Anda di halaman 1dari 7

Mengenyam pengetahuan sedari Taman kanak-kanak dan kini telah duduk di tapal batas

menyambut buana perkuliahan merupakan daur pendidikan. Pendidikan berjalan sebagaimana


mestinya, mengharuskan tiap jiwa muda berusia 5 sampai 17 tahun terikat dengan begitu banyak
timbunan buku, limpahan ilmu, dan satu dua lebih kawan yang akan menghadiahkan cita.
Bertepatan dengan cita, cinta berupa kasih sayang memotivasi, menyemangati yang hadir dan
bersemi antar dua senyum juga dua hati. Cinta, suatu perasaan yang tak akan lenyap meski masa
cita telah berakhir.

Tepat pertengahan tahun pada celah juni juli 2017 seorang anak perempuan dari keluarga biasa
yang ingin menjadi luar biasa diperkenankan oleh waktu melepaskan seragam biru digantikan
seragam abu-abu. Dihari penuh terik mentari dengan semangat yang ragu ia bergegas ke lembaga
pendidikan tempat belajarnya yang baru. Perasaan kesal tetap melekat dalam kepalanya karena
bersekolah di lembaga ini bukanlah keinginan hatinya melainkan pilihan mamanya. Namun
karena penerimaan siswa baru di setiap sekolah telah tutup dengan pasrah anak perempuan itu
mengalah pada pilihan mamanya.

Rambutnya hanya sebahu, tingginya tak sampai 160 cm, matanya tipis begitu juga senyumnya.
Sesuai akte kelahiranya, ia memiliki nama Tamara Nathaly Darwin. Orang tua dan teman-
temanya biasa memanggilnya dengan nama awal Tamara, sedangkan sayang merupakan nama
panggilan dari pacarnya. Mengenai cinta, hal ini sudah dikenal Tamara sejak ia kecil dari orang
tuanya, kemudian saat remaja dari teman laki-laki yang tentunya special bagi dia. Dikalangan
teman-temannya ia cukup terkenal karena prestasinya dari kecil juga parasnya yang menarik.

Awal masuk Sekolah Menengah Atas Tamara hanya bergaul dengan teman-teman satu asal
sekolahnya yang dulu, namun lambat-laun banyak warga sekolah yang mengenalnya karena
sifatnya yang ramah, santai, dan tentunya periang atau mungkin karena ada salah satu tantenya
yang menjadi guru di sekolah itu?. Awal tahun pembelajaran Tamara di tempatkan di kelas X
MIPA 2 dan saat itu belum banyak proses belajar-mengajar sehingga masih sedikit guru yang
dikenal oleh uTamara. Banyak teman perempuan yang bergaul dengan Tamara sekurang-
kurangnnya ada delapan orang yang sangat dekat dengannya yaitu Gabriel, Fransisca, Aditya,
Cheryl, Miranda, Alvensia, Angelidya, dan Priska. Kemanapun mereka pergi selalu bersama,
susah sama-sama, musuhan sama-sama, marah juga sama-sama. Tidak hanya sebatas kawan
perempuan, ada juga yang laki-laki terutama Revilino, Rivaldo, Chaeryl, Febrianto, Joy, dan
Hendra.

Ada satu yang aneh dimana Tamara yang sudah SMA awal itu sedang mejalin kasih dengan adek
kelas SMP, meski demikian adek kelasnya itu rupawan, tinggi, dan awal pertemuan Tamara
dengan adek itu di Hina Allane saat kegiatan gereja, hal itu yang membuat Tamara begitu
menyakini bahwa Tuhan memberkati hubungan mereka yang cukup terbilang masih anak-anak.
Pacarnya biasa disapa Paskalis, atau biasa dinamai Aped oleh Tamara. Hubungan mereka
awalnya baik-baik saja namun karena jarang berjumpa pada akhirnya mereka resmi bubar.
“Menggunakan seseorang untuk melupakan seseorang” Tamara saat itu sangat patah hati atas
keputusan Paskalis hingga akhirnya untuk melupakan sosok Pasakalis secara permanen ia
memilih bersama Arnold tepat 9 September 2019 dan hanya sebatas dua minggu Tamara
mengakhiri hubungan dengan alasan yang sama yaitu jarang bertemu. Laki-laki berikutnya yaitu
teman satu sekolahnya Tamara, yang saat itu Tamara terima karena mendadak ditembak depan
hadapan Tamara yang sebenarnya sedari awal Tamara menyukai dia yang namanya adalah
Alvredo. Semenjak dengan Alvredo Tamara sangat giat belajar sebab saat itu Alvredo tidak
memakai ponsel sehingga Tamara lebih leluasa untuk tidak mementingkan cinta. Tamara
menjadi siswa perempuan yang cukup populer waktu itu sebab bergabung dengan tim debat
sekolahnya, dan Tamara cukup membantu sebab dapat mempertahankan kemenangan secara
berturut-turut dari generasi-generasi kakak-kakak kelasnya, dimana Tamara bersama tim yang di
dalamnya dua orang yang juga kakak kelasnya berhasil mendapatkan piala bergilir lomba debat
konstitusi. Penghujung tahun pun tiba, tiba pula waktunya untuk terima laporan pendidikan, dan
libur pun ikut tiba. Saat menerima laporan pendidikan Tamara menduduki peringkat pertama di
kelasnya, Tamara sangat bersyukur dan pada akhirnya ia melupakan keluh kesahnya mengenai
sekolah yang tidak ia minati ini. Suasana masih terbungkus damai natal, lagu-lagunya masih
dikumandangkan, kue-kue natal masih rapi di meja, lemari pendingin masih penuh dengan
minuman kaleng namun saat itu juga Tamara bersih keras ingin mengakhiri hubungannya dengan
Alvredo dengan begitu banyak alas an namun yang sangat utama Tamara tidak sama sekali
merasakan hadirnya Alvredo baginya. Kurang 1 menit lonceng gereja berdentang, kembang api
yang sudah riuh di langit, Tamara dengan ikhlas melupakan sosok Paskalis dan tepat lonceng
gereja ditabuh 3 kali Tamara merasa sangat bersyukur walaupun awal tahun baru tanpa pacar
namun ia tetap bahagia bersama keluarga juga teman-temannya.

1 Januari belum lewat seminggu Tamara merupakan pribadi yang tidak biasa menyendiri,
hatinya kembali merana menginginkan sosok teman laki-laki untuk memotivasinya, dan bukan
hanya sekedar menemaninya. Kali ini ia benar-benar serius menjaga perasaan seseorang, pagi
siang malam di WA, Ig, messenger layaknya asrama laki-laki. Banyak yang Tamara hargai
namun tak sedikit yang Tamara diamkan begitu saja, bukan tak ingin menghargai hanya saja
Tamara tahu membalas tanpa memberi kepastian yang jelas lebih itu menyakitkan. Tepat
seminggu ada seorang kakak kelas tapi beda sekolah yang Tamara incar namun begitu cinta tak
kunjung dibalas.

2018 meninggalkan Januari dan kembali menerima kunjungan Februari begitu jelasnya tanggal
13 hari selasa, hari pertama kejadian yang pertama kali Tamara alami, ia mematahkan prinsipnya
sendiri. Prinsip yang hanya ia ceritakan pada temanya Revilin waktu itu “apa pun yang terjadi
aku tidak akan pernah ingin balikan dengan mantan”. Perasaannya menimbang, hati tak lagi
ingin sendiri namun otak terus mengingatkan prinsip-prinsipnya, alhasil ia kembali menerima
teman lama yan dulu mengkhianatinya sewaktu SMP. Laki-laki yang pertama kali mematahkan
prinsipnya, yang pertama kali berani mengikuti deretan syarat untuk kembali, yang pertama kali
pada akhirnya menjadi terakhir kali dia yang biasa disapa Leopold. Pria tinggi dengan hati yang
rendah, yang berani mengikuti berbagai tantangan dari Tamara “Kamu aku terima, kalau kamu
berani menanyakan perihal ini kepada guru mata pelajaran agama” begitu syarat pertama yang
Tamara beri untuk Leopold. Keesokan harinya Leopold memberanikan diri berbincang bersama
salah guru mata pelajaran agama “ibu apakah boleh aku menjalin hubungan dengan Tamara?”
“tentu saja boleh, kamu ibu percaya bisa sama seperti kakakmu dulu yang juga menanyakan hal
seperti ini kepada ibu karena ingin menjalin hubungan dengan putri ibu, ibu juga yakin keluarga
kamu adalah keluarga yang bertanggungjawab dan sayang terhadap Tamara nantinya.” Mata
sayu, muka pucat , tubuh lesuh Leopold berganti jadi mata elang muka segar tubuh orang mati
bangkit ketika mendengar ucapan terakhir guru agamanya “ibu sangat setuju, segeralah kalian
bersama menjalin kasih!” “terima kasih ibu.” Merupakan jawaban terakhir Leopold dan langsung
lari keluar dari ruang perpustakaan sekolah. Jantung berguncang hebat, hatinya meronta-ronta
ingin membagi cinta namun Leopold masih sangat malu menyampaikannya dihadapan Tamara,
alhasil ia mengirim pesan lewat instagramnya kepada Tamara “Tamara ibu guru menyetujui
kalau kita pacaran .” Tamara dengan wajah malas berkata dalam hati “Sial, siapa juga mau
mengulang kisah cinta dengan Leopold. Mengapa juga guru menyetujuinya?” Tamara tidak
menerima hal ini terjadi sebab sewaktu SMP Tamara pernah begitu menyayangi Leopold namun
karena sifat yang masih kekanak-kanakan Leopold meninggalkan Tamara, itu sebabnya Tamara
begitu membenci Leopold. “yah sudah deh.” Begitu jawaban Tamara. Revilino yang saat itu
duduk bersebelahan dengan Tamara angkat bicara “ahahaha, katanya nggak akan balikan sama
mantan…. Lah kok???” “Bacot amatluh, nggak apapa lihat ajah sejauh mana hubungan ini
berjalan.”

Hari ini berganti mnejadi besok, masih sama dalam cakupan Februari. Sesuai tanggal yang
tercantum di kalender 14 Februari. Bertukar bunga, cokelat, boneka, dan mungkin bertukar rasa,
hari yang disebut-sebut banyak orang hari kasih sayang dianggap Tamara hari sial karena harus
memiliki pacar. Saat di dalam kelas ponsel Tamara bergetar pelan “Tamara boleh keluar sebentar
di depan pintu kelas?” ternyata pesan dari Leo. Tamara melangkah dengan malas. Mata yang
tipis tetap saja tipis namun senyum Tamara bertambah tebal mungkin karena dicampur tawa,
begitu ekspresi Tamara ketika Leo menyodorkan boneka beruang berwarna kuning dan cokelat
susu berukuran besar. Antara senang, kesal, lucu, bodoh, berlebihan itu yang ada dalam kepala
Tamara namun hari itu menjadi hari pertama dimana Tamara menerima hadiah ditanggal 14
Februari. Sampai dikelas cokelat susu yang diberi Leo dengan maksud untuk dinikmati oleh
Tamara sendiri dibagi habis oleh Tamara kepada teman-temannya, Tamara juga sempat berpose
di depan kelas dengan boneka beruang yang diberi Leo yang kemudian diunggah Tamara
dimedia sosialnya untuk menghargai pemberian Leo.

Hari berlalu, jam berlalu, menit berlalu, detik juga berlalulah!. Leopold selalu menemani Tamara
hal itu membuat Tamara merasa rishi, namun Leopold tidak pernah berhenti berjuang. Tamara
yang saat itu sedang santai dibangku yang sebelahnya kosong dikejutkan kedatangan Leopold
yang tiba-tiba duduk dan menyapa Tamara “Tamara, sudah sarapan?” “sudah!” begitu respon
Tamara. Rasa yang pernah ada, pernah hidup, dan pernah bersemi di hati seorang Tamara benar-
benar mati karena riwayat perlakuan Leopold waktu SMP membuat Tamara begitu acuh
menjawab semua pertanyaan dari mulut Leopold. Nampak dari kejauhan Fransisca melihat kea
rah Tamara yang begitu acuh kepada Leo. Perbincangan bagai senyap makam antara Tamara dan
Leo pun usai. Fransisca menghampirii Tamara dan menegur Tamara dengan pelan, “Tamara
sudah cukup, jangan perlakukan dia seperti itu. Sepertinya dia serius denganmu cobalah
menerimanya dengan tulus” “tenang saja semua ada waktunya” jawab Tamara santai tanpa
memandangi Fransisca.

Siang yang terik, angin yang bertiup hangat, keringat yang sudah mongering, jarum jam
menunjukan pukul 15.20 bel tanda aktivitas sekolah pun berakhir. Sore mengundang malam,
sepucuk pesan masuk melalui media sosial messenger “Tamara!” ternyata pesan dari Leo “Ya”
“Jumat ini kemana?” “tidak ada!” begitu saja jawab Tamara “kita pergi nonton balapan yuk?”
“ayooo ”. Ajakan Leopold membuat Tamara semangat menanti kedatangan hari jumat. Jumat
tak sejauh mentari bumi akhirnya tiba, hari dimanan Tamara pertama kali Tamara memberi
waktu bersama Leo, di lokasi balap tak semester pun Leo meninggalkan Tamara, Leo senantiasa
mengalihkan pandangan Tamara dari begitu banyak pembalap-pembalap keren, tak hanya itu
Tamara yang saat itu berdiri di bawah terik panas dilepaskan jaket miliknya kemudian
dipakaikannya pada Tamara mencegah kulit Tamara terbakar sinar UV. Tamara hanya menerima
perlakukan Leo yang terlalu baik, saat pulang dari lokasi balapan pun Tamara diajak makan dulu
baru kemudian Tamara diantarkan pulang.

Setibanya di rumah belum lewat 30 menit pesan baru masuk lewat whatsapp “Tamara gimana?...
lagi apa?... baik-baik aja kan?....” Tamara merasa benar-benar diperhatikan setiap detik pesan
Leo selalu dibalas oleh Tamara. Segersang-gersangnya hati seseorang akan tetap subur dengan
kehadiran tanpa jeda, rasa sayang seorang Tamara semakin jelas semenjak hari itu banyak yang
berubah dari Tamara. Perhatiannya semakin terlihat, rasa cemburu pun mulai timbul, Leo setiap
malamnya selalu menuturkan keluh kesah dalam hidupnya dan dengan baik didengar juga diberi
saran pula oleh Tamara. Tidak ada yang tersembunyi dalam diri Leo, baik buruknya sudah
diketahui oleh Tamara. Hingga pertengkaran pertama pun muncul, entah angin yang bertiup dari
arah mana namun Tamara mengeluarkan segala kepahitan dalam hati “aku layaknya penasihat
bagi Leo, hanya penasihat… kedepannya aku bukan yang dia cari”. Diucapkannya dengan
lantang dihadapan kakak kelasnya yang waktu itu ikut menopang hubungan Tamara dengan Leo.
Tanpa pamit Leo keluar dari kelas tempat dia, Tamara, dan kakak kelas itu berbincang dengan
perasaan hancur dan mata yang berkaca. “cepat kejar, pulang dengan dia lalu minta maaf”.
Tamara menjadi bimbang untuk memntingkan perasaannya, atau perasaan Leo. Sebanyak apa
pun pemberian seseorang akan kalah dengan satu kali melepaskan ego demi seseorang, hal itu
menjadi pilihan Tamara dikejarnya Leo dan pulanglah mereka bersama. Di tengah perjalanan
saat Leo mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi Tamara dengan keras memarahinya
“tolong jangan ngebut…” saat kecepatan kembali normal “aku minta maaf, tadi itu aku yang
salah” begitu isi permintaan maaf Tamara kepada Leo, dan dengan ikhlas Leo kembali
tersenyum bertanda ia sudah memaafkan Tamara.
Keesokan harinya sekolah tetap berlanjut, Tamara selalu fokus pada pembelajaran kadang juga
di dalam kepalanya selalu terisi senyum Leo, jika diperhatikan disela-sela belajar saat Tamara
tersenyum dari situ pertanda dalam pikirnya selalu dipenuhi Leo. Bel tanda istirahat mencapai
pukulannya yang kedua, jam terakhir tidak dihadiri guru mata pelajaran karena kelas Leo dan
Tamara yang berdampingan juga keadaan kelas yang saat itu sama-sama kekosongan guru
menjadi kesempatan Tamara bertemu dengan Leo. Saat Tamara sibuk berbincang dengan teman-
temannya Leo memanggil Tamara dari depan kelas saat itu pula Tamara tidak mengabaikan
teman-temannya dan berlari menuju Leo. Raut wajah Leo memalas, senyumnya menipis,
duduknya memakai jarak dengan Tamara “Tamara ada sesuatu yang ingin aku sampaikan namun
aku tidak bisa mengatakannya secara langsung, apa boleh aku meminjam ponselmu dan
mengetiknya dimemo kemudian kamu baca” “boleh” jawab Tamara dengan hati penuh Tanya.
Sambil menunggu Leo mengetik maksudnya kedalam memo. Tamara kembali masuk ke kelas
menghampiri teman-temannya “liat aja saat keluar nanti menemui Leo, hubungan kita akan
berakhir” kalimat itu dilontarkan Tamara dengan berani namun dengan hati berselimut pilu. Tak
lama Leo memanggil Tamara kembali tanpa berbincang panjang lebar “jangan mara yah,
makasih sudah menemani” begitu ucapan terakhir Leo yang langsung pergi menjauhi Tamara.
Tamara dari awal sudah merasakan maksud Leo dan ketika dibacanya memo yang diketik Leo
pada ponselnya sambil berjalan kearah teman-temannya hanya berisikan permintaan maaf Leo
dan maksudnya mengakhiri hubungan dengan Tamara tanpa dijelaskannya alasan apa dia ingin
mengakhiri hubungan mereka. Tertunduk sedih, mata senduh Tamara mencoba menguatkan
hatinya sendiri. Namun tak bisa dipaksa Tamara meminta temannya Revilino untuk duduk di
sebelahnya dan digenggamnya tangan Revilino dengan kuat kemudian ditundukannya kepala
kemeja tanpa berpikir ini di sekolah Tamara mecucurkan air matanya tetesan demi tetesan
kemudian mengalir dengan deras tanpa henti di pipi Tamara, dari situ Tamara merasakan bahwa
dia belajar memberikan sesuatu yang benar-benar tulus dari hati. Tangisan Tamaran berlanjut
hingga bel pulang berbunyi, dan karena matanya tak mengizinkan Tamara pulang dalam keadaan
basah juga bengkak akhirnya Tamara menunggu sekolah kosong dan keluar mencuci mukanya
dan kembali kerumah, untunglah saat itu Tamara memiliki teman-teman yang senantiasa
menemaninya.

Siang berangsur-angsur sore, ada janji bersama teman-teman yang harus Tamara tuntaskan,
mengerjakan tugas bersama disalah satu rumah temannya Yulianti. Sebelum keluar dari rumah,
Tamara memutuskan memblokir segala sesuatu yang berhubungan dengan Leo namun ia lupa
memblokir panggilan diponsel karena kertebiasaan melalui media sosial saja. Beberapa jam
berlalu saat masih di rumah temannya. Hari kunjung gelap, saat itu Miranda sementara
memegang ponsel Tamara, dengan terburu-buru Miranda datang menghampiri Tamara dan
menyerahkan ponselnya “Tamara tolong baca pesan masuk diponselmu!” “Tamara, aku minta
maaf tadi merupakan suatu keputusan yang salah. Aku sebenarnya tidak ingin mengambil
keputusan seperti itu namun aku disadarkan dengan percakapan dulu kamu dengan mantanmu,
bahwa suatu saat nanti kalian akan kembali bersama lagi. Hal itu membuat aku merasa percuma
apabila hubungan ini harus diperjuangan lebih jauh. Jika kamu bisa memberikan penjelasan
mengenai hal itu tidak benar, aku ingin kita tetap sama-sama. Sekali lagi maaf, keputusan tadi
terlalu buru-buru tanpa memikirkan perasaan kamu” begitulah isi pesan yang dikirimkan Leo.
“lebih jelasnya aku tak ingin berpisah, percakapan lama dengan masa lalu aku merupakan kisah
yang sudah lalu, nyatanya aku ingin serius denganmu, jika aku ingin bersama dia sudah sedari
dulu aku kembali pada masa laluku” jawab Tamara mempertegas rasa sayangnya kepada Leo.
“sudahlah, aku ingin semua baik-baik saja seperti semula” begitu permintaan terakhir Leo pada
hari itu.
Pada setiap angin sore dan bentangan panjang jalan raya selalu dihuni Tamara dan Leo, Tamara
yang kini begitu menunjukan rasa bahagia memiliki seorang Leo. Berbagi tawa, suka, cinta,
ataupun duka menjadi cemilan yang selalu dinikmati bersama, karena kedekatan yang semakin
hangat memberi keberanian dalam diri Leo untuk memperkenalkan Tamara pada orang tuanya.
Namun Tamara menolak entah mengapa Tamara merasa belum waktunya. Hingga pada suatu
ketika saat Tamara disibukan dengan tugas sekolah yang dimanan lokasi tempat Tamara
mengerjakan tugas kelompok lintas minat di rumah temanya yang cukup dekat dengan lokasi
rumah Leo. Hari memasuki gelap malam, Tamara belum juga menyelesaikan tugasnya dan
kebetulan Tamara harus membawa pulang buku-bku bacaanya yang dititipkan Tamara pada Leo
sewaktu pulang sekolah. Awalnya Leo meminta Tamara datang ke rumah Leo untuk berbincang
dengan kawan-kawannya namun berulang kali Tamara menolak dan itu membuat Leo benar-
benar kesal dengan Tamara. Akhirnya Tamara mengalah dan pergi ke rumah Leo karena
dipikirnya buku bacaan yang masih tertinggal. Sesampainya di depan rumah Tamara memanggil
Leo namun Leo yang saat itu berada dalam rumah menghiraukan suara Tamara. Tamara
berusaha meminta bantuan teman-teman Leo yang saat itu sedang duduk di samping rumahnya
Leo “dek tolong panggilin Leo dong, tolong bilangan Tamara mau ngambil buku-bukunya yang
tadi dititip” ”Leo buka pintunya woe, Tamara mau mengambil bukunya” tak lama teman Leo
memanggilnya Leo langsung membuka pintu sebelah samping rumahnya dan melemparkan
buku-buku Tamara kepada temannya. Tamara yang berdiri di depan melihat kejadian tersebut
dengan rasa bersalah. Setalah diberikan buku-bukunya oleh temannya Leo, Tamara duduk
sejenak di depan rumah Leo dank arena perasaanya yang tak kunjung teduh, ia kembali meminta
teman Leo yang tadi menolongnya untuk kembali membantu memanggilkan Leo. Dengan
perasaan takut akan kepergian Leo yang dulu pernah membuatnya menangis Tamara benar-benar
merasa takut apabila Leo mengambil keputusan sepihak seperti itu lagi.
Tak sampai beberapa menit akhirnya Leo keluar dan mereka sama-sama saling memaafkan.
Dalam keadaan membahas rasa bersalah, Tamara dikejutkan dengan kedatangan papa mamanya
Leo yang baru saja pulang mensuporter kakaknya Leo yang saat itu mengikuti pertandingan
Futsal. Untunglah depan rumah Leo tidak terlalu terang sehingga mama papanya tidak
mengetahui keberadaan Leo, teman-temannya, dan Tamara. Motor yang dikendarai orang tua
Leo akhirnya maasuk ke tempat parkiran, mamanya Leo langsung masuk ke dalam rumah
melalui pintu samping, dan papanya Leo segera menghampiri Leo di depan rumah “Bos, Leo
bawa pacar ke rumah ni, kenalin dululah” begitu sahut salah satu teman Leo. Perasaan
bercampur aduk, malu juga takut dirasakan oleh Tamara sementara Leo hanya tersenyum dan
sesekali tertawa kecil “wah…. Yang mana ni? Leo kasih kenal buat papa dulu!” begitu
tanggapan papanya Leo. Leo pun memperkenalkan Tamara, dengan malu-malu Tamara
memperkenalkan dirinya. Tidak lama kemudian Leo berdiri dan meninggalkan Tamara dengan
papanya sendiri “nona, tolong lihat-lihatt Leo yah… bombing dia supaya punya pemikiran yang
dewasa” merasa diberi lampu hijau oleh papanya Leo, Tamara tidak segan-segan menceritakan
keluh-kesahnya terhadap perlakuan Leo, apalagi saat itu Leo menunjukan tingkah buruknya
membanting pintu dihadapan Tamara. “tenang saja setelah ini om akan memarahinya” pria
berlangkah panjang pun datang lengkap dengan sweater juga helm “pa aku anterin Tamara balik
dulu yah” “iyah hati-hati, setelah itu langsung balik… Tamara sebelum pulang masuk dulu sapah
mamanya Leo baru pulang” jantung Tamara tiba-tiba merasa dipukul secara bertubi-tubi, ini
merupakan kali pertama Tamara menyapa orang yang nantinya harus ia sayangi sebagai syarat
menyayangi Leo. Tamara menguatkan langkahnya dan masuk melalui pintu samping rumahnya
langsung menuju ke dapur tempat mamanya Leo sedang menyibukan diri dengan beberapa piring
kotor ‘’selamat malam tante permisi, maaf mengganggu boleh izin Leo anterin aku pulang?”
begitu tanya Tamara penuh ragu, “eh gimana, boleh-boleh… maaf tante lagi sibuk di dapur…
mengapa Leo nggak bilang kalau kamu lagi datang?” “hehehe taka pa tante, tadi cuman kelupaan
buku jadi ngambi”. Sambil menghantarkan Tamara kedepan Leo sudah siap dengan motornya
untuk mengantar Tamara pulang. “Leo hati-hati yah… lain waktu kalo datang lagi jangan lupa
bilangin tante”. Perasaan ragu yang menghantui Tamara langsung lenyap, dan rasa sayangnya
makin hari makin bertambah untuk Leo dan terkhusus kedua orang tuanya.

Mengenali seluk-beluk pasangan merupakan harta karun yang menjadi acuan terhadap
perlakuakn kita kepada orang yang kita cintai. Semakin aman-aman saja hubungan Tamaran dan
Leo dimata orang tua Leopold, memang benar apa yang dikatakan guru agama bahwa Tamara
akan disayangi oleh keluarganya pada waktu Leo menjalankan syarat agar bisa berpacaran
dengan Tamara. Dan bagi Leo hanya butuh satu langkah saja agar hubungan mereka juga direstui
oleh orang tua Tamara. Selama Tamara tumbuh dan bertambah usia, belum ada satu pun
perjalanan cintanya yang diketahui mamanya Tamara dan Leo merupakan laki-laki paling berani
meminta izin kepada mamanya Tamara

Anda mungkin juga menyukai