Anda di halaman 1dari 8

SKENARIO

Seorang perempuan berusia 40 tahun datang ke Praktek Dokter Umum dengan keluhan dada seperti
terbakar. Keluhan disertai dengan dada berat jika bernapas. Dari anamnesis diketahui penderita memiliki
kebiasaan tidur setelah pukul 01.00 dini hari dan bangun pukul 04.00 pagi. Pasien juga sering terbangun
saat tidur karena merasakan rasa terbakar di dada. Pasien minum kopi sebanyak 2 gelas setiap hari. Dari
pemeriksaan fisik didapatkan TB : 150cm, BB : 70 kg, KU cukup, tekanan darah 120/70 mmHg, denyut
nadi 88 kali/menit, isi dan tegangan cukup, frekuensi pernafasan 18 kali/menit, pada palpasi nyeri tekan
epigastrium (+).Dokter kemudian mengirim penderita untuk dilakukan pemeriksaan penunjang

STEP 2

1. Apa hubungan pasien minum kopi dengan keluhan yang dialami


Konsumsi kopi yang berlebihan membuat produksi asam lambung naik, ini memperbesar resiko
seseorang terkena penyakit lambung, tukak lambung dan tukak usus halus. Kafein di dalam kopi
dapat mempercepat proses terbentuknya asam lambung. Hal ini membuat produksi gas dalam
lambung berlebih sehingga sering mengeluhkan sensasi kembung di perut. Responden yang
sering meminum kopi beresiko 3,57 kali menderita gastritis dibandingkan dengan yang tidak
sering meminum kopi.

2. kenapa pasien sering bangun saat tidur karena merasakan rasa terbakar di dada?
Refluks malam hari (nocturnal reflux) lebih besar berpotensi menimbulkan kerusakan esophagus
karena selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan esophagus tidak aktif. ketahanan
epithelial esophagus.
Bersihan asam dari lumen esophagus Faktor-faktor yang berperan dalam bersihan asam dari
esophagus adalah gravitasi, peristaltik, ekskresi air liur, dan bikarbonat. Setelah terjadi refluks,
sebagian besar bahan refluksat akan kembali ke lambung dengan dorongan peristaltic yang
dirangsang oleh proses menelan. Sisanya akan dinetralisir oleh bikarbonat yang disekresi oleh
kelenjar saliva dan kelenjar esophagus. Mekanisme bersihan ini sangat penting, karena makin
lama kontak antara bahan refluksat dengan esophagus (waktu transit esophagus) makin besar
kemungkinan terjadinya esofagitis.

3. Mengapa pada pemeriksaan palpasi ditemukan rasa nyeri pada epigastrium?

4. Apa etiologi dan Faktor Resiko dari scenario?

Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme :

 Refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat


 Aliran retrograde yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan
 Meningkatnya tekanan intraabdominal

Dengan demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya GERD menyangkut keseimbangan
antara faktor defensif dari esophagus dan faktor ofensif dari bahan refluksat.

Yang termasuk faktor defensif esophagus adalah :

1. pemisah antirefluks (lini pertama),


2. bersihan asam dari lumen esophagus (lini kedua),
3. dan ketahanan epithelial esophagus (lini ketiga).

Sedangkan yang termasuk faktor ofensif adalah :

1. sekresi gastrik dan daya pilorik.


2. Pemisah antirefluks Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES.
3. Menurunnya tonus LES dapat menyebabkan timbulnya refluks retrograde pada saat terjadinya
peningkatan tekanan intraabdomen. Sebagian besar pasien GERD ternyata mempunyai tonus LES yang
normal.

Faktor-faktor yang dapat menurunkan tonus LES adalah :

 adanya hiatus hernia,


 panjang LES (makin pendek LES, makin rendah tonusnya),
 obat-obatan (misal antikolinergik, beta adrenergik, teofilin, opiate, dll), dan
 faktor hormonal >> Selama kehamilan, peningkatan kadar progesteron dapat menurunkan tonus LES.

5. Apa manifestasi klinis dari scenario?


 nyeri/rasa tidak enak di epigastrium atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri biasanya
dideskripsikan sebagai rasa terbakar (heartburn),
 kadang-kadang bercampur dengan gejala disfagia (kesulitan menelan makanan),
 mual atau regurgitasi dan
 rasa pahit di lidah.
 Disfagia yang timbul saat makan makanan padat mungkin terjadi karena striktur atau keganasan
yang berkembang dari Barrett’s esophagus.
 Odinofagia (rasa sakit saat menelan makanan) bisa timbul jika sudah terjadi ulserasi esophagus
yang berat.

6. Apa patofisiologi dari Skenario?


7. Apa DD dan DX dari scenario?

8. Apa alur diagnosis dari scenario?


Disamping anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama, beberapa pemeriksaan penunjang dapat
dilakukan untuk menegakkan diagnosis GERD, yaitu :

 Endoskopi saluran cerna bagian atas


Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan standar baku untuk diagnosis GERD
dengan ditemukannya mucosal break di esophagus (esofagitis refluks). Dengan melakukan pemeriksaan
endoskopi dapat dinilai perubahan makroskopik dari mukosa esophagus, serta dapat menyingkirkan
keadaan patologis lain yang dapat menimbulkan gejala GERD. Jika tidak ditemukan mucosal break
pada pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas pada pasien dengan gejala khas GERD, keadaan
ini disebut non-erosive reflux disease (NERD).

Terdapat beberapa klasifikasi kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi pada pasien GERD, antara
lain klasifikasi Los Angeles dan klasifikasi Savarry-Miller.

Klasifikasi Los Angeles Derajat kerusakan Gambaran endoskopi

A Erosi kecil-kecil pada mukosa esophagus dengan diameter < 5 mm


B Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter > 5 mm tanpa saling berhubungan
C Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai/mengelilingi seluruh lumen
D Lesi mukosa esophagus yang bersifat sirkumferensial (mengelilingi seluruh lumen esophagus)
 Esofagografi dengan barium
Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali tidak
menunjukkan kelainan, terutama pada kasus esofagitis ringan. Pada keadaan yang lebih berat,
gambar radiology dapat berupa penebalan dinding dan lipatan mukosa, ulkus, atau penyempitan
lumen.
 Pemantauan pH 24 jam
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal esophagus. Episode ini
dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan mikroelektroda pH pada bagian distal
esophagus. Pengukuran pH pada esophagus bagian distal dapat memastikan ada tidaknya
refluks gastroesofageal. pH dibawah 4 pada jarak 5 cm di atas LES dianggap diagnostik untuk
refluks gastroesofageal.
 Tes Bernstein Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal dan
melakukan perfusi bagian distal esophagus dengan HCl 0,1 M dalam waktu kurang dari 1 jam.
Tes ini bersifat pelengkap terhadap monitoring pH 24 jam pada pasien-pasien dengan gejala
yang tidak khas.
 Esophageal Manometry (lebih direkomendasikan untuk evaluasi preoperasi untuk eksklusi
kelainan motilitas yang jarang seperti achalasia atau aperistaltik yang berhubungan dengan
suatu kelainan, misalnya skleroderma)
 Gastroesophageal Reflux Disease Questionnairre (GERD-Q)
GERD-Q merupakan sebuah kuesioner yang terdiri dari 6 pertanyaan mengenai gejala klasik
GERD, pengaruh GERD pada kualitas hidup penderita serta efek penggunaan obat-obatan
terhadap gejala dalam 7 hari terakhir. Berdasarkan penilaian GERD-Q, jika skor >8 maka
pasien tersebut memiliki kecenderungan yang tinggi menderita GERD, sehingga perlu
dievaluasi lebih lanjut.
9. apa penatalaksanaan dari scenario?

Berdasarkan Guidelines for the Diagnosis and Management of Gastroesophageal Reflux Disease tahun
1995 dan revisi tahun 2013, terapi GERD dapat dilakukan dengan:

1. Treatment Guideline I: Lifestyle Modification

2. Treatment Guideline II: Patient Directed Therapy

3. Treatment Guideline III: Acid Suppression

4. Treatment Guideline IV: Promotility Therapy

5. Treatment Guideline V: Maintenance Therapy

6. Treatment Guideline VI: Surgery Therapy

7. Treatment Guideline VII: Refractory GERD

 Modifikasi gaya hidup, merupakan pengaturan pola hidup yang dapat dilakukan dengan:

1. Menurunkan berat badan bila penderita obesitas atau menjaga berat badan sesuai dengan IMT ideal

2. Meninggikan kepala ± 15-20 cm/ menjaga kepala agar tetap elevasi saat posisi berbaring

3. Makan malam paling lambat 2 – 3 jam sebelum tidur

4. Menghindari makanan yang dapat merangsang GERD seperti cokelat, minuman mengandung kafein,
alkohol, dan makanan berlemak - asam – pedas

 PPI (Proton Pump Inhhibitor)


merupakan salah satu obat untuk terapi GERD yang memiliki keefektifan serupa dengan terapi
pembedahan. Jika dibandingkan dengan obat lain, PPI terbukti paling efektif mengatasi gejala
serta menyembuhkan lesi esofagitis1,8-11 Yang termasuk obat-obat golongan PPI adalah
omeprazole 20 mg, pantoprazole 40 mg, lansoprazole 30 mg, esomeprazole 40 mg, dan
rabeprazole 20 mg. PPI dosis tunggal umumnya diberikan pada pagi hari sebelum makan pagi.
Sedangkan dosis ganda diberikan pagi hari sebelum makan pagi dan malam hari sebelum makan
 Antagonis reseptor H2, antasida, dan prokinetik (antagonis dopamin dan antagonis reseptor
serotonin).
a. Antagonis reseptor H2 dan antasida digunakan untuk mengatasi gejala refluks yang
ringan dan untuk terapi maintenance dikombinasi dengan PPI. Yang termasuk ke dalam
antagonis reseptor H2 adalah
simetidin (1 x 800 mg atau 2 x 400 mg)
ranitidin (2 x 150 mg)
farmotidin (2 x 20 mg)
nizatidin (2 x 150 mg)
b. Prokinetik merupakan golongan obat yang berfungsi mempercepat proses pengosongan
perut, sehingga mengurangi kesempatan asam lambung untuk naik ke esofagus. Obat
golongan prokinetik termasuk domperidon (3 x 10 mg) dan metoklopramid (3 x 10 mg).

10. Apa komplikasi dari scenario?

 Barret’s esophagus : kondisi kesehatan di mana sel yang melapisi kerongkongan rusak karena
asam perut. Lapisan tersebut kemudian akan menjadi tidak normal dan berubah menjadi seperti
sel yang melapisi perut. Sel yang bernama squamous (rata) merupakan sel yang biasanya melapisi
kerongkongan.
 Striktur : merupakan penyempitan lumen esofagus yang dapat menyebabkan keluhan disfagia.
 Adenokarsinoma di kardia dan esophagus

Anda mungkin juga menyukai