Anda di halaman 1dari 10

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Secara sederhana, keluarga dapat dipahami sebagai unit terkecil dari masyarakat
yang di dalamnya, terdiri atas: ayah, ibu dan anak-anak. Sesungguhnya keluarga
terbentuk, oleh karena adanya kesepakatan (cinta) antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan untuk membangun hubungan (persekutuan hidup) yang lebih
mendalam sebagai suami-istri. Konsekwensi logis dari persekutuan hidup suami-istri
adalah adanya anak-anak dalam kehidupan berumah tangga mereka.
Keluarga kristen adalah suatu persekutuan antara suami istri dan anak- anak yang
memberi tempat kepada Allah sebagai kepala dan pembimbing rumah tangga atau
pengarah yang terlibat langsung dalam rumah tangga. Keluarga Kristen adalah lembaga
yang diteguhkan oleh Allah dan Kristus adalah sebagai kepala.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu keluarga?
2. Apa Fungsi Keluarga?
3. Jelaskan pendidikan didalam keluarga Israel sampai pada zaman Yesus!
C. Tujuan
1. Menjelaskan pengertian keluarga
2. Menjelaskan fungsi keluarga
3. Menjelaskan pendidikan didalam keluarga Israel sampai pada zaman Yesus.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Keluarga

Keluarga berasal dari bahasa Sansekerta yaitu "kulawarga". Kata kula berarti "ras"
dan warga yang berarti "anggota". Dengan demikian, maka keluarga adalah
lingkungan di mana terdapat beberapa orang yang masih memiliki hubungan darah.
Keluarga sebagai kelompok sosial terdiri dari sejumlah individu, memiliki hubungan
antar individu, terdapat ikatan, kewajiban, tanggung jawab di antara individu.

Keluarga ditinjau dari hubungan darah, dapat dibedakan menjadi keluarga inti/batih
(Nuclear familly) dan keluarga besar (Extended familly). Keluarga inti seperti yang
sudah disinggung di atas. Sedangkan keluarga besar adalah keluarga inti, juga
melibatkan keluarga dalam garis vertikal seperti, kakek, nenek, paman, bibi dan cucu;
maupun garis horisontal seperti, kakak, adik, ipar, ponakan.

Dengan demikian, keluarga merupakan satu kesatuan kekeluargaan yang terdiri dari
dua orang atau lebih yang saling berhubungan, baik melalui tali perkawinan,
hubungan darah atau adopsi dan yang hidup bersama-sama untuk satu periode waktu
yang tidak terbatas, dengan memiliki tanggung jawab utama atas sosialisasi anak-
anaknya dan pemenuhan kebutuhan pokok lainnya.

Pertalian sanak saudara mengarah kepada pertalian orang-orang yang cukup luas satu
sama lainnya, dan dihubungkan pula dengan nenek moyang yang sama pula.
Keluarga yang terbentuk melalui sebuah perkawinan tersebut, anak-anaknya disebut
keluarga prokreasi. Sebaliknya setiap individu yang dilahirkan disebut keluarga
orientasi. Keanggotaan individu dalam keluarga orientasi, kemudian karena terjadi
perkawinan maka beralih status menjadi keluarga prokreasi .

B. Fungsi Keluarga

Fungsi keluarga adalah tempat menyempaikan nilai-nilai agama, budaya, cinta kasih,
melindungi, reproduksi, sosialisasi, pendidikan dan pembinaan keluarga. Keluarga sebagai
institusi atau lembaga mempunyai dua fungsi, yaitu: (1) Fungsi Sosial. Yang dimaksud
dengan fungsi sosial keluarga ialah penerus keturunan, membesarkan anak, pengendalian
sosial, menurut norma-norma yang berlaku, dalam menjalin hubungan atau relasi dengan
tetangga, kampung, sekolah, gereja, tempat pekerjaan dan sebagainya; (2) Fungsi pribadi,
yaitu hubungan keintiman dengan teman hidup, kepuasan pribadi serta landasan-landasan
untuk dapat mengaktualisasi diri.

Dengan demikian maka, sebagai institusi atau lembaga keluarga mengemban fungsi
atau tugas ganda di mana keluraga tidak hanya memperhatikan dirinya sediri, akan tetapi
keluarga harus memberi hidup dan perhatiannya baik kepada anak-anak, keluarga,
masyarakat, gereja, maupun negara.

Fungsi keluarga Kristen, sebagai berikut:

1. Keluarga Kristen sebagai Pusat Pembentukan;


Pada intinya keluarga Kristen dijadikan sebagai “pusat pembentukan rohani”. Dari
dalam lingkungan keluarga anak belajar dari apa yang di jalani dalam kehidupan
mereka. Perkembangan pengetahuan, prilaku, dan skill anak terjadi melalui hasil
mengalami dan mengamati. Dalam hal ini anak belajar dari “kurikulum yang
tersembunyi” yang muatan kontennya adalah pendidikan konkrit. Bukan sesuatu
yang verbalistik yang isi pengajaran itu kadang bertentangan dengan fakta hidup
yang dialami setiap hari. Misalnya orang tua berbicara mengenai kasih dan
kepedulian, tetapi tidak ada kehangatan dalam rumah, maka anak akan lebih
dipengaruhi oleh kenyataan dibalik dari kata-kata itu.

2. Keluarga Kristen sebagai Bejana Tanah Liat;


Fakta bejana tanah liat, ditemukan ada yang sumbing, retak, dan bahkan ada yang
pecah. Demikian juga kehidupan keluarga Kristen diandaikan seperti itu, misalnya:
orang tua (suami atau istri) melakukan perzinahan (tidak setia pada pasangannya),
anak-anak terlibat dalam seks bebas, narkoba, alkohol dan lain sebagainya.
Serangkaian contoh yang di sebutkan sebagai keretakan (tidak utuh) keluarga
Kristen.

Keretakan atau kerapuhan itu, perlu diakui oleh keluarga Kristen dan pada saat
yang sama bersedia menerima Anugrah Allah di dalam Yesus Kristus. Keluarga
Kristen perlu memahami bahwa Allah mengasihi dan menerima mereka apa
adanya. Para anggota keluarga Kristen yang telah memperoleh kasih karunia Allah,
di jadikan sebagai instrumen Roh Allah untuk menyalurkan kasih karunia Allah
bagi orang lain dalam rumah tangga. Dalam hal ini, orang tua sebagai orang yang
dewasa perlu membantu anak-anak agar dapat memahami diri mereka sebagai
ciptaan Allah yang telah diperbaharui di dalam Yesus Kristus; dan sekaligus
memberi diri mereka untuk dipimpin oleh Roh Allah dalam hidup setiap hari.

3. Keluarga Kristen sebagai tempat bernaung yang Kudus;


Keluarga Kristen adalah tempat bernaung, yang dindingnya dapat memberi
perlindungan terhadap nilai-nilai budaya yang rusak. Namun perlindungan itu,
perlu dikembangkan agar juga dapat berfungsi sebagai penyaring bagi realitas yang
ada, sehingga lambat laun anggota keluarga tahu posisi di mana mereka berada,
bahwa apakah mereka berada dan dipengaruhi oleh terang atau kegelapan.
Keluarga Kristen disebut sebagai tempat bernaung yang kudus, dalam artian bahwa
suatu tempat penerimaan, pembinaan, dan pertumbuhan yang memberdayakan
anggota-anggota keluarga untuk berperan serta dalam tindakan kasih dan
penyelamatan Allah yang terus berlanjut.

4. Keluarga Kristen sebagai Pencerita;


Keluarga adalah pencerita alamiah. Tidak ada yang lebih disenangi oleh anak-anak
dari pada duduk di pangkuan orang tuanya yang sudah siap bercerita. Isi cerita,
meliputi: cerita-cerita pribadi, leluhur, dan Alkitab. Orang tua menuturkan cerita
pribadi (baca: tokoh), leluhur, kemudian dipadukan dengan cerita Alkitab. Isi
cerita-cerita itu dikembangkan dan diperkaya sesuai kebutuhan anak-anak, dengan
maksud agar dapat menghubungkan cerita-cerita itu dengan diri mereka.

5. Keluarga Kristen sebagai Pelayan;


Angota keluarga Kristen masing-masing dapat mengembangkan diri dan sekaligus
terlibat dalam panggilan misi Kristen. Panggilan misi Kristen tidak hanya
mengarah pada yang bagaimana membawa orang kepada Kristus; tetapi lebih luas
dari itu ialah bumi dan segala isinya adalah tugas misi Kristen. Para keluarga orang
percaya dapat memberikan kotribusi yang luar biasa bagi kesehatan planet bumi
kita yang sedang sakit ini, dengan menunjukan kepedulian yang tulus terhadap
bumi yang menjadi tempat tinggal semua makluk hidup, termasuk diri kita. Anak-
anak dapat diajar menghormati dan menghargai bentuk-bentuk kehidupan lainya
dan memahami bahwa hidup kita dan hidup mereka saling terkait dan tak
terpisahkan.

6. Keluarga Kristen sebagai Keluarga yang Berhimpun dan Menyebar.


Keluarga yang berhimpun adalah keluarga yang berfungsi sebagai tempat
berhimpun; menjadikan keluarga sebagai pusat pembentukan rohani bagi anak-anak
sebagai anugrah Allah. Keluarga yang mengalami pembentukan rohani yang baik,
akan menyebar untuk menyaksikan karya Allah bagi orang lain dan sekaligus
menjadikannya sebagai keluarga. Pandangan ini didasarkan pada ucapan Yesus,
bahwa sipakah ibu Ku? Dan siapakah saudara Ku? Siapa yang melakukan kehendak
Allah dialah Ibu-Ku, dan sudara-Ku. Pernyataan Yesus menegaskan intisari
keluarga yang mencakup kesatuan biologis dan kesatuan sosiologis.

C. Pendidikan didalam keluarga Israel sampai pada zaman Yesus


Pendidikan bagi seorang anak Israel, sebagaimana juga terjadi di kalangan masyarakat
pada umumnya, dimulai dari keluarga. Kata “keluarga”, dalam bahasa Ibrani, diterjemahkan
dari istilah “beth”, yang dapat berarti: rumah, atau keluarga. Di kalangan orang Israel, kata:
“beth” digunakan sangat fleksibel. Kata “beth” dapat menunjuk kepada keluarga sebagai
unit terkecil dalam masyarakat Israel, yang anggota-anggotanya terdiri dari ayah, ibu dan
anak, atau anak-anak. Tetapi kata “beth” juga dapat dipakai dalam arti yang luas, yang
mencakup seluruh keturunan yang memiliki hubungan darah, baik secara vertical maupun
horizontal.
Lebih dari itu, bagi orang Israel, keluarga mencakup juga hamba-hamba, janda-janda
dan yatim piatu, bahkan orang asing yang tinggal di bawah perlindungan seorang kepala
keluarga. Mereka sering tinggal dalam satu rumah. Contoh, keluarga Nuh (Kej. 7:1,7),
keluarga Yakub, Kej. 46:8-26), dsbnya.
Di dalam keluarga-keluarga ini sang ayah, sebagai kepala keluarga, memiliki wibawa
yang besar terhadap semua anak-anaknya, mencakup isteri dari anak laki-lakinya dan suami
dari anak perempuannya, bila mereka tinggal bersama dengan sang ayah dalam satu rumah.
Sang ayah juga memiliki peranan penting dalam pelaksanaan pendidikan bagi semua anak-
anak yang lahir dalam keluarganya. Maka di Israel, pendidikan dalam rumah telah dilakukan
sejak leluhur mereka. Abraham, sebagai leluhur Israel yang pertama, telah diberikan
tanggung jawab oleh Allah untuk mendidik keturunannya supaya tetap hidup menurut jalan
yang Tuhan tunjukkan, yakni melakukan kebenaran dan keadilan (band. Kej. 18:19). Model
pendidikan yang sama diperintahkan oleh Musa agar orang Israel mengajar anak-anak
mereka di rumah (Ul. 6:7-9).
Pendidikan dalam keluarga juga mendapat perhatian dari penulis kitab Amsal. Ia
mengatakan: “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa
tuanya ia tidak menyimpang dari jalan itu” (Ams.22:6) Berdasarkan perintah ini maka sejak
tahun pertama, anak-anak Israel diberikan dasar-dasar pendidikan, khususnya pendidikan
moral dan keagamaan oleh orang tuanya (Ams. 1:8; 6:20).
Setelah masa pembuangan, pendidikan bagi anggota keluarga mendapat penekanan
yang kuat. Sebab orang Israel yang kembali dari pembuangan meyakini bahwa pembuangan
ke Babelonia itu terjadi sebagai salah satu akibat dari pengabaian terhadap pendidikan anak
dalam keluarga. Alasan lain, mengapa pendidikan dalam keluarga mendapat penekanan yang
kuat oleh sebab sesudah pembuangan, nubuat-nubuat mulai surut dan otoritas para iman
mulai mengendor. Dalam situasi ini, pendidikan bagi masyarakat Israel mendapat perhatian
yang besar. Kelompok orang yang sangat berperan dalam bidang pendidikan ini adalah para
rabi yang dipimpin oleh Ezra. Ezra adalah rabi pertama yang memiliki peranan yang besar
dalam bidang pendidikan. Ia dikenal sebagai seorang rabi yang sangat taat kepada hukum
Taurat, seorang yang ahli dalam mengajarkan dasar-dasar hukum Taurat.
Karena berperannya para rabi dalam pendidikan umat sehingga mereka sangat
dihormati. Begitu dihormatinya seorang rabi, sehingga seseorang yang menolak atau
mengejek seorang rabi dipandang sebagai dosa. Bahkan seorang anak Yahudi akan lebih
menghormati rabi atau gurunya dari pada ayahnya sendiri, sebab seorang rabi dianggap
sebagai figur yang memberi petunjuk mengenai hidup kekal. Maka sejak zaman Ezra, rabi
adalah orang yang sangat dihormati, didengar dan ditaati.
Pendidikan bagi anak-anak dalam keluarga di Israel hingga pada masa Yesus dapat
dibagi atas tiga bagian:

1) Pendidikan Agama dan Moral.


Pendidikan dasar bagi seorang anak Yahudi, biasanya diberikan oleh ibunya,
terutama berkaitan dengan pendidikan moral (band. Ams. 1:8; 6:20). Sang ibu bisa
melanjutkan pendidikan bagi anaknya, sekalipun memasuki masa remaja (Ams. 31:1),
tetapi pendidikan bagi anak laki-laki terutama dipercayakan kepada ayahnya. Tugas sang
ayah adalah mengajarkan anaknya mengenai kebenaran-kebenaran agama, termasuk
hukum Taurat (band. Kel. 10:2; 12:2613:8; Ul. 4:9; 6:7, 20,21; 32:7,46). Pengajaran
tentang Taurat merupakan pokok ajaran yang sangat penting untuk ditanamkan di
dalam diri seorang anak. Itulah sebabnya kitab Imamat merupakan buku yang paling
utama diajarkan kepada anak. Pendidikan agama ini dilakukan secara turun temurun
sehingga menjadi tugas keagamaan yang harus dilakukan oleh orang tua. Pendidikan
agama bagi anak-anak dilakukan pada setiap kesempatan, baik pada waktu di dalam
rumah, waktu makan, waktu berjalan, waktu bekerja, maupun waktu hendak tidur. Pokok
pengajaran agama yang diajarkan bermacam-macam, antara lain, tentang perbuatan besar
Allah berupa mujizat-mujizat yang Allah lakukan di hadapan orang Israel (Kel. 10:2);
pengajaran tentang Paskah (Kel. 12:26; 13:8; Ul. 4:9); pengajaran tentang peraturan hari
sabbat, peraturan tentang Ibadah, dsbnya. Pokok-pokok pengajaran ini tidak hanya
disampaikan satu kali melainkan disampaikan berulang-ulang kali kepada anak.
Dalam pendidikan yang berlangsung dalam keluarga, anak-anak juga diberikan
pendidikan yang bersifat etika dan moral. Misalnya anak diajar untuk hidup kudus (tidak
boleh makan makanan yang dianggap najis), sederhana, jujur, taat, menghormati orang
tua, membangun persahabatan dengan sesama, dsbnya. Salah satu bukti pendidikan moral
ini kita lihat pada diri Yusuf. Walau ia digoda oleh isteri Potifar tetapi ia tetap menjaga
kekudusan dirinya (band. Kej. 39:6b-10), kendatipun untuk itu ia harus mendekam dalam
penjara karena tuduhan-tuduhan palsu (Kej. 39:13-20) tetapi ia tidak melepaskan nilai-
nilai luhur pengajaran agama yang sudah ditanam di dalam dirinya. Karena kesetiaannya
pada nilai-nilai luhur agamanya itu maka kemudian Tuhan mengangkat Yusuf sebagai
seorang pendana menteri di Mesir (Kej. 41:37-45).
Dalam 2 Tim. 1:5; 3:15, kita juga membaca tentang pendidikan dalam keluarga
yang dialami oleh Timotius. Peranan neneknya Louis dan ibunya Eunike sangat besar
dalam menanamkan iman dan ikut membentuk kepribadiannya.
Dalam proses pendidikan ini, kadang-kadang cambuk dan rotan dipakai jika anak
tidak menuruti pendidikan orang tuanya (Ams. 13:24; 22:15; 29:15,17; band. Ul. 8:5; 2
Sam. 7:14; Ams. 3:12).
2) Pendidikan Keterampilan
Di samping pendidikan keagamaan dan pendidikan moral, sang ayah juga
memberikan pendidikan professional kepada anaknya, misalnya jika sang ayah seorang
tukang maka profesi tukang itu diturunkan kepada anak laki-lakinya. Jika sang ayah
adalah seorang pedagang maka profesi pedagang itu diturunkan kepada anak laki-lakinya.
Dalam hubungan itu ada rabi yang mengatakan: “seorang ayah yang tidak mengajar
anaknya berdagang, maka ia menjadikan anaknya seorang pencuri”. Dalam hubungan ini,
Yesus sendiri mengalami model pendidikan ini. Karena Yusuf, suami Maria, adalah
seorang tukang kayu di Nazaret maka Yesus, sebagai seorang anak keluarga Yahudi,
selain mendapatkan pengajaran Taurat, sebagaimana anak-anak keluarga Yahudi lainnya,
Ia juga mendapatkan pendidikan keterampilan menjadi tukang kayu, sama seperti
ayahnya (Mrk. 6:3).
Peranan ayah sebagai seorang pengajar bagi anaknya, bisa menjelaskan mengapa
seorang imam yang salah satu tugasnya adalah mengajar, disebut juga sebagai
“bapa”. Itulah sebabnya Yusuf, anak Yakub, yang menjadi penasihat Firaun,
dipandang sama seperti seorang “bapa” baginya (Kej. 45:8). Di samping itu,
hubungan antara seorang guru dan seorang murid ditandai dengan kata: “bapa”
dan “anak” (2 Raj. 2:12). Itulah sebabnya dalam kitab Amsal kita selalu
menemukan sapaan: “Hai anakku……..” (Ams. 1:8, 10, 15, dll) atau
“Dengarkanlah hai anakku….” (Ams. 4:1) “Hai anakku perhatikanlah….” (Ams.
5:1)
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pendidikan dalam keluarga adalah pengajaran mengenai apa yang menjadi tugas
dan tanggung jawab orangtua dalam mendidik anak ditengah-tengah keluarga. Anak
dapat belajar dari orangtua , sehingga dikemudian hari anak sudah tertanam iman dari
orangtua. Pendidikan ditengah keluarga bukan hanya saja lewat pengajaran formal,
melainkan keteladanan orangtua. Keteladanan adalah merupakan pendidikan iman yang
paling efektif sepanjang masa.
DAFTAR PUSTAKA

Adams, Jay, E, 1998. Masalah-Masalah Dalam Rumah Tangga Kristen. :

Penerbit Yayasan Kalam Hidup.

Anda mungkin juga menyukai