Menurut UU No 24/2007, pasal 55, ayat 2 Kelompok rentan dalam situasi bencana adalah individu atau kelompok yang terdampak lebih berat diakibatkan adanya kekurangan dan kelemahan yang dimilikinya yang pada saat bencana terjadi menjadi beresiko lebih besar, meliputi: bayi, balita, dan anak-anak; ibu yang sedang mengandung / menyusui; penyandang cacat (disabilitas); dan orang lanjut usia. Menurut Departeman Hukum dan Hak Asasi Manusia,kelompok rentan adalah semua orang yang menghadapi hambatan atauketerbatasan dalam menikmati standar kehidupan yang layak bagikemanusiaan dan berlaku umum bagi suatu masyarakat yangberperadaban. Jadi kelompok rentan dapat didefinisikan sebagaikelompok yang harus mendapatkan perlindungan dari pemerintahkarena kondisi sosial yang sedang mereka hadapi. Kamus Besar Bahasa Indonesia merumuskan pengertian rentan sebagai : (1) mudah terkena penyakit dan, (2) peka, mudah merasa. Kelompok yang lemah ini lazimnya tidak sanggup menolong diri sendiri, sehingga memerlukan bantuan orang lain. Selain itu, kelompok rentan juga diartikan sebagai kelompok yang mudah dipengaruhi. Pengertian kedua merupakan konsekuensi logis dari pengertian yang pertama, karena sebagai kelompok lemah sehingga mudah dipengaruhi. 2.2 PERAWATAN POPULASI RENTAN PADA LANSIA a. Definisi Lansia merupakan salah saat kelompok yang rentan secara fisik, mental dan ekonomik saat dan setelah bencana yang disebabkan karena penurunan kemampuan mobilitas fisik dan atau karena mengalami masalah kesehatan kronis (Klynman et al,2007). Di Amerika serikat, lebih dari 50% korban kematian akibat dari badai Katrina adalah lansia dan diperkirakan sekitar 1.300 lansia yang hidup mandiri sebelum kejadian badai tersebut harus dirawat dipanti jompo setelah bencana alam itu terjadi (Powers & daily,2010). Pasca bencana, kebutuhan lansia sering terabaikan dan mengalami diskriminasi, contohnya dalam hal distribusi kebutuhan hidup dan finansial pasca bencana. Hak-hak dan kebutuhan spesifik lansia kadang- kadang terlupakan yang dapat memperparah masalah kesehatan dan kondisi depresi pada lansia tersebut (Klynmman et al,2007). b. Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada lansia Pasca Bencana 1) Program inter-generasional untuk mendukung sosialisasi komunitas dengan lansia dan mencegah isolasi sosial lansia, diantaranya: (1) Libatkan remaja dalam pusat perawatan lansia dan kegiatan- kegiatan sosial bersama lansia untuk memfasilitasi empati dan interaksi orang muda dan lansia (community awareness) (2) Libatkan lansia sebagai sebagai storytellers dan animator dalam kegiatan bersama anak-anak yang diorganisir oleh agency perlindungan anak di posko perlindunga korban bencana 2) Menyediakan dukungan sosial melalui pengembangan jaringan sosial yang sehat di lokasi penampungan korban bencana 3) Sediakan kesempatan belajar untuk meningkatkan pengetahuan dan skill lansia. 4) Ciptakan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan secara mandiri 5) Berikan konseling unuk meningkatkan semangat hidup dan kemandirian lansia. Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada lansia setelah bencana adalah 1) Lingkungan dan adaptasi Dalam kehidupan di tempat pengungsian, terjadi berbagai ketidakcocokan dalam kehidupan sehari-hari yang disebabkan oleh fungsi fisik yang dibawa oleh setiap individu sebelum bencana dan perubahan lingkungan hidup di tempat pengungsian.Kedua hal ini saling mempengaruhi, sehingga mengakibtkan penurunan fungsi fisik orang lansia yang lebih parah lagi. 2) Manajemen penyakit dan pencegahan penyakit sekunder Lingkungan di tempat pengungsian mengundang tidak hanya ketidakcocokan dalam kehidupan sehari-hari bagi orang lansia, tetapi juga keadaan yang serius pada tubuh.Seperti penumpukan kelelahan karena kurnag tidur dan kegelisahan. 3) Orang lanjut usia dan perawatan pada kehidupan di rumah sendiri Lansia yang sudah kembali ke rumahnya, pertama membereskan perabotannya di luar dan dalam rumah.Dibandingkan dengan generasi muda, sering kali lansia tidak bisa memperoleh informasi mengenai relawan, sehingga tidak bisa memanfaatkan tenaga tersebut dengan optimal. 4) Lanjut usia dan perawatan di pemukiman sementara Lansia yang masuk ke pemukiman sementara terpaksa mengadaptasikan/menyesuaikan diri lagi terhadap lingkungan baru (lingkungan hubungan manusia dan lingkungan fisik) dalam waktu yang singkat 5) Mental Care Orang lansia mengalami penurunan daya kesiapan maupun daya adaptasi, sehingga mudah terkena dampak secara fisik oleh stressor.Namun demikian, orang lansia itu berkecenderungan sabar dengan diam walaupun sudah terkena dampak dan tidak mengekspresikan perasaan dan keluhan. 2.3 Perawatan Populasi Rentan pada Ibu Hamil a. Definisi Dalam memberikan pelayanan keperawatan pada berbagai macam kondisi kita harus cepat dan bertindak tepat di tempat bencana, petugas harus ingat bahwa dalam merawat ibu hamil adalah sama halnya dengan menolong janinnya sehingga meningkatkan kondisi fisik dan mental wanita hamil dapat melindungi dua kehidupan, ibu hamil dan janinnya. Perubahan fisiologis pada ibu hamil, seperti peningkatan sirkulasi darah, peningkatan kebutuhan oksigen, dan lain-lain sehingga lebih rentan saat bencana dan setelah bencana (Farida, Ida. 2013). b. Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada ibu hamil Pasca bencana 1) Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan nutrisi adekuat, cairan dan emosional 2) Melibatkan petugas-petugas kesehatan reproduktif di rumah penampungan korban bencana untuk menyediakan jasa konseling dan pemeriksaan kesehatan untuk ibu hamil dan menyusui. 3) Melibatkan petugas petugas konseling untuk mencegah, mengidentifikasi, mengurangi risiko kejadian depresi pasca bencana
2.3 PERAWATAN POPULASI RENTAN PADA DISABILITAS
a. Definisi Bencana alam bisa menimbulkan korban jiwa yang tinggi pada kelompok rentan, salah satunya penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari: penyandang disabilitas fisik, penyandang disabilitas mental serta penyandang disabilitas fisik dan mental (Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 10 Tahun 2013 tentang Pelayanan dan Pemenuhan Hak- Hak Penyandang Disabilitas). Penyandang disabilitas rentan dalam situasi bencana akibat adanya hambatan dan kebutuhan yang dialaminya, seperti dari aspek fisik, intelektual, mental, dan sensorik. Beragamnya hambatan yang dimiliki menyebabkan penyandang disabilitas sering mengalami kesulitan untuk mengakses dan menggunakan sumber daya yang pada umunya tersedia dalam penanggulangan bencana (Wulandari, 2017). Terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas ketika bertemu dengan bencana. Permasalahan tersebut terjadi pada setiap tahapan manajemen bencana. Permasalahan tersebut antara lain: (1) belum maksimalnya program persiapan bencana yang sensitif penyandang disabilitas, (2) partisipasi penyandang disabilitas masih minim dalam pendidikan pegurangan risiko bencana (PRB), (3) aksesbilitas penyandang disabilitas terhadap materi ajar/belajar PRB, (4) penyandang disabilitas tidak bisa sepenuhnya bertindak cepat dalam penyelamatan diri, (5) kurangnya pendataan spesifik tentang identitas dan kondisi penyandang disabilitas, dan (6) kurangnya fasilitas dan layanan yang aksesibel di pengungsian (Konsorsium Hak Difabel (2012, h.23-27). Penyandang disabilitas bertemu dengan tantangan yang unik dalam setiap tahapan manajemen bencana, hal yang terlihat adalah gangguan fisik saja namun yang sebenarnya terjadi adalah gangguan fisik, sosial, dan ekonomi, hal tersebut diungkapkan oleh Raja dan Narasiman (2013, h.15). Gangguan sosial terjadi ketika lingkungan sosial dari penyandang disabilitas tidak bisa mengakomodasi keberadaanya dan gangguan ekonomi adalah permasalahan kemiskinan yang seringkali sudah melekat pada dirinya. Beberapa Pengurangan Risiko Bencana (PRB) Inklusif bagi Penyandang Disabilitas Menurut Andriani (2014, h.7-11), antara lain : Menurut Andriani (2014, h.7-11) kegiatan dalam PRB Inklusif bagi penyandang disabilitas antara lain: 1) Situasi Sebelum Bencana Kegiatan yang seharusnya dilaksanakan pada situasi sebelum bencana antara lain: (1) Koordinasi dan diskusi dengan komuitas/organiasi penyandang disabilitas terkait risiko bencana dan membuat persiapan apabila teradi bencana; (2) Membuat pemetaan kebutuhan panyandang disabilitas ada saat bencana alam; dan (3) Melatih penyandang disabilitas dan kerabat terdekat tentang kegiatan PRB. 2) Situasi Saat Bencana Kegiatan yang dilakukan pada situasi saat bencana antara lain: (1) Melakukan evakuasi bagi penyandang disabilitas untuk menjauh dari lokasi bencana; (2) Mengevakuasi penyandang disabilitas yang ditinggal oleh keluarganya saat terjadi bencana; (3) Menampung di pengungsian; (4) Membawa korban ke rumah sakit; (5) Melakukan pendataan dan penilaian; (6) Memberikan konseling; dan (7) Memberikan terapi. 3) Early Recovery Early recovery dalam PRB inklusif bagi penyandang disabilitas antara lain: (1) Melibatkan diri secara aktif dalam posko pemberian layanan dalam bencana dan (2) Pemberian pelatihan penyelamatan diri bagi penyandang disabilitas. 4) Rehabilitasi dan Rekonstruksi Kegiatan dalam rehabilitasi dan rekonstruksi antara lain: (1) Melaksanakan penilaian kebutuhan untuk rehabilitasi dan rekonsiliasi dalam bidang ekonomi dan sarana prasarana; (2) Konseling bagi penyandang disabilitas untuk meminimalisir trauma; (3) Asistensi activity daily living serta sosialisasi kepada masyarakat; dan (4) Asistensi pemberdayaan ekonomi b. Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada orang dengan kecacatan/disabilitas Pasca bencana 1) Sedapat mungkin, sediakan fasilitas yang dapat mengembalikan kemandirian individu dengan keterbatasan fisik di lokasi evakuasi sementara. Contohnya: kursi roda, tongkat, dll 2) Libatkan agensi-agensi yang berfokus pada perlindungan individu- individu dengan keterbatasan fisik Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada penyandang cacat: 1) Kebutuhan rumah tangga. Air minum, susu bayi, sanitasi, air bersih, dan sabun untuk MCK (mandi, cuci, kakus), alat-alat untuk memasak, pakaian, selimut, dan tempat tidur, pemukiman sementara dan kebutuhan budaya dan adat. 2) Kebutuhan kesehatan Kebutuhan kesehatan umum – seperti perlengkapan medis (obat-obatan, perban, dll), tenaga medis, pos kesehatan dan perawatan kejiwaan 3) Tempat ibadah sementara 4) Keamanan wilayah 5) Kebutuhan air 6) Kebutuhan sarana dan prasarana Kebutuhan saranan dan prasarana yang mendesak – seperti air bersih, MCK untuk umum, jalan ke lokasi bencana, alat komunikasi dalam masyarakat dan pihak luar, penerangan/listrik, sekolah sementara, alat angkut/transport, gudang penyimpanan persediaan, tempat pemukiman sementara, pos kesehatan alat dan bahan-bahan. 2.1 Perawatan Populasi Rentan pada Penyakit Kronis a. Definisi Menurut Ida Farida (2013) dampak bencana pada penyakit kronis akan memberi pegaruh besar pada kehidupan dan lingkungan bagi orang- orang dengan penyakit kronik. Terutama dalam situasi yang terpaksa hidup di tempat pengungsian dalam waktu yang lama atau terpaksa memulai kehidupan yang jauh berbeda dengan pra-bencana, sangat sulit mengatur dan memanajemen penyakit seperti sebelum bencana.Walaupun sudah berhasil selamat dari bencana dan tidak terluka sekalipun manajemen penyakit kronis mengalami kesulitan, sehingga kemungkinan besar penyakit tersebut kambuh dan menjadi lebih parah lagi ketika hidup di pengungsian atau ketika memulai kehidupan sehari-hari lagi. Berdasarkan perubahan struktur penyakit itu sendiri, timbulnya penyakit kronis disebabkan oleh perubahan gaya hidup sehari-hari. Bagi orang-orang yang memiliki resiko penyakit kronis, perubahan kehidupan yang disebabkan oleh bencana akan menjadi pemicu meningkatnya penyakit kronis seperti diabetes mellitus dangan gguan pernapasan. b. Pasca bencana 1) Sedapat mungkin, sediakan fasilitas yang dapat mengembalikan kemandirian individu dengan keterbatasan fisik di lokasi evakuasi sementara. Contohnya: kursi roda, tongkat, dll 2) Libatkan agensi-agensi yang berfokus pada perlindungan individu-individu dengan keterbatasan fisik dan penyakit kronis 3) Rawat korban dengan penyakit kronis sesuai dengan kebutuhannya. 4) Keperawatan bagi pasien diabetes 1) Mengkonfirmasi apakah pasien yang bersangkutan harus minum obat untuk menurunkankan dengan gula darah (contoh: insulin, dll) atau tidak, dan identifikasi obat apa yang dimiliki pasien tersebut. 2) Mengkonfirmasi apakah pasein memiliki penyakit luka fisik atau infeksi, dan jika ada, perlu pengamatan dan perawatan pada gejala infeksi (untuk mencegah komplikasi kedua dari penyakit diabetes) 3) Memahami situasi manajemen diri (self-management) melalui kartu penyakit diabetes (catatan pribadi) 4) Memberikan instruksi tertentu mengenai konsumsi obat, makanan yang tepat, dan memberikan pedoman mengenai manajemen makanan 5) Mengatur olahraga dan relaksasi yang tepat 5) Keperawatan bagi pasien gangguan pernapasan kronis 1) Konfirmasikan volume oksigen yang tepat dan mendukung untuk pemakaian tabung oksigen untuk berjalan yang dimilikinya dengan aman 2) Menghindari narcosis CO2 dengan menaikkan konsentrasi oksigen karena takut peningkatan dysphemia 3) Mengatur pemasokan tabung oksigen (ventilator) dan transportasi jika pasien tersebut tidak bisa membawa sendiri. 4) Membantu untuk manajemen obat dan olahraga yang tepat 5) Mencocokkan lingkungan yang tepat (contoh: suhu udara panas/dingin, dan debu)