Anda di halaman 1dari 15

2.

1 Introduction

Mengukur kinerja CSR adalah melalui laporan kegiatannya, yakni dengan metode

content analysis. Metode ini mengubah informasi kualitatif menjadi kuantitatif

sehingga dapat diolah dalam perhitungan statistik. Artinya, total angka yang

didapat dari proses content analysis ini menggambarkan banyaknya

pengungkapan yang diinformasikan dalam laporan tersebut. Yang perlu

digarisbawahi adalah informasi CSR yang diungkapkan bukan jaminan informasi

yang menggambarkan semua kegiatan CSR yang telah dilakukan. Ada gap yang

mungkin terjadi.

Bisa saja informasi CSR yang diungkapkan hanya sepersekian persen dari semua

kegiatan CSR yang dilakukan. Sebaliknya, mungkin informasi yang diungkapkan

melebihi kegiatan yang dilakukan. Belum lagi sifat laporan yang berbeda.

Misalnya laporan tahunan perusahaan yang sering dipakai menjadi dasar untuk

pengukuran kinerja CSR. Dalam laporan tahunan, terlihat bahwa porsi

pengungkapan informasi CSR sangat terbatas dibandingkan dengan laporan

lainnya, misalnya laporan keberlanjutan (sustainability report). Namun karena

jumlah laporan semacam ini masih sedikit, maka untuk tujuan penelitian, laporan

tahunan masih menjadi primadona.

Kembali ke proses content analysis, pengukuran kinerja CSR yang dilakukan

melalui laporan tahunan memerlukan acuan informasi (information guideline).

Acuan informasi laporan CSR yang saat ini mendominasi adalah Sustainability

Reporting Guidelines (SRG), yang dikeluarkan oleh Global Reporting Initiative

(GRI), walaupun ada acuan lain yang dikembangkan oleh beberapa akademisi
melalui kajian literatur. Dalam SRG, terdapat 79 item yang tersebar pada 6

indikator kinerja. Dengan SRG inilah pengungkapan informasi CSR pada laporan

tahunan perusahaan diukur melalui pemberian skor.

Cara yang paling sederhana dalam memberikan skor adalah mencantumkan angka

‘1’ pada item di SRG untuk informasi yang diungkapkan. Atau, memberikan skor

’0’ untuk informasi yang tidak diungkapkan. Cara pemberian skor ini dikenal

dengan dichotomous (angka 1 untuk menandai ’ya’ dan 0 untuk ’tidak’),

walaupun ada cara lain pemberian skor yang lebih kompleks. Dengan

menjumlahkan semua angka 1, maka didapatkan jumlah angka yang merupakan

total informasi CSR yang dilaporkan pada laporan tahunan.

Setelah total angka diperoleh, variabel lain dapat di tambahkan. Beberapa variabel

yang cukup sering ditemukan positif berhubungan dengan banyaknya informasi

CSR dalam laporan tahunan adalah total aset, total penjualan, profitabilitas,

kapitalisasi, return on asset (ROA), return on equity (ROE), earning pershare

(EPS), serta tipe dan usia perusahaan. Disinilah uji statistik berperan untuk

melihat apakah informasi CSR yang ada dalam laporan tahunan mempunyai

hubungan yang signifikan dengan variabel tersebut. Atau, apakah variabel ini

mempengaruhi banyaknya informasi CSR yang diungkapkan. Atau, apakah

sebuah perusahaan yang mempunyai besaran aset lebih tinggi akan memberikan

informasi CSR yang lebih banyak.


2.2 What is performance?

Kinerja dalam organisasi merupakan jawaban dari berhasil atau tidaknya tujuan

organisasi yang telah ditetapkan. Para atasan atau manajer sering tidak

memperhatikan kecuali sudah sangat buruk atau segala sesuatu jadi serba salah.

Terlalu sering manajer tidak mengetahui betapa buruknya kinerja telah merosot

sehingga perusahaan / instansi menghadapi krisis yang serius. Kesan – kesan

buruk organisasi yang mendalam berakibat dan mengabaikan tanda – tanda

peringatan adanya kinerja yang merosot.

Kinerja menurut Anwar Prabu Mangkunegara (2000: 67).

“Kinerja ( prestasi kerja ) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang

dicapai oleh seseorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan

tanggung jawab yang diberikan kepadanya”.

Kemudian menurut Ambar Teguh Sulistiyani (2003: 223)

“Kinerja seseorang merupakan kombinasi dari kemampuan, usaha dan

kesempatan yang dapat dinilai dari hasil kerjanya”.

Maluyu S.P. Hasibuan (2001:34) mengemukakan “kinerja (prestasi kerja) adalah

suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas tugas yang

dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan

kesungguhan serta waktu”.

Menurut Robert L. Mathis dan John H. Jackson Terjamahaan Jimmy Sadeli dan

Bayu Prawira (2001: 78), “menyatakan bahwa kinerja pada dasarnya adalah apa

yang dilakukan atau tidak dilakukan karyawan”.


Mink (1993: 76) mengemukakan pendapatnya bahwa individu yang memiliki

kinerja yang tinggi memiliki beberapa karakteristik, yaitu diantaranya: (a)

berorientasi pada prestasi, (b) memiliki percaya diri, (c) berperngendalian diri, (d)

kompetensi.

2.3 Social Accounting

Akuntansi sosial (dikenal juga sebagai akuntansi sosial dan lingkungan, pelaporan

sosial perusahaan, pelaporan tanggung jawab sosial perusahaan, pelaporan non-

keuangan, atau akuntansi keberlanjutan) adalah proses mengkomunikasikan

dampak sosial dan lingkungan dari tindakan ekonomi organisasi untuk

kepentingan kelompok tertentu dalam masyarakat dan untuk masyarakat luas.

Akuntansi sosial umumnya digunakan dalam konteks bisnis, atau tanggung jawab

sosial perusahaan (CSR), meskipun setiap organisasi, termasuk lembaga swadaya

masyarakat, lembaga amal, dan lembaga pemerintah dapat terlibat dalam

akuntansi sosial.

Akuntansi sosial menekankan konsep akuntabilitas perusahaan. D. Crowther

mendefinisikan akuntansi sosial dalam pengertian ini sebagai sebuah pendekatan

untuk melaporkan kegiatan perusahaan yang menekankan kebutuhan untuk

mengidentifikasi perilaku sosial yang relevan, penentuan mereka kepada siapa

perusahaan bertanggung jawab untuk kinerja sosial dan pengembangan tindakan

yang tepat dan teknik pelaporan. akuntansi sosial mempertimbangkan berbagai

aspek kinerja perusahaan dan mencakup pengakuan bahwa berbagai aspek kinerja
menarik bagi pengelompokan pemangku kepentingan yang berbeda. ada aspek

dapat meliputi:

1. kekhawatiran investor

2. fokus pada hubungan komunitas

3. masalah dengan ekologi

mengukur kinerja dalam hal aspek-aspek ini akan mencakup, di samping langkah-

langkah berbasis laba tradisional, seperti:

1. surplus konsumen

2. sewa ekonomi

3. dampak lingkungan

4. nilai-nilai non-moneter

2.4 Aspects of Performance

Ada beberapa aspek-aspek kinerja. Menurut Hasibuan (dalam prabu

Mangkunegara 2006) mengemukakan bahwa aspek-aspek kinerja mencakup

sebagai berikut:

1. Kesetiaan

2. Hasil kerja

3. Kejujuran

4. Kedisiplinan

5. Kreativitas

6. Kerjasama

7. Kepemimpinan
8. Kepribadian

9. Prakarsa

10. Kecakapan dan tanggung jawab.

Adapun ciri-ciri kinerja karyawan yang baik menurut Hussein umar (1997),

meliputi beberapa aspek yaitu:

1. Mutu pekerjaan

2. Kejujuran karyawan

3. Inisiatif

4. Kehadiran

5. Sikap

6. Kerjasama

7. Keandalan

8. Pengetahuan tentang pekerjaan

9. Tanggung jawab

10. Pemanfaatan waktu

Adapun aspek-aspek standar pekerjaan terdiri dari aspek Kuantitatif dan

Kualitatif. Aspek kuantitatif meliputi:

1. Proses kerja dan kondisi kerja

2. Waktu yang diperlukan atau lamanya melaksanakan pekerjaan

3. Jumlah pekerjaan dalam melaksanakan

4. Jumlah dan jenis pemberian pelayanan dalam bekerja

Sedangkan aspek kualitatif meliputi:

1. Ketepatan kerja dan kualitas pekerjaan


2. Tingkat kemampuan dalam bekerja

3. Kemampuan menganalisis data / informasi, kamampuan /

kegagalan menggunakan mesin/ peralatan

4. Kemampuan mengevaluasi

Menurut (Donnely, Gibson, dan Ivancevic: 1994) kinerja individu pada dasarnya

dipengaruhi oleh faktor-faktor diantaranya:

1. Harapan mengenai imbalan

2. Dorongan

3. Kemampuan, kebutuhan dan sifat

4. Persepsi terhadap tugas

5. Imbalan internal dan eksternal

6. Persepsi terhadap tingkat imbalan dan kepuasan kerja

Dengan demikian kinerja pada dasarnya ditentukan oleh tiga hal:

1. Kemampuan

2. Keinginan

3. Lingkungan

Agar mempunyai kinerja yang baik, seseorang harus mempunyai keinginan yang

tinggi untuk mengerjakan serta mengetahui pekerjaanya. Tanpa mengetahui ketiga

faktor ini kinerja yang baik tidak akan tercapai. Dengan demikian kinerja individu

dapat ditingkatkan apabila ada kesesuaian antara pekerjaan dan kemampuan.


2.5 The Balanced Scorecard

Kartu skor berimbang (bahasa Inggris: balanced scorecard, BSC) adalah suatu

metode untuk pengukuran dan penilaian kinerja suatu perusahaan dengan

mengukur empat perspektif yaitu: perspektif keuangan, perspektif pelanggan,

perspektif proses bisnis internal, perspektif pembelajaran dan pertumbuhan. suatu

konsep untuk mengukur apakah aktivitas-aktivitas operasional

suatu perusahaan dalam skala yang lebih kecil sejalan dengan sasaran yang lebih

besar dalam hal visi dan strategi. BSC pertama kali dikembangkan dan digunakan

pada perusahaan Analog Devices pada tahun 1987. Dengan tidak hanya berfokus

pada hasil finansial melainkan juga masalah manusia, BSC membantu

memberikan pandangan yang lebih menyeluruh pada suatu perusahaan yang pada

gilirannya akan membantu organisasi untuk bertindak sesuai tujuan jangka

panjangnya. Sistem manajemen strategis membantu manajer untuk berfokus pada

ukuran kinerja sambil menyeimbangkan sasaran finansial dengan

perspektif pelanggan, proses, dan karyawan.

Pada tahun 1992, Robert S. Kaplan dan David P. Norton mulai mempublikasikan

kartu skor berimbang melalui rangkaian artikel-artikel jurnal dan buku The

Balanced Scorecard pada tahun 1996. Sejak diperkenalkannya konsep aslinya,

BSC telah menjadi lahan subur untuk pengembangan teori dan penelitian, dan

banyak praktisi yang telah menyimpang dari artikel asli Kaplan dan Norton.

Kaplan dan Norton sendiri melakukan tinjauan ulang terhadap konsep ini satu

dasawarsa kemudian berdasarkan pengalaman penerapan yang mereka lakukan.

Balanced Scorecard membantu organisasi untuk menghadapi dua masalah

fundamental: mengukur performa organisasi secara efektif dan


mengimplementasikan strategi dengan sukses. Secara tradisional, pengukuran

terhadap bisnis berkisar pada aspek finansial, yang kemudian banyak

mendatangkan kritik. Ukuran finansial tidaklah konsisten dengan lingkungan

bisnis saat ini, punya daya prediktif yang lemah, mengakibatkan munculnya silo

fungsional, menghambat cara berpikir jangka panjang, dan tidak lantas bisa

relevan bagi kebanyakan level organisasi. Mengimplementasikan strategi secara

efektif menjadi permasalahan tersendiri. Setidaknya terdapat empat pembatas

implementasi strategi di organisasi: pembatas visi, pembatas orang, pembatas

sumberdaya, dan pembatas manajemen.

Balanced Scorecard memberi organisasi elemen yang dibutuhkan untuk berpindah

dari paradigma ‘melulu finansial’ menuju model baru yang mana hasil Scorecard

menjadi titik awal untuk me-review, mempertanyakan, dan belajar tentang strategi

yang dipunya. Balanced Scorecard akan menerjemahkan visi dan strategi ke

dalam serangkaian ukuran koheren dalam empat perspektif yang berimbang. Kita

akan dengan cepat bisa dapatkan informasi untuk dipertimbangkan lebih dari

sekadar ukuran finansial.

2.6 The Enviromental Audit

Audit lingkungan adalah sebuah alat manajeman yang meliputi evaluasi secara

sistematik, terdokumentasi, objektif serta periodik mengenai bagaimana suatu

kinerja organisasi sistem manajeman dan peralatan dengan tujuan untuk

memfasilitasi kontrol manajemen terhadap pelaksanaan upaya pengendalian


dampak lingkungan serta pengkajian pemanfaatan kebijakan kegiatan atau usaha

terhadap peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan lingkungan.

Fungsi dari audit lingkungan adalah sebagai berikut ini:

1. Upaya Peningkatan ketaatan terhadap peraturan, misalnya baku mutu

lingkungan.

2. Dokumen suatu usaha pelaksanaan.

3. Jaminan menghindari kerusakan lingkungan.

4. Realisasi dan keabsahan prakiraan dampak dalam dokumen AMDAL.

5. Perbaikan penggunaan sumber daya (penghematan bahan, minimalisasi

limbah, dan identifikasi proses daur hidup).

Terdapat beberapa manfaat dari audit lingkungan. Manfaat audit lingkungan

adalah sebagai berikut ini.

1. Mengidentifikasi risiko lingkungan.

2. Menjadi dasar bagi pelaksanaan kebijakan pengelolaan lingkungan atau

upaya penyempurnaan rencana yang ada.

3. Menghindari kerugian finansial seperti penutupan/ pemberhentian suatu

usaha atau kegiatan atau pembatasan pemerintah atau publikasi yang

merugikan akibat pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang tidak

baik.

4. Mencegah tekanan sanksi hukum terhadap suatu usaha atau kegiatan atau

terhadap pimpinannya berdasarkan pada peraturan perundang-undangan

yang berlaku.
5. Membuktikan pelaksanaan pengelolaan lingkungan apabila dibutuhkan

dalam proses pengadilan.

6. Meningkatkan kepedulian pimpinan/ penanggung jawab dan staf suatu

badan usaha atau kegiatan tentang pelaksanaan kegiatannya terhadap

kebijakan dan tanggung jawab lingkungan.

7. Mengidentifikasi kemungkinan penghentian biaya melalui upaya

konservasi energi serta pengurangan, pemakaian ulang, dan daur ulang

limbah.

2.7 The Measurement of Performance

Pengukuran Kinerja untuk mengukur kinerja, dapat digunakan beberapa ukuran

kinerja. Beberapa ukuran kinerja yang meliputi; kuantitas kerja, kualitas kerja,

pengetahuan tentang pekerjaan, kemampuan mengemukakan pendapat,

pengambilan keputusan, perencanaan kerja dan daerah organisasi kerja. Ukuran

prestasi yang lebih disederhana terdapat tiga kreteria untuk mengukur kinerja,

pertama; kuantitas kerja, yaitu jumlah yang harus dikerjakan, kedua, kualitas

kerja, yaitu mutu yang dihasilkan, dan ketiga, ketepatan waktu, yaitu

kesesuaiannya dengan waktu yang telah ditetapkan.

Tujuan dan Manfaat Pengukuran Kinerja

Batasan tentang pengukuran kinerja adalah sebagai usaha formal yang dilakukan

oleh organisasi untuk mengevaluasi hasil kegiatan yang telah dilaksanakan secara

periodik berdasarkan sasaran, standar dan kriteria yang telah ditetapkan


sebelumnya. Tujuan pokok dari pengukuran kinerja adalah untuk memotivasi

karyawan dalam mencapai sasaran organisasi dan mematuhi standar perilaku yang

telah ditetapkan sebelumnya agar menghasilkan tindakan yang diinginkan

(Mulyadi & Setyawan 1999: 227).

1. Meningkatkan motivasi karyawan dalam memberikan kontribusi kepada

organisasi.

2. Memberikan dasar untuk mengevaluasi kualitas kinerja masing-masing

karyawan.

3. Mengidentifikasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan karyawan

sebagai dasar untuk menyediakan kriteria seleksi dan evaluasi program

pelatihan dan pengembangan karyawan.

4. Membantu pengambilan keputusan yang berkaitan dengan karyawan,

seperti produksi, transfer dan pemberhentian.

Pengukuran kinerja memerlukan alat ukur yang tepat. Dasar filosofi yang dapat

dipakai dalam merencanakan sistem pengukuran prestasi harus disesuaikan

dengan strategi perusahaan, tujuan dan struktur organisasi perusahaan. Sistem

pengukuran kinerja yang efektif adalah sistem pengukuran yang dapat

memudahkan manajemen untuk melaksanakan proses pengendalian dan

memberikan motivasi kepada manajemen untuk memperbaiki dan meningkatkan

kinerjanya.

Prinsip Pengukuran Kinerja

Dalam pengukuran kinerja terdapat beberapa prinsip-prinsip yaitu:

1. Seluruh aktivitas kerja yang signifikan harus diukur.


2. Pekerjaan yang tidak diukur atau dinilai tidak dapat dikelola karena

darinya tidak ada informasi yang bersifat obyektif untuk menentukan

nilainya.

3. Kerja yang tak diukur selayaknya diminimalisir atau bahkan ditiadakan.

4. Keluaran kinerja yang diharapkan harus ditetapkan untuk seluruh kerja

yang diukur.

5. Hasil keluaran menyediakan dasar untuk menetapkan akuntabilitas hasil

alih-alih sekedar mengetahui tingkat usaha.

6. Mendefinisikan kinerja dalam artian hasil kerja semacam apa yang

diinginkan adalah cara manajer dan pengawas untuk membuat penugasan

kerja dari mereka menjadi operasional.

7. Pelaporan kinerja dan analisis variansi harus dilakukan secara kerap.

8. Pelaporan yang kerap memungkinkan adanya tindakan korektif yang

segera dan tepat waktu.

9. Tindakan korektif yang tepat waktu begitu dibutuhkan untuk manajemen

kendali yang efektif.

2.8 The Evaluation of Performance

Evaluasi kinerja atau penilaian prestasi karyawan yang dikemukakan Leon C.

Menggison (1981:310) dalam Mangkunegara (2000:69) adalah sebagai berikut:

”penilaian prestasi kerja (Performance Appraisal) adalah suatu proses yang

digunakan pimpinan untuk menentukkan apakah seorang karyawan melakukan

pekerjaannya sesuai dengan tugas dan tanggng jawabnya”. Selanjutnya Andrew E.


Sikula (1981:2005) yang dikutip oleh Mangkunegara (2000:69) mengemukakan

bahwa ”penilaian pegawai merupakan evaluasi yang sistematis dari pekerjaan

pegawai dan potensi yang dapat dikembangkan. Penilaian dalam proses penafsiran

atau penentuan nilai, kualitas atau status dari beberapa obyek orang ataupun

sesuatu (barang)”. Selanjutnya Menurut Siswanto (2001:35) penilaian kinerja

adalah: ” suatu kegiatan yang dilakukan oleh Manajemen/penyelia penilai untuk

menilai kinerja tenaga kerja dengan cara membandingkan kinerja atas kinerja

dengan uraian / deskripsi pekerjaan dalam suatu periode tertentu biasanya setiap

akhir tahun.” Anderson dan Clancy (1991) sendiri mendefinisikan pengukuran

kinerja sebagai: “Feedback from the accountant to management that provides

information about how well the actions represent the plans; it also identifies

where managers may need to make corrections or adjustments in future planning

andcontrolling activities” sedangkan Anthony, Banker, Kaplan, dan Young

(1997) mendefinisikan pengukuran kinerja sebagai: “the activity of measuring the

performance of an activity or the value chain”. Dari kedua definisi terakhir

Mangkunegara (2005:47) menyimpulkan bahwa pengukuran atau penilaian

kinerja adalah tindakan pengukuran yang dilakukan terhadap berbagai aktivitas

dalam rantai nilai yang ada pada peruisahaan. Hasil pengukuran tersebut

digunakan sebagai umpan balik yang memberikan informasi tentang prestasi,

pelaksanaan suatu rencana dan apa yang diperlukan perusahaan dalam

penyesuaian-penyesuaian dan pengendalian.

Dari beberapa pendapat ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa evaluasi kinerja

adalah penilaian yang dilakukan secara sistematis untuk mengetahui hasil

pekerjaan karyawan dan kinerja organisasi. Disamping itu, juga untuk


menentukan kebutuhan pelatihan kerja secara tepat, memberikan tanggung jawab

yang sesuai kepada karyawan sehingga dapat melaksanakan pekerjaan yang lebih

baik di masa mendatang dan sebagai dasar untuk menentukan kebijakan dalam hal

promosi jabatan atau penentuan imbalan.

Anda mungkin juga menyukai