Anda di halaman 1dari 5

Analisis Pers Partisipan Pada Pilpres 2019

Pemilihan Umum Presiden Indonesia 2019 adalah sebuah proses demokrasi untuk
memilih Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2019-2024. Pilpres
2019 dilaksanakan pada tanggal 17 April 2019 berbarengan dengan Pilleg. Pemilihan
presiden ini dimenangkan oleh pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin dengan perolehan
suara 55,50%, diikuti oleh Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dengan perolehan suara
44,50%. Pemilihan ini dilaksanakan serentak dengan pemilihan umum legislatif.

Koordinator IJTI Berau, Sarno mengatakan bahwa, ada beberapa unsur Jurnalis baik
media cetak dan media elektronik yang harus dipatuhi, salah satunya adalah menulis
berita sesuai fakta dan juga tidak memihak kepada siapapun. Karena jurnalis itu
independen bukan di intervensi untuk menulis berita. Menurut Sarno, Yang di maksud
dengan pers partisipan adalah Pers yg menjual idealisme pers demi kepentingan pribadi.

Jika dilihat pada pilpres 2019 kemarin, dimana banyak sekali wartawan serta portal berita
yang berlomba lomba ingin menjatuhkan masing masing kandidat capres, maka dapat
dipastikan adanya oknum yang memanfaatkan media. Sebagai contoh nya:

Pilpres 2019 dan Propaganda Media

Serangan verbal yang terjadi antara dua kubu pendukung kedua paslon masih menjadi
polemik yang hangat di media online ataupun pada saat kampanye terbuka, namun yang
menarik pada pembahasan saya kali ini bukan hanya soal pengguna sosial media dan
individu dari kubu-kubu tersebut, melainkan media massanya sendiri, dengan sebutan
lainnya si "Penggiring Opini Publik".

Sosial media menjadi sasaran empuk bagi instansi pemberitaan dalam menjalankan cyber
campaign yang tentunya sangat masif bagi masyarakat. Media massa tidak lagi menjadi
suatu Organisasi yang netral, seperti yang tertera pada Kode Etik Jurnalistik Pasal 1 yang
berbunyi :

Pasal 1

Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang,


dan tidak beritikad buruk.

Penafsiran

1. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani
tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik
perusahaan pers.
2. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.
3. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.
4. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk
menimbulkan kerugian pihak lain.

Hal ini memperkuat anggapan Gunther dan Schmitt (2004) dalam Handbook Ilmu
Komunikasi Bab Efek Media massa yang berbunyi "individu-individu yang menjadi
partisan pada suatu isu cenderung merasakan liputan berita itu berpihak sehingga bersikap
memusuhi (atau setidaknya tidak bersimpati) dengan posisi mereka", berikut salah satu
contoh publikasi salah satu media pers :
beda lagi dengan laman lain yang juga notabenenya terpercaya :

dengan mengkomparasi opini seperti yang saya kutip di atas, tentu saja ini menimbulkan
persepsi "apakah media massa meraup profit dari kampanye media, sehingga terdapat
ketimpangan informasi dalam menyebarkan berita?", "apakah media itu memang tidak
netral dan mungkin terdapat konspirasi dibaliknya?", "lalu yang mana yang harus
masyarakat percaya?" sekumpulan pertanyaan ini mari kita lakukan riset dalam
pembuktiannya, dan ingat, kita sebagai individualis idealis bisa menyaring informasi yang
layak atau tidak untuk dipercaya.

Hal ini adalah dampak negatif dari perkembangan media massa, semakin banyak media
pers yang populer, semakin besar celah untuk menyisipkan pesan-pesan dan informasi
provokatif dan disebarluaskan oleh individu yang konotasi hanya menelan mentah-
mentahi nformasi tanpa membuktikan kebenarannya.

Referensi:
kompas.com
Charles E. Berger dkk. 2014. Handbook Ilmu Komunikasi. Bandung : Nusa Media.
Dari contoh kasus diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pers mempengaruhi persepsi
seseorang dalam membacanya. Pers seharus nya menjadi pers yang indipenden dengan
menjadi netral tanpa memihak salah satu pihak.

Menurut hasil riset yang dilakukan ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia) dan G
Communications merilis hasil riset tentang sikap 6 media massa di pilpres 2019 dimana
riset yang dilakukan selama bulan maret 2019 itu menganalisis konten 1.681 berita. Dari
segi kuantitas, porsi pemberitaan tentang pasangan Jokowi-Ma’ruf di 6 media tersebut
lebih banyak ketimbang berita tentang prabawo-sandi.Meskipun demikian, secara
kualitatif, kontetn pemberitaan tentang pilpres bersifat netral. Mungkin ini dikarenakan
paslon 01 merupakan pasangan dari tim pertahanan sehingga media lebih aktif
memberitakan. Riset ini memakai metode purposive sampling.

Dari hasil riset dapat disimpulkan bahwa banyak media yang masih berat sebelah. Tidak
sedikit orang rela mengeluarkan sejumlah uang untuk membuat berita yang dapat
membuat salah satu paslon terusak citranya.

Selain itu juga dari sejumlah hasil hitung quick count yang dilakukan beberapa media
televisi banyak mengalami perbedaan, sehingga menimbulkan fitnah dan masing masing
kubu saling menjatuhkan sama lain. Padahal seharusnya media tidak melakukan hal
tersebut karena dampak yang diberikan cukup berbahaya. Dapat menyebabkan pertikaian
dan pecah belah.

Menurut saya pers partisipan pada pilpres 2019 sangat sangat berpengaruh serta sangat
banyak yang melakukan hal tersebut untuk mendapatkan komersil atau uang. Menurut
saya ada beberapa alasan yang dilakukan media pada pilpres 2019 yang berkaitan dengan
pers partisipan, yaitu:

1. Menarik banyak khalayak


2. Untuk mendapatkan uang
3. Adanya beberapa pemilik media yang ikut dalam atau memihak salah satu paslon,
sehingga berita yang dibuat tentang paslon yang mereka pilih.
Sumber :

https://www.kompasiana.com/agungpratama6606/5ca595d795760e4c2d6d3dd2/pilpres-2019-
dan-propaganda-media?page=all

https://news.detik.com/kolom/d-4373674/pilpres-2019-sikap-milenial

https://www.google.com/amp/s/amp.tirto.id/hasil-riset-icmi-soal-netralitas-enam-media-di-
pilpres-2019-dlE7

Anda mungkin juga menyukai