Anda di halaman 1dari 38

PORTOFOLIO PSIKIATRI

Disusun oleh:

dr. Henrikus Debiakto Irawan

dr. Steven Awyono

Pembimbing Internship:

dr. Nur Lily A

Pembimbing Kasus:

dr. Elisabeth Meyni, Sp.KJ

Program Internship Dokter Umum RSUD Abepura

Periode 06 Juni 2017 – 04 Oktober 2017


I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. W.

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 51 thn

Status Perkawinan : Janda

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : IRT

Agama : Islam

Alamat : Kotaraja

II. RIWAYAT PSIKIATRIK

Alloanamnesis dilakukan dengan anak pasien pada tanggal 03 Juli 2017.

A. Keluhan Utama

Sakit kepala 1 hari SMRS

B. Keluhan Tambahan

Nyeri ulu hati dirasakan 2 hari SMRS dan semakin memberat 1 hari SMRS. Os menjadi sedikit

makan 2 hari SMRS.

C. Riwayat Gangguan Sekarang.

Os berbicara tidak nyambung ketika ditanya sesuatu. Hal ini dirasakan keluarga sejak 1 hari

SMRS. Ketika ditanya os bingung dan selalu bertanya kepada anaknya serta selalu menjawab

tidak sesuai pertanyaan.

Kurang lebih 2 tahun yang lalu, suami pasien meninggal. Sejak saat itu pasien menjadi lebih

jarang berkomunikasi dan kadang lebih suka menyendiri. Pasien menjadi lebih sering tidur larut

malam dibandingkan hari-hari sebelumnya.

2
Tidak ada keadaan dimana terjadi perubahan suasana hati yang ekstrim seperti terkadang senang

sekali dan terkadang sedih sekali. Keinginan dan/atau percobaan bunuh diri dan/atau

membahayakan diri sendiri tidak ada. Aktivitas sehari-hari seperti mandi dan pergi berbelanja

masih dapat dilakukan oleh pasien seperti biasa.

D. Riwayat Gangguan Sebelumnya

a. Riwayat Gangguan Psikiatrik

Riwayat gangguan psikiatrik sebelumnya tidak ada.

b. Riwayat Gangguan Medik

Riwayat gangguan medis sebelumnya ada. Hipertensi ada ± 1 tahun yang lalu dan kontrol

dengan baik.

c. Riwayat Gangguan Zat Psikoaktif

Riwayat gangguan zat psikoaktif tidak ada.

Onset 51 tahun

(usia)

Waktu Juli 2017

Stressor Tidak diketahui

Klinis Sakit kepala, nyeri ulu hati dan berbicara tidak nyambung

Penyakit - Hipertensi

fisik

NAPZA -

Pengobatan -

Efek -

Samping

3
Lama -

konsumsi

obat

Fungsi sosial Interaksi sosial baik,

Aktivitas sosial baik,

Perawatan diri baik

E. Riwayat Perkembangan Pribadi

1. Riwayat Prenatal dan Perinatal.

Tidak diketahuai keluarga

2. Riwayat Masa Kanak Awal. (1-3tahun)

Tidak dikatahuai keluarga

3. Riwayat Masa Kanak Pertengahan. (3-12 tahun)

Tidak diketahuai keluarga

4. Riwayat Masa Remaja. (12-20 tahun).

Dirumah diketahui tidak melakukan hal yang menyimpang. Disekolah memiliki banyak

teman meskipun dikenal tidak terlalu aktif berbicara.

5. Riwayat Masa Dewasa. (>20tahun)

a. Riwayat Pendidikan

Prestasi pasien termasuk baik meskipun tidak menonjol, tidak pernah tidak naik kelas.

b. Riwayat Pekerjaan

Belum bekerja

c. Riwayat Perkawinan/Berpacaran/Berpasangan

-.

d. Riwayat Agama/Kehidupan Beragama

Beragama Islam, rajin shalat.

4
e. Aktivitas Sosial

Memiliki banyak teman, dan sering melakukan aktivitas di luar seperti berbincang-bincang

dengan tetangga

f. Riwayat Pelanggaran Hukum

Tidak pernah melakukan pelanggran hukum.

g. Riwayat Militer

Tidak pernah menjalani pendidikan dan pelatihan militer.

F. Situasi Kehidupan Sekarang.

Sekarang tinggal bersama anak kandung dan menantu.

G. Riwayat Psikoseksual.

Menyukai berlainan jenis kelamin.

H. Riwayat Keluarga.

Pasien merupakan anak ke 1 dari 2 bersaudara

I. Persepsi / Tanggapan Pasien Tentang Dirinya Dan Kehidupannya

Sulit dinilai karena pasien sulit diajak berkomunikasi.

I. Mimpi, Fantasi, dan Nilai-nilai.

Tidak diketahui

III. STATUS MENTAL (pada tanggal 03 Juli 2017)

A. Deskripsi Umum

1. Penampilan

Wanita, usia 51 tahun, kulit berwarna sawo matang, potongan rambut ikal sepundak

Kontak mata ada tapi sulit

Keadaan umum : pasien tampak bingung, berpenampilan sesuai usia

Perawakan : postur tubuh tergolong cukup

Personal hygiene : Penampilan rapi dan pakaian serasi menggunakan daster.

5
2. Kesadaran

Kualitas : Compos Mentis

Kuantitas GCS E4V5M6

3. Perilaku dan Aktivitas Psikomototik

- Gaya berjalan normal

- berjabat tangan baik

- tidak ada pergerakan abnormal

- postur baik

- koordinasi cangung

- aktivitas psikomotorik : pasien hanya tidur dan sesekali duduk.

4. Sikap terhadap Pemeriksa

Dapat menjawab pertanyaan tetapi terkadang jawaban tidak sesuai pertanyaan

B. Mood dan Afek

 Mood : disforik

 Afek : depresif, sesuai dengan mood.

 Kesesuaian : afek sesuai dengan mood

 Keserasian : Appropriate. Pikiran, perkataan, dan perilaku serasi.

C. Pembicaraan

 Kecepatan berbicara : biasa.

 Aliran pembicaraan : ragu

 Volume suara : pelan

 Artikulasi : jelas

 Kuantitas : menjawab hanya jika ditanya

6
D. Gangguan Persepsi

 Ilusi : tidak ditemukan

 Halusinasi : tidak ditemukan

 Depersonalisasi : tidak ditemukan

 Derealisasi : tidak ditemukan

E. Pikiran

1. Proses Pikir/ Bentuk Pikir

 Produktivitas : sedikit

 Kontinuitas : inkoheren

2. Isi Pikiran

 Preokupasi pikiran : tidak ada.

 Waham : tidak ditemukan.

 Obsesi : tidak ditemukan

 Kompulsif : tidak ditemukan

 Fobia : tidak ditemukan

 Ide bunuh diri : tidak ditemukan

F. Sensorium dan Kognisi

Taraf kesadaran : sadar penuh

Orientasi : Disorientasi

Ingatan : sulit dinilai

Konsentrasi dan perhatian : sulit dinilai

Kemampuan membaca dan menulis : sulit dinilai

Kemampuan visuospasial : sulit dinilai

Pikiran abstrak : sulit dinilai

Inteligensi dan daya informasi : sulit dinilai

7
G. Pengendalian Impuls

Tidak terganggu

H. Judgement dan Tilikan

1. Judgement

 Daya nilai sosial : sulit dinilai

 Uji daya nilai sosial : sulit dinilai

 Uji nilai realita : sulit dinilai

2. Tilikan :2

IV. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

A. Status Internus

Keadaan umum : tampak skait sedang, tampak gelisah

Kesadaran : compos mentis

Tekanan darah : 180/100 mmHg

Nadi : 80x per menit

Pernapasan : 24x per menit

Suhu : 36,6° C

Pemeriksaan Fisik

Kepala : Tidak ada deformitas

Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil bulat

isokor 3mm/3mm, refleks cahaya langsung dan tidak langsung +/+

Hidung : Septum nasi di tengah, sekret -/-

Mulut : Mukosa oral basah, tidak ada deformitas, stomatitis +

Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening (KGB)

8
Thoraks Pulmo :

I : simetris dalam keadaan statis maupun dinamis.

P : pergerakan dinding dada simetris kanan dan kiri, stem fremitus

taktil kanan = kiri.

P : sonor pada kedua lapangan paru.

A : Vesicular +/+, Ronki -/-, Wheezing -/-

Thoraks Cor :

I : iktus kordis tidak terlihat

P :iktus kordis teraba pada ICS IV linea midclavicularis sinistra

P : Batas atas : ICS III linea midclavicularis sinistra

Batas kanan : ICS V linea parasternal dextra

Batas kiri : ICS IV linea midklavikularis sinistra

A : Bunyi jantung 1&2 takikardi, murmur (-), gallop (-)

Abdomen :

I : tampak datar

A : bising usus (+) 3-4x/menit

P : supel, nyeri tekan (-)

P : timpani pada seluruh kuadran abdomen

Kulit : Turgor baik, pucat (-), sianosis (-)

Ekstremitas : CRT < 2 detik, akral hangat, edema-/-, tremor -/-/-/-,

rigiditas -/-/-/-

Motorik : Normotonus, koordinasi baik

Refleks : Refleks fisiologis (+) pada 4 ekstremitas, refleks patologis (-)

pada 4 ekstremitas

Status Neurologis : Dalam batas normal

9
B. Test Laboratorium

Test/Jenis 01/07/2017 03/04/2017 Unit/Satu Nilai


Pemeriksaan an Rujukan
Leukosit 4,73 ribu/mm3 3,8 – 10,6
Eritrosit 4,84 juta/mm3 4,4 – 5,9
Hemoglobin 12,9 g/dl 13,2 –
17,3
Hematokrit 47,6 % 40 – 52
MCV 80 fL 80 – 100
MCH 26,7 Pg 26 – 34
MCHC 33,5 g/dl 32 – 36
Trombosit 277 ribu/mm3 150 – 400
GDS 154 90

V. IKHTISAR PENEMUAN

Anamnesis

Seorang pasien berjemis kelamin perempuan, umur 51 tahun datang ke RSUD Abepura denga

keluhan utama nyeri kepala. Pada saat dilakukan evaluasi di ruangan os berbicara tidak

nyambung ketika ditanya sesuatu. Hal ini dirasakan keluarga sejak 1 hari SMRS. Ketika ditanya

os bingung dan selalu bertanya kepada anaknya serta selalu menjawab tidak sesuai pertanyaan.

Kurang lebih 2 tahun yang lalu, suami pasien meninggal. Sejak saat itu pasien menjadi lebih

jarang berkomunikasi dan kadang lebih suka menyendiri. Pasien menjadi lebih sering tidur larut

malam dibandingkan hari-hari sebelumnya.

Keinginan dan/atau percobaan bunuh diri dan/atau membahayakan diri sendiri tidak ada.

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dalam batas normal. Pemeriksaan neurologis dalam batas normal.

Pemeriksaan Mental

Dari pemeriksaan mental diperoleh :

 Mood :disforik

 Afek :depresif. Sesuai mood.

10
 Persepsi :baik.

 Proses pikir :inkoheren

 Isi pikiran :normal.

 Daya nilai dan tilikan :tilikan derajat 2.

VI. FORMULASI DIAGNOSTIK

Pada pasien ditemukan sindrom atau pola perilaku yang bermakna secara klinis yang

menimbulkan penderitaan (distress) dan hendaya (disability) dalam fungsi pekerjaan dan

aktivitas kehidupannya sehari-hari untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Oleh karena itu

dapat disimpulkan bahwa adanya gangguan jiwa pada pasien yang sesuai dengan definisi

gangguan jiwa yang tercantum dalam PPDGJ III.

a. Aksis I

ii. F00-F09 : Pasien tidak memiliki gangguan mental yang disebabkan gangguan organik. Pasien

tidak memiliki riwayat penyakit dan cedera/trauma pada otak serta tidak ada penyakit sistemik.

Tidak ada gangguan pada fungsi kognitif, daya ingat, daya pikir, dan kesadaran atau perhatian.

Oleh karena itu, pasien ini tidak digolongkan ke dalam F00-F09.

iii. F10-F19 : Pasien tidak memiliki riwayat penggunaan zat. Pasien tidak memenuhi kriteria F10-

F19.

iv. F20-F29 : pasien tidak mengalami gejala mayor maupun minor yang mengarah kepada

skizofrenia, Gg.Skizotipal, dan gangguan waham

v. F30-F39 : pasien mengalami :

a. Gejala utama :

- afek depresif

- Kehilangan minat dan kegembiraan, dan

- Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan menurunnya

aktivitas.

b. Gejala lainnya :

- Tidur terganggu

- Nafsu makan berkurang

11
- Pandnagan masa depan psimistis

- Konsentrasi dan perhatian kurang

Gejala-gejala tersebut berlangsung sesuai dengan kriteria lamanya gejala, yaitu dua minggu.

Oleh karena itu menurut PPDGJ III, pasien memenuhi kriteria F32.2 (Episode Depresif berat

tanpa gejala psikotik).

b. Aksis II

Z03.2: tidak ada diagnosis, pada pasien tidak ditemukan adanya gangguan kepribadian atau

retardasi mental

c. Aksis III

Hipertensi

d. Aksis IV

Pada aksis ini ditemukan masalah dengan primary support group (keluarga). Suami meninggal 2

tahun yang lalu.

e. Aksis V

GAF current : 70-61 beberapa disabilitas dalam hubungan dengan realita & komunikasi,

disabilitas berat dalam beberapa fungsi.

VII. EVALUASI MULTI AKSIAL

Aksis I :

 F32.2 : Depresi Berat tanpa Gejala Psikotik

Aksis II : Z03.2 Tidak ada diagnosis.

Aksis III : Hipertensi

Aksis IV : masalah suami meninggal 2 tahun yang lalu.

Aksis V : GAF current 70-61, beberapa gejala ringan dan menetapm disabilitas ringan

secara fungsi tapi secara umum baik

12
VIII. DAFTAR MASALAH

1. Organobiologik

Pasien tidak memiliki anggota yang memiliki riwayat gangguan jiwa dan pasien memiliki

riwayat penyakit hipertensi.

2. Psikologik

Dari pemeriksaan mental diperoleh :

 Mood :disforik

 Afek :depresif. Sesuai mood.

 Persepsi :baik

 Proses pikir :inkoheren

 Isi pikiran :normal.

 Daya nilai dan tilikan :tilikan derajat 2.

3. Lingkungan dan Sosial

Pasien tinggal bersama anak kandung dan menantunya

IX. PROGNOSIS

 Quo ad vitam : dubia ad malam

 Quo ad functionam : dubia ad malam.

 Quo ad sanationam : dubia ad malam.

Faktor memperberat prognosis

 Pasien memiliki penyakit penyerta yaitu hipertensi

Faktor memperingan prognosis

 Pasien kooperatif dan patuh minum obat.

 Pasien mendapat dukungan dari keluarga

13
X. RENCANA PENATALAKSANAAN

1. Farmakoterapi

 Atarax 0,5mg 2x1 (p.o)

 Kalxetin 5 mg 1x1 (p.o)

 Persidal 2 mg 2x1 (p.o)

2. Nonfarmakologi :

a. Psikoterapi

Membina hubungan baik dengan pasien, agar pasien lebih percaya dan mau terbuka

bercerita pada dokter saat berkonsultasi, sehingga dapat diketahui stresor utama, dapat

mengetahui maslah yang membebani pasien dan dapat dicari segera solusinya.

b. Edukasi Pasien

Poin yang dapat disampaikan adalah :

 Menjelaskan kepada pasien tentang penyakitnya dan akibat yang ditimbulkan.

 Memotivasi pasien untuk mengonsumsi obat secara teratur.

 Menjelaskan manfaat serta efek samping obat yang mungkin akan dialami oleh pasien.

 Memotivasi pasien untuk lebih banyak melakukan aktivitas fisik yang berkaitan dengan

kegiatan sehari-hari.

c. Terapi Keluarga

Pertemuan melakukan terapi keluarga, hal-hal yang dapat disampaikan adalah :

 Memotivasi keluarga agar rutin datang untuk kontrol atau berkonsultasi.

 Menjelaskan keluarga tentang penyakitnya dan akibat yang dapat ditimbulkan.

 Menjelaskan manfaat serta efek samping obat yang mungkin akan dialami oleh pasien

kepada keluarga.

 Memberitahu keluarga untuk segera kontrol kembali jika dirasakan adanya gejala-gejala efek

samping akibat pemberian obat.

 Memotivasi keluarga pasien agar lebih perduli dan menemani pasien dalam kehidupan

sehari-hari

14
 Memberitahu keluarga pasien agar mencarikan orang lain yang dapat menjadi pengawas

minum obat pasien jika keluarga pasien berhalangan.

XI. FOLLOW UP

 Pantau perkembangan gejala dan kondisi depresi pasien serta adanya perburukan kondisi

seperti halusinasi maupun waham.

 Pantau kemungkinan terjadinya efek samping obat.

Tanggal S O A P
03/07/2017 Gelisah, bicara Kes CM - Hipertensi - Olanzapin 5 mg 2x1 (p.o)
tidak TD 120/800 (terkontrol) - Atarax 0,5mg 2x1 (p.o)
nyambung HR 70x/menit - Depresi dengan - Kalxetin 20 mg 1x1 (p.o)
Nyeri ulu hati T 36,6 C psikotik - Amlodipin 10 mg 0-0-1
(+) (p.o)
Kontak : sulit - Captopril 1x25mg (p.o)
Verbal: - Ranitidin 2x150mg (p.o)
sedikit, -
inkoheren
Mood :
disforik
Halusinasi : -
04/07/2017 Bicara tidak Kontak : sulit - Hipertensi - Olanzapin 5 mg 2x1 (p.o)
nyambung, Verbal: (terkontrol) - Atarax 0,5mg 2x1 (p.o)
nyeri ulu hati sedikit, Depresi dengan - Kalxetin 20 mg 1x1 (p.o)
(-) inkoheren psikotik - Amlodipin 10 mg 0-0-1
Mood : (p.o)
disforik - Captopril 1x25mg (p.o)
- Ranitidin 2x150mg (p.o)
-
05/07/2017 Bicara tidak Kontak : sulit - Hipertensi - Olanzapin 5 mg 2x1 (p.o)
nyambung Verbal: (terkontrol) - Atarax 0,5mg 2x1 (p.o)
sedikit, - Depresi dengan - Kalxetin 20 mg 1x1 (p.o)
inkoheren psikotik - Amlodipin 10 mg 0-0-1
Mood : (p.o)
disforik - Captopril 1x25mg (p.o)

15
06/07/2017 Bicara tidak Kontak : sulit - Hipertensi - Olanzapin 5 mg 2x1 (p.o)
nyambung Verbal: (terkontrol) - Atarax 0,5mg 2x1 (p.o)
sedikit, - Depresi dengan - Kalxetin 20 mg 1x1 (p.o)
inkoheren psikotik - Amlodipin 10 mg 0-0-1
Mood : (p.o)
disforik - Captopril 1x25mg (p.o)
07/07/2017 Bicara tidak Kontak : sulit - Hipertensi - Olanzapin 5 mg 2x1 (p.o)
nyambung Verbal: (terkontrol) - Atarax 0,5mg 2x1 (p.o)
sedikit, - Depresi dengan - Kalxetin 20 mg 1x1 (p.o)
inkoheren psikotik - Amlodipin 10 mg 0-0-1
Mood : (p.o)
disforik - Captopril 1x25mg (p.o)
08/07/2017 Bicara tidak Kontak : sulit - Hipertensi - Olanzapin 5 mg 2x1 (p.o)
nyambung Verbal: (terkontrol) - Atarax 0,5mg 2x1 (p.o)
sedikit, - Depresi dengan - Kalxetin 20 mg 1x1 (p.o)
inkoheren psikotik - Amlodipin 10 mg 0-0-1
Mood : (p.o)
disforik - Captopril 1x25mg (p.o)
- Boleh pulang

16
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kelainan Afektif

Istilah kelainan afektif mencakup penyakit-penyakit dengan gangguan afek (mood)

sebagai gejala primer, sedangkan semua gejala lain bersifat sekunder. Afek bisa terus menerus

depresi atau gembira (dalam mania) dan kedua episode ini bisa timbul pada orang yang sama,

karena itu dinamai “psikosis manik-depresif”. Penyakit dengan hanya satu jenis serangan disebut

unipolar, dan jika episode manik dan depresif keduanya ada disebut bipolar. Mood merupakan

subjektivitas peresapan emosi yang dialami dan dapat dutarakan oleh pasien dan terpantau oleh

orang lain; termasuk sebagai contoh adalah depresi, elasi dan marah. Kepustakaan lain,

mengemukakan mood, merupakan perasaan, atau nada “perasaan hati” seseorang, khususnya

yang dihayati secara batiniah.

Pada kajian kasus ini, akan dilakukan pembahasan lebih mendalam mengenai depresi.

Pasien dalam keadaan mood terdepresi memperlihatkan kehilangan energi dan minat, merasa

bersalah, sulit berkonsentrasi, hilangnya nafsu makan, berpikir mati atau bunuh diri. Tanda dan

gejala lain termasuk perubahan dalam tingkat aktivitas, kemampuan kognitif, bicara dan fungsi

vegetative (termasuk tidur, aktivitas seksual dan ritme biologik yang lain). Gangguan ini hampir

selalu menghasilkan hendaya (handicap) interpersonal, sosial dan fungsi pekerjaan (Ismail dkk,

2010).

Klasifikasi gangguan suasana perasaan (mood/afektif) menurut PPDGJ-III:

F30 Episode Manik

F30.0 Hipomania

F30.1 Mania tanpa gejala psikotik

F30.8 Mania dengan gejala psikotik

F30.9 Episode Manik YTT

F31 Gangguan Afektif Bipolar

F31.0 Gangguan afektif bipolar, episode hipomanik

F31.1 Gangguan afektif bipolar, episode kini manik tanpa gejala psikotik

17
F31.2 Gangguan afektif bipolar, episode kini manik dengan gejala psikotik

F31.3 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif ringan atau sedang

.30 Tanpa gejala somatik

.31 Dengan gejala somatik

F31.4 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif berat tanpa gejala psikotik

F31.5 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif berat dengan gejala psikotik

F31.6 Gangguan afektif bipolar, episode kini campuran

F31.7 Gangguan afektif bipolar, episode kini dalam remisi

F31.8 Gangguan afektif bipolar lainnya

F31.9 Gangguan afektif bipolar ytt

F32 Episode Depresif

F32.0 Episode depresif ringan

.00 Tanpa gejala somatik

.01 Dengan gejala somatik

F32.1 Episode depresif sedang

.10 Tanpa gejala somatik

.11 Dengan gejala somatik

F32.2 Episode depresif berat tanpa gejala psikotik

F32.3 Episode depresif berat dengan gejala psikotik

F32.8 Episode depresif lainnya

F32.9 Episode depresif YTT

F33 Gangguan Depresif Berulang

F33.0 Gangguan depresif berulang, episode kini ringan

.00 Tanpa gejala somatik

.01 Dengan gejala somatik

F33.1 Gangguan depresif berulang, episode kini sedang

.10 Tanpa gejala somatik

.11 Dengan gejala somatik

F33.2 Gangguan depresif berulang, episode kini berat tanpa gejala psikotik

18
F33.3 Gangguan depresif berulang, episode kini berat dengan gejala psikotik

F33.4 Gangguan depresif berulang, kini dalam remisi

F33.8 Gangguan depresif berulang lainnya

F33.9 Gangguan depresif berulang YTT

F34 Gangguan Suasana Perasaan (Mood/Afektif) Menetap

F34.0 Siklotimia

F34.1 Distimia

F34.8 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) menetap lainnya

F34.9 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) menetap YTT

F38 Gangguan Suasana Perasaan (Mood/Afektif) Lainnya

F38.0 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) tunggal lainnya

.00 Episode afektif campuran

F38.1 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) berulang lainnya

.10 Gangguan depresif singkat berulang

F38.8 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) lainnya YDT

F39 Gangguan Suasana Perasaan (Mood/Afektif) YTT

B. Definisi

Depresi adalah gangguan psikiatri yang menonjolkan mood sebagai masalahnya,

dengan berbagai gambaran klinis yakni gangguan episode depresif, gangguan distimik, gangguan

depresif mayor dan gangguan depresif unipolar serta bipolar.

Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan

alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu

makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta

gagasan bunuh diri.

Jika gangguan depresif berjalan dalam waktu yang panjang (distimia) maka orang

tersebut dikesankan sebagai pemurung, pemalas, menarik diri dari pergaulan, karena ia

kehilangan minat hampir disemua aspek kehidupannya.

19
C. Angka Kejadian

Gangguan depresi berat, paling sering terjadi, dengan prevalensi seumur hidup sekitar

15%. Perempuan dapat mencapai 25%. Sekitar 10% rawat jalan dan 15% dirawat di rumah sakit.

Pada anak sekolah didapatkan prevalensi sekitar 2%. Pada usia remaja didapatkan prevalensi 5%

dari komunitas memiliki gangguan depresif berat (Ismail dkk, 2010).

1. Jenis Kelamin

Perempuan 2x lipat lebih besar dibanding laki-laki. Diduga adanya perbedaan hormon, pengaruh

melahirkan, perbedaan stressor psikososial antara laki-laki dan perempuan, dan model perilaku

yang dipelajari tentang ketidakberdayaan (Ismail dkk, 2010). Pada pengamatan yang hampir

universal, terdapat prevalensi gangguan depresif berat yang dua kali lebih besar pada wanita

dibandingkan dengan laki-laki. Walaupun alasan adanya perbedaan tersebut tidak diketahui,

beberapa alasan yang diperkirakan adalah keterlibatan perbedaan hormonal, efek kelahiran,

perbedaan stressor psikososial dan model perilaku keputusasaan yang dipelajari (Kaplan, 2010).

Pada penelitian yang dilakukan NIMH (2002) ditemukan bahwa prevalensi yang tinggi pada

wanita dibandingkan pria kemungkinan dikarenakan adanya ketidakseimbangan regulasi

hormone yang langsung mempengaruhi substansi otak yang mengatur emosi dan mood

contohnya dapat dilihat pada situasi PMS (Pre Menstrual Syndrome). Untuk wanita yang telah

menikah, depresi dapat diperparah dengan masalah keluarga dan pekerjaan, merawat anak dan

orangtua lanjut usia, kekerasan dalam rumah tangga dan kemiskinan.

2. Usia

Pada umumnya rata-rata usia onset sekitar 40 tahun. Hampir 50% onset diantara usia 20-50

tahun. Gangguan depresi berat dapat timbul pada masa anak atau lanjut usia. Data terkini

menunjukkan gangguan depresi berat diusia kurang dari 20 tahun sehubungan dengan

meningkatnya pengguna alkohol dan penyalahgunaan zat dalam kelompok usia tersebut.

Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Akhtar (2007) didapatkan bahwa tingkat prevalensi

tertinggi terjadi pada kelompok usia 20-24 tahun (14,3%) dan yang terendah pada kelompok usia

>75 tahun (4,3%), sementara data yang didapatkan dari NIMH (2002) menyebutkan bahwa

tingkat depresi terbanyak ditemukan pada kelompok usia >18 tahun (10%).

20
3. Status Perkawinan

Paling sering terjadi pada orang yang tidak mempunyai hubungan interpersonal yang erat

atau pada mereka yang bercerai atau berpisah. Wanita yang tidak menikah memiliki

kecenderungan lebih rendah untuk menderita depresi dibandingkan dengan wanita yang menikah

namun hal ini berbanding terbalik untuk laki-laki (Ismail dkk, 2010).

4. Faktor Sosioekonomi dan Budaya

Tidak ditemukan korelasi antara status sosioekonomi dan gangguan depresi berat. Depresi

lebih sering terjadi di daerah pedesaan dibanding daerah perkotaan (Ismail dkk, 2010).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh National Academy on An Aging Society (2000)

didapatkan data bahwa pada kelompok responden dengan pendapatan rendah ditemukan tingkat

depresi yang cukup tinggi yaitu sebesar 51%. Pada penelitian Akhtar (2007) ditemukan tingkat

depresi terendah pada kelompok pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) sebesar (9,1%) dan

sebaliknya tingkat depresi yang tertinggi ditemukan pada responden dengan kelompok

pendidikan yang lebih tinggi sebesar 13,4%. Walaupun hasil ini dapat menjadi indikasi adanya

perbedaan tingkat depresi pada tingkat pendidikan, namun hal tersebut tidak memiliki korelasi

positif dengan terjadinya gangguan depresif (Kaplan, 2010).

D. Etiologi

Etiologi depresi terdiri dari:

1. Faktor genetik

Dari penelitian keluarga didapatkan gangguan depresi mayor dan gangguan bipolar

terkait erat dengan hubungan saudara; juga pada anak kembar, suatu bukti adanya kerentanan

biologik, pada genetik keluarga tersebut. Data genetik dengan kuat menyatakan bahwa suatu

faktor yang penting di dalam perkembangan gangguan mood adalah genetika. Pola penurunan

genetika adalah jelas melalui mekanisme yang kompleks. Bukan saja tidak mungkin untuk

menyingkirkan efek psikososial, tetapi faktor non genetik kemungkinan memainkan peranan

kausatif dalam perkembangan gangguan mood pada sekurangnya beberapa orang. Penelitian

21
keluarga menemukan bahwa sanak saudara derajat pertama dari penderita gangguan depresif

berat berkemungkinan 2 sampai 3 kali lebih besar daripada sanak saudara derajat pertama

(Kaplan, 2010; Tomb, 2004).

2. Faktor Biokimia

Sejumlah besar penelitian telah melaporkan berbagai kelainan di dalam metabolit amin

biogenik yang mencakup neurotransmitter norepinefrin, serotonin dan dopamine (Gambar 1).

Dalam penelitian lain juga disebutkan bahwa selain faktor neurotransmitter yang telah

disebutkan di atas, ada beberapa penyebab lain yang dapat mencetuskan timbulnya depresi yaitu

neurotransmitter asam amino khususnya GABA (Gamma-Aminobutyric Acid) dan peptide

neuroaktif, regulasi neurendokrin dan neuroanatomis (Kaplan, 2010).

Pada regulasi neuroendokrin, gangguan mood dapat disebabkan terutama oleh adanya

kelainan pada sumbu adrenal, tiroid dan hormone pertumbuhan. Selain itu kelainan lain yang

telah digambarkan pada pasien dengan gangguan mood adalah penurunan sekresi nocturnal

melantonin, penurunan pelepasan prolaktin terhadap pemberian tryptophan, penurunan kadar

dasar FSH (Follicle Stimullating Hormon) dan LH (Luteinizing Hormon), dan penurunan kadar

testosteron pada laki-laki.

22
Gambar 1. Mekanisme Terjadinya Depresi dengan Etiologi Neurotransmitter

Ada dua hipotesis terjadinya depresi secara biokimia, yaitu:

a. Hipotesis Katekolamin

Beberapa penyakit depresi berhubungan dengan defisiensi katekolamin pada reseptor otak.

Reserpin yang menekan amin otak diketahui kadang-kadang menimbulkan depresi lambat

(Ingram dkk, 1993). Disamping itu, MHPG (Metabolit primer noradrenalin otak) menurun dalam

urin pasien depresi sewaktu mereka mengalami episode depresi dan meningkat di saat mereka

gembira.

b. Hipotesis Indolamin

Hipotesis indolamin membuat pernyataan serupa untuk 5- hidroxitriptamin (5 HT).

Metabolit utamanya asam 5-hidroksi indolasetat (5HIAA) menurun dalam LCS pasien depresi,

23
dan 5 HIAA rendah pada otak pasien yang bunuh diri. L-Triptofan, yang mempunyai efek

antidepresi meningkatkan 5HT otak.

3. Faktor Hormon

Kelainan depresi mayor dihubungkan dengan hipersekresi kortisol dan kegagalan

menekan sekresi kortisol sesudah pemberian dexametason. Pasien depresi resisten terhadap

penekanan dexametason dan hasil abnormal ini didapatkan pada sekitar 50% pasien, terutama

pada pasien dengan depresi bipolar, waham dan ada riwayat penyakit ini dalam keluarga.

Kejadian depresi pada wanita dua kali lebih sering dihubungkan dengan pruerperium

atau menopause. Bunuh diri dan saat masuk rumah sakit biasanya sebelum menstruasi. Selama

penyakit afektif berlangsung sering timbul amenore. Hal ini menggambarkan bahwa gangguan

endokrin mungkin merupakan faktor penting dalam menentukan etiologi.

4. Faktor Kepribadian Premorbid

Personalitas siklotimik menjadi sasaran gangguan afek ringan selama hidupnya,

keadaan ini tidak berhubungan dengan penyebab eksterna. Kepribadian depresi ditunjukkan

dengan perilaku murung, pesimis dan kurang bersemangat. Personalitas hipomania berperilaku

lebih riang, energetik dan lebih ramah dari rata-rata (Ismail dkk, 2010).

Mereka dengan rasa percaya diri rendah, senantiasa melihat dirinya dan dunia luar

dengan penilaian pesimistik. Jika mereka mengalami stres besar, mereka cenderung akan

mengalami depresi. Para psikolog menyatakan bahwa mereka yang mengalami gangguan

depresif mempunyai riwayat pembelajaran depresi dalam pertumbuhan perkembangan dirinya.

Mereka belajar seperti model yang mereka tiru dalam keluarga, ketika menghadapi masalah

psikologik maka respon mereka meniru perasaan, pikiran dan perilaku gangguan depresif.

Orang belajar dengan proses adaptif dan maladaptif ketika menghadapi stres kehidupan

dalam kehidupannya di keluarga, sekolah, sosial dan lingkungan kerjanya. Faktor lingkungan

mempengaruhi perkembangan psikologik dan usaha seseorang mengatasi masalah. Faktor

pembelajaran sosial juga menerangkan kepada kita mengapa masalah psikologik kejadiannya

lebih sering muncul pada anggota keluarga dari generasi ke generasi. Jika anak dibesarkan dalam

24
suasana pesimistik, dimana dorongan untuk keberhasilan jarang atau tidak biasa, maka anak itu

akan tumbuh dan berkembang dengan kerentanan tinggi terhadap gangguan depresif (Ismail dkk,

2010).

5. Faktor Lingkungan

Enam bulan sebelum depresi, pasien depresi mengalami lebih banyak peristiwa dalam

hidupnya. Mereka merasa kejadian ini tidak memuaskan dan mereka keluar dari lingkungan

sosial. 80% serangan pertama depresi didahului oleh stress, tetapi angka ini akan jatuh menjadi

hanya 50% pada serangan berikutnya. Pasien depresi diketahui juga lebih sering pada anak yang

kehilangan orang tua di masa kanak-kanak dibandingkan dengan populasi lainnya (Ingram dkk,

1993).

Menurut Freud, kehilangan obyek cinta, seperti orang yang dicintai, pekerjaan

tempatnya berdedikasi, hubungan relasi, harta, sakit terminal, sakit kronis dan krisis dalam

keluarga merupakan pemicu episode gangguan depresif. Seringkali kombinasi faktor biologik,

psikologik dan lingkungan merupakan campuran yang membuat gangguan depresif muncul

(Ismail dkk, 2010).

Satu pengamatan klinis yang telah lama direplikasi adalah bahwa peristiwa kehidupan

yang menyebabkan stress lebih sering mendahului episode pertama gangguan mood daripada

episode selanjutnya (Kaplan, 2010; Slotten, 2004). Satu teori yang diajukan untuk menjelaskan

pengamatan tersebut adalah bahwa stress yang menyertai episode pertama menyebabkan

perubahan biologi otak yang bertahan lama. Perubahan yang bertahan lama tersebut dapat

menyebabkan perubahan keadaan fungsional berbagai neurotransmitter dan system pemberi

sinyal intraneuronal. Hasil akhir dari perubahan tersebut akan menyebabkan seseorang berada

pada resiko yang lebih tinggi untuk menderita episode gangguan mood selanjutnya, bahkan tanpa

adanya stresor external (Kaplan, 2010).

E. Klasifikasi

1. Episode Depresif

25
Pada semua tiga variasi dari episode depresif khas yang tercantum di bawah ini: ringan,

sedang dan berat, individu biasanya menderita suasana perasaan (mood) yang depresif,

kehilangan minat dan kegembiraan, dan berkurangnya energy yang menuju meningkatnya

keadaan mudah lelah dan berkurangnya aktivitas. Biasanya ada rasa lelah yang nyata sesudah

kerja sedikit saja. Gejala lazim lainnya adalah:

a. Konsentrasi dan perhatian berkurang

b. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang

c. Gagasan tentang perasaan bersalah dan tidak berguna (bahkan pada tipe ringan)

d. Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis

e. Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri

f. Tidur terganggu

g. Nafsu makan berkurang

Suasana perasaan (mood) yang menurun itu berubah sedikit dari hari ke hari, dan sering

kali tak terpengaruh oleh keadaan sekitarnya, namun dapat memperlihatkan variasi diurnal yang

khas seiring berlalunya waktu. Sebagaimana pada episode manik, gambaran klinisnya juga

menunjukkan variasi individual yang mencolok, dan gambaran tak khas adalah lumrah, terutama

di masa remaja. Pada beberapa kasus, anxietas, kegelisahan dan agitasi motorik mungkin pada

waktu-waktu tertentu lebih menonjol daripada depresinya, dan perubahan suasana perasaan

(mood) mungkin juga terselubung oleh ciri tambahan seperti iritabilitas, minum alkohol berlebih,

perilaku histrionik, dan eksaserbasi gejala fobik atau obsesif yang sudah ada sebelumnya, atau

oleh preokupasi hipokondrik. Untuk episode depresif dari ketiga-tiganya tingkat keparahan,

biasanya diperlukan masa sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakkan diagnosis, akan

tetapi periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan berlangsung

cepat (Depkes RI, 1993).

Contoh paling khas ialah kehilangan minat pada kegiatan yang biasanya dapat

dinikmati, tiadanya reaksi emosional terhadap lingkungan atau peristiwa yang biasanya

menyenangkan, bangun pagi lebih awal 2 jam atau lebih daripada biasanya, depresi yang lebih

parah pada pagi hari, bukti objektif dari retardasi atau agitasi psikomotor yang nyata (dilaporkan

oleh orang lain), kehilangan nafsu makan secara mencolok, penurunan berat badan (sering

26
ditentukan sebagai ≥5% berat badan bulan terakhir), kehilangan libido secara mencolok.

Biasanya, sindrom somatik ini hanya dianggap ada apabila sekitar empat dari gejala itu pasti

dijumpai.

F32.0 Episode depresif ringan

Suasana perasaan mood yang depresif, kehilangan minat dan kesenangan, dan mudah

menjadi lelah biasanya dipandang sebagai gejala depresi yang paling khas; sekurang-kurangnya

dua dari ini, ditambah sekurang-kurangnya dua gejala lazim di atas harus ada untuk menegakkan

diagnosis pasti. Tidak boleh ada gejala yang berat di antaranya. Lamanya seluruh episode

berlangsung ialah sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu (Depkes RI, 1993).

Individu yang mengalami episode depresif ringan biasanya resah tentang gejalanya dan agak

sukar baginya untuk meneruskan pekerjaan biasa dan kegiatan social, namun mungkin ia tidak

akan berhenti berfungsi sama sekali (Depkes RI, 1993).

F32.1 Episode depresif sedang

Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala yang paling khas yang ditentukan untuk

episode depresif ringan, ditambah sekurang-kurangnya tiga (dan sebaiknya empat) gejala

lainnya. Beberapa gejala mungkin tampil amat menyolok, namun ini tidak esensial apabila

secara keseluruhan ada cukup banyak variasi gejalanya. Lamanya seluruh episode berlangsung

minimal sekitar 2 minggu (Depkes RI, 1993). Individu dengan episode depresif sedang biasanya

menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan dan urusan rumah

tangga (Depkes RI, 1993).

F32.2 Episode depresif berat tanpa gejala psikotik

Pada episode depresif berat, penderita biasanya menunjukkan ketegangan atau

kegelisahan yang amat nyata, kecuali apabila retardasi merupakan ciri terkemuka. Kehilangan

harga diri dan perasaan dirinya tak berguna mungkin mencolok, dan bunuh diri merupakan

bahaya nyata terutama pada beberapa kasus berat. Anggapan di sini ialah bahwa sindrom

somatik hampir selalu ada pada episode depresif berat.

27
Semua tiga gejala khas yang ditentukan untuk episode depresif ringan dan sedang harus ada,

ditambah sekurang-kurangnya empat gejala lainnya, dan beberapa diantaranya harus

berintensitas berat. Namun, apabila gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi) menyolok,

maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk melaporkan banyak gejalanya secara

terinci. Dalam hal demikian, penentuan menyeluruh dalam subkategori episode berat masih

dapat dibenarkan. Episode depresif biasanya seharusnya berlangsung sekurang-kurangnya 2

minggu, akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat, maka mungkin dibenarkan

untuk menegakkan diagnosis dalam waktu kurang dari 2 minggu.

Selama episode depresif berat, sangat tidak mungkin penderita akan mampu meneruskan

kegiatan sosial, pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas.

Kategori ini hendaknya digunakan hanya untuk episode depresif berat tunggal tanpa gejala

psikotik; untuk episode selanjutnya harus digunakan subkategori gangguan depresif berulang.

F32.3 Episode depresif berat dengan gejala psikotik

Episode depresif berat yang memenuhi kriteria menurut F32.2 tersebut di atas, disertai

waham, halusinasi atau stupor depresif. Wahamnya biasanya melibatkan ide tentang dosa,

kemiskinan atau malapetaka yang mengancam, dan pasien dapat merasa bertanggung jawab atas

hal itu. Halusinasi auditorik atau olfaktorik biasanya berupa suara yang menghina atau menuduh

atau bau kotoran atau daging membusuk. Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju pada

stupor. Jika diperlukan, waham atau halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi atau tidak serasi

dengan suasana perasaan (mood).

F32.8 Episode depresif lainnya

Episode yang termasuk di sini adalah yang tidak sesuai dengan gambaran yang

diberikan untuk episode deprresif pada F32.0-F32.3, meskipun kesan diagnostik menyeluruh

menunjukkan sifatnya sebagai depresi. Contohnya termasuk campuran gejala depresif

(khususnya jenis somatik) yang berfluktuasi dengan gejala non diagnostik seperti ketegangan,

keresahan dan penderitaan; dan campuran gejala depresif somatik dengan nyeri atau keletihan

menetap yang bukan akibat penyebab organic.

28
F32.9 Episode depresif YTT

F33 Gangguan Depresif Berulang

Gangguan ini tersifat dengan episode berulang dari depresi sebagaimana dijabarkan

dalam episode depresif ringan, sedang, atau berat, tanpa riwayat adanya episode tersendiri dari

peninggian suasana perasaan dan hiperaktivitas yang memenuhi kriteria mania dan hiperaktivitas

ringan yang memenuhi kriteria hipomania segera sesudah suatu episode depresif (kadang-kadang

tampaknya dicetuskan oleh tindakan pengobatan depresi). Usia dari onset, keparahan, lamanya

berlangsung, dan frekuensi episode dari depresi, semuanya sangat bervariasi. Umumnya episode

pertama terjadi pada usia lebih tua dibanding dengan gangguan bipolar, dengan usia onset rata-

rata lima puluhan. Episode masing-masing juga lamanya antara 3 dan 12 bulan (rata-rata

lamanya sekitar 6 bulan) akan tetapi frekuensinya lebih jarang. Pemulihan keadaaan biasanya

sempurna di antara episode, namun sebagian kecil pasien mungkin mendapat depresi yang

akhirnya menetap, terutama pada usia lanjut (untuk keadaan ini, kategori ini harus tetap

digunakan). Bagaimanapun seringnya seseorang pasien gangguan depresif berulang mengalami

episode depresif sebagai penderitaan, tidak mustahil baginya akan mengalami episode manik.

Jika ternyata terjadi episode manik, maka diagnosisnya harus diubahmenjadi gangguan afektif

bipolar.

F. Gambaran Klinik

Adapun gambaran klinik dari pasien depresi ini antara lain:

 Adanya gejala psikologis berupa penurunan vitalitas umum, yang mungkin dinyatakan pasien

sebagai suatu kehilangan dan sedih. Biasanya dia menarik diri dari kehidupan sosialnya. Segala

sesuatu kelihatannya tanpa harapan, selalu murung, ansietas mungkin ada atau pasien mungkin

mencoba untuk menyembunyikan keluhannya (depresi senyum).

 Variasi diurnal, dimana semua gejala cenderung memburuk pada dini hari dan membaik di siang

hari.

29
 Bunuh diri, dapat menjadi tanda awal penyakit. Kemungkinan bunuh diri sulit diduga

sebelumnya, tetapi selalu harus diperhitungkan. Pikiran bunuh diri seharusnya selalu ditanyakan

dan jika ada harus dianggap serius. Penderita depresi jarang membunuh keluarganya, tetapi kalau

terjadi biasanya karena dia merasa harus menyelamatkan keluarganya dari kehidupan yang

sengsara.

 Retardasi atau perlambatan berpikir biasa ditemukan dan dicerminkan dalam pembicaraan serta

pergerakannya. Ada kemiskinan pikiran dan kesulitan berkonsentrasi. Pada kasus lain agitasi

mungkin menjadi gejala dominan, disertai dengan adanya kegelisahan motorik yang nyata.

 Perasaan bersalah sering ditemukan disertai mengomeli diri sendiri dan turunnya penilaian diri.

Dalam kasus berat, bisa timbul waham dimana penyakit yang dideritanya merupakan suatu

hukuman untuk dosanya di masa lampau, baik itu dosa yang dikhayalkannya maupun kesalahan

yang memang benar-benar pernah ia lakukan. Pasien juga bisa merasa bahwa dia dipandang

rendah dan dituduh bejad oleh orang lain. Kemungkinan ada keasyikan sendiri, hipokondriasis

dan waham hipokondria. Mungkin juga ada waham kemiskinan atau waham nihilistik.

 Halusinasi jarang ditemukan, tetapi dapat timbul pada kasus berat.

 Depersonalisasi dan derealisasi tidak jarang terjadi. Pasien menyatakan bahwa dia kehilangan

perasaan dan mempunyai sensasi asing. Dia merasa tidak nyata dan baginya benda-benda terlihat

tidak nyata.

 Pikiran dan tindakan berisi perasaan bersalah atau menyalahkan diri sendiri

 Insomnia sering ditemukan. Gejala khasnya pasien mula-mula bangun dini hari, kemudian

semakin lama semakin pagi, hingga insomnia total.

 Anoreksia, konstipasi, gangguan pencernaan, penurunan berat badan, amenore dan kehilangan

libido biasa ditemukan. Mungkin terjadi kelelahan dan letargi, atau tanda autonom ansietas.

Pikiran untuk melakukan bunuh diri dapat timbul pada sekitar dua pertiga pasien

depresi, dan 10-15% melakukan bunuh diri. Mereka yang dirawat dirumah sakit dengan

percobaan bunuh diri dan ide bunuh diri mempunyai umur hidup lebih panjang dibanding yang

tidak dirawat. Beberapa pasien depresi terkadang tidak sadar mengalami depresi dan tidak

mengeluh tentang gangguan mood meskipun mereka menarik diri dari keluarga, teman dan

aktifitas yang sebelumnya menarik bagi dirinya.

30
Hampir semua pasien depresi (97%) mengeluh tentang penurunan energy dimana

mereka mengalami kesulitan menyelesaikan tugas, mengalami kendala di sekolah dan pekerjaan,

dan menurunnya motivasi untuk terlibat dalam kegiatan baru. Sekitar 80% pasien mengeluh

masalah tidur, khusunya terjaga dini hari (terminal insomnia) dan sering terbangun dimalam hari

karena memikirkan masalah yang dihadapi. Kebanyakan pasien menunjukkan peningkatan atau

penurunan nafsu makan, demikian pula dengan bertambah dan menurunnya berat badan serta

mengalami tidur lebih lama dari yang biasa.

G. Diagnosis

Konsep gangguan jiwa yang terdapat dalam PPDGJ III merujuk kepada DSM-IV dan

konsep disability berasal dari The ICD-10 Classification of Mental and Behavioral Disorders.

Menurut PPDGJ, gangguan afektif berupa depresi dapat terbagi menjadi episode depresif dan

episode depresif berulang, dimana episode depresif sendiri terbagi menjadi episode depresif

ringan, sedang, dan berat. Sedangkan untuk episode berulang terbagi menjadi episode berulang

episode kini ringan, episode kini sedang, episode kini berat tanpa gejala psikotik, episode kini

berat dengan gejala psikotik dan episode kini dalam remisi.

DSM-IV mendefinisikan sejumlah gangguan psikiatrik yang dapat diidentifikasi dan

berisi kriteria diagnostik yang spesifik untuk setiap diagnosis. Diagnosis dibuat berdasarkan

kenyataan dari riwayat pasien yang khas dan tampilan klinis yang cocok dan memenuhi sejumlah

kriteria diagnostik yang ditentukan (suatu diagnostik politetik, tidak perlu seluruh kriteria

dipenuhi untuk membuat diagnosa). Di samping kriteria yang ditentukan secara operasional,

DSM-IV juga menggunakan sistem klasifikasi multiaksial untuk menangkap informasi penting

lainnya, yaitu:

1. Aksis I : Gangguan-gangguan klinis yang digambarkan di atas.

2. Aksis II : Gangguan-gangguan kepribadian atau retardasi mental

3. Aksis III : Gangguan fisik yang berhubungan dengan gangguan mental

4. Aksis IV : Daftar masalah psikososial dan lingkungan, biasanya selama setahun sebelumnya, tetapi tidak

selalu demikian, seperti tidak punya pekerjaan, perceraian, problem keuangan, penelantaran

anak, dll.

31
DSM-IV telah menyusun gangguan mood tambahan baik di dalam badan teks dan

didalam appendiks. Gangguan-gangguan tersebut adalah sindrom yang berhubungan dengan

depresi, berupa gangguan depresif ringan (minor depressive disorder), gangguan depresif singkat

rekuren, dan gangguan disforik pramenstruasi. Pada gangguan depresif ringan keparahan gejala

tidak mencapai keparahan yang diperlukan untuk diagnosis gangguan depresif berat. Pada

gangguan depresif singkat rekuren gejala episode depresif memang mencapai keparahan gejala

yang diperlukan untuk diagnosis gangguan depresif berat tetapi hanya untuk waktu singkat,

dengan lama waktu yang tidak memenuhi kriteria diagnostik untuk gangguan depresif berat.

DSM-IV menuliskan kriteria diagnostik untuk gangguan depresif berat secara terpisah dari

kriteria diagnostik untuk diagnosis berhubungan dengan depresi, dan juga menuliskan deskriptor

keparahan untuk episode depresif berat.

 Depresif Berat dengan Ciri Psikotik

Adanya ciri psikotik pada gangguan depresif berat mencerminkan penyakit yang parah

dan merupakan indikator prognostik yang buruk.

 Depresif Berat dengan Ciri Melankolik

Kelompok ini lebih responsive terhadap terapi farmakologi daripada pasien

nonmelankolik.

 Depresif Berat dengan Ciri Atipikal

Ciri atipikal klasik adalah makan berlebihan dan tidur berlebihan.

H. Pemeriksaan

Selain dari klasifikasi yang telah dipaparkan di atas, ada beberapa instrumen-instrumen

pengukur tingkat depresi yang dapat digunakan untuk membantu memberikan penilaian yang

objektif terhadap kondisi depresi yang dialami oleh pasien. Berikut ini adalah beberapa

instrumen yang sering digunakan, yaitu:

a. Beck’s Depression Inventory (BDI)

b. Hamilton Depression Scale

c. The Zung Self-Rating Depression Scale

32
BDI adalah tes depresi untuk mengukur keparahan dan kedalaman dari gejala depresi

seperti yang tertera dalam DSM-IV pada pasien dengan depresi klinis. BDI dapat digunakan

untuk dewasa ataupun remaja yang berumur 13 tahun ke atas dan merupakan sebuah ukuran

standar dari depresi yang terutama digunakan dalam penelitian dan untuk mengevaluasi dari

efekttivitas pengobatan dan terapi.

BDI tidak dapat digunakan sebagai instrumen untuk mendiagnosis, tetapi lebih kepada

identifikasi dari adanya depresi dan tingkat keparahannya sesuai dengan criteria dari DSM-IV.

Pertanyaan-pertanyaan yang tertera pada BDI menilai gejala-gejala khas dari depresi seperti

gangguan mood, pesimisme, perasaan gagal, ketidakpuasan diri, perasaan bersalah, merasa

dihukum, ketidaksukaan terhadap diri sendiri, pendakwaan terhadap diri, pikiran untuk bunuh

diri, menangis, irittabilitas, penarikan diri dari kehidupan sosial, gambaran tubuh, kesulitan

bekerja, insomnia, kelelahan, nafsu makan, kehilangan berat badan dan kehilangan libido.

I. Diagnosis Banding

Anamnesa dan pemeriksaan fisik yang tidak cermat dan teliti pada penderita depresi,

dapat menyebabkan kesalahan diagnostik sehingga menyebabkan terapi yang inadekuat untuk

pasien. Berdasarkan Kaplan 2010, ada beberapa kondisi yang harus benar-benar diperhatikan

sebagai diagnosa banding dari depresi, diantaranya adalah:

1. Remaja yang terdepresi harus diuji untuk mononucleosis,

2. Pasien dengan masalah berat badan harus diuji untuk disfungsi adrenal dan tiroid,

3. Homoseksual, biseksual dan pengguna zat aditif harus diuji untuk sindrom imunodefisiensi

sindrom (AIDS),

4. Pasien lanjut usia harus diuji untuk pneumonia virus dan kondisi medis lainnya,

5. Penyakit Parkinson

J. Terapi

Pengobatan pasien dengan gangguan mood harus diamanahkan pada sejumlah tujuan.

Pertama, keamanan pasien harus terjamin. Kedua, pemeriksaan diagnostik yang lengkap pada

pasien harus dilakukan. Ketiga, suatu rencana pengobatan harus dimulai yang menjawab bukan

33
hanya gejala sementara tetapi juga kesehatan pasien selanjutnya (Kaplan, 2010). Dokter harus

mengintegrasikan farmakoterapi dengan intervensi psikoterapeutik. Jika dokter memandang

gangguan mood pada dasarnya berkembang dari masalah psikodinamika, ambivalensi mengenai

kegunaan obat dapat menyebabkan respons yang buruk, ketidakpatuhan, dan kemungkinan dosis

yang tidak adekuat untuk jangka waktu yang singkat. Sebaliknya, jika dokter mengabaikan

kebutuhan psikososial pasien, hasil dari farmakoterapi terganggu (NIMH, 2002).

 Terapi Farmakologis

Antidepresan yang tersedia sekarang cukup bervariasi di dalam efek farmakologisnya.

Variasi tersebut merupakan dasar untuk pengamatan bahwa pasien individual mungkin

berespons terhadap antidepresan lainnya. Variasi tersebut juga merupakan dasar untuk

membedakan efek samping yang terlihat pada antidepresan. Pembedaan yang paling dasar

diantara antidepresan adalah pada proses farmakologis yang terjadi. Ada antidepresan yang

memiliki efek farmakodinamika jangka pendek utamanya pada tempat ambilan kembali

(reuptake sites) atau pada tingkat inhibisi enzim monoamine oksidasi yang bekerja untuk

menormalkan neurotransmitter yang abnormal di otak khususnya epinefrin dan norepinefrin.

Antidepresan lain bekerja pada jaras dopamin. Hal ini sesuai dengan etiologi dari

depresi yang kemungkinan diakibatkan dari abnormalitas dari sistem neurotransmitter di otak

(NIMH, 2002). Obat antidepresan yang akan dibahas adalah antidepresi generasi pertama

(Trisiklik dan MAOIs), antidepresi golongan kedua (SSRIs) dan antidepresi golongan ketiga

(SRNIs).

a. Trisiklik

Trisiklik merupakan antidepresan yang paling umum digunakan sebagai pengobatan lini

pertama untuk gangguan depresif berat (Kaplan, 2010). Golongan trisiklik ini dapat dibagi

menjadi beberapa golongan, yaitu trisiklik primer, tetrasiklik amin sekunder (nortriptyline,

desipramine) dan tetrasiklik tersier (imipramine, amitriptlyne). Dari ketiga golongan obat

tersebut, yang paling sering digunakan adalah tetrasiklik amin sekunder karena mempunyai efek

samping yang lebih minimal. Obat golongan tetrasiklik sering dipilih karena tingkat kepuasan

34
klinisi dikarenakan harganya yang murah karena sebagian besar golongan dari obat ini tersedia

dalam formulasi generik (Kaplan, 2010).

Golongan obat trisiklik bekerja dengan menghambat reuptake neurotransmitter di otak.

Secara biokimia, obat amin sekunder diduga bekerja sebagai penghambat reuptake norepinefrin,

sedangkan amin tersier menghambat reuptake serotonin pada sinaps neuron. Hal ini mempunyai

implikasi bahwa depresi akibat kekurangan norepinefrin lebih responsive terhadap amin

sekunder, sedangkan depresi akibat kekurangan serotonin akan lebih responsive terhadap amin

tersier (Arozal, 2007).

b. MAOIs (Monoamine Oxidase Inhibitors)

MAOIs telah digunakan sebagai antidepresan sejak 15 tahun yang lalu. Golongan ini

bekerja dalam proses penghambatan deaminasi oksidatif katekolamin di mitokondria, akibatnya

kadar epinefrin, noreprinefrin dan 5-HT dalam otak naik.

Obat ini sekarang jarang digunakan sebagai lini pertama dalam pengobatan depresi

karena bersifat sangat toksik bagi tubuh. Selain karena dapat menyebabkan krisis hipertensif

akibat interaksi dengan tiramin yang berasal dari makanan-makanan tertentu seperti keju, anggur

dan acar, MAOIs juga dapat menghambat enzim-enzim di hati terutama sitokrom P450 yang

akhirnya akan mengganggu metabolisme obat di hati. (Kaplan, 2010).

c. SSRIs (Selective Serotonin Reuptake Inhibitors)

SSRIs adalah jenis pengobatan yang juga menjadi pilihan lini pertama pada gangguan

depresif berat selain golongan trisiklik (Kaplan, 2010). Obat golongan ini mencakup fluoxetine,

citalopram dan setraline. SSRIs sering dipilih oleh klinisi yang pengalamannya mendukung data

penelitian bahwa SSRIs sama manjurnya dengan trisiklik dan jauh lebih baik ditoleransi oleh

tubuh karena mempunyai efek samping yang cukup minimal karena kurang memperlihatkan

pengaruh terhadap system kolinergik, adrenergik dan histaminergik. Interaksi farmakodinamik

yang berbahaya akan terjadi bila SSRIs dikombinasikan dengan MAOIs, karena akan terjadi

peningkatan efek serotonin secara berlebihan yang disebut sindrom serotonin dengan gejala

hipertermia, kejang, kolaps kardiovaskular dan gangguan tanda vital.

35
d. SNRIs (Serotonin and Norepinephrine Inhibitors)

Golongan antidepresan SNRIs bekerja dengan mekanisme yang hampir sama dengan

golongan SSRIs, hanya saja pada SNRIs juga menghambat dari reuptake norepinefrin (NIMH,

2002).

Selain dari golongan obat yang telah dibahas sebelumnya, masih ada beberapa alternatif

yang digunakan untuk terapi medikamentosa pada pasien depresi dengan keadaan tertentu. Hal

tersebut dapat terlihat lebih jelas pada gambar di bawah ini.

Gambar 2. Pilihan obat-obatan antidepresan pada lini pertama

 Terapi Non Farmakologis

Tiga jenis psikoterapi jangka pendek yang digunakan dalam pengobatan depresif berat

adalah terapi kognitif, terapi interpersonal dan terapi perilaku. NIMH (2002) telah menemukan

predictor respons terhadap berbagai pengobatan sebagai berikut ini : (1) disfungsi sosial yang

36
rendah menyatakan respons yang baik terhadap terapi interpersonal, (2) disfungsi kognitif yang

rendah menyatakan respons yang baik terhadap terapi kognitif-perilaku dan farmakoterapi, (3)

disfungsi kerja yang tinggi mengarahkan respons yang baik terhadap farmakoterapi, (4)

keparahan depresi yang tinggi menyatakan respons yang baik terhadap terapi interpersonal dan

farmakoterapi.

Pada awalnya, terapi ini dikembangkan oleh Aaron Beck yang memusatkan pada

distorsi kognitif yang didalilkan ada pada gangguan depresi berat. Tujuan terapi ini untuk

menghilangkan episode depresif dan mencegah rekurennya dengan membantu pasien

mengidentifikasi dan uji kognitif negative.

Terapi interpersonal dikembangkan oleh Gerald Klerman, memusatkan pada satu atau

dua masalah interpersonal pasien yang sedang dialami sekarang, dengan menggunakan dua

anggapan: pertama, masalah interpersonal sekarang kemungkinan memiliki akar pada hubungan

awal yang disfungsional. Kedua, masalah interpersonal sekarang kemungkinan terlibat di dalam

mencetuskan atau memperberat gejala depresif sekarang (Kaplan, 2010).

K. Prognosis

Gangguan mood cenderung memiliki perjalanan penyakit yang panjang dan pasien

cenderung mengalami kekambuhan. Episode depresif yang tidak diobati berlangsung 6 sampai

13 bulan, sementara sebagian besar episode yang diobati berlangsung kira-kira 3 bulan.

Menghentikan antidepresan sebelum 3 bulan hampir selalu menyebabkan kembalinya gejala.

Pasien yang dirawat di rumah sakit untuk episode pertama gangguan depresif berat

memiliki kemungkinan 50% untuk pulih dalam tahun pertama. Episode ringan, tidak adanya

gejala psikotik, fungsi keluarga yangstabil, tidak adanya gangguan kepribadian, tinggal dalam

waktu singkat di rumah sakit, dan tidak lebih dari satu kali perawatan di rumah sakit adalah

indikator prognostik yang baik. Prognosis buruk dapat meningkat oleh adanya penyerta

gangguan distimik, penyalahgunaan alkohol dan zat lain, gejala gangguan kecemasan dan

riwayat lebih dari satu episode sebelumnya. (Kaplan, 2010).

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Sadock BJ, VA Sadock. Kaplan and Sadock's Synopsis of Psychiatry10th Ed. USA: Lippincott

Williams & Wilkins. 2007.

2. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Riskesdas 2013.

Jakarta : Penerbit Departemen Kesehatan RI.2013.

3. Maslim, Rusdi. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa: Rujukan Ringkas dari PPDGJ – III.

Jakarta: Penerbit Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya. 2001.

4. Agus, Dharmady. Psikopatologi. Dasar di dalam memahami Tanda dan Gejala dari suatu

Gnagguan Jiwa. Jakarta: Penerbit Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya. 2009.

38

Anda mungkin juga menyukai