Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

HALUSINASI

A. Kasus/Masalah Utama: Halusinasi


1. Pengertian Halusinasi
Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana pasien
mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca
indra tanda ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang dialami suatu
persepsi melalui panca indra tanpa stimullus eksteren: persepsi palsu (Prabowo,
2014).
Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan
rangsangan internal (pikiran) dan rangsnagan eksternal (dunia luar). Klien
memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau
rangsangan yang nyata. Sebagai contoh klien mengatakan mendengar suara
padahal tidak ada orang yang berbicara (Kusumawati & Hartono, 2012).
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa di mana klien mengalamai
perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan,
pengecapan, perabaaan atau penghiduan. Klien merasakan stimulus yang
sebetulnya tidak ada (Damaiyanti, 2012).
2. Jenis-jenis Halusinasi
Halusinasi terdiri dari beberapa jenis, dengan karakteristik tertentu, diantaranya :
1. Halusinasi Pendengaran ( akustik, audiotorik)
Gangguan stimulus dimana pasien mendengar suara-suara terutama suara-
suara orang, biasanya pasien mendengar suara orang yang sedang
membicarakan apa yang sedang dipikirkannya dan memerintahkan untuk
melakukan sesuatu.
2. Halusinasi Pengihatan (visual)
Stimulus visual dalam bentuk beragam seperti bentuk pencaran cahaya,
gambaraan geometrik, gambar kartun dan/ atau panorama yang luas dan
kompleks. Bayangan bias bisa menyenangkan atau menakutkan.
3. Halusinasi Penghidu (Olfaktori)
Gangguan stimulus pada penghidu, yamg ditandai dengan adanya bau busuk,
amis, dan bau yang menjijikan seperti : darah, urine atau feses. Kadang-
kadang terhidu bau harum.Biasnya berhubungan dengan stroke, tumor, kejang
dan dementia.
4. Halusinasi Peraba (Taktil, Kinaestatik)
Gangguan stimulus yang ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak enak
tanpa stimulus yang terlihat. Contoh merasakan sensasi listrik datang dari
tanah, benda mati atau orang lain.
5. Halusinasi Pengecap (Gustatorik)
Gangguan stimulus yang ditandai dengan merasakan sesuatu yang busuk,
amis, dan menjijikkan.
6. Halusinasi sinestetik
Gangguan stimulus yang ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti
darah mengalir melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau pembentukan
urine.
7. Halusinasi Viseral
Timbulnya perasaan tertentu di dalam tubuhnya.
a. Depersonalisasi adalah perasaan aneh pada dirinya bahwa pribadinya
sudah tidak seperti biasanya lagi serta tidak sesuai dengan kenyataan yang
ada. Sering pada skizofrenia dan sindrom obus parietalis. Misalnya sering
merasa dirinya terpecah dua.
b. Derelisasi adalah suatu perasaan aneh tentang lingkungan yang tidak
sesuai dengan kenyataan. Misalnya perasaan segala suatu yang dialaminya
seperti dalam mimpi.
(Damaiyanti, 2012)

3. Tingkatan/Fase Halusinasi
Tahapan terjadinya halusinasi terdiri dari 4 fase dan setiap fase memiliki
karakteristik yang berdeda yaitu:
1. Fase I
Pasien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas, kesepian, rasa bersalah
dan takut serta mencoba berfokus pada pikiran yang menyenangkan untuk
meredakan ansietas.Di sini pasien tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai,
menggerakkan lidah tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, diam dan asyik
sendiri.
2. Fase II
Pengalaman sensori menjijikan dan menakutkan.Pasien mulai lepas kendali
dan mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan sumber
dipersepsikan.Disini terjadi peningkatan tanda-tanda sistem saraf otonom
akibat ansietas seperti peningkatan tanda-tanda vital (denyut jantung,
pernapasan, dan tekanan darah), asyik dengan pengalaman sensori dan
kehilangan kemampuan untuk membedakan halusinasi dengan reaita.
3. Fase III
Pasien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan menyerah
pada halusinasi tersebut. Di sini pasien sukar berhubungan dengan orang ain,
berkeringat, tremor, tidak mampu mematuhi perintah dari orang ain dan
berada dalam kondisi yang sangat menegangkan terutama jika akan
berhubungan dengan orang lain.
4. Fase IV
Pengalaman sensori menjadi mengancam jika pasien mengikuti perintah
halusinasi. Di sini terjadi perikalu kekerasan, agitasi, menarik diri, tidak
mampu berespon terhadap perintah yang komplek dan tidak mampu berespon
lebih dari 1 orang. Kondisi pasien sangat membahayakan.
( Prabowo, 2014)

4. Rentang Respons Neurobiologist


Persepsi mengacu pada identifikasi dan interprestasi awal dari suatu stimulus
berdasarkan informasi yang diterima melalui panca indra. Respon neurobiologis
sepanjang rentang sehat sakit berkisar dari adaptif pikiran logis, persepsi akurat,
emosi konsisten, dan perilaku sesuai sampai dengan respon maladaptif yang
meliputi delusi, halusinasi, dan isolasi sosial. Rentang respon dapat digambarkan
sebagai berikut :
Rentang Respon Neurobiologis

Respon adaptif Respon maladaptif

Berpikir logis Pikiran sesekali terdistorsi Gangguan pemikiran/waham


Persepsi akurat Ilusi Halusinasi
Emosi konsisten Reaksi emosional berlebihan Kesulitan pengolahan emosi
dengan pengalaman atau tidak bereaksi Perilaku kacau
Perilaku sesuai Perilaku aneh atau Isolasi sosial
Berhubungan sosial penarikan tidak biasa

Rentang respon neurobiologis (Stuart, 2016)

Rentang Respon
a. Respon adaptif
Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima norma-norma social budaya
yang berlaku. Dengan kata lain individu tersebut dalam batas normal jika
menghadapi suatu masalah akan dapat memecahkan masalah tersebut. Respon
adaptif :
1) Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan
2) Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan
3) Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari
pengalaman ahli
4) Perilaku social adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas
kewajaran
5) Hubungan social adalah proses suatu interaksi dengan orang lain dan
lingkungan
b. Respon psikosossial
Meliputi :
1) Proses piker terganggu adalah proses pikir yang menimbulkan gangguan
2) Ilusi adalah miss interprestasi atau penilaian yang salah tentang penerapan
yang benar-benar terjadi (objek nyata) karena rangsangan panca indra
3) Emosi berlebih atau berkurang
4) Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi batas
kewajaran
5) Menarik diri adalah percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain.
c. Respon maladapttif
Respon maladaptive adalah respon individu dalam menyelesaikan masalah yang
menyimpang dari norma-norma social budaya dan lingkungan, ada pun respon
maladaptive antara lain :
1) Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh dipertahankan
walaupun tidak diyakin ioleh orang lain dan bertentangan dengan kenyataan
social.
2) Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau persepsi eksternal yang
tidak realita atau tidak ada.
3) Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul dari hati.
4) Perilaku tidak terorganisi rmerupakan sesuatu yang tidak teratur
5) Isolasi sosisal adalah kondisi kesendirian yang dialami oleh individu dan
diterima sebagai ketentuan oleh orang lain dan sebagai suatu kecelakaan yang
negative mengancam.
(Damaiyanti, 2012)

B. Proses Terjadinya Masalah


1. Faktor Predisposisi
a. Faktor Perkembangan
Tugas perkembangan pasien terganggu mislnya rendahnya kontrol dan
kehangatan keluarga menyebabkan pasien tidak mampu mandiri sehjak kecil,
mudah frustasi, hilangnya percaya diri dan lebih rentan terhadap stress.
b. Faktor Sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima di ingkungannya sejak bayi akan
merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungannya.
c. Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress yang
berlebih dialami seseorang maka di dalam tubuh akan dihasilkan zat yang
dapat bersifat halusinogenik neurokimia. Akibat stress berkepanjangan
menyebabakan teraktivasinya neutransmitter otak.
d. Faktor Psikologi
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus
padapenyalahgunaan zat adiktif.Hal ini berpengaruh pada ketidakmampuan
pasien dalam mengambil keputusan yang tepat demi masa depannya.Pasien
lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyataa menuju alam hayal.
e. Faktor Genetik dan Pola Asuh
Penelitian menunjukkan bahwaanak sehat yang diasuh oleh orang tua
skizofrenia cenderung mengalamai skizofrenia.Hasil studi menunjukkan
bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh
padapenyakit ini.
(Prabowo, 2014)

2. Faktor Presipitasi
a. Biologis
Gangguan dalam momunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses
informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang
mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus
yang diterima oleh otak untuk diinterprestasikan.
b. Stress Lingkungan
Ambang toleransi terhadap tress yang berinteraksi terhadap stresosor
lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
c. Sumber Koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menamggapi stress.
(Prabowo, 2014)

3. Penilaian Stresor
Model diatesis stres menyampaikan bahwa gejala halusinasi berkembang
berdasarkan pada hubungan antara jumlah stres yang dialami oleh seseorang dan
ambang batas toleransi stres internal. Model ini penting karena hal tersebut
mengintegrasikan faktor biologis, psikologis dan sosial budaya (Liberman et al
1994 dalam Stuart 2016). Meskipun tidak ada penelitian ilmiah yang
menunjukkan bahwa stres menyebabkan halusinasi, jelas bahwa halusinasi adalah
gangguan yang tidak hanya menyebabkan stres, tetapi menjadi lebih buruk oleh
stres (Van Os et al, 2010). Stres adalah penilaian seseorang terhadap stresor, dan
masalah yang terkait dengan koping terhadap stres yang dapat memprediksi
munculnya kembali gejala.

4. Mekanisme Koping
Pada fase gangguan jiwa aktif, klien menggunakan beberapa mekanisme
pertahanan yang tidak disadari sebagai upaya untuk melindungi diri dari
pengalaman menakutkan yang disebabkan oleh penyakit mereka.
a. Regresi : berhubungan dengan masalah dalam proses informasi dan
pengeluaran sejumlah besar tenaga dalam upaya untuk mengelola ansietas,
menyisakan sedikit tenaga untuk aktivitas sehari-hari.
b. Proyeksi : upaya untuk menjelaskan persepsi yang membingungkan dengan
menetapkan tanggung jawab kepada orang lain atau sesuatu.
c. Menarik diri : berkaitan dengan masalah membangun kepercayaan dan
keasyikan dengan pengalaman internal.
d. Pengingkaran : sering digunakan oleh klien dan keluarga. Mekanisme koping
ini adalah sama dengan penolakan yang terjadi setiap kali seseorang
menerima informasi yang menyebabkan rasa takut dan ansietas (Saks, 2009).
Hal ini memungkinkan memberi waktu pada seseorang untuk mengumpulkan
sumber daya internal dan eksternal dan kemudian beradaptasi dengan stresor
secara bertahap.
(Stuart, 2016).

5. Sumber Koping
Gangguan jiwa adalah penyakit menakutkan dan sangat menjengkelkan yang
membutuhkan penyesuaian oleh klien dan keluarga. Sumber daya keluarga,
seperti pemahaman orang tua tentang penyakit, ketersediaan keuangan,
ketersediaan waktu dan tenaga, dan kemampuan untuk memberikan dukungan
yang berkelanjutan, memengaruhi jalannya penyesuaian setelah gangguan jiwa
terjadi.
Proses penyesuaian setelah gangguan jiwa terjadi terdiri dari empat tahap dan
dapat berlangsung mungkin selama 3 sampai 6 tahun (Moller dan Zausxniewsky,
2011).
a. Disonasi kognitif (gangguan jiwa aktif)
Disonasi kognitif melibatkan pencapaian keberhasilan farmakologi untuk
menurunkan gejala dan menstabilkan gangguan jiwa aktif dengan memilih
kenyataan dari ketidaknyataan setelah episode pertama. Hal ini dapat memakan
waktu 6 sampai 12 bulan.
b. Pencapaian wawasan (attaining insight)
Permulaan wawasan terjadi dengan kemampuan melakukan permeriksaan
terhadap kenyataan yang dapat dipercaya. Hal ini memakan waktu 6 sampai 18
bulan dan tergantung pada keberhasilan pengobatan dan dukungan yang
berkelanjutan.
c. Kognitif yang konstan (stabil di segala aspek kehidupan)
Kognitif konstan termasuk melanjutkan hubungan interpersonal yang normal
dan kembali terlibat dalam kegiatan yang sesuai dengan usia yang berkaitan
dengan sekolah dan bekerja. Fase ini berlangsung 1 sampai 3 tahun.
d. Bergerak menuju prestasi kerja atau tujuan pendidikan (kebiasaan
kehidupan/ordinariness)
Tahap ini termasuk kemampuan untuk secara konsisten terlibat dalam kegiatan
harian yang sesuai dengan usia hidup yang merefleksikan tujuan sebelum
gangguan jiwa. Fase ini berlangsung minimal 2 tahun.
(Stuart, 2016).

C. 1. Pohon Masalah
Resiko perilaku Effect
kekerasan

Gangguan Persepsi
Cor problem
Sensori: Halusinasi

Isolasi sosial : menarik Cause


diri
2. Masalah Keperawatan dan Data yang Perlu Dikaji
Masalah keperawatan
1. Isolasi sosial: Menarik diri
2. Gangguan persepsi sensori: Halusinasi
3. Resiko perilaku kekerasan
Data yang perlu dikaji
Data Subjektif:
1. Klien mengatakan saya tidak mampu.
2. Klien mengatakan tidak bisa.
3. Klien mengatakan tidak tahu apa-apa.
4. Klien mengatakan dirinya bodoh.
5. Klien mengungkapkan perasaan malu terhadap diri sendiri
6. Mengungkapkan mendengar bunyi yang tidak berhubungan dengan stimulus
nyata.
7. Mengungkapkan melihat gambaran tanpa stimulus nyata
8. Mengatakan mencium bau tanpa stimulus nyata
9. Merasa makan sesuatu
10. Merasa ada sesuatu dikulitnya
11. Merasa takut pada suara/ bunyi/gambar
12. Ingin memukul atau melempar
13. Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang.
14. Klien suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya jika sedang
kesal atau marah.
15. Riwayat perilaku kekerasan atau gangguan jiwa lainnya.
Data Objektif
1. Klien tampak lebih suka sendiri.
2. Klien tampak bingung.
3. Klien berkeinginan mencederai diri/ ingin mengakhiri hidup.
4. Klien terlihat apatis.
5. Ekspresi wajah klien sedih.
6. Klien sering melamun.
7. Afek klien tumpul.
8. Klien tampak banyak diam.
9. Komunikasi klien kurang atau tidak ada.
10. Kontak mata klien kurang.
11. Berbicara dan tertawa sendiri
12. Bersikap seperti mendengar atau melihat sesuatu
13. Berhenti bicara ditengah kalimat untuk mendengarkan sesuatu
14. Disorientasi
15. Mata merah, wajah agak merah.
16. Nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai: berteriak, menjerit, memukul
diri sendiri/orang lain.
17. Ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangan tajam.
18. Merusak dan melempar barang barang.
19. Mengancam secara verbal ataupun fisik
20. Melempar atau memukul benda/orang lain
21. Tidak mempunyai kemampuan untuk mencegah atau mengontrol perilaku
kekerasan.

D. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan persepsi sensori: Halusinasi
2. Isolasi sosial: Menarik diri
3. Resiko perilaku kekerasan

E. Rencana Tindakan Keperawatan


Diagnosa 1: Gangguan persepsi sensori: halusinasi
a. Tujuan umum : klien tidak mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
b. Tujuan khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya dasar untuk kelancaran
hubungan interaksi seanjutnya
Tindakan :
1. Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi
terapeutik dengan cara :
1) Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal
2) Perkenalkan diri dengan sopan
3) Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai
4) Jelaskan tujuan pertemuan
5) Jujur dan menepati janji
6) Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya
7) Berikan perhatian kepada klien dan perhatian kebutuhan dasar klien
2. Klien dapat mengenal halusinasinya
Tindakan :
1) Adakan kontak sering dan singkat secara bertahap
2) Observasi tingkah laku klien terkait dengan halusinasinya: bicara dan
tertawa tanpa stimulus memandang ke kiri/ke kanan/ kedepan seolah-
olah ada teman bicara
3) Bantu klien mengenal halusinasinya
a) Tanyakan apakah ada suara yang didengar
b) Apa yang dikatakan halusinasinya
c) Katakan perawat percaya klien mendengar suara itu , namun
perawat sendiri tidak mendengarnya.
d) Katakan bahwa klien lain juga ada yang seperti itu
e) Katakan bahwa perawat akan membantu klien
4) Diskusikan dengan klien :
a) Situasi yang menimbulkan/tidak menimbulkan halusinasi
b) Waktu dan frekuensi terjadinya halusinasi (pagi, siang, sore,
malam)
5) Diskusikan dengan klien apa yang dirasakan jika terjadi halusinasi
(marah, takut, sedih, senang) beri kesempatan klien mengungkapkan
perasaannya
3. Klien dapat mengontrol halusinasinya
Tindakan :
1) Identifikasi bersama klien cara tindakan yang dilakukan jika terjadi
halusinasi ( tidur, marah, menyibukkan diri dll)
2) Diskusikan manfaat cara yang digunakan klien, jika bermanfaat ber
pujian
3) Diskusikan cara baru untuk memutus/mengontrol timbulnya halusinasi:
a) Katakan “ saya tidak mau dengar”
b) Menemui orang lain
c) Membuat jadwal kegiatan sehari-hari
d) Meminta keluarga/teman/perawat untuk menyapa jika klien tampak
bicara sendiri
4) Bantu klien memilih dan melatih cara memutus halusinasinya secara
bertahap
5) Beri kesempatan untuk melakukan cara yang telah dilatih
6) Evaluasi hasilnya dan beri pujian jika berhasil
7) Anjurkan klien mengikuti TAK, orientasi, realita, stimulasi persepsi
4. Klien mendapat dukungan dari keluarga dalam mengontrol halusinasinya
Tindakan :
1) Anjurkan klien untuk memberitahu keluarga jika mengalami halusinasi
2) Diskusikan dengan keluarga (pada saat berkunjung/pada saat
kunjungan rumah):
a) Gejala halusinasi yang dialami klien
b) Cara yang dapat dilakukan klien dan keluarga untuk memutus
halusinasi
c) Cara merawat anggota keluarga yang halusinasi dirumah, diberi
kegiatan, jangan biarkan sendiri, makan bersama, bepergian
bersama
d) Beri informasi waktu follow up atau kenapa perlu mendapat
bantuan : halusinasi tidak terkontrol, dan resiko mencederai diri
atau orang lain
5. Klien memanfaatkan obat dengan baik
Tindakan :
1) Diskusikan dengan klien dan keluarga tentang dosis, frekuensi dan
manfaat minum obat
2) Anjurkan klien meminta sendiri obat pada perawat dan merasakan
manfaatnya
3) Anjurkan klien bicara dengan dokter tentang manfaat dan efek
samping minum obat yang dirasakan
4) Diskusikan akibat berhenti obat-obat tanpa konsultasi
5) Bantu klien menggunakan obat dengan prinsip 5 benar.

Diagnosa 2: Isolasi sosial: menarik diri


a. Tujuan umum
1) Klien mampu membina hubungan saling percaya
2) Klien mampu mengidentifikasi penyebab isolasi sosial
3) Klien mampu berinteraksi dengan orang lain secara bertahap
b. Tujuan khusus
1. Membina hubungan saling percaya
Tindakan:
a) Mengucapkan salam setiap kali berinteraksi dengan klien
b) Sapa klien dengan ramah
c) Berkenalan dengan klien
1) Perkenalkan nama dan nama panggilan yang perawat sukai,serta
tanyakan nama dan nama panggilan klien
2) Menanyakan perasaan dan keluhan klien saat ini
d) Buat kontrak asuhan keperawatan/interaksi
Apa yang akan perawat lakukan bersama klien,tujuannya apa,berapa lama
akan dikerjakan,dan dimana tempatnya.
e) Tunjukkan sikap empati setiap saat pada klien
f) Jujur dan tepati janji
g) Beri perhatian dan penuhi kebutuhan dasar klien
h) Membantu klien mengidentifikasi perilaku sosial yang dilakukan
i) Menanyakan pendapat klien tentang kebiasaan berinteraksi dengan orang
lain.
j) Menanyaka apa yang menyebabkan klien tidak ingin berinteraksi dengan
orang lain.
2. Membantu klien mengidentifikasi keuntungan berhubungan dan kerugian tidak
berhubungan dengan orang lain
Tindakan:
a) Membantu klien mengidentifikasi keuntungan berhubungan dengan orang
lain
b) Membantu klien mengidentifikasi kerugian tidak berinteraksi dengan
orang lain.
1) Berdiskusi dengan klien kerugian jika klien hanya mengurung diri
dan tidak bergaul dengan orang lain
2) Menjelaskan pengaruh isolasi sosial terhadap kesehatan fisik klien
c) Membantu klien untuk berinteraksi dengan orang lain secara bertahap
1) Berkenalan dengan satu orang
2) Diskusikan dengan klien tentang cara berkenalan : menyebutkan
nama lengkap, nama panggilan, hobi dan alamat.
3) Beri kesempatan klien mempraktekkan cara berinteraksi dengan
orang lain yang dilakukan dihadapan perawat.
4) Membantu klien untuk berinteraksi dengan satu 1 orang (perawat,
teman atau keluarga)
5) Beri reinforcement positif untuk setiap kemajuan interaksi yang telah
dilakukan klien
d) Identifikasi kemampuan/ keterampilan sosial klien yang telah dilakukan
dalam hubungan interpersonal dengan orang lain
1) Berkenalan dengan 2 orang atau lebih
2) Membantu klien untuk berinteraksi dengan 2 orang/lebih (perawat,
teman atau keluarga)
3) Beri reinforcement positif untuk setiap kemajuan interaksi yang telah
dilakukan klien
4) Identifikasi kemampuan/ keterampilan sosial klien yang telah
dilakukan dalam hubungan interpersonal dengan orang lain
5) Berinteraksi dalam kelompok
Membantu klien untuk ikut TAK Sosialisasi

Diagnosa 3: Perilaku kekerasan


a. Tujuan Umum: Klien terhindar dari mencederai diri, orang lain dan lingkungan.
b. Tujuan Khusus:
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya.
Tindakan:
1) Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, empati, sebut nama
perawat dan jelaskan tujuan interaksi.
2) Panggil klien dengan nama panggilan yang disukai.
3) Bicara dengan sikap tenang, rileks dan tidak menantang.

2. Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.


Tindakan:
1) Beri kesempatan mengungkapkan perasaan.
2) Bantu klien mengungkapkan perasaan jengkel / kesal.
3) Dengarkan ungkapan rasa marah dan perasaan bermusuhan klien dengan
sikap tenang.
3. Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.
Tindakan :
1) Anjurkan klien mengungkapkan yang dialami dan dirasakan saat
jengkel/kesal.
2) Observasi tanda perilaku kekerasan.
3) Simpulkan bersama klien tanda-tanda jengkel / kesal yang dialami klien.
4. Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
Tindakan:
1) Anjurkan mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
2) Bantu bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan.
3) Tanyakan "apakah dengan cara yang dilakukan masalahnya selesai?"
5. Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.
Tindakan:
1) Bicarakan akibat/kerugian dari cara yang dilakukan.
2) Bersama klien menyimpulkan akibat dari cara yang digunakan.
3) Tanyakan apakah ingin mempelajari cara baru yang sehat.
6. Klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam berespon terhadap
kemarahan.
Tindakan :
1) Beri pujian jika mengetahui cara lain yang sehat.
2) Diskusikan cara lain yang sehat.Secara fisik : tarik nafas dalam jika
sedang kesal, berolah raga, memukul bantal / kasur.
3) Secara verbal : katakan bahwa anda sedang marah atau kesal / tersinggung
4) Secara spiritual : berdo'a, sembahyang, memohon kepada Tuhan untuk
diberi kesabaran.
7. Klien dapat mengidentifikasi cara mengontrol perilaku kekerasan.
Tindakan:
1) Bantu memilih cara yang paling tepat.
2) Bantu mengidentifikasi manfaat cara yang telah dipilih.
3) Bantu mensimulasikan cara yang telah dipilih.
4) Beri reinforcement positif atas keberhasilan yang dicapai dalam simulasi.
5) Anjurkan menggunakan cara yang telah dipilih saat jengkel / marah.
8. Klien mendapat dukungan dari keluarga.
Tindakan :
1) Beri pendidikan kesehatan tentang cara merawat klien melalui pertemuan
keluarga.
2) Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga.
9. Klien dapat menggunakan obat dengan benar (sesuai program).
Tindakan:
1) Diskusikan dengan klien tentang obat (nama, dosis, frekuensi, efek dan
efek samping).
2) Bantu klien mengunakan obat dengan prinsip 5 benar (nama klien, obat,
dosis, cara dan waktu).
3) Anjurkan untuk membicarakan efek dan efek samping obat yang
dirasakan.
DAFTAR PUSTAKA

Eko Prabowo. (2014). Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:
Nuha Medika.

Mukhripah Damayanti, Iskandar . (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung:


Refika Aditama.

Stuart, W. Gail. (2016). Keperawatan Kesehatan Jiwa.Singapore: Elsevier

Wijayaningsih, K. s. (2015). Panduan Lengkap Praktik Klinik Keperawatan Jiwa.


Jakarta Timur: TIM.

Anda mungkin juga menyukai