HALUSINASI
3. Tingkatan/Fase Halusinasi
Tahapan terjadinya halusinasi terdiri dari 4 fase dan setiap fase memiliki
karakteristik yang berdeda yaitu:
1. Fase I
Pasien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas, kesepian, rasa bersalah
dan takut serta mencoba berfokus pada pikiran yang menyenangkan untuk
meredakan ansietas.Di sini pasien tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai,
menggerakkan lidah tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, diam dan asyik
sendiri.
2. Fase II
Pengalaman sensori menjijikan dan menakutkan.Pasien mulai lepas kendali
dan mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan sumber
dipersepsikan.Disini terjadi peningkatan tanda-tanda sistem saraf otonom
akibat ansietas seperti peningkatan tanda-tanda vital (denyut jantung,
pernapasan, dan tekanan darah), asyik dengan pengalaman sensori dan
kehilangan kemampuan untuk membedakan halusinasi dengan reaita.
3. Fase III
Pasien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan menyerah
pada halusinasi tersebut. Di sini pasien sukar berhubungan dengan orang ain,
berkeringat, tremor, tidak mampu mematuhi perintah dari orang ain dan
berada dalam kondisi yang sangat menegangkan terutama jika akan
berhubungan dengan orang lain.
4. Fase IV
Pengalaman sensori menjadi mengancam jika pasien mengikuti perintah
halusinasi. Di sini terjadi perikalu kekerasan, agitasi, menarik diri, tidak
mampu berespon terhadap perintah yang komplek dan tidak mampu berespon
lebih dari 1 orang. Kondisi pasien sangat membahayakan.
( Prabowo, 2014)
Rentang Respon
a. Respon adaptif
Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima norma-norma social budaya
yang berlaku. Dengan kata lain individu tersebut dalam batas normal jika
menghadapi suatu masalah akan dapat memecahkan masalah tersebut. Respon
adaptif :
1) Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan
2) Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan
3) Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari
pengalaman ahli
4) Perilaku social adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas
kewajaran
5) Hubungan social adalah proses suatu interaksi dengan orang lain dan
lingkungan
b. Respon psikosossial
Meliputi :
1) Proses piker terganggu adalah proses pikir yang menimbulkan gangguan
2) Ilusi adalah miss interprestasi atau penilaian yang salah tentang penerapan
yang benar-benar terjadi (objek nyata) karena rangsangan panca indra
3) Emosi berlebih atau berkurang
4) Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi batas
kewajaran
5) Menarik diri adalah percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain.
c. Respon maladapttif
Respon maladaptive adalah respon individu dalam menyelesaikan masalah yang
menyimpang dari norma-norma social budaya dan lingkungan, ada pun respon
maladaptive antara lain :
1) Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh dipertahankan
walaupun tidak diyakin ioleh orang lain dan bertentangan dengan kenyataan
social.
2) Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau persepsi eksternal yang
tidak realita atau tidak ada.
3) Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul dari hati.
4) Perilaku tidak terorganisi rmerupakan sesuatu yang tidak teratur
5) Isolasi sosisal adalah kondisi kesendirian yang dialami oleh individu dan
diterima sebagai ketentuan oleh orang lain dan sebagai suatu kecelakaan yang
negative mengancam.
(Damaiyanti, 2012)
2. Faktor Presipitasi
a. Biologis
Gangguan dalam momunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses
informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang
mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus
yang diterima oleh otak untuk diinterprestasikan.
b. Stress Lingkungan
Ambang toleransi terhadap tress yang berinteraksi terhadap stresosor
lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
c. Sumber Koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menamggapi stress.
(Prabowo, 2014)
3. Penilaian Stresor
Model diatesis stres menyampaikan bahwa gejala halusinasi berkembang
berdasarkan pada hubungan antara jumlah stres yang dialami oleh seseorang dan
ambang batas toleransi stres internal. Model ini penting karena hal tersebut
mengintegrasikan faktor biologis, psikologis dan sosial budaya (Liberman et al
1994 dalam Stuart 2016). Meskipun tidak ada penelitian ilmiah yang
menunjukkan bahwa stres menyebabkan halusinasi, jelas bahwa halusinasi adalah
gangguan yang tidak hanya menyebabkan stres, tetapi menjadi lebih buruk oleh
stres (Van Os et al, 2010). Stres adalah penilaian seseorang terhadap stresor, dan
masalah yang terkait dengan koping terhadap stres yang dapat memprediksi
munculnya kembali gejala.
4. Mekanisme Koping
Pada fase gangguan jiwa aktif, klien menggunakan beberapa mekanisme
pertahanan yang tidak disadari sebagai upaya untuk melindungi diri dari
pengalaman menakutkan yang disebabkan oleh penyakit mereka.
a. Regresi : berhubungan dengan masalah dalam proses informasi dan
pengeluaran sejumlah besar tenaga dalam upaya untuk mengelola ansietas,
menyisakan sedikit tenaga untuk aktivitas sehari-hari.
b. Proyeksi : upaya untuk menjelaskan persepsi yang membingungkan dengan
menetapkan tanggung jawab kepada orang lain atau sesuatu.
c. Menarik diri : berkaitan dengan masalah membangun kepercayaan dan
keasyikan dengan pengalaman internal.
d. Pengingkaran : sering digunakan oleh klien dan keluarga. Mekanisme koping
ini adalah sama dengan penolakan yang terjadi setiap kali seseorang
menerima informasi yang menyebabkan rasa takut dan ansietas (Saks, 2009).
Hal ini memungkinkan memberi waktu pada seseorang untuk mengumpulkan
sumber daya internal dan eksternal dan kemudian beradaptasi dengan stresor
secara bertahap.
(Stuart, 2016).
5. Sumber Koping
Gangguan jiwa adalah penyakit menakutkan dan sangat menjengkelkan yang
membutuhkan penyesuaian oleh klien dan keluarga. Sumber daya keluarga,
seperti pemahaman orang tua tentang penyakit, ketersediaan keuangan,
ketersediaan waktu dan tenaga, dan kemampuan untuk memberikan dukungan
yang berkelanjutan, memengaruhi jalannya penyesuaian setelah gangguan jiwa
terjadi.
Proses penyesuaian setelah gangguan jiwa terjadi terdiri dari empat tahap dan
dapat berlangsung mungkin selama 3 sampai 6 tahun (Moller dan Zausxniewsky,
2011).
a. Disonasi kognitif (gangguan jiwa aktif)
Disonasi kognitif melibatkan pencapaian keberhasilan farmakologi untuk
menurunkan gejala dan menstabilkan gangguan jiwa aktif dengan memilih
kenyataan dari ketidaknyataan setelah episode pertama. Hal ini dapat memakan
waktu 6 sampai 12 bulan.
b. Pencapaian wawasan (attaining insight)
Permulaan wawasan terjadi dengan kemampuan melakukan permeriksaan
terhadap kenyataan yang dapat dipercaya. Hal ini memakan waktu 6 sampai 18
bulan dan tergantung pada keberhasilan pengobatan dan dukungan yang
berkelanjutan.
c. Kognitif yang konstan (stabil di segala aspek kehidupan)
Kognitif konstan termasuk melanjutkan hubungan interpersonal yang normal
dan kembali terlibat dalam kegiatan yang sesuai dengan usia yang berkaitan
dengan sekolah dan bekerja. Fase ini berlangsung 1 sampai 3 tahun.
d. Bergerak menuju prestasi kerja atau tujuan pendidikan (kebiasaan
kehidupan/ordinariness)
Tahap ini termasuk kemampuan untuk secara konsisten terlibat dalam kegiatan
harian yang sesuai dengan usia hidup yang merefleksikan tujuan sebelum
gangguan jiwa. Fase ini berlangsung minimal 2 tahun.
(Stuart, 2016).
C. 1. Pohon Masalah
Resiko perilaku Effect
kekerasan
Gangguan Persepsi
Cor problem
Sensori: Halusinasi
D. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan persepsi sensori: Halusinasi
2. Isolasi sosial: Menarik diri
3. Resiko perilaku kekerasan
Eko Prabowo. (2014). Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:
Nuha Medika.