Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Korupsi yang terjadi di Indonesia saat ini, sudah dalam posisi yang sangat
parah dan begitu mengakar dalam setiap sendi kehidupan. Perkembangan praktek
korupsi dari tahun ke tahun semakin meningkat, baik dari kuantitas atau jumlah
kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas yang semakin sistematis,
canggih serta lingkupnya sudah meluas dalam seluruh aspek masyarakat.
Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa
bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada
kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Maraknya kasus tindak
pidana korupsi di Indonesia, tidak lagi mengenal batas-batas siapa, mengapa, dan
bagaimana. Tidak hanya pemangku jabatan dan kepentingan saja yang melakukan
tindak pidana korupsi, baik di sektor publik maupun privat, tetapi tindak pidana
korupsi sudah menjadi suatu fenomena.Penyelenggaraan negara yang bersih
menjadi penting dan sangat diperlukan untuk menghindari praktek-praktek
korupsi yang tidak saja melibatkan pejabat bersangkutan,tetapi juga oleh keluarga
dan kroninya, yang apabila dibiarkan,maka rakyat Indonesia akan berada dalam
posisi yang sangat dirugikan. Menurut Nyoman Serikat Putra Jaya menyebutkan
bahwa tindak pidana korupsi tidak hanya dilakukan oleh penyelenggara negara,
antar penyelenggara negara, melainkan juga penyelenggara negara dengan pihak
lain.
seperti keluarga, kroni dan para pengusaha, sehingga merusak sendi-sendi
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta membahayakan
eksistensi negara.Tindak pidana korupsi merupakan perbuatan yang bukan saja
dapat merugikan keuangan negara akan tetapi juga dapat menimbulkan kerugian-
kerugian pada perekonomian rakyat. Tindak pidana korupsi merupakan perbuatan
yang sangat tercela, terkutuk dan sangat dibenci oleh sebagian besar masyarakat,
tidak hanya oleh masyarakat dan bangsa Indonesia tetapi juga oleh masyarakat
bangsa-bangsa di dunia.Perkembangan korupsi di Indonesia masih tergolong

1
tinggi, sedangkan pemberantasannya masih sangat lamban. Selanjutnya, dikatakan
bahwa korupsi berkaitan pula dengan kekuasaan karena dengan kekuasaan itu
penguasa dapat menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi,
keluarga dan kroninya.Oleh karena itu, tindak pidana korupsi tidak lagi dapat
digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar
biasa (extraordinary crime).

2
A. Pengertian Akuntabilitas

Akuntabilitas adalah kewajiban untuk memberikan


pertanggungjawaban atau untuk menjawab dan menerangkan kinerja dan
tindakan penyelenggara organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau
berkewenangan untuk meminta keterangan atau pertanggjawaban.
Pertanggung jawaban penyelenggara sekolah merupakan akumulasi dari
keseluruhan pelaksanaan tugas-tugas pokok dan fungsi sekolah yang perlu
disampaikan kepada publik/stakeholders. Akuntabilitas kinerja sekolah
adalah perwujudan kewajiban sekolah untuk mempertanggungjawabkan
keberhasilan/kegagalan pelaksanaan rencana sekolah dalam mencapai
tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan melalui alat pertanggungjawaban
secara periodik.

Akuntabilitas meliputi pertanggungjawaban penyelenggara sekolah


yang diwujudkan melalui transparansi dengan cara menyebarluaskan
informasi dalam hal:
·pembuatan dan pelaksanaan kebijakan serta perencanaan,
·anggaran pendapatan dan belanja sekolah,
·pengelolaan sumberdaya pendidikan di sekolah, dan
·keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan rencana sekolah dalam
mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.
Menurut jenisnya, akuntabilitas dapat dikategorikan menjadi 4:
1. akuntabilitas kebijakan, yaitu akuntabilitas pilihan atas kebijakan yang
akan dilaksanakan,
2. akuntabilitas kinerja (product/quality accountability), yaitu
akuntabilitas yang berhubungan dengan pencapaian tujuan sekolah,
3. akuntabilitas proses, yaitu akuntabilitas yang berhubungan dengan
proses, prosedur, aturan main, ketentuan, pedoman, dan sebagainya.,
dan

3
4. akuntabilitas keuangan (kejujuran) atau sering disebut (financial
accountability), yaitu akuntabilitas yang berhubungan dengan
pendapatan dan pengeluaran uang (cash in and cash out). Sering kali
istilah cost accountability juga digunakan untuk kategori akuntabilitas
ini

B. Akuntabilitas Pelaporan Keuangan


Sebagai Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP), BPKP
membantu mewujudkan akuntabilitas dalam pelaporan keuangan negara
dan daerah. Akuntabilitas pelaporan keuangan negara masih memerlukan
perbaikan sebagaimana ditandai dengan masih belum diperolehnya opini
Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK atas Laporan Keuangan
Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2011, demikian juga atas 20
kementerian/lembaga (K/L) atau 23% dari total K/L, serta pada hampir
semua pemerintah daerah (pemda), yaitu 431 pemda atau 87% dari 498
pemda yang diaudit BPK.
Kegiatan yang dilakukan BPKP untuk mendukung terwujudnya
akuntabilitas pelaporan keuangan meliputi antara lain :
1. Kegiatan pendampingan penyusunan laporan keuangan K/L/pemda,
2. Reviu laporan keuangan K/L/pemda sebelum diaudit oleh BPK,
3. Menindaklanjuti hasil temuan BPK,
4. Pendampingan perbaikan sistem pelaporan,
5. Implementasi Sistem Informasi Manajemen Daerah (SIMDA),
6. Sosialisasi, pembentukan satgas, dan workshop SPIP, dan
7. peningkatan kapasitas SDM pengelolaan keuangan daerah dan APIP

Secara umum, beberapa faktor yang menyebabkan laporan keuangan


K/L dan pemda tersebut belum memperoleh opini WTP adalah karena
penyajian yang belum sepenuhnya sesuai Standar Akuntansi Pemerintahan
(SAP), lemahnya sistem pengendalian intern, belum tertatanya barang
milik negara/daerah dengan tertib, pengadaan barang yang belum

4
mengikuti ketentuan yang berlaku, dan kurang memadainya kapasitas
SDM pengelola keuangan.

Sebagaimana tahun sebelumnya, pada tahun 2012 BPKP secara


prokatif telah bekerjasama, baik dengan K/L maupun pemda, dalam upaya
peningkatan kualitas laporan keuangan K/L/pemda menuju opini WTP dan
mempertahankan kualitas laporan keuangan bagi K/L/pemda yang telah
memperoleh opini WTP.

Upaya tersebut merupakan tindak lanjut dari direktif Presiden, yang


pada intinya mendorong ditingkatkannya akuntabilitas pengelolaan
keuangan negara melalui kerjasama antara K/L/Pemda dengan BPKP.

Kerjasama tersebut ditujukan terutama untuk mengatasi berbagai


faktor penyebab tidak diperolehnya opini WTP, antara lain mencakup
penguatan SPIP pada K/L/Pemda, reviu atas Laporan Keuangan
Pemerintah Pusat (LKPP), pendampingan penyusunan laporan keuangan
dan pendampingan reviu laporan keuangan instansi bagi APIP K/L/pemda
untuk meningkatkan kualitas penyajian laporan keuangan agar sesuai
dengan SAP, penerapan aplikasi Sistem Informasi Manajemen Daerah
(SIMDA) yang dibangun oleh BPKP, pendampingan penataan barang
milik negara/daerah, peningkatan kapasitas SDM pengelola keuangan,
sosialisasi peraturan dan pedoman bidang keuangan, bimbingan teknis
pengelolaan keuangan negara/daerah, serta penugasan pegawai BPKP ke
berbagai K/L dan Pemda.

Upaya perbaikan tersebut menunjukkan komitmen yang tinggi dan


langkah nyata dari pimpinan K/L/pemda yang diharapkan dapat
meningkatkan kualitas laporan keuangan.

5
Akuntabilitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) menjadi
hal penting karena merupakan bentuk pertanggungjawaban pemerintah
daerah terhadap pelaksanaan APBD. Untuk mengetahui akuntabilitas
laporan keuanganpemerintah daerah perlu dilakukan pemeriksaan
(diaudit). Pemeriksaan tentang akuntabilitas LKPD dilakukan BPK RI
sebagai pemeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan
Negara sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Republik
Indonesia nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal
23E ayat 1 menyebutkan, “Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung
jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan
yang bebas dan mandiri”. Dalam menjalankan tugasnya untuk memeriksa
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, salah satunya adalah
BPK memeriksa laporan keuangan pemerintah daerah sebagaimana
dijelaskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 15 tahun
2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, “BPK bertugas memeriksa
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara yang dilakukan oleh
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank
Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan
Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang
mengelola keuangan Negara”.
Pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah daerah oleh
BPK bertujuan untuk memberikan pendapat/opini atas kewajaran
informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan mendasarkan
pada, (a) kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan dan atau
prisip-prinsip akuntansi yang ditetapkan dalam berbagai peraturan
perundang-undangan, b) kecukupan pengungkapan (adequate disclosure),
(c) kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, (d) efektivitas
sistem pengendalian intern.
Hasil dari pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah
Daerah (LKPD) dituangkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP)

6
yang mengambarkan tingkat akuntabilitas LKPD yang secara keseluruhan
dirangkum dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) yang
dikeluarkan setahun dua kali (tiap semester). Hasil pemeriksaan keuangan
BPK atas LKPD disajikan dalam tiga kategori yaitu opini, Sistem
Pengendalian Intern (SPI), dan kepatuhanterhadap ketentuan perundang-
undangan (BPK, 2009).

C. Tujuan Akuntabilitas
Tujuan utama akuntabilitas adalah untuk mendorong terciptanya
akuntabilitas kinerja sekolah sebagai salah satu prasyarat untuk terciptanya
sekolah yang baik dan terpercaya. Penyelenggara sekolah harus
memahami bahwa mereka harus mempertanggungjawabkan hasil kerja
kepada publik. Selain itu, tujuan akuntabilitas adalah untuk menilai kinerja
sekolah dan kepuasan publik terhadap pelayanan pendidikan yang
diselenggarakan oleh sekolah, untuk mengikutsertakan publik dalam
pengawasan pelayanan pendidikan, dan untuk mempertanggungjawabkan
komitmen pelayanan pendidikan kepada publik.

Untuk mengukur kinerja mereka secara obyektif perlu adanya


indikator yang jelas. Sistem pengawasan perlu diperkuat dan hasil evaluasi
harus dipublikasikan dan apabila terdapat kesalahan harus diberi sanksi.
Sekolah dikatakan memiliki akuntabilitas tinggi jika proses dan hasil
kinerja sekolah dianggap benar dan sesuai dengan rencana yang telah
ditetapkan sebelumnya.

D. Upaya-Upaya Peningkatan Akuntabilitas


Agar sekolah memiliki akuntabilitas yang tinggi, maka perlu
diupayakan hal-hal sebagai berikut :
1. Sekolah harus menyusun aturan main tentang sistem akuntabilitas
termasuk mekanisme pertanggungjawaban. Ini perlu diupayakan untuk
menjaga kepastian tentang pentingnya akuntabilitas.

7
2. Sekolah perlu menyusun pedoman tingkah laku dan sistem pemantauan
kinerja penyelenggara sekolah dan sistem pengawasan dengan sanksi
yang jelas dan tegas.
3. Sekolah menyusun rencana pengembangan sekolah dan menyampaikan
kepada publik/stakeholders di awal setiap tahun anggaran.
4. Menyusun indikator yang jelas tentang pengukuran kinerja sekolah dan
disampaikan kepada stakeholders.
5. Melakukan pengukuran pencapaian kinerja pelayanan pendidikan dan
menyampaikan hasilnya kepada publik/stakeholders di akhir tahun.
6. Memberikan tanggapan terhadap pertanyaan atau pengaduan publik.
7. Menyediakan informasi kegiatan sekolah kepada publik yang akan
memperoleh pelayanan pendidikan.
8. Memperbarui rencana kinerja yang baru sebagai kesepakatan
komitmen baru.

E. Indikator Keberhasilan Akuntabilitas


Keberhasilan akuntabilitas dapat diukur dengan beberapa indikator
berikut, yaitu:
1. meningkatnya kepercayaan dan kepuasan publik terhadap sekolah,
2. tumbuhnya kesadaran publik tentang hak untuk menilai terhadap
penyelenggaraan pendidikan di sekolah,
3. berkurangnya kasus-kasus KKN di sekolah, dan
4. meningkatnya kesesuaian kegiatan-kegiatan sekolah dengan nilai dan
norma yang berkembang di masyarakat

F. Maraknya Kasus Korupsi Yang Sering Terjadi

Kasus I: korupsi proyek pengerasan dan pelebaran jalan

8
Terdakwa diajukan dipersidangan pengadilan negeri polewali
berdasarkan surat dakwaan jaksa penuntut umum, tertanggal 03 juli 2006,
yang pada pokoknya sebagai berikut:

Terdakwa selaku pemimpin kegiatan pada proyek pengerasan dan


pelebaran jalan tahun anggaran 2004 di kabupaten mamasa yang diangkat
sesuai keputusan kepala dinas permukiman dan prasarana wilayah
kabupaten,tanggal 13 juli 2004 tentang penunjukkan pemimpin kegiatan
dan staf kegiatan TA. 2004,pada waktu antara bulan desember 2004
sampai dengan bulan mei 2005 setidak-tidaknya pada waktu-waktu lain
antaratahun 2004,sampai tahun 2005 bertempat di kantor dinas
permukiman dan prasaranawilayah kabupaten mamasa, atau setidak-
tidaknya di suatu tempat lain yang masih termasuk wewenang pengadilan
negeri mamasa (di mana belum di bentuknya pengadilan negeri mamasa
maka menjadi wewenang pengadilan negeri polewali) baik secara sendiri-
sendiri atau bersama-sama dengan terdakwa “B” disidangkan secara
terpisah (splitsing) secara berturut-turut melakukan serangkaian perbuatan
yang saling berhubungan satu dengan yang lain, sehingga harus dipandang
sebagai perbuatab berlanjut secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain suatu korporasi yamg dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, perbuatan mana
dilakukan dengan cara sebagai berikut:

Dalam proyek pengerasan dan pelebaran jalan di kabupaten


mamasa TA. 2004 untuk lapisan pondasi bawah (LPB) menggunakan
spesifikasi materil berupa “batu kerikil sungai tersaring” sesuai dengan
kontrak kerja yang di tanda tangani oleh terdakwa “B” selaku pengguna
barang dan jasa dengan 18 kontraktor.

Di dalam kontrak kerja sudah ditentukan secara tegas bahwa


spesifikasi materil yang harus dipergunakan untuk lapisan bawah adalah
“batu kerikil sungai tersaring” namun demikian ternyata 12 (dua belas)

9
kontraktor pelaksanaan pekerjaan proyek pengerasan dan pelebaran jalan
di kabupaten mamasa tidak menggunakan batu kerikil tersaring akan tetapi
menggunakan “ pecahan batu gunung “. Jumlah kesuluran adalah Rp
1.268.883.459,00 (satu miliar dua ratus enam puluh delapan juta delapan
ratus puluh tiga ribu empat ratus lima puluh sembilan rupiah).

Sebagai akibat perbuatan terdakwa “A” bersama-sama tedakwa


“B” maka negara atau pemerintah kabupaten mamasa menderita kerugian
sebanyak Rp. 1.268.883.459,00. Sebagaimana diatur dan diancam pidana
dalam pasal 2 ayat (1) UU No.31 tahun 1999 tentang pemberdayaan tindak
pidana korupsi jo.UU No.20 tahun 2001 jo.pasal 55 ayat (1) ke 1 pasal 64
ayat (1) KUHP.

Selanjutnya, terdakwa “A” selaku pemimpin kegiatan pada proyek


pengerasan dan pelebaran jalan tahun anggaran 2004 dikabupaten masama
yang diangkat sesuai surat keputusan kepala dinas permukiman dan
prasarana wilayah kabupaten mamasa.

Tanggal 13 juli 2004,tentang penunjukkan pemimpin kegiatan dan staf


kegiatan TA.2004, pada waktu dan tempat sebagaimana telah diuraikan
dalam dakwaan primair, baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama
dengan terdakwa “B” (berkas perkaranya disidangkan secara terpisah)
secara berturut-turut melakukan serangkaian perbuatan yang saling
berhubungan satu dengan lain, sehingga harus dipandang sebagai
perbuatan berlanjut, dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan,
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keungan negara atau perekonomian negara, perbuatan mana
dilakukan dengan cara sebagai berikut:

Selaku pemimpin kegiatan terdakwa”A” sesuai surat keputusan


kepala dinas permukiman dan prasarana wilayah kabupaten mamasaa
Nomor 027/364/DPPW/VII/2004, tanggal 13 juli 2004 tentang

10
penunjukkan pemimpin kegiatan dan staf kegiatan TA.2004 mempunyai
tugas antara lain:

a. Bertanggung jawab terhadap pengelolaan fisik maupun keungan.


b. Mengatur pelaksanaan pekerjaan supaya dapat selesaai dengan tepat
waktu,tepat mutu dan tepat administrasi.
c. Mengendalikan dan menyelesaikan persoalan-persoalan teknik
maupun non teknik di lapangan sesuai batas kewajaran atau kebenaran
baik kuantitas maupum kulaitas kegiatan di lapangan.
1. Tuntutan

Terdakwa diajukan di persidangan berdasarkan surat dakwaan jaksa


penuntut umum primair melanggar pasal 2 ayat (1) UU No. 31 tahun
1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo. UU No. 20 tahun
2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 jo. Pasla 64 ayat (1) KUHP.

2. Unsur-unsur tindak pidana korupsi

Oleh karena dakwaan jaksa penuntut umum bersifat subsidair, ,maka


majelis terlebih dahulu akan mempertimbangkan dakwaan primair yaitu
pasal 2 ayat (1) UU No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi jo. UU No. 20 tahun 2001.yang mengandung unsur-
unsur sebagai berikut:

a. Setiap orang
b. Secara melawan hukum
c. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korupsi
d. Dapat merugikan keungan negara atau perekonomian

3. Pertimbangan majelis

Berdasarkan keterangan saksi-saksi yaitu alexander p. ST, Hidayat


minanga, Drs.harnal Edison, pampang bonga, petrus L. Serta barang

11
bukti dokumen hasil pemeriksaan POH dan FHO yaitu berupa berita
acara final hand over, berita acara profesional hand over.

Selanjutnya,hasil pemeriksaan dan penilaian tersebut, team PHO


mengadakan rapat dan hasil rapat tersebut dibuatkan berita acara penilaian
pekerjaan yang ditandatangani oleh ketua team PHO,sekretaris team PHO
serta para anggota team dan camat tempat proyek dilaksanakan dan juga
ikut bertandatangan adalah koordinator lapangan, pengawas
lapangan,pemimpin kegiatan terdakwa kontraktor dan juga kepala dinas
kimpraswil kabupaten mamasa.

Setelah diadakan serah terima tersebut maka dikeluarkan surat


perintah membayar yang di buat dan di tanda tangani oleh kepala badan
pengelola keuangan daerah (BPKD) atas nama bupati mamasa agar
dilakukan pembayaran kepada pemegang kas dinas kimpraswil kabuapaten
mamasa .1

kasus II: Kasus korupsi pencucian uang

Liputan6.com, Jakarta Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi


Pemberantasan Korupsi (KPK) akan membeberkan praktik pencucian uang
lebih dari Rp 500 miliar yang dilakukan oleh Tubagus Chaery Wardhana
(TCW) alias Wawan.

Adik mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah itu akan menjalani
sidang dakwaan kasus korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU)
di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu (30/10/2019).

"Kami akan uraikan proyek-proyek yang diduga dikorupsi oleh TCW


(Wawan) ini. Bagaimana pola serta cara-cara pencucian uangnya, karena
prinsip dasarnya hasilnya digunakan untuk berbagai hal seperti membeli

1
Abdul latif,Hukum administrasi dalam praktik tindak pidana
korupsi,(jakarta:kencana,2014),hlm.369.

12
rumah, tanah, kendaraan, dan benda-benda lain," tutur Juru Bicara KPK
Febri Diansyah dalam keterangannya, Rabu (30/10/2019).

Wawan sendiri akan menghadapi dakwaan kasus tindak pidana


korupsi pengadaan alat kesehatan kedokteran umum Puskesmas Kota
Tangerang Selatan tahun anggaran 2012, kasus korupsi pengadaan sarana
dan prasarana kesehatan di lingkungan Pemprov Banten Tahun 2011-2013,
dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

"Tentu kawan-kawan JPU yang paling paham. Nanti saksi-saksi yang


penting untuk pembuktian TPK dan TPPU akan dihadirkan. Apakah dari
pihak-pihak yang mengetahui korupsi dan terlibat. Termasuk legalitas
asetnya, akan dipanggil lebih lanjut," kata Febri.

Selain itu, lanjutnya, pengungkapan pencucian uang Wawan ini


memang terbilang membutuhkan waktu yang cukup lama.

"Karena ada strategi dari JPU untuk perkara yang cukup kompleks ini.
Cukup kompleks karena selain ada TPK ada juga TPPU. Kami menyisir
lebih dari seribu kontrak pengadaan di Banten yang diduga saat itu
dilakukan oleh perusahaan TCW atau perusahaan yang terafiliasi," Febri
menandaskan.

Penyidikan TPPU terhadap Wawan merupakan pengembangan dari


kasus OTT KPK terhadap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil
Mochtar yang diduga menerima suap sebesar Rp 1 miliar dari Wawan.
Uang itu terkait dengan sidang perkara gugatan Pilkada Lebak di MK pada
2013 lalu.

Terpidana Tubagus Chaeri Wardana atau Wawan tiba di Gedung


KPK, Jakarta, Senin (22/10). Wawan menjalani pemeriksaan sebagai saksi
dugaan suap pemberian fasilitas dan izin di Lapas Sukamiskin.
(Liputan6.com/Herman Zakharia)

13
Dalam kasus ini, KPK menelusuri aset kekayaan suami Wali Kota
Tangerang ini yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi lewat
sumber proyek yang dikerjakan perusahaanya yakni PT Bali Pacific
Pragama (BPP).

Wawan diduga telah mengerjakan sekitar 1.105 kontrak proyek dari


pemerintah Provinsi Banten dan beberapa Kabupaten yang ada di Provinsi
Banten dengan total nilai kontrak kurang lebih sebesar Rp 6 triliun dalam
rentang waktu 2006-2013.

Saat penyidikan, KPK mendapatkan fakta bahwa uang sebesar Rp 1


miliar yang digunakan Wawan menyuap Akil Mochtar, berasal perusahaan
yang sama.

KPK juga menduga PT. BPP dan perusahaan lain yang terafiliasi,
telah melakukan cara melawan hukum dan memanfaatkan hubungan
kekerabatan dengan pejabat gubernur dan bupati/wali kota yang ada di
provinsi Banten untuk mendapatkan kontrak-kontrak tersebut.

Kasus III: Dugaan korupsi dana BPJS

Penulis Kontributor Gresik, Hamzah Arfah Editor Aprillia Ika


GRESIK, KOMPAS.com - Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Gresik
Mohammad Nurul Dholam, akhirnya resmi ditetapkan sebagai tersangka
oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Gresik, dalam kasus penarikan dana
kapitasi puskesmas di Gresik dari BPJS kesehatan, yang dianggap
merugikan keuangan negara miliaran rupiah. Penetapan ini menjadi buntut
dari penggeledahan yang sudah sempat dilakukan jajaran Kejari dengan
dibantu Polres Gresik di rumah tersangka serta beberapa ruangan di
Dinkes Gresik, pada awal bulan kemarin atau tepatnya pada tanggal 6
Agustus 2018, terkait kasus tersebut. "Hari ini Kepala Dinas Kesehatan
(Gresik) resmi kami tetapkan sebagai tersangka, dalam kasus penarikan
dana kapitasi seluruh puskesmas di Gresik dari BPJS, yang telah

14
merugikan keuangan negara miliaran rupiah," ujar Kajari Gresik, Pandu
Pramoekartika, Selasa (28/8/2018). Baca juga: Dugaan Korupsi Dana
BPJS, Kejari Geledah Kantor Dinkes Gresik "Penetapan ini berdasar dari
sejumlah barang bukti yang kami temukan, juga pengakuan saksi-saksi
yang sudah kami periksa," lanjut dia. Bahkan sebelum ditetapkan sebagai
tersangka, Kadinkes Gresik juga sempat diperiksa oleh jajaran Kejari
sebagai saksi. Termasuk, pemeriksaan kepada sejumlah pihak di lingkup
Dinkes Gresik yang dianggap mengetahui, di antaranya Sekretaris Dinkes
dan Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan (Kabidyankes) Dinkes Gresik,
serta perwakilan dari 32 puskesmas di Gresik. "Dari hasil penggeledahan
yang kami lakukan beberapa waktu lalu, ada sekitar Rp 2,451 miliar yang
masuk ke rekening pribadi tersangka. Selain pengakuan saksi, ini juga
diperkuat dengan barang bukti transaksi di rekening pribadi tersangka dan
sejumlah dokumen yang kami temukan," beber Pandu. Hanya saja, Pandu
tidak menjelaskan lebih detail berapa dana yang 'dikutip' tersangka dari
setiap puskesmas yang ada di Gresik. Karena menurut temuan di lapangan,
kata Pandu, jumlahnya bervariasi di 32 puskesmas yang ada di Gresik.
Baca juga: Potongan Dana BPJS untuk Puskesmas di Gresik, Diduga Sejak
2016 "Dalam setiap bulan itu jumlah di tiap puskesmas berbeda
nominalnya, ada yang hanya Rp2 juta, ada juga yang sampai Rp29 juta,
berbeda-beda," pungkasnya. Atas perbuatan yang dilakukan, Kadinkes
Gresik dijerat Pasal 2, 3, dan 11 E dan F undang-undang nomor 31 tahun
1999 diubah undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang tindak pidana
korupsi, dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda
maksimalRp1miliar.

15
BAB III

PENUTUP

16
DAFTAR PUSTAKA

17

Anda mungkin juga menyukai