Anda di halaman 1dari 69

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Rencana Aksi Nasional Kesehatan Lanjut Usia (Lansia) tahun 2016-2019

adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun keatas

menurut Permenkes No. 25 tahun 2016 tentang. Lanjut usia atau lansia adalah

bagian dari proses tumbuh kembang, manusia tidak tiba-tiba menjadi tua, tetapi

berkembang dari bayi, anak-anak, dewasa, dan akhirnya menjadi tua. Lansia

merupakan suatu proses yang alami, semua orang akan mengalami proses

menjadi tua dan masa tua merupakan masa hidup manusia yang terakhir, dimana

manusia akan mengalami penurunan fisik, mental dan sosial secara bertahap

(Azizah, 2011). Seorang lansia jika makin bertambah usianya maka hal yang

kemungkinan besar menjadi masalah kepadanya yaitu permasalahan tentang

fisik, ekonomi, jiwa, sosial maupun spiritual.

Salah satu permasalahan yang sangat mendasar pada lanjut usia adalah

masalah kesehatan (Permenkes No. 25, 2016). Akibat yang ditimbulkan dari

pertambahan usia lanjut yaitu ditandai dengan menurunnya derajat kesehatan

lansia, lansia dianggap sebagai individu yang tidak mampu, serta sudah tidak

bekerja yang akan mengakibatkan seorang lansia secara perlahan menarik

dirinya dari hubungannya dengan masyarakat yang berada di lingkungan lansia

berada. Peningkatan jumlah penduduk lansia ini akan membawa dampak

terhadap berbagai kehidupan. Dampak utama peningkatan lansia ini adalah

peningkatan ketergantungan lansia. Ketergantungan ini disebabkan oleh

1
2

kemunduran fisik, psikis, dan sosial lansia yang dapat digambarkan melalui

empat tahap, yaitu kelemahan, keterbatasan fungsional, ketidakmampuan, dan

keterhambatan yang akan terjadi bersamaan dengan proses menua (Ekawati,

2014).

Interaksi Sosial yang lanjut usia lakukan sangat penting seperti penelitian

yang dilakukan oleh Widodo dan Aniroh (2013) yang menunjukkan bahwa

interaksi sosial yang dilakukan lanjut usia dapat mencegah depresi pada lanjut

usia. Interaksi sosial yang dilakukan lanjut usia akan menimbulkan perasaan

bahagia karena berkurangnya kondisi terisolir, dan lanjut usia merasa berguna.

Lanjut usia yang melakukan interaksi sosial memiliki banyak teman atau relasi

dan memiliki aktivitas untuk mengisi waktu luang sehingga lanjut usia akan

merasa berguna dalam menjalani hidup. Selain mengurangi depresi pada lanjut

usia, interaksi sosial juga dapat memperpanjang hidup lanjut usia. Adanya

interaksi sosial pada lanjut usia membuat lanjut usia mendapat dukungan dari

relasi yang dimiliki untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

Banyaknya relasi yang dimiliki membuat lanjut usia saling membantu dan

bertukar pengalaman terutama pengalaman terkait kesehatan dan dapat

membuat lanjut usia sejahtera (Chimes, 2013).

Definisi kualitas hidup menurut World Health Organization Quality of

Life atau WHOQOL yang dikutip oleh Pratiwi (2015) kualitas hidup sebagai

persepsi individu terhadap kehidupan di masyarakat dalam konteks budaya dan

sistem nilai yang ada yang terkait dengan tujuan, harapan, standar, dan

perhatian. Seiring dengan bertambahnya usia lansia, maka keluhan yang

dihadapi terutama kesehatan semakin tinggi. Setiap jenis keluhan kesehatan


3

yang dikeluhkan oleh lansia apalagi keluhan tersebut yang mengganggu setiap

aktivitas sehari-hari akan menghambat upaya peningkatan kesejahteraan dan

juga akan mempengaruhi kualitas hidup. Pendapatan rendah yang dihasilkan

oleh lansia yang bekerja dapat mencerminkan bahwa produktivitas lansia

menurun seiring dengan menurunnya kesehatan dan daya tahan fisiknya

(Permenkes No. 25, 2016).

Indonesia termasuk kedalam negara yang memiliki jumlah lanjut usia

tertinggi nomor empat di dunia setelah China, India dan Amerika Serikat.

Sedangkan Provinsi Jogja menempati urutan ke pertama dengan jumlah lanjut

usia tertinggi di Indonesia. Tingginya jumlah lanjut usia tersebut merupakan

keberhasilan pemerintah pusat maupun masyarakat untuk meningkatkan angka

harapan hidup. Akan tetapi jumlah lanjut usia yang tinggi juga menyebabkan

bebarapa permasalahan seperti kesehatan, ekonomi dan kepuasan hidup lanjut

usia menjadi rendah sehingga beberapa lanjut usia tidak menikmati hari tua dan

merasa menyesali hari tua yang dimiliki (BKKBN, 2010 ; Ulfa,2014). Lanjut

usia mengalami penurunan kemampuan fisik, sosial, motorik dan psikologis,

sehingga pelayanan dan dukungan pada Lansia perlu mendapatkan perhatian

yang besar dari keluarga. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Jawa

Barat, jumlah penduduk lanjut usia pada 2013 mencapai 3.434.909 jiwa dari

jumlah penduduk Jawa Barat 45.430.799 jiwa (BPS, 2013).

Hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di Kel.Sepanjang Jaya

Rawa Lumbu RT05/RW08 Bekasi pada bulan April 2019 mendapatkan data

dari Ketua RT dengan kriteria kualitas hidup lansia ini berdasarkan kesehatan

fisik, kesehatan psikologis, hubungan sosial dan lingkungan. Jumlah lansia


4

yang ada yaitu 50 orang dan dari 10 orang lansia yang diwawancarai

didapatkan bahwa 6 orang lansia aktif dalam kegiatan-kegiatan yang telah di

buat berdasarkan jadwal dari pihak pengelola di Kel.Sepanjang Jaya Rawa

Lumbu RT05/RW08 Bekasi, Bahwa lansia ini adalah saat seseorang sudah

memasuki masa pensiun dan sudah tidak ada kekuatan lagi dalam menjalankan

hidupnya dengan adanya interaksi sosial yang baik akan membuat lansia

tersebut merasakan masih bermanfaat dalam kehidupannya sehingga kualitas

hidupnya pun akan meningkat lebih baik.

B. Rumusan masalah

Dari pemaparan latar belakang di atas membuat peneliti tertarik untuk

meneliti “Adakah hubungan interaksi sosial dengan kualitas hidup lansia di

Kel.Sepanjang Jaya Rawa Lumbu RT05/RW08 Bekasi 2019?”

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan interaksi sosial dengan kualitas hidup lansia di Kel.

Sepanjang Jaya Rawa Lumbu RT05/RW08 Bekasi 2019.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui distribusi frekuensi interaksi sosial pada lansia di

Kel.Sepanjang Jaya Rawa Lumbu RT05/RW08 Bekasi 2019

b. Mengetahui distribusi frekuensi kualitas hidup pada lansia di

Kel.Sepanjang Jaya Rawa Lumbu RT05/RW08 Bekasi 2019

c. Mengetahui hubungan interaksi sosial dengan kualitas hidup lansia di

Kel.Sepanjang Jaya Rawa Lumbu RT05/RW08 Bekasi 2019


5

D. Manfaat penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Manfaat bagi STIKes Medistra Indonesia

Sebagai bahan masukan ilmiah dan teoritis, sehingga memacu institusi

pendidikan khususnya profesi keperawatan untuk menerapkan manajemen

non farmakologi.

b. Manfaat bagi peneliti selanjutnya

Peneliti ini dapat menjadi sarana bagi penulis untuk menerapkan ilmu

pengetahuan yang telah diperoleh dan sebagai data penelitian selanjutnya.

c. Manfaat bagi tempat peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada bidang

pelayanan kesehatan sebagai salah satu upaya untuk mengembangkan

program kerja dalam rangka kegiatan interaksi sosial lansia sebagai upaya

untuk meningkatkan kualitas hidup.

d. Bagi lansia

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan informasi kepada

responden agar selalu berinteraksi sosial sehingga akan membuat nya

merasa bermanfaat dan kualitas hidupnya pun akan meningkat.

2. Manfaat praktis

Sebagai bahan acuan bagi praktisi di Kel.Sepanjang Jaya Rawa Lumbu

RT05/RW08 Bekasi untuk dijadikan salah satu intervensi terapi

nonfarmakologi dan dapat dijadikan sebagai Standar Operasional Prosedur

(SOP) untuk meningkatkan kualitas hidup lansia.


6

E. Keaslian Penelitian

Tabel 1.1 Keaslian Penelitian

No Nama Judul Tahun Hasil


Penelitian
1. Nuraini, Farida Halis Hubungan 2018 Ada hubungan antara interaksi
Dyah Kusuma, interaksi sosial sosial dengan kesepian pada
Wahidyanti Rahayu H. dengan lansia.
kesepian pada
lansia di
kelurahan
tlogomas kota
malang
2 Luh Putu Wiwin Peran interaksi 2016 Ada hubungan nya peran
Fitriyadewi dan Luh sosial terhadap interaksi sosial terhadap
Made Karisma kepuasan kepuasan hidup lansia
Sukmayanti Suarya hidup lanjut
usia
3 Suci Tuty Putri, Lisna Kualitas hidup 2018 Ada perbedaan yang bermakna
Anisa Fitriana, Ayu lansia yang antara tempat tinggal dengan
Ningrum, Afianti tinggal kualitas hidup lansia
Sulastri bersama
keluarga dan
panti
BAB 11

TINJAUAN PUSTAKA

A. Lansia

1. Pengertian lansia

Lansia adalah individu yang berusia diatas 60 tahun, pada umumnya

memiliki tanda-tanda terjadinya penurunan fungsi-fungsi biologis,

psikologis,sosial, dan ekonomi. Lansia bukan suatu penyakit, namun merupakan

tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan

kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan menurut

pudjiastuti (2003). Lansia menurut Hawari (2001), adalah keadaan yang ditandai

oleh kegagalan seseorang untuk mempertahankan keseimbangan terhadap

kondisi stres fisiologi, kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya

kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan secara individu. (Muhith

dan Siyoto, 2016).

Lansia atau menua adalah suatu keadaan yang terjadi didalam kehidupan

manusia. Menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari

suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan. Menjadi tua

merupakan proses alamiah, yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap

kehidupannya, yaitu anak, dewasa, dan tua. Tiga tahap ini berbeda baik secara

biologis, maupun psikologis. Memasuki usia tua berarti mengalami kemunduran,

misalnya kemunduran fisik, yang ditandai dengan kulit yang mengendur, rambut

memutih, gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas, penglihatan semakin

7
8

memburuk, gerakan lambat, dan figur tubuh yang tidak proporsional.

(Nasrullah,2016).

2. Batasan-batasan lanjut usia

Menurut WHO, lanjut usia meliputi:

a. Usia pertengahan (middle age), adalah kelompok usia (45 - 59 tahun)

b. Lanjut usia (eldery) antara (60 - 74 tahun)

c. Lanjut usia (old) antara (75 dan 90 tahun)

d. Usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun.

Periodesasi biologis perkembangan manusia dibagi menjadi berikut:

a. Usia 0 - 1 tahun (masa bayi)

b. Usia 1 - 6 tahun (masa prasekolah)

c. Usia 6 - 10 tahun (masa sekolah)

d. Usia 10 - 20 tahun (masa pubertas)

e. Usia 40 - 65 tahun (masa setengah umur, prasenium)

f. Usia 65 tahun keatas (masa lanjut usia, senium).

(Prof DR.Ny. Sumiati Ahmad Mohammad (alm), Guru Besar FK UGM )

Lanjut usia merupakan kelanjutan usia dewasa. Kedewasaan dapat dibagi

menjadi empat bagian, yaitu :

a. Fase iuventus, antara usia 25 - 40 tahun

b. Fase verilitas, antara usia 40 - 50 tahun

c. Fase praesenium, antara usia 55 - 56 tahun

d. Fase senium, antara usia 65 tahun hingga tutup usia.

Menurut Dra. Ny. Jos Masdani (psikolog dari Universitas Indonesia),


9

Lanjut usia dikelompokka sebagai berikut:

a. Usia dewasa muda (Eldery Adulthood) (usia 18/20 – 15 tahun )

b. Usia dewasa penuh (Middle years) atau maturitas (usia 25 – 60/65 tahun)

c. Lanjut usia (Geriatric age) ( usia lebih dari 65 / 70 tahun), terbagi:

d. Usia 70 – 75 tahun (young old)

e. Usia 75 – 80 tahun (old)

f. Usia lebih dari 80 tahun (very old).

Menurut Prof. DR. Koesoemanto Setyonegoro, SpKJ,

Tahapan masa dewasa adalah sebagai berikut:

a. Usia 18 – 25 tahun (masa dewasa muda)

b. Usia 25 – 40 tahun (masa dewasa awal)

c. Usia 40 – 65 tahun (masa dewasa tengah)

d. Usia 65 – 75 tahun (masa dewasa lanjut)

e. Usia > 75 tahun (masa dewasa sangat lanjut).

Menurut Bee (1996),

Perbedaan lanjut usia terbagi dalam dua tahap, yakni :

a. Early old age (usia 60 – 70 tahun)

b. Advanced old age (usia 70 tahun keatas).

Menurut Hurlock (1979),


10

Ada empat tahap lanjut usia, yakni:

a. Young old age (usia 60 – 69 tahun)

b. Middle age old (usia 70 -79 tahun)

c. Old-old (usia 80 – 89 tahun)

d. Very old-old (usia 90 tahun keatas).

Menurut Burnside (1979)

3. Teori - Teori Proses Menua

Berikut ini akan dikemukkakan bermacam-macam teori proses menua

menurut (Nasrullah,2016) diantaranya :

a. Teori Biologi

1) Teori Genetik Clock

Teori ini menyatakan bahwa proses menua terjadi akibat adanya

program genetik di dalam nuklei. Jam ini berputar dalam jangka waktu

tertentu dan jika jam ini sudah habis putarannya maka akan

menyebabkan berhentinya proses miosis. Hal ini ditunjukan oleh hasil

penelitian, dari teori itu ditunjukkan dengan adanya teori membelah sel

dalam kultur dengan umur spesies mutasi somatic (teori

errorcatastrophe). Hal penting lainya yang perlu diperhatikan dalam

menganalisis faktor penyebab terjadinya proses penua adalah faktor

lingkungan yang menyebabkan terjadinya mutasi somatik. Radiasi dan

zat kimia dapat memperpendek umur menurut teori ini mutasi progesif

pada DNA sel somatik akan menyebabkan terjadinya penurunan sel

fungsional tersebut.
11

2) Teori Error

Menurut teori ini proses menua diakibatkan oleh penumpukan

berbagai macam kesalahan sepanjang kehidupan manusia akibat

kesalahn tersebut akan mengakibatkan kerusakan metabolisme yang

dapat mengakibatkan kerusakan sel dan fungsi sel secara perlahan.

3) Teori autoimun

Proses menua dapat terjadi akibat perubahan protein pasca translasi

yang dapat mengakibatkan kurangnya kemampuan sistem imun tubuh

mengenai diri sendiri (self recognition). Jika mutasi somatic dapat

menyebabkan terjadinya kelainan pada permukaan sel maka hal ini akan

mengakibatkan menganggap sel mengalami perubahan tersebut sebagian

sel asing dan menghancurkannya. Hal ini dibuktikan dengan makin

bertambahnya prevalensi antibody pada lanjut usia. Dalam hal ini sistem

imun tubuh sendiri daya bertahannya mengalami penurunan proses

penua, daya serangnya terhadap antigen menjadi menurun, sehingga sel-

sel patologis meningkat sesuai dengan meningkatnya umur.

4) Teori Free Radikal

Penuaan dapat terjadi akibat interaksi dari komponen radikal bebas

dalam tubuh manusia. Radikal bebas dapat berupa : Suproksida (02),

radikal hidroksil, dan H2 O2. Radikal bebas sangat merusak karena

sangat reaktif , sehingga dapat bereaksi dengan DNA, protein dan asam

lemak tak jenuh. Makin tua umur makin banyak terbentuk radikal bebas

sehingga proses perusakan terus terjadi, kerusakan organel sel makin

banyak akhirnya sel mati.


12

5) Teori kolagen

Kelebihan usaha dan stres menyebabkan sel tubuh rusak.

Peningkatan jumlah kolagen dalam jaringan menyebabkan kecepatan

kerusakan jaringan dan melambatnya perbaikan sel jaringan.

b. Teori Psikososial

1) Activity theory

Penuaan mengakibatkan penurunan jumlah kegiatan secara langsung.

2) Continitas theory

Adanya suatu kepribadian berlanjut yang menyebabkan adanya suatu

pola perilaku yang meningkatkan stress.

3) Dissaggement theory

Putusnya hubungan dengan luar seperti dengan masyarakat,

hubungan dengan individu lain.

4) Theory Strafikasi Usia

Karena orang digolongkan dalam usia tua dan mempercepat penuaan.

5) Theory kebutuhan manusia

Orang yang bisa mencapai aktualisasi menurut penelitian 5% dan

tidak semua orang mencapai kebutuhan yang sempurna.

6) Jung Theory

Terdapat tingkatan hidup yang mempunyai tugas dalam

perkembangan kehidupan.

7) Course Of Human Life Theory

Seseorang dalam hubungan dengan lingkungan ada tingkat

maksimum.
13

8) Development Task Theory

Tiap tingkat kehidupan mempunyai tugas perkembangan sesuai

dengan usianya.

c. Teori Sosiologi

Teori sosiologi tentang proses menua yang dianut selama ini antara lain:

1) Teori interaksi sosial

Teori ini menjelaskan mengapa lanjut usia bertindak pada suatu

situasi tertentu, yaitu asas dasar hal-hal yang dihargai masyarakat.

Kemampuan lanjut usia untuk terus menjalin interaksi sosial

merupakan kunci mempertahankan status sosialnya berdasarkan

kemampuannya bersosialisasi. Pokok-pokok sosial exchange theory

antara lain:

a) Masyarakat terdiri atas aktor sosial yang berupaya mencapai

tujuan masing-masing.

b) Dalam upaya tersebut, terjadi interaksi sosial yang memerlukan

biaya dan waktu.

c) Untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai, seorang aktor

mengeluarkan biaya.

2) Teori aktivitas atau kegiatan

a) Ketentuan tentang semakin menurunnya jumlah kegiatan secara

langsung. Teori ini menyatakan bahwa lanjut usia yang sukses

adalah mereka yang aktif dan banyak ikut-ikutan serta dalam

kegiatan sosial.
14

b) Lanjut usia akan merasakan kepuasan bila dapat melakukan

aktivitas dan mempertahankan aktivitas tersebut selama

mungkin.

c) Ukuran optimum (pola hidup) dilanjutkan pada cara hidup lanjut

usia.

d) Mempertahankan hubungan antara sistem sosial dan individu

agar tetap stabil dari usia pertengah sampai lanjut usia.

3) Teori kepribadian berlanjut (continuity theory)

Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lanjut usia.

Teori ini menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada seorang

lanjut usia sangat dipengarui oleh tipe personalitas yang dimilikinya.

Teori ini mengemukakan adanya kesinambungan dalam siklus

kelanjutan usia. Dengan demikian, pengalaman hidup seseorang pada

suatu saat merupakan gambaran kelak pada saat ia menjadi lanjut

usia. Hal ini dapat dilihat dari gaya hidup, perilaku dan harapan

seseorang ternyata tidak berubah, walaupun ia telah lanjut usia.

4) Teori pembebasan / penarikan diri (disengagement Theory)

Teori ini membahas putusnya pergaulan atau hubungan dengan

masyarakat dan kemunduran individu dengan individu lainnya. Teori

ini pertama diajukan oleh Cumming dan Henry (1961). Teori ini

menyatakan bahwa dengan bertambahnya lanjut usia, apalagi tambah

dengan adanya kemiskinan, lanjut usia secara berangsur-angsur

mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya atau menarik diri

dari pergaulan sekitarnya. Keadaan ini mengakibatkan interaksi


15

sosial lanjut usia menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas

sehingga sering lanjut usia mengalami kehilanga ganda (triple loss) :

a) Kehilanga peran (loss of role).

b) Hambatan kontak sosial (restriction of contact and relationship).

c) Berkurangnya komitmen (reduced commitment to social mores

and values).

4. Tipe Lanjut Usia

Banyak ditemukan bermacam-macam tipe Lansia. Beberapa yang menonjol

diantaranya :

a. Tipe arif bijaksana

Lansia ini kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan

perubahan zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati,

sederhana, dermawan, memenuhi undangan dan menjadi panutan.

b. Tipe mandiri

Lansia kini senang mengganti kegiatan yang hilang dengan kegiatan

yang baru, selektif dalam mencari pekerjaan dan teman pergaulan, serta

memenuhi undangan.

c. Tipe tidak puas

Lansia yang selalu mengalami konflik lahir batin, menentang proses

penuaan yang menyebabkan kehilangan kecantikan, kehilangan gaya

tarik jasmani, kehilangan kekuasaan, status, teman yang disayangi,

pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, menuntut, sulit dilayani, dan

pengkritik.
16

d. Tipe pasrah

Lansia yang selalu menerima dan menunggu nasib baik, mempunyai

konsep habis (habis gelap datang terang) mengikuti kegiatan beribadah,

ringan kaki, pekerjaan apa saja dilakukan.

e. Tipe bingung

Lansia yang sering kagetan, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri,

merasa minder, menyesal, pasif, acuh tak acuh.

(Nugroho dalam Dewi, 2015)

5. Perubahan Fisik Dan Fungsi Akibat Proses Menua

Ada perubahan fisik dan fungsi akibat proses menua diantaranya:

a. Sel:

1. Jumlah sel menurun.

2. Ukuran sel lebih besar.

3. Jumlah cairan tubuh dan cairan intraselular berkurang.

4. Proporsi protein diotak, otot, ginjal, darah dan hati menurun.

5. Jumlah sel otak menurun.

6. Mekanisme perbaikan otak terganggu.

7. Otak menjadi atrofi, beratnya berkurang 5 – 10 %.

8. Lekukan otak akan menjadi lebih dangkal dan melebar.

b. Sistem pernafasan:

1. Menurun hubungan persarafan.

2. Berat otak menurun 10 – 20 % (sel saraf otak setiap orang berkurang

setiap harinya).

3. Respon dan waktu untuk bereaksi lambat, khususnya terhadap stress.


17

4. Saraf panca indra mengecil.

5. Penglihatan berkurang, pendengaran menghilang, saraf penciuman dan

perasa mengecil, lebih sensitif terhadap perubahan suhu dan rendahnya

ketahanan terhadap dingin.

6. Kurang sensitif terhadap sentuhan.

7. Defisit memori.

c. Sistem pendengaran:

1. Gangguan pendengaran. Hilangnya daya pendengaran pada telinga

dalam, terutama terhadap bunyi suara atau nada yang tinggi, suara yang

tidak jelas, sulit mengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia diatas 65

tahun.

2. Membran timpani menjadi atrofi menyebabkan otosklerosis.

3. Terjadi pengumpulan serumen, dapat mengeras karena meningkat

keratin.

4. Fungsi pendengaran semakin menurun pada lanjut usia yang mengalami

ketegangan / stress.

5. Tinitus (bising yang bersifat mendengung, bila bernada tinggi atau

rendah, bisa terus-menerus atau intermiten).

6. Vertigo (perasaan tidak stabil yang terasa seperti bergoyang atau

berputar).

d. Sistem penglihatan:

1. Sfingter pupil timbul sklerosis dan respon terhadap sinar menghilang.

2. Kornea lebih berbentuk sferis (bola).


18

3. Lensa lebih suram (kekeruhan pada lensa), menjadi katarak, jelas

menyebabkan gangguan penglihatan.

4. Meningkatnya ambang, pengamatan sinar, daya adaptasi terhadap

kegelapan lebih lambat, susah melihat dalam gelap.

5. Penurunan / hilangnya daya akomodasi, dengan manifestasi presbiopia,

seseorang sulit melihat dekat yang dipengaruhi berkurangnya elastisitas

lensa.

6. Lapang pandang menurun, luas pandang berkurang.

7. Daya membedakan warna menurun, terutama pada warna biru dan hijau

pada skala.

e. Sistem kardiovaskuler

1. Katup jantung menebal dan menjadi kaku.

2. Elastisitas dinding aorta menurun.

3. Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun susudah

berumur 20 tahun. Hal ini menyebabkan kontaksi dan volume menurun

(frekuensi denyut jantung maksimal = 200 – umur).

4. Curah jantung menurun (isi semenit jantung menurun).

5. Kehilangan elastisitas pembuluh darah, efektivitas pembuluh darah

perifer untuk oksigenasi berkurang, perubahan posisi dari tidur keduduk

(duduk keberdiri) bisa menyebabkan tekanan darah menurun menjadi 65

mmhg (mengakibatkan pusing mendadak).

6. Kinerja jantung lebih rentan terhadap kondisi dehidrasi dan perdarahan.

7. Tekanan darah meningkat akibat resisten pembuluh darah perifer

meningkat. Sistole normal 170 mmhg, 95 mmhg.


19

f. Sistem pengaturan suhu tubuh

Pada pengaturan tubuh, hipotalamus dianggap bekerja sebagai suatu

termostat, yaitu menetapkan suatu suhu tertentu. Menunduran terjadi

berbagai faktor yang mempengaruhinya. Yang sering ditemui antara lain:

1. Temperatur tubuh menurun (hipotermia0 secara biologis 35C ini akibat

metabolisme yang menurun.

2. Pada kondisi ini, lanjut usia akan merasa kedinginan dan dapat pula

menggigil, pucat dan gelisah.

3. Keterbatasan reflek menggigil dan tidak dapat memproduksi panas yang

banyak sehingga menjadi penurunan akivitas otot.

g. Sistem pernafasan

1. Otot pernafasan mengalami kelemahan akibat atrofi, kehilangan

kekuatan, dan menjadi kaku.

2. Aktivitas silia menurun.

3. Paru kehilangan elastisitas, kapasitas residu meningkat, menarik nafas

lebih berat, kapasitas pernafasan maksimum menurun dengan kedalaman

bernafas menurun.

4. Ukuran alveoli melebar (membesar secara progesif) dan jumlah

berkurang.

5. Berkurangnya elastisitas bronkus.

6. Oksigen pada arteri menurun menjadi 75mmhg.

7. Karbondiogsida pada arteri tidak berganti. Pertukaran gas terganggu.

8. Sensitivitas terhadap hipoksia dan hiperkarbia menurun.

9. Sering terjadi emfisima senilis.


20

10. Kemampuan pegas dinding dada dan kekuatan otot pernafasan menurun

seiring bertambahnya usia.

h. Sistem pencernaan

1. Kehilangan gigi, penyebab utama periodontal disease yang bisa terjadi

setelah umur 30 tahun. Penyebab ini meliputi kesehatan gigi dan gizi

yang buruk.

2. Indra pengecap menurun, adanya iritasi selaput lendir yang kronis, atrofi

indra pengecap (80%), hilangnya sensitivitas saraf pengecap dilidah

terhadap rasa manis, asin, asam, dan pahit.

3. Esophagus melebar.

4. Rasa lapar menurun (sensitivitas lapar menurun), asam lambung,

motilitas dan waktu pengosongan lambung menurun.

5. Peristaltik lemah dan biasanya timbul konstipasi.

6. Fungsi absorpsi melemah (daya absorbs menurun, terutama karbohidrat).

7. Hati semakin mengecil dan tempat penyimpanan menurun, aliran darah

berkurang.

i. Sistem produksi

Wanita:

1. Vagina mengalami kontraktur dan mengecil.

2. Ovari menciut, uterus mengalami atrofi.

3. Atrofi payudarah.

4. Atrovi vulva.

5. Selaput lendir vagina menurun, permukaan menjadi halus, sekresi

berkurang, sifatnya menjadi alkali dan terjadi perubahan warna.


21

Pria

1. Testis masih dapat berproduksi spermatozoa, meskipun ada penurunan

secara berangsur-angsur.

2. Dorongan seksual menetap sampai usia diatas 70 tahun, asal kondisi

kesehatan baik, yakni:

a) Kehidupan seksual dapat diupayakan sampai masa lanjut usia.

b) Hubungan seksual secara teratur membantu mempertahankan

kemampuan seksual.

c) Tidak perlu cemas karena proses alamiah.

d) Sebanyak 75% pria diatas usia 65 tahun mengalami pembesaran

prostat.

j. Sistem genitourinaria

1. Ginjal

Merupakan alat untuk mengeluarkan sisa metabolisme tubuh, melalui

urine darah yang masuk keginjal, disaring oleh satuan (unit) terkecil dari

ginjal yang disebut nefron (tepatnya di glomerulus). Mengecilnya nefron

akibat atrofi, aliran darah ginjam menurun sampai 50% sehingga fungsi

tubulus berkurang. Akibatnya, kemampuan mengosentral urine menurun,

berat jenis urine menurun, proteinuria (biasanya + 1), BUN (blood urea

nitrogen) meningkatnya sampai 21mg%, nilai ambang ginjal terhadap

glukosa meningkat.

Keseimbangan elektrolit dan asam lebih mudah terganggu bila

dibandingkan dengan usia muda. Renal plasma flow (RPF) dan

GlomerularFiltration (GFR) atau klirens kreatinin menurun secara linier


22

sejak usia 30 tahun (Cox Jr. dkk ,1985). Jumlah darah yang difiltrasi

oleh ginjal berkurang.

2. Vesika urinaria

Otot menjadi lemah, kapasitasnya menurun, sampai 200 ml atau

menyebabkan frekuensi buang air seni meningkat. Pada pria lanjut usia ,

vesika urinaria sulit dikosongkan sehingga mengakibatkan retensi urine

meningkat.

3. Pembesaran prostat

Kurang lebih 75% dialami oleh pria usia diatas 65 tahun.

4. Atrofi vulva

Vagina seseorang yang semakin menua, kebutuhan hubungan seksualnya

masih ada. Tidak ada batasan umur tertentu kapan fungsi seksualnya

seseorang berhenti. Frekuensi hubungan seksual cenderung menurun

secara bertahap setiap tahun, tetapi kapasitas untuk melakukan dan

menikmatinya berjalan terus sampai tua.

k. Sistem endokrin

Kelenjar endokrin adalah kelenjar buntu dalam tubuh manusia yang

memproduksi hormon. Hormon pertumbuhan berperan sangat penting dalam

pertumbuhan, pematangan, pemeliharaan dan metabolisme organ tubuh.

Yang termasuk hormon kelamin adalah:

1. Estrogen,progesteron, testosteron yang memelihara produksi dan gairah

seks. Hormon ini mengalami penurunan.

2. Kelenjar pankreas (yang memproduksi insulin dan sangat penting dalam

pengaturan gula darah).


23

3. Kelenjar adrenal / anak ginjal yang memproduksi adrenalin. Kelenjar

yang berkaitan dengan hormon pria / wanita. Salah satu kelenjar

endokrin dalam tubuh yang mengatur agar arus darah ke organ tertentu

berjalan dengan baik, dengan jalan mengatur vasokontriksi pembuluh

darah. Kegiatan kelenjar anak ginjal ini berkurang pada lanjut usia.

4. Produksi hampir semua hormon menurun.

5. Fungsi paratiroid dan sekresinya tidak berubah.

6. Hipofisis : Pertumbuhan hormon ada, tetapi lebih rendah dan hanya

didalam pembuluh darah : Berkurangnya produksi ACTH, TSH, FSH

dan LH.

7. Aktivitas tiroid, BMR (Basal Metabolic Rate) dan daya pertukaran zat

menurun.

8. Produksi aldosteron menurun.

9. Sekresi hormon kelmin, misalnya : Progesterone, estrogen, dam

testoteron menurun.

l. Sistem integumen

1. Kulit mengerut atau keriput akibat kehilangan jaringan lemak.

2. Permukaan kulit cenderung kusam, kasar, dan bersisik (karena

kehilangan proses keranitasi serta pertumbuhan ukuran dan bentuk sel

epidermis).

3. Timbul bercak pigmentasi akibat proses melanogenesis yang tidak

merata pada permukaan kulit sehingga tampak bintik-bintik atau noda

cokelat.
24

4. Terjadinya perubahan pada sekita mata, tumbuhnya kerut-kerutan halus

diujung mata akibat lapisan kulit menipis.

5. Respon terhadap trauma menurun.

6. Mekanisme proteksi kulit menurun:

a) Produksi serum menurun.

b) Produksi vitamin D menurun.

c) Pigmentasi kulit terganggu.

7. Kulit kepala dan rambut menipis dan berwarna kelabu.

8. Rambut didalam hidung dan telinga menebal.

9. Berkurangnya elastisitas akibat menurunya cairan dan vaskularisasi.

10. Pertumbuhan kuku lebih lambat.

11. Kuku jari menjadi keras dan rapuh.

12. Kuku menjadi pudar, kurang bercahaya.

13. Kuku kaki tumbuh secara berlebihan dan seperti tanduk.

14. Jumlah dan fungsi kelenjar keringat berkeringat.

m. Sistem muskuloskoletal

1. Tulang kehilangan densitas (cairan) dan semakin rapuh.

2. Gangguan tulang, yakni mudah mengalami demineralisasi.

3. Kekuatan dan stabilitas tulang menurun, terutama vertebra, pergelangan

dan paha. Insiden osteoporosis dan fraktur meningkat pada area tulang

tersebut.

4. Kartilago yang meliputi permukaan sendi tulang penyangga rusak dan

aus.

5. Kifosis.
25

6. Gerakan pinggang, lutut dan jari-jari pergelangan terbatas.

7. Gangguan gaya berjalan.

8. Kekakuan jaringan penghubung.

9. Diskus intervertebralis menipis dan menjadi pendek (tingginya

berkurang).

10. Persediaan membesar dan menjadi kaku.

11. Tendon mengerut dan mengalami sklerosis.

12. Atrofi selaput otot, serabut otot mengecil semingga gerakan menjadi

lamban, otot keram, dan menjadi tremor (perubahan pada otot cukup

rumit dan sulit dipahami).

13. Komposisi otot berubah sepanjang waktu (myofibri digantikan oleh

lemak, kolagen dan jaringan parut).

14. Aliran darah keotot berkurang sejalan dengan proses menua.

15. Otot polos tidak begitu berpengaruh.

Menurut Nasrullah,2016

6. Perubahan Mental

Dibidang mental atau psikis pada lanjut usia, perubahan dapat sikap yang

semakin egosentrik, mudah curiga, bertambah pelit atau tamak bila memiliki

sesuatu. Yang perlu dimengerti adalah sikap umum yang ditemukan pada

hampir setiap lanjut usia, yakni keinginan berumur panjang, tenaganya

sedapat mungkin dihemat. Mengharapkan tetap diberi peran dalam

masyarakat. Ingin mempertahankan hak dan hartanya, serta ingin tetap

berwibawa. Jika meninggal pun mereka ingin meninggal secara terhormat dan
26

masuk surga. (Nasrullah,2016). Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan

mental:

a. Perubahan fisik, khususnya organ perasa.

b. Kesehatan umum.

c. Tingkat pendidikan.

d. Keturunan (hereditas)

e. Lingkungan.

Perubahan kepribadian yang drastis, keadaan ini jarang terjadi. Lebih sering

berupa ungkapan yang tulus dari perasaan seseorang, kekakuan mungkin

karena faktor lain, misalnya penyakit.

a. Kenangan (memori)

Kenangan jangka panjang, beberapa jam sampai beberapa hari yang lalu dan

mencakup beberapa perubahan. Kenangan jangka pendek dan seketika (0 –

10 menit), kenangan buruk (bisa kearah demensia).

b. Intelegentia Quotion (IQ)

IQ tidak berubah dengan informasi matematika dan perkataan verbal.

Penampilan, persepsi, dan keterampilan psikomotor berkurang. Terjadi

perubahan pada daya membayangkan karena tekanan faktor waktu.

7. Perubahan Psikososial

Nilai seseorang sering diukur melalui produktivitas dan identitasnya dikaitkan

dengan peranan dalam pekerjaan. Bila mengalami pensiun (purnatugas),

seseorang akan mengalami kehilangan (Nasrullah,2016) antara lain:


27

a. Kehilangan finansial (pendapatan berkurang)

b. Kehilangan status (dulu mempunyai jabatan / posisi yang cukup tinggi,

lengkap dengan semua fasilitas).

c. Kehilangan teman / kenalan atau relasi

d. Kehilangan pekerjaan / kegiatan dan

e. Merasakan atau sadar terhadap kematian, perubahan cara hidup

(memasuki rumah perawatan, bergerak lebih sempit)

f. Kemapuan ekonomi akibat memberhentikan dari jabatan. Biaya hidup

meningkat dan penghasilan yang sulit. Biaya pengobatan bertambah.

g. Adanya penyakit kronis dan ketidakmampuan.

h. Timbul kesepian akibat pengasingan dari lingkungan sosial.

i. Adanya gangguam saraf panca indra, timbul kebutaan dan ketulian.

j. Gangguan gizi akibat kehilangan jabatan.

k. Rangkaian kehilangan, yaitu kehilangan hubungan dengan teman dan

family.

l. Hilangnya kekuatan dan ketegangan fisik (perubahan terhadap gambaran

diri, perubahan konsep diri).

8. Perubahan Spiritual

a. Agama / kepercayaan semakin terintegrasi dalam kehidupan (Maslow,

1970)

b. Lanjut usia semakin matur dalam kehidupan keagamaannya. Hal ini dilihat

dalam berfikir dan bertindak sehari-hari (Murray dan Zentner, 1970)

c. Perkembangan spritual pada usia 70 tahun menurut (folwer, 1978),

universalizing, perkembangan yang dicapai pada tingkat ini adalah berfikir


28

dan bertindak dengan cara memberi contoh cara mencintai dan keadilan

(Wahyudi Nugroho dalam Nasrullah, 2016).

B. Kualitas Hidup

1. Pengertian Kualitas Hidup

Definisi kualitas hidup sebagai persepsi individu terhadap kehidupannya

dimasyarakat dalam konteks budaya dan sistem nilai yang ada yang terkait

dengan tujuan, harapan, standar, dan juga perhatian. Kualitas hidup dalam hal ini

merupakan suatu konsep yang sangat luas yang dipengaruhi kondisi fisik

individu, psikologis, tingkat kemandirian, serta hubungan individu dengan

lingkungan. Menurut The World Health Organization Quality of Life atau

WHOQOL Group (1997, dalam Netuveli dan Blane,2008)

Kualitas hidup adalah tingkat kepuasan atau ketidakpuasan yang

dirasakan seseorang tentang berbagai aspek dalam kehidupannya. Kualitas hidup

termasuk kemandirian, privacy, pilihan, penghargaan dan kebebasan bertindak.

Kualitas hidup pada lansia dikategorikan menjadi tiga bagian yaitu kesejahteraan

fisik, kesejahteraan psikologis dan kesejahteraan interpersonal. Kualitas hidup

adalah tingkatan yang menggambarkan keunggulan seorang individu yang dapat

dinilai dari kehidupan mereka. Keunggulan individu tersebut biasanya dilihat

dari tujuan hidupnya, kontrol pribadinya, hubungan interpersonal,

perkembangan pribadi, intelektual dan kondisi materi (Coben & Lazarus dalam

Larasati, 2011).
29

Berdasarkan beberapa definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa,

kualitas hidup adalah persepsi individu terhadap kesehatan fisik, sosial dan

emosi yang dimilikinya. Hal tersebut berkaitan dengan keadaan fisik dan emosi

individu tersebut dalam kemampuannya melaksanakan aktivitas sehari-hari yang

ditunjang dengan sarana dan prasarana yang ada dilingkungan sekitar.

Kesejahteraan merupakan konsep multidimensi yang berhubungan dengan

sejumlah domain kesehatan mencakup komponen fisik, psikologis, emosional

dan sosial. Persepsi individu terhadap kesejahteraan berhubungan dengan

kesehatan yang berkaitan dengan kualitas hidup. Peningkatan kualitas hidup

lansia dilakukan melalui pemberdaan potensi lansia dalam melakukan aktivitas

kehidupan sehari-hari disamping dukungan dari berbagai pihak dalam

memberikan pelayanan kesehatan secara komprehensif dan holistik sehingga

dapat dikembangkan berbagai kegiatan yang mendukung kemandirian lansia

dalam melakukan aktivitas. Kehangatan dan keterbukaan dalam keluarga dapat

memberikan perasan aman, diterima dan dicintai serta memberikan kebahagian

dalam kehidupannya sehingga meningkatkan kualitas hidupnya.

(Ekasari,Riasmini,Hartini, 2018)

2. Dimensi Kualitas Hidup

Netuveli dan Blane (2008) menjelaskan ada 2 dimensi kualitas hidup

yaitu objektif dan subjektif. Kualitas hidup digambarkan dalam rentang dari

unidimensi yang merupakan domain utama yaitu kesehatan atau kebahagiaan

sampai ada multidimensi dimana kualitas hidup didasarkan pada sejumlah

domain yang berbeda yaitu domain objektif (pendapatan, kesehatan, lingkungan)

dan subjektif (kepuasan hidup kesejahteraan psikologis). Kualitas hidup objektif


30

yaitu berdasarkan pada pengamatan eksternal individu seperti standar hidup,

pendapatan, pendidikan, status kesehatan, umur panjang dan yang terpenting

adalah bagaimana individu dapat mengontrol dan sadar mengarahkan hidupnya.

Kualitas hidup dari dimensi subjektif didasarkan pada respon psikologis individu

terhadap kepuasan dan kebahagian hidup. Jadi kualitas hidup subjektif adalah

sebagai persepsi individu tentang bagaimana suatu hidup yang baik dirasakan

oleh masing-masing individu yang memilikinya.

Domain objektif diukur dengan indikator sosial yang menggambarkan

standar kehidupan dalam hubungan dengan norma budaya. Sedangkan domain

subjektif diukur berdasarkan bagaimana individu menerima kehidupan yang

disesuaikan dengan standar internal. Kualitas hidup merupakan persepsi

subjektif dan evaluasi dari kondisi kehidupan individu yang didasarkan pada

standar internal (nilai, harapan, aspirasi,dll). Pada lansia aspek signifikan dari

penilaian kualitas hidup adalah otonomi, kecukupan diri, pengambilan

keputusan, adanya nyeri dan penderitaan, kemampuan sensori, mempertahankan

sistem dukungan sosial, tingkat finansial tertentu, perasaan berguna bagi orang

lain dan tingkat kebahagian (Gurkova, 2011 dalam Soosova, 2016).

3. Komponen Kualitas Hidup

The World Health Organization (WHO) mendefinisikan kualitas hidup

sebagai persepsi individu terhadap posisinya dalam kehidupan dalam konteks

budaya dan sistem nilai dimana mereka tinggal dan dalam hubungannya dengan

tujuan, harapan, standar dan perhatian. Definisi WHO difokuskan pada

perspektif klien dalam kualitas hidup dan asumsi pada evaluasi dari beberapa

domain kehidupan oleh klien. Secara garis besar komponen kualitas hidup
31

dibagi dalam fungsi fisik, psikologis dan sosial. Beberapa studi menambahkan

domain yang lain seperti sensasi somatik, fungsi okupasi, status ekonomi, fungsi

kognitif, produktifitas personal dan intimacy.

Komponen kualitas menurut WHO (1996) yang disebut WHOQOL-

BREF sebagai berikut:

a. Kesehatan fisik mencakup : aktivitas kehidupan sehari-hari, ketergantungan

terhadap obat-obatan dan bantuan medis, energi dan kelelahan, mobilitas,

nyeri dan tidak nyaman, tidur dan istirahat serta kapasitas kerja.

b. Kesehatan psikologis mencakup : citra tubuh dan penampilan, perasaan

negatif , perasaan positif, harga diri, spirirtual/agama/keyakinan personal,

berfikir, belajar, memori dan konsentrasi.

c. Hubungan sosial mencakup : hubungan personal, dukungan sosial dan

aktivitas seksual.

d. Lingkungan mencakup : sumber finansial, kebebasan, keamanan fisik,

pelayanan kesehatan dan sosial, keterjangkauan dan kualitas, lingkungan

rumah, kesempatan untuk memperoleh informasi dan keterampilan baru,

partisipasi dan rekreasi/aktivitas waktu luang, lingkungan fisik

(polusi/kebisingan/lalu lintas/iklim) dan transportasi.

4. Proses Menua Dampak Terhadap Kualitas Hidup Lansia

Proses menua (aging) merupakan suatu perubahan progesif pada

organisme yang telah mencapai kematangan intrinsik dan bersifat irrenversibel

serta menunjukan adanya kemunduran sejalan dengan waktu. Proses alami yang

ditandai dengan penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial akan saling

berinteraksi satu sama lain. Proses menua yang terjadi pada lansia dapat berupa
32

kelemahan (impairment) akibat penurunan berbagai fungsi organ tubuh,

keterbatasan fungsional (functional limitations) berkaitan dengan aktivitas

kehidupan sehari-hari, ketidakmampuan (distability) dalam melakukan berbagai

fungsi kehidupan dan keterhambatan (handicap) akibat penyakit kronik yang

dialami bersamaan dengan proses kemunduran. Perubahan fisik yang dialami

oleh lansia dapat menurunkan kemampuan berfungsi sehingga berdampak

terhadap mental dimana lansia merasa nilai diri dan kompetensinya menurun,

depresi dan takut ditinggalkan keluarganya (Laubunjong dalam Ekasari,

Riasmini, Hartini, 2018).

C. Interaksi Sosial

1. Pengertian Interaksi Sosial

Interaksi sosial sebenarnya terdapat didalam adanya hubungan individu

satu dengan individu lainnya yang mampu membaur dalam kehidupan

masyarakat, sehingga terwujudlah interaksi sosial. Kalau begitu interaksi sosial

adalah hubungan-hubungan sosial yang dinamis, baik antar individu satu

maupun individu lainnya dan atau individu dengan kelompok masyarakat yang

mampu diwujudkan dalam bentuk kerja sama serta persaingan dan pertikaian

yang sulit dihindari terjadinya pada tempat dan waktu tertentu. (Mapata, 2017)

Ada beberapa pengertian interaksi sosial yang ada dilingkungan

masyarakat, diantaranya yaitu: (1). Menurut H.Booner dalam bukunya Social

Psychology memberikan rumusan interaksi sosial, bahwa: “interaksi sosial

adalah hubungan antar dua individu atau lebih, dimana kelakuan individu yang

satu memengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu yang lain


33

atau sebaliknya”. (2). Menurut Gillin (1954) yang menyatakan bahwa interaksi

sosial adalah hubungan-hubungan antara orang-orang secara individual, antar

kelompok orang, dan orang perorangan dengan kelompok. (3). Interaksi sosial

merupakan hubungan timbal balik antara individu dengan individu, antara

kelompok dengan kelompok, antar individu dengan kelompok (Armen,2019).

Ciri – ciri interaksi sosial menurut Charles P. Loomis (ahli sosisologi

dari Amerikas Serikat) sebagai berikut:

a. Jumlah pelakunya dua orang atau lebih.

b. Terdapat komunikasi dengan menggunakan simbol-simbol atau lambang.

c. Terdapat tujuan yang akan dicapai.

d. Terdapat dimensi waktu, meliputi masa lalu, masa kini, dan masa

mendatang.

2. Syarat Interaksi Sosial

Ada beberapa syarat terjadinya Interaksi sosial pada kehidupan

masyarakat Indonesia yang memiliki karakteristik kepribadian yang sangat

menonjol, sehingga diperlukan saling kepribadian individu satu dengan individu

lainnya. Karena itu untuk mewujudkan interaksi sosial , sangat diperlukan syarat

terjadinya suatu interaksi sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang

dapat dikemukakan menurut Mapata,2017 sebagai berikut:

a. Kontak sosial

Dalam kehidupan masyarakat yang menunjukkan terjadinya hubungan

antara individu satu dengan individu lainnya, maka dapat terjadi suatu

hubungan sosial yang saling menguntungkan dan tidak saling merugikan

pada masyarakat tertentu. Kalau tidak ada kontak sosial dalam kehidupan
34

masyarakat, maka kebutuhan manusia, jelas tidak dapat terpenuhi dalam

waktu singkat, baik kebutuhan jasmani maupun rohani. Hubungan manusia

satu dengan manusia lainnya didalam memenuhi kebutuhan sangat

diharapkan akan terjadinya interaksi sosial. Karena sangat mustahil

terjadinya interaksi sosial tanpa ada manusia sekitarnya yang dapat

dilibatkan pada waktu tertentu.

Kontak sosial sangat mendukung terjadinya interaksi sosial dengan

saling memahami asal usul terutama suku bangsa, agama, budaya, bahasa,

dan istiadat dan keragaman sosial budaya lainnya, yang merupakan kekayaan

masyarakat Indonesia, sehingga sampai sekarang mampu diwujudkan

didalam suatu keutuhan bangsa dan atau intergrasi bangsa dalam kerangka

Negara Republik Indonesia.

b. Komunikasi sosial

Untuk meningkatkan hubungan sosial yang semakin harmonis dalam

suasana asimilasi dan asosiatif, yang sangat membutuhkan perlu adanya

komunikasi sosial pada kehidupan masyarakat kapan dan dimana saja,

komunikasi sosial sangat diperlukan didalam membangun keberagaman dan

kebersamaan dengan semangat kekeluargaan serta gotong-royong.

Komunikasi sosial merupakan hubungan yang terjadi antarindividu satu

dengan individu lainnya yang dapat dilakukan melalui komunikasi baik

langsung maupun tidak langsung untuk menyampaikan pesan singkat kepada

komunikator guna terwujudnya harmonisasi kehidupan masyarakat

Indonesia.
35

Kalau dalam kehidupan masyarakat tidak terjadi komunikasi pada waktu

tertentu kapan dan dimana saja, maka kehidupan setiap individu akan merasa

dikucilkan dalam kehidupan masyarakat. Karena itu, setiap individu

berusaha menjalin komunikasi, yang langsung dengan tatap muka pada

tempat tertentu, dan dapat dilakukan komunikasi secara tidak langsung

melalui alat komunikasi modern yang semakin canggih. Salah satu tujuan

komunikasi dapat dilakukan dalam kehidupan masyarakat, yakni untuk

menyampaikan pesan yang sangat penting dibutuhkan setiap individu untuk

dapat memenuhi kebutuhan jasmani maupun rohani sebagai salah satu

bagian integral dari komponen masyarakat, yang tak terpisahkan antar

individu satu dengan individu lainnya.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa syarat interaksi sosial

masyarakat Indonesia yang meliputi kontak sosial dan komunikasi sosial.

Hal itu merupakan perekat keutuhan masyarakat Indonesia dari berbagai

suku bangsa, budaya, agama, bahasa, adat istiadat dan sebagainya. Apabila

terjadi suatu kontak sosial dan komunikasi sosial yang semakin baik

dikembangkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia, maka sangat

mustahil akan terjadi suatu konflik sosial pada waktu tertentu.

c. Hubungan sosial

Dalam kehidupan masyarakat Indonesia sesungguhnya individu satu

dengan individu lainnya pada dasarnya tidak dapat dipisahkannya. Hubungan

sosial adalah hubungan individu satu dengan individu lainnya dalam

kehidupan masyarakat akan dapat berjalan dengan lancar manakala ada

sebagian masyarakat dilibatkan didalamnya tanpa memandang adanya


36

persamaan persepsi (asosiatif) dan perbedaan persepsi (disosiatif) guna

terwujudnya tujuan dalam hidup kemasyarakatan.

Salah satu yang diambil sebagai contoh konkret dalam kehidupan

masyarakat Indonesia yang mempu menunjukkan kebudayaan gotong-

royong dengan semangat kekeluargaan tanpa memandang latar belakang

ekonomi, sosial budaya pada kehidupan masyarakat setempat. Pada dasarnya

perbedaan suku dalam hubungan sosial masyarakat, merupakan suatu hal

yang wajar dan mutlak adanya dimasyarakat.

3. Bentuk-bentuk Interaksi Sosial

Dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang mampu menunjukkan kerja sama,

dan kadang sebaliknya terjadi konflik sosial budaya yang sulit dihindarinya pada

suatu waktu, yang dapat diuraikan menurut Mapata,2017 sebagai berikut :

a. Akomodasi

Akomodasi adalah proses dan cara yang dilakukan setiap individu dalam

menyesuaikan dipertentangkan tanpa dengan maksud dapat

menghancurkannya pihak lawan, sehingga tidak merasa kehilangan

kepribadiannya dalam kehidupan masyarakat setempat. Pada prinsipnya

proses terjadinya akomodasi dalam kehidupan masyarakat Indonesia, dengan

tujuan yang diharapkan sebagai berikut:

1) Mengurangi pertentangan.

2) Mencegah pertentangan untuk sementara.

3) Memungkinkan terjadinya suatu kerja sama.

4) Mengusahakan peleburan dalam kelompok tertentu.


37

Dengan demikian, maka dapat disimpulkan akomodasi pada dasarnya dapat

mencegah terjadinya suatu pertentangan baik individu maupun kelompok

untuk sementara waktu dan berusaha dapat menjalin kerja sama pada salah

satu kelompok yang dikehendaki oleh setiap individu yang sedang bertikai,

dan akhirnya dengan perdamaian pada kehidupan masyarakat tertentu.

b. Kerja sama

Kerja sama (Cooperatif) merupakan salah satu bentuk interaksi sosial dalam

mewujudkan usaha bersama antarindividu dengan kelompok dan atau

kelompok dengan kelompok guna terwujudnya tujuan hidup bersama. Untuk

mewujudkan kehidupan dengan kerja sama yang semakin kuat dalam

masyarakat Indonesia, maka perlu diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut:

1) Setiap individu sebaikanya menyadari dan memikirkan adanya

kepentingan yang sama.

2) Manusia satu dengan manusia lainnya masing-masing memiliki

kontribusi besar dalam memenuhi kepentingan melalui kegiatan kerja

sama pada kehidupan masyarakat.

Pada prinsipnya, kerja sama dalam kehidupan masyarakat Indonesia sangat

diperlukan karena terdiri atas keragaman sosial budaya yang mudah

menimbulkan konflik sosial, sehingga diperlukan kerja sama yang kokoh,

demi intergrasi bangsa Indonesia menghadapi tantangan dunia globalisasi

dengan mengedepankan materi dari pada berfikir secara spiritual pada

kehidupan masyarakat Indonesia, sehingga individu merasa rugi manakala

tidak mendapatkan uang dari setiap jerih payah yang selesai dikerjakannya

melalui kerja sama pada kehidupan masyarakat Indonesia.


38

c. Asimilasi

Asimilasi merupakan upaya penyesuaian sifat-sifat asli yang dimiliki dengan

sifat-sifat sekitarnya. Artinya, setiap individu manusia memiliki sifat-sifat

khas yang merupakan salah satu bagian karakter yang dimilikinya, sehingga

diharapkan dalam menghadapi yang berbeda mampu menyesuaikannya demi

terwujudnya interaksi sosial pada masyarakat tertentu. Oleh karena itu, maka

tentu saja diperlukan suatu proses terjadinya asimilasi pada kehidupan

masyarakat yang dapat dikemukkan oleh beberapa faktor yang dapat

mempengaruhi akan terjadinya interaksi sosial sebagai berikut :

1) Adanya perbedaan budaya dan kelompok-kelompok tertentu.

2) Terjadinya pergaulan secara langsung yang semakin intensif.

3) Terjadinya perubahan budaya dari kelompok masyarakat menusia yang

saling menyesuaikan.

Dengan demikian, maka terjadinya simulasi yang sangat diperlukan dalam

kehidupan individu masyarakat, kesungguhannya diperlukannya saling

memahami perbedaan dengan sifat-sifat dan kepribadian yang merupakan

ciri khas bagi setiap individu pada kehidupan masyarakat kapan dan dimana

saja dapat menyesuaikannya, sehingga tidak akan terjadi kejolak sosial

masyarakat Indonesia.

d. Kontravensi

Kontravensi adalah bentuk proses sosial yang berada antara persaingan dan

pertentangan atau pertikaian (Muhith dan Sandu siyoto,2018). Bentuk

kontravensi sebagai berikut:


39

1) Penolakan, keengganan, perlawanan, menghalang-halangi, protes,

perbuatan kekerasan dan mengacaukan rencana pihak lain

2) Menyangkal pernyataan orang lain

3) Penghasutan, penyebar desas desus, dan mengecewakan orang lain

4) Berkhianat dan membuka rahasia pihak lain

5) Mengejutkan lawan dan membingungkan pihak lain

4. Tahap Interaksi Sosial

Ada beberapa tahapan interaksi sosial menurut wahyu, 2018 diantaranya:

a. Tahap pendekatan, yaitu tahap memulai (initiating) dan menjajaki

(experimenting). Seorang mulai membuka pembicaraan dengan orang lain,

dilanjutkan penyatupaduan (integrating) dan tahap pertalian (bonding).

b. Tahap peregangan, dimulai dari tahap membeda-bedakan (differentiating)

dimana toleransi terhadap perilaku orang lain mulai menurun. Kemudian

tahap membatasi (circumscribing),yaitu salah satu pihak membahas

hubungan, tetapi pihak membahas hubungan, tetapi pihak lain berusaha

menghindar.

c. Dan tahap terakhir adalah memutuskan hubungan (terminating), yaitu tahap

dimana memutuskan hubungan dilakukan melalui pernyataan mengenai jarak

dan pemisahan diri, komunikasi semakin terhalang.

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Interaksi Sosial

Interaksi sosial disebabkan oleh beberapa faktor menurut Surahman dan

Ariwibowo,2018 diantaranya:
40

a. Imitasi

Yaitu kecenderungan meniru sikap, tindakan, tingkah laku, atau penampilan

fisik seseorang secara berlebihan.

b. Sugesti

Yaitu sikap, pandangan, dan pendapat orang lain yang diterima tanpa dipikir

ulang.

c. Simpati

Yaitu suatu proses ketika seseorang merasa tertarik kepada pihak lain berkaitan

dengan perilaku atau penampilannya.

d. Identifikasi

Yaitu kecenderungan atau keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi sama

persis (identik) dengan pihak lain.

e. Empati

Yaitu kemampuan untuk merasakan keadaan orang lain dan ikut merasakan

situasi yang dialami atau dirasakan orang lain.

f. Motivasi

Yaitu dorongan dalam diri seseorang untuk melakukan tindakan.

6. Sifat Interaksi Sosial

Berikut ini adalah beberapa sifat interaksi sosial menurut Surahman dan

Ariwibowo,2018 diantaranya:

a. Aksidental dan tidak direncanakan, yaitu interaksi sosial yang terjadi secara

spontan, misalnya menyapa kawan ketika bertemu dijalan.


41

b. Berulang, yaitu interaksi sosial yang terjadi secara berulang-ulang, misalnya

setiap pagi andi berpamitan kepada ayah dan ibunya setiap berangkat

kesekolah.

c. Teratur, yaitu interaksi sosial yang terjadi dengan pola yang sama dan

konsisten, misalnya setiap hari makan malam bersama keluarga.

d. Disengaja, yaitu interaksi sosial yang terjadi karena sengaja/direncanakan,

misalnya rapat warga kampung yang dilakukan setiap sebulan sekali.

e. Resiprokal, yaitu interaksi sosial yang mengandung makna timbal balik.

Dalam interaksi dibutuhkan respon dari lawan bicara/pihak lain.

f. Pelakunya dua orang atau lebih, berarti interaksi sosial harus dilakukan oleh

dua orang atau lebih, interaksi tidak dapat terjadi pada satu orang saja.
42

D. Kerangka Teori
Skema 2.1 Kerangka Teori

Ciri-ciri adanya interaksi sosial


1. Imitasi a. Jumlah pelakunya dua orang atau
2. Sugesti lebih.
3. Simpati b. Terdapat komunikasi dengan
4. Identifikasi menggunakan simbol-simbol atau
5. Empati lambang.
6. Motivasi c. Terdapat tujuan yang akan dicapai.
d. Terdapat dimensi waktu, meliputi
Faktor-faktor yang masa lalu, masa kini, dan masa
Kualitas Hidup Lansia
mendatang.
Mempengaruhi Interaksi Sosial

Pengaruh Interaksi
Bentuk-bentuk Interaksi terhadap kualitas
Sosial Komponen Kualitas Hidup
hidup
1. Akomodasi
2. Kerja sama 1. Kesehatan fisik
3. Asimilasi
2. Kesehatan psikologis
1. Kontak social Dalam
3. Hubungan social
kehidupan masyarakat
menunjukkan terjadinya
4. Ligkungan
hubungan antara individu
Tahapan-Tahapan Interaksi satu dengan individu
Sosial lainnya
1. Tahap pendekatan
2. Komunikasi social
2. Tahap peregangan
3. Tahap terakhir Untuk meningkatkan
Meningkatkan Kualitas hubungan sosial yang
hidup lansia semakin harmonis dalam
suasana asimilasi dan
asosiatif
Sumber : 1. Mapata,2017 3. Hubungan social
2. Ekasari, Riasmini, Hartini 2018
3. Armen, 2015 Dalam kehidupan
masyarakat Indonesia
sesungguhnya individu
satu dengan individu
lainnya pada dasarnya
tidak dapat dipisahkannya.
BAB 111

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

A. Kerangka konsep

Kerangka konsep adalah penjelasan tentang konsep-konsep yang

terkandung didalam asumsi teoritis yang digunakan untuk mengabstrasikan unsur-

unsur yang terkandung dalam fenomena yang akan diteliti dan menggambarkan

bagaimana hubungan diantara konsep-konsep tersebut. Secara operasional

kerangka konsep dalam penelitian didefinisikan sebagai penjelasan tentang

variabel-variabel apa saja yang akan diteliti yang diturunkan dari konsep-konsep

terpilih, bagaimana hubungan antara variabel-variabel tersebut dan hal-hal yang

merupakan indikator untuk mengukur varibel-variabel tersebut. (Dharma,2015).

Kerangka konsep dalam skripsi penelitian ini menggambarkan hubungan

interaksi sosial dengan kualitas hidup lansia di Kel.Sepanjang Jaya Rawa Lumbu

RT/05 RW/08 Kota Bekasi yang digambarkan sebagai berikut:

Skema 3.1 Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Interaksi sosial lansia Kualitas hidup lansia

Keterangan Gambar :

= Variabel Independen

= Variabel Dependen

= Penghubung

43
44

B. Hipotesis

Hipotesis adalah kesimpulan teoritis yang harus dibuktikan kebenarannya

melalui analisis terhadap bukti-bukti empiris. (Setiadi, 2015). Hipotesis dalam

skripsi penelitian ini adalah:

Ho : Tidak ada hubungan interaksi sosial dengan kualitas hidup lansia di

Kel.Sepanjang Jaya Rawa Lumbu RT/05 RW/08 Kota Bekasi.

Ha : Ada hubungan interaksi sosial dengan kualitas hidup lansia di

Kel.Sepanjang Jaya Rawa Lumbu RT/05 RW/08 Kota Bekasi.


BAB IV

METODELOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan pada penelitian adalah cross sectional

yang merupakan rancangan penelitian dengan melakukan pengukuran atau

pengamatan pada saat bersamaan (sekali waktu). Pengukuran cross sectional

telah dilakukan untuk melihat hubungan interaksi sosial dengan kualitas hidup

lansia di Kel.Sepanjang Jaya Rawa Lumbu RT/05 RW/08 Kota Bekasi. Variabel

penelitian terdiri dari variabel independen dan variabel dependen. Variabel

independen dalam penelitian ini adalah interaksi sosial dan variabel dependen

dari penelitian ini adalah kualitas hidup(Dharma,2015). Adapun skema design

sebagai berikut:

Lansia

Interaksi sosial

Hasil pengukuran:
Melakukan pengukuran interaksi Ada atau tidak
sosial dengan kualitas hidup lansia hubungan interaksi
sosial dengan
Kualitas hidup
kualitas hidup lansia

Skema 4.1 Desain penelitian

45
46

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah unit dimana suatu hasil penelitian akan diterapkan

(digeneralisir). Idealnya penelitian dilakukan pada populasi, karena dapat

melihat gambaran seluruh populasi sebagai unit dimana hasil penelitian akan

diterapkan (Dharma,2015). Populasi dalam penelitian ini adalah lansia yang

bertempat tinggal di Kel.Sepanjang Jaya Rawa Lumbu RT/05 RW/08 Kota

Bekasi sebanyak 50 lansia.

2. Sampel

Sampel adalah sebagai unit yang lebih kecil atau sekelompok individu

yang merupakan bagian dari populasi terjangkau dimana peneliti langsung

mengumpulkan data atau melakukan atau pengukuran pada unit ini. Pada

dasarnya penelitian ini dilakukan pada sampel yang terpilih dari populasi

terjangkau (Dharma,2015). Sampel dalam penelitian ini adalah lansia yang

sesuai dengan kriteria inklusi yang bertempat tingggal di Kel.Sepanjang Jaya

Rawa Lumbu RT/05 RW/08 Kota Bekasi sebanyak 44 orang responden.

Tabel 4.1 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Kriteria Inklusi Kriteria Ekslusi

1. Lansia yang ada di Kelurahan 1. Lansia yang tidak bersedia


Sepanjang Jaya Rawa Lumbu menjadi responden
Bekasi. 2. Lansia yang menderita
2. Lansia yang bersedia menjadi gangguan mental.
responden. 3. Lansia yang tidak ada dilokasi
3. Lansia dengan pendengaran saat penelitian.
yang baik.
4. Lansia yang bisa membaca dan
menulis
5. Lansia yang berumur 60 tahun
ke atas.
6. Lansia yang tidak mengalami
demensia.
47

C. Teknik Sampling

Suatu cara yang ditetapkan peneliti untuk menentukan atau memilih

sejumlah sampel dan populasinya. Metode sampling digunakan agar hasil

penelitian yang dilakukan pada sampel dapat mewakili populasinya. Teknik

pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan metode non-

probability sampling jenis purposive sampling. Teknik purposive sampling yaitu

teknik penentuan sampel dengan maksud atau tujuan tertentu yang ditentukan

oleh peneliti (Dharma, 2015). Penelitian sederhana yang membagikan kuesioner

kepada responden yang ada yaitu 44 responden.

D. Variabel Penelitian

1. Variabel Independen(Bebas)

Variabel independen atau variabel bebas dalam penelitian ini adalah

interaksi sosial.

2. Variabel Dependen (Terikat)

Variabel dependen atau variabel terkait dalam penelitian ini adalah kualitas

hidup.

E. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kel.Sepanjang Jaya Rawa Lumbu RT/05

RW/08 Kota Bekasi.


48

F. Waktu penelitian

Tabel 4.2 jadwal kegiatan penelitian

N Jenis Ma April Mei juni juli


o Kegiatan ret
18 1 5 9 14 16 17 21 1 11 25 30 23 24 31

1 Penentuan
judul
penelitian
2 studi
pendahulu
an
3 Waktu
penyusuna
n proposal
4 sidang
proposal
penelitian
5 Uji
Proposal
6 Pelaksanaa
n
Penelitian
7 Konsul
Hasil
Penelitian
8 Sosialisasi
Hasil
Penelitian
9 Hard
Cover

G. Analisan Data

Analisa data bertujuan untuk memecahkan masalah penelitian sekaligus

menyampaikan informasi tentang hasil penelitian.

a. Analisa Univariat

Analisa univariat digunakan untuk mengetahui distribusi frekuensi

variabel dependen yaitu interaksi sosial dengan kualitas hidup lansia

.
49

b. Analisa Bivariat

Analisa bivariat digunakan untuk menjelaskan hubungan antara variabel

dependen yaitu interaksi sosial dengan variabel independen yaitu kualitas hidup

lansia. Uji statistik yang digunakan yaitu uji Chi Square, yaitu uji yang

digunakan untuk menguji perbedaan proporsi/presentase antara beberapa

kelompok data dan untuk mengetahui hubungan antara variabel kategori dengan

tingkat signifikasi 5% (nilai α=0,05).

H. Definisi Operasional

Tabel 4.3 Definisi Oprasional

No Variabel Definisi operasional Alat ukur Hasil ukur Skala ukur


1. Interaksi Interaksi sosial dapat Kuesioner 1. baik jika Ordinal
sosial diartikan sebagai skore: 17-24
hubungan-hubungan sosial 2. kurang jika
yang dinamis. skore:9-16
(Mapata,2017) 3. buruk jika
skore:0-8
(sugiono,2015)
2. Kualitas Persepsi individu Kuesioner 1. 79-130: Nominal
hidup mengenai posisinya dalam kualitas hidup
lingkungan sosial, budaya baik
yang dalam hal ini lebih 2. 26-78:
spesifik pada kepercayaan kualitas hidup
diri dan self-Image yang buruk.
dapat diukur menggunakan (sugiono,2015)
kuesioner,(WHOQol
dalam Susilowati,2015)
50

I. Intrument Penelitian

Instrumen penelitian merupakan cara pengumpulan data melalui

pemberian angket atau kuesioner dengan beberapa pertanyaan kepada responden

(Dharma, 2015). Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah

kuesioner yang dibuat untuk mengetahui interaksi sosial dan kualitas hidup.

Skala yang digunakan untuk pengukuran kuesioner dengan skala Likert. Jumlah

pernyataan terdapat 24 pernyataan tentang interaksi sosial dan 26 pernyataan

tentang kualitas hidup lansia.

J. Prosedur Pengumpulan Data

a. Jenis Data

1. Data Primer

Data yang diperoleh langsung dari responden melalui teknik kuesioner yang

berpedoman pada kuesioner yang telah dipersiapkan sebelumnya (Ramdani,

2014). Pada saat pengambilan data menggunakan kuesioner peneliti di bantu

oleh teman-teman sehingga memudahkan peneliti agar tetap terjaga efisiensi

waktunya dan mendapatkan data yang sesuai.

2. Data Sekunder

Data yang diperoleh dari data sebelumnya yang didapatkan dari artikel yang

berkaitan dengan judul dan buku-buku yang terkait dengan studi penelitian

(Ramdani, 2014). Data ini peneliti dapatkan langsung oleh ketua RT05/RW08

Kel.Sepanjang Jaya Rawa Lumbu.


51

b. Langkah – langkah pengumpulan data

1. Tahap persiapan

a) Meminta izin pengambilan data dan penelitian dari prodi Keperawatan (S1)

STIKes Medistra Indonesia.

b) Meminta surat izin pengambilan data dan penelitian pada bagian kepala

daerah di Kel.Sepanjang Jaya Rawa Lumbu RT/05 RW/08 Kota Bekasi.

c) Meminta data lansia yang ada di Kel.Sepanjang Jaya Rawa Lumbu RT/05

RW/08 Kota Bekasi

d) Melakukan pendekatan pada lansia di Kel.Sepanjang Jaya Rawa Lumbu

RT/05 RW/08 Kota Bekasi

c. Tahap pelaksanaan

1. Memberikan lembar persetujuan apakah responden bersedia terlibat dalam

penelitian atau tidak.

2. Menyebarkan kuesioner yang telah disiapkan kepada responden yang telah

dimintai persetujuan dan yang sesuai dengan kriteria inklusi.

3. Melakukan pemeriksaan kelengkapan jawaban ditempat penelitian.

K. Etika Penelitian

Etika penelitian adalah suatu pedoman etika yang berlaku untuk setiap

kegiatan penelitian yang berlaku untuk setiap kegiatan penelitian yang

melibatkan antara pihak peneliti, pihak yang diteliti dan masyarakat yang akan

memperoleh dampak hasil penelitian tersebut. Etika penelitian ini mencangkup

juga perilaku peneliti atau perilaku peneliti terhadap subjek peneliti serta suatu

yang dihasilkan oleh peneliti bagi masyarakat.


52

Pengertian peneliti disini adalah seseorang yang karena pendidikan dan

kewenangan memiliki kemampuan untuk melakukan investigasi ilmiah dalam

suatu bidang keilmuan tertentu. Sedangkan subjek yang di teliti adalah orang

yang menjadi sumber informasi, baik masyarakat awam atau profesioal bidang

kesehatan (Dharma, 2015)

1. Anonimity (Tanpa Nama)

Anonmity adalah tidak memberikan atau mencantumkan nama responden

pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar

pengumpulan data hasil penelitian yang akan di sajikan. Dalam penelitian

peneliti mengubah nama responden dengan nomor urut responden

berdasarkan urutan pengambilan data.

2. Confidentiality (Kerahasian)

Sebagai subjek peneliti memiliki privasi dan hak asasi untuk mendapatkan

kerahasiaan informasi. Namun tidak bisa di pungkiri. Namun tidak bisa di

pungkiri bahwa penelitian menyebabkan terbukannya informasi tentang

subjek. Sehingga peneliti perlu merahasiakan berbagai informasi yang

menyangkut privasi subjek yang tidak ingin identitas dan segala informasi

tentang dirinya di ketahui orang lain. Prinsip ini dapat di terapkandengan

cara meniadakan identitas seperti nama dan alamat subjek kemudian di ganti

dengan kode tertentu. Dengan demikian segala informasi yang menyangkut

identitas subjek tidak terekpos secara luas.


53

3. Justice (keadilan )

Prinsip keterbukaan dalam penelitian mengandung makna bahwa penelitian

dilakukan secara jujur, tepat, cermat hati-hati, profesioanal dan

berperikemanusiaan.
54

BAB V

HASIL PENELITIAN.

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

RT05/RW08 Kelurahan Sepanjang Jaya Rawa Lumbu Bekasi terletak di

bagian Timur Kota Bekasi dengan luas wilayah 294,25 Ha km2, yang

merupakan bagian dari RW 08 Kelurahan Sepanjang Jaya Rawa Lumbu Kota

Bekasi yang terbagi menjadi 5 RT yaitu RT 1, RT 2, RT 3 RT 4, RT 5. Terdapat

110 kepala keluarga yang mayoritas golongan usia produktif. Kegiatan di

RT05/RW08 yang dilakukan oleh warga setempat, diantaranya:

1. Arisan RT

2. Kerja bakti setiap 2 minggu sekali

3. Pengajian

4. Senam setiap minggu

5. Posyandu dan poswindhu

6. Perayaan hari raya besar islam

7. Acara hari Kemerdekaan

B. Hasil Penelitian

1. Analisa Univariat

Analisa univariat dalam penelitian ini untuk mengetahui frekuensi

interaksi sosial pada lansia di RT 05/08 Kelurahan Sepanjang Jaya Rawa

Lumbu Bekasi, didapatkan presentase hasil sebagai berikut:


55

Tabel 5.1

Distribusi Frekuensi Interaksi Sosial pada Lansia di Kel.Sepanjang

Jaya Rawa Lumbu RT05/RW08 Bekasi

Interaksi Sosial Frekuensi (F) Persentase (%)

Baik 26 59,1%

Kurang 2 4,5%

Buruk 16 36,4%

Total 44 100,0%

Pada tabel V.1 diatas dapat diketahui distribusi frekuensi interaksi sosial

pada lansia di RT05/RW08 Kelurahan Sepanjang Jaya Rawa Lumbu Bekasi

tahun 2019 dari 44 jumlah responden. Persentase reponden yang menyatakan

frekuensi interaksi sosial baik sebanyak 26 responden (59,1%), responden

yang menyatakan frekuensi interaksi sosial kurang sebanyak 2 responden

(4,5%), sedangkan responden yang menyatakan frekuensi interaksi sosial

buruk adalah sebanyak 16 responden (36,4%).


56

Hasil penelitian dari frekuensi kualitas hidup pada lansia di RT/RW

05/08 Kelurahan Sepanjang Jaya Rawa Lumbu Bekasi, didapatkan presentasi

hasil sebagai berikut:

Tabel 5.2

Distribusi Frekuensi Kualitas Hidup pada Lansia di Kel.Sepanjang Jaya

Rawa Lumbu RT05/RW08 Bekasi

Kualitas Hidup Frekuensi (F) Persentase (%)

Baik 26 59,1%

Buruk 18 40,9%

Total 44 100,0%

Pada tabel V.2 di atas dapat diketahui distribusi frekuensi kualitas hidup

pada lansia di RT05/RW08 Kelurahan Sepanjang Jaya Rawa Lumbu Bekasi

Tahun 2019 dari 44 jumlah responden. Presentase responden yang tercatat

dengan kualitas hidup baik adalah sebanyak 26 responden (59,1%), responden

yang tercatat dengan kualitas hidup buruk sebanyak 18 responden (40,9%).

2. Analisa Bivariat

Analisa Bivariat dalam penelitian ini untuk mengetahui hubungan

interaksi sosial dengan kualitas hidup lansia di RT05/RW08 Kelurahan

Sepanjang Jaya Rawa Lumbu Bekasi, didapatkan presentase hasil sebagai

berikut:
57

Tabel 5.3

Hubungan Interaksi Sosial dengan Kualitas Hidup Lansia di

Kel.Sepanjang Jaya Rawa Lumbu RT05/RW08 Bekasi 2019

Interaksi Kualitas Hidup Total P


Sosial Baik buruk value
f % f % F %
Baik 26 59,1% 0 0,0% 26 59,1% 0,000
Kurang 0 0,0% 2 4,5 % 16 36,4%
Buruk 0 0,0% 16 36,4% 2 4,5%
Total 26 59,1% 18 40,8% 44 100,0%

Dari tabel V.3 di atas menunjukan bahwa responden yang menyatakan

frekuensi interaksi sosial baik dengan kualitas hidup baik sebanyak 26

responden, responden yang menyatakan frekuensi interaksi sosial baik

dengan kualitas hidup buruk sebanyak 0 responden, responden yang

menyatakan frekuensi interaksi sosial kurang dengan kualitas hidup baik

adalah sebanyak 0 responden. Responden yang menyatakan frekuensi

interaksi sosial kurang dengan kualitas hidup buruk adalah sebanyak 2

responden , responden yang menyatakan frekuensi interaksi sosial buruk

dengan kualitas hidup baik sebanyak 0 responden, responden yang

menyatakan frekuensi interaksi sosial buruk dengan kualitas hidup buruk

sebanyak 16 responden.

Berdasarkan hasil uji chi-squere dengan nilai P value 0,000 dapat

disimpulkan p value (0,000 < 0,05) hal ini menunjukkan bahwa Ho ditolak

artinya bahwa ada hubungan interaksi sosial dengan kualitas hidup lansia di

RT05/RW08 Kelurahan Sepanjang Jaya Rawa Lumbu Bekasi 2019.


58

BAB VI

PEMBAHASAN

A. Interpretasi dan Hasil Diskusi

Interpretasi hasil yang dijelaskan pada bab ini mengacu pada tujuan

khusus yaitu mengetahui distribusi frekuensi interaksi sosial pada lansia di

Kel.Sepanjang Jaya Rawa Lumbu RT05/RW08 Bekasi 2019, mengetahui

distribusi frekuensi kualitas hidup pada lansia di Kel.Sepanjang Jaya Rawa

Lumbu RT05/RW08 Bekasi 2019 dan mengetahui hubungan interaksi sosial

dengan kualitas hidup lansia di Kel.Sepanjang Jaya Rawa Lumbu

RT05/RW08 Bekasi 2019.

1. Frekuensi Interaksi Sosial

Berdasarkan penelitian frekuensi interaksi sosial pada lansia di

RT05/RW08 di Kel.Sepanjang Jaya Rawa Lumbu Bekasi menunjukan

hasil responden yang menyatakan frekuensi interaksi sosial buruk adalah

sebanyak 16 responden (36,4%), Hal ini disebabkan ketidak aktifan

lansia dalam berinteraksi dilingkungan sekitarnya. Hasil responden yang

menyatakan frekuensi interaksi sosial kurang sebanyak 2 responden

(4,5%), Hal ini disebabkan lansia kurang aktif dalam berinteraksi . Hasil

dominannya bahwa lansia dengan frekuensi interaksi sosial baik dengan

26 responden (59,1%). Hal ini disebabkan keaktifan lansia dalam

berinteraksi di Kel.Sepanjang Jaya Rawa Lumbu RT05/RW08 Bekasi.

Dapat disimpulkan bahwa frekuensi interaksi sosial pada lansia di

RT05/RW08 Kel.Sepanjang Jaya Rawa Lumbu Bekasi adalah termasuk


59

ke dalam frekuensi interaksi sosial baik dapat meningkatkan kualitas

hidup menjadi baik . Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang

dilakukan oleh Ayu Martina (2014) di badan perlindungan sosial tresna

werdha, menunjukkan bahwa sebagian besar lansia dengan frekuensi

interaksi sosial baik.

Sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa Interaksi sosial

sebenarnya terdapat didalam adanya hubungan individu satu dengan

individu lainnya yang mampu membaur dalam kehidupan masyarakat,

sehingga terwujudlah interaksi sosial. Interaksi sosial adalah hubungan-

hubungan sosial yang dinamis, baik antar individu satu maupun individu

lainnya dan atau individu dengan kelompok masyarakat yang mampu

diwujudkan dalam bentuk kerja sama serta persaingan dan pertikaian

yang sulit dihindari terjadinya pada tempat dan waktu tertentu. (Mapata,

2017). Ciri – ciri interaksi sosial menurut Charles P. Loomis (ahli

sosisologi dari Amerikas Serikat) sebagai berikut:

a. Jumlah pelakunya dua orang atau lebih.

b. Terdapat komunikasi dengan menggunakan simbol-simbol atau

lambang.

c. Terdapat tujuan yang akan dicapai.

d. Terdapat dimensi waktu, meliputi masa lalu, masa kini, dan masa

mendatang

Berdasarkan hasil dari penelitian yang telah dilakukan di

Kel.Sepanjang Jaya Rawa Lumbu RT05/RW08 Bekasi, menunjukan

bahwa sebagian besar lansia aktif dalam melakukan kegiatan yang


60

diadakan dilingkungannya, interaksi yang terjalin dilingkungan tersebut

pun sangat baik.

2. Kualitas hidup

Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada lansia di Kel.Sepanjang

Jaya Rawa Lumbu RT05/RW08 Bekasi menunjukan hasil responden

yang tercatat dengan kualitas hidup buruk sebanyak 18 responden

(40,9%). Hasil yang dominan dengan frekuensi kualitas hidup baik dengan

26 responden (59,1%). Dapat disimpulkan bahwa peneliti menilai

frekuensi kualitas hidup pada lansia di Kelurahan Sepanjang Jaya Rawa

Lumbu RT05/RW08 Bekasi adalah termasuk kedalam kategori frekuensi

kualitas hidup baik dikarenakan interaksi yang lakukan dalam kategori

baik membuat kualitas hidup menjadi baik. Hasil penelitian ini sesuai

dengan penelitian yang dilakukan oleh Nuraini (2018) di Kelurahan

Tlogomas Kota Malang, menunjukkan bahwa sebagian besar lansia

dengan frekuensi kualitas hidup baik.

Sesuai dengan teori yang menyatakan Kualitas hidup adalah tingkat

kepuasan atau ketidakpuasan yang dirasakan seseorang tentang berbagai

aspek dalam kehidupannya. Kualitas hidup termasuk kemandirian,

privacy, pilihan, penghargaan dan kebebasan bertindak. Kualitas hidup

pada lansia dikategorikan menjadi tiga bagian yaitu kesejahteraan fisik,

kesejahteraan psikologis dan kesejahteraan interpersonal. Kualitas hidup

adalah tingkatan yang menggambarkan keunggulan seorang individu

yang dapat dinilai dari kehidupan mereka. Keunggulan individu tersebut

biasanya dilihat dari tujuan hidupnya, kontrol pribadinya, hubungan


61

interpersonal, perkembangan pribadi, intelektual dan kondisi materi

(Ekasari ,Riasmini, Hartini 2018). Komponen kualitas sebagai berikut:

a. Kesehatan fisik mencakup : aktivitas kehidupan sehari-hari,

ketergantungan terhadap obat-obatan dan bantuan medis, energi dan

kelelahan, mobilitas, nyeri dan tidak nyaman, tidur dan istirahat serta

kapasitas kerja.

b. Kesehatan psikologis mencakup : citra tubuh dan penampilan,

perasaan negatif , perasaan positif, harga diri, spirirtual/ agama/

keyakinan personal, berfikir, belajar, memori dan konsentrasi.

c. Hubungan sosial mencakup : hubungan personal, dukungan sosial dan

aktivitas seksual.

d. Lingkungan mencakup : sumber finansial, kebebasan, keamanan fisik,

pelayanan kesehatan dan sosial, keterjangkauan dan kualitas,

lingkungan rumah, kesempatan untuk memperoleh informasi dan

keterampilan baru, partisipasi dan rekreasi/aktivitas waktu luang,

lingkungan fisik (polusi/kebisingan/lalu lintas/iklim) dan transportasi.

Berdasarkan hasil dari penelitian yang telah dilakukan di

Kel.Sepanjang Jaya Rawa Lumbu RT05/RW08 Bekasi 2019

menunjukkan bahwa sebagian besar lansia memiliki kualitas hidup baik.

Hal ini dikarenakan pola hidup yang diterapkan oleh lansia baik.
62

3. Hubungan interaksi sosial dengan kualitas hidup lansia

Berdasarkan hasil penelitian dengan jumlah 44 responden, responden

yang memiliki interaksi sosial baik dengan kualitas hidup baik sebanyak

26 responden (59,1%), responden yang memiliki interaksi sosial baik

dengan kualitas hidup buruk sebanyak 0 responden (0,0%).interaksi

sosial kurang dengan kualitas hidup baik sebanyak 0 responden (0,0%),

interaksi sosial kurang dengan kualitas hidup buruk sebanyak 2

responden (4,5 %), interaksi sosial buruk dengan kualitas hidup baik

sebanyak 0 responden (0,0%), interaksi sosial buruk dengan kualitas

hidup buruk sebanyak 16 responden (36,4%). Pada penelitian yang

dilaksanakan di Kel.Sepanjang Jaya Rawa Lumbu RT05/RW08 Bekasi

menunjukkan ada hubungan interaksi sosial dengan kualitas hidup lansia.

Dapat disimpulkan bahwa interaksi sosial yang baik dapat menjadikan

kualitas hidup menjadi baik.

Berdasarkan hasil analisa statistik dengan menggunakan uji Chi

Square menunjukkan p value 0,000 < 0,05 sehingga dapat dinyatakan H0

ditolak, dimana hasil menunjukkan bahwa ada hubungan interaksi sosial

dengan kualitas hidup lansia di Kel.Se panjang Jaya Rawa Lumbu

Bekasi 2019.

Sesuai dengan teori yang menyatakan Interaksi sosial merupakan

hubungan timbal balik antara individu dengan individu, antara kelompok

dengan kelompok, antar individu dengan kelompok (Armen,2019). Ada

beberapa syarat terjadinya Interaksi sosial pada kehidupan masyarakat

Indonesia yang memiliki karakteristik kepribadian yang sangat


63

menonjol, sehingga diperlukan saling kepribadian individu satu dengan

individu lainnya. Karena itu untuk mewujudkan interaksi sosial , sangat

diperlukan syarat terjadinya suatu interaksi sosial dalam kehidupan

masyarakat Indonesia, sebagai berikut:

a. Kontak sosial

Dalam kehidupan masyarakat yang menunjukkan terjadinya

hubungan antara individu satu dengan individu lainnya, maka dapat

terjadi suatu hubungan sosial yang saling menguntungkan dan tidak

saling merugikan pada masyarakat tertentu. Kalau tidak ada kontak

sosial dalam kehidupan masyarakat, maka kebutuhan manusia, jelas

tidak dapat terpenuhi dalam waktu singkat, baik kebutuhan jasmani

maupun rohani. Hubungan manusia satu dengan manusia lainnya

didalam memenuhi kebutuhan sangat diharapkan akan terjadinya

interaksi sosial. Karena sangat mustahil terjadinya interaksi sosial tanpa

ada manusia sekitarnya yang dapat dilibatkan pada waktu tertentu.

b. Komunikasi sosial

Untuk meningkatkan hubungan sosial yang semakin harmonis dalam

suasana asimilasi dan asosiatif, yang sangat membutuhkan perlu adanya

komunikasi sosial pada kehidupan masyarakat kapan dan dimana saja,

komunikasi sosial sangat diperlukan didalam membangun keberagaman

dan kebersamaan dengan semangat kekeluargaan serta gotong-royong.

Komunikasi sosial merupakan hubungan yang terjadi antarindividu satu

dengan individu lainnya yang dapat dilakukan melalui komunikasi baik

langsung maupun tidak langsung untuk menyampaikan pesan singkat


64

kepada komunikator guna terwujudnya harmonisasi kehidupan

masyarakat Indonesia.

c. Hubungan sosial

Dalam kehidupan masyarakat Indonesia sesungguhnya individu satu

dengan individu lainnya pada dasarnya tidak dapat dipisahkannya.

Hubungan sosial adalah hubungan individu satu dengan individu lainnya

dalam kehidupan masyarakat akan dapat berjalan dengan lancar

manakala ada sebagian masyarakat dilibatkan didalamnya tanpa

memandang adanya persamaan persepsi (asosiatif) dan perbedaan

persepsi (disosiatif) guna terwujudnya tujuan dalam hidup

kemasyarakatan. Mapata,2017

Kualitas hidup adalah kualitas hidup adalah persepsi individu

terhadap kesehatan fisik, sosial dan emosi yang dimilikinya. Hal tersebut

berkaitan dengan keadaan fisik dan emosi individu tersebut dalam

kemampuannya melaksanakan aktivitas sehari-hari yang ditunjang

dengan sarana dan prasarana yang ada dilingkungan sekitar.

Kesejahteraan merupakan konsep multi dimensi yang berhubungan

dengan sejumlah domain kesehatan mencakup komponen fisik,

psikologis, emosional dan sosial. Persepsi individu terhadap

kesejahteraan berhubungan dengan kesehatan yang berkaitan dengan

kualitas hidup. Peningkatan kualitas hidup lansia dilakukan melalui

pemberdaan potensi lansia dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-

hari disamping dukungan dari berbagai pihak dalam memberikan

pelayanan kesehatan secara komprehensif dan holistik sehingga dapat


65

dikembangkan berbagai kegiatan yang mendukung kemandirian lansia

dalam melakukan aktivitas. Kehangatan dan keterbukaan dalam keluarga

dapat memberikan perasan aman, diterima dan dicintai serta memberikan

kebahagian dalam kehidupannya sehingga meningkatkan kualitas

hidupnya. (Ekasari,Riasmini,Hartini, 2018).

Hal ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan Vricillia Intan

Pattikawa (2015) bahwa terdapat hubungan interaksi sosial dengan

kualitas hidup pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Ina-Kaka Kota

Ambon Provinsi Maluku. Hal ini dikarenakan interaksi sosial merupakan

suatu kegiatan yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pada lansia.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Kel.Sepanjang

Jaya Rawa Lumbu RT05/RW08 Bekasi sebagian besar responden

memiliki interaksi sosial baik dengan kualitas hidup baik sebanyak 24

responden (54,5%) hal tersebut dikarenakan adanya sifat interaksi sosial

yang dimiliki lansia sehingga terciptanya kualitas hidup yang baik

diantaranya: Aksidental dan tidak direncanakan, yaitu interaksi sosial

yang terjadi secara spontan, misalnya menyapa kawan ketika bertemu

dijalan. Berulang, yaitu interaksi sosial yang terjadi secara berulang-

ulang, misalnya setiap pagi andi berpamitan kepada ayah dan ibunya

setiap berangkat kesekolah. Teratur, yaitu interaksi sosial yang terjadi

dengan pola yang sama dan konsisten, misalnya setiap hari makan

malam bersama keluarga. Disengaja, yaitu interaksi sosial yang terjadi

karena sengaja/direncanakan, misalnya rapat warga kampung yang

dilakukan setiap sebulan sekali. Resiprokal, yaitu interaksi sosial yang


66

mengandung makna timbal balik. Dalam interaksi dibutuhkan respon

dari lawan bicara/pihak lain. Pelakunya dua orang atau lebih, berarti

interaksi sosial harus dilakukan oleh dua orang atau lebih, interaksi tidak

dapat terjadi pada satu orang saja.

4. Keterbatasan Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini, penulis memiliki beberapa keterbatasan

yaitu:

1. Pada saat penelitian responden sedikit lambat untuk hadir ditempat

penelitian sehingga pak RT dan ibu kader pun membantu dalam

menertibkan responden.

2. Pada saat peneliti melakukan penelitian ada beberapa responden sebelum

di ajak foto bersama sesudah mengisi kuesioner langsung meninggalkan

tempat penelitian dikarenakan masih ada kegiatan dirumah mereka

masing-masing.
67

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa dari

hasil penelitian tentang “Hubungan Interaksi Sosial dengan Kualitas Hidup

Lansia di Kel.Sepanjang Jaya Rawa Lumbu Bekasi 2019” dapat disimpulkan

sebagai berikut:

1. Sebagian besar responden memiliki interaksi sosial dengan kategori “baik”

sebanyak 26 responden (59,1%).

2. Sebagian besar responden memiliki kualitas hidup dengan kategori “baik”

sebanyak 26 responden (59,1%).

3. Ada hubungan antara interaksi sosial dengan kualitas hidup lansia di

Kel.Sepanjang Jaya Rawa Lumbu Bekasi 2019 dengan nilai p value 0,000

Jadi dapat disimpulkan bahwa ada hubungan interaksi sosial dengan kualitas

hidup lansia di Kel.Sepanjang Jaya Rawa Lumbu RT05/RW08 Bekasi 2019.

B. Saran

1. Bagi STIKes Medistra Indonesia

Sebagai bahan masukan ilmiah dan teoritis, sehingga memacu institusi

pendidikan khususnya profesi keperawatan untuk lebih menerapkan interaksi

sosial dalam upaya meningkatkan kualitas hidup

2. Bagi Responden

Sebagai usaha untuk selalu berinteraksi yang baik guna untuk meningkatkan

kualitas hidup lansia


68

3. Bagi tempat penelitian

Diharapkan dapat sebagai bahan masukan untuk masyarakat dimana untuk

melakukan tindakan interaksi sosial guna untuk meningkatkan kualitas hidup

4. Bagi peneliti

Menambah pengetahuan dan pengalaman peneliti mengenai hubungan

interaksi sosial dengan kualitas hidup lansia

5. Bagi Peneliti selanjutnya

Untuk penelitian lebih lanjut hasil penelitian dapat dimanfaatkan sebagai

sumber dari hubungan interaksi sosial dengan kualitas hidup lansia serta

baiknya menggunakan analisa bivariat dalam penelitian


69

DAFTAR PUSTAKA

Abdul, M. (2016). Pendidikan Keperawatan Gerontik (C. Putri, ed.). yogyakarta: CV


ANDI OFFSET.
Abdul, M. (2018). Aplikasi Komunikasi Terapeutik Nursing & Health (U. R. Indah,
ed.). Yogyakarta: CV ANDI OFFSET.
Armen. (2015). Buku Ajar ILMU SOSIAL DAN BUDAYA DASAR. Yogyakarta: CV
BUDI UTAMA.
Darmojo, B. (2014). Buku Ajar Geriatri, Ilmu Kesehatan Usia Lanjut. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Dede, N. (2016). Buku Ajar Keperawatan GERONTIK (1st ed.; I. Taufik, ed.). Jakarta
Timur: CV. TRANS INFO MEDIA.
Dewi, S. R. (2014). Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Yogyakarta: Deepublish.
Dg, M. (2017). Buku Penunjang Mata Pelajaran IPS. Yogyakarta: CV BUDI UTAMA.
Fatma, E. M. (2018). MENINGKATKAN KUALITAS HIDUP LANSIA. Malang: Wineka
Media.
Fitriyadewi, L. P. W. (2016). PERAN INTERAKSI SOSIAL TERHADAP
KEPUASAN HIDUP LANJUT USIA. Jurnal Psikologi Udayana, 3.
Iman, S. (2018). PAWANG SOAL SULIT. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Kusuma, D. K. (2015). Metodologi Penelitian Keperawatan. Jakarta Timur: CV. Trans
Info Media.
Nuraini. (2018). HUBUNGAN INTERAKSI SOSIAL DENGAN KESEPIAN PADA
LANSIA DI KELURAHAN TLOGOMAS KOTA MALANG. Nursing News, 3.
Putri, S. T. (2018). KUALITAS HIDUP LANSIA YANG TINGGAL BERSAMA
KELUARGA DAN PANTI.
Rahardjo, W. B. T. (2014). Pengenalan Gerontologi dan Geriatrik Sebagai Buku Acuan
Multi Disiplin Untuk Masyarakat. Jakarta: Center fpr Aging Studies Universitas
Indonesia.
Rhosma, D. S. (2014). Buku Ajar KEPERAWATAN GERONTIK. Yogyakarta: CV
BUDI UTAMA.
Roni, S. (2018). TOP ONE SBMPTN. Jakarta: PT Bintang Wahyu.
(Abdul, 2016, 2018; Adilla, 2017; Armen, 2015; Atkins, 2017; Darmojo, 2014; Dede,
2016; Dewi, 2014; Dg, 2017; Fatma, 2018; Fitriyadewi, 2016; Iman, 2018;
Indriani, 2013; Kusuma, 2015; Nuraini, 2018; Putri, 2018; Rahardjo, 2014;
Rhosma, 2014; Roni, 2018)

Anda mungkin juga menyukai