terjadi pada usia sekitar 3 tahun. Sekarang,
ketika anak berpikir tentang suatu benda dan melakukan sesuatu terhadap benda itu, si anak
akan mengelompokkannya berdasarkan bentuk, ukuran, warna, atau berdasarkan kriteria
dasar lainnya. Rasional anak dalam mengelompokkan berasal dari pemahaman yang ia
peroleh dari pengalaman sebelumnya. Dari tindakan ini, si anak membangun suatu konstruksi
pemahaman mental tentang dunia dan bagaimana benda dan peristiwa saling berhubungan.
Semua pemikiran si anak terbentuk oleh kemampuannya mencocokkan dua buah benda
secara bersamaan berdasarkan dasar-dasar suatu atribut-atribut yang umum, atau
mengkaitkan dua peristiwa berdasarkan dasar-dasar suatu hubungan. Hal ini berlanjut
menjadi cara yang dominan saat anak berpikir dan menyelesaikan masalah sampai usia
sekitar 6 tahun. Tahapan kemampuan ini terbentuk oleh kemampuan anak dalam
membandingkan satu tindakan dengan tindakan lainnya, atau mengelompokkan benda secara
berpasangan berdasarkan dasar-dasar dari suatu properti seperti warna, bentuk, atau ukuran.
Pemahaman ini selanjutnya menghasilkan perkembangan lebih lanjut dalam
mengelompokkan sesuatu secara berpasangan.

Tahap 3 : Meletakkan benda-benda secara bersamaan


Tahapan selanjutnya dari perkembangan kognitif dimulai di usia 6 tahun sampai dengan 8
tahun. Susunan yang dibuat oleh anak akan dipergunakan dalam suatu set. Saat
mengelompokkan benda, anak akan memberikan suatu aturan yang logis yang berlaku bagi
semua benda dalam set tersebut. Kemampuan memilah pada tahapan ini terbentuk oleh
kemampuan anak dalam mengelompokkan semua benda berdasarkan ciri-ciri dasar yang
umum dari suatu atribut. Bila pengalaman awal telah banyak, anak-anak pada tahap ini telah
masuk pada tahap pemahaman benda-benda yang mungkin untuk membangun suatu
bangunan objek. Mereka memilah benda-benda untuk meningkatkan pemahaman. Namun,
masing-masing pemilahan objek selalu berdasarkan ciri-ciri dari suatu benda, karena anak
belum dapat memadukan satu ciri-ciri dasar suatu benda pada satu waktu.

Tahap 4 : Ide yang simultan


Saat anak-anak menunjukkan pemikirannya, hal ini menunjukkan bahwa mereka telah
mampu memadukan lebih dari satu ide pada satu waktu, mereka telah memasuki tahap
keempat dari perkembangan kognitifnya. Pada sebagian besar anak, tahap ini terjadi di usia 8
tahun dan berlanjut hingga usia 11 tahun. Pada tahap ini, siswa mampu mengklasifikasi suatu
objek ke dalam lebih dari satu kategori dalam waktu yang bersamaan menjadi satu kategori
berdasarkan dua atau lebih keadaan yang simultan. Siswa menyadari kesinambungan keadaan
ini tidak terlepas dari objek dimana objek yang sekaligus berwarna coklat dan berbentuk
persegi pada satu waktu lebih baik dari pada berwarna coklat lalu menjadi persegi. Susunan
objek dan ide pada tahap berpikir ini menjadi lebih kompleks.
Walaupun anak-anak yang berusia lebih muda dapat menghasilkan hasil yang dicontohkan
pada tahap ini, namun cara mereka untuk melakukannya cukup berbeda. Sebagai contoh,
anak yang lebih kecil mungkin saja memilah dan mengelompokkan objek pertama
berdasarkan warnanya, kemudian selanjutnya berdasarkan bentuknya. Sementara anak yang
usianya lebih tua akan memilih objek yang benar dari kedua property sebelum
memindahkannya.

Tahap 5 : Hubungan superordinat/subordinat


Berpikir tentang hubungan diantara objek-objek dan suatu konsep superordinatnya
merupakan indicator dari tahapan perkembangan ini. Tahapan ini muncul di usia 11 tahun.
Seperti berpikir menyadari bahwa satu kumpulan objek termasuk dalam kumpulan objek
yang lainnya, kemudian semua objek dalam kelompok yang lebih kecil merupakan bagian
dari kelompok yang lebih besar. Kebalikannya, satu bagian dari kelas yang lebih luas terdiri
dari semua kelas yang lebih kecil. Terdapat pengakuan bahwa keseluruhan sama dengan
jumlah dari bagian-bagiannya. Hal ini merupakan contoh bahwa kelompok besar tidak akan
pernah ada tanpa adanya kelompok-kelompok kecil.

Tahap 6 : Penalaran yang berkombinasi


Tahapan berikutnya berlangsung pada usia 14 tahun, dimana siswa menjadi lebih fleksibel
dalam berpikir. Seseorang yang berada pada tahapan ini mampu mengelompokkan benda-
benda berdasarka satu atribut atau lebih, kemudian mampu mengelompokkan ulang dengan
cara yang berbeda, menyadari bahwa masing-masing cara mungkin untuk dilakukan pada
waktu yang bersamaan, dan bahwa bagaimana cara mengelompokkan tergantung pada tujuan
seseorang.

Tahap 7 : Berpikir fleksibel


Tahapan ketujuh ini muncul sekitar usia 16 tahun, siswa mampu membangun suatu kerangka
berpikir suatu rasional logika mengenai hubungan di antara benda-benda atau di antara ide-
ide yang ada, sedangkan pada saat yang sama menyadari bahwa susunan yang ada merupakan
salah satu dari kemungkinan susunan yang bisa muncul dan mungkin berubah. Ciri utama
dari tahap ini secara individual mampu mengelompokkan dan mengelompokkan ulang benda
atau ide menjadi suatu hirarki hubungan bertingkat.

Berpikir Kritis
Tidak dapat dipungkiri kalau sistem pendidikan seperti ini akan mematikan kreativitas, sikap
kritis dan potensi siswa. Pendidikan justru membawa para siswa menjadi ‘jauh’ dari
lingkungannya, tidak peka terhadap lingkungannya sendiri karena hanya mementingkan hal-
hal yang bersifat akademis dan materiil. Pelajaran-pelajaran hanya diberikan secara teoritis
belaka tanpa ditelaah secara mendalam dan mengkritisinya serta diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari, sehingga pelajaranpelajaran tersebut tidak bermanfaat (Mustadji, 2004).

Salah satu kelemahan utama pendidikan kita adalah tidak membangun kesadaran kritis siswa
dalam belajar. Kita lebih banyak menjejalkan pengetahuan ke dalam otak siswa tanpa mau
tahu apakah pengetahuan yang kita berikan diserap dengan baik atau tidak karena kita hanya
menuntut mereka untuk menghafalkan apa yang kita berikan. Tidak heran kalau siswa sering
kali menjawab “tidak tahu” jika guru bertanya sesuatu yang baru saja diajarkan kepada
mereka. Dalam taxonomi Bloom tingkat belajar yang paling rendah adalah menghafal dan ini
sudah menjadi pola belajar siswa kita bahkan sampai tingkat mahasiswa sekalipun.
Bagaimana mungkin otak mereka mampu menyerap secara mendalam ilmu pengetahuan
yang kita berikan karena terlalu banyaknya bahan pelajaran yang kita berikan, dengan
demikian pengetahuan itu tidak sempat mengendap dan dicerna dengan baik. Apa yang
dilakukan oleh para guru selama ini adalah sesuatu yang sia-sia. Sungguh keprihatinan yang
luar biasa karena pekerjaan mulia para guru ini kurang bermanfaat bagi perkembangan anak
didik.

Seseorang yang telah mencapai kesadaran kritis akan dapat berpikir kritis, tidak membeo
saja, tetapi dapat melontarkan pertanyaan dan tanggapan kritis. Kita membutuhkan orang-
orang yang mampu berpikir kritis untuk dapat menjawab tantangan masa depan pada era
globalisasi yang serba tidak pasti dan berubah sangat cepat. Berpikir kritis mencakup seluruh
proses mendapatkan, membandingkan, menganalisis, mengevaluasi, internalisasi dan
bertindak melampaui ilmu pengetahuan dan nilai-nilai. Berpikir kritis bukan sekedar berpikir
logis sebab berpikir kritis harus memiliki keyakinan dalam nilai-nilai, dasar pemikiran dan
percaya sebelum didapatkan alasan yang logis dari padanya (Steven D. Schafersman dalam
Muwarni, 2006). Berpikir kritis berarti berpikir tepat dalam pencarian relevansi dan andal
tentang ilmu pengetahuan dan nilai-nilai tentang dunia. Berpikir kritis adalah berpikir yang
beralasan, reflektif, bertanggung jawab dan terampil berpikir yang fokus dalam pengambilan
keputusan yang dapat dipercaya. Seseorang yang berpikir kritis dapat mengajukan pertanyaan
dengan tepat, memperoleh informasi yang relevan, efektif dan kreatif dalam memilah-milah
informasi, alasan logis dari informasi, sampai pada kesimpulan yang dapat dipercaya dan
meyakinkan tentang dunia yang memungkinkan untuk hidup dan beraktifitas dengan sukses
di dalamnya. Adalah tidak mungkin untuk mendapatkan aktualisasi diri tanpa melatih
berpikir kritis. Kebiasaan berpikir kritis itu tidak akan terjadi tanpa didahului oleh kesadaran
kritis.

Dalam konteks pembelajaran, pengembangan kemampuan berpikir ditujukan untuk beberapa


hal (Soedijarto, 2004), diantaranya adalah (1) mendapat latihan berfikir secara kritis dan
kreatif untuk membuat keputusan dan menyelesaikan masalah dengan bijak, misalnya luwes,
reflektif, ingin tahu, mampu mengambil resiko, tidak putus asa, mau bekerjasama dan lain
lain, (2) mengaplikasikan pengetahuan, pengalaman dan kemahiran berfikir secara lebih
praktik baik di dalam atau di luar sekolah, (3) menghasilkan idea atau ciptaan yang kreatif
dan inovatif, (4) mengatasi cara-cara berfikir yang terburu-buru, kabur dan sempit, (5)
meningkatkan aspek kognitif dan afektif, dan seterusnya perkembangan intelek mereka, dan
(6) bersikap terbuka dalam menerima dan memberi pendapat, membuat pertimbangan
berdasarkan alasan dan bukti, serta berani memberi pandangan dan kritik.

Pengembangan Kurikulum yang Berorientasi pada Pengembangan Kemampuan Berpikir


Kritis Siswa
Sekolah adalah lembaga sosial yang keberadaannya sebagai bagian dari sistem sosial negara
bangsa sangat strategis sejak industrialisasi dan gerakan negara kebangsaan pada abad ke-19,
yang melahirkan negara-negara kebangsaan seperti Amerika Serikat, Britania Raya, Jerman,
Perancis, Italia, maupun Jepang. Para pendiri Republik nampaknya terilhami oleh
perkembangan negara-negara kebangsaan tersebut yang, dalam sejarahnya merupakan proses
menjadi satunya kerajaan-kerajaan kecil dari masing-masing negara tersebut,
mengamanatkan perlunya mencerdaskan kehidupan bangsa, dan memajukan kebudayaan
nasional melalui diselenggarakannya satu sistem pengajaran nasional (sekolah). Para pendiri
Republik sadar akan adanya jurang antara kondisi yang dicita-citakan yaitu masyarakat
negara kebangsaan yang modern dan demokratis yang berdasarkan Pancasila dengan kondisi
perkembangan masyarakat Indonesia pada saat proklamasi. Karena itu harapan terbesar dari
suatu masyarakat yang melakukan transformasi budaya adalah menjadikan sekolah sebagai
pusat pembudayaan berbagai kemampuan, nilai, dan sikap dari warga masyarakat moderen.
Dalam mengemban peranan sekolah sebagai pusat pembudayaan inilah kedudukan kurikulum
sangatlah strategis. Karena proses pembudayaan berbagai kemampuan nilai, dan sikap itu
hanya dapat berlangsung melalui proses pembelajaran yang bermakna sebagai proses
pembudayaan. Proses pembelajaran yang demikian hanya akan terjadi secara efisien, dan
efektif melalui suatu sistem kurikulum yang dirancang secara sistematik sejak penentuan
tujuan yang harus dicapai, materi yang harus dipelajari, proses pembelajaran yang harus
diterapkan, dan sistem evaluasi yang harus dikembangkan dan dilaksanakan.

Menurut Nuryanti (2008), kalau kita kaji secara mendalam tujuan pendidikan yang selama ini
dirumuskan, dalam berbagai UU pendidikan nasional kita, akan menemukan betapa
pendidikan nasional diharapkan untuk dapat melahirkan manusia Indonesia yang : (1) religius
dan bermoral; (2) yang menguasai ilmu pengetahuan dan ketrampilan; (3) yang sehat jasmani
dan rohani; dan (4) yang berkepribadian dan bertanggung jawab. Keempat karakteristik
manusia yang dirumuskan dalam berbagai Undang-Undang Pendidikan Nasional tersebut
hakekatnya karakteristik yang bersifat universal, yang masih perlu diterjemahkan kedalam
rumusan yang operasional dan terkait dengan perkembangan masyarakat Indonesia
khususnya dan masyarakat internasional pada umumnya. Wujud nyata dari setiap
karakteristik tersebut akan berbeda dalam suatu tingkat perkembangan masyarakat dan
tingkat pendidikan. Karena itu dalam menterjemahkan keempat karakteristik tersebut ke
dalam rumusan wujud kemampuan, nilai, dan sikap yang dapat dijadikan rujukan dalam
proses perencanaan kurikulum perlu dipahami tingkat dan arah perkembangan masyarakat
Indonesia.

Proses Pembelajaran yang berorientasi pada peningkatakan kemampuan berpikir kritis


Proses Pendidikan Kritis, menurut Mansour Fakih (dalam Muwarni, 2006) adalah suatu
penyelenggaraan belajar-mengajar, merupakan proses pendidikan kritis harus mencerdaskan
sekaligus bersifat membebaskan pesertanya untuk menjadi pelaku (subjek) utama, bukan
sasaran perlakuan (objek), dari proses tersebut. Artinya bahwa siswalah yang aktif untuk
mencari pengetahuannya dan menentukan apa yang ingin dipelajari dan, guru berfungsi
memfasilitasi siswa.

Ciri-ciri pokok dari pembelajaran yang membangun kesadaran kritis, yaitu: (1) Belajar dari
realitas atau pengalaman: yang diajarkan bukan ajaran (teori, pendapat, kesimpulan,
wejangan, dsb) tetapi realitas nyata. Keabsahan pengetahuan seseorang ditentukan oleh
pembuktiannya dalam realitas tindakan atau pengalaman langsung bukan pada retorika
teoritik, (2) Tidak menggurui: guru dan murid samasama belajar, dan (3) Dialogis : prosesnya
bukan bersifat satu arah tetapi lebih pada diskusi kelompok, bermain peran dsb dan
menggunakan media (peraga, grafik, audio visual, dsb) yang lebih memungkinkan terjadinya
dialog kritis antara semua orang.

Panduan proses belajar harus disusun dan dilaksanakan dalam suatu proses yang dikenal
sebagai “daur belajar dari pengalaman yang distrukturkan” (structural experiences learning
cyrcle) agar pendidikan kritis dapat dicapai dalam pembelajaran. Proses ini memungkinkan
setiap orang untuk mencapai pemahaman dan kesadaran kritis dengan cara terlibat
didalamnya secara langsung ataupun tidak. Proses yang melibatkan setiap orang yang belajar
itu adalah: (1) Rekonstruksi: yaitu menguraikan kembali rincian (fakta, unsur-unsur, urutan
kejadian, dll). Ini tahap proses mengalami, menggali pengalaman dengan cara melakukan
kegiatan. Apa yang dilakukan dan dialami adalah mengerjakan, mengamati, melihat dan
mengatakan sesuatu. Pengalaman ini yang menjadi titik tolak proses belajar selanjutnya; (2)
Ungkapkan: setelah mengalami, maka tahap berikutnya yaitu proses
mengungkapkan/menyatakan kembali apa yang sudah dialami, bagaimana tanggapan, kesan
atas pengalaman tersebut; (3) Analisis: yaitu mengkaji sebab dan kaitan permasalahan yang
ada dalam realitas tersebut yaitu tatanan, aturan-aturan, system dari pokok pembahasan; (4)
Kesimpulan: yaitu merumuskan makna atau hakekat dari apa yang dipelajari, sehingga terjadi
pemahaman baru yang lebih utuh, berupa prinsip-prinsip, kesimpulan umum dari kajian atas
pengalaman; (5) Tindakan: tahap akhir dari daur belajar ini adalah memutuskan dan
melaksanakan tindakan-tindakan baru yang lebih baik berdasarkan pemahaman atau
pengertian atas realitas tersebut, sehingga ada kemungkinan menciptakan realitas baru yang
lebih baik. Langkah ini diwujudkan dengan cara merencanakan tindakan dalam rangka
menerapkan prinsip-prinsip yang telah disimpulkan. Proses pengalaman belumlah lengkap,
sebelum didapatkan ajaran baru, pengalaman baru, penemuan baru yang dilaksanakan dan
diuji dalam perilaku yang sesungguhnya, dalam penerapan ini juga menimbulkan pengalaman
baru.

Proses pendidikan kritis untuk menumbuhkan kesadaran kritis, akan tercapai jika guru
menempatkan diri sebagai fasilitator yang siap untuk melayani siswa dalam belajar, bukan
untuk menggurui dan berlaku sebagai satu-satunya sumber ilmu dan kebenaran. Dengan lebih
banyak menggunakan metode ilmiah dan eksperimen agar siswa sebanyak mungkin
merasakan dan mengalami dalam suasana yang dialogis.
DAFTAR PUSTAKA
Lowery, L. F. 1998. The Biologycal Basis of Thinking and Learning. Barkeley: Lawrence
Hall of Science-University of California.

Munir. 2004. Kurikulum Berbasis TIK. Bandung: SPS Universitas Pendidikan Indonesia.

Murwani, E. D. 2006. Peran Guru dalam Membangun Kemampuan Berpikir Kritis Siswa.
Jurnal Pendidikan Penabur 6(1) hal. 59 – 68.

Mustaji. 2004. Pengembangan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif dalam Pembelajaran.
Jurnal Pendidikan Universitas Negeri Surabaya.

Nuryanti. 2008. Filsafat Pendidikan Islam Tentang Kurikulum. Jurnal Hunafa 3(5) hal. 329-
338

Purwanto, N. M. 2006. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Remaja Rosdakarya.

Rahmawati, T. D. 2009. Kompetensi Berpikir Kritis dan Kreatif dalam Pemecahan Masalah
Matematika Di SMP Negeri 2 Malang. Diakses pada September 2012.

Soedijarto. 2004. Kurikulum, Sistem Evaluasi, dan Tenaga Pendidikan sebagai Unsur
Strategis dalam Penyelenggaraan Sistem Pengajaran Nasional. Jurnal Pendidikan Penabur
No. 03 hal. 89 – 107.

Syaifuddin. 2007. Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta: EGC Buku
Kedokteran.

Tim Pengembang MKDP Kurikulum dan Pembelajaran. 2011. Kurikulum dan Pembelajaran.
Bandung: Raja Grafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai