Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Pengertian

Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa
struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan
fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009).
Cedera kepala atau atau cedera otak merupakan suatu gangguan traumatik dari
fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak
tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak.

B. Tipe Trauma Kepala

Tipe/macam-macam trauma kepala antara lain:

1. Trauma kepala terbuka

Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak masuk ke dalam jaringan otak dan

melukai atau merobek durameter menyebabkan CSS merembes, kerusakan saraf otak

dan jaringan otak.

Gejala fraktur basis:

 Battle sign

 Hemotympanum

 Periorbital echymosis

 Rhinorrhoe

 Orthorrhoe

 Brill hematom

2. Trauma kepala tertutup

a. Komosio

 Cidera kepala ringan.


 Disfungsi neurologis sementara dan dapat pulih kembali.

 Hilang kesadaran sementara, kurang dari 10–20 menit.

 Tanpa kerusakan otak permanen.

 Muncul gejala nyeri kepala, pusing, muntah.

 Disorientasi sementara.

 Tidak ada gejala sisa.

 Masuk rumah sakit kurang 48 jam, kontrol 24 jam pertama, observasi tanda-

tanda vital.

 Tidak ada terapi khusus.

 Istirahat mutlak setelah keluhan hilang coba mobilisasi bertahap, duduk,

berdiri, pulang.

 Setelah pulang: aktivitas sesuai, istirahat cukup, diet cukup.

b. Kontosio

 Ada memar otak.

 Perdarahan kecil lokal/difusi menyebabkan gangguan lokal dan perdarahan.

 Gejala :

o Gangguan kesadaran lebih lama

o Kelainan neurologik positif, reflek patologik positif, lumpuh, konvulsi.

o Gejala TIK meningkat.

o Amnesia retrograd lebih nyata

c. Hematom epidural

 Perdarahan antara tulang tengkorak dan durameter.

 Lokasi tersering temporal dan frontal.

 Kategori talk and die.

 Sumber: pecahnya pembuluh darah meningen dan sinus venosus


 Gejala: manifestasinya adanya desak ruang: penurunan kesadaran hebat

(koma), serebrasi, dekortisasi, pupil dan isokor, nyeri kepala hebat, reflek

patologik positif.

d. Hematom subdural

 Perdarahan antara durameter dan archnoid.

 Biasanya pecah vena dapat terjadi akut, subakut, kronis.

 Akut :

o Gejala 24 – 48 jam

o Sering berhubungan dengan cidera otak dan medulla oblongata.

o TIK meningkat

o Sakit kepala, kantuk, reflek melambat, bingung, reflek pupil lambat.

 Sub akut

o Berkembang 7–10 hari, kontosio agak berat, adanya gejala TIK

meningkat, kesadaran menurun.

 Kronis :

o Ringan, 2 minggu 3-4 bulan

o Perdarahan kecil-kecil terkumpul pelan dan meluas.

o Gejala sakit kepala, letargi, kacau mental, kejang, disfagia.

e. Hematom Intrakranial

 Perdarahan intraserebral ± 25 cc atau lebih

 Selalu diikuti oleh kontosio

 Penyebab: Fraktur depresi, penetrasi peluru, gerakan akselerasi– deselerasi

mendadak.

 Herniasi ancaman nyata, adanya bekuan darah, edema local.

 Karena adanya kompresi langsung pada batang otak → gejala pernapasan

abnormal: Chyne stokes, hiperventilasi, Apneu.


C. Penyebab

Menurut Brain Injury Association of America, penyebab utama trauma kepala adalah

karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas sebanyak 20%, karena disebabkan

kecelakaan secara umum sebanyak 19% dan kekerasan sebanyak 11% dan akibat ledakan

di medan perang merupakan penyebab utama trauma kepala (Langlois, Rutland-Brown,

Thomas, 2006).

Kecelakaan lalu lintas dan terjatuh merupakan penyebab rawat inap pasien trauma

kepala yaitu sebanyak 32,1 dan 29,8 per100.000 populasi. Kekerasan adalah penyebab

ketiga rawat inap pasien trauma kepala mencatat sebanyak 7,1 per100.000 populasi di

Amerika Serikat (Coronado, Thomas, 2007).

Penyebab utama terjadinya trauma kepala adalah seperti berikut:

a. Kecelakaan Lalu Lintas

Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kenderan bermotor bertabrakan dengan

kenderaan yang lain atau benda lain sehingga menyebabkan kerusakan atau

kecederaan kepada pengguna jalan raya (IRTAD, 1995).

b. Jatuh

Menurut KBBI, jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau meluncur ke bawah

dengan cepat karena gravitasi bumi, baik ketika masih di gerakan turun maupun

sesudah sampai ke tanah.

c. Kekerasan

Menurut KBBI, kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atau perbuatan

seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain, atau

menyebabkan kerusakan fisik pada barang atau orang lain (secara paksaan).

Beberapa mekanisme yang timbul terjadi trauma kepala adalah seperti translasi yang terdiri

dari akselerasi dan deselerasi.


a) Akselerasi apabila kepala bergerak ke suatu arah atau tidak bergerak dengan tiba-tiba

suatu gaya yang kuat searah dengan gerakan kepala, maka kepala akan mendapat

percepatan (akselerasi) pada arah tersebut.

b) Deselerasi apabila kepala bergerak dengan cepat ke suatu arah secara tiba-tiba dan

dihentikan oleh suatu benda misalnya kepala menabrak tembok maka kepala tiba-tiba

terhenti gerakannya. Rotasi adalah apabila tengkorak tiba-tiba mendapat gaya

mendadak sehingga membentuk sudut terhadap gerak kepala. Kecederaan di bagian

muka dikatakan fraktur maksilofasial (Sastrodiningrat, 2009).

D. Manifestasi Klinis

Gejala klinis trauma kepala adalah seperti berikut:

a. Battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid)

b. Hemotipanum (perdarahan di daerah menbran timpani telinga)

c. Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)

d. Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung)

e. Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga)

Tanda-tanda atau gejala klinis trauma kepala ringan:

a. Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian sembuh.

b. Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan.

c. Mual atau dan muntah.

d. Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun.

e. Perubahan keperibadian diri.

f. Letargik.

Tanda-tanda atau gejala klinis trauma kepala berat:

a. Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan di otak menurun

atau meningkat.

b. Perubahan ukuran pupil (anisokori).


c. Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan).

d. Apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan atau posisi abnormal

ekstrimitas.

e. Pingsan berhari-hari atau berbulan-bulan.

Berdasarkan GCS, cedera kepala dapat dibagi menjadi 3 gradasi:

Cedera kepala Ringan :

Jika skala koma glasgow antara 13-15 dapat terjadi kehilangan kesadaran antara 30 menit

tidak ada penyerta seperti fraktur tengkorak, kontusuo dan hematom, serta tidak terjadi

gangguan neurologis.

Cedera Kepala Sedang :

Jika skala koma glasgow antara 9-12, hilang kesadaran antara 30 menit – 24 jam dapat

mengalami fraktur tengkorak, disorientasi ringan (bingung).

Cedera Kepala Berat :

Jika skala koma glasgow antara 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam meliputi contisio

cerebral, lacerasi, hematom, dan edema cerebral.

E. Patofisiologi

Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat

terpenuhi. Energi yang dihasilkan di dalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses

oksidasi. Otak tidak punya cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak

walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan

glukosa sebagai bahan bakar metabolisme otak, tidak boleh kurang dari 20 mg%, karena

akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25% dari seluruh kebutuhan

glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70% akan terjadi gejala-

gejala permulaan disfungsi serebral.


Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera

primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat

langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan langsung kepala dengan

suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala (Gennarelli,

1996 dalam Israr dkk, 2009).

Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada

permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada duramater,

dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah area benturan disebut lesi kontusio

“coup”, di seberang area benturan tidak terdapat gaya kompresi, sehingga tidak terdapat

lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut dinamakan lesi kontusio “countercoup”. Kepala

tidak selalu mengalami akselerasi linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh kepala

akibat trauma kapitis adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana caranya terjadi lesi pada

akselerasi rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara terinci. Tetapi faktanya ialah,

bahwa akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup, countercoup dan

intermediate. Yang disebut lesi kontusio intermediate adalah lesi yang berada di antara lesi

kontusio coup dan countrecoup (Mardjono dan Sidharta, 2008).

Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak

dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid)

dan otak (substansi semi solid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan

intra kranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan

dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup) (Hickey, 2003

dalam Israr dkk,2009).

Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan

iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak otak.

Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal.

Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang
dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel.

Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin secara berlebihan, kelainan aliran

kalsium, produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pada dinding sel yang berperan

dalam terjadinya kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak.

Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada

suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan terhadap

cedera metabolik bila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan

sirkulasi otak untuk mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia

pada beberapa daerah tertentu dalam otak ( Lombardo, 2003 ).

Faktor kardiovaskuler

o Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung mencakup aktivitas atipikal

miokardial, perubahan tekanan vaskuler dan edema paru.

o Tidak adanya stimulus endogen saraf simpatis mempengaruhi penurunan

kontraktilitas ventrikel. Hal ini menyebabkan penurunan curah jantung dan

meningkatkan tekanan atrium kiri. Akibatnya tubuh berkompensasi dengan

meningkatkan tekanan sistolik. Pengaruh dari adanya peningkatan tekanan atrium kiri

adalah terjadinya edema paru.

Faktor Respiratori

o Adanya edema paru pada trauma kepala dan vasokonstriksi paru atau hipertensi paru

menyebabkan hiperpnoe dan bronkokonstriksi

o Konsentrasi oksigen dan karbon dioksida mempengaruhi aliran darah. Bila PO2

rendah, aliran darah bertambah karena terjadi vasodilatasi. Penurunan PCO2, akan

terjadi alkalosis yang menyebabkan vasokonstriksi (arteri kecil) dan penurunan CBF

(cerebral blood fluid).


o Edema otak ini menyebabkan kematian otak (iskemik) dan tingginya tekanan intra

kranial (TIK) yang dapat menyebabkan herniasi dan penekanan batang otak atau

medulla oblongata.

Faktor metabolisme

o Pada trauma kepala terjadi perubahan metabolisme seperti trauma tubuh lainnya yaitu

kecenderungan retensi natrium dan air dan hilangnya sejumlah nitrogen

o Retensi natrium juga disebabkan karena adanya stimulus terhadap hipotalamus, yang

menyebabkan pelepasan ACTH dan sekresi aldosteron.

Faktor gastrointestinal

o Trauma kepala juga mempengaruhi sistem gastrointestinal. Setelah trauma kepala (3

hari) terdapat respon tubuh dengan merangsang aktivitas hipotalamus dan stimulus

vagal. Hal ini akan merangsang lambung menjadi hiperasiditas.

Faktor psikologis

o Selain dampak masalah yang mempengaruhi fisik pasien, trauma kepala pada pasien

adalah suatu pengalaman yang menakutkan. Gejala sisa yang timbul pascatrauma akan

mempengaruhi psikis pasien. Demikian pula pada trauma berat yang menyebabkan

penurunan kesadaran dan penurunan fungsi neurologis akan mempengaruhi

psikososial pasien dan keluarga.

F. Penatalaksanaan

Pengobatan yang diberikan pada pasien trauma kapitis :

1. Pengobatan konservatif

o Bedrest total di RS

o Antikonvulsan (anti kejang)

o Diuretik

o Corticosteroid (mengurangi edema)


o Barbiturat (penenang)

o Antibiotik (mencegah infeksi)

o Analgetik (mengurangi rasa takut).

2. Tindakan observatif

o Observasi pernapasan

o Monitor tekanan intrakranial

o Monitor cairan elektrolit

o Monitor tanda-tanda vital

3. Tindakan operatif bila ada indikasi

G. Komplikasi

Komplikasi yang dapat timbul pada pasien yang mengalami trauma kapitis yaitu:

1. Shock disebabkan karena banyaknya darah yang hilang atau rasa sakit hebat. Bila

kehilangan lebih dari 50% darah dapat mengakibatkan kematian.

2. Peningkatan tekanan intrakranial, terjadi pada edema cerebri dan hematoma dalam

tulang tengkorak.

3. Meningitis, terjadi bila ada luka di daerah otak yang ada hubungannya dengan luar.

4. Infeksi/kejang, terjadi bila disertai luka pada anggota badan atau adanya luka pada

fraktur tulang tengkorak.

5. Edema pulmonal akibat dari cedera pada otak yang menyebabkan adanya peningkatan

tekanan darah sistemik sebagai respon dari sistem saraf simpatis pada peningkatan

TIK. Peningkatan vasokontriksi tubuh ini menyebabkan lebih banyak darah dialirkan

ke paru-paru. Perubahan permeabilitas pembuluh darah paru berperan dalam proses

memungkinkan cairan berpindah ke dalam alveolus.


H. Pemeriksaan Penunjang

1. Scan CT (tanpa/ dengan kontras)

Mengidentifikasi adanya SOL, hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran

jaringan otak

2. MRI (tanpa/ dengan menggunakan kontras)

3. Angiografi serebral

Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, spt pergeseran jaringan otak akibat edema,

perdarahan, trauma

4. EEG

Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis

5. BAER (Brain Auditori Evoked Respons)

Menentukan fungsi korteks dan batang otak

6. PET ( Positron Emission Tomografi )

Menunjukkan perubahan aktifitas metabolisme pada otak

7. Fungsi lumbal,CSS

Mengetahui kemungkinan adanya perdarahan subarachnoid

8. GDA ( Gas Darah Arteri )

Mengetahui masalah ventilasi atau oksigenisasi yang dapat menyebabkan TIK

9. Kimia/ elektrolit darah

Mengetahui keseimbangan yang berperan dalam meningkatkan TIK/perubahan mental

10. Pemeriksaan toksikologis

Mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap penurunan kesadaran

11. Kadar antikonvulsan darah

Mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang


I. Konsep Dasar Keperawatan

1. Pengkajian

a. Pola pemeliharaan kesehatan dan persepsi kesehatan.

• Riwayat trauma saat ini dan benturan yang terjadi secara tidak sengaja.

• Fraktur atau terlepasnya persendian.

• Gangguan penglihatan

• Kulit luka kepala/abrasi, perubahan warna (tanda-tanda trauma)

• Keluarnya cairan dari telinga dan hidung

• Gangguan kesadaran

• Demam, perubahan suhu tubuh

b. Pola nutrisi metabolik

• Mual, muntah

• Sulit menelan

c. Pola eliminasi

• Inkontinensia atau retensi kandung kemih.

d. Pola aktivitas

 Keadaan aktivitas : lemah, letih, lesu, kesadaran berubah, hemiparase,

kelemahan koordinasi otot-otot kejang

 Keadaan pernapasan: apnea, hyperventilasi, suara napas stridor, rochi,

wheezing.

e. Pola istirahat

 Pasien mengatakan intensitas sakit kepala yang tidak tetap dan lokasi sakit

kepala.

f. Pola persepsi sensori kognitif

 Kehilangan kesadaran sementara.


 Pusing, pingsan

 Mati rasa pada ekstremitas

 Perubahan penglihatan: diplopia, tidak peka terhadap reflek cahaya, perubahan

pupil, ketidakmampuan untuk melihat ke segala arah.

 Kehilangan rasa, bau, pendengaran dan selera

 Perubahan dalam kesadaran, koma.

 Perubahan status mental (perhatian, emosional, tingkah laku, ingatan,

konsentrasi).

 Wajah tidak simetris

 Tidak ada reflek tendon

 Tidak mampu mengkoordinir otot-otot dan gerakan, kelumpuhan pada

salah satu anggota gerak otot.

 Kehilangan indra perasa pada bagian tubuh.

 Kesulitan dalam memahami diri sendiri.

g. Pola persepsi dan konsep diri

 Adanya perubahan tingkah laku (halus dan dramatik).

 Kecemasan, lekas marah, mengingau, gelisah, bingung.

2. Diagnosa Keperawatan

a. Perubahan perfusi jaringan otak b.d peningkatan tekanan intrakranial.

b. Perubahan persepsi sensorik b.d penurunan tingkat kesadaran, kerusakan lobus

pariental, kerusakan nervus olfakttorius.

c. Hambatan mobilitas fisik b.d hemiplegia, hemiparese, kelemahanan.

d. Resiko tinggi injuri b.d adanya kejang, kebingungan dan kelemahan fisik.

e. Gangguan pertukaran gas b.d penumpukan sekresi, reflek batuk yang kurang.
f. Gangguan gambaran tubuh dan perubahan peran b.d kurang berfungsinya

proses berfikir, ketidakmampuan fisik.

g. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d kurang mampu menelan

h. Defisit perawatan diri b.d kesulitan dalam mobilitas fisik

i. Gangguan kognitif kesulitan dalam komunikasi verbal b.d aphasia

j. Nyeri akut b.d trauma dan sakit kepala.

k. Kerusakan integritas kulit b.d kesulitan dalam mobilitas fisik.

l. Perubahan pola eliminasi urine inkontinential atau retensi urine b.d

terganggunya saraf kontrol berkemih.

3. Perencanaan

a. Perubahan perfusi jaringan otak b.d peningkatan tekanan intrakranial.

Hasil yang diharapkan:

• Pasien tidak menunjukkan peningkatan TIK

• Terorientasi pada tempat, waktu dan respon

• Tidak ada gangguan tingkat kesadaran

Intervensi:

• Kaji status neurologi, tanda-tanda vital (tekanan darah meningkat, suhu naik,

pernapasan sesak, dan nadi) tiap 10-20 menit sesuai indikasi.

R/: Mendeteksi dini perubahan yang terjadi sehingga dapat mengantisipasinya.

• Temukan faktor penyebab utama adanya penurunan perfusi jaringan dan

potensial terjadi peningkatan TIK.

R/: Untuk menentukan asuhan keperawatan yang diberikan.

• Monitor suhu tubuh

R/: Panas tubuh yang tidak bisa diturunkan menunjukkan adanya kerusakan

hipotalamus atau panas karena peningkatan metabolisme tubuh.


• Berikan posisi antitrendelenberg atau dengan meninggikan kepala kurang

lebih 30 derajat.

R/: Mencegah terjadinya peningkatan TIK

• Kolaborasi dengan dokter untuk memberikan obat diuretik seperti manitol,

diamox

R/: Membantu mengurangi edema otak

b. Perubahan persepsi sensorik b.d penurunan tingkat kesadaran, kerusakan lobus

parientalis, kerusakan nervus olfaktorius.

Hasil yang diharapkan:

• Kesadaran pasien kembali normal

• Tidak terjadi peningkatan TIK

Intervensi:

• Observasi keadaan umum serta TTV

R/: Mengetahui keadaan umum pasien.

• Orientasikan pasien terhadap orang, tempat dan waktu.

R/: Melatih kemampuan pasien dalam mengenal waktu, tempat dan lingkungan

pasien.

• Gunakan berbagai metode untuk menstimulasi indra, misalnya: parfum

R/: Melatih kepekaan nervus olfaktorius.

• Kolaborasi medik untuk membatasi penggunaan sedativa

R/: Sedativa mempengaruhi tingkat kesadaran pasien.

c. Hambatan mobilitas fisik b.d hemiplegia, kelelahan

Hasil yang diharapkan:

 Pasien dapat mempertahankan mobilitas fisik seperti yang tunjukkan

dengan tidak adanya kontraktur.

 Tidak terjadi peningkatan TIK


Intervensi:

• Lakukan latihan pasif sedini mungkin

R/: Mempertahankan mobilitas sendi dan tonus otot.

• Beri foodboard/penyangga kaki

R/: Mempertahankan posisi ekstremitas

• Pertahankan posisi tangan, lengan, kaki dan tungkai

R/: Posisi ekstremitas yang kurang tepat akan terjadi dislokasi

• Kolaborasi fisioterapi

R/: Tindakan fisioterapi dapat mencegah kontraktur

d. Resiko injuri b.d adanya kejang, kebingungan.

Hasil yang diharapkan:

• Trauma fisik tidak terjadi

• Terjaganya batas kesadaran fungsi motorik

Intervensi:

• Jangan tinggalkan pasien sendiri saat kejang

R/: Secepatnya mengambil tindakan yang tepat dan menentukan asuhan

keperawatan

• Perhatikan lingkungan

R/: Cegah terjadinya trauma

• Longgarkan pakaian yang sempit terutama bagian leher.

R/: Memperlancar jalan napas.

• Tidak boleh diikat selama kejang.

R/: Mengurangi ketegangan

• Beri posisi yang tepat (kepala dimiringkan)

R/: Membantu pembukaan jalan napas.


• Gunakan bantal tipis di kepala

R/: Membantu mengurangi tekanan intrakranial

• Disorientasikan kembali keadaan pasien dan berikan istirahat pada pasien.

R/: Melatih kemampuan berfikir, memelihara fungsi mental dan orientasi

terhadap kenyataan.

e. Gangguan pertukaran gas b.d penumpukan sekresi, reflek batuk yang kurang.

Hasil yang diharapkan:

• Tidak ada gangguan jalan napas

• Lendir dapat batukkan/sekret dapat keluar.

• Pernapasan teratur.

Intervensi:

• Kaji pernapasan, suara napas, kecepatan irama, kedalaman, penggunaan obat

tambahan.

R/: Suara napas berkurang menunjukkan akumulasi sekret

• Catat karakteristik sputum (warna, jumlag, konsistensi)

R/: Pengeluaran sekret akan sulit jika kental

• Anjurkan minum 2500cc/hari.

R/: Mengencerkan lendir sehingga dapat dibatukkan

• Beri posisi fowler

R/: Memaksimalkam ekspansi paru dan memudahkan bernapas

• Kolaborasi pemberian O2 dan pengobatan/therapi

R/: Memenuhi kebutuhan O2 dan pengeluaran sekret

f. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d kurang mampu menelan.

Hasil yang diharapkan:

• Berat badan normal


• Mengkonsumsi semua makanan yang disajikan.

• Terbebas dari malnutrisi.

Intervensi:

• Kaji kemampuan makan dan menelan.

R/: Membantu dalam menentukan jenis makanan dan mencegah terjadinya

aspirasi

• Dengarkan suara peristaltik usus

R/: Membantu menentukan respon dari pemberian makanan dan adanya

hiperperistaltik kemungkinan adanya komplikasi ileus.

• Berikan rasa nyaman saat makan, seperti posisi semi fowler/fowler.

R/: Mencegah adanya regurgitasi dan aspirasi

• Berikan makanan dalam porsi kecil tapi sering dan dalam keadaan hangat.

R/: Meningkatkan nafsu makan.

• Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian vitamin.

R/: Vitamin membantu meningkatkan nafsu makan dan mencegah malnutrisi

g. Defisit perawatan diri b.d kesulitan dalam mobilitas fisik dan gangguan

kognitif.

Hasil yang diharapkan:

• Kebutuhan hygiene, nutrisi, eliminasi pasien terpenuhi.

• Pasien dapat merawat diri sesuai dengan kemampuan pasien.

Intervensi:

• Bantu perawatan diri pasien sesuai dengan kebutuhan pasien.

R/: Kebutuhan pasien akan pemenuhan perawatan diri terpenuhi.

• Kaji kemampuan pasien dalam merawat diri.

R/: Menentukan asuhan keperawatan yang tepat.


• Libatkan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan perawatan diri bila sudah

sembuh.

h. Gangguan rasa nyaman : nyeri b.d trauma sakit kepala.

Hasil yang diharapkan:

• Nyeri dapat berkurang sampai dengan hilang.

Intervensi:

• Kaji lokasi nyeri, intensitas dan keluhan pasien.

R/: Menentukan intervensi yang tepat

• Ajarkan teknik relaksasi tarik napas dalam

R/: Ketegangan saraf yang mengendor akan mengurangi rasa nyeri.

• Beri posisi tidur dengan kepala tanpa bantal

R/: Tekanan intrakranial turun akan mengurangi rasa nyeri

• Kolaborasi medik untuk pemberian analgetik

R/: Analgetik meningkatkan ambang rasa nyeri.

i. Kerusakan integritas kulit b.d kesulitan dalam mobilitas fisik

Hasil yang diharapkan:

• Tidak terjadi kerusakan kulit, dekubitus.

Intervensi:

• Kaji keadaan kulit pasien.

R/: Menentukan askep yang tepat.

• Beri posisi tidur miring kiri-terlentang kanan tiap 2 jam.

R/: Penekanan yang terlalu lama pada salah satu lokasi kulit akan menimbulkan

nekrose

• Lakukan massage pada lokasi kulit yang terjadi penekanan

R/: Meningkatkan sirkulasi darah


• Jaga alat tenun tempat tidur pasuen kering dan tidak terlipat.

R/: Kain basah dan berlipat akan menimbulkan kerusakan pada kulit.

4. Discharge Planning

a. Jelaskan pentingnya istirahat

b. Segera bawa ke rumah sakit bila ada keluhan

c. Minum obat secara teratur sesuai program medik

d. Libatkan keluarga dalam perawatan untuk cegah komplikasi.

Anda mungkin juga menyukai