Anda di halaman 1dari 9

1. Bagaimana monitoring obat yg dilakukan dari kasus ini?

2. Mengapa ditemukan cardiomegaly dan terjadi pembengkakan dikedua kaki?


3. Mengapa pasien mengalami sesak nafas terus menerus makin berat saat tidur terlentang?
4. Terapi apa yang akan diberikan pada pasien gagal jantung?
5. Bagaimana interpretasi EKG pasien?
6. Apa diagnosis dan diagnosis banding dari scenario?
7. Apa gejala dari diagnosis?
8. Faktor resiko dari gagal jantung?
9. Apa saja etiologi dari gagal jantung?
10. Bagaimana permasalahan dari drug related problem dari kasus ini?
11. Patofisiologi dari scenario?
12. Apa pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dari scenario?
13. Bagaimana perawatan pasien gagal jantung secara umum?
14. Dari kasus tsb gagal jantung apa yg dialami pasien?
15. Bagaimana cara dilakukannya konseling informasi obat?
16. Diagnose keperawatan apa yg sesuai dengan kasus diatas?
Apa diagnosis dan diagnosis banding dari scenario?

Anamnesis

Anamnesis yang terarah pada pasien yang dicurigai gagal jantung dapat mengungkap adanya
beragam gejala, faktor risiko, faktor pencetus gejala akut, yang dapat membantu dalam
menentukan tata laksana yang tepat. Gejala gagal jantung sangat beragam dan tidak sepenuhnya
sensitif serta spesifik dalam membantu mengidentifikasi ada atau tidaknya kongesti. Selain itu,
tidak ada kelompok gejala yang dapat dikenali sebagai gejala spesifik untuk membedakan gagal
jantung dengan fraksi ejeksi menurun maupun normal.
1. Anamnesis Sesak
Sesak yang bertambah berat merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan pasien
dengan gagal jantung. Gejala ini disebabkan oleh peningkatan tekanan pengisian
ventrikel maupun penurunan curah jantung [43]. Namun, gejala ini dapat disamarkan
akibat perubahan gaya hidup pasien, misalnya dengan membatasi aktivitas yang
memerlukan kebutuhan energi lebih tinggi. Untuk mengungkap hal ini, anamnesis perlu
diarahkan agar pasien menceritakan kapasitas latihan fisik pasien dari waktu ke waktu
agar dokter mendapat gambaran penurunan kapasitas fisik yang tersamarkan tersebut.
Sesak saat istirahat atau berbaring lebih sering dikeluhkan oleh kelompok pasien gagal
jantung yang sedang dalam perawatan di RS dan memiliki sensitivitas diagnostik yang
cukup tinggi pada populasi tersebut. Pasien biasanya menggambarkan perlunya berbaring
dengan kepala sedikit lebih tinggi dari badan guna mengurangi sesak (ortopnea) maupun
adanya sesak yang muncul ketika berbaring ke sisi kiri (trepopnea) [44]. Sesak saat
berbaring yang kemudian membuat pasien terbangun dan terjadi 1-2 jam setelah pasien
tidur (paroxysmal nocturnal dyspnea/PND) juga merupakan indikator penting gagal
jantung [45]. Seluruh varian gejala sesak tersebut adalah manifestasi kongesti paru akibat
peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri yang berlanjut sebagai hipertensi vena
pulmonalis [46].
2. Anamnesis Lainnya
Sementara itu, riwayat penambahan berat badan, lingkar perut, cepat kenyang, dan
pembengkakan ekstremitas dan skrotum menggambarkan adanya kongesti jantung kanan.
Kongesti jantung kanan juga dapat menimbulkan gejala berupa nyeri perut kanan atas
yang tidak spesifik akibat kongesti hati [47]. Gejala penting lainnya yang perlu digali
dalam anamnesis pasien gagal jantung mencakup riwayat mudah lelah yang
merefleksikan adanya penurunan curah jantung serta perubahan respons metabolik otot
rangka terhadap peningkatan aktivitas. Namun, kelelahan pada pasien gagal jantung juga
perlu diinterpretasi secara hati-hati sebab hal tersebut juga dapat muncul akibat depresi,
anemia, disfungsi ginjal, perubahan endokrin, dan efek samping obat yang terjadi pada
pasien [2,15].

Pemeriksaan Fisik
Hasil pemeriksaan fisik akan mengonfirmasi data yang didapatkan dari anamnesis pasien
sekaligus membantu dalam menentukan derajat keparahan gagal jantung. Seperti halnya data
anamnesis, temuan pemeriksaan fisik memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang beragam untuk
mendiagnosis gagal jantung serta tidak khas dalam membedakan gagal jantung dengan fraksi
ejeksi menurun atau normal. Evaluasi tanda fisik yang penting dalam mengungkap keparahan
gagal jantung mencakup keadaan umum, pemeriksaan tanda vital pada posisi duduk dan berdiri,
pemeriksaan fisis jantung dan pembuluh darah, pemeriksaan organ lain yang terkait dengan
kongesti dan hipoperfusi serta komorbiditas lainnya.
- Keadaan Umum
Keadaan umum pasien yang perlu dinilai antara lain tingkat kesadaran, perawakan
tubuh, serta ekspresi pasien yang mungkin menunjukkan kesulitan saat bernapas,
menahan nyeri, dan batuk.
- Pemeriksaan Kulit
Pemeriksaan kulit dapat mengungkap adanya pucat atau sianosis akibat
hipoperfusi, riwayat penyalahgunaan alkohol kronik (misalnya eritema palmar
atau spider angiomata), eritema nodosum akibat sarkoidosis, dan kulit yang menjadi
gelap seperti perunggu pada hemokromatosis yang dapat mengarahkan pada
kemungkinan etiologi [48-50].
- Tekanan Darah
Pasien dengan perfusi sistemik yang buruk biasanya memiliki tekanan darah
sistolik yang rendah, tekanan nadi yang menyempit, dan pulsasi yang lemah. Namun,
banyak pula ditemukan pasien gagal jantung dengan tekanan sistolik di bawah 90 mmHg
dan perfusi adekuat. Sementara itu, sebagian pasien lainnya memiliki curah jantung
rendah tapi dapat menunjukkan tekanan darah dalam rentang normal dengan
mengorbankan perfusi perifer [51].
- Pola Pernapasan
Pada gagal jantung tahap lanjut, pola pernapasan Cheyne-Stokes dapat diamati
pada pasien dan sangat berkaitan dengan curah jantung yang rendah serta gangguan
bernapas saat tidur. Pernapasan Cheyne-Stokes merupakan salah satu prediktor prognosis
yang buruk pada pasien dengan gagal jantung [52]. Selain itu, pemeriksaan fisis paru juga
dapat menunjukkan adanya pekak saat perkusi paru serta penurunan bunyi napas pada
salah satu atau kedua bagian basal paru yang mengindikasikan suatu efusi pleura.
Kebocoran cairan dari kapiler pulmoner ke dalam alveoli dapat menimbulkan ronki basah
halus sedangkan bronkokonstriksi reaktif bermanifestasi sebagai mengi. Namun, ronki
basah halus mungkin tidak ditemukan pada gagal jantung berat akibat adanya
peningkatan drainase limfatik lokal [51].
- Bunyi Jantung
Adanya bunyi jantung ketiga (S3 gallop) merupakan temuan yang penting sebab
hal tersebut berkaitan dengan peningkatan volume pengisian ventrikel. Selain itu, bunyi
jantung ketiga sangat spesifik dalam memprediksi diagnosis gagal jantung dan
mempunyai nilai prognostik khusus. Pasien gagal jantung dengan distensi vena jugularis
dan S3 gallop berisiko lebih tinggi untuk memerlukan perawatan di RS serta kematian
akibat gagal jantung [51].
- Status Volume Cairan dan Perfusi
Aspek pemeriksaan fisik lainnya yang juga penting dilakukan setiap melakukan
evaluasi pasien dengan gagal jantung adalah pemeriksaan status volume cairan dan
perfusi. Metode yang tepat untuk menilai status volume adalah dengan melakukan
pemeriksaan tekanan vena jugularis (jugular venous pressure/JVP). Peningkatan JVP
memiliki sensitivitas 70% dan spesifisitas 79% dalam mendeteksi peningkatan tekanan
pengisian ventrikel kiri. Perubahan JVP pada pasien yang mendapat terapi gagal jantung
biasanya juga berkaitan dengan perubahan pada tekanan pengisian ventrikel kiri. Oleh
sebab itu, JVP tak hanya baik untuk mendeteksi status volume tapi juga untuk memantau
respons pengobatan [51].
- Edema
Edema dapat ditemukan pada pemeriksaan ekstremitas bawah pasien dengan
gagal jantung yang disertai kelebihan volume cairan tubuh. Namun, edema ekstremitas
bawah lebih menggambarkan volume ekstravaskuler dibandingkan intravaskuler serta
dapat ditemukan pada kondisi lain seperti insufisiensi vena, obesitas, limfedema, sindrom
nefrotik, dan sirosis. Adanya kombinasi distensi vena jugularis dan edema pedis
meningkatkan kemungkinan diagnosis gagal jantung dibandingkan diagnosis banding
lainnya [51].

Diagnosis Banding
Diagnosis banding gagal jantung mencakup berbagai kondisi yang melibatkan retensi
cairan dan garam dengan manifestasi kongesti (misalnya, gagal ginjal) serta segala penyebab
edema paru ekstrakardiak (misalnya, sindrom distres pernapasan akut).
Edema paru nonkardiogenik dapat disebabkan oleh jejas langsung, jejas hematogen pada paru,
dan jejas paru dengan peningkatan tekanan hidrostatik. Jejas langsung paru dapat terjadi seperti
pada trauma dinding dada, aspirasi, pneumonia, dan emboli paru. Sementara itu, berbagai
mediator inflamasi dan infeksi yang menyebar secara hematogen dapat pula menimbulkan
kerusakan parenkim dan edema paru seperti yang mungkin ditemukan pada sepsis,
pankreatitis, transfusi darah, dan kelebihan dosis obat tertentu (misalnya heroin) [54,55].
Kemudian, gagal jantung juga perlu dibedakan dari jejas paru akibat peningkatan tekanan
hidrostatik seperti yang terjadi pada edema paru imbas ketinggian dan ekspansi pleura yang
cepat [56,57].
Anamnesis dapat mengarahkan pada informasi awal yang berkaitan dengan penyebab paling
mungkin gagal jantung sekaligus menyingkirkan penyebab kongesti paru nonkardiogenik
lainnya. Pemeriksaan fisik yang mengarah pada kongesti paru akibat gagal jantung biasanya
ditandai dengan adanya bunyi jantung ketiga, peningkatan JVP, ronki basah halus, dan edema
perifer. Sementara itu, hasil pemeriksaan fisik pada diagnosis banding gagal jantung akan
mendukung temuan anamnesis dan mengarahkan pada diagnosis banding yang sesuai. Adanya
memar pada dada biasanya sesuai dengan trauma dada, sedangkan peningkatan suhu tubuh
disertai batuk produktif biasanya mengarahkan pada suatu diagnosis pneumonia.
Pemeriksaan penunjang seperti rontgen dada yang mendukung diagnosis gagal jantung antara
lain pembesaran siluet jantung pada foto toraks posteroanterior, penebalan interstisial, infiltrat
perihiler, dan efusi pleura. Sementara itu, pada edema paru nonkardiogenik, rasio jantung-toraks
masih dalam batas normal dan infiltrat alveolar biasanya terdistribusi merata di seluruh lapang
paru [58]. Selain itu, manifestasi hipoksemia pada edema paru kardiogenik biasanya berespons
baik dengan pemberian oksigen sedangkan edema paru nonkardiogenik hanya berespons parsial
atau bahkan refrakter terhadap pemberian oksigen [59].

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk gagal jantung adalah sebagai berikut:
Rontgen Dada
Rontgen dada masih menjadi pemeriksaan penunjang yang rutin dilakukan untuk mengevaluasi
pasien dengan gagal jantung. Temuan klasik pada rontgen dada yang mengarahkan pada
diagnosis edema paru akibat gagal jantung adalah pola menyerupai kupu-kupu pada interstisial
paru dan opasitas alveolar bilateral yang menyebar dari perifer paru. Selain itu, garis Kerley B
(garis lurus horizontal halus yang memanjang dari permukaan pleura akibat penumpukan cairan
di ruang interstisial), peribronchial cuffing, serta peningkatan corakan vaskuler pada lobus atas
paru juga dapat ditemukan. Namun, pada kasus gagal jantung berat, hasil pemeriksaan rontgen
dada sangat mungkin terlihat normal walaupun pasien sangat sesak yang mengisyaratkan bahwa
nilai prediktif negatif pemeriksaan ini sangat rendah untuk dengan mudah menyingkirkan
diagnosis gagal jantung [60].
Sumber: Openi,
2009.
Gambar 2. Rontgen dada depan pada pasien dengan gambaran edema paru interstisial akibat
gagal jantung yang mencakup hilangnya batas pembuluh darah pulmoner besar, munculnya garis
septa lobus paru, penebalan septa interlobaris, dan kardiomegali (kanan).[60]
Elektrokardiogram
Elektrokardiogram (EKG) dapat memberikan petunjuk penting tentang etiologi gagal jantung
sekaligus evaluasi penyebab dekompensasi gagal jantung pada pasien yang pernah terdiagnosis.
Pada kasus gagal jantung akut yang dicetuskan oleh sindrom koroner akut, EKG dapat
menunjukkan gambaran elevasi segmen ST. Sementara itu, EKG juga dapat menunjukkan
perubahan irama jantung (misalnya fibrilasi atrium), gambaran infark miokard lama,
memprediksi hipertrofi ventrikel kiri, serta memantau perubahan interval QT, R-R, dan
kompleks QRS selama pemberian terapi [2].
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada gagal jantung mencakup pemeriksaan darah perifer lengkap,
elektrolit, ureum, kreatinin serum, uji fungsi hati, profil lipid, thyroid-stimulating
hormone (TSH), asam urat, dan urinalisis. Apabila pasien tertentu memiliki faktor risiko
terhadap infeksi human immunodeficiency virus (HIV), skrining infeksi HIV dapat
dipertimbangkan [2].
Pemeriksaan darah perifer lengkap dapat mengungkap adanya anemia yang bukan hanya
merupakan komorbiditas utama gagal jantung [2], tapi juga mungkin disebabkan oleh kondisi
lain seperti hemodilusi, penggunaan zat besi dalam tubuh yang buruk, anemia akibat penyakit
kronik, dan keganasan. Kadar elektrolit serum dapat membantu mengidentifikasi hipokalemia
dan hipomagnesemia yang dapat meningkatkan risiko aritmia ventrikuler pada pasien gagal
jantung [1]. Hiperkalemia biasanya mengisyaratkan adanya gagal ginjal sebagai komplikasi
gagal jantung kronik dan dapat pula disebabkan oleh suplementasi kalium maupun efek samping
obat penghambat sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAA) [61]. Selain itu, elektrolit serum
juga dapat menguatkan bukti adanya hiponatremia yang lazim terjadi pada pasien dengan gagal
jantung kronik serta akibat penggunaan diuretik dan pengaruh obat lain.
Peningkatan kadar kreatinin serum atau penurunan estimasi laju filtrasi glomerulus (eGFR < 60
ml/menit/1,73 m2) dapat ditemukan pada pasien gagal jantung yang telah mengalami komplikasi
penyakit ginjal kronik, pasien dengan kongesti ginjal, dehidrasi, penggunaan ACE-I, ARB, serta
obat-obatan nefrotoksik lainnya[62]. Namun, interpretasi eGFR juga perlu dilakukan dengan
saksama, khususnya pada pasien dengan penyakit hati kronik yang dapat mengalami pelepasan
kreatinin yang rendah (sehingga kreatinin tampak normal) dan nilai murni eGFR tersamarkan
oleh peningkatan bilirubin serum serta penurunan albumin [63].
Hasil pemeriksaan fungsi hati yang abnormal pada pasien dengan gagal jantung akut dapat
berkaitan peningkatan risiko kematian total. Secara spesifik, peningkatan kadar transaminase
serta penurunan albumin pada hari ketiga sejak perawatan merupakan prediktor independen
luaran mortalitas buruk 6 bulan pada pasien gagal jantung akut. Parameter enzim kolestatik alih-
alih kadar transaminase lebih berkaitan dengan keparahan gagal jantung kronik. Sementara itu,
peningkatan transaminase lebih jelas terlihat pada pasien gagal jantung akut dan syok
kardiogenik meskipun enzim kolestatik juga dapat sedikit meningkat [64].
Pemeriksaan profil lipid puasa amat penting pada pasien gagal jantung dengan berbagai stadium
keparahan. Pada pasien gagal jantung stadium A, terapi hiperlipidemia pada pasien yang berisiko
tinggi dapat membantu menekan risiko gagal jantung di masa yang akan datang [2]. Pemeriksaan
fungsi tiroid terutama penting pada pasien yang memiliki riwayat penyakit tiroid atau pernah
mengalami aritmia ventrikuler akibat tirotoksikosis [65]. Di sisi lain, peningkatan TSH disertai
kadar hormon tiroid yang rendah dapat mengindikasikan suatu hipotiroidisme. Hipotiroidisme
dapat berpengaruh terhadap luaran pada pasien gagal jantung yang mendapat terapi
resinkronisasi jantung maupun pasien gagal jantung secara umum [66,67].
Asam urat dapat meningkatkan stres oksidatif, vasokonstriksi, dan disfungsi endotel serta
peningkatan risiko gagal jantung. Pemeriksaan asam urat pada gagal jantung perlu dilakukan
sebagai prediktor risiko kejadian kardiovaskuler pada gagal jantung seperti fibrilasi atrium,
perawatan berulang di RS, dan mortalitas jangka panjang. Sementara itu, urinalisis akan sangat
membantu dalam mengidentifikasi sedimen urin abnormal pada kasus gagal jantung imbas
penyakit glomerulus maupun sebagai prediktor adanya kerusakan organ seperti albuminuria [65].
Pemeriksaan Biomarker
Pasien dengan gagal jantung awitan baru atau mengalami dekompensasi akut perlu menjalani
pemeriksaan biomarker untuk mendukung temuan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
BNP (brain natriuretic peptide) dan NT-proBNP (N-terminal pro-B-type natriuretic peptide)
merupakan biomarker gagal jantung yang muncul sebagai akibat dari peregangan ventrikel dan
stres pada dinding ventrikel. Pasien dengan gagal jantung akut umumnya memiliki nilai BNP dan
NT-proBNP yang jauh lebih tinggi dibandingkan pasien dengan gagal jantung kronik yang stabil.
Namun, berbagai kondisi lain juga dapat menimbulkan peningkatan NT-proBNP seperti
penyakit jantung katup, hipertensi pulmonal, penyakit jantung iskemik, aritmia atrium. Oleh
sebab itu, interpretasi kadar BNP dan NT-proBNP perlu hati-hati dengan mempertimbangkan
data anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang lainnya secara akurat [68].
Pemeriksaan Noninvasif
Ekokardiografi, pencitraan resonansi magnetik (magnetic resonance imaging/MRI), computed
tomography (CT) jantung, dan pencitraan nuklir merupakan metode pemeriksaan noninvasif
yang dapat dipertimbangkan dalam mendiagnosis gagal jantung.
Ekokardiografi merupakan pemeriksaan noninvasif awal yang disarankan bagi seluruh pasien
yang datang dengan manifestasi gagal jantung [2]. Ekokardiografi 2 dimensi dengan Doppler
bermanfaat dalam menilai fungsi, ukuran, ketebalan dinding, gerakan dinding ventrikel, serta
fungsi katup jantung. Apabila terdapat temuan klinis yang mengarah pada diagnosis penyakit
jantung katup, diseksi aorta, endokarditis, penyakit jantung kongenital, dan trombus intrakaviti
pada kasus fibrilasi atrium yang memerlukan kardioversi, teknik ekokardiografi transesofageal
dapat dipertimbangkan [1].
MRI jantung memiliki kelebihan dibandingkan ekokardiografi dalam hal penyangatan resolusi,
kemampuan dalam evaluasi ukuran dan fungsi ventrikel, serta penilaian adanya pirau dan katup.
Meskipun bukan pemeriksaan noninvasif yang rutin dilakukan pada gagal jantung, MRI dapat
dipertimbangkan apabila perlu dilakukan identifikasi penyakit infiltratif pada jantung (misalnya
amiloidosis, hemokromatosis), membedakan kardiomiopati iskemik dari non iskemik, dan
miokarditis [1,65].
CT jantung terutama baik dilakukan untuk memvisualisasi anatomi arteri koroner pada pasien
gagal jantung yang memiliki pre-test probability penyakit jantung koroner yang rendah atau hasil
uji stres non invasif yang meragukan. Seperti halnya CT jantung, pencitraan nuklir juga dapat
membantu penilaian iskemia dan viabilitas jaringan. Selain itu, pencitraan nuklir juga dapat
membantu menilai prognosis pasien gagal jantung dengan kardiomiopati iskemik yang
memerlukan penilaian perfusi miokard dibandingkan fraksi ejeksi ventrikel kiri dalam penentuan
prognosis [1,65].
Pemeriksaan Invasif
Angiografi koroner, kateterisasi ventrikel kiri, evaluasi kateter arteri pulmonal dan biopsi
endomiokard adalah beberapa pemeriksaan invasif yang mungkin perlu dilakukan pada pasien
dengan gagal jantung.
Angiografi koroner dan kateterisasi ventrikel kiri disarankan bagi pasien gagal jantung dengan
nyeri dada yang membandel terhadap terapi farmakologi apabila pasien tidak memiliki
kontraindikasi terhadap revaskularisasi koroner. Angiografi koroner juga dapat dipertimbangkan
pada pasien dengan riwayat aritmia ventrikuler simptomatik atau pernah mengalami henti
jantung. Jika pasien memiliki pre-test probability penyakit jantung koroner yang tinggi dan
terdapat bukti iskemia pada pemeriksaan non invasif, angiografi koroner dapat membantu
menegakkan etiologi iskemia dan derajat keparahan penyakit jantung koroner [1,2].
Terapi yang dipandu evaluasi kateter arteri pulmonal (pulmonary artery catheter/PAC) mungkin
diperlukan pada pasien tertentu meskipun belum ada bukti peran evaluasi kateter arteri pulmonal
dalam memperbaiki luaran pasien dengan gagal jantung akut. Pemberian terapi gagal jantung
yang dipandu evaluasi PAC dapat dipertimbangkan pada pasien gagal jantung stadium akhir
yang refrakter. Selain itu, penggunaan PAC berguna pada pasien gagal jantung akut yang gagal
terapi disertai kesulitan pemantauan status volum berdasarkan parameter klinis semata,
mengalami gagal ginjal, instabilitas hemodinamik, dan mendapat obat vasopresor [1,65].
Biopsi endomiokard dapat bermanfaat apabila suatu diagnosis spesifik perlu ditegakkan segera
guna memulai terapi atau pasien mengalami perburukan klinis secara cepat walau telah mendapat
terapi farmakologi optimal. Amiloidosis jantung primer merupakan salah satu kondisi yang
memerlukan peran biopsi endomiokard sebelum kemoterapi dapat dimulai. Selain itu, pada
pasien dengan kardiomiopati idiopatik dan miokarditis akut tanpa penyebab yang jelas, biopsi
endomiokard dapat membantu mengarahkan diagnosis. Mengingat peran dan hasil diagnostik
dari biopsi endomiokard sangat terbatas, pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan pada pasien
dengan gagal jantung.

Anda mungkin juga menyukai