FILARIASIS
Disusun oleh :
Kelompok 2
1. Amelia Indria Putri (J410191189)
2. Sukoningtyas Saputri (J410191089)
3. Dewi Astuti (J410191090)
4. Discha Prameswara (J410191184)
5. Latifatul Masruroh (J410191006)
6. Piyah Setyowati (J410191196)
7. Riana Dewi Fatmawati (J410191125)
1. Wuchereria bancrofti
2. Brugia malayi
3. Brugia timori
Cacing Brugia timori dewasa hidup di dalam saluran dan
pembuluh limfe, sedangkan microfilaria di jumpai di dalam darah
tepi hospes definitif. Bentuk cacing dewasa mirip bentuknya
dengan W. bancrofti, sehingga sulit dibedakan. Ciri khas
mikrofilaria B.malayi adalah bentuk ekornya yang mengecil, dan
mempunyai dua inti terminal, sehingga mudah dibedakan dari
mikrofilaria W. bancrofti. Brugia ada yang zoonotik, tetapi ada
yang hanya hidup pada manusia. Pada B.malayi bermacam-
macam, ada yang nocturnal periodic nocturnal subperiodic, atau
non periodic, B. timori bersifat periodic nokturna. Brugia timori
ditularkan oleh Anopheles di dalam tubuh nyamuk betina.
2. Lingkungan (Environment)
Lingkungan sangat berpengaruh terhadap distribusi kasus filariasis dan
mata rantai penularannya. Biasanya daerah endemis Brugia Malayi
adalah daerah sungai, hutan, rawa-rawa, sepanjang sungai atau badan
air lain yang ditumbuhi tanaman air. Daerah endemis W. Bancrofti tipe
perkotaan (urban) adalah daerah-daerah perkotaan yang kumuh, padat
penduduknya dan banyak genangan air kotor sebagai habitat dari
vektor yaitu nyamuk Cx. Quinquefasciatus. Sedangkan daerah endemis
W. Bancrofti tipe pedesaan (rural) secara umum kondisi lingkungannya
sama dengan derah endemis B.Malayi. Lingkungan hidup manusia
pada dasarnya terdiri dari dua bagian, internal dan ekstemal.
a. Lingkungan Fisik
Yang termasuk lingkungan fisik antara lain geografik dan keadaan
musim. Lingkungan fisik bersifat abiotik. atau benda mati seperti
air, udara, tanah, cuaca, makanan, rumah, panas, sinar, radiasi, dan
Iain-lain.
b. Lingkungan Biologi
Lingkungan biologis adalah semua makhluk hidup yang berada di
sekitar manusia yaitu flora dan fauna, termasuk manusia. Misalnya,
wilayah dengan flora yang berbeda akan mampunyai pola penyakit
yang berbeda.
c. Lingkungan Sosial Ekonomi
Lingkungan sosial berupa kultur, adat istiadat, kebiasaan,
kepercayaan, agama, sikap, standar dan gaya hidup, pekerjaan,
kehidupan kemasyarakatan, organisasi sosial dan politik,
pendidikan, dan status ekonomi.
Salah satu faktor lingkungan sosial yang berhubungan
dengan kejadian filariasis adalah status ekonomi. Terdapatnya
penyebaran masalah kesehatan yang berbeda ini, pada umumnya di
pengaruhi oleh dua hal yakni; karena terdapatnya perbedaan
kemampuan ekonomis dalam mencegah dan atau mengobati
penyakit, dan terdapatnya perbedaan sikap hidup dan perilaku yang
dimiliki. Pekerjaan yang dilakukan pada jam-jam nyamuk mencari
darah dapat beresiko untuk terkena filariasis.
3. Agent
Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filarial,
yaitu : W. Bancroft, B.Malayi dan B. Timori. Cacing filaria baik limfatik
maupun non lirnfatik, mempunyai ciri khas yang sama sebagai berikut:
dalam reproduksinya tidak lagi mengeluarkan telur melainkan mikrofilaria
(larva cacing), dan ditularkan oleh Arthropoda (nyamuk).
E. GEJALA PENYAKIT FILARIASIS
1. Infeksi limfatik filariasis melibatkan kondisi tanpa gejala, kronis, dan
akut. Sebagian besar infeksi tidak menunjukkan gejala, tidak
menunjukkan tanda-tanda infeksi eksternal saat berkontribusi pada
penularan parasit. Infeksi tanpa gejala ini masih menyebabkan
kerusakan pada sistem limfatik dan ginjal, dan mengubah sistem
kekebalan tubuh namun belum tampak kasat mata.
1. Anamnesis
a. Demam berulang ulang selama 3-5 hari. Demam dapat hilang bila
istirahat dan timbul lagi setelah bekerja berat.
b. Pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) didaerah
lipatan paha, ketiak yang tampak kemerahan, panas dan sakit.
c. Filarial abses akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar
getah bening, dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah.
d. Pembesaran tungkai, lengan, buah dada, kantong zakar yang terlihat
agak kemerahan dan terasa panas.
e. Pada wanita dapat terjadi mastitis, sedangkan pada laki-laki gejala
yang timbul dapat berupa orkitis, epididimoorkitis, dan funikulitis.
Gejala ini biasanya timbul dalam 6 bulan hingga 1 tahun pertama
terinfeksi.
Manifestasi kronik
Gejala dan tanda klinis filariasis kronis meliputi limfedema atau
pembesaran yang menetap pada tungkai, lengan, buah dada, dan
hidrokel. Filariasis W. bacrofti biasanya menyebabkan limfedema pada
ekstremitas, genital, dan buah dada. Sedangkan filariasis oleh B.
malayi hanya menyebabkan limfedema pada tungkai bawah dan/atau
atas tanpa disertai pembengkakan genital atau buah dada.
Manifestasi lain dari filariasis kronis adalah adenitis dermatolimfangio
akut (ADLA). Limfedema menyebabkan terganggunya aliran sistem
limfatik dan membuat sistem imun tubuh menjadi lemah. Hal ini
menyebabkan penderita mudah terkena infeksi sekunder oleh bakteri
atau jamur.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik filariasis meliputi pemeriksaan kelenjar getah bening
umum, serta pemeriksaan testis dan tes transiluminasi untuk menilai
adanya hidrokel. Penting untuk memeriksa entry lesions infeksi pada
lipatan kulit limfedema untuk mencegah ADLA (Adenitis
Dermatolimfangio Akut).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Sediaan Apusan Darah Tepi
Pemeriksaan apusan darah tepi (ADT) diambil dari darah ujung jari
pasien pada malam hari pukul 22.00-02.00. Apusan darah tebal
kemudian diberi pewarna Giemsa atau hematoxylin dan eosin, lalu
dilihat di bawah mikroskop. Jika ditemukan mikrofilaria nyamuk
sesuai dengan morfologinya, maka diagnosis filariasis dapat
ditegakkan.
b. Deteksi Antigen Filaria
Deteksi antigen filaria dapat dilakukan lewat sediaan darah perifer
dengan atau tanpa mikrofilaria. Pemeriksaan ini digunakan untuk
menilai respons terapi. Pemeriksaan ini lebih sensitif dibandingkan
dengan ADT.
c. Ultrasonografi
Pemeriksaan ultrasonografi dapat digunakan untuk mendiagnosis
filariasis dengan menemukan cacing dewasa pada saluran limfatik.
d. Lymphoscintigraphy
Pemeriksaan lymphoscintigraphy memiliki sensitifitas (96%) dan
spesifisitas (100%) untuk diagnosis limfedema.
e. Laboratorium
Penemuan dalam pemeriksaan laboratorium adalah meningkatnya
hitung jenis eosinophil. Namun, apabila sudah terdapat limfedema
dan berlangsung kronis, hasil laboratorium bisa saja normal.
f. Diethylcarbamazine provocativetest
Bila sangat diperlukan dapat dilakukan Diethylcarbamazine
provocativetest. Diethylcarbamazine (DEC) merupakan terapi obat
pilihan untuk filariasis. Namun, tidak semua kasus filariasis perlu
obat ini, terutama jika tidak ditemukan adanya parasit yang aktif
pada pemeriksaan darah.
G. PENGOBATAN PENYAKIT FILARIASIS
1. Pengobatan
WHO merekomendasikan strategi kemoterapi preventif untuk
eliminasi filariasis limfatik adalah pemberian obat massal (Mass Drugs
Administration). MDA melibatkan pemberian dosis obat tahunan untuk
seluruh populasi berisiko. Obat-obatan yang digunakan memiliki efek
terbatas pada parasit dewasa tetapi secara efektif mengurangi kepadatan
mikrofilaria dalam aliran darah dan mencegah penyebaran parasit ke
nyamuk. Jenis MDA yang direkomendasikan tergantung pada co-
endemisitas filariasis limfatik dengan penyakit filaria lainnya.
WHO merekomendasikan jenis MDA berikut: albendazole (400
mg) saja dua kali per tahun untuk daerah co-endemik dengan loiasis
ivermectin (200 mcg / kg) dengan albendazole (400 mg) di negara-
negara dengan onchocerciasis diethylcarbamazine citrate (DEC) (6 mg /
kg) dan albendazole (400 mg) di negara-negara tanpa onchocerciasis
Bukti terbaru menunjukkan bahwa kombinasi ketiga obat dapat dengan
aman membersihkan hampir semua mikrofilaria dari darah orang yang
terinfeksi dalam beberapa minggu, dibandingkan dengan bertahun-tahun
menggunakan kombinasi dua obat rutin. WHO sekarang
merekomendasikan jenis MDA berikut di negara-negara tanpa
onchocerciasis: ivermectin (200 mcg / kg) bersama dengan
diethylcarbamazine citrate (DEC) (6 mg / kg) dan albendazole (400 mg).
Dampak MDA tergantung pada kemanjuran jenis dan cakupan (proporsi
populasi total yang meminum obat-obatan). MDA dengan jenis dua obat
telah mengganggu siklus penularan bila dilakukan setiap tahun selama 4-
6 tahun dengan cakupan efektif dari total populasi yang berisiko.
Obat utama yang digunakan adalah Dietilcarbamazine (DEC).
DEC bersifat membunuh mikrofilaria dan juga cacing dewasa pada
pengobatan jangka panjang. Hingga saat ini, DEC merupakan satu-
satunya obat yang efektif, aman, dan relatif murah. Untuk filariasis
bancrofti, dosis yang dianjurkan adalah 6 mg/kg berat badan per hari
selam 12 hari. Sedangkan untuk filaria brugia, dosis yang dianjurkan
adalah 5 mg/kg berat badan per hari selam 10 hari. Efek samping dari
DEC ini adalah demam, mengigil, artralgia, sakit kepala, mual, hingga
muntah. Pada pengobatan filariasis brugia, efek samping yang
ditimbulkan lebih berat. Sehingga untuk pengobatannya dianjurkan
dalam dosis rendah, tetapi waktu pengobatan dilakukan dalam waktu
yang lebih lama.
Obat lain yang juga dipakai adalah ivermektin. Ivermektin adalah
antibiotik semisintetik dari golongan makrolid yang mempunyai aktivitas
luas terhadap nematode dan ektoparasit. Obat ini hanya membunuh
mikrofilaria. Efek samping yang ditimbulkan lebih ringan dibanding
DEC.
2. Perawatan
Perawatan terhadap penderita filariasis dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut :
Efendi, Nor, dkk. (2016). Kaki Gajah Dalam Balutan Budaya Etnik Sula.
Yogyakarta: PT. Kanisius