Anda di halaman 1dari 59

MODUL PEMBELAJARAN

Mata Kuliah :
Farmakologi
(Program Studi Diploma III Kebidanan)

Oleh :
Juliana Ambarita, SST

PROGRAM STUDI D III KEBIDANAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
STIKES SANTA ELISABETH MEDAN
TAHUN 2015/2016
HALAMAN PENGESAHAN

Identitas Mata Kuliah


Institusi : STIKes Santa Elisabeth Medan
Program Studi : D-III Kebidanan
Nama Mata Kuliah : Farmakologi
Beban/Jumlah SKS : 3 SKS (2 T, 1 P)
Pelaksanan : Semerter II

Medan,Februari 2016
Mengetahui,

Wakil Ketua I Ka.Prodi Diploma III Kebidanan

Nagoklan Nainggolan, SST. M.kes Anita Veronika,SsiT,M.KM


DAFTAR ISI

Materi 1 Konsep Farmakologi


Materi 2 Farmakokinetik
Materi 3 Farmakodinamik
PENGANTAR

Modul pembelajaran Farmakologi yang disusun oleh dosen penanggung jawab mata kuliah
Farmakologi, membahas tentang materi pembelajaran yang disampaikan dikelas maupun di
laboratorium terkait materi tentang keseluruhan dari bahasa Indonesia.
Modul ini disusun dengan tujuan untuk memudahkan proses pembelajaran. Dalam
mempelajari modul ini anda di harapkan untuk banyak membaca dan berlatih berbagai materi yang
disajikan baik secara mandiri maupun teman teman anda, untuk mendapatkan gambaran dan
penguasaan yang lebih mendalam tentang farmakologi ini.
Mudah mudahan anda dapat menguasai isi dari modul ini dan mendapatkan hasil yang
maksimal. Selamat belajar.

Medan, Februari 2016


Penulis

Juliana Ambarita, SST


MATERI 1
KONSEP FARMAKOLOGI

I. Kompetensi Dasar
Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian dari konsep farmakologi.

II. Tujuan Pembelajaran


1. Menjelaskan Pengertian farmakologi
2. Menjelaskan beberapa istilah penting dalam farmakologi
3. Menjelasakan ruang lingkup farmakologi
4. Menjelaskan macam-macam-obat

III. Materi
1. Pengertian farmakologi
2. Beberapa istilah penting dalam farmakologi
3. Ruang lingkup farmakologi
4. Macam-macam obat

IV. Uraian Materi


1. Konsep Dasar Farmakologi

A. Pengertian Farmakologi

Farmakologi adalah ilmu yang mempelajari obat (zat kimia) yang merubah fungsi organisme
hidup. Terapi obat, juga disebut sebagai farmakoterapi, adalah penggunaan obat untuk mencegah,
mendiagnosa, atau mengobati tanda, gejala, dan proses penyakit. Obat yang diberikan untuk tujuan
terapeutik biasanya disebut pengobatan (medication). Pengobatan mungkin diberikan untuk
berbagai alasan. Pada beberapa contoh, tujuan terapi obat adalah untuk mengurangi proses penyakit
daripada mengobatinya. Untuk mendapatkan tujuan ini, maka obat mungkin diberikan untuk efek
lokal atau sistemik. Obat dengan efek lokal, seperti sunscreen lotion dan anesthesia lokal, bekerja
terutama pada tempat pemberian. Sedangkan pada efek sistemik diberikan kedalam tubuh, bersirkulasi
melalui aliran darah ke tempat kerja (site of action) mereka dalam berbagai jaringan tubuh, dan pada
akhirnya di eliminasi dari tubuh. Kebanyakan obat diberikan untuk memberikan efek sistemik.
Obat mungkin juga diberikan untuk mendapatkan efek yang relatif segera (misal, pada masalah
akut seperti nyeri atau infeksi) atau efek jangka panjang (misal, untuk mengurangi tanda dan gejala
dari penyakit kronik).

Farmakologi merupakan ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan interaksi antara sebuah
sistem dalam makhluk yang hidup dan zat-zat kimia dari luar yang masuk kedalam sistem tersebut.
Farmakologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari interaksi antara zat kimia dengan bahan-
bahan dari sistem kehidupan. Ini adalah definisi yang luas, yang diinterpretasikan sebagai setiap zat
kimia pada setiap sistem kehidupan.
Zat kimia, ketika diberikan pada sistem hidup, disebut obat. Obat dapat diartikan sebagai setiap
molekul kecil yang ketika masuk kedalam tubuh, akan mengubah fungsi tubuh melalui berbagai
interaksi di tingkat molekuler.

B. Istilah Dalam Farmakologi

Farmakodinamik adalah ilmu yang mempelajari bagaimana zat kimia (obat) menghasilkan efek
biologikal; yang meliputi tempat kerja (site of action), mekanisme kerja (mechanisms of action),
dan efek biologikal dari obat. Secara sederhana, farmakodinamik mempelajari kerja obat pada
tubuh.

Farmakokinetik adalah ilmu yang mempelajari faktor-faktor yang menentukan jumlah obat
pada tempat kerja (site of action) dan hubungannya dengan waktu setelah pemberian. Faktor-faktor
yang dipelajari meliputi: dosis dan rute pemberian; absorpsi; distribusi; metabolisme dan ekskresi.
Secara sederhana, farmakokinetik didefinisikan sebagai aksi tubuh pada obat.

Kemoterapi adalah subdisiplin dari farmakoterapi dan merupakan aplikasi dari obat untuk
pencegahan atau pengobatan penyakit yang disebabkan oleh parasit atau infeksi organisme.
Profilaksis adalah pemberian obat secara individual dalam rangka untuk mencegah perkembangan
penyakit atau kondisi yang tidak diinginkan.

Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang efek toksik atau membahayakan dari bahan
kimia serta mekanisme dari efek tersebut. Toksikologi memperhatikan gejala dan pengobatan akibat
keracunan serta mengidentifikasi racun. Semua bahan kimia adalah toksik bila overdosis.

C. Ruang Lingkup Farmakologi

Farmakologi berasal dari bahasa Yunani pharmacon (obat) dan logos (ilmu pengetahuan),
sehingga berarti ”ilmu pengetahuan tentang segala sesuatu mengenai obat”. Dahulu farmakologi
didefinisikan sebagai suatu cabang ilmu yang mempelajari sejarah, sumber obat, sifat-sifat fisik dan
kimiawi, cara pembuatan atau pencampuran obat, efek terhadap fungsi biokimia dan faal tubuh serta
mekanisme kerja, absorpsi, distribusi, biotransformasi, ekskresi, penggunaan untuk penyakit, efek
samping dan intoksikasi obat. Dan, yang termasuk obat (dalam arti luas) ialah semua zat kimia yang
dapat mempengaruhi proses hidup. Oleh karena itu farmakologi merupakan ilmu pengetahuan yang
sangat luas, dan berhubungan erat dengan berbagai disiplin ilmu lain seperti: ilmu botani, ilmu
kimia (berhubungan farmakodinamik dan farmakokinetik obat), bakteriologi (berhubungan dengan
antibiotik dan kemoterapeutik), farmasi, farmakokognisi, posologi, terapeutik, toksikologi dan lain-
lain.

Beberapa bagian dari cabang ilmu ini telah ada yang merupakan ilmu tersendiri dengan ruang
lingkup pengetahuan yang lebih sempit, tetapi tidak dapat terlepas sama sekali dari farmakologi,
misalnya farmasi dan toksikologi.
D. Jenis – Jenis Obat

Obat dalam bahasa Inggris disebut drug yang berasal dari bahasa Perancis droque yang
berarti“rempah kering”. Dari segi farmakologi obat didefinisikan sebagai substansi yang digunakan
untuk pencegahan, diagnosis dan pengobatan penyakit pada manusia maupun binatang. Menurut SK
MenKes No. 125/Kaab/B.VII/71 tgl. 9 Juni 1971, yang dimaksud dengan obat ialah suatu bahan
atau paduan bahan-bahan untuk digunakan dalam menetapkan diagnosis, mencegah, mengurangi,
menghilangkan, menyembuhkan penyakit, luka atau kelainan badaniah dan rohaniah pada manusia
atau hewan, memperelok badan atau bagian badan manusia.

Obat dapat dibedakan atas 2 golongan :

Obat tradisional
Ramuan-ramuan yang diperoleh langsung secara alamiah di Indonesa baik berasal dari
binatang, tumbuhan atau mineral, diolah secara sederhana atas dasar pengalaman dan dipergunakan
dalam pengobatan tradisional (menurut UU No. 9 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Kesehatan dan
UU No. 7 Tahun 1963 tentang Farmasi). Obat tradisional Indonesia yang telah diramu dan siap
untuk dipasarkan lazim juga disebut sebagai jamu (Jawa). Obat jadi ialah obat-obat paten yang telah
tersedia di pasaran, dikemas dalam berbagai bentuk sesuai dengan kegunaannya.

Menurut SK MenKes No. 193/Kab/B.VII/71 tgl. 21 Agustus 1972 obat paten dirumuskan sebagai
obat jadi dengan nama dagang yang terdaftar atas nama si pembuat atau yang dikuasakannya
dan dijual dalam bungkus asli dari pabrik. Batasan obat paten menurut Permenkes Republik Indonesia
No. 085/Menkes/Perl.1989 adalah obat dengan nama dagang dan menggunakan nama yang
merupakan milik produsen yang bersangkutan.

Di pasaran juga dikenal obat resmi dan obat tidak resmi, obat bebas, obat keras dan obat bius.
Yang dimaksud dengan obat resmi ialah obat atau bahan baku yang dimuat dalam farmakope, yaitu
buku yang memuat pembakuan bahan kimia dan disahkan berdasarkan undang-undang. Obat yang
tidak dimuat dalam farmakope adalah obat tidak resmi, tetapi boleh dipasarkan dengan izin dari
Departemen Kesehatan. Yang dimaksud dengan obat bebas ialah obat yang bebas dibeli di pasaran
(toko obat atau di apotik). Obat keras ialah obat-obat yang hanya dapat dibeli dari apotik dengan
menggunakan resep dokter. Obat bius hanya dapat diperoleh dari apotik dengan resep dokter dan
penjualannya harus disertai dengan pelaporan kepada Menteri Kesehatan.

Obat esensial
Obat yang paling dibutuhkan untuk pelaksanaan kesehatan bagi masyarakat banyak yang
meliputi obat untuk diagnosis, profilaksis, terapi dan rehabilitasi (Doen 1980/1981). Penerapan
gagasan Daftar Obat Esensial dimaksudkan untuk meningkatkan ketepatan, keamanan,
rasionalisasi; penggunaan obat yang sekaligus meningkatkan daya guna dan hasil guna biaya yang
tersedia sebagai salah satu langkah untuk memperluas dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan
pada masyarakat oleh pemerintah, maka disusun Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) oleh Tim
Penyusun dan Revisi Daftar Obat Esensial yang ditetapkan dengan SK Menkes No.
74/Men.Kes/S.K./II/1980, tgl. 26 Februari 1980.

Suatu obat dikategorikan sebagai obat esensial bila kemanjuran dan keamanannya telah dengan
jelas diketahui (melalui uji klinik dan penelitian epidemiologik yang sahih) dan memenuhi
keperluan pencegahan dan pengobatan penyakit-penyakit yang sering dijumpai, dengan harga yang
murah dan mudah didapat (tersedia bila diperlukan) dengan sifat-sifat farmakokinetik yang
menguntungkan.

Obat generik adalah obat yang digunakan dalam Program Obat Terpadu (DOPB) meliputi obat
esensial yang paling banyak dibutuhkan masyarakat dengan mutu terjamin diproduksi oleh perusahaan
dengan persyaratan cara produksi obat yang baik (COPB). Obat umumnya diproduksi dan dipasarkan
dengan menggunakan nama dagang, yaitu nama yang menjadi milik produsen obat yang bersangkutan.
Disamping produksi dengan nama dagang, obat dapat pula diproduksi dan dipasarkan dengan nama
generik yaitu nama yang dapat digunakan oleh setiap produsen yang memproduksi obat tersebut.
Nama generik adalah nama berdasarkan International Non-Propierty Names yang ditetapkan oleh
WHO atau berdasarkan nama yang ditetapkan dalam farmakope untuk zat berkhasiat yang dikandung.

1. Jenis obat dalam praktik kebidanan

Dalam praktek kebidanan terdapat standarisasi pengobatan oleh pemerintahan dan digunakan
oleh seorang bidan. Sesuai kebijakan pemerintah, bidan dapat memberikan perawatan termasuk
pertolongan atau pengobatan diare; petunjuk pemberian makanan; memberikan obat-obatan
(roborantia; pengobatan tertentu dalam bidang kebidanan, sepanjang hak itu tidak melalui suntikan,
kecuali uterotonika); pemberian imunisasi dasar dan ulang (BCG, Polio, DPT dan Campak).

Lampiran II Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor. 900/MENKES/SK/VII/2002 Tanggal. 25 Juli


2002.
No. Jenis obat Jumlah
A. Obat-obatan:
1. Roborantia
2. Vaksin
3. Syock anafilatik
 adrenalin 5 ampul
 antihistamin 2 ampul
 hidrokortison 5 ampul
 aminophilin 240mg/10 ml 2 ampul
dopamin 5 ampul
4. Sedativa
5. Antibiotika
6. Uterotonika
7. Antipiretika
8. Koagulantia
9. Anti kejang
10. Glyserin
11. Cairan infus
12. Obat luka
13. Cairan disinfektan (termasuk
clorin)
14. Obat penanganan asfiksia pada
BBL

2. Obat-obatan yang berhubungan dengan kebidanan

A. Uterotonika
Obat yang kerjanya mempengaruhi kontraksi rahim.
Obat – obat uterus tonika :
a. Methylergometrine
1) Nama generik : Methylergometrine
2) Nama dagang :
Methergin (Sandoz)
Metilat (Metiska Farme)
Methovin (Kimia Farma)
3) Indikasi (Sebagai stimulan uterus) pada :
Perdarahan pasca persalinan
Perdarahan pasca abortus

b. Oksitosin
Oksitosin adalah golongan obat yang digunakan untuk merangsang kontraksi otot polos uterus
dalam membantu proses persalinan, pencegahan perdarahan pasca persalinan (P3) serta
penguatan persalinan.
1) Nama generik : Oxytocin (Pitocin, Syntocinon) 10 Unit/ampul
2) Nama Paten :
Piton S
Syntocinon
Hypophysin
Piroglandol
3) Kerja oksitoksin : Oksitosin bekerja pada reseptor oksitosin untuk menyebabkan :
Kontraksi uterus kehamilan aterm yang terjadi lewat kerja langsung pada otot polos
maupun lewat peningkatan produksi prostaglandin
Konstriksi pembuluh darah umbilikus
Kontraksi sel-sel miopitel (refleks ejeksi ASI)
Oksitosin bekerja pada reseptor hormon antidiuretik (ADH), untuk menyebakan
peningkatan atau penurunan yang mendadak pada tekanan darah (khususnya diastolik)
karena terjadinya vasodilatasi
Retensi air
4) Kerja oksitoksin yang meliputi : kontraksi tuba uterine (fallopi) untuk membantu
pengangkutan sperma dan luteolisis (involusi korpus luteum), peran neurotransmitter yang
lain dalam sistem saraf pusat. Oksitosin disintesis didalam hipotalamus, kelenjar gonad, plasenta
dan uterus. Mulai dari usia kehamilan 32 minggu dan selanjutnya, konsentrasi oksitosin dan
aktivitas uterus akan lebih tinggi pada malam hari.
5) Efek samping penggunaan oksitosin Efek samping (maternal) :
Stimulasi uterus berlebihan
Emboli cairan amnion
Solusio plasenta
Trauma
Perdarahan postpartum
Hematom pelvis, ruptur uterus
Kolaps kardiovaskuler
Hipotensi
Stroke
Mual dan muntah
Retensi cairan
Intoksikasi air
Hipertensi
6) Indikasi : Induksi partus aterm
7) Kontraindikasi :
Penyakit jantung
Paru – paru
Ginjal
Hati
Asma
Anemia
Epilepsi
Penyakit radang pelvis
Terdapat jaringan perut pada uterus
Hipersensitif terhadap obat

c. Prostaglandin
Hormon yang disekresikan oleh berbagai jaringan tubuh, misalnya otot uterus.
1) Nama generik : Gemeprost, Dinoproston
2) Nama paten :
Gemesprost
Prostin E2 (pharmacia)
3) Indikasi : Prostaglandin digunakan untuk mematangkan serviks uterus dan menyebabkan
kontraksi selama induksi persalinan

d. Obat Hemostatid (Koagulantia/ Anti-perdarahan)


Vitamin K
Vitamin K adalah senyawa yang larut dalam lemak, terutama ditemukan dalam sayuran
berwarna hijau. Kebutuhan diet sangat rendah, karena vitamin K dapat disintetis oleh bakteri
yang mengkontaminasi usus manusia. Ada dua bentuk yaitu, vitamin K1 yang ditemukan
dalam makanan (fitonodion), dan Vit K2 yang ditemukan dalam jaringan manusia yang
disintesis oleh bakteri usus (menakuinan).

Nama generik : Vit K; Fitomenadion


b. Nama paten : Autoplex 2 peba (aktivasi factor VIII dan IX) Kaywan, Kavitin
Sewaktu aktivitas protrombin terdepresi oleh kelebihan
c. Indikasi : warfarin atau defisiensi Vit.K

e. Obat-obat Imunologi
Antigen merupakan bagian protein kuman atau protein racun. Bila antigen masuk kedalam
tubuh manusia, maka sebagai reaksi tubuh akan membentuk zat anti. Zat anti dalam tubuh
disebut antibodi. Pada umumnya tubuh anak tidak akan mampu melawan antigen yang kuat.
Antigen yang kuat adalah jenis kuman ganas / virulen. Karena itu anak akan menjadi sakit bila
terjangkit kuman ganas.

Vaksin
Vaksin adalah bahan yang terbuat dari kuman, komponen kuman atau racun kuman yang
telah dilemahkan atau dimatikan. Pemberian vaksin merangsang tubuh anak membuat
antibodi. Adapun jenis penyakit yang pencegahannya dapat dilakukan dengan imunisasi:
TBC
Difteri
Tetanus
Polio
Campak
Hepatitis

f. Obat anastesi local


Obat-obat anastesi local di kembangkan dari kokain yang digunakan untuk pertama kalinya
dalam kedokteran gigi dan oftalmologi pada abad ke-19. Kini kokain sudah digantikan dengan
lignokain (lidokain), bupivakain (marcain), perilokain dan ropivakain. Prilokain terutama
digunakan dalam preparat tropical.

Penggunaan anastesi lokal dalam kebidanan, obat-obat tersebut diberikan lewat


beberapa cara:
Topical, misalnya pada pemasangan infus
Subkutan/intradermal pada penjahitan luka
Infiltrasi di sekeliling serabut saraf yang tunggal, misalnya blok anastesi
pudendus.
Epidural, pada permukaan durameter bagi persalinan atau seksio caesarea
Spinal (intratekal), kedalam cairan serebrospinal
Pada ruangan subaraknoid (intratekal) bagi persalinan atau seksio caesarea.

g. Zat Besi
1)Nama generik : Senyawa FE sorbitol
2)Nama paten : Jectofer (Astra Zeneca)
Zat besi merupakan mineral yang diperlukan oleh semua sistem biologi di dalam tubuh. Besi
merupakan unsur esensial untuk sintesis hemoglobin, sintesis katekolamin, produksi panas
dan sebagai komponen enzim-enzim tertentu yang diperlukan untuk produksi adenosine
trifosfat (ATP) yang terlibat dalam respirasi sel.

Kekurangan zat besi pada ibu hamil dapat mengganggu metabolisme energi sehingga
dapat menyebabkan menurunnya kemampuan kerja organ-organ tubuh. Selain itu, kekurangan
zat besi pada ibu hamil dapat mempengaruhi perkembangan janin. Kekurangan zat besi
umumnya ditandai dengan wajah pucat, rasa lemah, letih, pusing, kurang nafsu makan,
menurunnya kebugaran tubuh, menurunnya kekebalan dan gangguan penyembuhan luka.

Mengapa banyak ibu hamil kekurangan zat besi? Sebab, memasuki trimester kedua dan
ketiga ibu mengalami "hemodilusi" (pengenceran). Hal ini terjadi karena ibu hamil
memproduksi cairan lebih banyak sehingga kebutuhan akan sel darah merahnya juga bertambah.
Jadi tak perlu heran bila banyak ibu hamil pada trimester kedua dan ketiga membutuhkan
lebih banyak zat besi. Banyak wanita di Indonesia mengalami kekurangan zat besi, sehingga
kadar hemoglobinnya rendah. Hal ini tentu berpengaruh pada kualitas kesehatan ibu dan
janin.

Jumlah zat besi yang dibutuhkan selama masa kehamilan berbeda per trimesternya.
Pada trimester pertama, tambahan akan zat besi belum dibutuhkan. Kondisi ini
menguntungkan bagi ibu hamil yang mengalami mual dan muntah karena mengkonsumsi zat
besi biasanya dapat memperparah kondisi mual dan muntah.

Namun memasuki trimester II, kebutuhan akan zat besi menjadi 35 mg per hari per berat
badan (sama dengan mengkonsumsi segenggam kacang hijau, atau setengah genggam daun
ubi). Kemudian bertambah menjadi 39 mikrogram per hari per berat badan pada trimester ketiga
(sama dengan mengkonsumsi 1 potong tempe). Untuk memenuhi kebutuhan itu makanlah bahan
makanan yang kaya akan zat besi, seperti, daging, hati, telur, sereal tumbuk, kacang-kacangan,
dan sayuran hijau

h. Asam Folat
1) Namagenerk : Asam Folat
2) Nama paten : Preconceive
Asam folat termasuk kelompok vitamin B yang bermanfaat uantuk mengurangi NTD
(neural tubes defects) atau kelainan susunan saraf pusat. Disarankan diskonsumsi semenjak
masa persiapan atau sebelum kehamilan karena pembentukan susunan saraf pusat akan
dimulai di awal kehamilan. Tak perlu khawatir, karena kelebihan asupan ini akan di buang
secara otomatis. Jumlah asam folat yang dibutuhkan selama kehamilan adalah 600 mikrogram
per hari per orang. Jadi ada tambahan sebanyak 200 mikrogram per hari per orang dibanding
manusia dewasa yang tidak hamil. Sumber asam folat antara lain brokoli, gandum, kacang-
kacangan, jeruk, stroberi, dan bayam. Namun, karena mengkonsumsi makanan tersebut belum
menjamin terpenuhinya kebutuhan ini maka ibu hamil tetap dianjurkan mendapat asupan
suplemen asam folat.

Sumber alami asam folat :


Sayuran berwarna hijau, seperti : bayam dan brokoli.
Buah-buahan, seperti : jeruk, semangka, nanas, dan avokad.
Daging sapi

Macam-macam obat kebidanan lainnya


NamaGee
No Nama Paten k Fungsi

1 Anvormer B6 Piratiasina 8 B6 30 mg Untuk mengatasi mual dan muntah


pada trimester 1
2 Primperon Metaklopramida untuk mual dan muntah pada ibu
Hamil
3 Novabevit Thiamin ( B1) Vitamin untuk menambah stamina
pada ibu hamil
Untuk pertumbuhan janin &
4 Folavit Asam folat menjaga kesehatan tubuh

5 Fitolac Ekstrak daun katuk Untuk meperlancar ASI


6 Herbalacta Vitex trifolia fructus Untuk memperpanjang masa
Akstrak reproduksi ASI
Vitex agnus costus
fructus
Untuk membantu kekurangan
7 Osteocal Kalsiun karbonat kalsium
Amylum maydis pada ibu hamil
Avicel
Povidon
Ferrofumarat 360 Suplemen vitamin dan mineral
8 Premania mg untuk

anemia, misalnya anemia pada


Asam folat 1,5 mg masa
Vitamin – B12 kehamilan dan laktasi
Ca karbonat 250 mg
9 Premaston Allilestrenol 5 mg Untuk menguatkan kandungan

Referensi
Brass, E. P. (2001). Changing the status of drugs from prescription to over-the-counter
availability.
New England Journal of Medicine, 345(11), 810–816.
Lipsky, M. S., & Sharp, L. K. (2001). From idea to market: The drug approval process. Journal
of the American Board of Family Practice, 14(5), 362–367.
Schwartz, J. B. (2000). Geriatric clinical pharmacology. In H. D. Humes (Ed.), Kelley’s textbook
of internal medicine (4th ed., pp. 3095–3107). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
U.S. Food and Drug Administration. Frequently asked questions. [On-line.] Available:
http://www.fda.gov/opacom/faqs/faqs.html. Accessed 31 March 2000.

V. Tugas Mandiri

1. Tujuan Tugas

Mahasiswa mampu mengidentifikasi macam-macam obat yang umum tersedia pada Praktek
Klinik Kebidanan (BPS).

2. Uraian Tugas

Obyek garapan :
Macam obat yang tersedia pada Bidan Praktek Swasta (BPS)
Yang harus dikerjakan dan batasan-batasan :
Mengidentifikasi klasifikasi obat berdasarkan pada kegunaan terapeutik, nama generik dan nama
dagang, indikasi dan kontraindikasi, efek samping, rute (cara) pemberian, bentuk sediaan,
dosis, interaksi, mekanisme kerja, perhatian khusus (bila ada).
Metode/ cara pengerjaan tugas :
Berupa daftar obat-obatan yang tersedia pada Bidan Praktek Swasta (BPS).
Deskripsi luaran tugas yang dihasilkan : Hasil studi tersaji dalam bentuk paper, dengan ukuran
kertas kuarto, diketik dengan huruf Times New Roman, ukuran huruf 12 pt, 1 spasi.

VII. Evaluasi

A. Definisi farmakologi:
a. Ilmu yang mempelajari obat (zat kimia) yang merubah fungsi organisme hidup
b. Ilmu yang mempelajari penggunaan obat
c. Ilmu yang mempelajari faktor-faktor yang menentukan jumlah obat pada tempat
kerja
d. Ilmu yang mempelajari pencegahan atau pengobatan penyakit yang disebabkan oleh
parasit atau infeksi organisme
e. Ilmu yang mempelajari persiapan, pencampuran dan pengeluaran bahan kimia selama
terapeutik

B. Bidang ilmu farmakologi yang mempelajari tempat kerja dan mekanisme kerja obat
adalah:
a. Farmakodinamik
b. Farmakokinetik
c. Farmakoterapeutik
d. Farmasi
e. Toksikologi

C. Farmakologi berhubungan erat dengan disiplin ilmu:


a. Ilmu botani
b. Ilmu kimia
c. Bakteriologi
d. Farmakokognisi
MATERI 2
FARMAKOKINETIK
I. Kompetensi Dasar

Mahasiswa dapat menjelaskan tentang farmakokinetik.

II. Tujuan Pembelajaran


1. Menjelaskan pengertian farmakokinetik
2. Menjelaskan absorpsi dan biovailabilitas
3. Menjelaskan distribusi obat
4. Menjelaskan metabolisme obat
5. Menjelaskan ekskresi obat
6. Menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi, distribusi, metabolisme &
ekskresi obat.
7. Menjelaskan kadar obat dalam serum
8. Menjelaskan proses yang dialami obat dalam tubuh yang sakit maupun sehat.

III. Materi
1. Pengertian farmakokinetik
2. Absorpsi dan biovailabilitas
3. Distribusi obat
4. Metabolisme obat
5. Ekskresi obat
6. Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi, distribusi, metabolisme & ekskresi obat.
7. Kadar obat dalam serum
8. Proses yang dialami obat dalam tubuh yang sakit maupun sehat.

IV. Uraian Materi

A. Pengertian Farmakokinetik
Farmakokinetik adalah bidang studi yang mempelajari bagaimana tubuh kita
memanipulasi obat. Bidang ilmu ini mencoba memahami prinsip-prinsip dari dosis obat,
distribusi dan durasi kerja obat. Farmakokinetik, dalam arti sempit, adalah perjalanan obat
melalui tubuh. Bagaimana obat yang kita telan melalui mulut kita dapat mencapai infeksi
yang terletak pada kaki kita? Dan bagaimana kita membersihkan obat dari dalam tubuh kita?

Farmakokinetik berhubungan dengan pergerakan obat melalui tubuh atau, “what the
body does to the drug” untuk mencapai site of action, metabolisme, dan ekskresi. Dalam
farmakokinetik dipelajari tentang proses-proses khusus yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme
(biotransformasi), dan ekskresi. Secara keseluruhan, proses ini sangat menentukan kadar obat
dalam serum, mula (onset), puncak dan durasi kerja obat, half-life obat, efek terapeutik dan
merugikan dari obat, dan aspek penting lainnya dari terapi obat. Peneliti mempelajari
farmakokinetik dari obat sehingga mereka mengetahui bagaimana kekuatan obat berdasarkan
waktu untuk mencapai sel target.
Terdapat empat proses dari farmakokinetik:
(1) absorpsi
(2) distribusi
(3) metabolisme
(4) ekskresi.

a. Absorpsi dan Biovalailabilitas PE

Absorpsi adalah proses yang terjadi dari waktu obat memasuki tubuh sampai waktu ia
memasuki pembuluh darah untuk bersirkulasi. Mula kerja obat adalah sangat ditentukan oleh
kecepatan absorpsi; intensitas ditentukan oleh tingkat absorpsi. Sejumlah faktor yang
mempengaruhi kecepatan dan tingkat absorpsi obat, meliputi bentuk dosis, rute pemberian,
aliran darah ke tempat pemberian, fungsi gastrointestinal, adanya makanan atau obat lain, dan
variabel lainnya. Bentuk dosis adalah penentu utama dari bioavailability obat (bagian dari
dosis yang mencapai sirkulasi sistemik dan tersedia untuk bekerja pada sel-sel tubuh). Obat
intravenous (IV) sebenarnya 100% bioavailable; obat oral sebenarnya selalu kurang dari
100% bioavailable karena beberapa diantaranya tidak diabsorpsi dari saluran gastrointestinal
dan beberapa diantaranya menuju liver dan sebagaian dimetabolisme sebelum mencapai
sirkulasi sistemik (first-pass effect).
Kebanyakan obat oral harus ditelan, terlarut dalam cairan lambung, dan diteruskan ke usus
halus (memiliki area permukaan yang luas untuk absorpsi nutrien dan obat) sebelum mereka
diabsorpsi. Obat cair (liquid) diabsorpsi lebih cepat daripada teblet atau kapsul karena mereka
tidak perlu dilarutkan. Pergerakan cepat melalui lambung dan usus halus mungkin meningkatkan
absorpsi obat melalui peningkatan kontak dengan membran mukosa absorptif; ia juga mungkin
menurunkan absorpsi karena beberapa obat mungkin bergerak melalui usus halus terlalu cepat
untuk diabsorpsi. Untuk beberapa obat, adanya makanan dalam lambung akan memperlambat
kecepatan absorpsi dan mungkin menurunkan jumlah obat yang diabsorpsi.

Obat yang diinjeksikan kedalam subkutan atau jaringan intramuskuler biasanya diabsorpsi
lebih cepat daripada obat oral karena mereka bergerak secara langsung dari tempat injeksi ke
pembuluh darah. Absorpsi cepat dari tempat intramuskuler karena jaringan otot memiliki
banyak suplai darah. Obat yang diinjeksi secara intravena tidak perlu diabsorpsi karena mereka
dimasukkan secara langsung kedalam pembuluh darah.

Tempat absorpsi lainnya adalah kulit, membran mukosa, dan paru-paru. Kebanyakan
obat yang diberikan pada kulit digunakan untuk efek lokal (misal, sunscreen). Absorpsi
sistemik adalah minimal dari kulit yang utuh tetapi harus dipertimbangkan bila kulit
mengalami inflamasi atau kerusakan. Juga, jumlah obat yang diformulasikan dalam pita
adhesive (plester) untuk absorpsi melalui kulit (misal, clonidine, estrogen, fentanyl,
nitroglycerin, scopolamine). Beberapa obat yang diberikan pada membran mukosa juga
digunakan untuk efek lokal. Akan tetapi, absorpsi sistemik akan terjadi dari mukosa rongga
mulut, hidung, mata, vagina, dan rektum. Obat diabsorpsi melalui membran mukosa melewati
secara langsung kedalam pembuluh darah. Paru-paru memiliki area permukaan yang luas
untuk absorpsi gas anestetik dan beberapa obat lainnya.

b. Bioavailabilitas

Obat-obatan yang diberikan kepada pasien dapat melalui berbagai cara; mereka
mungkin diberikan secara injeksi, diabsorpsi dari saluran gastrointestinal setelah diberikan
per-oral atau per-rektal, diberikan secara lokal atau melalui inhalasi.

Istilah bioavailabilitas digunakan untuk menggambarkan bagian dosis obat yang diberikan
yang mencapai sirkulasi. Jika obat diberikan secara intravenous maka bioavailabilitas
akan mencapai 100%; jika diberikan secara per-oral maka hanya sebagian yang mungkin
mencapai sirkulasi.

Pemberian obat per-oral adalah cara yang paling umum dan paling mudah dan
biovailabilitas melalui rute ini tergantung pada beberapa faktor:
1. Absorpsi.
Hal ini tergantung pada sifat fisikal dari obat yang menentukan apakah ia akan lewat
melalui dinding usus, dan tergantung pada formulasi obat yang dibuat oleh pabrik. Absorpsi
mungkin sempurna atau tidak sempurna dan mungkin dipengaruhi oleh kecepatan
pengosongan lambung, adanya dan tidak adanya makanan dalam lambung dan, kadang- kadang,
oleh interaksi dengan obat lain atau penyakit saluran gastrointestinal.

2. First pass effect


Bila obat diabsorpsi dari saluran gastrointestinal maka ia akan melewati vena porta ke
liver sebelum mencapai sirkulasi umum. Hal ini penting karena beberapa obat akan
dimetabolisme (dipecah) karena mereka melewati liver sehingga hanya sebagian dari jumlah
obat yang betul-betul mencapai sirkulasi. Pembersihan obat yang melewati liver ini disebut
first pass effect. Obat yang menunjukkan first pass effect yang sangat besar hampir selalu
tidak aktif jika diberikan per-oral, contoh: lignocaine dan glyceryl trinitrate, diberikan melalui
injeksi atau, diabsorpsi melalui mukosa mulut, dengan cara dikunyah atau dihisap, sehingga
menghindari dimetabolisme oleh liver.
Setelah absorpsi, obat memasuki aliran darah dan dibawa ke seluruh tubuh. Mereka
mungkin terlarut dalam plasma, tetapi beberapa diantaranya sulir larut dan dan sebagian
berikatan dengan protein plasma yang bertindak sebagai karier. Adalah penting untuk
dipahami bahwa fraksi obat yang berikatan dengan protein adalah tidak aktif dan hanya obat
dalam bentuk bebas dan tidak berikatan dengan protein yang memiliki aksi farmakologikal.
Konsentrasi obat dalam aliran darah adalah indeks yang baik untuk menentukan apakah
dosis yang diberikan telah tepat untuk menghasilkan efek terapeutik yang memuaskan. Oleh
karena itu, perawat dan bidan harus mengetahui faktor-faktor yang menentukan konsentrasi obat
dalam darah.

a) Dosis
Jelaslah bahwa dosis yang lebih besar, akan menghasilkan konsentrasi yang lebih tinggi.

b) Rute pemberian
Prosedur injeksi intravenous dengan cepat meningkatkan konsentrasi obat dalam darah,
sedangkan pemberian secara per-oral akan menghasilkan peningkatan konsentrasi obat
dalam darah yang lambat dan konsentrasi puncak yang lebih rendah. Injeksi intramuskuler
menghasilkan konsentrasi obat dalam darah dengan kecepatan diantara kedua prosedur
tersebut.

c) Distribusi obat
Hal ini merupakan faktor penting lainnya yang menentukan konsentrasi obat dalam plasma
dan juga aktivitas dan efek terapeutik (Gambar 2.4.). beberapa obat terkurung pada aliran
darah dan hal ini sangat membatasi efek mereka; sebagai contoh, antibiotik yang tidak
memasuki jaringan tidak akan bermanfaat untuk mengobati kebanyakan infeksi.
Sedangkan obat yang lainnya akan berdifusi keluar dari sirkulasi kedalam ruang jaringan dan
beberapa diantaranya masuk kedalam sel-sel dan menyebar keseluruh total air tubuh (total
body water). Tetapi, juga terdapat obat yang secara nyata terkonsentrasi dalam sel- sel.

Rata-rata distribusi volume air dalam kompartemen tubuh orang dewasa adalah:
Plasma 3 liter
Ruang ekstraseluler 15 liter
Total body water 36 liter

Dapat dilihat, bahwa semakin luas obat berdifusi, maka obat yang diberikan akan
menghasilkan konsentrasi yang semakin rendah.

d) Kecepatan eliminasi
Semakin cepat tubuh memecah atau mengekskresi obat, maka semakin cepat konsentrasi
obat dalam darah mengalami penurunan.

Obat-obatan pada umumnya di eliminasi dalam satu atau dua cara :

1. Mereka mungkin dipecah atau dikombinasi dengan beberapa zat kimia lainnya sehingga
mereka tidak cukup memiliki efek farmakologikal secara aktif. Hal ini biasanya terjadi
didalam liver dan dilakukan oleh substansi yang disebut enzim. Enzim memiliki sifat
meningkatkan reaksi kimia tertentu, dan beberapa dari enzim tersebut berkaitan dengan
inaktivasi obat-obatan. Oleh karena itu, jika sel-sel liver mengalami kerusakan akibat
penyakit atau sirkulasi ke liver mengalami penurunan akibat gagal jantung, maka proses
inaktivasi mungkin berjalan lebih lambat dari normal. Aktivitas enzim-enzim liver dapat
ditingkatkan atau diturunkan oleh obat-obatan dan hal ini memiliki implikasi yang penting
dalam memberikan pengobatan pada pasien.

Juga terdapat faktor genetik yang menentukan perbedaan kecepatan pemecahan


beberapa obat oleh tubuh. Suxamethonium yang normalnya mengakibatkan paralisis
sementara pada otot volunter sebagai akibat pemecahan oleh enzim, tetapi pada keluarga
tertentu enzim-enzim ini mengalami kondisi ketidaknormalan atau defisiensi sehingga
subaxmethonium menyebabkan paralisis yang lebih lama.
Pada obat-obatan tipe tertentu, jika diberikan dengan cepat, maka proses pemecahan
menjadi lebih efektif. Oleh karena itu, lebih besar dosis yang diperlukan untuk
menghasilkan efek yang sama dan hal ini diketahui sebagai toleransi obat.

2. Obat atau produk pemecahan mereka mungkin di ekskresi melalui ginjal dan, jika ginjal
mengalami kerusakan akibat penyakit, maka ekskresi akan lambat dan terjadi
akumulasi. Pada orang dengan usia 80 tahun, fungsi ginjal mengalami penurunan kira-
kira separuh dari orang dewasa muda, sehingga beberapa obat memerlukan penurunan
dosis pada orang tua. Jarang obat di ekskresi melalui paru-paru dan rute ini penting pada
kasus pemberian anesthesi volatile.

Kecepatan eliminasi adalah faktor utama dalam memutuskan durasi kerja dari obat dan dikaitkan
sebagai plasma half-life (t½) dari obat.

Eliminasi Obat.

e. Metabolisme Obat
Metabolisme adalah metode dimana obat di inaktivasi atau mengalami biotransformasi
oleh tubuh. Yang paling sering, obat yang aktif dirubah menjadi satu atau lebih metabolit tidak
aktif, yang kemudian di ekskresi. Beberapa obat aktif menghasilkan metabolit yang juga aktif
dan terus memperkuat efek mereka pada sel-sel tubuh hingga mereka dimetabolisme lebih lanjut
atau di ekskresi. Obat lain (disebut prodrug) pada awalnya tidak aktif dan tidak memperkuat
efek farmakologik hingga mereka di metabolisme.

Kebanyakan obat adalah dapat larut dalam lipid, suatu karakteristik yang membantu
mereka bergerak melintasi membran sel. Akan tetapi, ginjal, yang merupakan organ ekskretor
utama, hanya dapat mengekskresi substansi yang dapat larut dalam air. Oleh karena itu, salah
satu fungsi dari metabolisme adalah merubah obat yang dapat larut lemak menjadi metabolit
yang dapat larut dalam air. Hepatic drug metabolism atau clereance adalah mekanisme utama
untuk mengakiri kerja obat dan mengeliminasi molekul-molekul obat dari tubuh.

Kebanyakan obat dimetabolisme oleh enzim dalam liver (disebut cytochrome P450
[CYP] atau microsomal enzyme system); sel darah merah, plasma, ginjal, paru-paru, dan
mukosa gastrointestinal juga mengandung drug-metabolizing enzyme. Sistem cytochrome
P450 mengandung 12 kelompok atau family, sembilan diantaranya merupakan substansi
metabolising endogenous dan tiga diantaranya adalah metabolising obat. Tiga kelompok yang
memetabolisme obat diberi nama CYP1, CYP2, dan CYP3. Dari beberapa obat yang
dimetabolisme oleh hepar, maka enzim kelompok CYP3 diduga mematabolisme kira-kira
50% obat, kelompok CYP2 kira-kira 45%, dan kelompok CYP1 kira-kira 5%. Setiap anggota
dari kelompok, memetabolisme obat yang spesifik, selanjutnya dikategorikan sebagai berikut:
enzim CYP2D6, CYP2C9, atau CYP3A4 yang memetabolisme beberapa obat.

Enzim-enzim ini terletak didalam hepatosit, suatu protein kompleks dengan binding site
untuk molekul-molekul obat (dan substansi endogenous). Mereka mengkatalisis reaksi kimia
oksidasi, reduksi, hidrolisis, dan konjugasi dengan substansi endogenous, seperti asam
glucuronic atau sulfate. Pada pemberian kronis, beberapa obat menstimulasi sel-sel liver untuk
memproduksi jumlah yang lebih besar dari drug-metabolizing enzym (proses yang disebut
enzyme induction).

Enzyme induction mempercepat metabolisme obat karena jumlah enzim yang besar (dan
lebih banyak binding site) memungkinkan sejumlah besar obat dimetabolisme selama waktu
pemberian. Sebagai akibatnya, perlu dosis yang lebih besar dari obat yang dimetabolisme
dengan cepat untuk mempertahankan efek terapeutik. Metabolisme yang cepat mungkin juga
meningkatkan produksi metabolit toksik pada beberapa obat (misal, acetaminophen). Obat yang
merangsang produksi enzim mungkin juga meningkatkan kecepatan metabolisme hormon
steroidal endogenous (misal, cortisol, estrogen, testosteron, dan vitamin D). Akan tetapi,
enzyme induction tidak terjadi selama 1 sampai 3 minggu setelah inducing agent dimulai
sebab protein enzim baru harus disintesis. Rifampin, suatu obat antituberkulosis, adalah inducer
kuat dari enzim CYP1A dan CYP3A.

Metabolisme juga dapat diturunkan atau diperlambat dalam proses yang disebut enzyme
inhibition, yang lebih sering terjadi pada pemberian yang berulang-ulang dari dua atau lebih
obat yang berkompetisi dengan metabolizing enzyme yang sama. Dalam kasus ini, dosis yang
lebih kecil dari obat yang dimetabolisme lebih lambat mungkin diperlukan untuk menghindari
reaksi yang merugikan dan toksisitas akibat akumulasi obat. Terjadi inhibisi enzim dalam
beberapa jam atau hari setelah diberikan inhibiting agent. Cimetidine, suatu supressor asam
lambung, menghambat beberapa enzim CYP (misal, 1A2, 2C, dan 3A) dan dapat sangat
menurunkan metabolisme obat. Kecepatan metabolisme obat juga menurun pada bayi (sistem
enzim hepatik mereka masih immatur), pada seseorang dengan gangguan aliran darah ke liver
atau penyakit hepar atau kardiovaskuler yang berat, dan pada seseorang yang mengalami
malnutrisi atau pada diet rendah protein.

Bila obat diberikan secara oral, mereka akan diabsorpsi dari saluran gastrointestinal dan
dibawa ke liver melalui sirkulasi portal. Beberapa obat secara luas dimetabolisme dalam liver,
seperti propranolo (Inderal), hanya bagian dosis obat oral yang mencapai sirkulasi sistemik yang
didistribusikan ke site of action. Hal ini disebut first-pass effect atau metabolisme presistemik.

f. Ekskresi Obat
Ekskresi berhubungan dengan eliminasi obat dari tubuh. Ekskresi yang efektif
memerlukan fungsi yang adequat dari sistem sirkulasi dan organ-organ ekskretor (ginjal, usus
besar, paru-paru, dan kulit). Kebanyakan obat di ekskresi oleh ginjal dan di eliminasi dalam
bentuk tidak berubah atau sebagai metabolit dalam urine.

Beberapa obat atau metabolit di ekskresi dalam empedu, dan kemudian di eliminasi dalam
feces; yang lainnya di ekskresi dalam empedu, diabsorpsi dari usus halus, kembali ke liver
(disebut sirkulasi enterohepatik), dimetabolisme, dan akhirnya di ekskresi dalam urine.

Beberapa obat oral tidak diabsorpsi dan di ekskresi dalam feces. Paru-paru merupakan
organ utama untuk pembuangan substansi volatile, seperti gas anestetik. Kulit memiliki fungsi
ekskretori yang minimal. Faktor-faktor yang mengganggu ekskresi, terutama penyakit ginjal
berat, berperan terhadap akumulasi sejumlah obat dan mungkin menyebabkan efek merugikan
yang berat jika dosis tidak dikurangi.

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Absorpsi, Distribusi, Metabolisme, Dan Ekskresi


Obat
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi absorpsi, distribusi, metabolisme, dan
ekskresi obat. Usia, ukuran tubuh, dan kondisi kesehatan adalah beberapa faktor penting yang
mempengaruhi farmakokinetik dari obat.

Setiap orang tidak identik. Obat mungkin diabsopsi dengan lebih cepat pada satu orang
tetapi lebih lambat pada orang lain. Obat mungkin tidak bersirkulasi dengan baik pada beberapa
orang, atau ia disimpan dalam jaringan tertentu, sebagai contoh, lemak, sehingga tidak
didapatkan hingga beberapa saat kemudian. Kemampuan pasien untuk melakukan detoksifikasi
terhadap obat dan mengeluarkan dari sistem adalah tergantung pada kondisi hepar dan
ginjal.

Oleh karena itu, bidan perlu memahami dasar-dasar farmakokinetik sehingga mereka
dapat lebih mampu dalam memberikan, memonitor, dan memberikan penyuluhan tentang
pengobatan.
Kondisi patologik Farmakokinetik
Penyakit kardiovaskuler yang penurunan aliran darah ke pemberian
menganggu kemampuan pompa jantung, obat.
menurunkan cardiac output, atau Distribusi tenganggu karena penurunan
menganggu aliran darah ke jariangan aliran darah pada jaringan tubuh dan tempat
tubuh(misal, miokard infark akut,gagal kerja Absorpsi dari obat, subcutaneous,
jantung,hipotensi,dan shock) intramuskular, dan tropical adalah tidak
pasti karena obat.
Metabolisme dan ekskresi terganggu
karena penurunan aliran darah ke liver dan
ginjal.
Penyakit sistem saraf pusat (CNS) yang Gangguan CNS mungkin merubah
menganggu pernapasan atau sirkulasi farmakokinetik secara tidak langsung akibat
(misal, trauma atau cedera otak, iskekia hipo-atau hiperventilasi dan
otak akibat aliran darah serebral tidak ketidakseimbangan asam-basa. Juga iritasi
adequat, obat yang menekan atau serebral mungkin terjadi pada cedera kepala
menstimulasi fungsi otak) dan berperan terhadapstimulasi sistem saraf
simpatetik dan peningkatan cardiac output.
Peningkatan aliran darah mungkin
mempercepat semua proses farmakokinetik.
Dengan absorpsi dan distribusi yang lebih
cepat, maka kerja obat mungkin lebih cepat,
tetapi metabolisme dan ekskresi, yang lebih
cepat mungkin memperpendek durasi kerja
obat.
Penyakit gastrointestinal (GI) yang Gejala dari gangguan fungsi GI pada
menganggu fungsi atau aliran umumnya terjadi dengan
darah GI penyakit GI maupun non-GI.
(misal, trauma atau pembedahan pada Sebagai akibatnya, beberapa
saluran gastrointestinal, infeksi pasien tidak dapat menggunakan
abdominal, ileus paralytic, obat oral. Orang yang dapat
pankrestitis). menggunakan obat oral mungkin
mengalami gangguan absorpsi
karena :
8) Vomiting atau diare
9) Pemberian obat bersamaan
dengan obat yang meningkatkan
pH cairan lambung (misal,
antasida, histamine-2 blockers,
proton pump inhibitors).
10) Pemberian obat bersamaan
dengan makanan atau tube
feeding solutions yang
menurunkan absorpsi obat.
Menghancurkan tablet atau
membuka kapsul untuk
diberikan melalui GI tube.
Penyakit inflammatori usus besar Absopsi dari obat oral adalah berubah-
(misal, crohn’s disease, colitis ubah. Ia mungkin ditingkatkan
ulcerative) karena hipermotilitas GI yang
dengan cepat mengirim molekul
obat ke tempat absorpsi lebih
cepat dari jaringan yang radang.
Ia mungkin dirurunkan karena
hipermotilitas dan diare yang
mungkin menggerakkan obat
melalui saluran GI terlalu cepat
sehingga absorpsi tidak adequat.
Penyakit endokrin yang menganggu Gangguan sirkulasi mungkin
fungsi atau merubah menurunkan semua proses
kesimbangan hormonal penyakit farmakokinetik, sperti yang
kardiovaskuler yang disebabkan dijelaskan diatas.
diabetes penyakit thyroid. Efek utama adalah pada metabolisme.
Hipothyroidisme memperlambat
metabolisme, sehingga
memperpanjang kerja obat dan
memperlambat eliminasi dari
tubuh, hiperthyroidisme
mempercepat metabolisme,
sehingga menghasilkan durasi
kerja obat yang lebih pendek dan
mempercepat kecepatan
eliminasi. Bila penyakit thyroid
diobati dan fungsi thyroid
kembali normal, maka kecepatan
metabolisme obat juga kembali
normal. dengan demikian dosis
obat secara luas dimetabolisme
sehingga perlu penyesuaian pada
tingkat fungsi thyroid.
Penyakit adrenal akibat penyakit atau Peningkatan fungsi adrenal (yaitu,
respon stres yang berkaitan peningkatan jumlah catecholamine
dan cortisol yang bersirkulasi)
dengan penyakit
mempengaruhi kerja obat dengan
meningkatkan cardiac output,
redistribusi cardiac output (lebih
banyak aliran darah ke jantung dan
otak, lebih sedikit ke ginjal, liver,
dan saluran gastrointestinal),
menyebabkan retensi cairan, dan
meningkatkan volume darah.
Stres juga merubah kadar protein
plasma, yang dapat
mempengaruhi bagian bebas
(unbound portion) dari dosis
obat. Penurunan fungsi adrenal
menyebabkan hipotensi dan
shock, yang dapat mengganggu
semua proses farmakokinetik.
Penyakit hepatik yang menggangu Kebanyakan obat di eliminasi dari
fungsi dan aliran darah hepatik tubuh oleh metabolism hepatik,
(misal, hpatis, sirosis) ekskresi ginjal atau keduanya.
Metabolisme hepatik
tergantung pada aliran darah hepatik,
aktivitas enzim hepatik,

dan plasma protein binding.


Peningkatan aliran darah hepatic
meningkatkan pengiriman
molekul-molekul obat ke
hepatocyte, dimana terjadi
metabolisme, dan dengan
demikian mempercepat
metabolisme obat. Penurunan
aliran darah hepatik
memperlambat metabolisme.
Penyakit liver berat atau sirosis
mungkin mengganggu semua
proses farmakokinetik.
Absorpsi dari obat oral mungkin
menurun pada sirosis karena
edema dalam saluran
gastrointestinal.

Distribusi mungkin terganggu oleh


perubahan dalam protein plasma.
Liver yang terganggu mungkin
tidak mampu mensintesis
sejumlah protein plasma yang
adequat, terutama albumin, juga,
liver yang terganggu berperan
terhadap metabolisme yang tidak
adequat dan akumulasi substansi
(misal, bilirubin serum) yang
dapat memindahkan obat dari
protein-binding site. Dengan
penurunan protein binding, maka
konsentrasi obat aktif dalam
serum ditingkatkan dan obat
didistribusikan ke site of action
dan eliminasi menjadi lebih
cepat. Dengan demikian, mula
kerja obat mungkin lebih cepat,
puncak kadar obat dalam darah
mungkin lebih tinggi dan
menyebabkan efek merugikan,
dan durasi kerja mungkin lebih
pendek karena obat di
metabolisme dan di ekskresi
lebih cepat. Pada sirosis, obat
oral didistribusikan secara
langsung kedalam sirkulasi
sistemik daripada melalui
sirkulasi portal dan liver. Jalur
pintas (shunt) dari darah yang
mengelilingi liver ini
dimaksudkan bahwa obat oral
yang normalnya secara luas di
metabolisme selama first pass
melalui liver (misal, propanolol)
harus diberikan dalam dosis
yang lebih rendah untuk
mencegah kadar obat yang tinggi
dalam darah dan toksisitas.

Metabolisme mungkin terganggu pada


penyakit hepatik maupun non-
hepatik yang menurunkan aliran
darah hepatik. Sebagai
tambahan, liver yang terganggun
tidak mampu mensintesis drug-
metabolizing enzyme dalam
jumlah cukup.

Ekskresi mungkin ditingkatkan bila


protein binding terganggu karena
jumlah besar dari obat bebas
yang bersirkulasi dalam aliran
darah dan dikirim lebih cepat ke
tempat metabolisme dan
ekskresi. Akibatnya, half-life dan
durasi kerja dari obat lebih
pendek. Ekskresi diturunkan bila
liver tidak mampu
memetabolisme obat oral yang
larut dalam lemak menjadi
metaabolit yang larut dalam air
sehingga dapat di ekskresi oleh
ginjal.
Gangguan ginjal-gagal ginjal akut GGA dan GGK daapat menganggu
(GGA) dan gagal ginjal ginjal semua proses farmakokinetik.
kronik (GGK) Absorpsi dari obat oral mungkin
diturunkan secara tidak langsung
oleh perubahan yang sering
terjadi pada ginjal pada gagal
ginjal (misal, pengosongan
lambung yang lambat, perubahan
pH lambung, gejala GI seperti
vomiting atau diare).
Juga,dengan adanya edema
umum, edema saluran GI
mungkin menganggu absorpsi.
Pada GGK, pH lambung
mungkin ditingkatkan oleh
pemberian alkalinizing agents
per-oral(misal, sodium
bicarbonate, citrate) dan
menggunakan antasida untuk
efek phosphate-binding. Hal ini
mungkin menrunkan absorpsi
obat oral yang memerlukan
lingkungan asam selama disolusi
dan absorpsi dan meningkatkan
absorpsi obat yang diabsorpsi
dari lingkungan yang lebih
alkaline.
Distribusi daari beberapa obat
mungkin terganggu oleh
perubahan dalam volume cairan
ekstraseluler (ECF), plasma
protein binding dan tissue
binding. Obat yang larut air
didistribusikan keseluruh ECF,
meliputi cairan edema, yang
biasanya ditingkatkan pada
gangguan ginjal karena
kemampuan ginjal untuk
mengeliminasi air dan sodium
terganggua. Ikatan obat dengan
albumin, terutama protein
plasma pengikat obt untuk obat
asam, biasanya diturunkan
dengan gangguan ginjal. Protein
binding mungkin diturunkan
karena sedikit albumin atau
penurunan kapasitas binding dari
albumin pada obat. Alasan
penurunan albumin meliputi
kondisi hipermetabolik (misal
stress, trauma, sepsis) yang
menyebabkan pemecahan
protein melebihi sintesis protein,
kondisi nephotik dimana
albumin hilang dalam urin dan
penyakit liver yang menurunkan
sintesis albumin hepatik. Alasan
penurunan kapasitas binding
meliputi perubahan struktural
pada molekul albumin atau
toksin uremik yang bersaing
dengan obat pada obat binding
site. Bila sedikit obat berikatan
dengan albumin, maka kadar
obat dalam bentuk bebas atau
obat aktif dalam serum lebih
tinggi sehingga dapat
mengakibatkan toksisitas obat.
Sebagai tambahan lebih banyak
obat yang tidak berikatan yang
didistribusikan kedalam jaringan
dan tempat metabolisme dan
ekskresi maka mempercepat
eliminasi sehingga menurunkan
half-life obat dan efek
terapeutik. Untuk obat dasar
(misal clindamycin,
propafenone) alphal-acid
glycoprotein (AAG) adalah
protein binding utama. Jumlah
AAG meningkat pada beberapa
pasien meliputi pasien dengan
transplatasi ginjal dan pasien
yang menjalani hemodialisis.
Jika pasien ini diberikan obat
dasar (basig drug), maka
sebagian besar adalah berikatan
dan sebagian kecil adalah dalam
bentuk bebas yang dapat
memberikan efek farmakologik.
Pada akhirnya, beberapa kondisi
yang sering terjadi pada
gangguan ginjal (misal, asidosis
metabolik, alkalosis respiratorik,
dan lainnya) mungkin
mengganggu distribusi beberapa
obat ke jaringan. Sebagai contoh,
digoxin dapat dipindahkan dari
tissue-binding site oleh produk
metabolik sehingga tidak dapat
di ekskresi secara adequat oleh
ginjal yang terganggu.
Metabolisme dapat ditingkatkan,
diturunkan, atau tidak
terpengaruh oleh gangguan
ginjal. Salah satu faktor adalah
perubahan dari metabolisme obat
dalam liver. Pada uremia,
reaksi reduksi dan hidrolisis mungkin
lebih lambat, tetapi oksidasi oleh
enzim cytochrome P450 dan
konjugasi dengan glucuronide
atau sulphate biasanya berjalan
pada kecepatan normal. Faktor
lainnya adalah ketidakmampuan
dari ginjal yang terganggu untuk
mengeliminasi obat dan
metabolit aktif secara
farmakologikal, yang mungkin
berperan terhadap akumulasi dan
raksi obat yang merugikan
dengan terapi obat jangka
panjang. Metabolit mungkin
memiliki aktivitas farmakologik
yang mirip pada atau berbeda
dari obat aslinya. Faktor ketiga
mungkin mengganggu
metabolisme obat oleh ginjal.
Walaupun peran ginjal dalam
mengekskresi obat dan metabolit
obat belum diketahui dengan
baik, tetapi peran mereka dalam
metabolisme obat telah
mendapat sedikit perhatian.
Ginjal sendiri mengandung
beberapa metabolizing enzym
yang sama ditemukan dalam
liver, meliputi enzim ginjal
cytochrome P450, yang
memetabolisme berbagai zat
kimia dan obat.
Ekskresi dari beberapa obat dan
metabolit diturunkan oleh
gangguan ginjal. Ginjal
normalnya mengekskresi baik
obatnya maupun metabolit yang
diproduksi oleh liver dan
jaringan lainnya. Proses ekskresi
ginjal meliputi filtrasi
glomerular, sekresi tubular, dan
reabsorpsi tubular, yang
semuanya mungkin dipengaruhi
oleh gangguan ginjal. Jika ginjal
tidak mampu mengekskresi obat
dan metabolit, yang beberapa
diantaranya mungkin aktif secara
farmakologik, maka substansi-
substansi tersebut mungkin
terakumulasi dan

menyebabkan efek merugikan atau


toksik.
Gangguan pernapasan Gangguan pernapasan mungkin secara
tidak langsung mempengaruhi
metabolisme obat. Sebagai
contoh, hipoksemia berperan
terhadap penurunan produksi
enzim dalam liver, penurunan
efisiensi dari enzim yang
diproduksi, dan penurunan
oksigen yang tersedia untuk
biotransformasi. Ventilasi
mekanikal berperan terhadap
penurunan aliran darah ke liver.
Gangguan pada fungsi kardiovaskuler Sepsis mungkin mempengaruhi semua
dan aliran darah hepatik akibat proses farmakokinetik. Sepsis dini
sepsis. ditandai oleh hiperdinamik sirkulasi,
dengan peningkatan cardiac output
dan shunting darah ke organ-organ
vital. Sebagai akibatnya,
absorpsi, distribusi,
metabolisme, dan ekskresi
mungkin dipercepat. Sepsis
lambat ditandai oleh
hipodinamik sirkulasi, dengan
penurunan cardiac output dan
penurunan aliran darah ke organ-
organ utama. Dengan demikian,
absorpsi, distribusi,
metabolisme, dan ekskresi
mungkin terganggu.
Gangguan fugsi kardiovaskuler dan Shock mungkin menghambat semua
aliran darah akibat shock. proses farmakokinetik. Absorpsi
terganggu oleh penurunan aliran
darah pada tempat
pemberian obat. Distribusi terganggu
oleh penurunan aliran darah pada
semua jaringan tubuh.
Metabolisme terganggu oleh
penurunan aliran darah ke liver.
Ekskresi terganggu oleh
penurunan aliran darah ke ginjal.

NGERTIAN FARMAKOKINETIK

4. Kadar Obat Dalam Serum


Kadar obat dalam serum (Gambar 2.7.) adalah ukuran laboratorium dari jumlah obat
dalam darah pada waktu tertentu. Ia menggambarkan dosis, absorpsi, bioavailabilitas, half-
life, dan kecepatan metabolisme dan ekskresi. Minimum effective concentration (MEC) harus
diperoleh sebelum menggunakan aksi farmakologiknya pada sel-sel tubuh; hal ini sebagian
besar ditentukan oleh dosis obat dan bagaimana obat diabsorpsi kedalam pembuluh
darah. Toxic concentration adalah kadar yang berlebihan yang dapat terjadi toksisitas.
Toxic concentration mungkin berakar dari dosis besar tunggal, dosis kecil yang berulang-
ulang, atau metabolisme yang lambat yang memungkinkan obat terakumulasi dalam tubuh.
Antara konsentrasi rendah dan tinggi ini disebut rentang terapeutik, yang merupakan tujuan
dari terapi obat. Hal ini berarti, cukup obat yang bermanfaat, tetapi tidak cukup obat untuk
menghasilkan toksik.

Pada kebanyakan obat, kadar obat dalam serum menunjukkan mula (onset), puncak,
dan durasi dari kerja obat. Bila diberikan obat dosis tunggal, maka mula kerja obat akan
terjadi bila kadar obat mencapai MEC. Kadar obat terus meningkat melebihi dari obat yang
diabsorpsi, hingga ia mencapai konsentrasi tertinggi dan didapatkan puncak kerja obat.
Kemudian, kadar obat menurun karena obat di eliminasi (yaitu, dimetabolis-me dan di
ekskresi) dari tubuh. Walaupun masih terdapat sejumlah molekul-molekul obat dalam
tubuh, tetapi kerja obat berhenti bila kadar obat turun dibawah MEC. Durasi kerja obat adalah
lama waktu dimana kadar obat dalam serum terdapat pada atau diatas MEC. Bila obat dosis
multiple diberikan (misal, untuk penyakit kronik), maka tujuan pengobatan biasanya
diberikan untuk mempertahankan kadar obat dalam serum cukup dalam rentang terapeutik
dan dihindarkan rentang toksik.

Dalam praktek klinikal, pengukuran kadar obat dalam serum adalah digunakan untuk
beberapa alasan:

Bila obat dengan indeks terapeutik rendah atau sempit diberikan, maka obat ini memiliki
batas keamanan sempit dan berakhir pada dosis toksik (misal, digoxin, antibiotik
aminoglycoside, lithium, theophylline).

Untuk mendokumentasikan kadar obat dalam serum yang berkaitan dengan dosis obat, efek
terapeutik, atau kemungkinan efek yang merugikan.

Untuk memonitor respon yang tidak diinginkan terhadap dosis obat. Hal ini dapa berupa
berkurangnya efek terapeutik atau peningkatan efek yang merugikan. Bila diduga terjadi
overdosis obat.

5. Proses Yang Dialami Obat Dalam Tubuh Yang Sakit Maupun Sehat.
Saat kita sakit, umumnya kita mengonsumsi obat. Obat yang kita minum tersebut dapat
menyingkirkan penyebab penyakit, menghilangkan gejala penyakit, atau menghilangkan
akibat lanjutan dari suatu penyakit. Apa pun jenis obat yang kita minum, bagaimanakah
nasibnya di dalam tubuh kita?

Untuk dapat memberikan efek yang diinginkan, obat harus dapat mencapai
tempatnya bekerja. Misalnya kita meminum antibiotik untuk pengobatan infeksi
ginjal/kandung kemih. Agar antibiotik dapat bekerja untuk membunuh bakteri, obat
tersebut harus mencapai ginjal (tempat antibiotik bekerja) terlebih dahulu. Setelah
mencapai ginjal, antibiotik dapat membunuh bakteri sehingga memberikan kesembuhan yang
diharapkan.

Setelah obat bekerja di dalam tubuh dan menghasilkan efek, obat akan dikeluarkan
dari dalam tubuh. Ada banyak tahapan yang perlu dilalui obat mulai dari pemberian,
kemudian menghasilkan efek, dan terakhir dikeluarkan dari dalam tubuh.
Obat yang berada di dalam tubuh akan dianggap sebagai benda asing oleh tubuh karena
secara normal senyawa obat tidak terdapat di dalam tubuh. Tubuh memiliki mekanisme
alamiah untuk mendetoksifikasi (menurunkan sifat toksik suatu zat) benda asing yang
masuk ke tubuh. Oleh karena itu, senyawa obat akan didetoksifikasi oleh tubuh sehingga obat
tidak terlalu toksik/beracun bagi tubuh. Proses detoksifikasi obat oleh tubuh merupakan
tahapan metabolisme obat. Sebagian besar obat akan didetoksifikasi di hati oleh enzim-enzim
mikrosomal hati. Hasilnya merupakan suatu senyawa yang sifat toksik/beracunnya lebih
rendah dibandingkan dengan senyawa awal sehingga tidak terlalu beracun bagi tubuh.

Tahap terakhir yang dialami oleh obat adalah tahap ekskresi. Pada tahap ini obat akan
dikeluarkan dari dalam tubuh dengan berbagai cara, antara lain melalui ginjal (air seni),
saluran cerna (faeces), kulit (keringat), pernapasan (udara), mata (air mata), atau kelenjar
payudara (air susu). Sebagian besar obat dikeluarkan melalui ginjal. Jika ginjal kita
mengalami gangguan, kadar obat dalam tubuh akan meningkat akibat terhambatnya proses
pengeluaran obat melalui ginjal. Oleh karena itu, pada penderita gangguan ginjal, perlu
dilakukan penyesuaian dosis obat - terutama untuk obat yang dalam kadar rendah dapat
menimbulkan keracunan dan obat yang toksik bagi ginjal (nefrotoksik) - agar kadar obat
dalam tubuh tidak terlalu tinggi karena dikhawatirkan akan menimbulkan keracunan
bahkan kematian bagi penderita.

Referensi

Barone, J. A., & Hermes-DeSantis, E. R. (2000). Adverse drug reactions and drug-
induced diseases. In E. T. Herfindal & D. R. Gourley (Eds.), Textbook of therapeutics: Drug
and disease management (7th ed., pp. 21–34). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Brater, D. C. (2000). Principles of clinical pharmacology. In H. D. Humes (Ed.),
Kelley’s textbook of internal medicine (4th ed., pp. 311–319). Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins.
6.
Drug facts and comparisons. (Updated monthly). St. Louis: Facts and Comparisons.

Ensom, M. H. H. (2000). Gender-based differences and menstrual cycle-related changes


in specific diseases: Implications for pharmacotherapy. Pharmacotherapy, 20(5), 523–539.
Guyton, A. C., & Hall, J. E. (2000). Textbook of medical physiology (10th ed.).
Philadelphia: W. B. Saunders.

Klein-Schwartz, W., & Oderda, G. M. (2000). Clinical toxicology. In E. T. Herfindal &


D. R. Gourley (Eds.), Textbook of therapeutics: Drug and disease management (7th ed., pp.
51– 68). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Matthews, H. W., & Johnson, J. (2000). Racial, ethnic, and gender differences in response
to drugs. In E. T. Herfindal & D. R. Gourley (Eds.), Textbook of therapeutics: Drug and disease
management (7th ed., pp. 93–103). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Lacy, C. F., Armstrong, L. L., Goldman, M. P., & Lance, L. L. (2003). Lexi-Comp’s
drug information handbook (11th ed.). Hudson, OH: American Pharmaceutical Association.

Tatro, D. S. (2000). Drug interactions. In E. T. Herfindal & D. R. Gourley (Eds.), Textbook


of therapeutics: Drug and disease management (7th ed., pp. 35–49). Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins.

V. Tugas Mandiri
1. Tujuan Tugas
Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan farmakokinetik dari golongan obat uterotonika,
koagulantia, antipiretik.

2. Uraian Tugas

a. Obyek garapan
Obat-obatan yang berhubungan dengan kebidanan.

b. Yang harus dikerjakan dan batasan-batasan


Menguraikan farmakokinetik (absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi) dari obat
uterotonika, koagulantia, antipiretik. Hasilnya dipresentasikan dikelas pada pertemuan
berikutnya.
c. Metode / cara pengerjaan tugas
Mendiskripsikan farmakokinetik (absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi) dari obat
uterotonika, koagulantia, antipiretik. Dikerjakan secara diskusi kelompok.

d. Deskripsi luaran tugas yang dihasilkan


Hasil studi tersaji dalam bentuk paper, dengan ukuran kertas kuarto, diketik dengan huruf Times
New Roman, ukuran huruf 12 pt, 1 spasi. Dilengkapi CD presentasi dengan format powerpoint.

VI. Evaluasi
1. Proses farmakokinetik, meliputi:
1
.Absorpsi 3. Metabolisme
2Distribusi 4. Ekskresi
.
2.Distribusi obat dipengaruhi oleh:
1
.Aliran darah 3. Efek pengikatan dengan protein
2
.Afinitas terhadap jaringan 4. Kecepatan eliminasi
3.Faktor utama dalam menentukan durasi kerja obat, adalah
A. Afinitas terhadap jaringan C. Konsentrasi obat
B. Distribusi obat D. Kecepatan eliminasi
4.Rute eliminasi obat, adalah:
1
.Saliva 3. Keringat
2
.ASI 4. Urine
5.Untuk mempercepat eliminasi akibat overdosis aspirin, dapat diberikan:
A. Natrium bikarbonat C. Hidrogen peroksida
B. Kalium permanganate D. Natrium klorida
Efek obat yang dimulai pada waktu obat memasuki plasma dan berakhir sampai
6.mencapai
konsentrasi efektif minimum,
disebut:
A. Efek fisiologis primer C. Mula kerja
B. Lama kerja D. Konsentrasi efektif minimum
Materi 3
Farmakodinamik

I. Kompetensi Dasar
Mahasiswa dapat menjelaskan tentang farmakodinamik.

II. Tujuan Pembelajaran


1. Menjelaskan kerja obat
2. Menjelaskan dosis obat
3. Menjelaskan efek obat dan efek samping

III. Materi
1. Mekanisme kerja obat
2. Dosis obat
3. Efek obat daan efek samping

IV. Uraian Materi


Farmakodinamik adalah ilmu yang mempelajari efek obat terhadap biokimia, fisiologis dan
mekanisme kerja obat. Dalam farmakodinamik dipelajari analisa kerja obat yang utama atau akibat
dari berbagai kerja obat pada berbagai organ tubuh, reaksi kimia obat dan reaksi sel tubuh dan sifat-
sifat keseluruhan efek. Dengan perkecualian-perkecualian tertentu, diketahui bahwa obat dapat
menimbulkan efek setelah molekul obat bergabung dengan enzim pada membran sel atau bagian-
bagian khusus lainnya dari sel. Interaksi obat dengan sel ini diduga mengubah fungsi komponen sel
yang kemudian memulai serangkaian perubahan biokimia dan fisiologi yang khas untuk obat
tersebut. Proses bergabungnya obat dengan sel disebut sebagai “aksi obat”, sedangkan proses
selanjutnya disebut “efek obat”.
Tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam farmakodinamik ialah (1) mekanisme kerja
obat, (2) hubungan antara struktur dan aktivitas, dan (3) hubungan antara dosis dengan respon obat.

Mekanisme Obat
Farmakodinamik terkait dengan cara kerja obat pada sel-sel target dan menghasilkan
perubahan dalam reaksi biokimia seluler dan fungsi (“what the drug does to the body”). Semua aksi
obat terjadi pada tingkat seluler.

1. Teori reseptor dari kerja obat

Seperti halnya bahan fisiologik (misal, hormon dan neurotransmiter) yang normalnya mengatur fungsi
sel, maka kebanyakan obat menggunakan efek mereka melalui ikatan kimia dengan reseptor pada
tingkat seluler (Gambar 3.1.). Reseptor sebagian besar berupa protein yang terletak pada permukaan
membran sel atau didalam sel. Reseptor spesifik termasuk enzim terlibat dalam metabolik
esensial atau proses regulatori (misal, dihydrofolate reductase, acetylcholinesterase); protein yang
terlibat dalam transport (misal, sodium-potassium adenosine triphosphatase) atau proses struktural
(misal, tubulin); dan asam nukleat (misal, DNA) yang terlibat dalam sintesis protein seluler,
reproduksi, dan aktivitas metabolik lainnya.
Ketika molekul obat terikat dengan molekul reseptor, maka menghasilkan komplek obat-reseptor yang
akan memulai reaksi fisiokemikal yang merangsang atau menghambat fungsi normal seluler. Salah
satu tipe reaksi adalah aktivasi, inaktivasi, atau perubahan dari enzim intraseluler. Karena enzim
mengkatalisis hampir semua fungsi seluler, maka obat yang merangsang perubahan dapat sangat
meningkatkan atau menurunkan kecepatan metabolisme seluler. Sebagai contoh, kompleks
epinephrine-reseptor dapat meningkatkan aktivitas enzim adenyl cyclase intraseluler, yang
kemudian menyebabkan pembentukan cyclic adenosine monophosphate (cAMP). cAMP,
selanjutnya, dapat memulai beberapa aksi intraseluler yang berbeda, tetapi efek yang sebenarnya
tergantung pada tipe dari sel.
yang lain, potassium channel mungkin
Tipe kedua dari reaksi adalah merubah permeabilitas terbuka dan memungkinkan ion-ion
membran sel terhadap salah satu atau lebih ion-ion. potassium keluar dari sel. Aksi ini
Protein reseptor adalah komponen struktural dari membran akan menghambat kemampuan
sel, dan ikatan pada molekul obat mungkin menyebabkan aktivasi dan fungsi neuronal. Pada sel-
terbukanya atau tertutupnya ion channel. Sebagai contoh, sel otot, pergerakan ion-ion kedalam
pada sel saraf, ion channel sodium atau kalsium mungkin sel mungkin merubah fungsi
terbuka dan memungkinkan pergerakan ion-ion kedalam intraseluler, seperti efek langsung dari
sel. Hal ini biasanya menyebabkan membran sel ion kalsium dalam menstimulasi
mengalami depolarisasi dan mengaktivasi sel. Pada waktu kontraksi otot.
an sel

� ®
sasma

®
Receptor site @]

eus �
lo•I

<€3

Gambar 3.1. Membran sel mengandung reseptor-


reseptor untuk substansi-substansi fisiologi
seperti hormon (H) dan neurotransmiter (NT).
Subtansi-substansi ini menstimulasi atau
menghambat fungsi seluler. Molekul-molekul obat
(Da dan Db) juga berinteraksi dengan reseptor-
reseptor untuk menstimulasi atau menghambat
fungsi seluler.
Reaksi ketiga adalah mungkin memodifikasi sintesis, pelepasan, atau inaktivasi
neurohormon(misal, acetylcholine, norepinephrine, serotonin) yang mengatur beberapa
proses fisiologik.

Elemen-elemen tambahan dan karakteristik teori reseptor adalah sebagai berikut:

1. Tempat dan luasnya aksi obat pada sel-sel tubuh ditentukan terutama oleh karakteristik
spesifik dari reseptor dan obat-obatan.
Reseptor berbeda dalam tipe, lokasi, jumlah, dan kapasitas fungsional. Sebagai contoh,
beberapa tipe reseptor yang berbeda telah diidentifikasi. Tipe reseptor yang banyak terdapat
pada jaringan tubuh, seperti reseptor epinephrine dan norepinephrine (yang menerima stimulasi
dari sistem saraf simpatis ataupun pemberian obat-obatan) dan reseptor untuk hormon, yang
meliputi growth hormone, hormon thyroid, dan insulin. Beberapa reseptor terdapat dalam
jumlah yang lebih sedikit pada jaringan tubuh, seperti reseptor untuk opiate dan
benzodiazepine dalam otak dan sub kelompok dari reseptor epinephrine dalam jantung
(reseptor β1-adrenergik) dan dalam paru-paru (reseptor β2-adrenergik). Tipe dan lokasi reseptor
mempengaruhi aksi obat. Reseptor sering digambarkan sebagai lock and key dengan molekul
obat, dan hanya obat yang mampu berikatan secara kimia pada reseptor dalam jaringan tubuh
khusus yang dapat menghasilkan efek farmakologik pada jaringan tersebut. Dengan demikian,
tidak semua-sel-sel tubuh dapat merespon terhadap obat-obatan, walaupun sebenarnya semua
reseptor sel terpapar dengan molekul-molekul obat yang bersirkulasi dalam aliran darah.

Jumlah receptor site yang tersedia untuk berinteraksi dengan molekul obat juga mempengaruhi
tingkat kerja obat. Akhirnya, jumlah minimal dari reseptor harus ditempati oleh molekul-
molekul obat untuk menghasilkan efek farmakologik. Dengan demikian, jika terdapat banyak
reseptor yang tersedia, tetapi hanya beberapa yang ditempati oleh molekul- molekul obat, maka
hanya sedikit efek obat yang terjadi. Dalam hal ini, meningkatnya dosis obat akan dapat
meningkatkan efek farmakologik. Sebaliknya, jika hanya beberapa reseptor yang tersedia untuk
beberapa molekul-molekul obat, maka kemungkinan reseptor akan tersaturasi. Dalam hal ini,
jika sebagian besar receptor site ditempati, maka peningkatan dosis obat tidak akan
menghasilkan penambahan efek farmakologik.

Karena semua obat adalah bahan kimia, maka karakteristik kimia sangat menentukan aksi
obat dan efek farmakologik. Sebagai contoh, struktur kimia obat mempengaruhi
kemampuannya untuk mencapai cairan jaringan sekitar sel dan mengikat dengan reseptor-
reseptor sel. Perubahan kecil pada struktur obat mungkin menghasilkan perubahan besar
terhadap efek farmakologik. Faktor utama lainnya adalah konsentrasi molekul-molekul obat
yang mencapai receptor site dalam jaringan tubuh. Variabel-variabel yang berhubungan dengan
obat dan pasien yang mempengaruhi aksi obat lebih lanjut dibahas dibawah.

Bila molekul-molekul obat terikat secara kimia dengan reseptor-reseptor sel, maka efek
farmakologik dapat berupa baik agonis ataupun antagonis. Agonis adalah obat yang
menghasilkan efek yang serupa dengan hormon, neurotransmitter, dan bahan-bahan lain yang
dihasilkan secara alami. Agonis mungkin mempercepat atau memperlambat proses seluler
normal, tergantung pada tipe reseptor yang teraktivasi. Sebagai contoh, epinephrine-like
drugs yang bekerja pada jantung untuk meningkatkan denyut jantung, dan acetylcholine-like
drugs yang bekerja pada jantung untuk memperlambat denyut jantung; keduanya adalah agonis.
Antagonis adalah obat yang menghambat fungsi sel dengan cara menempati receptor site. Hal
ini mencegah bahan tubuh alami atau obat-obatan lainnya untuk menempati receptor site dan
mengaktivasi fungsi sel. Ketika aksi obat terjadi, maka molekul-molekul obat mungkin terlepas
dari molekul-molekul reseptor (yaitu, ikatan kimia bersifat reversible), kembali ke
pembuluh darah, dan bersirkulasi ke liver untuk menjalani metabolisme dan diekskresi melalui
ginjal.

Reseptor adalah komponen seluler yang dinamis yang dapat disintesis oleh sel-sel tubuh dan
dirubah oleh bahan-bahan endogenous dan obat-obatan eksogenous. Sebagai contoh,
stimulasi dalam waktu lama pada sel-sel tubuh dengan excitatory agonist, biasanya mengurangi
jumlah atau sensitivitas reseptor. Sebagai hasilnya, sel menjadi sedikit responsif terhadap
agonis (suatu proses yang disebut receptor desensitization, atau down-regulation). Inhibisi
dalam waktu lama terhadap fungsu seluler normal dengan antagonis mungkin meningkatkan
jumlah atau sensitivitas reseptor. Jika antagonis dengan tiba-tiba dikurangi atau dihentukan,
maka sel menjadi sangat responsif terhadap agonis (suatu proses yang disebut receptor
sensitization atau up-regulation). Perubahan-perubahan dalam reseptor ini mungkin
menjelaskan mengapa beberapa obat harus diberikan secara berangsur-angsur berkurang dalam
dosis dan dihentikan secara bertahap jika gejala withdrawal ingin dihindarkan.

2. Aksi obat nonreseptor


Secara relatif beberapa obat bekerja melalui mekanisme lain daripada bergabung
dengan receptor site pada sel-sel. Mekanisme kerja obat tersebut adalah:

a. Antasid, yang bekerja secara secara kimia untuk menetralisir asam hidroklorik yang
diproduksi oleh sel-sel parietal lambung dan dengan demikian meningkatkan pH
cairan lambung.

b. Osmotic diuretics (misal, mannitol), yang meningkatkan osmolaritas plasma dan


mendorong air keluar dari jaringan kedalam pembuluh darah.
c. Obat-obatan yang secara struktural mirip dengan nutrien yang diperlukan oleh sel-sel
tubuh (misal, purine, pyrimidine) dan yang dapat dimasukkan kedalam unsur-unsur
pokok seluler, seperti asam nukleat. Hal ini dapat mengganggu fungsi normal sel.
Beberapa obat anti kanker bekerja melalui mekanisme ini.
d. Metal chelating agents, yang dikombinasi dengan toxic metals (misal, timah) untuk
membentuk kompleks yang dapat lebih siap untuk diekskresi.

3. Dosis Obat
Penghitungan dosis melibatkan penggunaan proses matematikal untuk menentukan
jumlah pengobatan yang tepat untuk diberikan kepada pasien. Ketepatan dalam penghitungan
adalah penting untuk menjamin keamanan pasien. Terdapat tiga sistem pengukuran yang
digunakan untuk menghitung dan memberikan pengobatan. Sistem-sistem tersebut adalah
sistem metrik, apoteker, dan sistem rumah tangga. Modul ini memfokuskan terutama pada
sistem metrik karena hampir semua pemberian pengobatan dituliskan dengan menggunakan
sistem ini. Akan tetapi, karena sistem pengukuran apoteker dan rumah tangga juga mungkin
digunakan, maka bidan perlu mengenali sistem tersebut, yang secara singkat dibahas dalam
modul ini.

a) Sistem Pengukuran Berdasarkan Berat

Pengukuran sistem metrik, apoteker, dan rumah tangga hampir selalu digunakan dalam
pemberian pengobatan. Sistem metrik digunakan pada semua obat berlabel dan pakai resep.
Sedangkan, sistem apoteker dan rumah tangga digunakan untuk dosis obat cair. Sebagai
tambahan, cangkir obat yang digunakan untuk pengobatan cair umumnya ditandai dengan
satuan metrik, apoteker, dan rumah tangga. Oleh karena itu, bidan harus mengenal setiap sistem
dan dapat merubahnya dari satu sistem ke sistem lainnya. Sebagai contoh, bila mengukur dosis
cair, maka bidan harus mengetahui tentang sistem apoteker dan rumah tangga dan
persamaan mereka untuk memastikan bahwa jumlah pengobatan yang dipersiapkan
dan diberikan adalah tepat. Bidan juga perlu untuk mengingat bahwa persamaan adalah kurang
lebih sama. Persamaan pengukuran diantara ketiga sistem.

Kadang-kadang, obat tertentu diberikan dan diukur dalam istilah unit atau milliequivalent
(mEq). Unit mengekspresikan aktivitas biologik dalam uji binatang (yaitu, jumlah obat yang
diperlukan untuk menghasilkan respon tertentu). Sebagai contoh, konsentrasi insulin
dan heparin adalah di ekspresikan dalam unit. Obat-obat ini biasanya diberikan dalam jumlah
unit per dosis (misal, NPH insulin, 30 unit secara subcutaneous setiap pagi; atau heparin,
5000 unit secara subcutaneous setiap 12 jam). Akan tetapi, satuan untuk setiap obat adalah
unik dan tidak berkaitan. Dengan kata lain, tidak ada hubungan antara unit insulin dan unit
heparin. Sebagai contoh, walaupun label untuk kedua obat menyatakan jumlah unit per
milliliter, tetapi jumlah unitnya adalah berbeda. Insulin berlabel U 100 mengandung 100
unit/mL, sedangkan heparin mungkin memiliki 1000, 5000, atau
10.000 unit/ mL. Milliequivalent mengekspresikan aktivitas ionik dari obat. Obat seperti
potassium chlorida diberikan dan dilabel dalam jumlah milliequivalent per dosis, tablet, atau
milliliter.

TABEL 3.1. Persamaan Ukuran


Metrik Apoteker Rumah tangga
1 mL = 1 cc = 15 atau 16 minims = 15 atau 16 tetes
4 atau 5 mL = 1 fluid dram = 1 tsp
60 atau 65 mg = 1 gr
30 atau 32 mg = 1⁄2 gr
30 g = 30 mL = 1 oz = 2 tbsp
250 mL = 8 oz = 1 cup
454 g = 1 lb
500 mL = 500 cc = 16 oz = 1 pint
1 L = 1000 mL = 32 oz = 1 quart
1000 mcg = 1 mg
1000 mg =1g
1000 g = 1 kg = 2.2 lb = 2.2 lb
0.6 g = 600 mg atau 650 mg = 10 gr
mcg, microgram.

b) Sistem Metrik

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, hampir selalu sistem pengukuran yang


digunakan adalah sistem metrik, dimana meter digunakan untuk ukuran linear, gram untuk
berat, dan liter untuk volume. Satu milliliter (mL) adalah setara dengan cubic centimeter (cc),
dan keduanya setara dengan 1 gram (g) air. Sistem metrik adalah sistem desimal, yang
didasarkan pada perkalian 10; semua unit diperoleh melalui perkalian atau pembagian dengan
10, 100, atau 1000. Awalan (prefix) metrik menunjukkan bagian (porsi) dari unit yang
dipertimbangkan. Sebagai contoh, milliliter adalah 1/1000 dari liter; centimeter adalah 1/100
dari meter, dan microgram adalah 1/1.000.000 dari gram. Tabel 3.2. Singkatan umum metrik
dan persamaannya.

TABEL 3.2. Satuan Metrik dan Persamaan

Berat milligram (mg) 1 g = 1000 mg


microgram (mcg) 1 mg = 1000 mcg atau 0.001 g
kilogram (kg) 1 mcg = 0.001 mg atau 0.000001 g
1 kg = 1000 g
Volume liter (L) 1 L = 1000 mL
milliliter (mL) 1 mL = 0.001 L atau 1 cc
cubic centimeter (cc) 1 cc = 0.0001 L atau 1 mL
Panjang meter (m) 1 m = 100 cm atau 1000 mm
centimeter (cm) 1 cm = 0.01 m atau 10 mm
millimeter (mm) 1 mm = 0.002 m atau 0.1 cm

c) Sistem Apoteker

Sistem apoteker, sekarang jarang digunakan, yang meliputi ukuran yang disebut grain,
minim, dram, ounce, pount, pint, dan quart. Cara penulisannya tidak biasa dan berbeda
dari cara penulisan dalam sistem lainnya. Beberapa aturan yang menentukan cara
penulisan dalam sistem ini:

Ukuran satuan padat dalam sistem ini adalah grain (gr)


Dram (_), ounce (_−), dan tetes (gt) adalah ukuran cairan
Jumlah unit sebelumnya (gr x, _− iii)
Angka Roman dibawah digunakan untuk menunjukkan angka dari 1 sampai 10, 20, dan
30 (gr xx); angka Arabic digunakan untuk jumlah lainnya (_− 12) Jumlah kurang dari 1
ditunjukkan sebagai pecahan (gr 1 ⁄3); pecahan 1⁄2 ditunjukkan dengan simbol s˙s˙ (_−
vs˙s˙)
Berat dan Volume Apoteker
60 grains = 1 dram 60 minims = 1 fluidram
8 drams (atau 480 grains) = 1 ounce 8 fluid drams (atau 480 minims) = 1 fluidounce
12 ounces = 1 pound 16 fluidounces = 1 pint
2 pints = 1 quart
4 quarts = 1 gallon

d) Sistem Rumah Tangga

Sistem rumah tangga, dengan ukuran tetes, sendok teh, sendok makan, dan cangkir,
adalah jarang digunakan dalam tatanan perawatan kesehatan tetapi mungkin digunakan oleh
pasien di rumah mereka. Karena kurangnya standarisasi dari ukuran (yaitu, tetes, sendok, dan
cangkir), maka ukuran ini kurang akurat dibandingkan dengan sistem ukuran lainnya.
Seringkali, ketika pulang dari rumah sakit atau ketika rawat jalan dan bidan mengunjungi
(visite) di rumah, maka pasien perlu bantuan untuk merubah ukuran metrik ke ukuran rumah
tangga. Direkomendasikan bahwa pasien dianjurkan untuk menggunakan ukuran yang telah
distandarisasi, daripada menggunakan sendok dan cangkir rumah tangga, untuk menjamin
keamanan dan akurasi pemberian obat. Konversi dalam sistem rumah tangga tertera dalam
Persamaan Rumah Tangga
1 tetes (drop/gt) = 1 minim
1 sendok teh (teaspoon/tsp) = 60 tetes (drops/gtt)
1 sendok makan (tablespoon/tbsp) = 3 sendok teh (tsp)
1 ounce (oz) = 2 sendok makan (tbsp)
1 cangkir ukur (measuring cup) = 8 ounces (oz)

e) Metode Penghitungan

Kebanyakan label dan perintah pemberian obat di ekspresikan dalam ukuran satuan
metrik. Jika jumlah yang ditetapkan dalam perintah adalah sama seperti yang tertera pada
label obat, maka tidak perlu dihitung, dan sediaan dosis yang tepat adalah hal yang
sederhana. Sebagai contoh, jika terbaca perintah “ibuprofen, 400 mg PO” dan terbaca dalam
label obat “ibuprofen, 400 mg per tablet”, maka jelas bahwa diberikan satu tablet. Akan
tetapi, apa yang terjadi jika dosis yang diperintahkan adalah 400 mg, dan tablet yang tersedia
adalah 200 mg? Pertanyaannya adalah, “Berapa tablet 200 mg yang dibutuhkan untuk
memberikan dosis 400 mg?” Pada kasus ini, jawabannya dapat dengan cepat dihitung yaitu 2
tablet.

Walaupun perhitungan relatif sederhana, tetapi contoh tersebut juga dapat digunakan untuk
menjelaskan penghitungan matematika yang mungkin diperlukan dalam situasi lain. Masalah
ini dapat dipecahkan melalui beberapa metode: (1) persamaan dasar; (2) persamaan proporsi
rasio; atau (3) persamaan dosis fraksional. Bidan harus mengetahui salah satu dari metode
tersebut dan menggunakannya secara konsisten. Sebagai tambahan, penghitungan juga
melibatkan berat badan dan luas permukaan tubuh, yang merupakan metode umum
digunakan untuk menentukan dosis untuk bayi dan anak kecil.

f) Persamaan Dasar

Persamaan dasar umumnya digunakan dipresentasikan dengan formula:

D
H xV A

Dimana:
D adalah dosis yang diinginkan
H adalah jumlah yang tersedia
V adalah bentuk obat
A adalah jumlah yang diberikan pada pasien

Contoh penggunaan persamaan dasar adalah sebagai berikut:


400
200 x 1 tablet 2 tablet

Oleh karena itu, bidan akan memberikan 2 tablet.

Persamaan Rasio dan Proporsi

Salah satu metode tertua dari penghitungan dosis adalah persamaan rasio dan proporsi yang
dapat di ekspresikan dengan formula:

Dimana:
D adalah dosis yang diinginkan
H adalah jumlah yang tersedia
V adalah bentuk obat
A adalah jumlah yang diberikan kepada pasien (umumnya ditulis sebagai X atau x)

Menggunakan fraksi (pecahan), proporsi dipakai sehingga mirip satuan yang menyilang
(across) dari lainnya.
Fraksi pertama adalah equivalent, dan fraksi kedua adalah tidak diketahui dan jumlah yang
diinginkan. Semua ukuran perlu sistem yang sama dan dalam satuan atau ukuran yang sama.
Sebagai contoh, rasio dan proporsi adalah sebagai berikut:
V A atau X 
H D

1 tablet X tablet
200  400

Dengan persamaan ini, anda akan melakukan perkalian silang dan memecahkan X

g) Persamaan Dosis Fraksional

Persamaan dosis fraksional adalah mirip dengan persamaan rasio dan proporsi. Formula
dapat di ekspresikan sebagai berikut:

H DV
X
Dimana:
D adalah dosis yang diinginkan
H adalah jumlah yang tersedia
V adalah bentuk obat
A adalah jumlah yang diberikan kepada pasien (umumnya dtuliskan sebagai X atau x)
Dengan persamaan ini, anda akan melakukan perkalian silang dan memecahkan X, atau A.
Contoh:

Oleh karena itu, bidan akan memberikan 2 tablet.

Apa yang terjadi jika perintah dan label yang ditulis dalam unit yang berbeda? Sebagai
contoh, perintahnya mungkin ditulis “ibuprofen, 0,4 g”, dan labelnya mungkin tertulis
“ibuprofen, 200 mg/tablet”. Untuk menghitung jumlah dosis tablet yang diperlukan, maka
langkah pertama adalah merubah 0,4 g menjadi jumlah equivalent dari milligram, atau merubah
400 mg menjadi jumlah equivalent dari gram. Dosis yang diinginkan atau diperintahkan dan
dosis label atau yang tersedia harus dalam ukuran satuan yang sama. Menggunakan equivalent
(yaitu, 1 g = 100 mg) tertera dalam Tabel 3-2, persamaan dapat dituliskan sebagai berikut:

0.4 g 400 mg
Langkah berikutnya adalah menggunakan informasi baru dalam formula, yang kemudian
menjadi:
1 tablet x 400 X tablet x 200
400 200X x 2

Oleh karena itu, bidan akan memberikan 2 tablet.

h) Dosis Berdasarkan Berat Badan dan Luas Permuakan Tubuh


Beberapa dosis didasarkan pada berat badan atau luas permukaan tubuh (Body Surface
Area/BSA). Umumnya, dosis untuk bayi dan anak diperintahkan diberikan fraksi ini yang
diberikan berdasar perbedaan usia, pertumbuhan dan perkembangan, dan berat badan dalam
kelompok ini. Seringkali, jumlah yang diperlukan untuk dosis khusus harus dihitung sebagai
fraksi dosis dewasa. Terdapat dua metode yang digunakan dalam penghitungan ini.

Clark’s rule didasarkan pada berat badan dan digunakan untuk anak-anak sedikitnya berusia
2 tahun. Dibawah ini adalah formula matematika dari Clark’s rule:
Berat (dalam pound)
x dosis dewasa
dosis anak 150

Menghitung dosis berdasarkan pada luas permukaan tubuh (BSA) dipertimbangkan sebagai
metode yang lebih akurat untuk menghitung dosis. Luas permukaan tubuh, didasarkan pada
tinggi badan dan berat badan, yang diperkirakan dengan menggunakan nomogram (Gambar
3.2.). Untuk menghitung dosis anak-anak dengan menggunakan luas permukaan tubuh,
gunakan formula sebagai berikut :
GAMBAR 3.2. Nomogram permukaan tubuh. Untuk menentukan luas permukaan pada pasien, tarik garis lurus diantara
titik tinggi badan pada skala vertikal kiri ke titik berat badan pada skala vertikal kanan. Titik dimana garis memotong
skala vertikal tengah menunjukkan luas permukaan pasien dalam meter persegi (Courtesy of Abbott Laboratories).

area permukaan tubuh (dalam m2 ) x dosis dewasa dosis anak

1.73 m2

Memberikan dosis yang aman adalah penting sekali untuk semua pasien, terutama untuk bayi
dan anak-anak, karena beberapa dosis pediatrik adalah minute. Dengan demikian, sedikit
kesalahan penghitungan dapat menyebabkan bahaya. Lihat referensi yang menunjukkan
rentang dosis aman. Penghitungan dosis harus terdapat pada rentang aman antara dosis terendah
dan tertinggi.

i) Menghitung Kecepatan Aliran Intravenous


Cairan intravenous (IV) yang diberikan menggunakan infus set harus diatur dengan
kecepatan aliran secara tepat. Kecepatan aliran IV biasanya dihitung dalam milliliter per jam
dan tetes (gtts) per menit. Untuk menghitung kecepatan aliran, maka diperlukan informasi
khusus, yang meliputi jumlah larutan atau obat yang di infus, waktu atau durasi dari infus,
dan jumlah tetes per menit (faktor tetesan) dari aliran intravenous. Sebagai contoh, faktor
tetesan dari aturan pemberian macrodrip mungkin 10, 14, atau 20 tetes per mililiter,
tergantung pada pabriknya. Kebanyakan pusat pelayanan kesehatan menggunakan satu
produk pabrik. Faktor tetesan untuk semua aturan pemberian microdrip adalah 60 tetes/mL.
Infusion pump secara khusus diatur dalam milliliter per jam, sehingga penghitungannya
adalah dalam milliliter per jam (mL/jam).

j) Kecepatan Infus

Kecepatan infus dihitung dengan menggunakan formula:

jumlah (mL) yang dianjurkan jumlah mL/jam jumlah jam tetesan. Jika tersedia
infusion pump, maka penghitungan menjadi mudah. Jika faktor tetesannya berbeda, seperti
pada selang macrodrip, maka perlu langkah tambahan.

jumlah mL perjam x faktor tetesan tetes/menit jumlah menit


Sebagai contoh, terbaca perintah “1000 mL D5W diberikan pada 100 mL/jam”. Bidan
memiliki persediaan selang macrodrip 20 tetes/mL per menit. Formula penghitungannya
sebagai berikut:
100 mL x 20 2000
 33.3 tetes/menit

60 60
Oleh karena itu, bidan mengatur tetesan infus adalah 33 tetes/menit.
Jika digunakan selang mikrodrip pada contoh diatas, maka penghitungannya adalah sebagai
berikut:
100 mL x 60
100 tetes/menit
60

Bidan akan mengatur kecepatan infus 100 tetes/menit.

k) Lama Infus

Pada beberapa kasus, maka sangat bermanfaat untuk menghitung berapa lama infus
akan diberikan. Secara sederhana, formula untuk menghitung lama pemberian infus dinyatakan
sebagai berikut:

jumlah mL yang diminta lama infus dalam

jam jumlah mL per jam

Pertimbangkan contoh ini. Terbaca perintah “1000 mL 0.9% saline diberikan pada 125
mL/jam”.
Formula untuk menentukan waktu infus adalah sebagai berikut:

1000 mL 8 jam
125 mL/jam

Maka infus akan diberikan selama 8 jam.

Menghitung dosis obat adalah keterampilan penting bagi bidan karena penghitungan dosis
yang tidak akurat dapat membahayakan pasien. Bidan harus mengembangkan kecakapan
dalam menghitung dengan sistem pengukuran dan menggunakan penghitungan matematika
umum untuk menentukan ketepatan dosis obat.

l) Efek Obat Dan Efek Samping


Istilah efek yang merugikan (adverse effect) berkaitan dengan setiap respon yang tidak
diinginkan terhadap pemberian obat, dan efek terapeutik (therapeutic effect) adalah respon
yang diinginkan. Kebanyakan obat menghasilkan campuran efek terapeutik dan merugikan;
semua obat dapat menghasilkan efek merugikan. Efek merugikan mungkin menghasilkan tanda,
gejala, atau proses penyakit yang mendasar dan mungkin melibatkan setiap sistem tubuh atau
jaringan. Efek merugikan mungkin bersifat umum atau jarang, ringan atau berat, terlokalisir
atau menyebar, tergantung pada obatnya dan resipien.
Beberapa efek yang merugikan dapat terjadi pada obat dengan dosis terapeutik biasa (sering
disebut side effect); sedangkan yang lain lebih mungkin terjadi dengan dosis yang lebih besar.
Efek merugikan yang umum atau serius adalah sebagai berikut:

Efek CNS
mungkin akibat dari stimulasi CNS (misal, agitasi, konfusi, delirium, disorientasi,
halusinasi, psikosis, kejang) atau depresi CNS (pusing, mengantuk, gangguan tingkat
kesadaran, sedasi, coma, gangguan pernapasan dan sirkulasi). Efek CNS mungkin
terjadi pada beberapa obat, meliputi kebanyakan kelompok terapeutik,
penyalahgunaan obat)
Efek gastrointestinal (anoreksia, nausea, vomiting, konstipasi, diare) adalah reaksi
merugikan yang umum terjadi. Nausea dan vomiting terjadi pada beberapa obat akibat
iritasi lokal dari saluran gastrointestinal atau stimulasi dari pusat vomiting dalam otak.
Diare terjadi pada obat yang menyebabkan iritasi lokal atau peningkatan peristaltik.
Efek yang lebih serius meliputi perdarahan atau ulserasi (lebih sering pada aspirin dan
nonsteroidal anti-inflammatory agent) dan diare berat / kolitis (lebih sering pada
antibiotik).
Efek hematologik (penyakit koagulasi darah, penyakit perdarahan, depresi sumsum
tulang, anemia, leukopenia, agranulositosis, thrombositopenia) adalah relatif sering
dan potensial mengancam kehidupan. Perdarahan hebat adalah lebih sering berkaitan
dengan antikoagulan dan throbolitik; depresi sumsum tulang biasanya terkait dengan
obat antineoplastik.
Hepatotoksisitas (hepatitis, disfungsi atau kegagalan liver, inflammasi atau obstruksi
saluran kandung empendu) adalah potensial mengancam kehidupan. Karena
kebanyakan obat dimetabolisme oleh liver, maka liver mudah terkena cedera akibat
obat. Obat yang bersifat hepatotoksik meliputi acetaminophen (Tylenol), isoniazid
(INH), methotrexate (Mexate) phenytoin (Dilantin), dan aspirin dan salisilat lainnya.
Dengan adanya kerusakan liver yang disebabkan oleh penyakit drugor, maka
metabolisme dari beberapa obat terganggu. Selanjutnya, obat yang dimetabolisme
oleh liver cenderung terakumulasi dalam tubuh dan menyebabkan efek yang merugikan.
Disamping hepatotoksisitas, beberapa obat juga menghasilkan nilai abnormal pada test
fungsi liver tanpa menimbulkan gejala klinikal dari disfungsi liver.
Nephrotoksisitas (nephritis, insufisiensi atau kegagalan renal) terjadi pada beberapa
obat antimikrobial (misal, gentamicin dan aminoglycoside lainnya), obat nonsteroidal
anti-inflammatory (misal, ibuprofen dan obat-obat yang terkait), dan obat lainnya. Ia
potensial serius karena ia mungkin mengganggu ekskresi obat, sehingga
menyebabkan akumulasi obat dan meningkatkan efek yang merugikan.
Hipersensitivitas atau allergi mungkin terjadi pada hampir setiap obat pada pasien
yang rentan. Ia tidak mudah diprediksi dan tidak terkait dengan dosis. Ia terjadi pada
orang yang sebelumnya terpapar dengan obat atau substansi yang mirip (antigen) dan
pada orang yang berkembang antibodi. Bila diberikan ulang, maka obat bereaksi dengan
antibodi untuk menyebabkan kerusakan sel dan melepaskan histamin dan substansi
intraseluler lainnya. Substansi-substansi tersebut menghasilkan reaksi berkisar dari
rash kulit ringan sampai shock anafilaktik. Shock anafilaktik adalah reaksi
hipersensitivitas yang dapat mengancam kehidupan yang ditandai oleh distres
pernapasan dan kolaps kardiovaskuler. Ia terjadi dalam beberapa menit setelah
pemberian obat dan memerlukan pengobatan emergensi dengan epinephrine.
Beberapa reaksi allergi (misal, serum sickness) terjadi 1 sampai 2 minggu setelah
diberikan obat.
1. Demam obat adalah demam yang berhubungan dengan pemberian pengobatan. Obat-
obatan yang dapat menyebabkan demam melalui beberapa mekanisme, meliputi
reaksi allergi, kerusakan jaringan tubuh, peningkatan panas tubuh atau mengganggu
pelepasan energi, atau bekerja pada pusat pengatur suhu dalam otak. Mekanisme yang
umum adalah reaksi allergi. Demam mungkin terjadi secara sendiri atau dengan
manifestasi allergi lainnya (misal, rash kulit, gatal, nyeri otot dan sendi, pembesaran
kelenjar limfe, eosinophilia), dan polanya mungkin rendah dan terus-menerus atau
tajam dan intermittent. Ia mungkin mulai dalam beberapa jam setelah dosis pertama
jika pasien telah minum obat sebelumnya, atau kira-kira dalam 10 hari pada
pemberian yang terus-menerus jika obat adalah baru bagi pasien. Jika obat penyebabnya
dihentikan, demam biasanya mereda dalam waktu 48 sampai 72 jam kecuali ekskresi
obat lambat atau terjadi kerusakan jaringan yang signifikan (misal, hepatitis).

Beberapa obat telah dikaitkan sebagai penyebab demam obat, meliputi kebanyakan
antimikrobial, beberapa obat kardiovaskuler (misal, beta blocker, hydralzine, methyldopa,
procainamide, quinidine), obat dengan sifat antikolinergik (misal, atropine, beberapa
antihistamine, obat antipsikotik phenothiazine, dan antidepresan tricyclic), dan beberapa
antikonvulsan.
1) Idiosinkrasi (Idiosyncrasy) berkaitan dengan reaksi yang tidak diharapkan pada obat
yang terjadi pada waktu pertama kali obat diberikan. Reaksi ini biasanya dikaitkan
dengan karakteristik genetik yang merubah drug-metabolizing enzyme.
2) Ketergantungan obat (Drug dependence) mungkin terjadi dengan obat merubah
ingatan (mind-altering drugs), seperti analgesik narkotik, obat hipnotik-sedativa,
obat ant-anxiety, dan stimulan sistem saraf pusat. Ketergantungan mungkin bersifat
fisiologik atau psikologik. Ketergantungan fisiologik menghasilkan gejala fisikal
yang tidak menyenangkan bila dosis dikurangi atau obat dihentikan. Ketergantungan
psikologikal berperan terhadap keasyikan yang berlebihan dengan obat dan perilaku
mencari obat (drug-seeking behavior).
3) Karsinogenisitas (Carcinogenicity) adalah kemampuan substansi untuk menyebabkan
kanker. Beberapa obat bersifat karsinogen, meliputi beberapa hormon dan obat
antikanker. Karsinogenisitas nampaknya hasil dari perubahan yang disebabkan obat
dalam DNA seluler.
4) Teratogenisitas (Teratogenicity) adalah kemampuan substansi untuk menyebabkan
ketidaknormalan perkembangan fetal bila diberikan pada wanita hamil. Kelompok
obat yang dipertimbangkan bersifat teratogenik meliputi analgesik, diuretik, obat
anti-epileptik, antihistamin, antibiotik, antiemetik, dan lainnya.

m) Efek Toksik dari Obat

Toksisitas obat (juga disebut keracunan, overdosis, atau intoksikasi) adalah akibat jumlah
yang berlebihan dari obat dan mungkin menyebabkan kerusakan yang reversible atau
irreversible pada jaringan tubuh. Hal ini merupakan masalah umum baik pada populasi
dewasa maupun pediatrik. Ia mungkin akibat dari dosis besar tunggal atau menelan dosis
lebih kecil dalam waktu lama. Ia mungkin berkaitan dengan alkohol atau obat resep, atau obat
liar. Pasien keracunan mungkin dijumpai terutama pada setiap tatanan (misal, unit rawat jalan
di rumah sakit, home care, fasilitas perawatan jangka panjang) tetapi kemungkinan terutama
ditemukan di departeman amergensi di rumah sakit.

Pada beberapa kasus, pasien atau seseorang yang menyertai pasien mungkin
mengetahui obat toksik (misal, overdosis kecelakaan dari obat terapeutik, menggunakan obat
liar, atau usaha bunuh diri). Namun demikian, Seringkali, terlalu banyak minum obat, atau obat
yang tidak diketahui, dan dalam keadaan tertentu yang terkait dengan cedera traumatik atau
gangguan status mental yang membuat pasien tidak mampu memberikan informasi yang
bermanfaat. Manifestasi klinikal sering tidak spesifik untuk overdosis obat dan mungkin
menunjukkan proses penyakit lainnya. Karena banyak variabel dari intoksikasi obat, maka
petugas kesehatan harus memiliki petunjuk yang tinggi terhadap kecurigaan sehingga toksisitas
dapat dikenali dan diobati secara cepat.

n) Overdosis Obat: Manajemen Umum


Kebanyakan pasien keracunan atau overdosis, diobati di departemen emergensi dan
dipulangkan ke rumah mereka. Sebagian kecil yang dimasukkan ke unit intensive cara (ICU),
seringkali karena tidak sadar dan membutuhkan intubasi endotracheal dan ventilasi
mekanikal. Keadaan tidak sadar adalah efek toksik utama dari beberapa substansi yang
umumnya ditelan seperti anti-anxietas benzodiazepine dan obat sedativa, anti-depresan
tricyclic, ethanol, dan opiate. Efek kardiovaskuler yang serius (misal, cardiac arrest,
dysrhythmia, gangguan sirkulasi) adalah juga umum dan memerlukan untuk dimasukkan ke
ruang ICU.

Tujuan utama dari pengobatan pasien keracunan adalah membantu dan menstabilkan
fungsi vital (yaitu, jalan napas, pernapasan, sirkulasi), mencegah kerusakan lebih lanjut
akibat obat toksik dengan mengurangi absorpsi atau meningkatkan eliminasi, dan
memberikan antidote khusus bila tersedia dan di indikasikan. Aspek umum dari perawatan
dijelaskan dibawah ini; antidote.

1. Untuk pasien yang sakit berat pada kontak pertama, maka harus mendapat bantuan
pemeriksaan dan pengobatan lebih cepat. Pada umumnya, pengobatan dimulai sesegera
mungkin setelah minum obat untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.

2. Prioritas utama adalah menyokong fungsi vital, seperti pemeriksaan cepat dari kondisi
pasien (misal, tanda-tanda vital, tingkat kesadaran). Pada keracunan berat, segera
pasang elektrokardiogram, dan temukan toksisitas berat (misal, dysrhythmia, iskemia)
secara cepat dan berikan perawatan invasive. Tindakan cardiopulmonary resuscitation
(CPR) standar mungkin diperlukan untuk mempertahankan pernapasan dan sirkulasi.
IV line biasanya diperlukan untuk memberikan cairan dan obat dan pengobatan
invasive atau pemasangan perawatan monitoring.
Intubasi endotracheal dan ventilasi mekanikal seringkali diperlukan untuk
mempertahankan pernapasan (pada pasien tidak sadar), memperbaiki hipoksemia, dan
melindungi jalan napas. Hipoksemia harus dikoreksi dengan cepat untuk menghindari
cedera otak, iskemia miokardial, dan cardiac dysrhythmia. Ventilasi dengan positive
end expiratory pressure (PEEP) harus digunakan secara hati-hati pada pasien hipotensi
karena ia menurunkan venous return pada jantung dan memperburuk hipotensi.
Manifestasi kardiovaskuler yang serius sering memerlukan pengobatan farmakologik.
Hipotensi dan hipoperfusi mungkin diobati dengan obat inotropic dan vasopressor.
Dysrhythmia diobati sesuai dengan protokol Advanced Cardiac Life Support (ACLS).
Kejang yang berulang-ulang atau status epilepticus memerlukan pengobatan dengan
obat anti-konvulsan.

3. Untuk pasien tidak sadar, segera pasang IV line, beberapa penulis merekomendasikan
memberikan obat naloxone (2 mg IV) untuk overdosis narkotik dan thiamine (100 mg
IV) untuk disfungsi otak akibat defisiensi thiamine. Sebagai tambahan, fingerstick
blood glucose test harus dikerjakan dan, jika terdapat hipoglikemia, maka diberikan
dextrose 50% (50 mL IV).

4. Ketika pasien keluar dari bahaya, maka periksa fisik secara menyeluruh dan upayakan
untuk menentukan obat, jumlah, dan jarak waktu terpapar. Jika pasien tidak dapat
memberikan informasi, maka wawancarai seseorang yang dekat dengan pasien yang
mungkin dapat memberikan informasi. Tanya tentang pemakaian obat dengan resep,
alkohol, dan obat liar.

5. Tidak terdapat pemeriksaan laboratorium standar untuk pasien keracunan. Kondisi


pasien dan penentuan pemeriksaan laboratorium sangat diperlukan, walaupun
pemeriksaan fungsi hepar dan ginjal biasanya diusulkan. Spesimen darah, urine, atau
cairan lambung mungkin diperlukan untuk analisis laboratorium.

Screening test untuk substansi-substansi toksik tidak membantu karena hasil test
mungkim lambat, beberapa substansi tidak terdeteksi, dan hasilnya jarang mempengaruhi
pengobatan awal. Identifikasi obat atau racun yang tidak diketahui seringkali didasarkan
pada riwayat pasien dan tanda dan gejala, dengan test spesifik sebagai penegasan. Untuk
membantu pengobatan, maka diperlukan kadar obat dalam serum bila obat yang ditelan
diketahui, seperti acetaminophen, alkohol, digoxin, lithium, aspirin, atau theophylline.

Untuk obat yang diberikan per-oral, maka dekontaminasi gastrointestinal menjadi topik
yang kontroversial. Selama beberapa tahun, teknik standar untuk membuang obat dari
saluran gastrointestinal meliputi sirup ipecac untuk pasien yang sadar, untuk
merangsang emesis; lavage lambung untuk pasien dengan penurunan tingkat kesadaran;
activated charcoal untuk mengabsorpsi obat yang ditelan dalam saluran gastrointestinal;
dan cathartic (biasanya sorbitol 70%) untuk mempercepat eliminasi dari obat yang
diabsorpsi. Yang terbaru, whole bowel irrigation (WBI) yang dikenal sebagai teknik
tambahan.

Sekarang, terdapat perbedaan pendapat tentang apakah dan kapan teknik tersebut
digunakan. Perbedaan ini berperan terhadap rapat konsensus kelompok toxicologists dari
American Academy of Clinical Toxicology (AACT) dan European Association of Poison
Centres and Clinical Toxicologists (EAPCCT). Kelompok ini mengeluarkan pedoman
pengobatan yang juga didukung oleh organisasi toksikologi lainnya. Secara umum,
pernyataan rekomendasi bahwa tak satupun dari teknik tersebut harus digunakan secara rutin
dan bahwa data yang adequat untuk mendukung atau meniadakan penggunaan mereka adalah
sering kurang. Pendapat diutarakan oleh kelompok konsensus dan lainnya adalah dijelaskan
sebagai berikut:
Ipecac.
Penggunaannya di tatanan rumah sakit mulai berkurang. Ia mungkin berguna untuk
memperlambat pemberian atau mengurangi efektivitas dari activated charcoal, antidote oral,
dan WBI. Karena adanya resiko aspirasi, maka ipecac merupakan kontraindikasi pada pasien
yang kesadarannya menurun. Ipecac juga digunakan untuk mengobati keracunan ringan di
rumah, terutama pada anak-anak. Orang tua harus menghubungi pusat pengendali keracunan
atau petugas kesehatan sebelum memberikan ipecac. Jika dianjurkan untuk menggunakan,
maka ia akan bermanfaat jika diberikan dalam jam setelah menelan dosis obat toksik.

Lavage lambung.
Manfaatnya masih dipertanyakan. Ia menjadi kontraindikasi pada pasien yang
kesadarannya menurun kecuali pada pasien yang dipasang endotracheal tube (untuk
mencegah aspirasi). Ia mungkin bermanfaat pada overdosis serius jika dilakukan dalam jam-
jam ketika menelan obat. Jika obat yang ditelan memperlambat pengosongan lambung (misal,
anti-depresan tricyclic dan obat lain dengan efek antikolinergik), batas waktunya mungkin
diperpanjang. Bila digunakan setelah menelan pil atau kapsul, lubang tube harus cukup besar
untuk memungkinkan pembuangan fragment-fragment pil.

Activated charcoal.
Kadang-kadang disebut antidote universal, ia bermanfaat pada beberapa bentuk
keracunan. Ia digunakan sendiri untuk overdosis ringan atau sedang dan dengan lavage
lambung pada keracunan serius. Ia secara efektif mengabsorpsi beberapa toksin dan jarang
menyebabkan komplikasi. Ia banyak bermanfaat bila diberikan dalam jam ketika menelan
sejumlah obat yang potensial toksik yang diketahui mengikat pada charcoal. Efektivitasnya
menurun sejalan dengan waktu, dan terdapat data yang tidak adequat untuk mendukung atau
meniadakan penggunaan dikemudian daripada satu jam setelah menelan. Activated charcoal
biasanya dicampur dalam air (kira-kira 50 g atau 10 sendok makan dalam 8 oz air) untuk
membuat lebih mudah ditelan. Ia sering diberikan melalui GI tube. Charcoal blacken
memperlambat pergerakan usus besar. Efek merugikan meliputi aspirasi pulmonari dan
pengaruh yang kuat dari kompleks charcoal-obat. Jika digunakan dengan WBI, maka
activated charcoal harus digunakan sebelum larutan WBI dimulai. Jika diberikan selama
WBI, maka kapasitas pengikatan charcoal menurun.
Cathartic.
Tidak direkomendasikan digunakan sendiri, dan digunakan dengan activated charcoal.
Jika digunakan, ia harus dibatasi pada dosis tunggal untuk meminimalkan efek merugikan.

Whole bowel irrigation.


Teknik ini lebih bermanfaat untuk membuang racun yang tertelan dari obat long-acting,
sustained-release drugs (misal, beberapa beta blocker, calcium channel blocker, dan sediaan
theophylline); enteric coated drugs; dan racun yang tidak berikatan baik dengan activated
charcoal (misal, iron, lithium, lead). Ia mungkin juga bermanfaat dalam membuang obat seperti
cocaine atau heroin. Bila diberikan, larutan polyethylene glucol (misal, Colyte), 1 sampai 2 L/jam
sampai total 10 L, direkomendasikan. WBI adalah kontraindikasi pada pasien dengan penyakit usus
besar yang serius (misal, obstruksi, perforasi, ileus), hemodinamik tidak stabil, atau gangguan
pernapasan (kecuali di intubasi).

Eliminasi urinari dari beberapa obat dan metabolit toksik dapat dipercepat dengan
cara merubah pH urine (misal, acidifying dengan overdosis amphetaime, alkalinizing
dengan overdosis salicylate), diuresis, atau hemodialisis. Hemodialisis adalah
pengobatan pilihan pada keracunan lithium berat dan aspirin (salicylate).

Pemberian antidote spesifik bila tersedia dan diindikasikan pada pasien dengan kondisi klinikal.
Antidote yang tersedia bervariasi dalam efektivitas. Beberapa diantaranya sangat efektif dan
secara cepat memperbaiki manifestasi keracunan (misal, naloxone untuk opiate, flumazenil
untuk benzodiazepine, fragment Fab spesifik untuk digoxin). Yang lainnya kurang efektif
(misal, deferoxamine untuk keracunan iron akut) atau potensial keracunan sendiri (misal,
physostigmine untuk overdosis antidepressant tricyclic). Bila antidote digunakan, maka
half-life relatif terhadap half-life toksin harus dipertimbangkan. Sebagai contoh, half- life dari
naloxone, suatu antagonist narkotik, adalah relatif pendek dibandingkan dengan half- life dari
opiate yang bekerja lebih panjang seperti methadone. Hal yang serupa, flumazenil memiliki
half-life yang lebih pendek daripada kebanyakan benzodiazepine. Dengan demikian,
dosis yang berulang dari obat ini mungkin diperlukan untuk mencegah kekambuhan
keadaan toksik.
Antidote untuk Overdosis Obat-obat Terapi Terpilih
Overdosis Obat
Antidote Rute dan Rentang Dosis Keterangan
(Keracunan)
Acetaminophen Acetylcysteine PO, 140 mg/kg pada awalnya, Encerkan 20% larutan
(Mucomyst) kemudian 70 mg/kg setiap 4 menjadi 5% larutan
jam untuk 17 dosis dengan cola atau soft
drink lain untuk
pemberian oral
Anticholinergics Physostigmine IV, IM, 2 mg. Diberikan IV Jarang digunakan karena
(atropine) secara perlahan, kurang toksisitasnya
lebih 2 menit.
Benzodiazepines Flumazenil IV, 0.2 mg lebih dari 30 Jangan diberikan pada
detik; jika tidak ada respon, pasien dengan
mungkin diberikan 0.3 mg. overdosis dari obat
Dosis tambahan 0.5 mg yang tidak diketahui
mungkin diberikan dengan atau obat yang
interval 1-menit sampai diketahui
jumlah total 3 mg menyebabkan kejang
pada overdosis (misal,
cocaine, lithium)
Beta blockers Glucagon IV, 50–150 mcg/kg (5–10 mg Glukagon meningkatkan
untuk dewasa) lebih 1 menit kontraktilitas
pada awalnya, kemudia 2–5 miokardial; tidak ada
mg/jam dengan continuous rekomendasi dari FDA
infusion jika diperlukan
Calcium channel
blockers Calcium gluconate IV, 1 g lebih 5 menit; Meningkatkan
10% mungkin diulang lagi kontraktilitas
miokardial
Cholinergics Atropine Dewasa: IV 2 mg, diulang Jika keracunan adalah
jika perlu. akibat
Anak-anak: IV 0.05 mg/kg, organophosphates
sampai 2 mg (misal, insektisida),
pralidoxime mungkin
diberikan dengan
atropine
Digoxin Digoxin immune fab IV, 40 mg (1 vial) untuk Direkomendasikan untuk
(Digibind) setiap 0.6 mg dari digoxin toksisitas berat;
yang ditelan. memperbaiki gejala
Pengenceran setiap vial cardiac dan
dengan 4 mL Water for extracardiac dalam
Injection, kemudian beberapa menit
diencerkan dengan sterile Catatan: Kadar digoxin
isotonic saline sampai serum meningkat
volume sesuai dan setelah diberikan
diberikan lebih dari 30 antidote, tetapi obat
menit, melalui 0.22-micron terikat dan menjadi
filter. Jika cardiac arrest inaktif.
mulai nampak, mungkin
diberikan dosis bolus
injection.
Heparin Protamine sulphate IV, 1 mg/100 unit heparin,
secara perlahan, lebih
kurang 10 menit. Dosis
tunggal harus tidak
melebihi 50 mg.
Iron Deferoxamine IM, 1 g setiap 8 jam jika Di indikasikan untuk
Diperlukan kadar iron serum >500
IV, 15 mg/kg/jam jika mg/dL kadar iron
Hypotensive serum >350 mg/dL
dengan gejala
gastrointestinal atau
kardiovaskuler
Dapat mengikat dan
melepaskan bagian
dosis yang ditelan;
urine menjadi
Kemerahan
Isoniazid Pyridoxine IV, 1 g per gram INH yang Ditujukan untuk
ditelan, dengan kecepatan 1 penatalaksanaan kejang
g setiap 2–3 menit. Jika dan koreksi asidosis
jumlah INH tidak diketahui,
berikan 5 g; mungkin
diulang.
Lead Succimer Anak-anak: PO 10 mg/kg
Narcotic analgesics Naloxone (Narcan) Dewasa: IV 0.4–2 mg jika Dapat juga diberikan
Diperlukan secara IM,
Anak-anak: IV 0.1 mg/kg per
setiap 8 jam dalam 5 hari Subcutaneous, atau
Dosis endotracheal tube
Phenothiazine Diphenhydramine Dewasa: IV 50 mg Diberikan untuk
antipsychotic agents (Benadryl) Anak-anak: IV 1–2 mg/kg, mengurangi gejala
sampai total 50 mg extrapyramidal
(penyakit motorik)
Thrombolytics Aminocaproic acid PO, IV infusion, 5 g pada
(Amicar) awalnya, kemudian 1–1.25
g/jam selama 8 jam atau
hingga perdarahan
terkontrol. Dosis
maksimum, 30 g/24 jam
Tricyclic
antidepressants Sodium bicarbonate IV, 1–2 mEq/kg pada Untuk mengobati cardiac
awalnya, kemudian dysrhythmias,
continuous IV drip untuk gangguan hantaran
mempertahankan pH serum (conduction), dan
7.5 hipotensi
Warfarin Vitamin K1 PO, 5–10 mg sehari IV
(overdosis berat),
continuous infusion dengan
kecepatan tidak lebih cepat
dari 1 mg/menit

V. Referensi
Barone, J. A., & Hermes-DeSantis, E. R. (2000). Adverse drug reactions and drug-
induced diseases. In E. T. Herfindal & D. R. Gourley (Eds.), Textbook of therapeutics: Drug
and disease management (7th ed., pp. 21–34). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Brater, D. C. (2000). Principles of clinical pharmacology. In H. D. Humes (Ed.),
Kelley’s textbook of internal medicine (4th ed., pp. 311–319). Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins.
VI.
Drug facts and comparisons. (Updated monthly). St. Louis: Facts and Comparisons.

Ensom, M. H. H. (2000). Gender-based differences and menstrual cycle-related


changes in specific diseases: Implications for pharmacotherapy. Pharmacotherapy, 20(5),
523–539.
Guyton, A. C., & Hall, J. E. (2000). Textbook of medical physiology (10th ed.).
Philadelphia: W. B. Saunders.

Klein-Schwartz, W., & Oderda, G. M. (2000). Clinical toxicology. In E. T. Herfindal &


D. R. Gourley (Eds.), Textbook of therapeutics: Drug and disease management (7th ed., pp.
51– 68). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Matthews, H. W., & Johnson, J. (2000). Racial, ethnic, and gender differences in
response to drugs. In E. T. Herfindal & D. R. Gourley (Eds.), Textbook of therapeutics: Drug
and disease management (7th ed., pp. 93–103). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Lacy, C. F., Armstrong, L. L., Goldman, M. P., & Lance, L. L. (2003). Lexi-Comp’s
drug information handbook (11th ed.). Hudson, OH: American Pharmaceutical Association.

Tatro, D. S. (2000). Drug interactions. In E. T. Herfindal & D. R. Gourley (Eds.),


Textbook of therapeutics: Drug and disease management (7th ed., pp. 35–49). Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.

VI. Tugas Mandiri


1. Tujuan Tugas
Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan farmakodinamik dari golongan
obat uterotonika, koagulantia, antipiretik.

2. Uraian Tugas
a. Obyek garapan
Farmakodinamik dari obat-obatan yang berhubungan dengan kebidanan.
b. Yang harus dikerjakan dan batasan-batasan
Menguraikan farmakodinamik dari obat uterotonika, koagulantia, antipiretik.
Hasilnya dipresentasikan dikelas pada pertemuan berikutnya.

3. Metode / cara pengerjaan tugas


Mendiskripsikan farmakodinamik dari obat uterotonika, koagulantia, antipiretik.
Dikerjakan secara diskusi kelompok.
4. Deskripsi luaran tugas yang dihasilkan :
Hasil studi tersaji dalam bentuk paper, dengan ukuran kertas kuarto, diketik dengan huruf
Times New Roman, ukuran huruf 12 pt, 1 spasi. Dilengkapi CD presentasi dengan format
powerpoint.

VII. Evaluasi

1.Efek obat yang dimulai pada waktu obat memasuki plasma dan berakhir sampai mencapai
konsentrasi efektif minimum, disebut:
A. Efek fisiologis primer C. Mula kerja
B. Lama kerja D. Konsentrasi efektif minimum
2.Macam-macam dari interaksi reseptor, yaitu:
1. Agonis 3. Antagonis
2. Non-spesifik 4. Non-selektif
3.Obat yang mempengaruhi beberapa reseptor, disebut:
A. Agonis C. Non-spesifik
B. Antagonis D. Non-selektif
4.Bagaimana mekanisme kerja obat non-reseptor:
1. Bekerja pada enzim 3. Merubah Sifat Fisikal
2. Merubah Permeabilitas Membran Sel 4. Anti-metabolite
5.Waktu paruh obat merupakan pedoman yang penting untuk menentukan:
A. Interval dosis obat C. Efek maksimum
B. Kekuatan obat D. Potency obat

Anda mungkin juga menyukai