Anda di halaman 1dari 15

EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR

FILARIASIS

Disusun oleh :
Kelompok 2
1. Amelia Indria Putri (J410191189)
2. Sukoningtyas Saputri (J410191089)
3. Dewi Astuti (J410191090)
4. Discha Prameswara (J410191184)
5. Latifatul Masruroh (J410191006)
6. Piyah Setyowati (J410191196)
7. Riana Dewi Fatmawati (J410191125)

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2019
A. DATA PENYAKIT FILARIASIS
Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah salah satu penyakit tular
vektor atau penyakit yang memerlukan vektor dalam penularannya.
Penyakit tropis ini merupakan penyakit menular dan menahun yang
disebabkan oleh cacing filaria yang menyerang saluran dan kelenjar
getah bening.
WHO menyatakan pada Oktober 2018 bahwa saat ini di dunia
terdapat 856 juta penduduk di 52 negara di seluruh dunia yang beresiko
tertular penyakit filariasis (penyakit kaki gajah). Di perkirakan 60% dari
seluruh kasus berada di Asia Tenggara. Di tahun 2000 lebih dari 120 juta
orang terinfeksi filariasis, dengan sekitar 40 juta orang orang menjadi
cacat dan lumpuh akibat penyakit tersebut.
Di indonesia, prevalensi mikrofilaria terus mengalami penurunan
dari 19,5% pada tahun 1980 menjadi 4,7% pada tahun 2014. WHO telah
menetapkan kesepakatan global (The Global Goal of Elimination of
Lymphatic Fillarisis as a Public Health problem by The Year 2020).
Selarah dengan hal ini, pemerintah bertekat untuk mewujudkan Indonesia
bebas kaki gajah pada tahun 2020. Hal tersebut dilakukan melalui Bulan
Eliminasi Penyakit Kaki Gajah (BELKAGA), dimana setiap penduduk
endemis penyakit serentak minum obat pencegahan setiap bulan Oktober
selama 5 tahun berturut-turut.
Pada tahun 2017, dari 514 kabupaten/kota di wilayah Indonesia,
sebanyak 236 kabupaten/kota tergolong endemis filariasis. Dari jumlah
tersebut, 152 kabupaten/kota diantaranya masih melaksanankan POPM.
Jumlah kasus kronis filariasis terbanyak terdapat di Provinsi Papua dengan
3.047 kasus kronis dan Provinsi dengan kasus kronis terendah yaitu di
Kalimantan Utara sebanyak 11 kasus kronis. Provinsi dengan persentase
kabupaten/kota endemis penyakit terbanyak yang mencapai 100% yaitu
terdapat di Kep. Bangka Belitung dan Gorontalo.

B. PENYEBAB PENYAKIT FILARIASIS

Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria


(microfilaria) yaitu Wucheria Bancrofti, Brugia malayu, dan Brugia Timori
yang dapat menular dengan perantaraan nyamuk sebagai vektor. Di
Indonesia ditemukan tiga jenis parasit penyebab filariasis limfatik pada
manusia yaitu :

1. Wuchereria bancrofti

Jenis cacing ini ditemukan di daerah perkotaan, ditularkan oleh


nyamuk Culex. Sedangkan Whucheriria bancrofti yang ditemukan di
pedesaan ditularkan melalui Anopheles, Culex dan Aedes. Pada
Wuchereria bancrofti, di ujung daerah kepala membesar, mulutnya
berupa lubang sederhana tanpa bibir (Oral stylet). Bentuk cacing ini
gilig memanjang, seperti benang. Jika terlalu banyak jumlahnya
cacing yang berada dipembuluh darah maka dapat menyumbat aliran
limfa sehingga kaki menjadi membengkak. Pada saat dewasa, cacing
ini menghasilkan telur kemudian akan menetas menjadi anak cacing
berukuran kecil yang disebut mikrofilaria. Selanjutnya, mikrofilaria
beredar di dalam darah.

2. Brugia malayi

Brugia Malayi dewasa umumnya mirip dengan Wuchereria


bancrofti, hanya saja cacing B. malayi lebih kecil. Cacing dewasa
dapat memproduksi mikrofilaria di dalam tubuh manusia. Biasanya,
vektor yang umum berperan dalam penyebaran B. malayi adalah
nyamuk dari berbagai spesies mansonia seperti Ma.uniformis,
Ma.bonneae, Ma.dives dan lain-lain genera, selain nyamuk jenis
Mansonia, Brugia Malayi juga ditularkan oleh nyamuk Anopheles
yaitu An.Barbirostris. Beberapa negara yang mempunyai prevalensi
B.malayi antara lain adalah Indonesia, Malaysia, Filipina, dan India.
Kehidupan cacing ini biasanya berada pada manusia dan hewan (kera,
anjing, kucing). Terdapat dua bentuk B. malayi yang dapat dibedakan
bedasarkan periodisitas mikrofilarianya pada darah tepi. Bentuk yang
pertama, bentuk periodis nokturnal, hanya dapat ditemukan pada
darah tepi pada malam hari.Bentuk yang kedua, bentuk subperiodis,
dapat ditemukan pada darah tepi setiap saat, hanya saja jumlah
mikrofilaria terbanyak ditemukan di malam hari

3. Brugia timori
Cacing Brugia timori dewasa hidup di dalam saluran dan
pembuluh limfe, sedangkan microfilaria di jumpai di dalam darah
tepi hospes definitif. Bentuk cacing dewasa mirip bentuknya
dengan W. bancrofti, sehingga sulit dibedakan. Ciri khas
mikrofilaria B.malayi adalah bentuk ekornya yang mengecil, dan
mempunyai dua inti terminal, sehingga mudah dibedakan dari
mikrofilaria W. bancrofti. Brugia ada yang zoonotik, tetapi ada
yang hanya hidup pada manusia. Pada B.malayi bermacam-
macam, ada yang nocturnal periodic nocturnal subperiodic, atau
non periodic, B. timori bersifat periodic nokturna. Brugia timori
ditularkan oleh Anopheles di dalam tubuh nyamuk betina.

C. PENYEBARAN PENYAKIT FILARIASIS


Penyakit filariasis atau kaki gajah ditularkan dari seorang penderita
filariasis yang dalam darahnya mengandung bakal larva cacing filaria
kepada orang lain melalui gigitan nyamuk. Di daerah perkotaan, parasit ini
ditularkan oleh nyamuk Culex guinguefasatus. Di pedesaan vektornya
berupa nyamuk Anopheles atau nyamuk Aedes. Pada saat nyamuk
menghisap darah penderita, bakal larva cacing ikut terhisap ke dalam
tubuh nyamuk, kemudian bakal larva berubah menjadi larva selama
kurang lebih 1-2 minggu, saat nyamuk yang terinfeksi menghisap darah
orang sehat maka larva di dalam tubuh nyamuk menempel pada tubuh
manusia dan masuk ke dalam tubuh. Larva tersebut pindah ke dalam
kelenjar getah bening manusia dan tumbuh dewasa menjadi cacing filaria,
hal inilah yang dapat menyebabkan penyakit filariasis.

Gambar : alur penularan penyakit filariasis

Daur hidup parasit ini memerlukan waktu yang panjang. Masa


pertumbuhan parasit di dalam nyamuk kurang lebih 2 minggu. Microfilaria
yang terisap oleh nyamuk, melepaskan sarungnya di dalam lambung,
menembus dinding lambung dan bersarang di antara otot-otot toraks.
Awalnya parasit ini memendek, bentuknya menyerupai sosis dan disebut
larva stadium I. Dalam waktu kurang lebih seminggu, larva ini bertukar
kulit, tumbuh menjadi lebih gemuk dan panjang disebut larva stadium II.
Pada hari kesepuluh dan selanjutnya, larva bertukar kulit sekali lagi,
tumbuh makin panjang dan lebih kurus disebut larva stadium III.
Seseorang dapat tertular atau terinfeksi penyakit kaki gajah apabila orang
tersebut digigit nyamuk yang infektif yaitu nyamuk yang mengandung
larvastadium III (L3). Bentuk ini bermigrasi, mula-mula ke rongga
abdomen kemudian ke kepala dan alat tusuk nyamuk. Bila nyamuk sedang
aktif mencari darah akan terbang berkeliling sampai adanya rangsangan
hospes yang cocok diterima oleh alat penerima rangsangannya.
Rangsangan ini akan memberi petunjuk pada nyamuk untuk mengetahui
dimana adanya hospes kemudian baru menggigit. Bila nyamuk yang
mengandung larva stadium III bersifat infektif dan mengigit manusia,
maka larva tersebut secara aktif masuk ke dalam tubuh hospes dan
bersarang di saluran limfe setempat. Di dalam tubuh hospes, larva
mengalami dua kali pergantian kulit, tumbuh menjadi larva stadium IV,
lalu stadium V dan cacing dewasa.

D. FAKTOR RISIKO PENYAKIT FILARIASIS

1. Faktor Manusia dan Nyamuk (Host)


a. Manusia
1) Umur
Filariasis menyerang pada semua kelompok umur
2) Jenis Kelamin
Semua jenis kelamin dapat terinfeksi mikrofilaria
3) Imunitas
Orang yang pernah terinfeksi filariasis sebelumnya tidak
teerbentuk imunitas dalam tubuhnya terhadap filaria demikian
juga yang tinggal di daerah endemis biasanya tidak mempunyai
imunitas alami terhadap penyakit filariasis.
4) Ras
Penduduk pendatang pada suatu daerah endemis filariasis
mempunyai risiko terinfeksi filariasis lebih besar dibanding
penduduk asli. Penduduk pendatang dari daerah non endemis ke
daerah endemis, misalnya transmigran, walaupun pada
pemeriksaan darah jari belum atau sedikit mengandung
mikrofilaria, akan tetapi sudah menunjukkan gejala klinis yang
lebih berat.
b. Nyamuk

Nyamuk termasuk serangga yang melangsungkan siklus kehidupan


di air. Kelangsungan hidup nyamuk akan terputus apabila tidak ada
air. Nyamuk dewasa sekali bertelur sebanyak ± 100-300 butir, besar
telur sekitar 0,5 mm. Setelah 1-2 hari menetas jadi jentik, 8-10 hari
menjadi kepompong (pupa), dan 1-2 hari menjadi nyamuk dewasa.
Makanan nyamuk betina yaitu darah, yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan telurnya. Pengetahuan kepadatan nyamuk dan vektor
sangat penting untuk mengetahui musim penularan dan dapat
digunakan sebagai parameter untuk menilai keberhasilan program
pemberantasan vektor.

2. Lingkungan (Environment)
Lingkungan sangat berpengaruh terhadap distribusi kasus filariasis dan
mata rantai penularannya. Biasanya daerah endemis Brugia Malayi
adalah daerah sungai, hutan, rawa-rawa, sepanjang sungai atau badan
air lain yang ditumbuhi tanaman air. Daerah endemis W. Bancrofti tipe
perkotaan (urban) adalah daerah-daerah perkotaan yang kumuh, padat
penduduknya dan banyak genangan air kotor sebagai habitat dari
vektor yaitu nyamuk Cx. Quinquefasciatus. Sedangkan daerah endemis
W. Bancrofti tipe pedesaan (rural) secara umum kondisi lingkungannya
sama dengan derah endemis B.Malayi. Lingkungan hidup manusia
pada dasarnya terdiri dari dua bagian, internal dan ekstemal.
a. Lingkungan Fisik
Yang termasuk lingkungan fisik antara lain geografik dan keadaan
musim. Lingkungan fisik bersifat abiotik. atau benda mati seperti
air, udara, tanah, cuaca, makanan, rumah, panas, sinar, radiasi, dan
Iain-lain.
b. Lingkungan Biologi
Lingkungan biologis adalah semua makhluk hidup yang berada di
sekitar manusia yaitu flora dan fauna, termasuk manusia. Misalnya,
wilayah dengan flora yang berbeda akan mampunyai pola penyakit
yang berbeda.
c. Lingkungan Sosial Ekonomi
Lingkungan sosial berupa kultur, adat istiadat, kebiasaan,
kepercayaan, agama, sikap, standar dan gaya hidup, pekerjaan,
kehidupan kemasyarakatan, organisasi sosial dan politik,
pendidikan, dan status ekonomi.
Salah satu faktor lingkungan sosial yang berhubungan
dengan kejadian filariasis adalah status ekonomi. Terdapatnya
penyebaran masalah kesehatan yang berbeda ini, pada umumnya di
pengaruhi oleh dua hal yakni; karena terdapatnya perbedaan
kemampuan ekonomis dalam mencegah dan atau mengobati
penyakit, dan terdapatnya perbedaan sikap hidup dan perilaku yang
dimiliki. Pekerjaan yang dilakukan pada jam-jam nyamuk mencari
darah dapat beresiko untuk terkena filariasis.

3. Agent
Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filarial,
yaitu : W. Bancroft, B.Malayi dan B. Timori. Cacing filaria baik limfatik
maupun non lirnfatik, mempunyai ciri khas yang sama sebagai berikut:
dalam reproduksinya tidak lagi mengeluarkan telur melainkan mikrofilaria
(larva cacing), dan ditularkan oleh Arthropoda (nyamuk).
E. GEJALA PENYAKIT FILARIASIS
1. Infeksi limfatik filariasis melibatkan kondisi tanpa gejala, kronis, dan
akut. Sebagian besar infeksi tidak menunjukkan gejala, tidak
menunjukkan tanda-tanda infeksi eksternal saat berkontribusi pada
penularan parasit. Infeksi tanpa gejala ini masih menyebabkan
kerusakan pada sistem limfatik dan ginjal, dan mengubah sistem
kekebalan tubuh namun belum tampak kasat mata.

2. Ketika filariasis limfatik berkembang menjadi kondisi kronis, itu


menyebabkan pembengkakan jaringan anggota tubuh dan
pembengkakan skrotum. Keterlibatan payudara dan organ genital
sering terjadi.

3. Episode akut peradangan lokal yang melibatkan kulit, kelenjar getah


bening dan pembuluh limfatik sering menyertai lymphoedema kronis
atau elephantiasis. Beberapa episode ini disebabkan oleh respon imun
tubuh terhadap parasit. Sebagian besar adalah hasil dari infeksi kulit
bakteri sekunder di mana pertahanan normal telah hilang sebagian
karena kerusakan limfatik yang mendasarinya.

F. DIAGNOSIS PENYAKIT FILARIASIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,


dan pemeriksaan penunjang identifikasi mikrofilaria.

1. Anamnesis

Manifestasi akut, berupa:

a. Demam berulang ulang selama 3-5 hari. Demam dapat hilang bila
istirahat dan timbul lagi setelah bekerja berat.
b. Pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) didaerah
lipatan paha, ketiak yang tampak kemerahan, panas dan sakit.
c. Filarial abses akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar
getah bening, dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah.
d. Pembesaran tungkai, lengan, buah dada, kantong zakar yang terlihat
agak kemerahan dan terasa panas.
e. Pada wanita dapat terjadi mastitis, sedangkan pada laki-laki gejala
yang timbul dapat berupa orkitis, epididimoorkitis, dan funikulitis.
Gejala ini biasanya timbul dalam 6 bulan hingga 1 tahun pertama
terinfeksi.
Manifestasi kronik
Gejala dan tanda klinis filariasis kronis meliputi limfedema atau
pembesaran yang menetap pada tungkai, lengan, buah dada, dan
hidrokel. Filariasis W. bacrofti biasanya menyebabkan limfedema pada
ekstremitas, genital, dan buah dada. Sedangkan filariasis oleh B.
malayi hanya menyebabkan limfedema pada tungkai bawah dan/atau
atas tanpa disertai pembengkakan genital atau buah dada.
Manifestasi lain dari filariasis kronis adalah adenitis dermatolimfangio
akut (ADLA). Limfedema menyebabkan terganggunya aliran sistem
limfatik dan membuat sistem imun tubuh menjadi lemah. Hal ini
menyebabkan penderita mudah terkena infeksi sekunder oleh bakteri
atau jamur.

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik filariasis meliputi pemeriksaan kelenjar getah bening
umum, serta pemeriksaan testis dan tes transiluminasi untuk menilai
adanya hidrokel. Penting untuk memeriksa entry lesions infeksi pada
lipatan kulit limfedema untuk mencegah ADLA (Adenitis
Dermatolimfangio Akut).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Sediaan Apusan Darah Tepi
Pemeriksaan apusan darah tepi (ADT) diambil dari darah ujung jari
pasien pada malam hari pukul 22.00-02.00. Apusan darah tebal
kemudian diberi pewarna Giemsa atau hematoxylin dan eosin, lalu
dilihat di bawah mikroskop. Jika ditemukan mikrofilaria nyamuk
sesuai dengan morfologinya, maka diagnosis filariasis dapat
ditegakkan.
b. Deteksi Antigen Filaria
Deteksi antigen filaria dapat dilakukan lewat sediaan darah perifer
dengan atau tanpa mikrofilaria. Pemeriksaan ini digunakan untuk
menilai respons terapi. Pemeriksaan ini lebih sensitif dibandingkan
dengan ADT.

c. Ultrasonografi
Pemeriksaan ultrasonografi dapat digunakan untuk mendiagnosis
filariasis dengan menemukan cacing dewasa pada saluran limfatik.

d. Lymphoscintigraphy
Pemeriksaan lymphoscintigraphy memiliki sensitifitas (96%) dan
spesifisitas (100%) untuk diagnosis limfedema.

e. Laboratorium
Penemuan dalam pemeriksaan laboratorium adalah meningkatnya
hitung jenis eosinophil. Namun, apabila sudah terdapat limfedema
dan berlangsung kronis, hasil laboratorium bisa saja normal.

f. Diethylcarbamazine provocativetest
Bila sangat diperlukan dapat dilakukan Diethylcarbamazine
provocativetest. Diethylcarbamazine (DEC) merupakan terapi obat
pilihan untuk filariasis. Namun, tidak semua kasus filariasis perlu
obat ini, terutama jika tidak ditemukan adanya parasit yang aktif
pada pemeriksaan darah.
G. PENGOBATAN PENYAKIT FILARIASIS

1. Pengobatan
WHO merekomendasikan strategi kemoterapi preventif untuk
eliminasi filariasis limfatik adalah pemberian obat massal (Mass Drugs
Administration). MDA melibatkan pemberian dosis obat tahunan untuk
seluruh populasi berisiko. Obat-obatan yang digunakan memiliki efek
terbatas pada parasit dewasa tetapi secara efektif mengurangi kepadatan
mikrofilaria dalam aliran darah dan mencegah penyebaran parasit ke
nyamuk. Jenis MDA yang direkomendasikan tergantung pada co-
endemisitas filariasis limfatik dengan penyakit filaria lainnya.
WHO merekomendasikan jenis MDA berikut: albendazole (400
mg) saja dua kali per tahun untuk daerah co-endemik dengan loiasis
ivermectin (200 mcg / kg) dengan albendazole (400 mg) di negara-
negara dengan onchocerciasis diethylcarbamazine citrate (DEC) (6 mg /
kg) dan albendazole (400 mg) di negara-negara tanpa onchocerciasis
Bukti terbaru menunjukkan bahwa kombinasi ketiga obat dapat dengan
aman membersihkan hampir semua mikrofilaria dari darah orang yang
terinfeksi dalam beberapa minggu, dibandingkan dengan bertahun-tahun
menggunakan kombinasi dua obat rutin. WHO sekarang
merekomendasikan jenis MDA berikut di negara-negara tanpa
onchocerciasis: ivermectin (200 mcg / kg) bersama dengan
diethylcarbamazine citrate (DEC) (6 mg / kg) dan albendazole (400 mg).
Dampak MDA tergantung pada kemanjuran jenis dan cakupan (proporsi
populasi total yang meminum obat-obatan). MDA dengan jenis dua obat
telah mengganggu siklus penularan bila dilakukan setiap tahun selama 4-
6 tahun dengan cakupan efektif dari total populasi yang berisiko.
Obat utama yang digunakan adalah Dietilcarbamazine (DEC).
DEC bersifat membunuh mikrofilaria dan juga cacing dewasa pada
pengobatan jangka panjang. Hingga saat ini, DEC merupakan satu-
satunya obat yang efektif, aman, dan relatif murah. Untuk filariasis
bancrofti, dosis yang dianjurkan adalah 6 mg/kg berat badan per hari
selam 12 hari. Sedangkan untuk filaria brugia, dosis yang dianjurkan
adalah 5 mg/kg berat badan per hari selam 10 hari. Efek samping dari
DEC ini adalah demam, mengigil, artralgia, sakit kepala, mual, hingga
muntah. Pada pengobatan filariasis brugia, efek samping yang
ditimbulkan lebih berat. Sehingga untuk pengobatannya dianjurkan
dalam dosis rendah, tetapi waktu pengobatan dilakukan dalam waktu
yang lebih lama.
Obat lain yang juga dipakai adalah ivermektin. Ivermektin adalah
antibiotik semisintetik dari golongan makrolid yang mempunyai aktivitas
luas terhadap nematode dan ektoparasit. Obat ini hanya membunuh
mikrofilaria. Efek samping yang ditimbulkan lebih ringan dibanding
DEC.
2. Perawatan
Perawatan terhadap penderita filariasis dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut :

a. Istirahat di tempat, pindah ke daerah yang dingin akan mengurangi


derajat serangan akut.
b. Antibiotik dapat diberikan untuk infeksi sekunder dan abses.
c. Pengikatan di daerah pembendungan akan mengurangi edema.
H. PENCEGAHAN PENYAKIT FILARIASIS
Prinsip pencegahan filariasis adalah pengobatan massal pada
penduduk daerah endemik filariasis, pengobatan pencegahan terhadap
pendatang yang berasal dari daerah non endemik filariasis, dan
memberantas nyamuk yang menjadi vektor penularannya, sesuai dengan
daerah targetnya. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah
terjadinya gigitan nyamuk filariasis, yaitu :

1. Menggunakan kelambu saat tidur


2. Menggunakan obat gosok anti nyamuk (repellent)
3. Memasang kawat kasa pada ventilasi rumah
4. Menyemprot rumah/kamar dengan obat anti nyamuk
5. Membersihkan halaman dari tempat perkembangbiakan nyamuk
seperti air yang tergenang, selokan, rawa-rawa, dan lainnya
6. Penyuluhan tentang penyakit filariasis dan penanggulangannya perlu
dilakukan agar terbentuk sikap dan perilaku yang baik untuk
mendukung penanggulangan filariasis.
DAFTAR PUSTAKA

Efendi, Nor, dkk. (2016). Kaki Gajah Dalam Balutan Budaya Etnik Sula.
Yogyakarta: PT. Kanisius

Kementrian Kesehatan. (2018). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2017.


Jakarta: Kementrian Kesehatan

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2014


tentang Penanggulangan Filariasis

Soedarto. (2019). Parasitologi Klinik. Surabaya: Airlangga University


Press

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang


Kesehatan

World Health Organization. 2019. Lymphatic Filariasis.


https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/lymphatic-filariasis.
(diakses tanggal 13 Oktober 2019)

Center for Disaes Control and Prevention. 2018. Parasites-Lymphatic


Filariasis. https://www.cdc.gov/parasites/lumphaticfilariasis/epi.html.
(diakses tanggal 12 Oktober 2019)

Anda mungkin juga menyukai