Anda di halaman 1dari 13

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ternak adalah satu dari sekian sumberdaya alam yang memberikan


kontribusi positif pembangunan nasional. Pengelolaaan komoditas peternakan yang
benar akan meningkatkan produktivitas ternak, penyuburan lahan pertanian,
pengembangan energi alternatif, peningkatan kesempatan kerja, dan memberikan
kesejahteraan bagi peternak Indonesia. Dengan demikian, komoditas ternak dapat
digunakan sebagai lokomotif pembangunan pertanian di Indonesia yang setiap
gerbongnya diisi oleh komoditas lain. (Pedum SPR, 2016)
Kondisi peternakan suatu propinsi berkembang atau tidaknya dapat dilihat
kontribusi populasi ternak terhadap kondisi ternak nasional. Populasi ternak sapi
potong Propinsi Jawa Barat berkontribusi 2,58 % lebih kecil dibandingkan Jawa
tengah dan Jawa Timur, masing-masing sebesar 10,46 % dan 27,54%. Demikian
juga halnya dengan Kabupaten Sukabumi memiliki kontribusi populasi ternak sapi
potong 4,43 % terhadap Jawa Barat. Di sisi lain, potensi umum di wilayah kawasan
peternakan Kabupaten Sukabumi khususnya untuk pengembangan ternak sapi
potong pemanfaatannya dapat ditingkatkan. Salah satu potensi sumberdaya alam
yang bisa dimanfaatkan adalah luas wilayah dan nisbah lahan. Kabupaten
Sukabumi memiliki wilayah terluas di pulau Jawa 4.145 km2 dan nisbah lahan
tertinggi (ha/orang) 0,17 atau 7,85%. (MP Peternakan Jabar, 2016).
Bila ditinjau dari sumber asalnya, bahan pangan terdiri atas pangan nabati
(asal tumbuhan) dan pangan hewani (asal ternak dan ikan). Bahan pangan hewani
yang berasal dari ternak adalah daging, telur dan susu yang berfungsi sebagai
sumber zat gizi, utamanya protein dan lemak. Berdasarkan data tahun 2013-2017,
konsumsi daging ruminansia meningkat sebesar 16,35% dari 0,261 Kg/kap/tahun
pada tahun 2013 menjadi 0,445 Kg/kap/tahun pada tahun 2017. Dilain pihak dalam
kurun waktu yang sama penyediaan daging sapi lokal rata-rata baru memenuhi
63,57% kebutuhan total nasional. Sehingga kekurangannya masih dipenuhi dari
impor, baik berupa sapi bakalan maupun daging beku. (Susenas, BPS 2017).
Menghadapi tantangan tersebut, Pemerintah perlu menyusun program peningkatan
produksi daging sapi/kerbau dalam negeri, menggunakan pendekatan yang lebih
banyak mengikutsertakan peran aktif masyarakat. (Upsus Siwab, 2017)
Kondisi usaha peternakan sapi potong di Indonesia didominasi oleh usaha
peternakan berskala kecil dengan jumlah Rumah Tangga Peternak sebesar
4.204.213 orang (PSPK, 2011) yang menguasai lebih dari 98% ternak di Indonesia,
dengan ciri: 1) rata-rata kepemilikan ternak relatif rendah dan menyebar; 2) ternak
dipelihara sebagai tabungan hidup; 3) jiwa kewirausahaan yang rendah; 4) lahan

1
pemeliharaan tidak jelas; 5) usaha beternak dilakukan secara turun temurun; dan 6)
sebagian besar tidak memiliki modal untuk membeli ternak. Kondisi demikian
mengakibatkan posisi tawar peternak rendah dan tidak berorientasi bisnis untuk
menjadi usaha pokok.
Potensi peternak berskala kecil tersebut secara keseluruhan menjadi tulang
punggung bangsa Indonesia untuk menyediakan bahan pangan asal hewan bagi
seluruh penduduknya. Sehingga diperlukan kontribusi seluruh pemangku
kepentingan peternakan dan kesehatan hewan untuk mengkonsolidasikan kekuatan
peternak berskala kecil tersebut dalam kegiatan pra produksi, produksi, dan pasca
produksi, serta kegiatan penunjang yang saling bersinergi dan berkelanjutan.
Berdasarkan kondisi tersebut di atas dan mengacu Permentan 50/2012
tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Pertanian, Kepmentan 830/2016
tentang Penetapan Kawasan Sapi Potong, Kabupaten Sukabumi ditetapkan
sebagai salah satu kawasan pengembangan sapi potong di Jawa Barat dan acuan
Perda RPJMD 2016-2021 Kabupaten Sukabumi, serta Peraturan Pemerintah
Nomor 6 Tahun 2013 tentang Pemberdayaan Peternak, maka pendekatan
pembangunan peternakan dan kesehatan hewan ke depan ditempuh melalui
pengembangan Sentra Peternakan Rakyat (SPR) yang didalamnya menerapkan
Sekolah Peternakan Rakyat (Sekolah-PR) sebagai jawaban dan alternatif solusi
untuk mengembangkan peternakan rakyat menuju usaha bisnis kolektif yang
feaseble, bankable, dan berdaya saing. (Pedum SPR, 2016)
Pembangunan sektor pertanian (pangan) menjadi salah satu tujuan utama
dalam Agenda Nawacita yaitu mewujudkan kemandirian (kedaulatan) pangan.
Kedaulatan pangan dimaknai sebagai pemenuhan melalui produksi lokal. Di
dalamnya menyangkut pemenuhan hak atas pangan berkualitas, bergizi baik, dan
sesuai budaya, yang diproduksi dengan sistem pertanian berkelanjutan dan ramah
lingkungan. Agar menjadi suatu kesatuan kawasan pengembangan peternakan dan
mendukung program Nawacita, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Untuk kawasan peternakan di tingkat nasional maka termasuk juga kedalam
kawasan prioritas provinsi. Sedangkan dasar pemilihan kawasan peternakan di
tingkat provinsi yaitu berdasarkan hasil analisis potensi dan identifikasi
kawasan mandiri peternakan di Provinsi Jawa Barat. (MP Peternakan Jabar, 2016)
Keberhasilan SPR diharapkan mampu mendorong kinerja pembangunan
peternakan dan kesehatan hewan yang telah digariskan dalam Rencana Strategis
Pembangunan Peternakan dan Kesehatan Hewan yang mencakup : (i) peningkatan
produksi; (ii) peningkatan daya saing peternakan dan; (iii) peningkatan
kesejahteraaan peternak. Sehingga dengan tercapainya sasaran program
pemenuhanan pangan asal ternak dan agribisnis peternakan rakyat akan
menyokong kedaulatan pangan nasional. (Pedum SPR, 2016)

2
Dalam sistem budidaya ternak, baik ternak sapi maupun kerbau di
Indonesia dikenal 2 cara perkawinan yaitu melalui Inseminasi Buatan (IB) dan
Kawin Alam (KA). Inseminasi Buatan (IB) merupakan salah satu pilihan dalam
pengembangbiakan ternak karena dapat melakukan efisiensi pemeliharaan
Pejantan.
Keberhasilan Inseminasi Buatan (IB) di lapangan secara teknis dipengaruhi
oleh beberapa faktor antara lain mutu semen beku, kondisi reproduksi ternak
betina, keterampilan petugas/inseminator dan pengetahuan peternak dalam
mendeteksi berahi serta didukung oleh hasil pencatatan/recording. Sedangkan
mutu semen beku dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain kualitas Pejantan yang
menghasilkan sperma, cara produksi semen beku dan penanganan semen beku
sampai saat pelaksanaan IB di lapangan.
Meningkatnya permintaan IB untuk meningkatkan produktivitas ternak
sapi potong, berdampak pada peningkatan pelayanan IB, kebutuhan semen beku
sapi dan kerbau serta kebutuhan penyediaan petugas teknis IB. Untuk itu perlu
tersedia Petunjuk Pelaksanaan IB, Penyediaan Semen Beku Sesuai SNI Serta
Penyediaan Tenaga Teknis IB.
Pelaksanaan IB dipisahkan berdasarkan sistem pemeliharaan, yaitu intensif
(ternak dipelihara di dalam kandang dan seluruh kebutuhan ternak disediakan),
semi intensif (ternak dipelihara di dalam kandang tetapi pada siang hari
digembalakan), dan ekstensif (ternak dipelihara tidak di dalam kandang dan
biasanya digembalakan). Sistem intensif dan semi intensif diberlakukan IB secara
normal yaitu dilaksanakan di kandang jepit yang disiapkan peternak baik secara
individu maupun kelompok.
Sementara untuk introduksi IB dilakukan pada sistem pemeliharaan
ekstensif. Kegiatan IB dilakukan pada waktu yang ditentukan secara berkala di
holding ground dan gang way (kandang penampungan yang dilengkapi lorong
penanganan ternak) yang dibangun pemerintah. Pada saat pengumpulan secara
berkala, akseptor yang birahi dilakukan pelayanan IB dan akseptor lainnya
mendapatkan penanganan medis seperti pemeriksaan kesehatan, pengobatan dll.
Apabila memungkinkan untuk meningkatkan tingkat berahi dan keberhasilan
kebuntingan dapat dilakukan pemberian hormon PGF2. Beberapa parameter
berupa service per conception (S/C), calving interval (CI) umur pedet sapih dan
kawin setelah beranak merupakan indikator yang dapat dijadikan penampilan
reproduksi usaha ternak sapi potong (Upsus Siwab, 2017)
Faktor manusia merupakan faktor yang sangat penting pada keberhasilan
program IB, karena memiliki peran sentral dalam kegiatan pelayanan IB. Faktor
manusia, sarana dan kondisi lapangan merupakan faktor yang sangat dominan.
Berkaitan dengan manusia sebagai pengelola ternak, motivasi seseorang untuk
mengikuti program atau aktivitas-aktivitas baru banyak dipengaruhi oleh aspek

3
sosial dan ekonomi. Faktor sosial ekonomi antara lain usia, pendidikan,
pengalaman, pekerjaan pokok dan jumlah kepemilikan sapi kesemuanya akan
berpengaruh terhadap manajemen pemeliharaannya yang pada akhirnya
mempengaruhi pendapatan. Ketepatan deteksi birahi dan pelaporan yang tepat
waktu dari peternak kepada inseminator serta kerja inseminator dari sikap,
sarana dan kondisi lapangan yang mendukung akan sangat menentukan
keberhasilan IB. Program IB pada prinsipnya merupakan salah satu program
pembangunan peternakan yang memiliki banyak keunggulan, baik dalam
meningkatkan laju pertambahan populasi ternak maupun dalam meningkatkan
pendapatan para peternak. Faktor fasilitas atau sarana merupakan faktor yang
memperlancar jalan untuk mencapai tujuan. Inseminator dan peternak merupakan
ujung tombak pelaksanaan IB sekaligus sebagai pihak yang bertanggung jawab
terhadap berhasil atau tidaknya program IB di lapangan. (Hastuti, 2008)
Keadaan peternakan rakyat yang ada di SPR Asnak Ciracap sebagian besar
pola pemeliharaannya masih dilakukan secara tradisional (ektensif) dengan sistem
penggembalaan dan berintegrasi dengan perkebunan kelapa yang kepemilikan
lahannya bersifat hak guna usaha (HGU) dan belum ada kerjasama. Kepemilikan
ternak rata-rata 1-2 ekor dari setiap peternak serta belum ada pemanfaatan dari
limbah kotoran yang dihasilkan ternak tersebut serta masih banyak rumah tangga
peternak (RTP) yang belum tergabung dalam kelompok. Jenis sapi potong yang
berada di SPR Asnak Ciracap terdiri dari bangsa sapi PO, Sapi pasundan, Brahman,
Simental dan persilangan dengan populasi tersebar dalam tingkatan umur. (SPR
Ciracap, 2015).

1.2. Identifikasi Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini dibuat untuk melakukan
kajian sosial ekonomi pelaksanaan IB di Kecamatan Ciracap Kabupaten Sukabumi
dengan mengkaji penampilan reproduksi sapi potong, pelaksanaan IB di lapangan
oleh inseminator, kelembagaan SPR, dan pendapatan peternak dari sapi potong.

1.3. Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui karakteristik sosial ekonomi
peternak dan inseminator, keberhasilan pelaksanaan IB dengan melihat penampilan
reproduksi sapi potong, kelembagaan SPR dan mengidentifikasi, menganalisis serta
mengetahui pendapatan usaha ternak sapi potong yang menerapkan program IB dan
faktor-faktor yang mempengaruhinya.

4
1.4. Kegunaan Penelitian
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah didapatkannya
gambaran tentang kondisi sosial ekonomi peternak dan petugas inseminasi buatan
serta keberhasilan pelaksanaan IB, sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah
maupun swasta untuk mengambil kebijakan dalam upaya pengembangan sapi
potong yang dilakukan di SPR Kabupaten Sukabumi dengan membangun bisnis
kolektif berjamaah melalui sekolah peternakan rakyat.

5
II. KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

2.1. Kajian Pustaka

a. Peranan dan Pelaksanaan IB


Diantara kegiatan aksi mendukung percepatan populasi dan produksi
daging sapi, kegiatan optimalisasi Inseminasi Buatan (IB) berkontribusi cukup
tinggi dalam mengungkit swasembada daging (Biro Perencanaan, 2012). Melalui
IB dapat meningkatkan produktivitas sapi lokal dan hasil IB, sehingga akan
meningkatkan jumlah sapi betina produktif, menekan nilai atau angka service per
conception (S/C), memperpendek calving interval, mempercepat umur beranak
pertama, dan memperpanjang masa produktif (longivity).
Inseminasi Buatan sebagai alat yang efektif untuk memperbaiki mutu
genetik dan meningkatkan populasi ternak. Inseminasi Buatan (IB) adalah salah
satu bioteknologi reproduksi alternatif yang dapat digunakan untuk memperbaiki
produktivitas usaha ternak sapi di Indonesia. IB merupakan alat yang efisien dan
efektif dalam melaksanakan kebijaksanaan pemuliaan ternak secara nasional untuk
memperbaiki mutu genetik keturunannya secara cepat (Tambing, et al., 2000).
Keberhasilan IB ditunjukkan dengan jumlah anak yang dilahirkan dari sejumlah
induk yang diinseminasi.Penerapan teknologi IB diyakini memiliki nilai tambah
ekonomi dan praktis dalam usaha perbaikan genetik dan produktivitas (Ilham, et.
al, 2011).
Upaya untuk mendorong peningkatan produksi domestik dapat dilakukan
melalui perbaikan teknologi produksi untuk meningkatkan produktivitas. Salah satu
langkah operasional dalam Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau Tahun
2014 (PSDSK 2014) adalah peningkatan produktivitas dan reproduktivitas ternak
sapi lokal melalui optimalisasi IB dan Intensifikasi Kawin Alam (InKA). Kegiatan
ini bertujuan untuk meningkatkan jumlah kelahiran ternak. Dengan demikian akan
mendorong pertumbuhan produksi daging sapi dan nilai tambah subsektor
peternakan di dalam negeri, sekaligus menciptakan lapangan kerja. Swasembada
daging sapi dapat tercapai apabila produksi daging sapi domestik mampu
memenuhi minimum 90 persen dari total konsumsi daging sapi nasional (Dirjen
Peternakan, 2011).
Agar pelaksanaan IB dapat memberikan hasil yang maksimal perlu
memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
- Akseptor
Akseptor IB dapat berasal dari ternak yang berkembang di masyarakat termasuk
ternak yang berasal dari bantuan pemerintah baik dana APBN/APBD maupun
ternak yang berada di perusahaan. Akseptor IB disamping yang berada di
wilayah yang sudah berjalan pelaksanaan IB, juga dapat berasal dari ternak di

6
wilayah yang IB belum berjalan atau kegiatan pembiakannya dilakukan melalui
kawin alam.
- Pelayanan IB
Pada daerah yang sudah berjalan/berkembang pelayanan IB nya, seperti pada
wilayah/daerah IB swadaya, pengembangan dan introduksi pelaksanaannya
mengacu kepada pelaksanaan IB secara regular, dimana ternak yang terdeteksi
birahi dapat langsung di lakukan IB dan ternak yang sudah di IB sebelumnya
dapat dilakukan pemeriksaan kebuntingan. Sedangkan ternak sudah tiga (3)
kali di IB namun tidak menunjukkan adanya kebuntingan, ternak tersebut
dilaporkan kepada tim penanganan ganguan reproduksi untuk dilakukan
pemeriksaan.
- Penggunaan dan Penanganan (Handling) Semen Beku
Penggunaan semen beku dari satu pejantan IB pada satu lokasi tidak boleh lebih
dari 2 tahun agar tidak terjadi inbreeding. Mengenai kualitas semen beku dari
pejantan-pejantan IB menjadi tanggung jawab Balai Inseminasi Buatan (BIB)
Pusat dan Balai Inseminasi Buatan Daerah (BIBD) karena
- Nutrisi pakan merupakan faktor penting dalam mendukung keberhasilan IB,
kebuntingan serta kelahiran pada ternak. Dalam rangka perbaikan penampilan
atau performans reproduksi dan kesehatan ternak pada saat kebuntingan, pakan
suplemen dapat diberikan yang berfungsi sebagai penguat kebuntingan dan
menghindari abortus.

- Organisasi Kegiatan IB

- Satuan Pelayanan Inseminasi Buatan (SP-IB) atau POS IB

b. Konsep SPR
SPR berangkat dari filosofi bahwa pembangunan peternakan dan kesehatan
hewan yang mensejahterakan peternak rakyat hanya dapat diperoleh apabila
pemerintah dan para pihak melakukan berbagai upaya yang memperhatikan prinsip
satu manajemen, pengorganisasian (konsolidasi) pelaku, dan pemberdayaan
peternak dalam rangka terwujudnya populasi ternak berencana.
SPR adalah pusat pertumbuhan komoditas peternakan dalam suatu kawasan
peternakan sebagai media pembangunan peternakan dan kesehatan hewan yang di
dalamnya terdapat satu populasi ternak tertentu yang dimiliki oleh sebagian besar
peternak yang bermukim di satu desa atau lebih, dan sumber daya alam untuk
kebutuhan hidup ternak (air dan bahan pakan). SPR mengoptimalkan pemanfaatan
sumber dana dan sumber daya menuju bisnis kolektif yang diinisiasi melalui
Sekolah – PR.

7
Sekolah-PR merupakan pengungkit dan agen perubahan dalam
pengelolaan ,kelembagaan dan SDM peternakan menuju terbentuknya usaha
peternakan kolektif yang mandiri dan berorientasi bisnis profit melalui
pendampingan, pengawalan, aplikasi teknologi dan informasi, transfer ilmu
pengetahuan. Pola pikir konsepsi pengembangan SPR disajikan pada Gambar 1.
(Pedum SPR, 2015)

Gambar 1. Konsep Pengembangan Sentra Peternakan Rakyat

8
2.2. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran dalam penelitian ini digambarkan dalam alur


pemikiran yaitu kajian sosial ekonomi pelaksanaan IB sapi potong di SPR dapat
dijelaskan dengan mendeskripsikan karakteristik sosial ekonomi peternak dan
inseminator dan pendapatan peternak. Pelaksanaan IB dilihat dari penampilan
reproduksi sapi potong di SPR, sedangkan kelembagaan SPR Kecamatan Cicarap
dan Tegalbuleud Kabupaten Sukabumi dianalisis secara deskriptif. Dari beberapa
karakteristik peternak dan penampilan reproduksi sapi potong, diduga menjadi
faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan peternak.

SPR
Karakteristik Sosial Ekonomi Ciracapc Pelaksanaan IB
(Penampilan Reproduksi)
Peternak Inseminator
- Umur - Umur - Umur Pedet Sapih
- Tingkat - Tingkat - Kawin Setelah
Pendidikan Pendidikan Beranak
- Pekerjaan - Pengalaman - Service per
Utama Sebagai Conception (S/C)
- Pengalaman Inseminator - Calving Interval (C.I.)
Beternak
- Kepemilikan
Ternak

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi


Pendapatan Peternak

 Pengalaman Beternak
 Kepemilikan Ternak
 Biaya Kawin
 Service per Conception
(S/C)
 Calving Interval (C.I.)

Pendapatan Peternak

Gambar 2. Kerangka Pemikiran Penelitian

9
III. METODOLOGI

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif sebagai prosedur pemecahan


masalah yang diselidiki dengan menggambarkan objek penelitian. Jenis data yang
dikumpulkan adalah data primer dan sekunder. Data primer berasal dari peternak
yang mengikuti IB dan kawin alam serta seluruh petugas inseminator di SPR
Kecamatan Ciracap dan Kecamatan Tegalbuleud Kabupaten Sukabumi. Data
sekunder berasal dari dinas-dinas literature terkait.
Responden diambil secara sampling acak berstrata dengan cara alokasi
proporsional yaitu untuk peternak 104 responden di Kecamatan Ciracap dan 96
responden di Kecamatan Tegalbuleud dengan total responden 200 orang. Terdiri
atas 100 peternak yang menggunakan IB dan 100 orang peternak yang
menggunakan kawin alam, sedangkan petugas IB diambil semua petugas IB di
wilayah SPR sebanyak 6 orang responden.
Data primer maupun data sekunder yang diperoleh dipaparkan secara
deskriptif dan di analisis secara statistik.

Analisis hasil dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk melakukan uji beda dan mengevaluasi pelaksanaan IB dengan melihat


penampilan reproduksi sapi potong di daerah penelitian, pengambilan data
yang diperoleh di analisis dengan menggunakan uji – t. Data variabel
penampilan reproduksi meliputi umur sapih, kawin setelah beranak, S/C dan
C.I.
2. Untuk mengetahui kelembagaan IB, data sekunder yang diperoleh di analisis
secara deskriptif.
3. Untuk mengetahui pendapatan usaha ternak sapi potong menggunakan
persamaan :
Yb = Jit + P – Ct
Yb = Pendapatan dari ternak sapi (rupiah/ekor induk/tahun)
Jit = Nilai ternak (rupiah/ekor induk/tahun)
P = Nilai kotoran (rupiah/ekor induk/tahun)
Ct = Biaya yang dikeluarkan (rupiah/ekor induk/tahun)
4. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan peternak sapi
potong dilanjutkan regresi linier berganda dengan persamaan :

Y = α + β1 X1 + β2 X2 + β3 X3 + β4 X4 + β5 X5 + D
Keterangan :
Y = Pendapatan ternak sapi potong (rupiah/ekor induk/tahun)

10
α = Intercep

β1, β2, ... = koefisien regresi


X1 = Pengalaman beternak (tahun)
X2 = Calving interval (C.I) (hari)
X3 = Service per conception (S/C) (kali)
X4 = Biaya kawin (rupiah)
X5 = Pemilikan ternak (Satuan Ternak)
D = variabel dummy (1) = kawin dengan IB
(0) = kawin alam

Untuk analisis regresi linier berganda diperlukan persyaratan data harus


terdistribusi normal, tidak terdapat multicolliniearity pada variabel bebas, tidak
terdapat autokorelasi dan tidak terjadi heteroskedastisitas.

11
DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 2017. Survey Sosial Ekonomi Nasional. Jakarta.

Biro Perencanaan. 2012. Laporan Evaluasi Midterm Program dan Target


Pembangunan Pertanian 2010-2014. Biro Perencanaan, Setjen Pertanian,
Kementan. Jakarta

Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2017. Pedoman Pelaksanaan


Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting (Upsus Siwab). Kementan.
Jakarta.

Dinas Peternakan Kabupaten Sukabumi. 2016. Profil SPR Perintis Asnak Ciracap
2016 : Peternak Cerdas, Peternak Berdaulat. Tidak dipublikasi. Kerjasama
Kementan, Disnak Kab. Sukabumi dan Universitas Padjadjaran.

Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2015. Pedoman Sentra


Peternakan Rakyat (SPR). Kementan. Jakarta.

Dirjen PKH, BPS. 2011. Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah dan Kerbau (PSPK
2011) Nasional. Badan Pusat Statistik. Jakarta-Indonesia.

Dirjen Peternakan. 2011. Blue Print Program Swasembada Daging Sapi 2014.
Direktorat Jenderal Peternakan, Kementerian Pertanian. Jakarta.
http://www.ditjennak.go. id/regulasi%5Cblueprint.pdf. [25 Oktober 2011].

Hastuti, Dewi. Nurtini, S. Widiati, R. 2008. Kajian Sosial Ekonomi Pelaksanaan


Inseminasi Buatan Sapi Potong di Kabupaten Kebumen. Jurnal Mediagro
Vol 4. No 2, 2008.

Ilham, N., E. Basuno, W.K. Sedjati, Ashari, S. Nuryanti, F.B. Dabukke, dan R.
Elizabeth. 2011. Keragaan, Permasalahan dan Upaya Mendukung
Akselerasi Program Swasembada Daging Sapi. Laporan Hasil Penelitian.
Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian.

Kementerian Pertanian. 2012. Blue Print Program Swasembada Daging Sapi dan
Kerbau (PSDSK) 2014 dengan Pendekatan Sistem Modelling. Direktorat
Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian. Jakarta.

12
Tambing, N.S., M.R. Toelihere dan T.L.Yusuf. 2000. Optimasi Program
Inseminasi Buatan Pada Kerbau. Wartazoa, 10 (2): 41-50. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Provinsi Jawa Barat. 2016. Master Plan
Pengembangan Kawasan Peternakan Jawa Barat Tahun 2016. Bandung.

13

Anda mungkin juga menyukai