Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan dalam periode 2015-2019 difokuskan pada
empat program prioritas yaitu penurunan angka kematian ibu dan bayi,
penurunan prevalensi balita pendek (stunting), pengendalian penyakit
menular dan pengendalian penyakit menular dan pengendalian penyakit
tidak menular. Upaya peningkatan status gizi masyarakat termasuk
penurunan prevalensi balita pendek menjadi salah satu prioritas
pembangunan nasional yang tercantum dalam sasaran pokok Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2015-2019. Target penurunan
prevalensi stunting (pendek dan sangat pendek) pada anak baduta (bawah
dua tahun) adalah menjadi 28% (Kemenkes, 2016).
Menurut WHO, prevalensi balita pendek menjadi masalah kesehatan
masyarakat jika prevalensinya 20% atau lebih. Karenanya persentase balita
pendek di Indonesia masih tinggi dan merupakan masalah kesehatan yang
harus ditanggulangi. Dibandingkan beberapa negara tetangga, prevalensi
balita pendek di Indonesia juga tertinggi mencapai 46,1% dibandingkan
Myanmar (35%), Vietnam (23%), Malaysia (17%), Thailand (16%) dan
Singapura (4%) (UNSD, 2014). Global Nutrition Report tahun 2014
menunjukkan Indonesia termasuk dalam 17 negara, di antara 117 negara,
yang mempunyai tiga masalah gizi yaitu stunting, wasting dan overweight
pada balita. Negara Indonesia menduduki peringkat ke 5 dengan kejadian
stunting pada anak yang berusia ≤5 tahun dengan prevalensi sebesar
40,2%. (WHO,2013) Sebanyak 159 juta anak stunting di seluruh dunia – 9
juta dari mereka tinggal di Indonesia.
Di Indonesia, berdasarkan hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun
2013, terdapat 37,2% balita yang mengalami stunting. Diketahui dari
jumlah presentase tersebut, 19,2% anak pendek dan 18,0% sangat pendek.
Prevalensi stunting ini mengalami peningkatan dibandingkan hasil
Riskesdas tahun 2010 yaitu sebesar 35,6% dan tahun 2007 sebesar 36,8
persen. Artinya, pertumbuhan tak maksimal diderita sekitar 8 juta anak
Indonesia atau 1 dari tiga anak Indonesia. Dapat disimpulkan lebih dari
sepertiga anak berusia dibawah lima tahun di Indonesia tingginya berada
di bawah rata-rata. (Balitbang Kemenkes RI, 2014).
Persentase balita pendek (pendek dan sangat pendek) di Indonesia
Tahun 2018 adalah 30,8% lebih rendah, jika dibandingkan pada tahun
2013 (37,2%) tetapi tidak menunjukkan penurunan/perbaikan yang
signifikan. Pada tahun 2018 persentase tertinggi di Provinsi Nusa
Tenggara Timur (42,6), sedangkan persentase terendah pada tahun 2018 di
DKI Jakarta (17,7%) (Riskesdas,2018).
Berdasarkan profil kesehatan provinsi Jawa Barat tahun Pada tahun
2017, angka stunting di Jawa barat mencapai 29,2%. Sedangkan tingkat
prevalensi stunting di Jabar yang paling tinggi berada di Garut dengan
angka 43,%. Berdasarkan data yang didapatkan dari Dinas Kesehatan Kota
Bandung angka kejadian stunting di Bandung mencapai 7,6% dari jumlah
balita yang ditimbang 132,716 balita.
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita (bayi di bawah 5
tahun) akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek
untuk usianya. Kondisi stunting baru nampak setelah bayi berusia 2 tahun.
Balita pendek (stunted). Sedangkan definisi stunting menurut Kementerian
Kesehatan (Kemenkes) adalah anak balita dengan nilai z-scorenya kurang
dari -2SD/standar deviasi (stunted). (harus ditambahin penjelasan ttg -2SD
itu apa)
Berdasarkan usia balita, kejadian stunting banyak terdapat pada balita
usia di bawah 5 tahun. Pada masa ini merupakan proses terjadinya stunting
pada anak dan peluang meningkatnya stunting terjadi dalam 2 tahun
kehidupan pertama atau stunting dapat diketahui setelah anak berusia 2
tahun. Pada anak usia 2-5 tahun normalnya sudah bisa melakukan
beberapa aktifitas seperti mengatakan beberapa macam warna,
mengancingkan baju sendiri, menirukan suara binatang, dapat berhitung
dan lain sebagainya. Jika dilihat dari pertumbuhan tinggi badan balita yang
normal ≥ -2 standar deviasi dan sesuai dengan usianya. Sedangkan balita
dengan tinggi badan tidak normal yaitu tinggi badan yang < -2 Standar
Deviasi atau dapat dikatakan dengan stunting.
Kejadian stunting pada balita merupakan proses kumulatif yang salah
satunya terjadi sejak kehamilan, dan faktor gizi sangat mempengaruhi.
Kejadian stunting dapat diputus mata rantainya sejak janin dalam
kandungan dengan cara melakukan pemenuhan kebutuhan zat bagi ibu
hamil, artinya setiap ibu hamil harus mendapatkan makanan yang cukup
gizi, mendapatkan suplementasi zat gizi (tablet Fe), dan terpantaunya
kesehatan ibu dan bayi. Selain itu setiap bayi baru lahir hanya
mendapatkan ASI (Ekslusif) selama 6 bulan, setelah 6 bulan bayi
mendapatkan makanan pendamping ASI (MPASI) yang cukup jumlah dan
kualitasnya. Kejadian stunting muncul sebagai akibat dari keadaan yang
berlangsung lama seperti kemiskinan, perilaku pola asuh yang tidak tepat,
dan sering menderita penyakit secara berulang karena higiene maupun
sanitasi yang kurang baik (Ngaisyah, 2015).
Dampak stunting tidak hanya dirasakan oleh individu yang
mengalaminya, tetapi juga berdampak terhadap roda perekonomian dan
pembangunan bangsa. Hal ini karena sumber daya manusia stunting
memiliki kualitas lebih rendah dibandingkan dengan sumber daya manusia
normal. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak yang pada masa
balitanya mengalami stunting memiliki tingkat kognitif rendah, prestasi
belajar dan psikososial buruk (Achadi 2012).
Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh masalah gizi pada periode
tersebut, dalam jangka pendek adalah terganggunya perkembangan otak,
kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme
dalam tubuh. Sedangkan dalam jangka panjang akibat buruk yang dapat
ditimbulkan adalah menurunya kemampuan kognitif dan prestasi belajar,
menurunya kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, dan risiko tinggi untuk
munculnya penyakit DM, Obesitas, jantung, kanker, stroke, dan disabilitas
pada usia tua, serta kuliatas kerja yang tidak kompetitif yang berakibat
pada rendahnya produktivitas ekonomi (Kementerian kesehatan RI, 2010).
Stunting dapat mengakibatkan penurunan intelegensia (IQ), sehingga
prestasi belajar menjadi rendah dan tidak dapat melanjutkan sekolah. Anak
yang menderita Stunting berdampak tidak hanya pada fisik yang lebih
pendek saja, tetapi juga pada kecerdasan, produktivitas dan prestasinya
kelak setelah dewasa, sehingga akan menjadi beban negara. Selain itu dari
aspek estetika, seseorang yang tumbuh proporsional akan kelihatan lebih
menarik dari yang tubuhnya. Gagal tumbuh yang terjadi akibat kurang gizi
pada masa-masa emas ini akan berakibat buruk pada kehidupan berikutnya
dan sulit diperbaiki.
Stunting dapat disebabkan oleh berbagai faktor. WHO (2013) membagi
penyebab terjadinya stunting pada anak menjadi 4 kategori besar yaitu
faktor keluarga dan rumah tangga, makanan tambahan / komplementer
yang tidak adekuat, menyusui, dan infeksi.
Faktor keluarga dan rumah tangga dibagi lagi menjadi faktor maternal
dan faktor lingkungan rumah. Faktor maternal berupa nutrisi yang kurang
pada saat prekonsepsi, kehamilan, dan laktasi, tinggi badan ibu yang
rendah, infeksi, kehamilah pada usia remaja, kesehatan mental,
Intrauterine growth restriction (IUGR) dan kelahiran preterm, Jarak
kehamilan yang pendek, dan hipertensi. Faktor lingkungan rumah berupa
stimulasi dan aktivitas anak yang tidak adekuat, perawatan yang kurang,
sanitasi dan pasukan air yang tidak adekuat, akses dan ketersediaan pangan
yang kurang, alokasi makanan dalam rumah tangga yang tidak sesuai,
edukasi pengasuh yang rendah.
Hasil Riskesdas (2013) menunjukkan bahwa stunting balita banyak
dipengaruhi oleh pendapatan dan pendidikan orang tua yang rendah.
Keluarga dengan pendapatan yang tinggi akan lebih mudah memperoleh
akses pendidikan dan kesehatan sehingga status gizi anak dapat lebih baik
(Bishwakarma, 2011). Hal ini dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan
oleh Ramli, et al 2005 stunting banyak terjadi pada anak yang ayahnya
tidak bekerja atau tidak memiliki pekerjaan. Pendidikan dan pekerjaan
orang tua selanjutnya akan mempengaruhi status ekonomi keluarga. Status
ekonomi rumah tangga juga memiliki efek yang signifikan terhadap
kejadian malnutrisi kronis pada anak di Ethiopia.
Faktor penyebab stunting tidak hanya berasal dari karakteristik anak
tersebut namun dapat berasal dari karakteristik ibu, menurut Hein dan Hoa
dalam Darteh dkk (2014) terdapat tiga faktor besar penyebab stunting
yaitu faktor distal meliputi faktor sosial ekonomi, faktor intermediat
meliputi faktor lingkungan dan faktor ibu serta faktor proksimal meliputi
karakteristik anak.Menurut data Riskesdas tahun 2013 menyatakan tidak
berubahnya prevalensi status gizi pada anak disebabkan karena belum
meratanya pemantauan pertumbuhan pada balita dan adanya
kecenderungan proporsi balita tidak pernah ditimbang pada enam bulan
terakhir meningkat yaitu 25,5% pada tahun 2007 menjadi 34,4% pada
tahun (Kemenkes RI, 2013).
Status sosial ekonomi keluarga seperti pendapatan keluarga, pendidikan
orang tua, pengetahuan ibu tentang gizi, dan jumlah anggota keluarga
secara tidak langsung dapat berhubungan dengan kejadian stunting. Hasil
Riskesdas (2013) menunjukkan bahwa kejadian stunting balita banyak
dipengaruhi oleh pendapatan dan pendidikan orang tua yang rendah.
Keluarga dengan pendapatan yang tinggi akan lebih mudah memperoleh
akses pendidikan dan kesehatan sehingga status gizi anak dapat lebih baik
(Bishwakarma, 2011).
Pola pengasuhan berupa pemberian ASI Eksklusif turut berkontribusi
dalam kejadian stunting (Oktavia,2011). ASI ekslusif adalah memberikan
hanya ASI saja bagi bayi sejak lahir sampai usia 6 bulan. ASI memiliki
manfaat dalam meningkatkan imunitas anak terhadap penyakit. ASI juga
mengandung komponen makro dan mikronutrient yang dibutuhkan oleh
bayi. Asupan ASI Eksklusif pada balita, Penelitian di Ethiopia Selatan
membuktikan bahwa balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusi selama 6
bulan berisiko tinggi mengalami stunting (Fikadu, et al., 2014).
Status imunisasi Imunisasi bertujuan untuk memberikan kekebalan
terhadap antigen tertentu untuk mencegah penyakit dan kematian bayi dan
anak. Sudah lama diketahui bahwa imunisasi ada hubungannya dengan
malnutrisi kaitannya dengan penyakit infeksi yang dapat secara langsung
mempengaruhi status gizi anak (Dwiastuti, 2012). Status imunisasi
memiliki hubungan signifikan terhadap indeks status gizi TB/U. Hal yang
sama dipaparkan dalam penelitian (Milmam, et al,2005) dan (Taguri, et
al,2007) bahwa status imunisasi memiliki hubungan signifikan terhadap
kejadian stunting pada anak usia di bawah 5 tahun.
Karakteristik balita berupa panjang lahir bayi juga berhubungan dengan
kejadian stunting. Penelitian di Kendal menunjukkan bahwa bayi dengan
panjang lahir yang pendek berisiko tinggi terhadap kejadian stunting pada
balita (Meilyasari dan Isnawati,2014). Hasil penelitiannya adalah bayi
laki-laki cenderung menjadi stunting saat memasuki usia satu tahun, dan
bayi perempuan pada usia dua tahun. Hal ini terkait pola asuh orang tua
dalam memberikan makanan pada anak. Menurut WHO (2003), BBLR
dibagi menjadi tiga group yaitu prematuritas, intra uterine growth
restriction (IUGR) dan karena keduanya. Berat lahir yang dikategori-kan
normal(≥2500 g) dan rendah (<2500g) (Kemenkes RI, 2010). Defisiensi
energi kronis atau anemia selama kehamilan dapat menyebabkan ibu
melahirkan bayi dengan berat lahir rendah. (Keef,2008). Tingginya angka
BBLR diperkirakan menjadi penyebab tingginya kejadian stunting di
Indonesia.
Faktor status gizi ibu hamil sangat mempengaruhi keadaan kesehatan
dan perkembangan janin. Gangguan pertumbuhan dalam kandungan dapat
menyebabkan berat lahir rendah (WHO, 2014). Pada dasarnya status gizi
anak dapat dipengaruhi oleh faktor langsung dan tidak langsung. Faktor
langsung berhubungan dengan stunting yaitu berupa asupan makanan dan
status kesehatan. Asupan energi menunjukkan hubungan yang signifikan
terhadap kejadian stunting (Fitri,2012).
Berdasarkan laporan Nutrition in the first 1000 days of the words
mothers tahun 2012 menyatakan bahwa kejadian stunting dipengaruhi oleh
kondisi pasa masa 1000 hari kehidupan yaitu mulai janin berada dalam
perut atau ketika wanita dalam kondisi hamil sampai anak tersebut berusia
2 tahun. Oleh karena itu pada masa ini terjadi perkembangan otak atau
kecerdasan dan pertumbuhan badan yang cepat, sehingga pada masa ini
bila tidak dilakukan asupan nutrisi yang cukup oleh ibu hamil, pemberian
ASI Ekslusif dan pemberian MPASI dan asupan nutrisi yang cukup
sampai anak berusia 2 tahun maka potensial terjadi stunting
(Imtihanatun,2012).
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan di tiga
puskesmas wilayah kerja sarijadi kota Bandung tahun 2018 di dapatkan
hasil bahwa di UPT Puskesmas Sarijadi Kota Bandung salah satu wilayah
yang memiliki angka balita yang mengalami stunting paling banyak
terdapat di daerah wilayah kerja Puskesmas Sarijadi dengan jumlah 87
balita stunting dari 1564 balita usia 0-5 tahun pada tahun 2018. Lalu di
Puskesmas Ledeng didapatkan data 25 balita yang mengalami stunting, di
Puskesmas Sukarasa didapatkan 33 balita yang mengalami stunting. Maka
balita yang mengalami stunting paling tinggi berada di Puskesmas Sarijadi
Kota Bandung dengan jumlah 87 balita. Berdasarkan uraian tersebut,
peniliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Faktor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian stunting pada balita usia di bawah 5 tahun
di Puskesmas Sarijadi Kota Bandung.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka perumusan
masalah pada penelitian ini adalah “Apa sajakah faktor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian stunting pada balita usia di bawah 5 tahun
di Puskesmas Sarijadi Kota Bandung.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian stunting pada balita usia di bawah 5
tahun di Puskesmas Sarijadi Kota Bandung.

2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui hubungan faktor status imunisasi dengan kejadian
stunting pada balita usia dibawah 5 tahun di Puskesmas Sarijadi
Kota Bandung.
b. Mengetahui hubungan faktor karakteristik balita (BB, TB, usia,
jenis kelamin) dengan kejadian stunting pada balita usia dibawah 5
tahun di Puskesmas Sarijadi Kota Bandung.
c. Mengetahui hubungan faktor karakteristik keluarga (pendidikan
orang tua, pekerjaan orang tua, status ekonomi) dengan kejadian
stunting pada balita usia dibawah 5 tahun di Puskesmas Sarijadi
Kota Bandung.
d. Mengetahui hubungan faktor pemberian ASI Eksklusif dengan
kejadian stunting pada balita usia dibawah 5 tahun di Puskesmas
Sarijadi Kota Bandung.
e. Mengetahui hubungan faktor status gizi (asupan energi dan
protein) dengan kejadian stunting pada balita usia dibawah 5 tahun
di Puskesmas Sarijadi Kota Bandung.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi khususnya
mengenai Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting
Pada balita usia dibawah 5 tahun di Puskesmas Sarijadi Kota Bandung.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi, informasi
mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
stunting pada balita usian dibawah 5 tahun di Puskesmas Sarijadi
kota Bandung tahun 2018.
b. Bagi Puskesmas Sarijadi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
kepada Dinas Kesehatan Kota Bandung dan khusunya untuk
Puskesmas sarijadi untuk menentukan kebijakan dan intervensi gizi
dalam upaya menanggulangan masalah tumbuh kembang anak dan
mencegah meningkatnya angka terjadinya stunting baik di
Indonesia dan khususnya di Kota Bandung Provinsi Jawa Barat.
c. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat berguna untuk menambah wawasan,
pengetahuan tentang stunting pada balita usia dibawah 5 tahun,
mampu menerapkan dan mengembangkan ilmu yang telah didapat
serta menjadi bahan masukan untuk menambah wawasan dan
diharapka peneliti selanjutnya dapat menggali lebih banyak lagi
tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan semakin
meningkatnya angka kejadian stunting.

E. Ruang Lingkup
1. Lingkup lokasi
Pelaksanaan kegiatan penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas
Sarijadi Kota Bandung.
2. Lingkup waktu
Proses penyusunan skripsi ini dilaksanakan pada bulan November
2018 sampai dengan selesai. Sedangkan survey penelitian
dilaksanakan pada tanggal 26 November – 01 Desember 2018.

Anda mungkin juga menyukai