PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Khusus
Mengetahui tentang teori berserta konsep asuhan keperawatan anak dengan
atresia esophagus
1
1.2.2 Tujuan Umum
a. Untuk mengetahui pengertian atresia esophagus pada anak
b. Untuk mengetahui etiologi atresia esophagus pada anak
c. Untuk mengetahui patofisiologi atresia esophagus pada anak
d. Untuk mengetahui klasifikasi atresia esophagus pada anak
e. Untuk mengetahui gambaran klinis atresia esophagus pada anak
f. Untuk mengetahui komplikasi atresia esophagus pada anak
g. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang atresia esophagus pada anak
h. Untuk mengetahui penatalaksanaan atresia esophagus pada anak
i. Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan atresia esophagus pada anak
1.3 Manfaat
1. Dapat mengetahui pengertian atresia esophagus pada anak
2. Dapat mengetahui etiologi atresia esophagus pada anak
3. Dapat mengetahui patofisiologi atresia esophagus pada anak
4. Dapat mengetahui klasifikasi atresia esophagus pada anak
5. Dapat mengetahui gambaran klinis atresia esophagus pada anak
6. Dapat mengetahui komplikasi atresia esophagus pada anak
7. Dapat mengetahui pemeriksaan penunjang atresia esophagus pada anak
8. Dapat mengetahui penatalaksanaan atresia esophagus pada anak
9. Dapat mengetahui konsep asuhan keperawatan atresia esophagus pada anak
2
BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1 Pengertian
Atresia berarti buntu, atresia esofagus adalah suatu keadaan tidak adanya
lubang atau muara (buntu), pada esofagus. Pada sebagian besar kasus atresia
esofagus ujung esofagus buntu, sedangkan pada ¼ -1/3 kasus lainnya esophagus
bagian bawah berhubungan dengan trakea setinggi karina (disebut sebagai atresia
esophagus dengan fistula). Kelainan lumen esophagus ini biasanya disertai
dengan fistula trakeoesofagus. Atresia esofagaus sering disertai kelainan bawaan
lain, seperti kelainan jantung, kelainan gastroin testinal (atresia duodeni
atresiasani), kelainan tulang (hemivertebrata). (Esther, 2012).
Sedangkan menurut Badriah (2013), athresia Esophagus adalah
perkembangan embrionik abnormal esophagus yang menghasilkan pembentukan
suatu kantong (blind pouch), atau lumen berkurang tidak memadai yang mecegah
perjalanan makanan atau sekresi dari faring ke perut. Atresia Esofagus termasuk
kelompok kelainan kongenital terdiri dari gangguan kontuinitas esofagus dengan
atau tanpa hubungan persisten dengan trachea.
2.2 Etiologi
Sampai saat ini belum diketahui zat teratogen apa yang bisa menyebabkan
terjadinya kelainan atresia esophagus, hanya dilaporkan angka rekuren sekitar 2
% jika salah satu dari saudara kandung yang terkena. Atresia esophagus lebih
berhubungan dengan sindroma trisomi 21,13 dan 18 dengan dugaan penyebab
genetik. Namun saat ini, teori tentang terjadinya atresia esophagus menurut
sebagian besar ahli tidak lagi berhubungan dengan kelainan genetik. Perdebatan
tentang proses embriopatologi masih terus berlanjut. (Sjamsuhidayat, 2004)
Selama embryogenesis proses elongasi dan pemisahan trakea dan esophagus
dapat terganggu. Jika pemisahan trekeoesofageal tidak lengkap maka fistula
trakeoesofagus akan terbentuk. Jika elongasi melebihi proliferasi sel sebelumnya,
yaitu sel bagian depan dan belakang jaringan maka trakea akan membentuk atresia
esophagus. Atresia esophagus dan fistula trakeoesofagus sering ditemukan ketika
3
bayi memiliki kelainan kelahiran seperti Trisomi, gangguan saluran pencernaan
lain (seperti hernia diafragmatika, atresia duodenal, dan anus imperforata),
gangguan jantung (seperti ventricular septal defect, tetralogifallot, dan patent
ductus arteriosus), gangguan ginjal dan saluran kencing (seperti ginjal polisistik
atau horseshoe kidney, tidak adanya ginjal,dan hipospadia), gangguan
muskuloskeletal, sindrom VACTERL (yang termasuk vertebr, anus, candiac,
tracheosofagealfistula, ginjal, dan abnormalitas saluran getah bening) dan lebih
dari setengah bayi dengan fistula atau atresia esophagus memiliki kelainan lahir.
Atresia Esophagus dapat disebababkan oleh beberapa hal, diantaranya sebagai
berikut :
1. Faktor obat : Salah satu obat yang dapat menimbulkan kelainan kongenital
yaitu thali domine .
2. Faktor radiasi : Radiasi pada permulaan kehamilan mungkin dapat
menimbulkan kelainan kongenital pada janin yang dapat menimbulkan
mutasi pada gen
3. Faktor gizi
4. Deferensasi usus depan yang tidak sempurna dan memisahkan dari masing
–masing menjadi esopagus dan trachea.
5. Perkembangan sel endoteal yang lengkap sehingga menyebabkan terjadinya
atresia.
6. Perlengkapan dinding lateral usus depan yang tidak sempurna sehingga
terjadi fistula trachea esophagus
7. Tumor esophagus.
8. Kehamilan dengan hidramnion
9. Bayi lahir prematur,
Tapi tidak semua bayi yang lahir premature mengalami penyakit ini. Dan
ada alasan yang tidak diketahui mengapa esefagus dan trakea gagal untuk
berdiferensiasi dengan tepat selama gestasi pada minggu ke empat dan ke lima.
2.3 Patofisiologi
Janin dengan atresia esofagus tidak dapat menelan cairan amnion dengan
efektif. Pada janin dengan atresa esofagus dan TEF distal, cairan amnion akan
4
mengalir menuju trakea, ke fistula kemudian menuju usus. Akibat dari hal ini
dapat terjadi polihidramnion. Polihidramnion sendiri dapat menyebabkan
kelahiran prematur. Janin seharusnya dapat memanfaatkan cairan amnion,
sehingga janin dengan atresia esofagus lebih kecil daripada usia gestasinya.
Neonatus dengan atresia esofagus tidak dapat menelan dan menghasilkan
banyak air liur. Pneumonia aspirasi dapat terjadi bila terjadi aspirasi susu, atau
liur. Apabila terdapat TEF distal, paru-paru dapat terpapar asam lambung. Udara
dari trakea juga dapat mengalir ke bawah fistula ketika bayi menangis, atau
menerima ventilasi. Hal ini dapat menyebabkan perforasi gaster akut yang
seringkali mematikan. Penelitian mengenai manipulasi manometrik esofagus
menunjukkan esofagus distal seringkali dismotil, dengan peristaltik yang jelek
atau anpa peristaltik. Hal ini akan menimbulkan berbagai derajat disfagia setelah
manipulasi yang berkelanjutan menuju refluks esofagus. Trakea juga terpengaruh
oleh gangguan embriogenesis pada atresia esofagus. Membran trakea seringkali
melebar dengan bentuk D, bukan C seperti biasa. Perubahan ini menyebabkan
kelemahan sekunder ada struktur anteroposterior trakea atau trakeomalacia.
Kelemahan ini akan menyebabkan gejala batuk kering dan dapat terjadi kolaps
parsial pada eksirasi penuh. Sekret sulit untuk dibersihkan dan dapat menjurus ke
pnemona berulang. Trakea juga dapat kolaps secara parsial ketika makan, setelah
manipulasi, atau ketika terjadi refluks gastroesofagus yang daat menjurus ke
kegagalan nafas, hipoksia, bakan apnea.
2.4 Klasifikasi
Menurut Esther (2012), Atresia Esophagus diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Atresia Esofagus dengan fistula trakheooesophageal distal ( 86% Vogt
111.gross C)
Merupakan gambaran yang paling sering pada proksimal esofagus,
terjadi dilatasi dan penebalan dinding otot berujung pada mediastinum
superior setinggi vetebra thoracal III/IV. Esofagus distal (fistel), yang
mana lebih tipis dan sempit, memasuki dinding posterior trakea setinggi
carina atau 1-2 cm diatasnya. Jarak antara esofagus proksimal yang buntu
5
dan fistula trakheooesofageal distal bervariasi mulai dari bagian yang
overlap hingga yang berjarak jauh.
2. Atresia Esofagus terisolasi tanpa fistula ( 7%, Vogg II, Gross A)
Esofagus distal dan proksimal benar-benar berakhir tanpa hubungan
dengan segmen esofagus proksimal, dilatasi dan dinding menebal dan
biasanya berakhir setinggi mediastinum posterior sekitar vetebra
thorakalis II. Esofagus distal pendek dan berakhir pada jarak yang berbeda
diatas diagframa.
3. Fistula trakheo esofagus tanpa atresia ( 4 %, Groos E)
Terdapat hubungan seperti fistula antara esofagus yang secara
anatomi cukup intak dengan trakhea. Traktus yang seperti fistula ini bisa
sangat tipis/sempit dengan diameter 3-5 mm dan umumnya berlokasi pada
daerah servikal paling bawah. Biasanya single tapi pernah ditemukan dua
bahkan tiga fistula.
4. Atresia esofagus dengan fistula trakeo esofagus proksimal (2%. Vogt III
& Gross B).
Gambaran kelainan yang jarang ditemukan namun perlu dibedakan
dari jenis terisolasi. Fistula bukan pada ujung distal esofagus tapi berlokasi
1-2 cm diatas ujung dinding depan esofagus.
5. Atresia esofagus dengan fistula trakheo esofagus distal dan proksimal
Pada kebanyakan bayi, kelainan ini sering terlewati (misdiagnosa)
dan di terapi sebagai atresia proksimal dan fistula distal. Sebagai akibatnya
infeksi saluran pernapasan berulang, pemeriksaan yang dilakukan
memperlihatkan suatu fistula dapat dilakukan dan diperbaiki keseluruhan.
Seharusnya sudah dicurigai dari kebocoran gas banyak keluar dari kantong
atas selama membuat/ merancang anastomose.
Sedangkan menurut Novita dkk (2008) dalam Gross of Boston variasi
atresia esofagus beserta frekuensinya adalah sebagai beriku :
1. Tipe A – atresia esofagus tanpa fistula atau atresia esofagus murni (10%)
2. Tipe B – atresia esofagus dengan TEF proksimal (<1%)
3. Tipe C – atresia esofagus dengan TEF distal (85%)
4. Tipe D – atresia esofagus dengan TEF proksimal dan distal (<1%)
6
5. Tipe E – TEF tanpa atresia esofagus atau fistula tipe H (4%)
6. Tipe F – stenosis esofagus kongenital (<1%)
7
11. Pada fistula trakeosofagus, cairan lambung juga dapat masuk kedalam paru,
oleh karena itu bayi sering sianosis.
12. Biasanya juga disertai dengan kelainan bawaan yang lain, seperti kelainan
jantung, atresia rectum atau anus
2.6 Komplikasi
Komplikasi-komplikasi yang bisa timbul setelah operasi perbaikan pada
atresia esofagus dan fistula atresia esophagus adalah sebagai berikut :
1. Dismotilitas esophagus.
Dismotilitas terjadi karena kelemahan otot dingin esophagus. Berbagai
tingkat dismotilitas bisa terjadi setelah operasi ini. Komplikasi ini terlihat
saat bayi sudah mulai makan dan minum.
2. Gastroesofagus refluk.
Kira-kira 50 % bayi yang menjalani operasi ini kana mengalami
gastroesofagus refluk pada saat kanak-kanak atau dewasa, dimana asam
lambung naik atau refluk ke esophagus. Kondisi ini dapat diperbaiki dengan
obat (medical) atau pembedahan.
3. Trakeo esogfagus fistula berulang : pembedahan ulang adalah terapi untuk
keadaan seperti ini.
4. Disfagia atau kesulitan menelan.
Disfagia adalah tertahannya makanan pada tempat esophagus yang
diperbaiki. Keadaan ini dapat diatasi dengan menelan air untuk tertelannya
makanan dan mencegah terjadinya ulkus.
5. Kesulitan bernafas dan tersedak.
Komplikasi ini berhubungan dengan proses menelan makanan,
tertaannya makanan dan saspirasi makanan ke dalam trakea.
6. Batuk kronis.
Batuk merupakan gejala yang umum setelah operasi perbaikan atresia
esophagus, hal ini disebabkan kelemahan dari trakea.
7. Meningkatnya infeksi saluran pernafasan.
8
Pencegahan keadaan ini adalah dengan mencegah kontakk dengan
orang yang menderita flu, dan meningkatkan daya tahan tubuh dengan
mengkonsumsi vitamin dan suplemen.
2.8 Penatalaksanaan
Atresia merupakan kasus gawat darurat. Prabedah, penderita seharusnya
ditengkurapkan untuk mengurangi kemungkinan isi lambung masuk ke paru-paru.
Kantong esofagus harus secara teratur dikosongkan dengan pompa untuk
mencegah aspirasi sekret. Perhatian yang cermat harus diberikan terhadap
pengendalian suhu, fungsi respirasi, dan pengelolaan anomali penyerta.
1. Penatalaksanaan Medis : pengobatan dilakukan dengan operasi.
2. Penatalaksanaan Keperawatan
a. Pre Operasi
Sebelum dilakukan operasi, bayi diletakkan setengah duduk untuk
mencegah terjadinya regurgitasi cairan lambung kedalam paru. Cairan
lambung harus sering diisap untuk mencegah aspirasi. Untuk mencegah
terjadinya hipotermia, bayi hendaknya dirawat dalam incubator agar
mendapatkan lingkungan yang cukup hangat. Posisinya sering di ubah-
9
ubah, pengisapan lender harus sering dilakukan. Bayi hendaknya
dirangsang untuk menangis agar paru berkembang.
b. Post Operasi
Segera setelah operasi pasien dirawat di NICU dengan perawatan
sebagai berikut
1) Monitor pernafasan ,suhu tubuh, fungsi jantung dan ginjal
2) Oksigen perlu diberikan dan ventilator pernafasan dapat diberi
jika dibutuhkan.
3) Analgetik diberi jika dibutuhkan
4) Pemeriksaan darah dan urin dilakukan guna mengevaluasi
keadaan janin secara keseluruhan
5) Pemeriksaan scaning dilakukan untuk mengevalausi fungsi
esofagus
6) Bayi diberikan makanan melalui tube yang terpasang lansung ke
lambung (gastrostomi) atau cukup dengan pemberian melalui
intravena sampai bayi sudah bisa menelan makanan sendiri.
7) Sekret dihisap melalui tenggorokan dengan slang nasogastrik.
Perawatan di rumah sakit lebih kurang 2 minggu atau lebih,
tergantung pada terjadinya komplikasi yang bisa timbul pada kondisi
ini. Pemeriksaan esofagografi dilakukan pada bulan kedua, ke enam,
setahun setelah operasi untuk monitor fungsi esofagus.
10
3) Anak kelihatan normal dan nyaman selama interval diantara episode
nyeri
4) Muntah
5) Letargi
6) Feses seperti jeli kismis mengandung darah dan mucus, tes hemocculi
positif.
7) Feses tidak ada meningkat
8) Distensi abdomen dan nyeri tekan
9) Massa terpalpasi yang seperti sosis di abdomen
10) Anus yang terlihat tidak biasa, dapat tampak seperti prolaps rectal.
11) Dehidrasi dan demam sampai kenaikan 410C
12) Keadaan seperti syok dengan nadi cepat, pucat dan keringat banyak
f. Observasi manifestasi intususepsi yang kronis
1) Diare
2) Anoreksia
3) Kehilangan berat badan
4) Kadang – kadang muntah
5) Nyeri yang periodic
6) Nyeri tanpa gejala lain
g. Kaji dengan prosedur diagnostik dan tes seperti pemeriksaan foto polos
abdomen, barium enema dan ultrasonogram
B. Diagnosa
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan lubang abnormal
antara esophagus dan trakea atau obstruksi untuk menelan sekresi.
2. Kerusakan (kesulitan) menelan berhubungan dengan obstruksi mekanis.
3. Ansietas berhubungan dengan kesulitan menelan, ketidaknyamanan
karena pembedahan.
4. Syok hipovolemik berhubungan dengan muntah, perdarahan dan
akumulasi cairan dan elektrolit dalam lumen.
5. Nyeri akut berhubungan dengan insisi pembedahan.
11
C. Intervensi
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan lubang abnormal
antara esophagus dan trakea atau obstruksi untuk menelan sekresi.
Tujuan : Pasien mempertahankan jalan napas yang paten tanpa aspirasi
Kriteria Hasil :
a. Jalan napas tetap paten
b. Bayi tidak teraspirasi sekresi
c. Pernapasan tetap pada batas normal
No Intervensi Rasional
1. Lakukan pengisapan sesuai dengan Untuk menghilangkan penumpukan
kebutuhan. sekresi di orofaring.
2. Beri posis terlentang dengan kepala Untuk menurunkan tekanan pada
ditempatkan pada sandaran yang rongga torakal dan meminimalkan
ditinggikan (sedikitnya 300). refluks sekresi lambung ke
esophagus distal dan ke dalam
trakea dan bronki.
3. Beri oksigen jika bayi menjadi sianotik. Untuk membantu menghilangkan
distress pernapasan.
4. Jangan gunakan tekanan positif (misalnya; Karena dapat memasukkan udara ke
kantong resusitasi/ masker). dalam lambung dan usus, yang
menimbulkan tekana tambahan
pada rongga torakal.
5. Puasakan Untuk mencegah aspirasi.
6. Pertahankan penghisapan segmen Untuk menjaga agar kantong buntu
esophagus secara intermitten atau kontinue, tersebut tetap kosong.
bila di pesankan pada masa pra operasi.
7. Tinggalkan selang gastrostomi, bila ada, Agar udara dapat keluar,
terbuka untuk drainase gravitasi. meminimalkan resiko regurgitasi isi
lambung dengan trakea.
12
Kriteria Hasil : Bayi mendapat nutrisi yang cukup dan menunjukkan
penambahan berat badan yang memuaskan.
No Intervensi Rasional
1. Beri makan melalui gastrostomi sesuai Untuk memberikan nutrisi sampai
dengan ketentuan pemberian makanan oral
memungkinkan.
2. Lanjutkan pemberian makan oral sesuai Untuk memenuhi kebutuhan akan
ketentuan, sesuai kondisi bayi dan perbaikan nutrisi bayi
pembedahan.
3. Observasi dengan ketat. Untuk memastikan bayi mampu
menelan tanpa tersedak.
4. Pntau masukan keluaran dan berat badan. Untuk mengkaji keadekuatan
masukan nutrisi.
5. Ajarkan keluarga tentang teknik pemberian Untuk mempersiapkan diri
makan yang tepat. terhadap pemulangan.
13
2. Beri perawatan mulut. Untuk menjaga agar mulut tetap
bersih dan membran mukosa
lembab.
14
5. Nyeri akut berhubungan dengan insisi pembedahan.
Tujuan: berkurangnya rasa nyeri sesuai dengan toleransi pada anak.
Kriteria Hasil: anak menunjukkan tanda – tanda tidak ada nyeri atau
ketidaknyamanan yang minimum.
No. Intervensi
1. Hindarkan palpasi area operasi jika tidak diperlukan
2. Masukkan selang rektal jika diindikasikan, untuk membebaskan udara.
3. Dorong untuk buang air untuk mencegah distensi vesika urinaria.
4. Berikan perawatan mulut untuk memberikan rasa nyaman.
5. Lubrikasi lubang hidung untuk mengurangi iritasi.
6. Kolaborasi:
Berikan analgesi untuk mengatasi rasa nyeri.
Berikan antiemetik sesuai pesanan untuk rasa mual dan muntah.
15
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Atresia esofagus merupakan kelainan kongenital yang ditandai dengan tidak
menyambungnya esofagus bagian proksimal dengan esofagus bagian distal.
Atresia esofagus dapat terjadi bersama fistula trakeoesofagus, yaitu kelainan
kongenital dimana terjadi persambungan abnormal antara esofagus dengan trakea.
Atresia esofagus adalah kelainan kongenital dari traktus digestivus yang sudah
dapat dideteksi pada sebelum kelahiran (prenatal). Atresia esofagus dapat
dicurigai sejak kehamilan, dan didiagnosa segera setelah bayi lahir. Bahaya utama
pada AE adalah resiko aspirasi, sehingga perlu dilakukan suction berulang.
Penatalaksanaan pada AE utama adalah pembedahan, tetapi tetap dapat
meninggalkan komplikasi lebih lanjut yang berhubungan dengan gangguan
motilitas esofagus.
3.2 Saran
Dalam memberikan perawatan kepada bayi atau anak dengan atresia
esopagus harus diperhatikan ancaman yang dapat muncul yang dapat
menyebabkan kematian sehingga dalam memberikan asuhan keperawatan harus
memperhatikan prosedur yang berlaku juga tanda gejala yang di berikan tubuh
pasien sehingga diharapkan dapat menghindarkan dari kejadian yang tidak
diinginkan dan juga dapan mendukung serta mempercepat kesempuhan dan
kondisi fisik pasien anak dengan atresia esofagus.
16
DAFTAR PUSTAKA
17