Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN REFERAT

DISPEPSIA

Disusun Oleh:

Laila Nurul Lita

2015730075

Pembimbing : dr. Reza Putra Cendika, MMR

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
TAHUN 2019
A. Definisi
Dispepsia berasal dari bahasa Greek dimana “dys” berarti buruk dan “pepsis”
artinya pencernaan. Dalam konsensus Rome II tahun 2000, disepakati bahwa definisi
dispepsia adalah suatu keadaan yang ditandai rasa sakit atau ketidaknyamanan yang
berpusat pada perut bagian atas. Dalam konsensus Rome III tahun 2006, dispepsia adalah
suatu keadaan yang ditandai oleh salah satu atau lebih gejala utama, yaitu rasa penuh
setelah makan (postprandial distress syndrome), rasa cepat kenyang, rasa nyeri epigastrik
atau seperti rasa terbakar (epigastric pain syndrome).

B. Epidemiologi
Dispepsia merupakan keluhan umum yang dalam waktu tertentu dapat dialami
oleh seseorang. Berdasarkan penelitian pada populasi umum didapatkan bahwa 15-30%
orang dewasa pernah mengalami hal ini dalam beberapa hari. Diperkirakan bahwa
hamper 30% kasus pada praktek umum dan 60% pada praktek gastroenterologist
merupakan kasus dispepsia. Dari data pustaka Negara Barat didapatkan angka
prevalensinya berkisar 7-41% tetapi hanya 10-20% yang akan mencari pertolongan medis
dan sisanya mengobati diri sendiri dengan obat bebas yang beredar luas di pasaran.

C. Klasifikasi
Pengelompokkan dispepsia terbagi atas dua, yaitu :
1) Dispepsia Organik
Adanya kelainan struktural sebagai penyebabnya. Sindrom dispepsia organik
terdapat kelainan nyata terhadap organ tubuh misalnya Tukak (ulkus peptikum),
Gastritis, Gastro Esophageal Reflux Disease, Pankreatitis. Jarang ditemukan pada
usia muda, tetapi banyak ditemukan pada usia lebih dari 40 tahun.

2) Dispepsia Fungsional
Tanpa disertai kelainan atau gangguan struktur organ berdasarkan pemeriksaan
klinis, laboratorium, radiologi, dan endoskopi (teropong saluran pencernaan).
Terdapat satu atau lebih keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, nyeri ulu
hati/epigastrik, dan rasa terbakar di epigastrium. Keluhan dapat terjadi selama 3 bulan
dalam waktu 6 bulan terakhir sebelum diagnosis ditegakkan.
Dispepsia fungsional dibagi menjadi 2 klasifikasi yaitu menurut Rome II dan Rome
III.
1. Klasifikasi Dispepsia Fungsional Menurut Rome II
Berlangsung ± selama 12 minggu dalam 12 bulan ditandai :
- Nyeri epigastrium (menetap atau berulang).
- Tidak ada bukti penyakit organic (berdasarkan endoskopi).
- Tidak ada bukti bahwa dyspepsia berkurang setelah defekasi atau perubahan
pola dan bentuk defekasi.
Dibagi menjadi 3 kelompok :

1) Dyspepsia like-ulcer
Rasa nyeri teruatama dirasakan pada abdomen atas
2) Dyspepsia like dysmotility
Rasa tidak nyaman terutama dirasakan pada abdomen atas (rasa penuh, mudah
kenyang, dan mual)
3) Dyspepsia Unspecified (Nonspesific)
Gejala yang ditunjukkan tidak memenuhi kriteria like-ulcer atau like-
dysmotility

2. Klasifikasi Dispepsia Fungsional Menurut Rome III


1) Sindrom Distress Post-prandial (SDP)
Memenuhi salah satu dari kedua syarat berikut :
- Rasa penuh setelah makan yang mengganggu, makanan dengan porsi biasa,
terjadi beberapa kali dalam seminggu
- Rasa cepat kenyang yang menyebabkan tidak dapat mengahbiskan makanan,
terjadi beberapa kali dalam seminggu

Kriteria suportif:

- Kembung di perut bagian atas, nual atau bersendawa setelah makan


- Dapat terjadi bersamaan dengan Sindrom nyeri epigastrik

2) Sindrom Nyeri Epigastrik (SNE)


Memenuhi semua syarat-syarat berikut :
Nyeri atau rasa terbakar di epigastrium, intensitas moderat, setidaknya sekali
dalam seminggu
- Nyeri intermiten
- Tidak tergenerasilisasi atau terlokalisasi ke area lain abdomen
- Tidak membaik setelah defekasi atau buang gas
- Tidak memenuhi kriteria batu empedu atau kelainan Sfingter Oddi

Kriteria suportif :

- Nyeri seperti terbakar, tapi bukan di daerah retrosternal


- Nyeri diinduksi atau diredakan dengan makanan, namun dapat terjadi selama
puasa
- Dapat terjadi bersamaan dengan sindrom distress post-prandial
D. Etiologi
1) Dispepsia Organik

Esofagogastroduodenal Tukak peptik, gastritis, tumor dsb.

Obat-Obatan Antiinflamasi non steroid, teofilin,


digitalis, antibiotik dsb.
Hepatobilier Hepatitis, kolesistitis, tumor, dsb.
Pankreas Pankreatitis, keganasan
Penyakit Sistemik Diabetes melitus, penyakit tiroid, gagal
ginjal, penyakit jantung koroner, dsb.
Gangguan Fungsional Dispepsia fungsional, irritable bowel
syndrome

a. Tukak Saluran Cerna Bagian Atas


Tukak dapat ditemukan pada saluran cerna bagian atas yaitu pada
mukosa, submukosa dan lapisan muskularis, pada distal esophagus,
lambung, dan duodenum. Keluhan yang sering terjadi adalah nyeri
epigastrum. Nyeri yang dirasakan yaitu nyeri tajam dan menyayat atau
tertekan, penuh atau terasa perih seperti orang lapar. Nyeri epigastrum
terjadi 30 menit sesudah makan dan dapat menjalar ke punggung. Nyeri
dapat berkurang atau hilangsementara sesudah makan atau setelah
minum antasida. Gejala lain yangdirasakan seperti mual, muntah,
kembung, bersendawa, dan kurang nafsu makan.

b. Batu Empedu
Kelainan utama yang dapat timbul pada kandung empedu adalah
terbentuknya batu. Hal ini juga dapat terjadi pada saluran empedu. Pada
kandung empedu, batu dapat menyebabkan peradangan yang biasa disebut
kolesistitis, juga dapat menimbulkan kolik bilier dengan gejala nyeri
epigastrium yang menjalar ke punggung dan bisa berlangsung sampai berjam-
jam dan menyebabkan penderitanya muntah. Di dalam saluran empedu, batu
dapat menyebabkan penyumbatan sehingga terjadi penyakit hepatitis atau
dapat menyebabkan serangan pankreatitis akut.

c. Gastritis
Gastritis adalah peradangan/inflamasi pada lapisan mukosa dan
submukosa lambung. Keadaan ini antara lain diakibatkan oleh makanan/obat-
obatan yang mengiritasi lambung dan adanya pengeluaran asam lambung
yang berlebihan oleh lambung itu sendiri. Gejalanya seperti mual, muntah,
nyeri pada epigastrium, nafsu makan menurun, dan terkadang terjadi
perdarahan.

d. Refluks Gastroesofageal/ GERD


Penyakit refluks gastroesofageal (GERD) adalah suatu keadaan patologis
sebagai akibat refluks kandungan lambungan ke dalam esophagus, dengan
berbagai gejala seperti nyeri atau rasa tidak enak di epigastrium bagian
bawah. Rasa nyeri biasanya dideskripsikan sebagai rasa terbakar (heartburn),
kadang bercampur dengan gejala disfagia, dan mual.

e. Pankreatitis
Pankreatitis terbagi menjadi dua, yaitu akut dan kronik. Gambaran yang
khas dari pankreatitis akut adalah rasa nyeri di epigastrium yang hebat. Sifat
nyeri timbulnya mendadak dan terus-menerus, seperti ditusuk-tusuk dan rasa
terbakar. Perasaan nyeri tersebut menjalar ke seluruh perut dan perut menjadi
tegang. Timbul terasa mual, kadang-kadang muntah.

Pada pankreatitis kronik juga mengeluh rasa nyeri di perut bagian atas.
Rasa nyeri juga seperti ditusuk-tusuk, menjalar ke punggung, disertai mual
dan muntah, sifatnya hilang timbul, sehingga tidak jarang dibuat diagnosa
sakit lambung. Pada pankreatitis kronik tidak ada keluhan rasa pedih,
melainkan disertai tanda-tanda diabetes mellitus atau keluhan steatorrhoe.

f. Gangguan Metabolisme
Diabetes mellitus (DM) dapat menyebabkan gastroparesis yang hebat
sengga timbul keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, mual, dan
muntah. Gastroparesis didefinisikan sebagai ketidakmampuan lambung untuk
mengosongkan ruang lambung. Hal ini terjadi apabila makanan berbentuk
padat tertahan di lambung. Gangguan metabolisme lain seperti hipertiroid
menimbulkan keluhan nyeri perut dan muntah. Hipertiroid dan hiperkalsemia
juga dapat menyebabkan rasa nyeri pada abdomen bagian atas.
2) Dispepsia Fungsional

a. Hipersensitivitas viseral
b. Gangguan motilitas gastrointestinal
c. Perubahan sekresi asam
d. Infeksi kuman Helicobacter pylori
e. Faktor psikologis
f. Predisposisi genetik

a. Hipersensitivitas Viseral
Hipersensitivitas visceral merupakan suatu distensi mekanik akibat
gastrointestinal hipersensitif terhadap rangsangan atau salah satu hipotesis
penyakit gastrointestinal fungsional. Fenomena ini berdasarkan mekanisme
perubahan perifer. Sensasi viseral ditransmisikan dari gastrointestinal ke otak,
dimana sensasi nyeri dirasakan. Peningkatan persepsi nyeri sentral
berhubungan dengan peningkatan sinyal dari usus.
Peningkatan perangsangan pada dinding perut menunjukkan disfungsi
pada aktivitas aferen. Secara umum terganggunya aktivitas serabut aferen
lambung mungkin menyebabkan timbulnya gejala dispepsia. Dispepsia
fungsional juga ditandai oleh respon motilitas yang cepat setelah rangsangan
kemoreseptor usus. Hal ini mengakibatkan rasa mual dan penurunan motilitas
duodenum. Mekanisme hipersensitivitas viseral ini juga terkait dengan
mekanisme sentral. Penelitian pada nyeri viseral dan somatik menunjukkan
bagian otak yang terlibat dalam afektif, kognitif dan aspek emosional terhadap
rasa sakit yang berhubungan dengan pusat system saraf otonom.
Kemungkinan bahwa perubahan peripheral pada gastrointestinal dimodulasi
oleh mekanisme sentral. Bagian kortikolimbikpontin otak adalah baguan pusat
terpenting dalam persepsi stimulasi peripheral.

b. Gangguan Motilitas Gastrointestinal


Pada dasarnya motilitas adalah gerakan propulsi atau peristaltik yang
dipengaruhi oleh regulasi susunan saraf enterik melalu berbagai
neurotransmitter. Dismotilitas saluran cerna merupakan keadaan yang
kompleks yang melibatkan aktivitas elektrik otot polos, perubahan tekanan
intralumen usus dan proses pasase isi usus. Dua pertiga kasus dispepsia
fungsional berhubungan dengan perlambatan dari masa pengosongan
lambung, disritmia gaster dan hipersensitivitas viseral. Pada berbagai studi
dilaporkan dispepsia fungsional terjadi perlambatan pengosongan lambung
dan hipomotilitas antrum hingga 50% kasus.

c. Perubahan Sekresi Asam


Pada kasus dispepsia fungsional, umumnya mempunyai tingkat sekresi
asam lambung baik sekresi basal maupun dengan stimulasi pentagstrin dapat
dijumpai kadarnya meninggi, normal atau hiposekresi. Peningkatan asam
lambung biasanya berkaitan dengan jeda antara waktu makan yang lama
sehingga mengakibatkan perut kosong. Diduga adanya peningkatan
sensitivitas mukosa lambung terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak
enak di perut.

d. Infeksi Kuman Helicobacter pylori


Infeksi Helicobacter pylori (Hp) mempengaruhi terjadinya dispepsia
fungsional. Penyelidikan epidemiologi menunjukkan kejadian infeksi Hp pada
pasien dengan dispepsia cukup tinggi, walaupun masih ada perbedaan
pendapat mengenai pengaruh Hp terhadap dispepsia fungsional. Diketahui
bahwa Hp dapat merubah sel neuroendoktrin lambung. Sel neuroendokrin
menyebabkan peningkatan sekresi lambung dan menurunkan tingkat
somatostatin.

e. Faktor Psikologis
Faktor kognitif dan adanya faktor psikosomatik harus dinilai pada kasus
dispepsia fungsional. Diduga bhawa dispepsia fungsional berkolerasi dengan
adanya depresi, peningkatan kecemasan dan gangguan somatisasi. Adanya
stress akut dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan mencetuskan
keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan kontraktilitas
lambung yang mendahului keluhan mual setelah stimulus stress sentral. Tetapi
korelasi antara faktor psikologik stress kehidupan, fungsi otonom dan
motilitas tetap kontroversial. Dilaporkan dalam studi terbatas adanya
kecenderungan pada kasus dispepsia fungsional terdapat masa kecil yang
tidak bahagia, adanya sexual abuse, atau adanya gangguan psikiatrik.

f. Genetik
Genetik merupakan faktor predisposisi pada penderita gangguan
gastrointestinal fungsional. Faktor genetik dapat mengurangi jumlah sitokin
antiinflamasi (IL-10, TGF-β). Penurunan sitokin antiinflamasi dapat
menyebabkan peningkatan sensitisasi pada usus. Selain itu polimorfisme
genetic berhubungan dengan protein dari sisem reuptake synaptic serotonin
serta reseptor polimorfisme alpha adrenergik yang mempengaruhi motilitas
dari usus.

E. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Yang diperlukan dalam pemeriksaan laboratorium adalah darah, urine, dan tinja
untuk diperiksa secara rutin. Dari hasil pemeriksaan darah, bila ditemukan
leukositosis menandakan adanya infeksi. Pada pemeriksaan tinja, jika cairan tampak
encer berlendir atau banyak mengandung lemak menandakan kemungkinan menderita
malabsorpsi. Seseorang yang diduga menderita dispepsia karena tukak, sebaiknya
diperiksa asam lambungnya.

b. Radiologis
Pada tukak di lambung akan terlihat gambar yang disebut niche yaitu suatu kawah
dari tukak yang terisi kontras media. Bentuk niche dari tukak yang jinak umumnya
regular. Semisirkuler, dasarnya licin. Kanker di lambung secara radiologis akan
tampak massa yang ireguler, tidak terlihat peristaltic di daerah kanker, bentuk dari
lambung berubah.

c. Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi sangat membantu dalam diagnosis. Yang perlu
diperhatikan adalah warna mukosa, lesi, tumor jinak atau ganas. Kelainan di lambung
yang sering ditemukan adalah tanda peradangan tukak yang lokasinya terbanyak di
bulbus dan pars desenden, tumor jinak atau ganas diventrikel. Pada endoskopi
ditemukan tukak baik pada esophagus, lambung, maupun duodenum, maka dapat
dibuat diagnosis dispepsia tukak. Sedangkan bila tidak ditemukan tukak tetapi hanya
ada peradangan maka dapat dibuat diagnosis dispepsia bukan tukak/dispepsia non
ulkus.

d. Ultrasonografi (USG)
Akhir-akhir ini banyak dimanfaatkan untuk membantu diagnostik dari suatu
penyakit. Pemanfaat alat USG pada pasien dispepsia terutama bila dugaan kearah
kelainan di traktus biliaris, pankreas, kelainan tiroid, bahkan juga ada dugaan tumor
di esophagus dan lambung.
F. Penatalaksanaan
 Farmakologi

Golongan Nama Obat Dosis Efek Samping

Antasida Antasida 3 x 500-1000 mg/hari Alumunium : konstipasi


Magnesium : Diare
Antikolinergik Pirenzepin 2 x 50 mg/hari Mulut kering, gangguan
Atropin 3 x 0,4 mg miksi, retensi urin, dimensia
Antagonis Simetidin 2 x 400 mg/hari Takikardi
Reseptor H2 Ranitidin 2 x 150 mg/hari Takikardi, gangguan
Famotidin 1 x 40 mg/hari penglihatan
Ansietas, anoreksia, mulut
kering
Proton Pump Omeprazol 2 x 20 mg/hari Lelah, halusinasi, vertigo
Inhibitor (PPI) Lansoprazol 2 x 40 mg/hari
Sitoprotektif Misoprostol 2 x 400 mcg/hari Diare, kembung
Sukralfat 2 x 2 g/hari Konstipasi, mengantuk
Prokinetik Cisaprid 3 x 5 mg/hari Urtikaria, gangg. Pernafasan
Domperidon 3 x 10 mg/hari Pusing, mengantuk
Metoklopramid 3 x 10 mg/hari Sakit kepala, gelisah
Antibiotik Amoxicillin 3 x 750-1000 mg/hari Sakit kepala, ruam
Penisilin

Dispepsia Fungsional

Dispepsia

Obati bila Hp (+)

Sindrom distress Sindrom nyeri


post-prandial epigastrik

Prokinetik PPI

Tambah/Ganti Tambah/Ganti
PPI Prokinetik
Antidepresan Trisiklik
 Non Farmakologi
- Edukasi untuk menghindari pemicu terjadinya keluhan (makan tepat waktu,
makan sering dengan porsi kecil, hindari makanan yang meningkatkan asam
lambung atau perut kembung)
- Olahraga minimal 3x/minggu sebanyak 30-60 menit

G. Pencegahan
Pencegahan terhadap penyakit dyspepsia adalah sebagai berikut:
a. Pencegahan Primodial
Merupakan upaya pencegahan pada orang-orang yang belum memiliki faktor
risiko dispepsia dengan memberikan penyuluhan tentang cara mengenali dan
menghindari keadaan/kebiasaan yang dapat mencetuskan serangan dispepsia. Sebagai
contoh adalah adanya peraturan yang dibuat oleh pemerintah dengan membuat
peringatan padan kemasan rokok akan bahaya dari rokok tersebut terhadap kesehatan.
Untuk menghindari infeksi Helicobacteri pylori dilakukan dengan menjaga
sanitasi lingkungan agar tetap bersih, perbaikan gizi dan penyediaan air bersih.

b. Pencegahan Primer
Berperan dalam mengelola dan mencegah timbulnya gangguan akibat dispepsia
pada orang yang sudah mempunyai faktor risiko dengan cara membatasi atau
menghilangkan kebiasaan-kebiasaan tidak sehat seperti makan tidak teratur, merokok,
mengonsumsi alkohol, minum minuman bersoda, makan makanan yang berlemak,
pedas, asam dan menimbulkan gas di lambung.

c. Pencegahan Sekunder
- Diet mempunyai peran yang sangat penting. Dasar diet tersebut adalah makan
sedikit namun berulang kali. Makanan harus mudah dicerna, tidak
merangsang peningkatan asam lambung, dan bisa menetralisasi HCl.
- Obat-obatan untuk mengatasi adalah antasida
- Antagonis reseptor H2, penghambat pompa asam, sitoprotektif, prokinetik dan
kadang dibutuhkan psikoterapi dan psikofarmaka.
- Bagi perpuasa, untuk mencegah kekambuhan dispepsia, sebaiknya
menggunakan obat anti asam lambung yang bisa diberikan saat sahur dan
berbuka untuk mengontrol asam lambung, terutama saat perut sudah kosong.
Obat anti asam lambung bekerja selama 12-14 jam. Dengan itu obat ini dapat
mengotrol asam lambung selama pasien berpuasa.

d. Pencegahan Tersier
Penting sekali untuk para tenaga medis/psikiater untuk menelusuri kejadian yang
menimpa pasien dalam suatu sistem terapi secara terpadu. Dengan rehabilitasi mental
melalui konseling diharapkan terjadi progestivitas penyembuhan yang baik setelah
faktor stress ditangani.

H. Prognosis
Umumnya baik, tergantung pada beratnya penyakit dan penanganan yang cepat.
Prognosis padakasus yang telah mengalami perforasi umumnya buruk.

Anda mungkin juga menyukai