Anda di halaman 1dari 7

INFRASTRUKTUR: Pinjaman Asing,

Pemerintah Perlu Naikkan Posisi Tawar


Bisnis.com, CIREBON - Pemerintah diminta meningkatkan posisi tawar dalam menarik
pinjaman asing untuk pembiayaan infrastruktur agar utang yang diberikan memiliki bunga
rendah dengan tenor cukup panjang, sehingga dapat mendorong pelaku usaha untuk
mempercepat pembangunannya.

Hal tersebut mengemuka dalam dialog Posisi Tawar Indonesia Pada Proyek Infrastruktur Yang
Melibatkan Pembiayaan Dalam Negeri yang diadakan oleh Yayasan Nusa Patris Infrastruktur
(NPI) di atas Kereta Argo Jati Jakarta-Cirebon pada Rabu (24/2/2016).

Ketua NPI Danang Parikesit mengungkapkan Indonesia masih memerlukan pinjaman luar
negeri untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur di tanah air, mengingat terbatasnya APBN
dan menipisnya kapasitas perbankan dan lembaga pembiayaan dalam negeri untuk memberikan
pinjaman.

Dia mengutip hasil analisis NPI yang menilai kapasitas keuangan perbankan nasional yang
tersisa untuk memberikan pinjaman hanya 8%. Jumlah tersebut, ujarnya, termasuk kapasitas
pembiayaan untuk proyek-proyek selain infrastruktur.

“Kita sebenarnya dalam kondisi yang cukup baik memanfaatkan pinjaman luar negeri, tetapi
oleh beberapa negara maupun lembaga pemeringkat dikatakan (Indonesia) kurang baik dalam
mengelola pinjaman luar negeri. Tingkat kepercayaan negara lain dalam meminjamkan ke
Indonesia rendah,” ujarnya.

Dia juga menyayangkan rendahnya efektivitas pemanfaatan dana belanja modal Indonesia
dibandingkan dengan negara lain.

Mengutip laporan Dana Moneter Internasional (IMF) pada April 2013 yang menurutnya masih
relevan menggambarkan kondisi saat ini, Indonesia memiliki peringkat 5,12, yang artinya untuk
menciptakan pertumbuhan ekonomi sebesar 1%, pemerintah harus mengeluarkan belanja modal
5,12% terhadap PDB, termasuk untuk infrastruktur di dalamnya.

Jumlah tersebut masih terlalu besar jika dibandingkan negara lain seperti India yang hanya butuh
4,92%, China 4,36%, Rusia 3,41%, dan Brasil yang hanya membutuhkan 2,55% PDB untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi setiap 1%. Padahal, keempat negara tersebut sama-sama
memiliki penduduk dalam jumlah besar.

Masih dalam diskusi itu, Kasubdit Audit dan Peningkatan Keselamatan Direktorat
Perkeretaapian Kementerian Perhubungan Heru Wisnnu Wibowo mengungkapkan Kemenhub
termasuk salah satu yang banyak memanfaatkan pinjaman asing, terlebih untuk sektor kereta api.
Data Kemenhub menunjukkan kebutuhan pendanaan jangka panjang untuk kereta api mencapai
total US$88,156 juta.

Dari jumlah tersebut, sumber alokasi pembiayaan dengan APBN hanya mampu menutupi sekitar
30% kebutuhan, atau senilai US$26,477 juta, sementara sisanya mengandalkan swasta, termasuk
pinjaman luar negeri.

Dia pun mengakui bahwa masih adanya inkonsistensi dari pemerintah dalam mempersiapkan
pelaksanaan suatu proyek. Hal itu pun turut memengaruhi kepercayaan asing dalam memberi
pinjaman.

“Pengalaman yang sudah, yang paling gampang kita punya double track Cirebon sampai
Surabaya, tadinya itu akan dibiayai pinjaman luar negeri, akhirnya dibiayai rupiah murni dengan
pembiayaan 2012 dan 2013 sehingga 2014 beroperasi,” tuturnya.

Perubahan skema pembiayaan itu, ujarnya, dilakukan untuk mengejar target operasi.
Menurutnya, pembangunan dengan skema pendanaan pinjaman luar negeri membutuhkan waktu
yang lebih lama ketimbang menggunakan APBN.

Direktur Utama PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) Hanggoro Budi Wiryawan
mempertanyakan apa yang telah dilakukan pemerintah untuk menarik lebih banyak swasta
berinvestasi di sektor infrastruktur.

Menurutnya, setiap sektor infrastruktur seperti jalan tol, kereta api, hingga pembangkit listrik
memiliki treatment yang berbeda sehingga membingungkan sektor swasta untuk masuk
berinvestasi.

“Kalau di Vietnam, konsesi 100 tahun, tanah disiapkan. Mengapa banyak industri yang lari?
Karena di luar lebih kompetitif. Thailand GDP di atas kita tetap harga gasnya lebih murah,
berarti biaya logistiknya lebih murah, “ ujarnya.

Dia pun berharap pemerintah akan merancang standarisasi konsep pengelolaan investasi asing
untuk infrastruktur yang lebih memudahkan investor. Beberapa faktor yang menjadi
pertimbangan antara lain jaminan kepastian hukum, treatment atau perlakuan pemerintah
terhadap investor, serta arah kebijakan pembangunan jangka panjang.

“Kereta cepat ini dilihat oleh internasional. Kalau iklim usahanya baik, swasta akan banyak yang
masuk tetapi kalau banyak ketidakpastian ya jangan harap,” kata Hanggoro.

Presiden Direktur PT Cirebon Energi Prasarana Heru Dewanto mengungkapkan isu terbesar
yang masih menjadi tantangan dalam pengembangan infrastruktur adalah kepastian hukum. Hal
ini penting karena menyangkut investasi besar yang ditanamkan dalam jangka waktu hingga
puluhan tahun.

“Buat investor, ketika mengajukan pinjaman ke bank isu terbesarnya adalah kepasian hukum,
karena commercial bank pasti minta commercial risk guarantee,” ujarnya.
Dia pun berharap pemerintah bisa meningkatkan posisi tawarnya saat melakukan penjajakan
pinjaman asing antar pemerintah, sehingga diperoleh lebih banyak dana untuk belanja
infrastruktur. Di sisi lain, pihaknya pun mendorong lebih banyak swasta untuk terlibat dalam
pembangunan.

Pembangunan Infrastruktur Tidak Harus


dengan Modal Asing
Oleh Taufik Gumulya, CFP
CEO TGRM Perencana Keuangan

Sejak awal pemerintahan Presiden Jokowi berjanji akan meningkatkan pertumbuhan Indonesia
melalui pembangunan infrastruktur yang masif, bahkan lebih dari itu presiden RI menyatakan
bahwa pemerintahanya akan membangun infrastruktur terbesar sepanjang sejarah.

Pembangunan infrastruktur memang merupakan faktor terkuat untuk mengakselerasi


pertumbuhan ekonomi Indonesia kedepan, pembangunan infratruktur juga merupakan bidang
yang menyerap banyak tenaga kerja sehingga bermuara pada pengentasan kemiskinan.

Namun pembangunan apapun dimanapun tentu memiliki kendala utama yaitu berupa masalah
pembiayaan.

Berbicara masalah pembiayaan memang ada bermacam cara bagi negara untuk mendapatkan
pembiayaan pembangunan infrastruktur tersebut, pembiayaan tersebut bisa berasal dari dalam
negeri maupun dari luar negeri.

Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan bahwa pembangunan infrastruktur yang
sedang dan akan dilakukan oleh pemerintah alangkah bijak jika diutamakan melalui pembiayaan
dari dalam negeri.

Adapun kekurangan dana jika tidak terpenuhi dari dalam negeri maka barulah pinjaman
dilakukan oleh pemerintah atau swasta melalui fasilitas pinjaman luar negeri.

Permasalahannya apakah mungkin? Bagaimana pemerintah mendapatkan dana tersebut?


sementara kita ketahui bahwa APBN kita tidak memiliki banyak dana untuk membagun
infrastruktur tersebut. Baiklah marilah kita bahas masalah ini.

• Libatkan Rakyat Indonesia

Dalam hal pendanaan pembangunan, Indonesia memiliki potensi internal yang luar biasa, dengan
jumlah penduduk sebesar 255 juta jiwa. Berdasarkan data statistik, komposisi demografi
Indonesia rerata postur usia penduduk di Indonesia berusia 28,6 tahun ini merupakan median age
yang berarti separuh lebih penduduk berada dalam usia ini, sisanya terbagi dua kelompok yakni
berada dibawah dan diatas usia ini.
Masih mengacu pada data yang ada bahwa jumlah angkatan kerja adalah lebih dari 120 juta jiwa
(data bulan Agustus tahun 2015), ini berarti bahwa ada lebih dari 65 juta jiwa (median age) usia
produktif yang mampu melakukan investasi secara jangka panjang.

Maknanya adalah potensi dana untuk pembangunan infratruktur sebagian besar bisa didapat dari
kekuatan bangsa Indonesia sendiri tanpa memerlukan bantuan dana asing, tinggal bagaimana
pemerintah meraciknya sehingga ketergantungan atas utang asing bisa diminimalisir.

• Jenis Instrumen Investasi

Berbicara meracik investasi infrastruktur maka kita berbicara instrumen investasi, masing
instrumen tentu memiliki tingkat resiko yang berbeda, dan belum lama ini dalam suatu
kesempatan menteri keuangan Sri Mulyani menyampaikan bahwa pasar modal harus dapat
terlibat secara aktif untuk menghimpun dana pembangunan infrastruktur tersebut.

Jelas ini adalah signal yang sangat positif. Dengan kata lain bahwa menteri keuangan meminta
pasar modal segera berbenah dan berkreasi dengan membuat instrumen dan peraturan yang
mendorong pertumbuhan dana kelolaan yang ditujukan hanya untuk pembiayaan infrastruktur
tersebut secara lebih spesifik.

Instrumen yang dimaksud haruslah berkesinambungan maka untuk itu disarankan dapat dibagi
menjadi dua kategori utama yaitu:

1. Instrumen pembangunan: yakni instrumen yang dipasarkan sejak peletakan batu pertama
hingga konstruksi selesai sesaat sebelum peresmian operasional (merupakan instrumen investasi
jangka pendek);

2. Instrumen operasional yakni instrumen yang dipasarkan sejak dimulainya operasional


infrastruktur tersebut (merupakan instrumen investasi jangka panjang).

Kedua instrumen tersebut adalah saling terkait dan berkesinambungan sehingga bagi investor
akan melihat suatu kepastian pendapatan melalui masing masing instrumen tersebut, penulis
merekomendasikan untuk poin nomor 1 (satu) menggunakan instrumen

Sukuk Ritel dengan tingkat imbal hasil yang menarik, sedangkan pada poin nomor 2 (dua) dapat
menggunakan instrumen saham yang memiliki kepastian pembayaran deviden serta dibagi secara
tertimbang dengan frekuensi yang diperbanyak (lebih dari 1 kali dalam setahun). Dalam hal ini
memang diperlukan terobosan baik secara aspek legal maupun operasional.

Selanjutnya mengapa instrumen investasi mengarah ke ritel? Ini semata karena faktor
pemerataan kesejahteraan saja dengan demikian cakupan investor menjadi lebih banyak.

Memang saat ini sudah ada instrumen Efek Beragun Aset–Surat Partisipasi (EBA-SP) namun
implementasinya juga masih terbatas pada korporasi. Selain itu pemerintah juga sedang
menggodok instrumen Efek Beragun Aset Infrastruktur yang tentunya masih berbasis investor
korporasi.
Dalam hal investasi ritel maka diusulkan untuk minimum pembelian pada angka yang terjangkau
oleh sebagian besar rakyat yakni Rp 500.000 dan maksimal pembelian sebesar Rp
5.000.000.000. Dengan demikian cakupan investor menjadi sangat luas.

• Faktor Risiko Investasi Sukuk dan Saham


Untuk Sukuk ada beberapa risiko. Namun dalam hal instrumen Sukuk ritel untuk infrastruktur
yang diterbitkan pemerintah faktor resiko dapat diminimalisir, antara lain:

Risiko Gagal Bayar dinilai sangat minimal karena dijamin oleh pemerintah Indonesia serta
adanya payung undang undang.

Risiko Likuiditas yaitu risiko terjadinya kesulitan dalam menjual Sukuk Ritel sebelum jatuh
tempo, dapat teratasi dengan adanya komitmen Agen Penjual Sukuk Ritel tempat membeli
pertama kali.

Agen Penjual dapat bertindak sebagai standby buyer dan siap membeli Sukuk Ritel dari investor.
Diusulkan apabila membutuhkan dana namun tidak ingin menjual kepemilikan Sukuk Ritel,
dapat dijaminkan kepada Agen Penjual (hal ini sudah terjadi untuk Sukuk yang ada).

Selanjutnya, masih ada Risiko Pasar, ini merupakan salah satu resiko yang mungkin terjadi, jika
investor ingin menjual sebelum jatuh tempo maka bisa terjadi ‘capital loss’ atau harga jual lebih
rendah dari harga beli namun investor dapat menunggu hingga harga jual lebih baik dari harga
beli atau memegang Sukuk tersebut hingga harga membaik atau hingga jatuh tempo.

Sedangkan mengenai risiko saham adalah potensi ‘capital loss’, namun dengan memegang
saham secara jangka panjang potensi risiko tersebut dapat diminimalisir.

Apalagi saham yang dijual merupakan saham infrastruktur yang memiliki fundamental yang
bagus sehingga sangat berpotensi menghasilkan uang secara jangka panjang karena proyek ini
harus menguntungkan baik secara bisnis maupun ekonomi. Seperti proyek jalan tol atau
perluasan bandara, misalnya.

• Contoh Kasus (Kereta Cepat Jakarta Bandung)

Sebagai pelengkap maka penulis mengambil contoh proyek yang sedang berjalan. Dalam hal
pembangunan kereta cepat Jakarta Bandung sejauh 150 km biaya yang dibutuhkan adalah sekitar
5,5 miliar dollar AS, jika dikonversikan kedalam Rupiah adalah sebesar Rp 171,5 triliun (kurs 1
dollar AS setara Rp 13.000). Berikut adalah komposisi dana saat ini:

1. Sebanyak 75 persen (Rp 53.625.000.000.000) dana diperoleh dari China Development


Bank/CDB, rincian:
a. 63 persen (Rp 33.783.750.000.000) dalam mata uang USD, bunga 2,0 persen per tahun,
tenor 40 tahun, grace periode 10 thn.
b. 37 persen (Rp 19.841.250.000.000) dalam mata uang RMN, bunga 3,46 persen per tahun,
tenor 50 tahun, grace periode 10 tahun
2. Porsi dana 25 persen (Rp 17.875.000.000.000) didapat Konsorsium BUMN dengan China
Railway, rincian:
a. 15 persen (Rp 10.725.000.000.000) disiapkan oleh Konsorsium BUMN;
b. 10 persen (Rp 7.150.000.000.000) disiapkan oleh China Railway.

Jika pembangunan kereta tersebut melibatkan partisipasi aktif dari rakyat Indonesia maka
komposisi adalah:

3. Nilai proyek Rp 71.500.000.000.000 dibagi dengan jumlah investor (tenaga kerja usia
produktif) sebanyak 65.000.000 jiwa, maka setiap investor akan menyetor sebesar Rp 1.100.000
(satu juta seratus ribu rupiah), sebuah angka yang sangat masuk akal bagi sebagian besar
angkatan kerja di Indonesia.

Keuntungan lain dengan melibatkan partisipasi rakyat Indonesia adalah:


a. Efisiensi biaya upah tenaga kerja yang tentunya lebih murah jika dibanding dengan upah
tenaga kerja impor;
b. Menghemat biaya pembayaran bunga dan pokok utang secara jangka panjang karena dalam
tenor utang selama 40 tahun tentu ada risiko depresiasi Rupiah terhadap mata uang Dollar
Amerika (USD) maupun dengan Reminbi China (RMB);
c. Memberi dampak langsung terhadap penyerapan tenaga kerja lokal dan berimbas pada
pertumbuhan ekonomi, dan lainnya.

Demikian pembaca Kompas yang bijaksana, paparan yang disampaikan penulis hanya bersifat
masukan pasif tanpa memiliki tendensi negatif apapun. Harapan untuk proyek infrastruktur yang
mendatang pemerintah segera melibatkan peran rakyat Indonesia dan meminimalisir utang dari
lKementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU Pera) mengusulkan kebutuhan
utang luar negeri mencapai US$ 23 miliar untuk periode lima tahun ke depan. Nilai utang
paling besar dialokasikan untuk proyek infrastruktur air minum dan sanitasi.

"Karena kami belum tahu rupiah lima tahun ke depan berapa, biar aman kami usulkan US$ 15,7
miliar sampai Rp 23 miliar. Ini untuk menjamin program RPJMN," ujar Menteri PU Pera Basuki
Hadimuljono di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Jumat (27/2/2015).

Dia merinci, beberapa proyek yang menjadi tugas Kementerian PU Pera dan akan didanai dari
utang periode 2015-2019, antara lain :

1. Proyek infrastruktur air minum dan sanitasi sebesar US$ 5 miliar


2. Proyek pembangunan jalan tol US$ 3 miliar
3. Proyek pembangunan konektivitas jembatan dan jalan senilai US$ 2 miliar
4. Proyek pembangunan 49 waduk dan beberapa waduk besar diperkirakan butuh utang luar
negeri US$ 1,5 miliar
5. Proyek penanggulangan banjir sekira US$ 1,6 miliar
6. Proyek irigasi yang akan merevitalisasi 3 juta hektare (ha) US$ 1,6 miliar
7. Proyek pembangunan perumahan US$ 1 miliar.
"Paling besar untuk air minum dan sanitasi US$ 5 miliar dalam kurun waktu lima tahun," tegas
Basuki.

Dia mengatakan, pencarian utang luar negeri merupakan kewenangan Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional/Bappenas dan Kementerian Keuangan karena kedua Kementeriannya ini
adalah ujung tombak dalam mencari pinjaman luar negeri.

"Usulan ini belum final. Kami akan finalkan bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla pada Senin
depan," papar Basuki.

luar negeri.

Anda mungkin juga menyukai