Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

.Salah satu bahan alam yang digunakan untuk obat banyak berasal dari bahan
nabati (Anonim 1985). Temulawak merupakan salah satu obat asli Indonesia yang
penggunaannya paling luas baik di negara-negara Asia bahkan di seluruh dunia
.Temulawak sering digunakan sebagai bahan baku obat tradisional di industry
jamu, industry farmasi, serta industry makanan dan minuman. Temulawak yang
berasal dari genus Zingiberaceae banyak ditemukan di pulau Jawa . Spesies
penting yang dikomersilkan dari genus Zingiberaceae adalah jahe, kunyit,
temulawak, dan lengkuas (Soegihardjo, 2013). Temulawak cukup mudah
dibudidayakan, sehingga dapat menjadi potensi tanaman obat hasil budidaya.
Selain itu, konsumsi simplisia temulawak adalah sekitar 219,973 kg/tahun dengan
rata-rata kenaikan penggunaan adalah 15,15%/tahun serta ekspor ke beberapa
Negara seperti Singapura, Jerman, dan Taiwan (Syukur & Hernani, 2001).

Temulawak memiliki aktivitas farmakologi yang luas karena mengandung


golongan senyawa kurkuminoid dan minyak atsiri (Afifah, 2005). Kurkuminoid
memiliki aktivitas biologi sebagai anti inflamasi (Srimal dan Dhawan, 1973),
antioksidan (Das & Das, 2002), antivirus, antikarsinogenik, antimutagenik
(Chattopadhyay et al., 2004), immunostimulan, antibakteri, antikanker, antidiabetes,
antiteratogenik dan mencegah penyakit Alzheimer’s (Rohman, 2012). Kurkumin dari
temulawak dapat diambil dengan menggunakan cara ekstraksi, ekstraksi adalah
istillah yang digunakan untuk operasi dimana suatu konstituen padat atau cair
dipindahkan dicairan lainnya dimana solven yang digunakan adalah etanol. Etanol
memiliki sifat yang sama seperti methanol, tetapi etanol tidak beracun seperti
methanol. Kegunaan etanol yaitu sebagai pelarut, bahan bakar, untuk membuat
obat (tonikum), desinfektan, dan minuman keras.
Kualitas simplisia dipengaruhi beberapa factor, salah satunya adalah
proses penanganan pascapanen yang berupa sortasi basah, pencucian rimpang,

1
perajangan rimpang, pengeringan, dan penyimpanan simplisia (Anonim, 1985).
Metode pengolahan tanaman obat dapat dilakukan secara sederhana maupun
dengan cara yang lebih modern, misalnya pengeringan (Anonim, 1985).
Pengeringan dapat dilakukan dengan panas matahari atau menggunakan oven.
Pengeringan dengan panas matahari banyak dilakukan di Indonesia karena relative
murah dan mudah dikerjakan, tetapi curah hujan dan kelembaban yang tinggi
menjadi kendala dalam pengeringan simplisia karena membutuhkan waktu
berhari-hari untuk proses pengeringan apabila kelembaban dan curah hujan tidak
menentu, sehingga memberikan kesempatan mikroorganisme tumbuh pada
simplisia dan mencemari simplisia (Anonim, 1985; Syah, 2012). Mikroorganisme
dapat menghasilkan metabolit toksik yang akan membahayakan kesehatan
manusia, selain itu mikroorganisme juga memiliki kemampuan untuk mengubah
metabolit sekunder dalam simplisia menjadi senyawa lain (Anonim, 1985).

Sebelum memasuki proses pengeringan dengan panas matahari, simplisia


dapat direndam dengan larutan desinfektan (Anonim, 1985). Desinfektan adalah
senyawa yang dapat menekan pertumbuhan mikroorganisme. Desinfektan yang
sering digunakan adalah etanol dengan kadar 10-30 % v/v. Oleh karena itu,
penggunaan etanol sebagai bahan perendam dilakukan untuk menekan
pertumbuhan mikroorganisme di awal proses pengeringan. Suatu parameter
dibutuhkan untuk menunjukkan kualitas simplisia (Mukherjee, 2008). Parameter
tersebut dapat berupa parameter spesifik dan nonspesifik. Parameter spesifik
berhubungan dengan kandungan senyawa aktif simplisia, sedangkan parameter
nonspesifik berhubungan dengan aspek keamanan dan stabilitas ekstrak yang
dihasilkan (Anonim, 2000).

2
1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimana cara melakukan preparasi simplisia Temulawak?

1.2.2 Bagaimana cara pengujian mutu simplisia Temulawak?

1.2.3 Variabel apakah yang digunakan dalam ekstraksi Temulawak?

1.2.4 Bagaimana metode kesetimbangan yang digunakan dalam ekstraksi


temulawak?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Untuk mengetahui cara melakukan preparasi simplisia temulawak.

1.3.2 Untuk mengetahui cara pengujian mutu simplisia temulawak.

1.3.3 Untuk mengetahui variabel yang digunakan dalam ekstraksi temulawak.

1.3.4 Untuk mengetahui metode kesetimbangan yang digunakan dalam


ekstraksi temulawak.

1.4 Manfaat

1.4.1 Bagi Pembaca

Dapat memahami metode ekstraksi dari temulawak (Curcuma xanthorrhiza)


sebagai bahan baku obat herbal beserta kandungannya.

3
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb)

2.1.1 Botani Temulawak

Klasifikasi temulawak secara taksonomi adalah sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledonae

Bangsa : Zingiberales

Suku : Zingiberaceae

Marga : Curcuma

Jenis : Curcuma xanthorrhiza Roxb

Sinonim : Curcuma xanthorrhiza Roxb(Anonim, 2009)

Temulawak dikenal sebagai salah satu tanaman yang sering digunakan


dalam pengobatan tradisional di indonesia. Simplisia temulawak memiliki ciri
berupa kepingan tipis, berbentuk bundar atau jorong, ringan, keras, rapuh, garis
tengah kurang lebih 6 cm, tebal 2-5 mm. Permukaan simplisia berkerut, warna
coklat kekuningan hingga coklat, bau khas, rasa tajam agak pahit (Afifah, 2005;
Anonim, 2008).

2.1.2 Kandungan Kimia Temulawak

Temulawak mengandung golongan senyawa kurkuminoid dan minyak atsiri


(Afifah, 2005). Kandungan minyak atsiri simplisia temulawak tidak kurang dari
5,80 % v/b, serta kandungan kurkuminoid tidak kurang dari 4,0 % b/b dihitung
sebagai kurkumin (Anonim, 2008). Senyawa kurkuminoid yang terkandung dalam

4
temulawak berupa kurkumin, demetoksikurkumin, dan bisdemetoksikurkumin.
Namun, golongan kurkuminoid yang dominan pada temulawak adalah kurkumin
dan desmetoksikurkumin, sehingga kadar bisdemetoksikurkumin merupakan
senyawa kurkuminoid yang jumlahnya paling kecil pada temulawak. Golongan
senyawa kurkuminoid larut di dalam DMSO, etanol, dan aseeton. Ketiga senyawa
kurkuminoid memiliki aktivitas antioksidan, antiinflamasi, antimutagenik, anti-
HIV, menurunkan gula darah, serta menurunkan LDL.

2.1.2.1Kurkumin
Kurkumin merupakan senyawa kurkuminoid yang merupakan pigmen
warna kuning pada rimpang temulawak dan kunyit. Senyawa ini termasuk
golongan fenolik. Kurkuminoid yang sudah diisolasi bewarna kuning atau kuning
jingga, dan berasa pahit. Kurkuminoid mempunyai aroma yang khas dan tidak
bersifat toksik. Kelarutan kurkumin sangat rendah dalam air dan eter, namun larut
dalam pelarut organik seperti etanol dan asam asetat glasial. Kurkumin stabil pada
suasana asam, tidak stabil pada kondisi basa dan adanya cahaya. Pada kondisi
basa dengan pH di atas 7,45, 90% kurkumin terdegradasi membentuk produk
samping berupa trans-6-(4ˈ-hidroksi-3ˈ-metoksifenil)-2,4-diokso-5-heksenal
(mayoritas), vanilin, asam ferulat dan feruloil metan. Sementara dengan adanya
cahaya, kurkumin terdegradasi menjadi vanilin, asam vanilat, aldehid ferulat,
asam ferulat dan 4-vinilguaiakol (Brat dkk, 2008). Struktur kimia kurkuminoid
yang terdiri atas kurkumin, demetoksikurkumin dan bis-demetoksikurkumin

5
2.1.3 Metode yang digunakan untuk ekstraksi Temulawak
Ekstraksi
Ekstraksi merupakan proses pemisahan dua zat atau lebih dengan pelarut
yang tidak saling campur, baik itu dari zat cair ke zat cair atau zat padat ke zat cair
(Harbone, 1987). Ekstraksi biasanya dilakukan untuk mengisolasi suatu senyawa
alam dari jaringan asli tumbuh-tumbuhan yang sudah dikeringkan (Kusnaeni,
2008). Berdasarkan fase yang terlibat, terdapat 2 macam ekstraksi yakni ekstraksi
cair-cair dan ekstraksi padat-cair. Pemindahan komponen dari padatan ke pelarut
pada ekstraksi padat-cair melalui 3 tahapan, yakni difusi pelarut ke pori-pori
padatan atau dinding sel, kemudian di dalam dinding sel terjadi pelarutan padatan
oleh pelarut, dan tahapan terakhir adalah pemindahan larutan dari pori-pori
menjadi larutan ekstrak. Ekstraksi padat-cair dipengaruhi oleh waktu ekstraksi,
suhu yang digunakan, pengadukan dan banyaknya pelarut yang digunakan.
Tingkat ekstraksi bahan ditentukan oleh ukuran partikel dari bahan tersebut, dan
ukuran bahan yang diekstrak harus homogen agar kontak antara material dengan
pelarut berjalan dengan mudah, dan ekstraksi berlangsung baik (Harborne, 1987).
Ekstraksi padat-cair dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu cara Soxhlet dan
perkolasi dengan atau tanpa pemanasan. Cara lain yang lebih sederhana untuk
mengekstrak zat aktif dari padatan adalah dengan maserasi. Maserasi merupakan
proses perendaman sampel dengan pelarut organik pada temperatur ruangan.
Teknik ini dilakukan untuk mengekstrak jaringan tanaman yang belum diketahui
kandungan senyawanya yang mungkin bersifat tidak tahan
panas (Harbone, 1987). Prinsip teknik pemisahan secara maserasi adalah prinsip
kelarutan like dissolve like yang mana pelarut polar akan melarutkan senyawa
polar, dan pelarut nonpolar akan melarutkan senyawa nonpolar. Oleh karena itu,
pemilihan pelarut sangat berpengaruh terhadap hasil ektraksi. Pelarut yang
digunakan harus dapat menarik komponen yang diinginkan semaksimal mungkin.
Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam memilih pelarut antara lain:
selektivitas, sifat pelarut dan kemampuan mengekstraksi, tidak toksik, mudah
diuapkan dan relatif murah. Pelarut untuk ekstraksi maserasi yang umumnya
digunakan antara lain: etil asetat, etanol, aseton dan air . Untuk memperoleh
ekstrak kental perlu dilakukan penguapan pelarut, yang dapat dilakukan dengan

6
alat vaccum rotary evaporator. Mekanisme kerja alat tersebut berdasarkan pada
prinsip destilasi serta penurunan tekanan pada labu alas bulat dan pemutaran labu
alas bulat pada kecepatan tertentu, hingga menyebabkan pelarut menguap lebih
cepat di bawah titik didihnya. Bagian lain dari alat ini adalah evaporator yang
berfungsi mengubah sebagian atau keseluruhan pelarut dari cair menjadi uap.
Evaporator memiliki 3 bagian yakni penukar panas, bagian evaporasi (tempat
yang mana cairan mendidih lalu menguap) dan pemisah untuk memisahkan uap
dari cairan lalu dimasukkan ke dalam condenser agar mengalami kondesasi atau
pendinginan. Pada system pendinginan, efek pendinginan diperoleh dari
penyerapan panas oleh cairan pendingin yang menguap dengan cepat (Anonim,
2013). Keuntungan penguapan dengan vaccum rotary evaporator adalah senyawa
yang larut pada pelarut tidak ikut menguap dan tidak rusak akibat pemanasan pada
suhu tinggi.

Beberapa metode yang biasa diterapkan untuk analisis kuantitatif


kurkuminoid dalam temulawak antara lain metode spektrofotometri uv-vis
(Jayaprakasha dkk, 2005; Pothitirat & Gritsanapan, 2006). Panjang gelombang
maksimal kurkumin adalah pada 420-430 nm dalam pelarut organic seperti
metanol dan etanol, namun senyawa lain dalam ekstrak rimpang temulawak dan
kunyit yang memiliki gugus kromofor dapat menyerap pada panjang gelombang
tersebut, sehingga mengganggu analisis (Jayaprakasha dkk, 2005). Metode-
metode kromatografi seperti KCKT (Ruslay dkk, 2007; Jiang dkk, 2006; Jadhav
dkk, 2007; Bos dkk, 2007; Lee dkk, 2011), KLT (Scotter, 2009) dan metode
kromatografi gas (Almeida dkk, 2005; Zhang dkk, 2008; Anderson dkk, 2000)
merupakan metode yang umum digunakan untuk analisis kurkumin. Selain itu,
juga digunakan metode elektroforesis kapiler (Sun dkk, 2002) dan flow injection
analysis (Inoue dkk, 2001). Metode-metode tersebut memerlukan waktu lebih
lama karena tahapan kerjanya banyak, biaya tinggi, serta pereaksi kimia yang
tidak ramah lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan metode yang cepat dan lebih
ramah lingkungan seperti spektrofotometri inframerah.

7
1. Spektroskopi inframerah
Spektrofotometri inframerah (IR) merupakan salah satu jenis
spektrofotometri vibrasional yang didasarkan pada serapan molekul terhadap
radiasi inframerah. Daerah IR terdiri dari tiga bagian yakni daerah IR jauh (400-
40 cm-1), daerah IR tengah (4000-400 cm-1), dan daerah IR dekat (14000-4000
cm-1). Umumnya analisis senyawa dilakukan pada daerah IR tengah (Tanaka dkk,
2008). Penyerapan radiasi IR merupakan proses kuantisasi. Hanya frekuensi
tertentu dari radiasi IR yang akan diserap oleh molekul. Frekuensi radiasi IR yang
dapat diserap adalah frekuensi yang sesuai dengan kisaran frekuensi vibrasi ulur
dan tekuk ikatan dalam kebanyakan ikatan kovalen molekul. Setelah diserap,
frekuensi radiasi IR tersebut akan meningkatkan amplitudo gerakan vibrasional
ikatan dalam molekul. Meski demikian, tidak semua ikatan dalam molekul dapat
menyerap energi IR meskipun frekuensi radiasi sudah sesuai dengan gerakan
ikatan. Hanya ikatan yang memiliki momen dipol yang dapat bervibrasi saat
menyerap radiasi IR. Semakin besar perubahan momen dipol, maka serapan akan
semakin intens (Stuart, 2004).
2. Spektrofotometer Fourier Transform Infrared (FTIR)
Ada 2 jenis spektrofotometer IR, yakni: (1) spektrofotometer dispersif dan
(2) spektrofotometer FTIR. Pada spektrofotometer dispersif, monokromator untuk
masuknya sinar memiliki celah yang kecil sehingga membatasi panjang
gelombang radiasi mencapai detektor. Pada spektrofotometer FTIR,
monokromator diganti dengan interferometer yang mampu mengatur intensitas
sumber sinar IR dengan mengubah posisi cermin pemantul sinar. Dengan
demikian, spektrofotometer FTIR mampu mengukur intensitas sampel secara
serentak (Stuart, 2004). Spektrofotometer FTIR didasarkan pada adanya
interferensi radiasi antara 2 berkas sinar untuk menghasilkan suatu interferogram
yang merupakan sinyal yang dihasilkan sebagai fungsi perubahan jarak yang
ditempuh (pathlength) antara 2 berkas sinar. Dua domain (jarak dan frekuensi)
dapat ditukarbalikkan dengan metode matematik yang kemudian disebut dengan
transformasi Fourier (Stuart, 2004). Komponen dasar spektrofotometer FTIR
ditunjukan pada Gambar dibawah ini:

8
Radiasi yang berasal dari sumber sinar dilewatkan melalui interferometer
menuju sampel sebelum akhirnya mencapai detektor. Selama proses amplifikasi
(penguatan) sinyal berlangsung, yang mana pengaruh frekuensi tinggi telah
dihilangkan dengan adanya filter, maka data diubah ke bentuk digital dengan
suatu analog-to-digital converter dan dipindahkan ke komputer untuk menjalani
transformasi Fourier (Pavia dkk, 2009). Pada spektroskopi FTIR, salah satu
teknik penanganan sampel yang umum dilakukan adalah dengan teknik attenuated
total reflection (ATR). Teknik ini merupakan salah satu metode solutif dalam
spektroskopi IR dalam hal pengolahan sampel. ATR biasanya digunakan untuk
analisis sampel-sampel yang sulit dianalisis dengan metode spektrofotometri
FTIR transmitan karena terbentur preparasi sampel yang sulit (Stuart, 2004).
3. Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan kromatografi paling sederhana
dengan bentuk kromatografi planar yang memisahkan campuran analit
berdasarkan distribusi komponen tersebut diantara dua fase, yaitu fase diam dan
fase gerak. Prinsip kerja KLT adalah dengan menotolkan cuplikan atau sampel
pada lempeng KLT, kemudian lempeng dimasukkan ke dalam wadah berisi fase
gerak sehingga komponen-komponen dalam sampel tersebut terpisah. Komponen
yang mempunyai afinitas besar terhadap fase gerak atau afinitas yang lebih kecil
terhadap fase diam akan bergerak lebih cepat dibandingkan komponen dengan

9
sifat sebaliknya (Gritter dkk, 1991). Pada KLT, pemisahan masing-masing
komponen dinyatakan dengan faktor retardasi atau faktor perlambatan (nilai Rf).
Nilai Rf merupakan perbandingan antara jarak yang ditempuh analit terhadap
jarak yang ditempuh oleh fase gerak (Braithwaite & Smith, 1999). Fase diam pada
KLT berupa padatan yang memiliki mekanisme adsorpsi dan partisi (Gritter dkk,
1991). Penjerap pada KLT terdiri dari lempeng silika, tanah diatome, alumina dan
serbuk selulosa. Penjerap yang paling sering digunakan adalah lempeng silika gel.
Lempeng ini banyak tersedia dalam bentuk yang sudah termodifikasi. Salah
satunya adalah lempeng silika yang sudah dilapisi dengan indikator fluoresen agar
dapat berpendar ketika disinari dengan lampu UV pada panjang gelombang 254
nm (Braithwaite & Smith, 1999). Fase gerak pada sistem KLT berupa campuran
pelarut yang ditempatkan dalam bejana pengembang. Pelarut sangat berpengaruh
pada distribusi analit, sehingga perlu diperhatikan polaritas dan kekuatan elusinya.
Sistem pelarut yang paling sederhana adalah campuran dua pelarut organik karena
daya elusi campuran kedua pelarut ini mudah diatur untuk mengoptimalkan
pemisahan (Braithwaite & Smith, 1999). Untuk menjaga resolusi tetap baik,
campuran pelarut sebaiknya hanya digunakan untuk 1 kali elusi saja karena
susunan dari campuran tersebut mudah berubah akibat salah satu komponennya
menguap (Gritter dkk, 1991). Pelarut yang digunakan harus memiliki kemurnian
tinggi (standar pro analisis) karena KLT merupakan teknik yang sensitif, dan daya
elusi fase gerak perlu diatur sedemikian rupa sehingga menghasilkan nilai Rf
antara 0,2-0,8 untuk memaksimalkan pemisahan (Braithwaite & Smith, 1999).
Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah penotolan sampel. Sampel yang
ditotolkan pada lempeng KLT harus sekecil dan sesempit mungkin dengan
menggunakan pipa kapiler, mikropipet atau penyuntik mikrokaca. Penotolan yang
tidak tepat akan menyebabkan bercak yang menyebar dan puncak ganda.
Penotolan juga harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak merusak lempeng
penjerap. Selain itu teknik penotolan harus seragam agar kuantifikasinya akurat.
Penotolan yang menumpuk dengan penotolan yang melebar akan menyebabkan
perbedaan konsentrasi analit yang terdeteksi (Gritter dkk, 1991). KLT dapat
digunakan untuk tujuan preparatif dan kuantitatif, meskipun KLT kuantitatif
kurang teliti bila dibandingkan dengan sistem kromatografi lainnya (Gritter dkk,

10
1991). Sistem KLT telah banyak digunakan untuk analisis obat dan senyawa
bahan alam seperti kurkumin (Scotter, 2009). Analisis kualitatif kurkumin pada
KLT menggunakan parameter nilai Rf. Dua senyawa dikatakan identik bila
mempunyai nilai Rf yang sama dan diukur pada kondisi KLT yang sama. Analisis
kuantitatif pada KLT didukung dengan teknik densitometri. Densitometer
merupakan instrumen untuk mengukur bercak hasil elusi. Hasil pembacaan
densitometri adalah berupa gambaran puncakpuncak seperti halnya kromatogram
KCKT (Gritter dkk, 1991). KLT telah banyak digunakan untuk identifikasi serta
penetapan kadar senyawa alam seperti zat aktif pada lempuyang wangi (Zingiber
aromaticum Val.) (Handayani & Pramono, 2008), penentuan bioaktivitas zat aktif
buah kawista (Dewi, 2013) serta untuk analisis kurkumin baik dari segi
identifikasi maupun penetapan kadar (Cahyono dkk., 2011; Almeida dkk, 2005;
Zhang dkk, 2008; Anderson dkk, 2000). Metode KLT-densitometri merupakan
salah satu metode analisis yang sudah tervalidasi untuk analisis kurkumin.
Validasinya telah dilakukan oleh Handayani & Pramono (2008) dengan hasil LoD
sebesar 0,0011μg, akurasinya baik yang dibuktikan dengan nilai perolehan
kembali sebesar 109,91%, dan presisinya ditunjukan dengan nilai simpangan baku
relatif sebesar 7%.

11
BAB III

PEMBAHASAN

3. 1 Preparasi Rimpang Temulawak

3.1.1 Metode preparasi yang digunakan

a. Refluks (Anonim, 2008)

Ditimbang seksama 500,0 mg serbuk simplisia temulawak, dimasukkan


dalam labu alas bulat 250 ml, 20 ml etanol ditambahkan; direfluks selama 30
menit; diangkat dan disaring, filtrat disisihkan, ampas kembali direfluks dengan
15 ml etanol selama 30 menit, diangkat dan disaring. Filtrate dikumpulkan dan
digenapkan menjadi 50,0 ml menggunakan labu takar (sampel siap ditotolkan).

b. Sonikasi

Ditimbang seksama 100,0 mg serbuk simplisia temulawak, sampel


dimasukkan dalam botol bertutup 25 ml; 10,0 ml etanol ditambahkan secara
seksama; disonikasi selama 15 menit; didiamkan selama 30 menit, 1 ml bagian
bening diambil dan dimasukkan dalam tabung sentrifuse; sampel disentrifuse
selama 5 menit pada 10.000 rpm (sampel siap ditotolkan).

c. Maserasi

Ditimbang seksama 100,0 mg serbuk simplisia temulawak, sampel


diamsukkan dalam botol bertutup 25 ml; 10,0 ml etanol ditambahkan secara
seksama; sampel disimpan pada tempat gelap selama 24 jam; 1 ml bagian bening
diambil dan dimasukkan dalam tabung sentrifuse; sampel disentrifuse selama 5
menit pada 10.000 rpm (sampel siap ditotolkan).

12
Standard Addition Methode (SAM)

Untuk menetapkan perolehan kembali dan LOQ masing-masing metode


ekstraksi dilakukan dengan SAM. Simplisia uji ditambahkan sejumlah baku
kurkuminoid yang setara dengan 0,25 dan 0,50%; selanjutnya dilakukan ekstraksi
dengan ketiga macam metode tersebut.

13
Preparasi baku

Ditimbang seksama 1,8171 mg baku kurkuminoid Aldrich (94% HPLC).

Ditambahkan dengan seksama 10,0 ml etanol, sehingga diperoleh kadar


kurkuminoid setara 0,1708 μg/μl.

System KLT

Fase diam yang digunakan adalah silica gel F254 Merck, sampel ditotolkan
menggunakan Camag Linomat 5 dengan jarak dari dasar 10mm, jarak antar
totolan 10mm, lebar totolan 2mm. Baku kurkuminoid ditotolkan sejumlah 0,1;
0,2; 0,4; 0,6 dan 0,8 μl atau setara dengan 17,08; 34,15; 68,30; 102,45 dan 135,5
ng/spot, sedangkan sampel masing-masing ditotolkan o,5 μl. Fase gerak berupa
campuran n-heksan etil asetat (1:1), jarak pengembangan 8 cm. Dideteksi dengan
Camag TLC Scanner 3 menggunakan program Wincats versi 1.4.4 pada panjang
gelombang 425 nm.

14
3.1.2 Cara pengolahan simplisia
 Rimpang temulawak segar dicuci dengan menggunakan sikat dilakukan
sampai benar-benar bersih dari tanah sisa panen yang melekat.

 Rimpang yang sudah benar-benar bersih, dilakukan penimbangan basah,


hal ini dilakukan untuk mengetahui berat rimpang basah sebelum proses
pengeringan dilakukan.

 Dilakukan tahap perubahan bentuk atau temulawak dirajang tipis-tipis agar


memudahkan dalam proses pengeringan.

15
 Tahap selanjutnya dilakukan sortasi basah dan penataan, tahap ini
dilakukan agar rimpang bersih dari sisa-sisa pemotongan dan
memudahkan dalam proses pengeringan.

 Rimpang temulawak diletakkan ditempat pengeringan agar rimpang tidak


jamuran dan rimpang harus dibolak-balik setiap hari sampai rimpang
benar-benar kering.

16
3.1.3 Perubahan fisik simplisia temulawak

Air merupakan komponen utama dalam bahan makanan yang


mempengaruhi bentuk, tekstur maupun cita rasa bahan. Kandungan air dalam
bahan makanan ikut menentukan “acceptability” suatu bahan makanan dan daya
tahan suatu bahan. Rimpang temulawak segar mengandung air sekitar 75-80%,
sedangkan kadar air simplisia yang diinginkan oleh industry jamu maksimal
adalah 10%. Pengeringan merupakan proses yang sangat penting dalam
pembuatan simplisia. Tujuan pengeringan adalah menurunkan kadar air, sehingga
tidak mudah ditumbuhi kapang dan bakteri, menghilangkan aktivitas enzim yang
bisa menguraikan kandungan zat aktif, memudahkan proses pengolahan
selanjutnya, sehingga dapat lebih ringkas, tahan lama dan mudah disimpan. Proses
pengeringan selain memperpanjang umur simpan juga menentukan kualitas
simplisia. Hal yang perlu diperhatikan selama proses pengeringan adalah suhu
pengeringan, kelembaban udara, aliran udara, waktu pengeringan dan luas
permukaan bahan. Selama proses pengeringan bahan simplisia, factor-faktor
tersebut harus diperhatikan sehingga diperoleh simplisia kering yang tidak mudah
mengalami kerusakan selama penyimpanan.

Cara pengeringan yang salah dapat mengakibatkan terjadinya face


hardening yaitu bagian luar bahan sudah kering sedangkan bagian dalamnya
masih basah. Hal ini disebabkan oleh irisan bahan simplisia terlalu tebal, suhu
pengeringan yang terlalu tinggi atau oleh suatu keadaan lain yang menyebabkan
penguapan air permukaan bahan jauh lebih cepat daripada difusi air dari dalam ke
permukaan tersebut, sehingga permukaan bahan menjadi keras dan menghambat
pengeringan selanjutnya.

17
Warna irisan rimpang temulawak kering kualitas baik adalah merah bata
atau merah orange merata. Apabila dipatahkan bekas patahan berwarna orange
cerah dan aromanya segar.

3.2 Pengujian Mutu Simplisia Temulawak

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengujian Balai Penelitian


Tanaman Rempah dan Obat, dari bulan Maret sampai dengan Mei 2005.
Temulawak diperoleh dari Instalasi Penelitian Sukamulya, Sukabumi. Bahan
kimia yang digunakan adalah water for HPLC, methanol HPLC grade, alcohol
untuk analisis bahan aktif ekstrak dan bahan kimia lainnya untuk analisis
proksimat, sedangkan peralatan yang digunakan adalah tampah, pisau, ginder,
ayakan, ekstraktor, kain saring, kertas saring, evaporator, HPLC, dan GS.

Rimpang temulawak dicuci, ditiriskan lalu diiris-iris setebal 6-7 mm


kemudian dikeringkan menggunakan alat pengering (blower) sampai kering
(simplisia dapat dipatahkan). Setelah kering simplisia digiling kemudian diayak
sehingga diperoleh serbuk temulawak ukuran 40 dan 60 mesh. Selanjutnya
masing-masing serbuk diekstrak selama 4,6, dan 8 jam dengan menggunakan
pelarut alcohol 70%, kemudian dibiarkan selama 24 jam. Setelah dibiarkan 24 jam
ekstrak tersebut disaring, setelah disaring diperoleh filtrate yang kemudian
diuapkan sehingga dihasilkan ekstrak kental. Analisis karakteristik mutu simplisia
temulawak meliputi kadar air, kadar minyak, kadar abu, kadar sari, kadar sari
alcohol, kadar kurkumin dan kadar xanthorizol. Untuk mutu ekstrak dilakukan
analisis kurkumin menggunakan metode HPLC dan kadar minyak ekstrak dengan

18
cara penyulingan selama 6 jam. Selanjutnya minyak yang dihasilkan dianalisis
kadar xanthorizolnya dengan menggunakan alat gas kromatografi.

3.3 Variabel ekstraksi

Ekstraksi rimpang temulawak dilakukan dengan metode maserasi dengan


sonifikator yang menghasilkan rendemen yang berbeda (Tabel 1).

19
Hasil ekstraksi menunjukkan rimpang temulawak dari Akar Sari Herbal
menghasilkan rendemen yang lebih besar dibandingkan Trenggalek dan
Nawangan (Tabel 1). Faktor-faktor yang mempengaruhi kuantitas dan kualitas
rendemen yang dihasilkan antara lain: jenis pelarut yang digunakan, perlakuan
pendahuluan (pengecilan ukuran bahan dan pengeringan bahan), perbandingan
jumlah bahan dengan pelarut, lama ekstraksi dan jumlah tahapan dalam ekstraksi,
suhu dan waktu ekstraksi (Basalmah, 2002). Pada penelitian ini jenis pelarut serta
karakteristik pelarut merupakan faktor penentu perbedaan rendemen yang
dihasilkan. Pelarut etil asetat menghasilkan rendemen yang lebih besar
dibandingkan dengan pelarut aseton, hal ini dapat disebabkan karena pelarut etil
asetat memiliki indeks polaritas yang lebih kecil yaitu 4,4 sedangkan aseton 5,1
(Sarker, et al., 2006). Hal tersebut diduga pelarut etil asetat mampu melarutkan
senyawa non polar seperti minyak atsiri, terpenoid dan lemak yang ada dalam
temulawak (Sari, et al., 2013). Proses penguapan dari ekstrak kemungkinan juga
mempengaruhi hasil rendemen, karena ekstrak diuapkan pada waterbath dengan suhu
60oC maka pelarut aseton lebih banyak teruapkan daripada etil asetat, karena titik
didih etil asetat lebih besar daripada aseton. Titik didih etil asetat yaitu 77 oC
sedangkan aseton 56 oC (Sarker, et al., 206). Perbedaan tempat tumbuh dan perlakuan
pendahuluan masing-masing simplisia seperti waktu panen, pemotongan, serta
pengeringan dalam penelitian ini diduga juga mempengaruhi hasil ekstraksi.

20
3.4 Metode Kesetimbangan Ekstraksi Temulawak
3.4.1 Metode Kesetimbangan Proses Ekstraksi

Penelitian ini akan dilaksanakan di laboratorium Dasar Teknik Kimia Fakultas


Teknik UNS.
 Bahan yang digunakan:
- Rimpang temulawak dengan kadar minyak 0,1441 gr minyaklgr
rimpang.
- Etanol 96%.
 Rangkaian alat :

Cara kerja :
Rimpang segar diiris tipis berbentuk slab dengan tebal tertentu. Ekstraksi
dilakukan secara batch pada suhu kamar, dimana sejumlah tertentu slab
diekstraksi menggunakan sejumlah tertentu pelarut etanol 96%. Alat ekstraksi
yang digunakan adalah erlenmeyer tertutup dan ekstraksi dijalankan pada suhu
kamar. Untuk mempercepat keadaan seimbang, maka selama ekstraksi dilakukan
pengadukan. Setelah semua rimpang dan pelarut dengan perbandingan tertentu
dimasukkan, segera magnetic stirrer dihidupkan yang kecepatannya dijaga tetap.
Pada akhir ekstraksi (waktu akhir ekstraksi ditentukan pada percobaan
pendahuluan dan diperoleh 2 jam), ampas dipisahkan dari campuran pelarut
minyak dengar cara menyaring. Kemudian minyak dipisahkan dari pelarut dengan
cara menguapkan pelarut. Minyak yang sudah tidak mengandung pelarut' ini
selanjutnya ditimbang. Percobaan di atas diulangi dengan variasi perbandingan
jumlah pelarut dan rimpang. Kadar minyak dalam larutan pada akhir ekstraksi
ditentukan dengan cara gravimetri, dimana berat total campuran minyak pelarut

21
sebelum diuapkan ditimbang terlebih dahulu. Berat minyak pada akhir penguapan
ini juga ditimbang. Kadar minyak dalam larutan ( Y* ) merupakan Nilai Xs
dievaluasi menggunakan persamaan 4. Nilai tetapan-tetapan keseimbangan dicari
menggunakan persamaan 1, 2, dan 3. Selanjutnya akan dibahas model
keseimbangan yang sesuai dengan peristiwa ekstraksi pada penelitian ini.
Pada penelitian ini, data yang digunakan untuk mencari model
keseimbangan adalah data ekstraksi dengan pelarut etanol 96%.

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

1. Metode preparasi yang dapat digunakan yaitu Refluks, sonikasi dan


maserasi.
2. Tahapan pembuatan simplisia dan parameter pengujian titik kritis yaitu
sortasi ,pencucian, pengeringan dan pengepakan.
3. Perubahan fisik simplisia temulawak bisa di lihat dari warna irisan
rimpang temulawak kering kualitas baik adalah merah bata atau merah
orange merata.
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi kuantitas dan kualitas rendemen yang
dihasilkan antara lain: jenis pelarut yang digunakan, perlakuan
pendahuluan (pengecilan ukuran bahan dan pengeringan bahan),
perbandingan jumlah bahan dengan pelarut, lama ekstraksi dan jumlah
tahapan dalam ekstraksi, suhu dan waktu ekstraksi.
5. Pelarut yang digunakan yaitu etanol 96% dalam metode kesetimbangan
proses ekstraksi.

4.2 Saran

Perlu diteliti lebih lanjut dengan menggunakan variable yang lain dan
perbandingan yang lebih banyak.

22
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1985,Cara Pembuatan Simplisia, Departemen Kesehatan Republik


Indonesia, 1-2.
Anonim, 2008, Farmakope Herbal Indonesia, Departemen Kesehatan RI, hal 150-
154, 162-166 dan 175.
Anonim, 2000,Informasi Obat Nasional Indonesia, Direk Jendral Pengawasan
Obat dan Makanan, hal 47, Depkes RI, Indonesia
Basalmah, R.S., 2006, Optimalisasi Kondisi Ekstraksi Kurkuminoid Temulawak:
Waktu, Suhu, Dan Nisbah, Skripsi, Departemen Kimia Fakultas MIPA,
Institut Pertanian Bogor.
Cahyono, B., (2007), Standardisasi bahan baku obat alam, Seminar Nasional
Penggunaan Obat BahanAlam dalam Pelayanan Kesehatan, Semarang.
Chattopadhyay I, Biswas K, Bandyopadhyay U, Banerjee RK., 2004, Turmeric
and curcumin: Biological actions and medicinal applications,Curr.
Sci.,87. 44-53.
Das KC and Das CK., 2002, Curcumin (diferuloylmethane)a singlet oxygen (1O2)
quencher,Biochem Biophys Res Commum, 295: 62–66.
Harborne, J.B., (1987), Metode Fitokimia, Edisi ke dua, ITB, Bandung.
Jayaprakasha, G.K., Rao, L.J.M., Sakariah, K.K., 2005, Chemistry and Biological
Activities of Curcuma Longa, Trends in Food Science & Technology 16,
533-548.
Lin, C.-C., Lin, H.-Y., Chen, H.-C., Yu, M.-W., and Lee, M.-H., (2009),Stability
and characterisation of phospholipid-based curcumin-encapsulated
microemulsions, Food Chemistry, 116, pp. 923–928.
Rohman, A., 2012, Analysis of curcuminoids in food and pharmaceutical
products.International Food Research Journal 19(1): 19-27.
Soegihardjo, C.J. 2013. Farmakognosi.Klaten : Intan Sejati.
Syukur. C, dan Hernani, 2001, Budidaya Tanaman Obat Komersial Penebar
Swadaya, Jakarta.
Srimal, R.C. and Dhawan, B.N. (1973) Pharmacology of Diferuloyl Methane
(Curcumin), a Non-Steroidal Anti Inflammatory Agent. Journal of
Pharmacy and Pharmacology, 25, 447-452.

23
Sari, D.L.N., Cahyono, B., dan Kumoro, A.C., 2013, Pengaruh Jenis Pelarut
pada Ekstraksi Kurkuminoid dari Rimpang Temulawak (Curcuma
xanthorrhiza Roxb.), Chem info, Vol. 1, No. 1, Hal 101-107.

Sarker, S.D., Latif, Z., Gray, A.I., 2006, Natural Products Isolation, Second
Edition, Humana Press, Totowa, New Jersey. Hal 36-37

24

Anda mungkin juga menyukai