Anda di halaman 1dari 41

Arsip, Lembaga Kearsipan dan Aspek Hukumnya di Indonesia1

Oleh :

Dr. H. Nandang Alamsah Deliarnoor, S.H., M.Hum2

Pendahuluan

Memahami arsip, lembaga kearsipan dan aspek hukumnya di Indonesia akan sangat
bermanfaat bukan hanya untuk profesi kita masing-masing tetapi bermanfaat untuk kehidupan
kita yang sesungguhnya.

Kiranya penulis tidak berlebihan bilamana mengartikan arsip sebagai bukti


pertanggungjawaban dalam hidup dan mati. Sebagai bukti pertanggungjawaban dalam hidup
mudah menjelaskannya, namun menjelaskan bukti pertanggungjawaban dalam mati harus
dengan keyakinan bahwa akan ada kehidupan lagi setelah kematian. Dan ini tentu akan ada
hubungannya dengan agama serta keyakinan masing-masing manusia. Berdasarkan keyakinan
penulis yang beragama Islam dan sesuai dengan yang diberitakan dalam kitab suci Al Qu’ran
surat Al Muddatstsir ayat 38 : “Tiap-tiap diri bertanggungjawab atas apa yang telah
diperbuatnya”, maka apa saja yang kita perbuat beserta berkas-berkas kehidupannya ternyata
akan menjadi pertanggungjawaban kita nanti setelah kematian. Selanjutnya dalam surat Al
Qiyaamah ayat 13 dinyatakan pula bahwa : “Pada hari itu diberitakan kepada manusia apa yang
telah dikerjakannya dan apa yang dilalaikannya”. Demikian pula pada surat Az Zalzalah ayat 7
dan 8 : “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat
(balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia
akan melihat (balasan)nya pula”.

Berdasarkan dalil-dalil agama yang diyakini penulis tersebut di atas yang melahirkan
batasan arsip sebagai bukti pertanggungjawaban dalam hidup dan mati tersebut di atas. Oleh

1
Disampaikan dalam rangka Seminar Nasional “Arsip Sebagai Memori Kolektif Perguruan Tinggi dan
Sumber Penelitian”, diselenggarakan oleh Arsip Universitas Gadjah Mada, 10 Desember 2011, sedikit di up date
tanggal 13 Juni 2015 untuk keperluan situs UPT Kearsipan Universitas Padjadjaran.
2
Lektor Kepala IV/c pada Prodi Ilmu Pemerintahan FISIP Unpad, Koordinator Prodi Ilmu Pemerintahan
FISIP Unpad dan sejak tanggal 10 Juni 2015 diangkat sebagai Kepala UPT Kearsipan Universitas Padjadjaran.

1
karena itu bilamana dalam hidup maupun setelah kematian ingin mendapatkan kesuksesan maka
harus memelihara arsip yang baik-baik bukan hanya memelihara arsip dengan baik. Maksudnya
arsip yang ada pada diri kita berhiaskan amalan-amalan yang baik-baik saja tidak ternoda oleh
arsip yang tidak baik.

Namun, dalam kesempatan ini penulis harus menyampaikan pendapat tentang arsip,
lembaga kearsipan dan aspek hukumnya di Indonesia yang harus terlepas dari arsip sebagai bukti
pertanggungjawaban dalam mati. Jadi penulis batasi pembicaraannya sebatas masalah arsip
sebagai bukti pertanggungjawaban dalam hidup.

Arsip dan Lembaga Kearsipan di Perguruan Tinggi

Arsip adalah rekaman kegiatan atau peristiwa dalam berbagai bentuk dan media sesuai
dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang dibuat dan diterima oleh
lembaga negara, pemerintahan daerah, lembaga pendidikan, perusahaan, organisasi politik,
organisasi kemasyarakatan, dan perseorangan dalam pelaksanaan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara, demikian bunyi Pasal 1 Angka 2 UU No. 43 Tahun 2009 Tentang
Kearsipan.
Tanpa peran lembaga dalam pelestarian arsip nampaknya akan sulit, hal ini pula yang
mendorong lahirnya lembaga kearsipan di perguruan tinggi. Lahirnya UU No. 43 Tahun 2009
membawa perubahan besar dalam perkembangan lembaga kearsipan yaitu dengan munculnya
lembaga kearsipan di perguruan tinggi. UU No. 43 Tahun 2009 Tentang Kearsipan, yang
menggantikan UU No. 7 Tahun 1971 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan
(selanjutnya penulis singkat UUBK atau Undang-undang Baru Kearsipan), meneguhkan
berdirinya lembaga baru yang bertugas melaksanakan penyelenggaraan kearsipan yaitu Arsip
Perguruan Tinggi (APT) di samping Arsip Nasional dan Arsip Daerah. Menurut UUBK, APT
adalah lembaga kearsipan berbentuk satuan organisasi perguruan tinggi, baik negeri maupun
swasta yang melaksanakan fungsi dan tugas penyelenggaraan kearsipan di lingkungan perguruan
tinggi.

Eksistensi dan urgensi Lembaga APT ini lahir disaat yang tepat ketika Perguruan-
Perguruan Tinggi berlomba untuk menjadi World Class University (WCU). Sebab, salah satu

2
instrumen yang terlupakan untuk menuju WCU adalah University Heritage. University Heritage
pertama kali dirintis di Florida state University tahun 1947 oleh Mary Lou Norwod. Tiga elemen
penting dalam University Heritage adalah Perpustakaan, Arsip Universitas/Perguruan Tinggi,
dan Museum (Machmoed Effendhie, 2009).
Maher dalam bukunya “The Management of College and University Archives”
mengatakan bahwa university archives pada dasarnya merupakan program terpadu yang terdiri
dari kebijakan, sumber daya manusia, kegiatan dan fasilitas yang tersedia untuk merawat dan
memelihara arsip dan membuat arsip yang merupakan warisan kegiatan universitas dapat diakses
dan disajikan untuk kepentingan pengguna secara mudah. Dengan demikian university archives
sebagai suatu lembaga yang mengorganisir kegiatan kearsipan baik untuk pembinaan arsip
dinamis maupun sebagai wadah untuk menyimpan arsip statis agar dapat disajikan untuk users.
Sehingga dengan melihat fungsi seperti tersebut di atas maka khasanah arsip statis dapat
dimanfaatkan secara optimal, sementara arsip dinamis yang disimpan pada masing-masing unit
kerja baik pada fakultas ataupun jurusan atau program studi dapat dikelola dengan baik.3
UUBK menyatakan bahwa penyelenggaraan kearsipan secara nasional menjadi tanggung
jawab ANRI sebagai penyelenggara kearsipan nasional. Penyelenggaraan kearsipan provinsi
menjadi tanggung jawab pemerintahan daerah provinsi dan dilaksanakan oleh lembaga kearsipan
provinsi. Penyelenggaraan kearsipan kabupaten/kota menjadi tanggung jawab pemerintahan
daerah kabupaten/kota dan dilaksanakan oleh lembaga kearsipan kabupaten/kota.
Penyelenggaraan kearsipan perguruan tinggi menjadi tanggung jawab perguruan tinggi dan
dilaksanakan oleh lembaga kearsipan perguruan tinggi.
Pembinaan kearsipan nasional dilaksanakan oleh lembaga kearsipan nasional terhadap
pencipta arsip tingkat pusat dan daerah, lembaga kearsipan daerah provinsi, lembaga kearsipan
daerah kabupaten/kota, dan lembaga kearsipan perguruan tinggi. Pembinaan kearsipan provinsi
dilaksanakan oleh lembaga kearsipan provinsi terhadap pencipta arsip di lingkungan daerah
provinsi dan lembaga kearsipan daerah kabupaten/kota. Pembinaan kearsipan kabupaten/kota
dilaksanakan oleh lembaga kearsipan kabupaten/kota terhadap pencipta arsip di lingkungan
daerah kabupaten/kota. Pembinaan kearsipan perguruan tinggi dilaksanakan oleh lembaga

3
Sumrahyadi, University Archives : suatu Kajian Awal, ANRI Jurnal Kearsipan, ISSN 1978-130X, hlm.
72.

3
kearsipan perguruan tinggi terhadap satuan kerja dan civitas akademika di lingkungan perguruan
tinggi.
Organisasi kearsipan terdiri atas unit kearsipan pada pencipta arsip dan lembaga
kearsipan. Unit kearsipan wajib dibentuk oleh setiap lembaga negara, pemerintahan daerah,
perguruan tinggi negeri, badan usaha milik negara (BUMN), dan badan usaha milik daerah
(BUMD). Lembaga kearsipan terdiri atas: a. ANRI; b. Arsip Daerah Provinsi; c. Arsip Daerah
Kabupaten/Kota; dan d. Arsip Perguruan Tinggi. Arsip daerah provinsi wajib dibentuk oleh
pemerintahan daerah provinsi, arsip daerah kabupaten/kota wajib dibentuk oleh pemerintahan
daerah kabupaten/kota, dan arsip perguruan tinggi wajib dibentuk oleh perguruan tinggi
negeri.
Perguruan tinggi negeri wajib membentuk arsip perguruan tinggi. Pembentukan arsip
perguruan tinggi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Arsip
perguruan tinggi wajib melaksanakan pengelolaan arsip statis yang diterima dari: a. satuan kerja
di lingkungan perguruan tinggi; dan b. civitas akademika di lingkungan perguruan tinggi. Selain
itu APT memiliki tugas melaksanakan: a. pengelolaan arsip inaktif yang memiliki retensi
sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun yang berasal dari satuan kerja dan civitas akademika di
lingkungan perguruan tinggi; dan b. pembinaan kearsipan di lingkungan perguruan tinggi yang
bersangkutan.
Pendanaan dalam rangka penyelenggaraan kearsipan yang diselenggarakan oleh
lembaga kearsipan nasional, lembaga negara, perguruan tinggi negeri, dan kegiatan kearsipan
tertentu oleh pemerintahan daerah dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja
Negara (APBN).
UUBK menyatakan bahwa pengelolaan arsip dinamis dilaksanakan untuk menjamin
ketersediaan arsip dalam penyelenggaraan kegiatan sebagai bahan akuntabilitas kinerja dan alat
bukti yang sah berdasarkan suatu sistem yang memenuhi persyaratan: a. andal; b. sistematis; c.
utuh; d. menyeluruh; dan e. sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria. Pengelolaan
arsip dinamis meliputi: a. penciptaan arsip; b. penggunaan dan pemeliharaan arsip; dan c.
penyusutan arsip. (3) Pengelolaan arsip dinamis pada lembaga negara, pemerintahan daerah,
perguruan tinggi negeri, serta BUMN dan/atau BUMD dilaksanakan dalam suatu sistem
kearsipan nasional. Untuk mendukung pengelolaan arsip dinamis yang efektif dan efisien
pencipta arsip membuat tata naskah dinas, klasifikasi arsip, jadwal retensi arsip, serta

4
sistem klasifikasi keamanan dan akses arsip. Pejabat atau orang yang bertanggung jawab
dalam pengelolaan arsip dinamis wajib menjaga keautentikan, keutuhan, keamanan, dan
keselamatan arsip yang dikelolanya.
Pencipta arsip wajib menyediakan arsip dinamis bagi kepentingan pengguna arsip yang
berhak. Pencipta arsip pada lembaga negara, pemerintahan daerah, perguruan tinggi negeri, dan
BUMN dan/atau BUMD membuat daftar arsip dinamis berdasarkan 2 (dua) kategori, yaitu
arsip terjaga dan arsip umum. Pencipta arsip wajib menjaga keutuhan, keamanan, dan
keselamatan arsip dinamis yang masuk dalam kategori arsip terjaga.
Lembaga negara, pemerintahan daerah, perguruan tinggi negeri, serta BUMN dan/atau
BUMD wajib memiliki Jadwal Retensi Arsip (JRA). JRA ditetapkan oleh pimpinan lembaga
negara, pemerintahan daerah, perguruan tinggi negeri, serta BUMN dan/atau BUMD.
Lembaga negara tingkat pusat wajib menyerahkan arsip statis kepada ANRI. Lembaga
negara di daerah wajib menyerahkan arsip statis kepada ANRI sepanjang instansi induknya tidak
menentukan lain. Satuan kerja perangkat daerah dan penyelenggara pemerintahan daerah
provinsi wajib menyerahkan arsip statis kepada arsip daerah provinsi. Satuan kerja perangkat
daerah dan penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten/kota wajib menyerahkan arsip statis
kepada arsip daerah kabupaten/kota. Satuan kerja di lingkungan perguruan tinggi negeri wajib
menyerahkan arsip statis kepada APT di lingkungannya. Perusahaan wajib menyerahkan arsip
statis kepada lembaga kearsipan berdasarkan tingkatannya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Arsip statis adalah arsip yang: a. memiliki nilai guna kesejarahan; dan b.
telah habis retensinya dan berketerangan dipermanenkan sesuai dengan JRA. Selain arsip statis
yang tidak dikenali penciptanya atau karena tidak adanya JRA dan dinyatakan dalam Daftar
Penemuan Arsip (DPA) oleh lembaga kearsipan dinyatakan sebagai arsip statis.
Lembaga negara, pemerintahan daerah, perguruan tinggi negeri, serta BUMN dan/atau
BUMD wajib membuat program arsip vital. Program arsip vital dilaksanakan melalui
kegiatan: a. identifikasi; b. perlindungan dan pengamanan; dan c. penyelamatan dan pemulihan.
UUBK juga menyatakan bahwa pencipta arsip yang terkena kewajiban pengelolaan arsip
dinamis berlaku bagi: a. lembaga negara; b. pemerintahan daerah; c. perguruan tinggi negeri; dan
d. BUMN dan/atau BUMD. Kewajiban pengelolaan arsip dinamis berlaku pula bagi perusahaan
dan perguruan tinggi swasta terhadap arsip yang tercipta dari kegiatan yang dibiayai dengan
anggaran negara dan/atau bantuan luar negeri.

5
Lembaga negara, pemerintahan daerah, perguruan tinggi negeri, serta BUMN dan/atau
BUMD wajib mengelola arsip yang diciptakan oleh pihak ketiga yang diberi pekerjaan
berdasarkan perjanjian kerja. Pengelolaan arsip dilaksanakan setelah pihak ketiga
mempertanggungjawabkan kegiatannya kepada pemberi kerja dan lembaga lain yang terkait.
Pihak ketiga yang menerima pekerjaan dari lembaga negara, pemerintahan daerah, perguruan
tinggi negeri, serta BUMN dan/atau BUMD berdasarkan perjanjian kerja wajib menyerahkan
arsip yang tercipta dari kegiatan yang dibiayai dengan anggaran negara kepada pemberi kerja.

Sanksi administratif suatu hal yang baru dalam UUBK yang tidak diatur oleh UU No. 7
Tahun 1971. Dari praktek di lapangan sanski administratif kadangkala lebih efektif dari pada
sanksi pidana yang merupakan ultimum remedium. Pejabat, pimpinan instansi dan/atau pelaksana
yang melanggar kewajiban-kewajiban seperti dijelaskan di atas dikenai sanksi administratif
berupa teguran tertulis. Apabila selama 6 (enam) bulan tidak melakukan perbaikan, pejabat
dan/atau pelaksana dikenai sanksi administratif berupa penundaaan kenaikan gaji berkala untuk
paling lama 1 (satu) tahun. Apabila selama 6 (enam) bulan berikutnya tidak melakukan
perbaikan, pejabat dan/atau pelaksana dikenai sanksi administratif berupa penundaan kenaikan
pangkat untuk paling lama 1 (satu) tahun. Demikian seterusnya sampai yang tertinggi adalah
dikenai sanksi administratif berupa pembebasan dari jabatan.
Sanksi pidana yang berhubungan erat dengan eksistensi dan urgensi APT hanya dua dari
delapan pasal yang mengatur sanksi pidana, yaitu bagi Pejabat yang dengan sengaja tidak
melaksanakan pemberkasan dan pelaporan dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Demikian
pula pejabat yang tidak mempunyai Jadwal Retensi Arsip di instansinya in casu perguruan
tinggi, sehingga sengaja memusnahkan arsip di luar prosedur yang benar dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah) juga.
Menjadi pertanyaan mengapa demikian penting perguruan tinggi menjadi lembaga
kearsipan dewasa ini. Menurut Machmoed Effendhie (2009), APT akan membantu institusi
perguruan tinggi dalam mempertahankan dan menumbuh-kembangkan misi edukasi yang
dilakukan oleh perguruan tinggi yang dilandasi oleh Tri Dharma Perguruan Tinggi (pendidikan
dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat), serta mengelola dan menyelamatkan

6
arsip yang berkaitan dengan Pendidikan dan pengajaran, Penelitian dan Pengabdian Kepada
Masyarakat. Selain itu APT akan :
1. Mendukung dan memfasilitasi administrasi PT dan pengembangannya;
2. Menentukan dan menjamin bahwa institusi menciptakan bukti kegiatan dan transaksi, dan
menyediakan akses terhadap bukti tersebut bagi pengguna (internal dan eksternal);
3. Memelihara bukti kegiatan dan transaksi institusi;
4. Mendukung pendidikan dan mempertinggi mutu pengajaran;
5. Mendukung penelitian fakultas, lembaga penelitian, pusat studi, civitas akademika,
alumni, publik melalui akses informasi kearsipan;
6. Memperkenalkan penemuan dan diseminasi pengetahuan melalui public servicing.
(Machmoed Effendhie : 2009).

Menurut Drs. Mustari Irawan MPA., salah seorang Direktur di ANRI waktu itu (saat
dimuat tulisan ini sudah menjadi Kepala ANRI) dan anggota Tim RUU Kearsipan Baru (UU No.
43 Tahun 2009), universitas sebagai sebuah institusi dituntut untuk menjalankan
penyelenggaraan kearsipan sebagai penerapan prinsip Good and Clean Government yang
transparan dan akuntabel. Selanjutnya Mustari menjelaskan saat uji publi RUU Kearsipan ini
bahwa penyusunan RUU ini dilatarbelakangi oleh pengelolaan arsip yang belum terwujud
dengan baik di lembaga negara dan pemerintahan (in casu Perguruan Tinggi, pen). Pengelolaan
arsip ini perlu diatur dalam undang-undang agar dapat menciptakan masyarakat yang sejahtera,
penyelamatan kedaulatan negara dan perlindungan hak asasi dan hak keperdataan masyarakat.
RUU ini memberi ruang gerak yang lebih luas bagi masyarakat untuk lebih berperan dalam
pengelolaan arsip.4

Demikian pula dengan kekayaan jenis arsip yang berada di Perguruan Tinggi merupakan
salah satu alasan yang menurut penulis mengharuskan APT lahir dan eksis. Menurut penulis
universitas memiliki peran yang sangat penting berkaitan dengan kearsipan ini. Antara lain,
mengelola arsip universitas, khususnya yang berkaitan dengan karya intelektual, menyiapkan

4
Berita Unpad.ac.id, 4/08, Arsip Universitas, Elemen Penting Menjadi Universitas Kelas Dunia,
04 Agustus 2009 dilaporkan oleh Marlia.

7
sumber daya manusia di bidang kearsipan, membuat kebijakan yang berkaitan dengan arsip
karena sering diminta untuk membuat naskah akademik5.
Arsip yang layak untuk disimpan pada university archives adalah sebagai berikut6 :
1. Arsip tentang pendirian perguruan tinggi, status, visi dan misi, sejarah pendirian fakultas,
jurusan dan lainnya;
2. Arsip tentang hasil rapat dan notulen dari kegiatan universitas atau fakultas;
3. Arsip korespondensi dari rector, dekan atau pengambil keputusan lainnya termasuk laporan
tahunan;
4. Arsip akademis mahasiswa;
5. Hasil penelitian ilmiah dan kegiatan pengabdian masyarakat;
6. Ringkasan anggaran dan laporan keuangan;
7. Publikasi perguruan tinggi seperti brosur, leaflet, jadwal pengajaran, kurikulum, dan
persyaratan kelulusan;
8. Direktori berupa nama dan alamat serta keterangan lainnya dari fakultas, staf, mahasiswa
dan alumni;
9. Newsletter, jurnal ilmiah dan terbitan intern lainnya;
10. Arsip Pribadi (manuskrip) tentang sejarah dan tokoh dari perguruan tinggi yang
bersangkutan. Untuk jenis ini secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi beberapa
kategori yaitu koleksi perorangan yang masih berhubungan dengan universitas seperti dari
anggota fakultas, staf, mahasiswa atau alumni. Jenis lain adalah koleksi perorangan yang
tidak berhubungan secara langsung dengan universitas tetapi pernah melakukan kerjasama
dengan universitas. Atau dapat juga koleksi perorangan yang berasal dari luar universitas
tetapi karena pertimbangan tertentu sehingga dapat dikelompokkan sebagai arsip pribadi
universitas.
Machmoed Effendhie7 (Kepala Arsip Universitas Gadjah Mada, 2009) menguraikan
jenis-jenis arsip perguruan tinggi khususnya di Universitas Gadjah Mada yang dapat
diklasifikasikan ke dalam :

5
Nandang Alamsah Deliarnoor, Peran Perguruan Tinggi Dalam Penyelamatan Arsip Karya
Intelektual, di sampaikan di Bale Rumawat Unpad, 4 Agustus 2009.
6
Sumrahyadi, Ibid, hlm. 73.
7
Ibid.

8
1. Official archives, yaitu: keputusan-keputusan yang bersifat mengatur, perjanjian-
perjanjian kerja sama, laporan tahunan, Arsip Staff , Arsip Mahasiswa, Arsip
Scholarship, arsip Research Grant, Dokumen-dokumen resmi, Arsip committee dan
Board Papers (Majelis Wali Amanah, Senat Akademik, Majelis Guru Besar, Dewan
Penyantun, dll), Kebijakan dan Prosedur, Arsip Vital (yang menyangkut aset
universitas), dll.
2. Personal papers: research documents, speeches (naskah- naskah pidato), pidato,
makalah akademik, laporan penelitian, skripsi, tesis, disertasi, dll.
3. Reference Collection: kalender akademik, buku-buku panduan akademik, buku-buku
statistik, dll.
4. Aniversary archives: arsip-arsip Dies Natalis, Wisuda, dll.
5. Club/societies archives: dosen dan karyawan (olahraga, kesenian, sosial, dll);
Mahasiswa (organisasi kemahasiswaan, olah raga, kesenian, pramuka, Menwa,
Kopma, dll).
6. Publication archives: majalah, jurnal, poster yang dikeluarkan oleh mahasiswa,
dosen, maupun institusi, kliping.
7. Academic Archives: kemahasiswaan (student affairs), minute, silabi, fakultas vitae,
soal ujian; mengundurkan diri mahasiswa, berhenti, meninggal, diklat, registrasi,
jadwal kuliah, arsip non-current mahasiswa, arsip pendadaran, dan arsip lainnya
yang dikeluarkan secara akademis.
8. Oral Historical Project: Program ini diarahkan untuk melengkapi koleksi Arsip
Universitas melalui wawancara Oral History. Arsip yang tersimpan dalam kelompok
ini berupa kaset rekaman (sound recording) dan transkripsinya. Adapun jenisnya bisa
berupa biografi atau tematik, sedangkan naratornya bisa mantan rektor, mantan
dekan, mantan kepala pusat studi, atau tokoh-tokoh perguruan tinggi lainnya, dll.
9. Archives in Special Format: Arsip foto, gambar teknik, kartografi, kearsitekturan,
film, video, sound recording, Art Works, ephemera, dll. (Kalau Perguruan Tinggi atau
Universitas belum memiliki museum sendiri, informasi yang terekam dalam bentuk
korporil atau benda-benda lain yang bernilai sejarah dapat dimasukkan kedala
kelompok ini sepanjang koleksinya masih sedikit. Namun kalau koleksinya sudah

9
banyak perlu dibentuk Divisi Museum sendiri dibawah Arsip Universitas, atau unit
museum sendiri yang langsung di bawah Rektor).
10. Special Collection: Arsip koleksi khusus ini dapat berupa koleksi perorangan, koleksi
institusi (misalnya Koleksi Khusus Pusat Studi Wanita), atau koleksi khusus
organisasi profesi, dll, misalnya tersimpan karya-karya akademik seseorang, termasuk
notulen rapatnya, catatan perjalanan seseorang, dll.
Sepanjang pengamatan penulis waktu itu baru Universitas Gadjah Mada yang sudah
mempunyai APT dengan Kepalanya Drs. Machmoed Effendhie, M.Hum. Di Unpad sendiri
belum dibentuk, walaupun Unpad merupakan salah satu perguruan tinggi yang memiliki
Program Diploma III tentang Kearsipan dan telah memiliki kurang lebih 20 arsiparis lulusan
Program Diploma III kearsipan FISIP Unpad, namun sampai saat tulisan ini dibuat belum
memiliki APT. Dalam praktek keperluan akan unit kearsipan datang dari kebutuhan karena
adanya “sebab” seperti karena adanya temuan Badan Pemeriksa Keuangan atau untuk kebutuhan
akreditasi.

Penulis sendiri telah diminta oleh Fakultas Psikologi Unpad untuk memberikan
keterampilan menata kearsipan bagi tenaga kependidikan di Fakultas tersebut. Dalam
kesempatan itu sekalian penulis sarankan untuk membentuk unit kearsipan. Di Tingkat
Universitas juga baru rencana untuk membenahi arsip yang berkaitan dengan pengadaan barang
dan jasa. Tentu saja penulis juga akan menyarankan untuk juga membentuk unit kearsipan.
Demikian pula di FISIP Unpad penulis sudah mendapat izin untuk membentuk unit kearsipan
FISIP Unpad yang sangat mendesak karena untuk keperluan akreditasi program studi yang nota
bene perlu di dukung arsip atau dokumen.

Mudah-mudahan bila sudah banyak unit-unit kearsipan yang terbentuk di setiap unit kerja
di Unpad ini maka APT yang diamanatkan UU No. 43 Tahun 2009 itu akan segera terbentuk.
Mungkin akan seperti ungkapan Mao Ze Dong tentang “kampung mengepung kota” dalam
pengertian dimulai dulu dengan membentuk unit kearsipan baru disusul dengan membentuk
APT.

10
Aspek Hukum Dalam Kearsipan8

Berbicara tentang aspek-aspek hukum dalam kearsipan, maka tidak kurang (minimal)
akan menemukan 10 (sepuluh) pokok bahasan sebagai berikut :

1. Sumber hukum kearsipan ;


2. Penilaian arsip yang beraspek hukum ;
3. Arsip sebagai alat bukti dan aspek yuridis perkembangan arsip elektronik ;
4. Penyusutan arsip ;
5. Otentikasi dan legalisasi arsip ;
6. Aspek yuridis dalam pengalihan dokumen ;
7. Daluwarsa arsip ;
8. Keterbukaan dan ketertutupan arsip ;
9. Menelaah arsip sebelum pengambilan keputusan dan PTUN ;
10. Sanksi dalam kearsipan.
Kesepuluh pokok bahasan di atas, sebenarnya saling kait mengkait yang sulit dipisahkan
pemahamannya. Jika salah satu aspek saja diabaikan maka akan berpengaruh terhadap aspek
yang lain. Barangkali hal ini seperti makna yang terkandung dalam kata-kata ”efek domino”.
Misalnya jika tidak mengetahui sumber hukum kearsipan maka tidak akan tahu nilai arsip itu
dari sudut hukum, demikian pula seterusnya mungkin akan berlanjut dengan tidak menangnya
perkara di pengadilan karena tidak mempunyai bukti yang otentik dan akhirnya terkena sanksi.

ANRI sendiri (tahun 2003) berpendapat bahwa apabila dipertemukan dua permasalahan
antar arsip di satu sisi dengan hukum di sisi lain, maka membahas aspek hukum kearsipan
kurang lebih adalah membahas suatu norma yang mengatur segala hal ihwal tentang arsip. Ruang
lingkup pembahasannya meliputi ”dalam diri” arsip itu sendiri dengan berbagai sifat dan

8
Pernah disampaikan dalam Pelatihan Kearsipan di lingkungan Kopertis Wilayah IV Jawa Barat dan
Banten di Pusdiklat Kopertis Wilayah IV Jatinangor, pada hari Kamis, tanggal 22 Maret 2007 atas surat permohonan
Koordinator Kopertis Wilayah IV Nomor 0309/004/TU/2007 tanggal 1 Maret 2007 dengan berbagai
penyempurnaan karena lahirnya UUBK.

11
konsekuensi yang melingkupinya, serta norma-norma pengaturan apa yang terkait dengan cara-
cara memperlakukan arsip sebagai sesuatu yang bernilai.9

Terhadap arsip itu sendiri, tinjauan dari aspek hukum yang perlu dibahas antara lain
adalah 10:

a. Sifat informasi yang terkandung dalam arsip, sering mengemuka sebagai permasalahan
kerahasiaan arsip, yang antara lain meliputi : arsip yang diklasifikasikan rahasia, tingkat
kerahasiaannya, cara mengakses, pengelola arsip yang dirahasiakan, serta sanksi hukum
terhadap pelanggaran yang ada.
b. Kekuatan arsip sebagai alat bukti, membahas tentang pemanfaatan arsip sebagai alat
untuk membuktikan adanya suatu kegiatan secara benar.
c. Alih media, meliputi : pemilihan arsip yang dialihmediakan, bagaimana proses alih media
(secara yuridis) dan bagaimana status arsip yang dialihmediakan.
d. Pemusnahan dan penyerahan arsip.
Pemahaman aspek hukum kearsipan di atas disempurnakan kembali oleh ANRI (tahun
2004) yang menyatakan bahwa pembahasan masalah kearsipan yang terkait dengan aspek hukum
dilakukan terhadap hal-hal menyangkut arsipnya itu sendiri maupun sumber daya pendukung
kearsipan. Untuk itu hukum kearsipan dapat disebutkan sebagai norma-norma yang mengatur
segala hal ihwal yang berkaitan dengan arsip.11

Adapun aspek-aspek yang perlu mendapat perhatian adalah sebagai berikut 12:

1. Menyangkut arsipnya, mencakup hal-hal :


a. Keabsahan :
1) Otentisitas dan reliabilitas arsip, baik bermedia kertas, media baru, elektronik, dll.
2) Legalitas terhadap arsip kertas, foto, pita, film, cd,elektronik, dll.
b. Arsip sebagai alat bukti (di pengadilan) : terhadap arsip kertas, foto, pita, film, cd,
elektronik, dll.

9
ANRI, Modul Kearsipan dan Hukum, Edisi Pertama, Diterbitkan oleh Arsip Nasional Republik Indonesia,
,Jakarta, 2003, hlm. 5.
10
Ibid, hlm. 6
11
ANRI, Modul Aspek Hukum Pengelolaan Arsip Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi,
Diterbitkan oleh Arsip Nasional Republik Indonesia, Bogor, 2004, hlm. 6.
12
Ibid, hlm. 7.

12
c. Akses informasinya : kerahasiaannya, ketertutupan.
d. Fungsi sebagai bahan pertanggungjawaban : terhadap arsip dinamis, arsip statis, oleh
lembaga dan dalam rangka kegiatan pemerintah maupun swasta.
e. Hak atas kekayaan intelektualnya.
2. Sumber daya pendukung kearsipan, mencakup : sumber daya manusia, sarana prasarana,
lembaga, terutama yang berpengaruh secara langsung terhadap arsip, sebagaimana
disebutkan pada angka 1.
Menurut penulis sendiri hukum kearsipan itu adalah seperangkat asas-asas dan kaidah-
kaidah termasuk institusi dan proses untuk mewujudkannya dalam kenyataan, segala hal yang
bersangkutpaut dengan arsip yang dihasilkan instansi Pemerintah, Swasta maupun Perorangan.

Dengan demikian karena pentingnya aspek-aspek hukum dalam kearsipan ini merupakan
salah satu muatan penting kurikulum Program pendidikan kearsipan, baik setara Diploma III
maupun IV. Di Universitas Padjadjaran sendiri sudah diajarkan dari sejak tahun 1995 pasca
pertemuan 5 (lima) Perguruan Tinggi Negeri yang menyelenggarakan pendidikan kearsipan di
Indonesia yaitu UI, UGM, UNDIP, UNHAS dan UNPAD di Hotel Safari Garden Cisarua Bogor,
tepatnya dua tahun sejak pendiriannya Program Diploma III Kearsipan FISIP UNPAD yang
merupakan kerjasama dengan Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat. Kelima perguruan tinggi
tersebut sepakat untuk memunculkan mata kuliah yang membahas kaitan antara hukum dan
arsip. Penulis kebetulan ditugasi untuk menjadi ”pengampu” mata kuliah ini dengan nomenklatur
”Hukum Kearsipan”. Jadi sudah lebih dari 16 (enambelas) tahun penulis mendalami aspek-
aspek hukum dalam kearsipan ini. Hasil pengkajian penulis itu sebagian ada yang sudah
diterbitkan oleh Universitas Terbuka tahun 2001 (6 BAB) dengan judul ”Aspek Hukum Dalam
Kearsipan”. Sedangkan untuk keperluan pengajaran di UNPAD penulis juga sudah menerbitkan
buku dengan judul ”Hukum Kearsipan” yang terbit pertama tahun 2001 (6 BAB) dan cetakan
kedua Februari 2006 ini (14 BAB).

Dengan latar belakang pendidikan penulis dalam bidang hukum ketatanegaraan, penulis
mengidentifikasi hukum kearsipan ini sebagai bagian dari hukum administrasi negara. Lembaga

13
Administrasi Negara memberikan ruang lingkup hukum administrasi negara itu sebagai berikut
13
:

a. Ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang sistem dan proses administrasi negara,
baik dalam keadaan diam maupun dalam keadaan bergerak, yang mencakup bidang-bidang
hukum mengenai :
1. Kelembagaan Negara, mencakup dimensi-dimensi hukum dari pengaturan atau penataan
kelembagaan negara dalam suatu sistem administrasi negara, meliputi pengaturan
hukum mengenai kedudukan, kewenangan, fungsi dan hubungan intra maupun antar
tiga kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif.
2. Pengelolaan Pemerintahan Negara, mencakup pengaturan proses pengelolaan
(manajemen) pemerintahan negara atau “rumah tangga negara”, mengenai negara dalam
keadaan bergerak, baik dalam hubungan internal seperti administrasi kepegawaian
negara, administrasi keuangan, manajemen materiil, manajemen informasi dan
sebagainya, maupun eksternal seperti manajemen kebijakan publik, manajemen
pelayanan publik, manajemen perekonomian negara, manajemen pembangunan dan
sebagainya.
3. Tata Usaha Negara, mencakup pengaturan atau penataan kegiatan ketatausahaan yang
dilakukan secara rutin dalam mendukung kegiatan pengelolaan pemerintahan negara,
seperti administrasi kesekretariatan, administrasi perkantoran, sistem dokumentasi dan
sebagainya.
b. Ketentuan-ketentuan administrasi negara sebagai sistem kerjasama rasional dan manusiawi
dalam mewujudkan tujuan bersama dalam bernegara atau sebagai sistem penyelenggaraan
negara yang pada dasarnya adalah keseluruhan kegiatan memformulasikan substansi
kebijakan publik dalam peraturan perundang-undangan, meliputi normatifikasi, legalisasi
hingga tahapan implementasi dan pengawasannya. Produk-produk hukum tersebut berisikan
materi-materi yang mencakup pengaturan mengenai kebijakan publik, perencanaan,
pembiayaan, yang pada dasarnya merupakan pengaturan mengenai sistem dan proses
manajemen pemerintahan.

13
KUHAN Buku 1 Pokok-Pokok (Prinsip-Prinsip) Hukum Administrasi Negara, LAN 2010, hlm.11-12.

14
Berdasarkan ruang lingkup di atas maka hukum kearsipan inherent dalam pengaturan
sistem dan proses administrasi negara khususnya dalam tata usaha negara yang mencakup
pengaturan atau penataan kegiatan ketatausahaan yang dilakukan secara rutin dalam mendukung
kegiatan pengelolaan pemerintahan negara, seperti administrasi kesekretariatan, administrasi
perkantoran dan sistem dokumentasi.

Sumber Hukum Kearsipan

Sumber hukum adalah faktor-faktor yang dapat menimbulkan atau merupakan dasar dari
berlakunya suatu hukum positif. Faktor-faktor tersebut macam-macam, dapat berupa kesejarahan
(historis), filosofis, sosiologis, materil dan formal. Salah satu bentuk sumber hukum formal
adalah peraturan perundang-undangan. Adapun peraturan perundang-undangan di bidang
kearsipan yang perlu mendapat perhatian adalah :14

1. UU No. 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan.


2. UU No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan.
3. Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1979 tentang Penyusutan Arsip.
4. Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penyerahan Dan
Pemusnahan Dokumen Perusahaan.
5. Peraturan Pemerintah No. 88 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pengalihan Dokumen
Perusahaan Ke Dalam Mikrofilm Atau Media Lainnya Dan Legalisasi.
6. Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1974 tentang Arsip Nasional Republik Indonesia.
7. Surat Edaran No. SE/01/1981 tentang Penanganan Arsip Inaktif Sebagai Pelaksanaan
Ketentuan Peralihan Peraturan Pemerintah Tentang Penyusutan Arsip.
8. Surat Edaran No. SE/02/1983 tentang Pedoman Umum untuk Menentukan Nilaiguna
Arsip.
Di luar ketentuan di atas sebenarnya masih banyak peraturan yang ada sangkut pautnya
dengan kearsipan seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (WvS), Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (BW), Kitab Undang-undang Hukum Dagang (WvK), Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (UU No. 8 Tahun 1981), Herziene Inlands Reglement (HIR), UU No. 5

14
Nandang Alamsah Deliarnoor, Hukum Kearsipan, Bandung : P4H, 2006, hlm. 21-25.

15
Tahun 1986 tentang PTUN Jo. UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 5 Tahun 1986,
UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, UU No. 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi
Publik, UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, dan lain-lain.

Penilaian Arsip yang Beraspek Hukum

Tidak semua berkas/dokumen adalah arsip. Justru permasalahan pokok dibidang


kearsipan ialah menemukan atau memilih secara cermat dan tepat, dari setumpuk
berkas/dokumen yang dibuat atau diterima, kemudian disortir berkas/dokumen mana saja yang
dapat digolongkan sebagai arsip dan mana yang non arsip.

Dengan pernyataan ini, tanpa sadar bahwa bidang kearsipan sekaligus dihadapkan pada
dunia nilai. Berkas/dokumen yang bernilai guna akan disimpan, sedangkan yang tidak bernilai
guna akan dimusnahkan. Oleh karena itu kearsipan adalah merupakan rangkaian mekanisme
yang berkesinambungan sejak dalam bentuk verbal tataberkas/file, arsip semistatis sampai
menjadi arsip statis yang harus diserahkan kepada Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).

Menurut Moeftie Wiriadihardja,15 Penilaian arsip ini adalah tugas yang paling sulit
dalam ilmu pengetahuan kearsipan. Penulis lain yaitu Morris Rieger menyatakan bahwa:
“menentukan nilai arsip adalah suatu tindak mengadili dan oleh karena itu sedikit banyak
tentunya mengandung sifat subyektif”.

Menurut Petunjuk Penyusunan Jadwal Retensi Arsip Dari ANRI Tanggal 10 Nopember
1977, kesukaran melakukan penilaian arsip ini disebabkan oleh:

1. Arsip-arsip/berkas arsip yang akan dinilai mempunyai sifat yang beraneka ragam. Ada
beberapa arsip yang bersifat tunggal dalam arti bahwa arsip yang bersangkutan
mempunyai nilai kegunaan terlepas daripada kaitannya dengan arsip-arsip/berkas lainnya.
Di samping itu ada beberapa arsip yang baru bernilai jika terhimpun dalam satu berkas
dengan arsip-arsip lainya yang masalahnya sama.

15
Moeftie Wiriadihardja, Beberapa Masalah Kearsipan Di Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1987, hlm. 8.

16
2. Di samping itu suatu arsip/sekelompok arsip mempunyai bermacam-macam nilai
kegunaan baik bagi kepentingan organisasi pencipta arsip (nilai primer) maupun nilai
kegunaan bagi kepentingan lainnya (nilai sekunder).
Sedangkan menurut Moeftie Wiriadihardja,16 kesulitan menilai arsip ini disebabkan
oleh karena pertama ukuran kepentingan bagi Unit Organisasi yang satu dengan yang lain,
sangat berbeda. Keduanya, masalah nilai adalah masalah ideal yang harus dihayati, karenanya
bersifat tergantung pada pengetahuan dan pengalaman masing-masing penilai secara individu.

Berdasarkan Surat Edaran Kepala ANRI No. SE/02/1983 Tentang Pedoman Umum
Untuk Menentukan Nilai Guna Arsip, yang dimaksud Nilaiguna arsip ialah nilai arsip yang
didasarkan pada kegunaannya bagi kepentingan pengguna arsip. Ditinjau dari kepentingan
pengguna arsip, nilaiguna arsip dapat dibedakan menjadi nilaiguna primer dan nilaiguna
sekunder. Nilaiguna primer adalah nilai arsip yang didasarkan pada kegunaan arsip bagi
kepentingan lembaga/instansi pencipta arsip. Nilaiguna primer meliputi:

a. Nilaiguna administrasi,
b. Nilaiguna hukum,
c. Nilaiguna keuangan,
d. Nilaiguna ilmiah dan teknologi.
Menurut Wursanto,17 arsip mempunyai nilaiguna hukum apabila berisikan bukti-bukti
yang mempunyai kekuatan hukum atas hak dan kewajiban warganegara dan pemerintah. Arsip-
arsip yang bernilaiguna hukum, antara lain adalah arsip-arsip yang berisikan
Keputusan/Ketetapan, perjanjian, bahan-bahan bukti Peradilan dan lain sebagainya. Nilai
kegunaan hukum mengandung pengertian arsip-arsip yang memberikan informasi yang dapat
digunakan sebagai bahan pembuktian di bidang hukum; atau arsip-arsip yang mengandung hak-
hak baik jangka pendek maupun jangka panjang dari pemerintah atau swasta yang diperkuat oleh
pengadilan. Misalnya arsip-arsip yang menyangkut hak patent, kontrak, sewa beli dan masih
banyak lainya. Kegunaaannya akan berakhir apabila urusannya telah selesai, telah daluwarsa
atau oleh karena sesuatu ketentuan dalam peraturan perundangan. Selain itu arsip-arsip masalah
mengenai hukum, terutama yang menyangkut memoranda hukum, pendapat-pendapat dan

16
Ibid.
17
Ig. Wursanto, Himpunan Peraturan Perundangan Tentang Kearsipan, Kanisius, Jakarta, 1991, hlm. 70.

17
interprestasinya, arsip-arsip mengenai pendelegasian wewenang, dan arsip-arsip lainnya yang
memberikan keterangan mengenai latar belakang keputusan-keputusan hukum, merupakan salah
satu contoh arsip yang bernilai permanen.

Menurut penulis sendiri, arsip bernilai guna hukum apabila arsip tersebut merupakan
perwujudan/hasil dari adanya peristiwa hubungan hukum antara subyek hukum tertentu
yang menyangkut obyek hukum tertentu. Hubungan hukum artinya hubungan-hubungan yang
diatur oleh hukum dan mempunyai akibat hukum. Contoh hubungan hukum adalah jual beli,
sewa menyewa, tender, perjanjian, keputusan pengangkatan pegawai dan lain-lain. Subyek
hukum adalah pendukung hak dan kewajiban in casu manusia atau badan hukum. Obyek hukum
adalah sesuatu yang berguna bagi subyek hukum seperti benda, barang-barang immateril dan
prestasi.18

Arsip sebagai Alat Bukti dan Aspek Yuridis Perkembangan Arsip Elektronik

Dalam perkara perdata, perkara pidana, perkara tata usaha negara, maupun perkara di
Mahkamah Konstitusi bukti surat (in casu arsip) diakui sebagai alat bukti. Kekuatan alat bukti
surat ini menurut hukum yang berlaku adalah tidak sama, karena ada perbedaan antara kekuatan
pembuktian yang berupa surat biasa dan surat yang dikategorikan dengan “akta”. Akta juga ada
yang otentik dan ada juga akta di bawah tangan. Oleh karena itu sebelum menunjukkan dasar
hukum bahwa arsip itu sebagai alat bukti terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai pengertian
akta itu sendiri.

Akta ialah surat yang berisi pernyataan/janji/peristiwa yang ditandatangani oleh yang
menyatakan/berjanji/menyaksikan, yang dibuat untuk alat bukti dalam proses hukum. Dua hal
penting mengenai akta ialah:

1. Ditandatangani

2. Dibuat untuk alat bukti.19

18
Prestasi artinya menyerahkan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.
19
Effendi Perangin dan Nandang Alamsah D., Ketrampilan Membuat Akta Perjanjian & Dokumen
Lainnya, CLTC, Jakarta, 1991, hlm. 3-7.

18
Menurut Pasal 1868 BW, suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang
ditentukan dalam undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berkuasa
untuk itu di tempat di mana akta itu dibuat. Singkatnya, akta otentik:

1. Dibuat oleh pejabat umum;


2. Dalam bentuk yang ditentukan UU;
3. Di tempat di mana pejabat itu berwenang membuat akta itu.
Siapa pejabat umum itu? Pejabat umum itu antara lain:20

1. Notaris
2. Hakim
3. Panitera Pengadilan Negeri
4. Juru Sita di Pengadilan Negeri
5. Pegawai Kantor Catatan Sipil
6. Juru Lelang
7. Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Bentuk akta masing-masing pejabat itu ditentukan oleh UU atau peratutran perundang-
undangan yang lain.

Tempat akta otentik itu dibuat harus dalam wilayah kekuasaan pejabat itu. Notaris yang
diangkat untuk wilayah Jakarta, tidak boleh membuat akta di Surabaya. Juru Sita di Pengadilan
Negeri Medan tidak boleh membuat Berita Acara Sita Jaminan di Bogor.

Kekuatan pembuktian akta otentik adalah sempurna (Pasal 165 HIR dan Pasal 1870
BW). Sempurna bagi siapa?

1. Para Pihak.
2. Ahli waris para pihak.
3. Orang yang mendapat hak dari masing-masing pihak.
Terhadap orang lain (pihak ketiga), kekuatan pembuktian akta otentik: bebas. Kekuatan
pembuktian sempurna, berarti : jika kepada hakim diberikan akta itu sebagai bukti, maka
hakim harus menerimanya sebagai bukti yang cukup: tidak perlu bukti lainnya. Kekuatan

20
Ibid., hlm. 4.

19
pembuktian bebas, berarti: jika kepada hakim diberikan akta sebagai bukti, maka hakim
boleh menerimanya atau menolaknya sebagai bukti yang cukup.

Sedangkan yang dimaksud dengan akta bawah tangan adalah akta yang boleh dibuat oleh
siapa saja, bentuknya bebas dan di mana saja. Kekuatan pembuktian akta bawah tangan adalah
sempurna kalau diakui para pihak (ps 1, b staatsblad 1967 No. 29 dan ps.1875 BW). Supaya
memperoleh kekuatan pembuktian yang sempurna, akta bawah tangan harus diakui para pihak.
Akta otentik tidak perlu pengakuan para pihak; dengan sendirinya mempunyai kekuatan
pembuktian sempurna.

Kekuatan pembuktian sempurna, tidak berati tidak dapat dibantah. Jika ada bukti
sebaliknya yang kuat, yang dapat diterima hakim, maka kekuatan pembuktian itu dapat
dihancurkan. Contoh: Dalam surat kuasa notariil disebut bahwa A hadir didepan notaris dan
memberi kuasa memasang hak tanggungan kepada BRI. Ternyata A tidak pernah hadir di depan
notaris pada tanggal yang disebut dalam surat kuasa itu. Jika A berhasil membuktikan bahwa
pada tanggal itu ia berada di New York misalnya, maka kekuatan pembuktian akta notaris itu
hancur.

Perbedaan antara akta otentik dengan akta di bawah tangan:

No. Akta otentik Akta di Bawah Tangan

1. Bentuknya ditentukan UU Bentuknya bebas

2. Dibuat oleh pejabat umum Dibuat oleh siapa saja asal


berwenang

3. Mempunyai pembuktian Baru mempunyai


sempurna, artinya jika akte pembuktian sempurna jika
dijadikan bukti maka akte diakui oleh pihak lawan.
itu dianggap benar isinya, Jika ditolak atau diingkari
tanggalnya, dan tanda maka yang harus
tangannya. Jika ada membuktikan adalah orang
bantahan maka orang yang yang membuat akte di
membantah itu yang harus bawah tangan itu.
membuktikannya sendiri.

20
Selanjutnya dasar-dasar hukum yang menunjukkan bahwa arsip itu sebagai alat bukti,
dalam perkara perdata diatur dalam Pasal 164 HIR, Pasal 284 R.Bg dan Pasal 1866 BW, sebagai
berikut:21

1. Bukti Surat.
2. Bukti Saksi.
3. Persangkaan-persangkaan.
4. Pengakuan.
5. Sumpah.
Sedangkan alat-alat bukti dalam perkara pidana diatur menurut Pasal 184 KUHAP
sebagai berikut :

1. Keterangan saksi;
2. Keterangan ahli;
3. Surat;
4. Petunjuk;
5. Keterangan terdakwa.

Dalam Peradilan TUN alat-alat bukti diatur dalam Pasal 100 UU No. 5 Tahun 1986
tentang PTUN. Pasal 100 Undang-undang ini merinci alat-alat bukti secara limitatif sebagai
berikut :22

(1) Alat bukti ialah :


a. surat atau tulisan;
b. keterangan ahli;
c. keterangan saksi;
d. pengakuan para pihak;
e. pengetahuan hakim.
(2) Keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan.

21
Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 1986, hlm.65.
22
Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku II Beracara
Di Pengadilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996, hlm. 199-200.

21
Perkembangan terakhir adalah adanya Undang-undang No. 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstitusi. Dalam Pasal 36 ayat (1) Undang-undang ini menyebutkan:

(1) Alat bukti ialah:

a. Surat atau tulisan;

b. Keterangan saksi;

c. Keterangan ahli;

d. Keterangan para pihak;

e. Petunjuk; dan

f. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan
secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.

Dengan demikian jika dirinci peraturan tentang pembuktian yuridis itu dapat kita
dapatkan dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW), HIR atau R.Bg, Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana atau Undang-undang No. 8 Tahun 1981,Undang-undang No. 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Undang-undang No. 24 Tahun 2003
Tentang Mahkamah Konstitusi.

Di samping peraturan perundang-undangan di atas, ternyata khusus untuk arsip


elektronik ada pengaturan tambahan yang disinyalir sebagai antisipasi terhadap perkembangan
Zaman, yaitu Undang-undang No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan atau disingkat
UUDP. Selanjutnya diperjelas lagi dengan keluarnya Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan
dari UUDP itu yaitu PP No. 88 tahun 1999 tentang Tata Cara Pengalihan Dokumen Perusahaan
Ke Dalam Mikrofilm atau Media Lainnya Dan Legalisasi.

Perkembangan arsip elektronik menjadi alat bukti yang sah ini dimulai dari adanya Pasal
41 Keputusan Menteri Keuangan No. 245/KM.1/1979 nilai salinan photo-copy, microfilm dan
sebagainya, diakui dalam komunikasi administrasi, hanya sebagai petunjuk tentang adanya
arsip/dokumen aslinya dan tidak mempunyai nilai pembuktian atau tidak secara langsung dapat
mengakibatkan pengeluaran uang.

Kemudian pada tanggal 14 Januari 1988 keluar pendapat resmi Mahkamah Agung
Republik Indonesia bahwa microfilm atau microfiche dapat digunakan sebagai alat bukti yang

22
sah dalam perkara pidana di Pengadilan menggantikan alat bukti surat sebagaimana tercantum
dalam Pasal 184 ayat (1) sub c KUHAP, dengan catatan bahwa baik microfilm maupun
microfiche itu sebelumnya dijamin otentikasinya yang dapat ditelusuri kembali dari registrasi
maupun berita acaranya. Terhadap perkara perdata berlaku pula pendapat yang sama.

Keluarnya Undang-undang No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan yang


berdasarkan Pasal 28 Ayat (3)nya menyebutkan bahwa eksistensi Undang-undang tersebut dapat
juga berlaku bagi Lembaga atau Instansi Pemerintah disamping Perusahaan. Oleh karena itu
Undang-undang tersebut dapat dipakai sebagai rujukan oleh semua pihak untuk menyikapi
persoalan status arsip modern sebagai alat bukti yang sah di Pengadilan.

Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) Undang-undang No. 8 Tahun 1997 di atas, disebutkan
bahwa Dokumen perusahaan yang telah dimuat dalam mikrofilm atau media lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan atau hasil cetaknya merupakan alat bukti
yang sah.

Kemudian dalam Pasal 5 Undang-undang ITE telah menjawab secara tegas bahwa
informasi maupun dokumen elektronik merupakan bukti hukum yang sah. Pasal 5 ayat (1)
menyatakan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya
merupakan alat bukti hukum yang sah. Ayat (2)nya menyatakan bahwa Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di
Indonesia. Selanjutnya ayat (3) menyatakan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam Undang‐Undang ini. Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
a. surat yang menurut Undang‐ Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan
b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang‐ Undang harus dibuat dalam bentuk
akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Demikian pula dalam Pasal 24 UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik
ditegaskan kembali bahwa dokumen, akta, dan sejenisnya yang berupa produk elektronik atau
nonelektronik dalam penyelenggaraan pelayanan publik dinyatakan sah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.

23
Bahkan dalam Rancangan Undang-undang Administrasi Pemerintahan pengiriman
Keputusan Pemerintahan oleh Badan atau Pejabat Pemerintahan melalui media elektronis
diperbolehkan jika anggota masyarakat dan Badan Hukum memiliki akses untuk menerima dan
membuka secara elektronis keputusan tersebut. Bentuk cetak tertulis sebuah Keputusan
Pemerintahan dapat diganti dengan bentuk elektronis, jika tidak ada ketentuan perundang-
undangan yang melarangnya atau mengatur lain. Keputusan Pemerintahan yang berbentuk
elektronis berkekuatan hukum sama dengan Keputusan Pemerintahan yang tertulis dan berlaku
sejak diterimanya keputusan tersebut oleh pihak yang bersangkutan. Keputusan Pemerintahan
dalam bentuk elektronis diikuti dengan pengiriman keputusan asli baik dari Badan atau Pejabat
Pemerintahan selambatlambatnya 15 (limabelas) hari sejak tanggal pengiriman melalui media
elektronik.

Penyusutan Arsip

Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1979 tentang Penyusutan Arsip,
Penyusutan arsip itu adalah kegiatan pengurangan arsip dengan cara :

1. Memindahkan arsip inaktif dari Unit Pengolah ke Unit Kearsipan dalam lingkungan
Lembaga-Lembaga Negara atau Badan-badan Pemerintahan masing-masing.
2. Memusnahkan arsip sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku,
3. Menyerahkan arsip statis oleh Unit Kearsipan kepada Arsip Nasional.
Sebelum lahirnya UUDP hanya cara kedua yang diatur oleh PP 34 di atas yang masih
mengandung permasalahan yuridis. Hal ini berdasarkan pendapat bahwa suatu larangan yang
dicantumkan dalam Undang-undang hanya dapat ditiadakan oleh Undang-undang lagi yang
tingkatannya sederajat. Jelasnya pasal-pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan
Undang-undang Ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan yang mewajibkan penyelamatan arsip,
bahwa dapat dibenarkan penyimpangannya bilamana dalam Undang-undang itu sendiri diatur
klausula penyimpangannya. Sedangkan dalam Undang-undang klausula seperti itu tidak ada dan
peraturan-peraturan yang menjadi dasar pemusnahan arsip tersebut di atas, tingkatannya di
bawah Undang-undang yaitu PP 34 tersebut.

24
Tetapi sejak keluarnya Undang-undang No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan
maka semua permasalahan di atas menjadi tidak berarti lagi, sebab Undang-undang baru ini
mengatur jelas tentang pemusnahan arsip ini dalam Pasal 17, 18, 19, 20, 21, dan Pasal 22.
Dengan demikian ada semacam lex posteriore derogat legi priori. Menurut Undang-undang baru
ini ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyerahan dan pemusnahan dokumen perusahaan
diatur dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintahnya adalah Peraturan Pemerintah No.
87 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Penyerahan dan Pemusnahan Dokumen Perusahaan.

Selain itu menurut penulis pasca lahirnya UUDP cara penyusutan arsip ini bertambah
satu yaitu dengan cara mengalihkan arsip tekstual/dokumen ke dalam media arsip modern.
Aspek yuridis pengalihannya akan di uraikan di bawah ini. Tetapi sebelumnya harus mengetahui
dulu pengertian otentikasi dan legalisasi.

Otentikasi dan Legalisasi Arsip

Otentikasi adalah berkas/dokumen yang dianggap memberi nilai pembuktian yang


sempurna dalam komunikasi administrasi kedinasan karena cara pembuatannya menurut dan
oleh Pejabat yang ditentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Contoh: Surat
Keputusan Ganti Rugi, ditentukan otentikasinya harus dibuat oleh Pejabat sekurang-kurangnya
eselon II dan harus ditandatangani sendiri (eigenhandig getekend).23

Pemahanan otentikasi ini tidak bisa dipisahkan dengan pemahaman tentang jenis-jenis
akta dan kekuatan pembuktiannya. Setelah suatu arsip atau dokumen diotentikasi maka akan
menjadi akta otentik dan pembuktiannya sempurna. Hati-hati dengan pengertian keotentikan
yang diartikan hanya sebatas ”keasliannya”. Dari segi pemaknaan hal ini berbeda dengan kata
”otentik” dalam ilmu akta.

Legalisasi adalah pengukuhan naskah/dokumen bahwa naskah/dokumen tersebut benar-


benar dibuat oleh orang yang bersangkutan dan dikenal oleh Pejabat tang mengukuhkan. Contoh
: menurut Pasal 187 ayat (b) KUHAP, surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana

23
H. Moeftie Wiriadihardja, Op. Cit., hlm. 30.

25
yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau
sesuatu keadaan.24

Dari segi kearsipan, salinan yang memperoleh legalisasi bernilai lebih tinggi dari salinan
biasa yang tidak memperoleh legalisasi. Ungkapan yang mendahului legalisasi antara lain :
Salinan sesuai dengan aslinya, salinan dari salinan, petikan dari salinan dan seterusnya.

Bisakah legalisasi sekaligus otentikasi? Jawabannya bisa jika yang mengukuhkan


arsip/dokumen itu adalah para pejabat umum yang telah penulis uraikan di atas. Jadi ada
peristiwa hukum yang berbarengan yaitu legalisasi sekaligus otentikasi.

Bagaimana dengan pengertian autentikasi yang diatur UU No. 43 Tahun 2009 atau
UUBK? Dalam Pasal 68 UUBK menyatakan :

(1) Pencipta arsip dan/atau lembaga kearsipan dapat membuat arsip dalam berbagai bentuk
dan/atau melakukan alih media meliputi media elektronik dan/atau media lain.

(2) Autentikasi arsip statis terhadap arsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
oleh lembaga kearsipan.

(3) Ketentuan mengenai autentisitas arsip statis yang tercipta secara elektronik dan/atau hasil
alih media sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dapat dibuktikan dengan persyaratan
yang diatur dengan peraturan pemerintah.

Selanjutnya Pasal 69 UUBK menyatakan lagi :

(1) Lembaga kearsipan berwenang melakukan autentikasi arsip statis dengan dukungan
pembuktian.

(2) Untuk mendukung kapabilitas, kompetensi, serta kemandirian dan integritasnya dalam
melakukan fungsi dan tugas penetapan autentisitas suatu arsip statis, lembaga kearsipan
harus didukung peralatan dan teknologi yang memadai.

(3) Dalam menetapkan autentisitas suatu arsip statis, lembaga kearsipan dapat berkoordinasi
dengan instansi yang mempunyai kemampuan dan kompetensi.

24
Ibid., hlm. 30-31.

26
Penulis melihat yang dimaksud autentikasi dalam UUBK adalah keaslian dan bukan
pengertian otektikasi dalam ilmu peraktaan. Bahkan redaksional dalam Pasal 69 cendrung ke
arah pengertian legalisasi.

Aspek Yuridis dalam Pengalihan Dokumen

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 88 Tahun 1999 Tentang Tata cara Pengalihan
Dokumen Perusahaan Ke Dalam Mikrofilm Atau Media Lainnya Dan Legalisasi, setiap
perusahaan dapat mengalihkan dokumen perusahaan yang dibuat atau diterima baik di atas kertas
maupun dalam sarana lainnya ke dalam mikrofilm atau media lainnya. Pengalihan dokumen
perusahaan ini dapat dilakukan sejak dokumen dibuat atau diterima oleh perusahaan
bersangkutan.

Dalam pengalihan dokumen perusahaan, pimpinan perusahaan wajib mempertimbangkan


kegunaan naskah asli dokumen yang perlu disimpan karena mengandung nilai tertentu demi
kepentingan nasional atau kepentingan perusahaan. Pimpinan perusahaan wajib tetap menyimpan
naskah asli dokumen perusahaan yang telah dialihkan ke dalam mikrofilm atau media lainnya,
dalam hal dokumen tersebut masih : a. mempunyai kekuatan pembuktian otentik; b. mengandung
kepentingan hukum tertentu.

Dalam pengalihan dokumen perusahaan, pimpinan perusahaan atau pejabat yang ditunjuk
wajib menjamin keamanan proses pengalihan agar:

1. Dokumen perusahaan hasil pengalihan, yang disimpan di dalam mikrofilm atau media
lainnya tersebut, merupakan dokumen pengganti yang sepenuhnya sama dengan naskah
aslinya;
2. Mikrofilm atau media lainnya tetap dalam keadaan baik untuk dapat disimpan dalam
jangka waktu sekurang-kurangnya sesuai dengan ketentuan mengenai daluawarsa suatu
tuntutan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
3. Dokumen hasil pengalihan dapat dibaca atau dicetak kembali di atas kertas.
Perusahaan dapat menunjuk perusahaan lain untuk melaksanakan pengalihan dokumen
perusahaan ke dalam mikrofilm atau media lainnya. Perusahaan yang ditunjuk melaksanakan

27
pengalihan dokumen ini wajib memenuhi syarat sebagai berikut: a. berbadan hukum; dan b.
memperoleh izin usaha.

Setiap pengalihan dokumen perusahaan ke adalam mikrofilm atau media lainnya wajib
dilegalisasi oleh pimpinan perusahaan atau pejabat yang ditunjuk di lingkungan perusahaan yang
bersangkutan dengan dibuatkan berita acara. Berita acara ini sekurang-kurangnya memuat:

1. Keterangan tempat, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukannya legalisasi;


2. Keterangan mengenai jenis dokumen yang dialihkan;
3. Keterangan bahwa pengalihan dokumen perusahaan yang dibuat di atas kertas atau sarana
lainnya ke dalam mikrofilm atau media lainnya telah dilakukan sesuai dengan naskah
aslinya;
4. Tanda tangan dan nama jelas pejabat yang bersangkutan.
Berita acara dibuat dalam rangkap 3 (tiga) dan dilampiri dengan daftar pertelaan atas
dokumen perusahaan yang dialihkan ke dalam mikrofilm atau media lainnya, dengan ketentuan:

1. Lembar pertama untuk pimpinan perusahaan;


2. Lembar kedua untuk unit pengolah;
3. Lembar ketiga untuk unit kearsipan.
Berita acara dan daftar pertelaan di atas merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
dokumen perusahaan yang dialihkan ke dalam mikrofilm atau media lainnya. Dalam hal
pengalihan dokumen perusahaan dilakukan oleh perusahaan lain maka pembuatan berita acara
menjadi tanggung jawab pimpinan perusahaan yang bersangkutan.

Dalam satu mikrofilm atau media lainnya dapat memuat beberapa proses pengalihan
dokumen perusahaan yang masing-masing dibuatkan berita acaranya. Pembuatan berita acara
pengalihan dokumen perusahaan, yang sejak semula dibuat atau diterima dalam sarana lainnya,
dapat dilakukan secara elektronis.

Dokumen yang telah dialihkan ke dalam mikrofilm atau media lainnya atau hasil
cetaknya merupakan alat bukti yang sah. Hasil cetak dokumen yang telah dialihkan ke dalam
mikrofilm dapat dilegalisasi untuk keperluan proses peradilan dan kepentingan hukum lainnya.

Daluwarsa Arsip

28
Nama lain untuk daluwarsa adalah lewat waktu, bahasa Belandanya verjaring. Daluwarsa
menurut Pasal 1946 Kitab Undang-undang Hukum Perdata ( BW) adalah suatu alat untuk
memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu
waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-undang. Menurut
Subekti,25 daluwarsa itu ada dua macam, yaitu daluwarsa sebagai cara untuk memperoleh hak
milik atas suatu benda atau disebut acquisitieve verjaring. Satu lagi adalah suatu akibat dari
lewatnya waktu seseorang dapat dibebaskan dari suatu penagihan atau tuntutan hukum atau
disebut dengan extinctieve verjaring.

Antara Daluwarsa Arsip dan Jadwal Retensi Arsip terdapat saling hubungan sekaligus
terdapat perbedaan. Hubungannya terutama dalam masalah penentuan arsip yang sudah tidak
berguna dari segi hukum yang akan dijadikan sebagai alat pembuktian di Pengadilan. Artinya
bisa saja daluwarsa arsip ini ditentukan atau bersandarkan kepada jadwal retensi arsip. Arsip
yang sudah melewati jangka waktu yang telah tertentu dalam Jadwal Retensi Arsip dapat berarti
sudah daluwarsa, tetapi dapat juga tidak jika secara tegas ada peraturan yang mengatur lain
mengenai jangka waktu daluwarsanya. Sebab Jadwal Retensi Arsip ini tidak hanya menentukan
arsip yang harus dimusnahkan saja tetapi juga menentukan arsip yang harus disimpan permanen
walaupun menurut Peraturan Perundang-undangan sudah daluwarsa.

Dengan demikian perbedaannya adalah adanya daluwarsa arsip menjadikan arsip tidak
berfungsi sebagai alat bukti di Pengadilan walaupun menurut Jadwal Retensi Arsip, “arsip” yang
bersangkutan termasuk kategori permanen sehingga harus disimpan selamanya (umpamanya di
ANRI), tetapi dari segi hukum pembuktian sudah tidak ada gunanya lagi karena sudah lewat
waktu atau daluwarsa umpamanya sudah 30 tahun.

Undang-undang No. 8 tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan (UUDP) kalau dicermati
hanya merespon KUHD Pasal 6, walaupun tidak juga memecahkan persoalan. Mengapa
demikian? Sebab, apakah UUDP ini mengatur daluwarsa atau jadwal retensi arsip perubahan dari
30 tahun ke-10 tahun itu, sebab ada ganjalan di Pasal 11 ayat (5) dan penjelasan pasal 11 ayat (5)
UUDP.

25
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1989, hlm. 186-188.

29
Pasal 11 ayat (5) UUDP menyebutkan “Kewajiban penyimpanan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) tidak menghilangkan fungsi dokumen yang bersangkutan
sebagai alat bukti sesuai dengan kebutuhan sebagaimana ditentukan dalam ketentuan mengenai
daluwarsa suatu tuntutan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, atau
untuk kepentingan hukum lainnya. Kemudian menurut penjelasannya disebutkan bahwa
sekalipun suatu dokumen telah melewati masa wajib simpan (dalam hal ini 10 tahun), tetapi
dokumen tersebut tetap dapat dipergunakan sebagai alat bukti sesuai dengan ketentuan mengenai
daluwarsa suatu tuntutan. Jadi UUDP ini tidak menegasikan aturan daluwarsa yang diatur dalam
BW yaitu 30 tahun. Sehingga menurut pendapat penulis perusahaan atau instansi tetap akan
“was-was” atau ada kekhawatiran ada tuntutan sehingga akan tetap menyimpan dokumen atau
arsip selama 30 tahun.

Padahal sebenarnya UUDP dapat menegasikan aturan daluwarsa dalam BW, sebab
keduanya sederajat, sehingga berlaku lex posteriore derogat legi priori atau aturan yang terbaru
mengalahkan aturan yang telah lama. Jika hal ini terjadi, yaitu aturan daluwarsa itu hanya 10
tahun maka tentu akan mempunyai dampak ekonomis sebagaimana dikehendaki oleh
konsiderans huruf d UUDP yaitu meringankan beban ekonomis dan administratif perusahaan. 26

Berdasarkan Pasal 66 UU No. 43 Tahun 2009, (1) Terhadap arsip statis yang dinyatakan
tertutup berdasarkan persyaratan akses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) atau
karena sebab lain, kepala ANRI atau kepala lembaga kearsipan sesuai dengan lingkup
kewenangannya dapat menyatakan arsip statis menjadi terbuka setelah melewati masa
penyimpanan selama 25 (duapuluhlima) tahun.
Pernyataan Pasal 66 UUBK di atas telah secara resmi menegasikan aturan daluwarsa
selama 30 tahun yang selama ini diatur oleh BW yang tidak sempat dinegasikan oleh UUDP.

Keterbukaan dan Ketertutupan Arsip

Keterbukaan dan ketertutupan arsip digunakan untuk mengistilahkan boleh tidaknya


suatu arsip diperlihatkan kepada semua orang. Jika arsip itu boleh dilihat, dipelajari atau bahkan

26
Lihat tulisan penulis, Wacana Amandemen Undang-undang No. 7 Tahun 1971 Tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kearsipan, Majalah GEMA ARSIP No. 13 Tahun VIII/2001.

30
dipinjam oleh semua orang maka istilahnya arsip tersebut “terbuka”. Sedangkan jika arsip itu
tidak boleh diperlihatkan, dipelajari, dipinjam dan sebagainya oleh semua orang kecuali orang
yang berhak karena ditunjuk oleh peraturan saja maka istilahnya adalah arsip yang “tertutup”.

Selintas antara ketetutupan dan kerahasiaan seperti sama, tetapi menurut Moeftie
Wiriadihardja terdapat perbedaan antara kerahasiaan dan ketertutupan sesuatu arsip dinamis.27
“Kerahasiaan” sesuatu naskah/dokumen dinyatakan secara tegas dan nyata dengan
membubuhkan kode tingkat kerahasiaan tertentu pada dokumen tersebut. Menurut Penjelasan
Undang-undang No. 8 Tahun 1974 Jo. Keputusan Menteri Keuangan No. 505/KM.1/1979
kualifikasi kerahasiaan secara berurutan dari tingkat tertinggi adalah :

1. Sangat Rahasia- kode SR, top secret;


2. Rahasia - kode R, secret;
3. Terbatas/konfidensial - kode K, confidential.
Pelanggaran terhadap kerahasiaan dokumen dapat dikenakan ancaman hukuman 20
tahun penjara bahkan seumur hidup ( Pasal 11 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1971) dan Pasal 554 dan
Pasal 417 KUHP.

Sedangkan “ketertutupan” sesuatu naskah/arsip dinamis berarti sekalipun naskah itu tidak
dibubuhi kode kerahasiaan namun isi, nomor, disposisi dan tentang adanya dokumen tersebut
tetap tidak boleh diketahui dan atau diberitahukan/diperlihatkan kepada siapapun yang tidak
berhak, meski dia sesama Pegawai Negeri sekalipun. Surat-surat dinas hanya terbuka untuk
kepentingan dinas.

Tetapi menurut Moeftie jika dihubungkan dengan yang tersirat di Penjelasan Umum UU
No. 7 Tahun 1971 “Ketertutupan dan Kerahasiaan” intinya sama adalah dirahasiakan. Hanya
yang satu memakai “kode” yang lain tidak. Kedua-duanya sama, merupakan proses pemilihan
berguna atau tidak?, bernilai atau tidak? Pada akhirnya untuk menentukan dipilih untuk
“dimusnahkan” atau “disimpan”.

Mengidentifikasi apakah di Indonesia itu menganut keterbukaan atau ketertutupan arsip


menjadi cukup sulit. Karena perkembangan politik hukum dalam peraturan perundang-undangan
yang mengatur hal ini berganti-ganti kebijakannya. Ketertutupan asrip dinamis dasarnya terdapat
27
Moeftie Wiriadihardja, Op. Cit., hlm. 53-54.

31
dalam Pasal 1 Stb 1854 No.18 yang berbunyi: ….tidak seorangpun diperkenankan dalam
pangkat atau kedudukan apapun, tanpa kuasa secara tegas dari pemerintah, : (a) memperlihatkan
kepada yang tidak berhak, memberikan salinan atau kutipan arsip Pemerintah.

Dasar hukum keterbukaan dapat dibaca dari Pasal Archiefwet 1918 yang berbunyi :
“Arsip yang ditangani dan dipindahkan ke berbagai tempat yang ditunjuk secara terpisah
dimaksud dalam undang-undang ini, kecuali pembatasan yang boleh dipersyaratkan pada saat
pemindahan, adalah terbuka.

Kemudian menjadi tertutup lagi setelah adanya UU No. 7 Tahun 1971 berdasar pada
bunyi Pasal 11 ayat (2) : “…dengan sengaja memberitahukan hal-hal tentang isi naskah itu
kepada pihak ketiga yang tidak berhak mengetahuinya sedang ia diwajibkan merahasiakannya
hal-hal tersebut…”.

Kemudian mucul juga Penjelasan Pasal 15 Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1979
menyebutkan : Sifat arsip dinamis pada dasarnya tertutup, oleh karena itu pengelolaan dan
perlakuannya berlaku ketentuan tentang kerahasiaan surat-surat. Sifat arsip statis pada dasarnya
terbuka, namun bilamana Lembaga Negara atau Badan Pemerintahan menganggap harus tetap
dipegang kerahasiaannya, dapat tetap diperlakukan ketentuan tentang kerahasiaan
surat/dokumen.28

Tetapi pasca amandemen UUD 1945 yang Kedua muncul Pasal 28 F suatu penegasan
sebagai berikut:

“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk


mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.

Pasal di atas seperti menjadi jaminan bagi adanya suatu ”keterbukaan arsip” lagi. Tetapi
menurut penulis prinsip kebebasan di atas mesti dibarengi dengan rasa tanggung jawab dari
semua pihak seperti yang telah diatur juga pasca amandemen kedua UUD 1945 dalam Pasal 28 J
yang berbunyi sebagai berikut:

28
Lihat Ig. Wursanto, Op. Cit., hlm. 46.

32
“Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya,
setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang
dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan suatu penghormatan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil
sesuai dengan pertimbangan moral nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat demokratis”.

Keterbukaan dan ketertutupan arsip dalam UUBK sekarang diatur dalam Pasal 44 dan
Pasal 65 ayat (1), yang menyatakan bahwa arsip statis pada dasarnya terbuka untuk umum.
Namun pencipta arsip dapat menutup akses atas arsip dengan alasan apabila arsip dibuka untuk
umum dapat:

a. menghambat proses penegakan hukum;


b. mengganggu kepentingan pelindungan hak atas kekayaan intelektual dan pelindungan
dari persaingan usaha tidak sehat;
c. membahayakan pertahanan dan keamanan negara;
d. mengungkapkan kekayaan alam Indonesia yang masuk dalam kategori dilindungi
kerahasiaannya;
e. merugikan ketahanan ekonomi nasional;
f. merugikan kepentingan politik luar negeri dan hubungan luar negeri;
g. mengungkapkan mengungkapkan isi akta autentik yang bersifat pribadi dan kemauan
terakhir ataupun wasiat seseorang kecuali kepada yang berhak secara hukum;
h. mengungkapkan rahasia atau data pribadi; dan
i. mengungkap memorandum atau suratsurat yang menurut sifatnya perlu dirahasiakan.
Pencipta arsip wajib menjaga kerahasiaan arsip tertutup. Pencipta arsip wajib
menentukan prosedur berdasarkan standar pelayanan minimal serta menyediakan fasilitas
untuk kepentingan pengguna arsip.

Menelaah Arsip Sebelum Pengambilan Keputusan dan PTUN

33
Menurut Moeftie Wiriadihardja,29 hal yang masih memprihatinkan kita didalam
praktek administrasi dan erat kaitannya dengan kearsipan, ialah masih sering terjadinya
“pengambilan keputusan” oleh para pejabat yang kurang atau tidak memperhatikan pengalaman
sebelumnya, berdasarkan arsip yang ada. Akibatnya sering terjadi doublures atau keputusan yang
kontroversial satu sama lain. Dibeberapa negara maju, menelaah arsip sebelum “mengambil
keputusan” adalah merupakan suatu kewajiban berdasarkan peraturan umum.

Frank E. Cooper menyatakan “adalah sangat penting bahwa arsip aktif dari kasus yang
dipermasalahkan dilengkapi, dan adalah sama wajibnya bahwa setiap keputusan harus secara
ekslusip berdasarkan pada hal-hal yang tertera dalam dokumen arsip aktip” ( it is important that
the record of a contested case be complete, and it is equally imperative that the decision
bebased exclusively on matters that appear in the record).302

Pengungkapan arsip pada pengambilan keputusan didalam praktek administrasi di negara


kita, hanya timbul dari kesadaran atau pengalaman individual berdasarkan ilmu pengetahuan saja
belum merupakan kewajiban berdasarkan sesuatu peraturan yang bersifat mengikat.

Sekarang dalam Undang-undang tentang Pemilihan Umum, KPU diwajibkan untuk


memeriksa berkas (arsip) calon sebelum meloloskan calon tersebut. Ini suatu perkembangan
yang baik dalam bidang kearsipan.

Seorang Pejabat atau Badan Hukum Tata Usaha Negara (TUN) yang tidak hati-hati
dalam suatu pengambilan keputusan bisa merugikan pihak lain. Pihak lain yang dirugikan ini
berdasarkan Undang-undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara jo.
Undang-undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 5 Tahun 1986, dapat
menggugatnya di Pengadilan Tata Usaha Negara. Sehingga jika Keputusan dari Pejabat atau
Badan Hukum TUN ini jelas-jelas bertentangan dengan Undang-undang dan/atau asas-asas
umum pemerintahan yang baik maka keputusan tersebut akan dibatalkan oleh Hakim PTUN,
bahkan bisa saja disertai kewajiban bagi si Pejabat atau Badan Hukum TUN tadi untuk
memberikan ganti rugi kepada pihak yang menggugat.

29
Moeftie Wiriadihardja, Op. Cit., hlm. 68.
30
Frank E. Cooper, “State Administrative Law” Volume I, The Bobbs Merrill Company, Inc., hlm. 430.

34
Oleh karena itu menelaah arsip sebelum pengambilan keputusan oleh Pejabat atau Badan
hukum TUN itu sangat penting yaitu untuk memperoleh informasi yang sebanyak-banyaknya.
Hal ini senada dengan pendapat Eha Djulaeha Kusumahbrata bahwa hubungan arsip dengan
PTUN adalah arsip dapat dijadikan sebagai bahan informasi untuk penyusunan kebijakan
pengambilan keputusan Pejabat TUN dan sebagai alat bukti dalam proses sidang PTUN.31

Sekarang dalam RUU Administrasi Pemerintahan diatur kewajiban Badan atau Pejabat
dalam membuat keputusan harus diberi alasan pertimbangan yuridis, sosiologis dan filosofis
yang menjadi dasar pengambilan keputusan. Tentu saja pertimbangan-pertimbangan ini akan
memerlukan arsip. Ini satu perkembangan yang baik untuk menegaskan pentingnya arsip dalam
setiap pengambilan keputusan bidang pemerintahan.

Sanksi dalam Kearsipan.

Sanksi artinya adalah ancaman yang akan diberlakukan bila suatu pihak melanggar atau
tidak mematuhi ketetapan, ketentuan atau aturan.32 Menurut Bagir Manan dan Kuntana
Magnar perwujudan sanksi itu tidak hanya berupa penjara kurungan, denda atau mati (pidana),
tetapi dapat pula merupakan sanksi sosial, sanksi administratif bahkan sanksi politik.33

Sanksi pidana diatur berdasarkan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana


(KUHP), yang terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri dari:34

1. Pidana mati;
2. Pidana penjara;
3. Kurungan;
4. Denda.
Sedangkan pidana tambahan terdiri dari:

31
E. Djulaeha Kusumahbrata dalam Majalah GEMA ARSIP No. 1 Tahun 1 Desember 1994.
32
Badudu-Zein, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996, hlm. 1221.
33
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Peranan Peraturan Perundang-undangan Dalam Pembinaan Hukum
Nasional, ARMICO, Bandung, 1987, hlm. 20.
34
Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1985, hlm.6.

35
1. Pencabutan hak-hak tertentu;
2. Perampasan barang-barang tertentu;
3. Pengumuman putusan hakim.
Adapun sanksi yang biasanya diterapkan dalam perkara perdata adalah ganti rugi.
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata bahwa tiap
perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang
yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti rugi.35

Selanjutnya berdasarkan Undang-undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata


Usaha Negara sanksi yang bisa diterapkan adalah sanksi pernyataan batal atau tidak sahnya suatu
keputusan (Pasal 53) disertai ganti rugi (Pasal 120) dan rehabilitasi (Pasal 121).36

Dalam hukum dikenal adagium “lex specialis derogat legi generalis”, artinya peraturan
khusus mengalahkan peraturan yang lebih umum. Jika aturan khusus sudah mengatur sanksi
pidana maka sanksi yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak akan
diterapkan.

Oleh karena dalam masalah arsip sudah ada Undang-undang No. 43 Tahun 2009 tentang
Kearsipan dimana dalam Undang-undang itu sudah ada sanksi pidananya maka KUHP menjadi
“lex generalis”. Jadi walaupun sanksi terhadap kejahatan yang berhubungan dengan arsip diatur
oleh KUHP diantaranya Pasal 415 dan 417 tapi dalam praktek peradilan Hakim akan merujuk
terlebih dahulu kepada sanksi yang diatur dalam Undang-undang No. 43 Tahun 2009 dahulu
sebagai “lex specialis”.

Berdasarkan Pasal 415 KUHP : Seorang pejabat atau orang lain yang ditugasi
menjalankan suatu jabatan umum terus-menerus atau untuk sementara waktu, yang dengan
sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau
membiarkan uang atau surat berharga itu diambil atau digelapkan orang lain, atau menolong
sebagai pembantu dalam melakukan perbuatan tersebut, diancam dengan pidana penjara paling
lama tujuh tahun.

35
R. Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Edisi Revisi, Pradnya Paramita,
Jakarta, 1995, hlm. 346.
36
Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku I Beberapa
Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996, hlm. 321-346.

36
Kemudian menurut Pasal 417 KUHP : Seorang pejabat atau orang lain yang ditugasi
menjalankan suatu jabatan umum terus menerus atau untuk sementara waktu, yang sengaja
menggelapkan, menghancurkan, merusakkan atau membikin tak dapat dipakai barang-barang
yang diperuntukkan guna meyakinkan atau membuktikan di muka penguasa yang wenang, akta-
akta, surat-surat atau daftar-daftar yang dikuasainya karena jabatannya; atau membiarkan orang
lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan atau membikin tak dapat dipakai barang-
barang itu; atau menolong sebagai pembantu dalam melakukan perbuatan itu, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun.

Kedua sanksi yang terdapat dalam Pasal 415 dan Pasal 417 KUHP di atas jika
dibandingkan dengan sanksi yang terdapat dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1971 ternyata
jauh lebih ringan. Menurut Pasal 11 ayat (1) Undang-undang No. 7 Tahun 1971 : Barangsiapa
dengan sengaja dan dengan melawan hukum memiliki arsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal
1 huruf a Undang-undang ini dapat dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10
(sepuluh) tahun.

Kemudian menurut Pasal 11 ayat (2) Undang-undang No. 7 Tahun 1971 : Barangsiapa
yang menyimpan arsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a Undang-undang ini, yang
dengan sengaja memberitahukan hal-hal tentang isi naskah itu kepada pihak ketiga yang tidak
berhak mengetahuinya sedang ia diwajibkan merahasiakan hal-hal tersebut dapat dipidana
dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya 20 ( duapuluh)
tahun.

Pasal 11 ayat (2) Undang-undang No. 7 Tahun 1971 di atas secara substansil sama
dengan Pasal 415 dan Pasal 417 KUHP. Tetapi dari segi kualitas sanksi lebih berat sanksi yang
terdapat dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1971. Bahkan berdasarkan Undang-undang No. 7
Tahun 1971 seseorang yang dengan sengaja dan dengan melawan hukum memiliki arsip ( artinya
dia sebenarnya tidak berhak) akan juga kena sanksi selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun.

Selanjunya ketentuan pidana dalam UU No. 43 Tahun 2009 diatur sebagai berikut :

37
Setiap orang yang dengan sengaja menguasai dan/atau memiliki arsip negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3337 untuk kepentingan sendiri atau orang lain yang tidak
berhak dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Setiap orang yang dengan sengaja menyediakan arsip dinamis kepada pengguna arsip
yang tidak berhak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1)38 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp125.000.000,00 (seratus dua
puluh lima juta rupiah).
Setiap orang yang dengan sengaja tidak menjaga keutuhan, keamanan dan keselamatan
arsip Negara yang terjaga untuk kepentingan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat
(3)39 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp
25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
Pejabat yang dengan sengaja tidak melaksanakan pemberkasan dan pelaporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1)40 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus jutarupiah).
Setiap orang yang dengan sengaja tidak menjaga kerahasiaan arsip tertutup sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2)41 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
atau denda paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Setiap orang yang dengan sengaja memusnahkan arsip di luar prosedur yang benar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2)42 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Setiap orang yang memperjualbelikan atau menyerahkan arsip yang memiliki nilai guna
kesejarahan kepada pihak lain di luar yang telah ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

37
Arsip yang tercipta dari kegiatan lembaga negara dan kegiatan yang menggunakan sumber dana
negaradinyatakan sebagai arsip milik negara.
38
Pencipta arsip wajib menyediakan arsip dinamis bagi kepentingan pengguna arsip yang berhak.
39
Pencipta arsip sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menjaga keutuhan, keamanan, dan
keselamatan arsip dinamis yang masuk dalam kategori arsip terjaga.
40
Pejabat yang bertanggung jawab dalam kegiatan kependudukan, kewilayahan, kepulauan, perbatasan,
perjanjian internasional, kontrak karya, dan masalah pemerintahan yang strategis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 ayat (2) wajib memberkaskan dan melaporkan arsipnya kepada ANRI.
41
Pencipta arsip wajib menjaga kerahasiaan arsip tertutup sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
42
Pemusnahan arsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang
benar.

38
5343 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pihak ketiga yang tidak menyerahkan arsip yang tercipta dari kegiatan yang dibiayai
dengan anggaran negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (3)44 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua
ratus lima puluh juta rupiah).

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

ANRI, Modul Kearsipan dan Hukum, Edisi Pertama, Diterbitkan oleh Arsip Nasional Republik
Indonesia, Jakarta, 2003.

--------, Modul Aspek Hukum Pengelolaan Arsip Berbasis Teknologi Informasi dan
Komunikasi, Diterbitkan oleh Arsip Nasional Republik Indonesia, Bogor, 2004.

Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Peranan Peraturan Perundang-undangan Dalam


Pembinaan Hukum Nasional, ARMICO, Bandung, 1987.

Frank E. Cooper, “State Administrative Law” Volume I, The Bobbs Merrill Company, Inc.

Effendi Perangin dan Nandang Alamsah D., Ketrampilan Membuat Akta Perjanjian &
Dokumen Lainnya, CLTC, Jakarta, 1991.

Ig. Wursanto, Himpunan Peraturan Perundangan Tentang Kearsipan, Kanisius, Jakarta, 1991.

Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku I
Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 1996.

43
Lembaga negara tingkat pusat wajib menyerahkan arsip statis kepada ANRI. Lembaga negara di daerah
wajib menyerahkan arsip statis kepada ANRI sepanjang instansi induknya tidak menentukan lain.
44
Pihak ketiga yang menerima pekerjaan dari lembaga negara, pemerintahan daerah, perguruan tinggi
negeri, serta BUMN dan/atau BUMD berdasarkan perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
menyerahkan arsip yang tercipta dari kegiatan yang dibiayai dengan anggaran negara kepada pemberi kerja.

39
------------, Usaha Memahami Undang-undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku
II Beracara Di Pengadilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996

Moeftie Wiriadihardja, Beberapa Masalah Kearsipan Di Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,


1987.

Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1985.

Nandang Alamsah Deliarnoor, Hukum Kearsipan, Bandung : P4H, 2006.


Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1989.

-------- dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta,
1995.

Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita,Jakarta, 1986.

B. SUMBER LAIN

Badudu-Zein, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,1996.

Eha Djulaeha Kusumahbrata, Majalah GEMA ARSIP No. 1 Tahun 1 Desember 1994.

Machmoed Effendhie, Konsepsi Dan Pembentukan Arsip Universitas/Perguruan Tinggi


(College And University Archives), 2009

Nandang Alamsah Deliarnoor, Pentingnya Aspek Hukum Kearsipan Pada Kurikulum Program
D III Kearsipan, GEMA ARSIP No. 3 Tahun III/1996.

________________________, Reformasi Undang-undang Kearsipan, Majalah GEMA ARSIP


No. 8 Tahun V/1998.

________________________, Perkembangan Pengakuan Arsip Modern Sebagai Alat Bukti


Sah Di Pengadilan, Majalah GEMA ARSIP No. 9 Tahun VI/1999.

________________________, Daluwarsa Arsip & Jadwal Retensi Arsip, Majalah GEMA


ARSIP No. 10 Tahun VI/1999.

________________________, Sanksi Dalam Kearsipan, Majalah GEMA ARSIP No.11 Tahun


VII/2000.

_________________________, Wacana Amandemen Undang-undang No. 7 Tahun 1971


Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kearsipan, Majalah GEMA ARSIP No. 13 Tahun
VIII/2001.
40
_________________________, Kerahasiaan Negara Versus Kebebasan Informasi, Majalah
GEMA ARSIP No. 15 Tahun VIII/2002.

_________________________, Peran Perguruan Tinggi Dalam Penyelamatan Arsip


Karya Intelektual, di sampaikan di Bale Rumawat Unpad, 4 Agustus 2009.
Sumrahyadi, University Archives : suatu Kajian Awal, ANRI Jurnal Kearsipan, ISSN 1978-
130X,

41

Anda mungkin juga menyukai