Anda di halaman 1dari 103

KEMENTERIAN PERHUBUNGAN

DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA

Nomor : KP 590 TAHUN 2014

TENTANG

PEDOMAN TEKNIS PEMBUATAN


RENCANA INDUK BANDAR UDARA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA,

Menimbang : bahwa berdasarkan Pasal 39 Peraturan Menteri


Perhubungan Nomor PM 20 Tahun 2014 Tentang Tata
Cara dan Prosedur Penetapan Lokasi Bandar Udara,
perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal
Perhubungan Udara tentang Pedoman Teknis
Pembuatan Rencana Induk Bandar Udara;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang


Penerbangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4956);

2. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2012 tentang


Pembangunan dan Pelestarian Lingkungan Hidup
Bandar Udara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2012 Nomor 71, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5296);

3. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang


Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara
Republik Indonesia, sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun
2014;

4. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang


Kedudukan, Tugas dan Fungsi Eselon I Kementerian
Negara, sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2014;

5. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 60 Tahun


2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Perhubungan, sebagaimana telah diubah terkahir
dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM
68 Tahun 2013;
6. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 69 Tahun
2013 Tentang Tatanan Kebandarudaraan Nasional;

7. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 20 Tahun


2014 Tentang Tata Cara dan Prosedur Penetapan
Lokasi Bandar Udara;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan: PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN


UDARA TENTANG PEDOMAN TEKNIS PEMBUATAN
RENCANA INDUK BANDAR UDARA.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:

1. Kebandarudaraan adalah segala sesuatu yang


berkaitan dengan penyelenggaraan bandar udara
dan kegiatan lainnya dalam melaksanakan fungsi
keselamatan, keamanan, kelancaran, dan ketertiban
arus lalu lintas pesawat udara, penumpang, kargo,
dan/atau pos, tempat perpindahan intra dan/atau
antarmoda serta meningkatkan pertumbuhan
ekonomi nasional dan daerah.

2. Tatanan Kebandarudaraan Nasional adalah sistem


kebandarudaraan secara nasional yang
menggambarkan perencanaan bandar udara
berdasarkan rencana tata ruang, pertumbuhan
ekonomi, keunggulan komparatif wilayah, kondisi
alam dan geografi, keterpaduan intra dan
antarmoda transportasi, kelestarian lingkungan,
keselamatan dan keamanan penerbangan, serta
keterpaduan dengan sektor pembangunan lainnya.

3. Bandar udara adalah lapangan terbang yang


dipergunakan untuk mendarat dan lepas landas
pesawat udara, naik turun penumpang, dan / atau
bongkar muat kargo dan/atau pos, serta dilengkapi
dengan fasilitas keselamatan penerbangan dan
sebagai perpindahan antar moda transportasi.

4. Rencana Induk Bandar Udara adalah pedoman


pembangunan dan pengembangan bandar udara
yang mencakup seluruh kebutuhan dan
penggunaan tanah serta ruang udara untuk
kegiatan penerbangan dan kegiatan penunjang
penerbangan dengan mempertimbangkan aspek-
aspek teknis, pertahanan keamanan, sosial budaya
serta aspek-aspek terkait lainnya.
5. Daerah Lingkungan Kerja (DLKr) Bandar Udara
adalah wilayah daratan dan/atau perairan yang
digunakan secara langsung untuk kegiatan Bandar
udara.

6. Daerah Lingkungan Kepentingan (DLKp) Bandar


Udara adalah daerah diluar lingkungan kerja
Bandar udara yang digunakan untuk menjamin
keselamatan dan keamanan penerbangan serta
kelancaran aksesibilitas penumpang dan kargo.

7. Kontur Kebisingan adalah garis yang


menghubungkan titik - titik atau tempat-tempat
yang mempunyai nilai indeks tingkat kebisingan
yang sama.

8. Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan adalah


wilayah daratan dan/atau perairan serta ruang
udara di sekitar bandar udara yang digunakan
untuk kegiatan operasi penerbangan dalam rangka
menjamin keselamatan penerbangan.

9. Landas pacu adalah suatu daerah persegi panjang


yang ditentukan pada bandar udara di kawasan
daratan dan/atau perairan yang dipergunakan
untuk pendaratan dan lepas landas pesawat udara.

10. Pemrakarsa adalah Pemerintah, Pemerintah Daerah,


Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik
Daerah atau Badan Hukum Indonesia yang
mempunyai hak untuk pelaksanaan pembangunan,
mengoperasikan dan mengusahakan bandar udara.

11. Menteri adalah Menteri Perhubungan.

12. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal


Perhubungan Udara.

13. Direktur adalah Direktur Bandar Udara.

14. Penyelenggara Bandar Udara adalah Unit Pelaksana


Bandar Udara atau Badan Usaha Bandar Udara.

BAB II
PEDOMAN TEKNIS PEMBUATAN
RENCANA INDUK BANDAR UDARA

Pasal 2

(1) Rencana induk bandar udara ditetapkan oleh


Menteri.
(2) Rencana induk bandar udara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan
memperhatikan:

a. tatanan kebandarudaraan nasional;


b. keamanan dan keselamatan penerbangan;
c. prakiraan permintaan jasa angkutan udara;
d. pedoman dan standar/kriteria perencanaan yang
berlaku;
e. pengelolaan lingkungan hidup;
f. rencana tata ruang wilayah Provinsi, tataran
transportasi wilayah Provinsi, rencana tata ruang
wilayah Kabupaten/Kota, dan tataran
transportasi lokal Kabupaten/Kota; dan
g. faktor teknis lain.

Pasal 3

(1) Keamanan dan keselamatan penerbangan,


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf
b, meliputi:

a. persyaratan ruang udara antara lain perbukitan,


bangunan;
b. prosedur pendaratan dan lepas landas, rute
penerbangan dan pelayanan lalu lintas udara;
c. jarak dengan bandar udara lain;
d. persyaratan meteorologi; dan
e. gangguan elektromagnetik.

(2) Pedoman dan standar/kriteria perencanaan yang


berlaku, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(2) huruf d, antara lain:

a. standar/kriteria yang dikeluarkan oleh Direktorat


Jenderal Perhubungan Udara dan/atau
rekomendasi dari International Civil Aviation
Organization (ICAO); dan
b. kajian teknis yang dapat dipertanggung jawabkan
secara ilmiah.

(3) Faktor teknis lain, sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 2 ayat (2) huruf g, antara lain:

a. kondisi topografi;
b. kondisi dan ketersediaan lahan;
c. potensi genangan air;
d. kendala pelaksanaan konstruksi;
e. jalan masuk; dan
f. ketersediaan utilitas.
Pasal 4

Rencana induk bandar udara sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 2, paling sedikit memuat:

a. Prakiraan permintaan kebutuhan pelayanan


penumpang dan kargo;
b. Kebutuhan fasilitas;
c. Tata letak fasilitas;
d. Tahapan pelaksanaan pembangunan;
e. Kebutuhan dan pemanfaatan lahan;
f. Daerah lingkungan kerja;
g. Daerah lingkungan kepentingan;
h. Kawasan keselamatan operasi penerbangan; dan
i. Batas kawasan kebisingan.

Pasal 5

(1) Prakiraan permintaan kebutuhan pelayanan


penumpang dan kargo sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 huruf a, merupakan peramalan
jumlah penumpang, kargo dan/atau pergerakan
pesawat udara (demand).

(2) Prakiraan permintaan kebutuhan pelayanan


penumpang dan kargo dilakukan berdasarkan pada
hasil survei permintaan jasa angkutan udara serta
analisa pergerakan dan kebutuhan pengguna jasa
angkutan udara dengan memperhatikan:

a. potensi penumpang dan kargo tahunan dan jam


sibuk dengan kajian asal dan tujuan penumpang
dan kargo (Origin Destination), kemampuan
membayar (Ability to Pay/ATP) serta kemauan
membayar (Willingness to Pay/WTP);
b. potensi jaringan dan rute penerbangan dengan
kajian asal dan tujuan penumpang dan kargo
(Origin/Destination); dan
c. potensi ketersediaan armada atau pesawat udara
dengan kajian kapasitas penumpang, jarak
tempuh pesawat udara, umur pesawat udara dan
perkembangan teknologi (jenis/tipe).

Pasal 6

(1) Kebutuhan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 4 huruf b, merupakan gambaran besaran
fasilitas yang dibutuhkan suatu bandar udara
berdasarkan hasil perhitungan dan kajian
kebutuhan fasilitas pokok dan penunjang bandar
udara dengan mempertimbangkan prakiraan
permintaan kebutuhan pelayanan penumpang,
kargo dan/atau pergerakan pesawat udara.
(2) Fasilitas pokok bandar udara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:

a. fasilitas keselamatan dan keamanan antara lain:

1) Pertolongan Kecelakaan Penerbangan-


Pemadam Kebakaran (PKPPK);
2) salvage;
3) alat bantu navigasi penerbangan;
4) alat bantu pendaratan visual (Airfield Lighting
System);
5) catu daya kelistrikan; dan
6) pagar.

b. fasilitas sisi udara (airside facility) antara lain:

1) landas pacu (runway);


2) runway strip, Runway End Safety Area
(RESA), stopway, clearway;
3) landas hubung (taxiway);
4) landas parkir (apron);
5) marka dan rambu; dan
6) taman meteo (fasilitas dan peralatan
pengamatan cuaca).

c. fasilitas sisi darat (landside facility) antara lain:

1) bangunan terminal penumpang;


2) bangunan terminal kargo;
3) menara pengatur lalu lintas penerbangan
(control tower);
4) bangunan operasional penerbangan;
5) jalan masuk (access road);
6) parkir kendaraan bermotor;
7) depo pengisian bahan bakar pesawat udara;
8) bangunan hanggar;
9) bangunan administrasi/perkantoran;
10) marka dan rambu; dan
11) fasilitas pengolahan limbah.

(3) Fasilitas penunjang bandar udara sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) merupakan fasilitas yang
secara langsung dan tidak langsung menunjang
kegiatan bandar udara dan memberikan nilai
tambah secara ekonomis pada penyelenggaraan
bandar udara, antara lain:

a. fasilitas perbengkelan pesawat udara;


b. fasilitas pergudangan;
c. penginapan/hotel;
d. toko;
e. restoran; dan
f. lapangan golf.
Pasal 7

Tata letak fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4


huruf c, merupakan gambaran umum rencana
konfigurasi bandar udara, rencana letak fasilitas Bandar
udara yang memperhatikan standar teknis dan kondisi
lahan, setelah melakukan kajian/analisa berupa:

a. tapak (site), topografi, penyelidikan tanah (soil


investigation);
b. drainase bandar udara;
c. konfigurasi fasilitas pokok dan fasilitas penunjang
Bandar udara;
d. arah angin (wind rose) tahunan;
e. objek-objek obstacle di sekitar bandar udara;
f. kondisi atmosferik (kelembaban udara, curah hujan,
jarak pandang,dll);
g. pengembangan pada areal di sekitar bandar udara;
h. ketersediaan lahan pengembangan; dan
i. aksesibilitas dengan moda angkutan lain.

Pasal 8

(1) Tahapan pelaksanaan pembangunan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 4 huruf d, merupakan
gambaran umum rencana pengembangan fasilitas
bandar udara setiap tahapan sampai dengan tahap
akhir (ultimate phase) untuk mewujudkan efisiensi
dan efektifitas pembangunan dengan
mengutamakan optimalisasi fasilitas serta
kemudahan pelaksanaan pembangunan
(implementatif).

(2) Tahapan pelaksanaan pembangunan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan
kebutuhan (demand) pelayanan penumpang dan
kargo dengan kajian/analisis terhadap:

a. rencana tata guna lahan sampai dengan desain


ultimate;
b. kebutuhan fasilitas bandar udara dengan skala
prioritas yang mempertimbangkan faktor
kebutuhan dan ketersediaan anggaran;
c. rencana tata letak fasilitas bandar udara; dan
d. rencana pengembangan fasilitas bandar udara
setiap tahapan pembangunan hingga tahap akhir
(ultimate phase).

Pasal 9

(1) Kebutuhan dan pemanfaatan lahan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 4 huruf e, merupakan
gambaran rencana luas lahan yang akan digunakan
untuk pengembangan fasilitas bandar udara sampai
dengan tahap akhir (ultimate phase).
(2) Kebutuhan dan pemanfaatan lahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), berdasarkan hasil
perhitungan dan kajian kebutuhan serta
pemanfaatan lahan optimal sampai dengan tahap
ultimate.

(3) Hasil perhitungan dan kajian kebutuhan serta


pemanfaatan lahan optimal sampai dengan tahap
ultimate sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
terdiri atas:

a. prakiraan kebutuhan lahan pembangunan;


b. luas lahan yang telah ada; dan
c. luas lahan tambahan untuk pengembangan.

(4) Kebutuhan dan pemanfaatan lahan sebagaimana


dimaksud pada ayat (3), ditentukan berdasarkan
peta kepemilikan lahan dan rencana pembebasan.

Pasal 10

Pedoman teknis pembuatan prakiraan permintaan


kebutuhan pelayanan penumpang dan kargo, kebutuhan
fasilitas, tata letak fasilitas, tahapan pelaksanaan
pembangunan, kebutuhan dan pemanfaatan lahan,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7,
Pasal 8 dan Pasal 9 tercantum dalam Lampiran I dan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan ini.

Pasal 11

(1) Daerah Lingkungan Kerja Bandar Udara (DLKr)


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf f,
merupakan wilayah daratan dan/atau perairan yang
dikuasai Badan Usaha Bandar Udara atau Unit
Penyelenggara Bandar Udara untuk digunakan
dalam pelaksanaan pembangunan, pengembangan,
dan pengoperasian fasilitas pokok dan penunjang
bandar udara.

(2) Daerah Lingkungan Kerja Bandar Udara (DLKr)


sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan
dengan memperhatikan:

a. rencana induk bandar udara atau areal untuk


penempatan fasilitas pokok dan fasilitas
penunjang bandar udara;
b. penguasaan areal tanah dan/atau perairan oleh
penyelenggara bandar udara; dan
c. rencana umum tata ruang wilayah yang
ditetapkan untuk daerah ditempat bandar udara
berada.
(3) Pedoman teknis pembuatan Daerah Lingkungan
Kerja Bandar Udara (DLKr) sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), tercantum dalam Lampiran II dan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan ini.

Pasal 12

(1) Daerah Lingkungan Kepentingan Bandar Udara


(DLKp) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf
g, meliputi:

a. daerah pengembangan dalam rencana induk


bandar udara yang belum dibebaskan;
b. aksesibilitas dari dan ke bandar udara;
c. lokasi dan aksesibilitas dari dan ke instansi
yang terkait dalam penanggulangan keadaan
darurat di sekitar bandar udara.

(2) Pemanfaatan Daerah Lingkungan Kepentingan


Bandar Udara (DLKp) sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus mendapatkan persetujuan dari
Menteri.

(3) Pedoman teknis pembuatan Daerah Lingkungan


Kepentingan Bandar Udara (DLKp) sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), tercantum dalam Lampiran
III dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari Peraturan ini.

Pasal 13

(1) Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP)


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf h,
terdiri atas:
a. kawasan ancangan pendaratan dan lepas landas;
b. kawasan kemungkinan bahaya kecelakaan;
c. kawasan di bawah permukaan transisi;
d. kawasan di bawah permukaan horizontal-dalam;
e. kawasan di bawah permukaan kerucut;
f. kawasan di bawah permukaan horizontal-luar;
dan
g. Kawasan di sekitar alat bantu navigasi
penerbangan.

(2) Pedoman teknis pembuatan Kawasan Keselamatan


Operasi Penerbangan (KKOP) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), tercantum dalam Lampiran
IV dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari Peraturan ini.
Pasal 14

(1) Batas Kawasan Kebisingan (BKK) sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 4 huruf i, merupakan
kawasan tertentu di sekitar bandar udara yang
terpengaruh gelombang suara mesin pesawat udara
yang terdiri atas:

a. kawasan kebisingan tingkat I;


b. kawasan kebisingan tingkat II; dan
c. kawasan kebisingan tingkat III.

(2) Tingkat kebisingan di Bandar Udara dan sekitarnya


ditentukan dengan indeks kebisingan Weighted
Equivalent Continous Perceived Noise Level/WECPNL
atau nilai ekuivalen tingkat kebisingan di suatu area
yang dapat diterima terus menerus selama suatu
rentang waktu dengan pembobotan tertentu.

(3) Pedoman teknis pembuatan Batas Kawasan


Kebisingan (BKK) sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), tercantum dalam Lampiran V dan merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan ini.

BAB III
KERANGKA ACUAN KERJA PELAKSANAAN
PEMBUATAN RENCANA INDUK BANDAR UDARA

Pasal 15

Pemrakarsa harus melaksanakan pekerjaan pembuatan


rencana induk bandar udara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4, sesuai dengan kerangka acuan kerja
pelaksanaan pembuatan rencana induk bandar udara.

Pasal 16

Kerangka acuan kerja pelaksanaan pembuatan rencana


induk bandar udara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15, tercantum dalam Lampiran VI dan merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan ini.

BAB IV
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 17

(1) Untuk kajian rencana induk bandar udara pada


daerah perbatasan, daerah rawan bencana
dan/atau daerah terisolasi tidak harus memiliki:

a. kajian daerah lingkungan kerja;


b. daerah lingkungan kepentingan; dan
c. batas kawasan kebisingan.
(2) Kajian rencana induk yang dikecualikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak berlaku
untuk bandar udara dengan klasifikasi landas pacu
kode Nomor 4.

Pasal 18

Bandar udara yang belum memiliki dokumen rencana


induk bandar udara secara lengkap sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3, harus menyesuaikan dengan
Peraturan ini.

BAB V
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 20

Direktur melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan


Peraturan ini.

Pasal 21

Pada saat Peraturan ini mulai berlaku:

a. Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Udara


Nomor: SKEP/109/VI/2000 tentang Pedoman teknis
Pembuatan Batas-Batas Kawasan Kebisingan;

b. Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Udara


Nomor: SKEP/110/VI/2000 tentang Pedoman teknis
Pembuatan Kawasan Keselamatan Operasi
Penerbangan (KKOP);

c. Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Udara


Nomor: SKEP/120/VI/2002 tentang Pedoman teknis
Pembuatan Rencana Induk Bandar Udara;

d. Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Udara


Nomor: SKEP/223/XII/2002 tentang Pedoman teknis
Pembuatan Daerah Lingkungan Kerja Bandar Udara
(DLKr);

dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 22

Peraturan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di JAKARTA
pada tanggal : 12 DESEMBER 2014

DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA


Pelaksana Tugas,

ttd

BAMBANG TJAHJONO

SALINAN Peraturan ini disampaikan kepada :

1. Menteri Perhubungan;
2. Sekretaris Jenderal Kementerian Perhubungan;
3. Inspektur Jenderal Kementerian Perhubungan;
4. Para Direktur di Lingkungan Jenderal Perhubungan Udara;
5. Sekretaris Direktorat Jenderal Perhubungan Udara;
6. Kepala Pusat Pelatihan Sumbar Daya Manusia Perhubungan;
7. Para Kepala Kantor Otoritas Bandar Udara;
8. Para Kepala Dinas Perhubungan;
9. Direktur Utama PT. (Persero) Angkasa Pura I;
10. Direktur Utama PT. (Persero) Angkasa Pura II;
11. Para Kepala Bandar Udara UPT di Lingkungan Kementerian
Perhubungan; dan
12. Para Kepala Kantor Cabang di Lingkungan PT. (Persero) Angkasa
Pura I dan PT. (Persero) Angkasa Pura II.
LAMPIRAN I
Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara
Nomor : KP 590 TAHUN 2014
Tanggal : 12 DESEMBER 2014
Tentang
Pedoman Teknis Pembuatan Rencana Induk Bandar Udara

PEDOMAN TEKNIS PEMBUATAN PRAKIRAAN PERMINTAAN KEBUTUHAN


PELAYANAN PENUMPANG DAN KARGO, KEBUTUHAN FASILITAS, TATA
LETAK FASILITAS, TAHAPAN PELAKSANAAN PEMBANGUNAN,
KEBUTUHAN DAN PEMANFAATAN LAHAN

I. Tenaga ahli, Tenaga Penunjang dan Peralatan

Dalam melaksanakan pekerjaan pembuatan prakiraan permintaan


kebutuhan pelayanan penumpang dan kargo, kebutuhan fasilitas, tata
letak fasilitas, tahapan pelaksanaan pembangunan, Kebutuhan dan
pemanfaatan lahan diperlukan tenaga ahli, tenaga penunjang dan
peralatan yang meliputi:
1. Tenaga ahli meliputi tenaga ahli yang menguasai bidang ilmu :
a. Perencanaan Bandar Udara;
b. Ekonomi Transportasi;
c. Teknik Sipil;
d. Teknik Arsitektur;
e. Teknik Geodesi;
f. Teknik Geologi;
g. Meteorologi/Klimatologi;
h. Teknik Listrik/ Mekanikal;
i. Teknik Lingkungan;
j. Hukum;
k. Keselamatan Penerbangan.
2. Tenaga Penunjang antara lain :
a. Sekertaris;
b. CAD Operator;
c. Operator Komputer;
d. Administrasi keuangan.
3. Peralatan antara lain :
a. Alat ukur sudut (Total Station);
b. Pita ukur;
c. Prisma Roeloff;
d. Alat ukur beda tinggi (Waterpass);
e. Alat ukur GPS (Global Positioning System) dan Software;
f. Peralatan Boring;
g. Peralatan Sondir;
h. Peralatan Laboratorium Mekanika Tanah;
i. Komputer;
j. Printer dan Plotter;
k. Alat komunikasi radio .

I-1
II. Inventarisasi Data

Inventarisasi data pekerjaan pembuatan prakiraan permintaan


kebutuhan pelayanan penumpang dan kargo, kebutuhan fasilitas, tata
letak fasilitas, tahapan pelaksanaan pembangunan, Kebutuhan dan
pemanfaatan lahan terdiri dari :
1) Kebijakan / Strategi Pengembangan Wilayah dalam Lingkup
Nasional dengan mempertimbangkan:
- Sistem Transportasi Nasional (Sistranas) dan/atau Tatanan
Kebandarudaraan Nasional;
- Rencana Tata Guna Lahan dan prasarana fisik (Rencana Umum
Tata Ruang Wilayah/Rencana Umum Tata Ruang
Kota/Kabupaten);
- Tataran Transportasi Wilayah (Tatrawil) dan Tataran
Transportasi Lokal (Tatralok);
- Kebijakan-kebijakan lain yang ada di daerah tersebut.

2) Data Topografi, Fisiografi, dan Meteorologi antara lain meliputi:


- Peta topografi lokasi bandar udara dan daerah di sekitarnya
(skala minimal 1 : 50.000);
- Peta Tata Guna Lahan di lokasi bandar udara dan daerah di
sekitarnya;
- Peta tematik (kehutanan, pertanian, dsb);
- Data status dan harga tanah untuk berbagai peruntukan di
kawasan lokasi bandar udara dan sekitarnya;
- Data penyelidikan tanah;
- Data meteorologi (iklim, arah, dan kecepatan angin minimal 5
tahun terakhir, kelembaban udara, temperatur, curah hujan,
lama penyinaran matahari).

3) Data potensi ekonomi daerah, meliputi;


- PDB (Produk Domestik Bruto)/PDRB (Produk Domestik Regional
Bruto);
- Kependudukan;
- Perdagangan;
- Pariwisata;
- Perindustrian;
- Sumber Daya Alam;
- Kondisi sosial ekonomi lingkungan masyarakat;
- Potensi ekonomi berbagai sektor/sub sektor yang terkait dengan
pertumbuhan lalu lintas angkutan udara.

4) Data finansial dan pendapatan bandar udara, meliputi:


a) Biaya operasional bandar udara, yaitu biaya yang dikeluarkan
sehubungan dengan pengoperasian dan pengelolaan bandar
udara, dimana biaya tersebut tidak diperlukan lagi bila bandar
udara tidak beroperasi, antara lain :
- Perawatan dan pemeliharaan;
- Transportasi;
- Pengeluaran untuk pegawai;
- Pengadaan Material;
- Administrasi.

I-2
b) Biaya Non Operasional Bandar Udara, yaitu biaya yang harus
tetap dikeluarkan walaupun bandar udara sudah tidak
beroperasi lagi, antara lain :
- Fee (Biaya Layanan Keahlian)
- Depresiasi Asset (Biaya penyusutan asset)
- Amortisasi, yaitu pembayaran kepada debitur (penjual asset)
secara berkala terhadap asset atau barang yang
diserahkan/dijual oleh debitur.

c) Pendapatan Operasional Bandar Udara, yaitu pendapatan yang


secara langsung terkait dengan pengelolaan dan pengoperasian
bandar udara, antara lain bersumber dari :
i. Penyediaan, pengusahaan, dan pengembangan fasilitas
untuk kegiatan pelayanan pendaratan, lepas landas,
manuver, parkir dan penyimpanan pesawat udara;
ii. Penyediaan, pengusahaan dan pengembangan fasilitas
terminal untuk pelayanan angkutan penumpang kargo dan
pos;
iii. Penyediaan, pengusahaan dan pengembangan fasilitas
elektronika, listrik, air dan instalasi limbah buangan;
iv. Penyediaan lahan untuk bangunan, lapangan dan industri
serta gedung atau bangunan yang berhubungan dengan
kelancaran angkutan udara;
v. Usaha Pelayanan jasa yang secara langsung menunjang
kegiatan penerbangan, antara lain meliputi :
- penyediaan hanggar pesawat;
- perbengkelan pesawat udara;
- pergudangan;
- jasa boga pesawat udara;
- jasa pelayanan teknis penanganan pesawat udara di
darat;
- jasa pelayanan penumpang dan bagasi;
- jasa penanganan kargo;
- jasa penunjang lainnya yang secara langsung menunjang
kegiatan penerbangan.
vi. Usaha Pelayanan jasa yang secara langsung atau tidak
langsung menunjang kegiatan bandar udara, antara lain
meliputi :
- Jasa penyediaan penginapan/hotel dan transit hotel;
- Jasa penyediaan toko dan restoran;
- Jasa penempatan kendaraan bermotor;
- Jasa perawatan pada umumnya;
- Jasa lainnya yang secara langsung atau tidak langsung
menunjang kegiatan bandar udara.
vii. Pendapatan Non Operasional Bandar Udara, yaitu
pendapatan yang tidak langsung terkait dengan pengelolaan
dan pengoperasian bandar udara serta akan tetap berlanjut
walaupun bandar udara tidak beroperasi lagi, antaRa lain
bersumber dari :
- Penyediaan jasa konsultasi, pendidikan dan pelatihan;
- Bunga bank.

5) Data fisik bandar udara yang ada saat ini (eksisting) meliputi :
- Peta situasi bandar udara;

I-3
- Citra Satelit yang telah dilakukan koreksi geometrik dan terbaru
(minimal 1 tahun terakhir) atau Foto udara small format dengan
resolusi spasial paling rendah 1 meter.
- Peta batas dan status kepemilikan lahan bandar udara;
- Data fasilitas sisi udara;
- Data fasilitas sisi darat;
- Data fasilitas navigasi penerbangan;
- Data fasilitas alat bantu pendaratan visual;
- Data fasilitas alat bantu pendaratan instrument;
- Data fasilitas komunikasi penerbangan;
- Data fasilitas pengamatan penerbangan;
- Data peralatan penunjang operasi penerbangan;
- Data peralatan penunjang operasi bandar udara;
- Data fasilitas penunjang bandar udara;
- Data fasilitas meteorologi.
6) Data lalu lintas angkutan udara meliputi :
- Jumlah pergerakan pesawat;
- Jumlah pergerakan penumpang;
- Volume pergerakan bagasi;
- Volume pergerakan kargo dan pos;
- Rute/jaringan dan status penerbangan;
- Tipe/jenis pesawat yang beroperasi.
7) Data tatanan ruang udara dan fasilitas penerbangan, meliputi :
a) Standar prosedur pendaratan dan lepas landas, melliputi ;
i. Prosedur Kedatangan ( Arrival Procedure ) antara lain :
- Holding Pattern;
- Final Approach;
- Pola lain yang sudah ditetapkan.
ii. Prosedur Keberangkatan ( Departure Procedure ) antara lain :
- One Departure;
- Two Departure;
- Three Departure;
- Four Departure;
- Pola lain yang sudah ditetapkan.
iii. Persyaratan ruang udara (Kawasan Keselamatan Operasi
Penerbangan);
iv. Standar pelayanan lalu lintas udara (air traffic services);
v. Standar dan kriteria tata letak fasilitas penerbangan.

III. Survey Lapangan


Survey lapangan pembuatan prakiraan permintaan kebutuhan
pelayanan penumpang dan kargo, kebutuhan fasilitas, tata letak
fasilitas, tahapan pelaksanaan pembangunan, Kebutuhan dan
pemanfaatan lahan meliputi :

1. Survei dan pemetaan topografi, terdiri dari :


a. Pemasangan Patok patok tetap / Bench Mark (BM) yang
bertujuan untuk mendapatkan koordinat setiap patok-
patok tetap yang sudah dipasang;

I-4
Pemasangan Bench Mark dilakukan dengan ketentuan
teknis sebagai berikut:
i. patok terbuat dari patok bertulang, diberi nomor dan
kode tertentu;
ii. patok ditanam sedalam 0,75 m sehingga bagian
Bench Mark yang berada di atas permukaan tanah
setinggi 0,25 m;
iii. pemasangan patok-patok tetap harus memenuhi
ketentuan persyaratan peletakan lokasi, yaitu :
- dipasang pada lokasi yang sesuai dengan rencana
titik-titik tetap yang telah di tentukan di atas peta
dasar;
- bench mark rencana induk dipasang pada area
sisi darat dan sisi udara, berjumlah min 20 patok
atau sesuai dengan luas lahan bandar udara;
- mudah dijangkau dan dipasang ditempat yang
aman,

b. Pengukuran Koordinat;
1) Metode pelaksanaan pengukuran koordinat patok-patok
tetap terdiri atas:
a) metode poligon;
Pengukuran patok koordinat batas lahan dan
fasilitas Bandar Udara dengan menggunakan
metode Poligon dilakukan dengan cara :
(1) persiapan pengukuran poligon, meliputi ;
- pengadaan peta, penyiapan formulir, dan
pengadaan informasi tentang titik – titik
kontrol kerangka dasar horizontal nasional
yang sudah ada (mengacu ke Badan
Informasi Geospasial (BIG) atau Badan
Pertanahan Nasional (BPN));
- membuat desain rencana jalur pengukuran
Poligon utama dan Poligon cabang.
(2) metode pengukuran poligon meliputi;
(a) Poligon utama;
- Pengukuran Poligon utama harus
terikat pada minimal satu titik kerangka
dasar horizontal nasional, dan apabila
titik kerangka dasar horizontal nasional
tidak ada atau letaknya relatif jauh dari
lokasi pengukuran, maka dapat
menggunakan titik kerangka horizontal
milik Bappeda, Pekerjaan Umum atau
Pemda yang ada disekitar bandar udara
yang bersangkutan.
- Jalur pengukuran Poligon utama harus
membentuk jaringan dari beberapa loop
yang tertutup melalui kedua ujung titik
sumbu landasan.
(b) Poligon cabang.
Pengukuran Poligon cabang harus terikat
pada titik pengukuran Poligon utama, baik
pada titik awal maupun pada titik akhir.

I-5
Jalur pengukuran Poligon cabang tidak
harus berupa loop yang tertutup.
(3) pelaksanaan pengukuran Poligon, meliputi:
(a) pekerjaan pengukuran poligon utama
Tahapan pengukuran poligon utama terdiri
dari :
 pengukuran sudut, dilakukan dengan
ketentuan teknis sebagai berikut:
- menggunakan alat theodolite yang
telah dikalibrasi (ketelitian
pembacaan 1” (detik)), salah
kolimasi lingkaran horizontal lebih
besar dari 30” atau salah index
lingkaran vertikal lebih besar dari 1'
(menit);
- metode yang digunakan adalah
“Fixed Tripod System” menggunakan
3 (tiga) buah statip dengan 3 (tiga)
buah kiap/tribrach sehingga selama
pengamatan berlangsung statip
tersebut harus tetap berada di satu
titik, kecuali target dan theodolite
saja yang berpindah;
- sebagai titik bantu dalam
pengukuran sudut dan jarak dapat
digunakan patok kayu dengan
ukuran 50cm x 5cm x 5cm, yang
ditengahnya diberi paku payung,
bercat merah dan diberi nomor /
kode pengenal, selanjutnya bagian
patok kayu yang ditanam sedalam
35 cm;
- pengukuran sudut dilakukan
dengan double seri dengan ketelitian
5” (lima detik);
- Salah penutup sudut maksimum 10"
N, dimana N = jumlah titik sudut.
- Pengamatan sudut vertikal untuk
reduksi ke jarak datar dilakukan
dengan 2 seri pada setiap ujung titik
Poligon.
 pengukuran jarak
Pengukuran jarak dilakukan dengan
ketentuan teknis sebagai berikut :
- menggunakan alat Electronic
Distance Measurement yang telah di
kalibrasi (basis yang diketahui
jaraknya);
- pengamatan jarak dilakukan paling
sedikit 3 kali pembacaan dan
kemudian diratakan;
- ketelitian alat ukur jarak harus + (5
mm + 5 ppm);

I-6
- temperatur dan tekanan udara
dicatat untuk dilakukan koreksi
refraksi dalam proses pengolahan
data selanjutnya, pencatatan
dilakukan dalam 30 (menit).

(b) pekerjaan pengukuran poligon cabang


Tahapan pengukuran poligon cabang terdiri dari:

 pengukuran sudut
pengukuran sudut dilakukan dengan
ketentuan teknis sebagai berikut;
- menggunakan alat theodolite dengan
ketelitian pembacaan 1 (satu menit);
- pengukuran sudut dilakukan satu seri,
dengan ketelitian sudut 2 (dua menit);
- salah penutup sudut maksimum 2N,
dimana N = jumlah titik Poligon.

 pengukuran jarak, dilakukan dengan


ketentuan teknis sebagai berikut;
- sebagai titik bantu dapat digunakan
patok kayu yang dipasang sesuai dengan
rencana pengukuran Poligon cabang,
dengan jarak antar patok adalah 75 m
sampai dengan 100 m.
- sisi Poligon diukur pulang pergi dengan
pita ukur, masing-masing minimal 2 kali
pembacaan;

b) metode Global Positioning System (GPS)


Pengukuran koordinat patok-patok tetap dengan
menggunakan metode Global Positioning System (GPS)
dilakukan dengan memperhatikan persyaratan terhadap:
1) peralatan pengukuran GPS;
Peralatan pengukuran GPS harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
- Receiver GPS yang digunakan harus dari tipe
Geodetic dan bukan tipe Navigasi, serta harus
mampu mengamati minimal 4 (empat) satelit pada
setiap tempat pengamatan;
- Antena yang digunakan harus dilengkapi dengan
Ground Absorbent Plane untuk mereduksi efek
multipath;
- Antena yang digunakan harus mempunyai phase
centre yang relatif stabil dan mempunyai gain
patern yang baik agar dapat mengamati sinyal yang
datang dari semua arah.

2) metode pengukuran GPS Geodetik;


Metode pengukuran GPS Geodetik dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut :

I-7
- pengamatan dilakukan dengan metode statis
(Static Positioning), dan selama pengamatan posisi
receiver GPS tidak bergerak;
- penentuan posisi dilakukan dengan menggunakan
metode relatif (Differential Positioning);
- jumlah receiver GPS yang digunakan dalam satu
sesi pengukuran minimum 2 (dua) set;
- pengamatan dilakukan baseline per baseline;
- data pengamatan posisi yang digunakan adalah
data fase;
- jaringan pengukuran yang besar harus dibentuk
menjadi loop – loop kecil, dan jumlah baseline
maksimum yang membentuk setiap loop tidak
lebih dari 8 (delapan) baseline;
- Baseline yang diamati harus saling menutup dalam
suatu loop, dan apabila pengamatan baseline
harus dilakukan secara terlepas (metode radial)
maka setiap baseline diamati 2 (dua) kali pada 2
(dua) sesi pengamatan yang berbeda;
- pengamatan suatu jaringan titik-titik GPS harus
dimulai dari suatu baseline yang terikat langsung
dengan titik ikat;
- minimal terdapat satu patok-patok tetap yang
dapat dijadikan sebagai titik ikat/referensi
pengukuran GPS yang diketahui koordinatnya
dalam sistem WGS – 1984 (Mengacu kpada Titik
ikat referensi nasional (Badan Informasi Geospasial
(BIG));
- apabila di lokasi bandar udara dan sekitarnya,
tidak terdapat patok-patok tetap yang dapat
dijadikan sebagai titik ikat/referensi pengukuran
GPS yang diketahui koordinatnya dalam sistem
WGS – 1984, maka :
 ruang hitungan yang digunakan adalah WGS –
1984;
 harga pendekatan koordinat absolut untuk
seluruh titik dalam jaringan ditentukan melalui
pengikatan pada satu titik yang koordinatnya
ditentukan melalui :
 pengukuran menggunakan metode absolut
(point) positioning;
 jenis data yang digunakan pseudorange;
 penentuan posisi dilakukan dengan metode
Static Positioning.
 metode perataan yang digunakan adalah
perataan jaring bebas.

3) persiapan pengukuran GPS


Persiapan pengukuran GPS meliputi :
- pengadaan peta-peta, penyiapan formulir, dan
pengadaan informasi tentang titik-titik kontrol
kerangka dasar horizontal nasional yang sudah
ada;

I-8
- mendesain geometri jaringan awal dan jaringan
final;
- membuat Sky Plot satelit dan grafik Dilution of
Precision (DOP), serta membuat dokumentasi
rencana waktu pengamatan satelit.

4) pelaksanaan pengukuran GPS


Pelaksanaan pengukuran GPS dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut :
- sudut elevasi (mask angle) harus lebih kecil dari
15 (derajat);
- jumlah satelit yang diamati pada setiap sesi
pengamatan minimal 4 (empat) buah;
- lama pengamatan dalam satu sesi 60 – 120
(menit);
- nilai Positional Dilution of Precision (PDOP) pada
saat pengamatan harus lebih kecil atau sama
dengan 5 (lima), dan nilai Geometrical Dilution of
Precision (GDOP) harus lebih kecil atau sama
dengan 8 (delapan);
- sebelum pelaksanaan survey pengukuran
lapangan, alat receiver GPS yang digunakan
terlebih dahulu harus dilakukan kalibrasi;
- kalibrasi receiver dapat dilakukan dengan
mengukur panjang baseline nol, dan pengamatan
dilakukan sekitar 120 (menit);
- antena harus diunting tepat di atas titik dan di
pasang setinggi mungkin.
- tinggi antena harus di ukur, pengukuran tinggi
antena dilakukan dua kali, yaitu sebelum dan
sesudah pengamatan.
- setiap pengukuran dilakukan tiga kali, dengan
ketelitian 1 mm.

c. Pengamatan Azimuth Matahari


Pengamatan azimuth matahari dilakukan dengan
menggunakan prisma Reolof dengan kegiatan sebagai
berikut :
- pengamatan matahari minimal 2 seri untuk pagi dan 2
seri untuk sore hari;
- pengamatan dilakukan pada saat tinggi matahari antara
20 – 40 (derajat);
- pengamatan dilakukan setiap jarak 5 km, pada titik
simpul dan diupayakan di ujung sumbu landasan serta
dilakukan di atas patok–patok tetap dengan titik target
ke patok–patok tetap yang lain;
- pengamatan sudut dengan kesalahan maksimum 30“
(tiga puluh detik).

d. Pengukuran Elevasi (Sipat Datar);


Pengukuran sipat datar bertujuan untuk menentukan
ketinggian titik - titik kerangka dasar horizontal pemetaan
yang meliputi pengukuran sipat datar utama dan sipat
datar sekunder.

I-9
1) Pengukuran sipat datar utama dilakukan dengan
ketentuan teknis sebagai berikut :
- alat yang digunakan adalah waterpass tipe
automatic level instrument;
- jalur pengukuran mengikuti jalur poligon utama;
- pembacaan dilakukan terhadap 3 (tiga) benang
(atas, tengah, bawah);
- minimal 2 (dua) kali dalam setiap minggu alat
harus dicek kesalahan garis bidik dengan
menggunakan basis 100 meter;
- usahakan jumlah slag perseksi genap;
- pada waktu pembidikan diusahakan agar jumlah
jarak ke belakang ( DB) sama dengan jumlah
jarak ke muka ( DM), dan apabila  DB  DM,
hasil hitungan beda tinggi perlu dikoreksi;
- jarak pembacaan dari alat waterpas ke rambu
maksimum 50 m;
- pada jalur yang tertutup pengukuran harus
dilakukan pergi dan pulang, sedangkan pada
jalur yang terbuka harus double stand dan pergi
pulang;
- rambu harus diberi alas atau Straatpot, kecuali
pada patok kayu dan BM;
- dalam pengukuran waterpas, rambu-rambu harus
digunakan secara selang-seling, sehingga rambu
yang diamati pada titik awal akan menjadi rambu
yang diamati pada titik akhir;
- tinggi BM dari permukaan tanah harus diukur;
- salah penutup maksimum 8  D mm, dimana D
adalah jumlah jarak dalam satuan km;

2) Pengukuran sipat datar sekunder dilakukan dengan


ketentuan teknis sebagai berikut :
- jalur pengukuran mengikuti jalur poligon
sekunder;
- salah penutup maksimum 15  D mm, dimana D
adalah jumlah jarak dalam satuan km;
- pengukuran dilakukan untuk arah pergi saja;
- tinggi patok kayu dari permukaan tanah harus
diukur;
- ketentuan-ketentuan lain sama seperti pada
pengukuran sipat datar utama.
- hasil pengukuran sipat datar dihitung dengan
ketentuan sebagai berikut:
 untuk sipat datar utama dihitung dengan cara
perhitungan perataan kwadrat terkecil;
 untuk sipat datar sekunder dihitung dengan
cara perhitungan perataan biasa;
 perhitungan tinggi (H) diikatkan ke titik
kerangka dasar vertikal nasional dan dihitung
dalam Sistim Ketinggian Bandar Udara.

e. Pengolahan data survey dan pemetaan;


1) Pengolahan data hasil pengukuran Poligon utama
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut :

I - 10
- hitungan dilakukan dengan menggunakan metode
perataan Metode Bowditch kemudian dilanjutkan
dengan penghitungan menggunakan perataan
metode Kwadrat terkecil dengan menggunakan hasil
hitungan pertama sebagai koordinat pendekatan;
- hasil hitungan menggunakan metode Perataan
Bowditch harus memenuhi persyaratan toleransi
salah linier jarak maksimum 1 : 10.000 dan hasil
hitungan menggunakan metode Perataan Kuadrat
Terkecil harus memenuhi persyaratan kesalahan
memanjang (longitudinal error) dan kesalahan
melintang (transversal error) maksimum 4 D Mm,
dimana D adalah jarak titik awal dan titik akhir
Poligon dalam satuan Km.

2) pengolahan data poligon cabang dilakukan deengan


ketentuan teknis sebagai berikut:
- hitungan dilakukan dengan menggunakan metode
perataan Bowditch;
- toleransi salah linier jarak maksimum 1 : 5.000.

3) Pengolahan data pengukuran GPS dilakukan melalui


tahapan sebagai berikut :
a) perataan baseline, dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut :
(1) perangkat lunak yang digunakan untuk
melakukan proses hitungan baseline harus
mempunyai karakteristik sebagai berikut:
- mampu mengolah (memproses) data carrier
beat fase dan data pseudorange;
- mampu memecahkan cycle slips dan cycle
ambiguity;
- mampu memproses data dalam single dan
dual frekuensi;
- menyediakan model koreksi atmosfir;
- pemprosesan menyertakan tinggi antena di
atas titik pilar dan dapat dikonversikan
dalam komponen vertikal.

(2) hasil hitungan perataan baseline menggunakan


perangkat lunak harus dapat memberikan
informasi tentang indikator terhadap kualitas
data yang akan dipantau untuk mengecek
kualitas koordinat yang diperoleh, antara lain :
- nilai Root Mean Squares (RMS), harga
maksimum dan minimum, deviasi standard
dari residual;
- nilai faktor variansi a posteriori;
- matriks variansi – kovariansi dari vektor
parameter baseline;
- hasil dari test statistik terhadap residual
maupun vektor baseline;
- banyaknya data yang tidak baik dan
dibuang / ditolak;

I - 11
- jumlah cycle slips yang terdeteksi dan
berhasil dikoreksi.

b) perataan jaring, dilakukan dengan ketentuan


sebagai berikut meliputi:
(1) perataan jaring bebas dilakukan dengan hanya
menggunakan satu titik tetap dan
dimaksudkan untuk memeriksa konsistensi
data vektor baseline satu terhadap lainnya;
(2) setelah melalui tahapan perataan jaring bebas
dan kontrol kualitasnya, selanjutnya vektor-
vektor baseline yang diterima diproses kembali
dalam perataan jaring terikat.
(3) pada perataan ini semua titik tetap digunakan,
dan koordinat titik-titik yang diperoleh dan
sukses melalui proses kontrol kualitas akan
dianggap sebagai koordinat final;
(4) hasil hitungan perataan jaringan harus dapat
menyajikan indikator kualitas yang akan
dipantau untuk mengecek kualitas koordinat
yang diperoleh, yaitu ;
- nilai Root Mean Squares, harga maksimum
dan minimum, serta deviasi baku dari
residual;
- nilai faktor variansi a postriori;
- matriks variansi – kovariansi dari koordinat;
- dimensi dari ellips kesalahan relatif dan
absolut;
- hasil test statistik terhadap residual
maupun koordinat;
- jumlah vektor baseline yang ditolak
(outlier);
- perbedaan harga-harga statistik antara
yang diperoleh dari hitung perataan
jaringan bebas dan dari hitung perataan
jaring terikat.

c) ketelitian hasil pengukuran GPS dilakukan dengan


ketentuan sebagai berikut:
- vektor baseline yang akan digunakan sebagai
masukan pada perataan jaring harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
- selisih dari double difference float dengan double
difference fix dalam komponen panjang
maksimal 6,6 cm;
- dari ketiga solusi yang dihasilkan oleh perangkat
lunak pemrosesan baseline, maka double
difference fix yang dijadikan masukan pada
perangkat lunak perataan jaring;
- ratio yang terdapat pada hasil double difference
fix minimal 3;
- standar deviasi dari masing-masing komponen
vektor baseline tidak boleh lebih dari 3 Cm.
- kontrol kualitas hasil perataan jaring dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut :

I - 12
- standar residu dianggap baik apabila berada
pada selang interval –2,5 sampai 2,5;
- test faktor variansi dilakukan dengan
menggunakan tingkat derajat kepercayaan
(Confidence Level Used) sebesar 95%;
- besaran semi mayor aksis relatif pada ellip
kesalahan dihitung dengan besaran ketelitian
yang ditetapkan sebesar 3 ppm.

f. Pembuatan peta situasi


Penyajian dan penggambaran situasi di bandar udara dan
sekitarnya dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut :
- data topografi berupa besaran koordinat harus disajikan
dalam Sistim Koordinat Bandar Udara (ACS), Sistim
Koordinat UTM dan Sistim Koordinat Geografis;
- data topografi berupa besaran titik tinggi disajikan
dalam bentuk kontur dengan ketentuan interval sama
dengan skala dibagi 2.000;
- tata letak fasilitas bandar udara, berupa fasilitas pokok
dan penunjang bandar udara;
- legenda/keterangan;
- superimpose layout bandar udara dengan citra satelit
atau foto udara.

Contoh superimpose layout bandar udara dengan citra


satelit atau foto udara sebagaimana tercantum dalam
Gambar I-1.

I - 13
G
a
m
b
a
r

1
.

S
u
p
e
r

I
m
p
o
s
e

L
a
y
o
u
t

B
a
n
d
a
r

I - 14

Gambar I.1. Gambar superimpose Layout Bandar Udara dengan Foto Udara
2. Penyelidikan tanah, terdiri dari :

a. Pekerjaan lapangan, antara lain :


- Boring, yaitu pengambilan sampel tanah untuk mengetahui
karakteristik fisik dan mekanis tanah dan biasanya
dilakukan di lokasi Tes Pit.
- Sondir, yaitu penelitian tanah untuk mengetahui derajat
kekerasan/kelembekan struktur tanah.
- Tes Pit, yaitu penelitian tanah dengan penggalian lubang
untuk mengetahui susunan / lapisan dan struktur
perkerasan secara visual.
- Pengambilan sample adalah pengambilan contoh tanah
untuk mengetahui sifat dan karakteristik tanah, yang
selanjutnya digunakan dalam perencanaan dan
perancangan fasilitas bandar udara. Pengambilan sample
juga dilakukan dapa daerah sumber material (Quarry).

b. Pekerjaan Uji Laboratorium, antara lain :


- Atterberg limits adalah pekerjaan untuk menjelaskan sifat
konsistensi tanah per butir halus pada kadar air yang
bervariasi dengan menentukan batas susut, batas plastis
dan batas cair pada tanah;
- Specific grafity dan Water Content adalah pekerjaan
penelitian untuk membandingkan berat air dan berat
butiran padat pada suatu volume tanah;
- CBR Test adalah pekerjaan untuk menentukan CBR
(California Bearing Ratio) tanah serta campuran tanah
agregate yang dipadatkan di laboratorium pada kadar air
tertentu;
- Consolidation Test adalah pekerjaan untuk menentukan
kekuatan geser tanah pada keadaan tertentu akibat adanya
penambahan beban di atas suatu permukaan tanah, yang
menyebabkan lapisan tanah dibawahnya mengalami
penurunan konsolidasi;
- Permeability Test adalah pekerjaan untuk mendapatkan
koefisien rembesan tanah, yang diperlukan untuk
memperkirakan gaya angkat suatu beban yang ada di bawah
permukaan air tanah;
- Grain Size Analysis adalah pekerjaan analisis besaran butir
tanah yang diperlukan sebagai masukan dalam
mempertimbangkan penggunaan material konstruksi;
- Compaction Test adalah pekerjaan untuk mendapatkan berat
volume kering maksimum dan kadar air optimum pada
tanah dalam upaya meningkatkan daya dukung gaya beban
diatasnya;
- Soil Description adalah uraian jenis tanah, yang diperlukan
untuk perancangan fasilitas bandar udara dan penentuan
material konstruksinya.

3. Permintaan jasa angkutan udara, terdiri dari :

a. Survei pasar yaitu survei strategi / perencanaan badan-badan


dan perusahaan yang terkait dengan angkutan udara, seperti
perusahaan penerbangan, industri pesawat;

I - 15
b. Survei karakteristik (asal dan tujuan perjalanan, dsb)
pengguna jasa angkutan udara.

4. Identifikasi dampak lingkungan hidup, terdiri dari :


a. Kebisingan;
b. Pencemaran udara dan air akibat pengoperasian bandar
udara dan pesawat udara;
c. Dampak terhadap flora dan fauna;
d. Dampak terhadap sosial, ekonomi dan budaya;
e. Kesehatan masyarakat;
f. Pengendalian limbah padat dan cair.

IV. ANALISA DATA


1. Prakiraan Permintaan Kebutuhan Pelayanan Penumpang Dan
Kargo
Prakiraan permintaan kebutuhan pelayanan penumpang dan
kargo merupakan peramalan jumlah pergerakan pesawat udara,
penumpang dan kargo (demand). Prakiraan permintaan
kebutuhan pelayanan penumpang dan kargo dilakukan
berdasarkan pada hasil survey permintaan jasa angkutan udara
serta analisa pergerakan dan kebutuhan pengguna jasa angkutan
udara. dengan memperhatikan :
a. Potensi penumpang dan kargo tahunan/jam sibuk dengan
kajian asal tujuan penumpang dan kargo (Origin Destination),
kemampuan membayar (Ability to Pay/ATP) dan kemauan
membayar (Willingnes To Pay/WTP);
b. Potensi jaringan rute penerbangan dengan asal tujuan
penumpang dan kargo (Origin /Destination); dan
c. Potensi ketersediaan armada atau pesawat dengan kajian
kapasitas penumpang, jarak tempuh pesawat, umur pesawat
dan perkembangan teknologi (jenis/tipe).
1) Perhitungan pergerakan / kebutuhan jasa angkutan
udara sekurang-kurangnya meliputi:
a) pergerakan penumpang tahunan, harian dan jam
sibuk;
b) pergerakan kargo dan pos tahunan dan jam sibuk;
c) pergerakan pesawat (schedule dan non
schedule)tahunan, harian, dan jam sibuk;
d) jaringan/rute penerbangan masa mendatang;
e) pengoperasian jenis/tipe pesawat masa mendatang;
f) pergerakan/jumlah pekerja, pengunjung serta
pengantar dan penjemput.

Perhitungan pergerakan/kebutuhan jasa angkutan


udara tercantum sebagaimana tabel I.1.

Tabel I.1. Prakiraan Pergerakan/Kebutuhan Jasa Angkutan Udara

Pentahapan
No. Uraian Tahap Tahap Tahap Tahap Keterangan
I II ... Ultimate
I PENUMPANG
(Pertahun)
- Internasional
- Domestik
- Total

I - 16
II KARGO (Pertahun)
- Internasional
- Domestik
- Total

III Angkutan Pos


Udara (Pertahun)

IV PERGERAKAN
PESAWAT
(Pertahun)
- Internasional
- Domestik
- Total

V JAM SIBUK
PENUMPANG
- Internasional
- Domestik
- Total

VI JAM SIBUK
PESAWAT
- Internasional
- Domestik
- Total

2) Perhitungan ekonomi sekurang-kurangnya meliputi:


a) pembandingan kondisi bandar udara dikembangkan
dan bandar udara tidak dikembangkan;
b) manfaat yang akan diperoleh apabila bandar udara
dikembangkan;
c) biaya dan manfaat yang hilang apabila bandar udara
tidak dikembangkan;
d) Nett Present Value (NPV);
e) Economic Internal Rate of Return (EIRR);
f) Benefit Cost Ratio (BCR);
g) Payback Period.

3) Perhitungan finansial sekurang-kurangnya meliputi:


a) Nett Present Value (NPV)
Nett Present Value adalah nilai keuntungan bersih
saat sekarang, yang perhitungannya berdasarkan
pada manfaat yang diperoleh untuk proyek
pembangunan bandar udara pada suatu kurun
waktu tertentu dengan mempertimbangkan besaran
tingkat bunga bank komersial;
b) Internal Rate of Return (IRR)
Internal Rate of Return adalah tingkat bunga
pengembalian suatu proyek pembangunan bandar
udara, yang perhitungannya berdasarkan pada
besaran NPV sama dengan nol. Proyek pembangunan
bandar udara dinyatakan lebih menguntungkan,
apabila IRR lebih besar dari tingkat bunga bank
komersial. Sebaliknya, proyek tersebut dinyatakan
kurang menguntungkan, apabila IRR lebih rendah
dari tingkat bunga bank komersial.

I - 17
c) Profitability Index (PI) atau Benefit Cost Ratio (BCR)
Profitability Index atau Benefit Cost Ratio adalah
suatu besaran yang membandingkan antara
keuntungan yang diperoleh dengan biaya yang
dikeluarkan dalam suatu kurun waktu
penyelenggaraan proyek pembangunan bandar
udara. Satu proyek pembangunan bandar udara
dinyatakan menguntungkan, apabila besaran PI atau
BCR lebih besar dari sati. Sebaliknya, proyek
tersebut dinyatakan tidak layak, apabila besaran PI
atau BCR lebih kecil dari satu.
d) Payback Period (PP)
Payback Period adalah kurun waktu dalam tahun
yang diperlukan untuk mengembalikan sejumlah
dana yang telah dikeluarkan dalam suatu proyek
pembangunan bandar udara. Metode Payback Period
tidak memperhatikan nilai waktu dalam aliran uang
(time value of money cash flow) serta mengabaikan
aliran pengeluaran dana setelah kurun waktu
perhitungan payback period, namun metode ini
mudah dipahami dan menerapkannya.

2. Kebutuhan Fasilitas
Kebutuhan fasilitas merupakan gambaran besaran fasilitas yang
dibutuhkan suatu bandar udara baik fasilitas sisi udara, fasilitas
sisi darat, fasilitas navigasi dan telekomunikasi. Kebutuhan
fasilitas dihitung berdasarkan hasil perhitungan dan kajian
kebutuhan fasilitas pokok dan penunjang bandar udara
berdasarkan prakiraan permintaan kebutuhan pelayanan
penumpang dan kargo.
a) Fasilitas pokok bandar udara terdiri dari :
1) Fasilitas sisi udara (Airside Facility) antara lain :
- landas pacu (runway);
- Strip Landas Pacu, runway end safety area (RESA),
stopway, clearway;
- landas hubung (taxi way);
- landas parkir (apron);
- marka dan rambu; dan
- taman meteo (fasilitas dan peralatan pengamatan
cuaca).
2) Fasilitas sisi darat (landside facility) antara lain :
- bangunan terminal penumpang;
- bangunan terminal kargo;
- menara pengatur lalu lintas penerbangan (Control
Tower);
- bangunan operasional penerbangan;
- jalan masuk (access road);
- parkir kendaraan bermotor;
- depo pengisian bahan bakar pesawat udara;
- bangunan hanggar;
- bangunan administrasi/perkantoran;
- marka dan rambu; serta
- fasilitas pengolahan limbah.

I - 18
3) Fasilitas Keselamatan dan Keamanan antara lain:
- pertolongan kecelakaan penerbangan – pemadam
kebakaran (PKPPK);
- salvage;
- alat bantu navigasi penerbangan;
- alat bantu pendaratan visual (Airfield Lighting System);
- catu daya kelistrikan; dan
- pagar.

b) Fasilitas penunjang merupakan fasilitas yang secara langsung


dan tidak langsung menunjang kegiatan bandar udara dan
memberikan nilai tambah secara ekonomis pada
penyelenggaraan bandar udara, antara lain:
- fasilitas perbengkelan pesawat udara;
- fasilitas pergudangan;
- penginapan/hotel;
- toko;
- restoran;
- jasa boga;
- lapangan golf dan sarana olah raga lainnya.
Dasar kebutuhan fasilitas mengacu pada standar / ketentuan
yang berlaku (ICAO, FAA, IATA, dll). Rencana Pengembangan
dan Tahapan Pembangunan bandar udara sebagaimana Tabel
I.2.

Tabel I.2. Rencana Pengembangan dan


Tahapan Pembangunan Bandar Udara

Pentahapan
No. Uraian Tahap Tahap Tahap Tahap Keterangan
I II ... Ultimate
I Fasilitas Sisi
Udara
- Pesawat terbesar
- Landas Pacu
- Declared
Distance
 LDA
 TORA
 TODA
 ASDA
- Landas Hubung
- Tempat parkir
pesawat
- Strip Landas
Pacu
- dll

II Fasilitas Sisi Darat


- Terminal
Penumpang
- Terminal Kargo
- Menara Pengatur
Lalu lintas
Penerbangan
- Bangunan
Operasional
Penerbangan
- dll

I - 19
III Fasilitas
Keselamatan dan
Keamanan
- PKPPK
- Fasilitas
Navigasi
Penerbangan
(NDB, DVOR,
DME, RVR, ILS,
RADAR, VHV-
DF, dll)
- Fasilitas
pendaratan
visual
- Catu daya
kelistrikan
- Fasilitas
komunikasi
penerbangan

3. Tata Letak Fasilitas

Tata letak fasilitas merupakan gambaran umum rencana


konfigurasi bandar udara, rencana perletakan fasilitas sisi udara
dan fasilitas sisi darat serta rencana perletakan fasilitas navigasi
penerbangan. Tata letak fasilitas direncanakan sesuai dengan
kebutuhan fasilitas berdasarkan pada standar teknis dan kondisi
lahan setelah melakukan kajian/analisa berupa :
a. kajian/analisis tapak (site),topografi, penyelidikan tanah (soil
investigation) yang meliputi;
1) pengembangan pada areal di sekitar bandar udara;
2) kondisi atmosferik, seperti kabut, asap, cuaca, angin
turbulen, dsb yang dapat berakibat pada pengurangan
visibility dan kapasitas bandar udara;
3) aksesibilitas dengan moda angkutan lain, seperti jalan
raya, stasiun kereta api, pelabuhan, penyebrangan dan
lain sebagainya;
4) ketersediaan lahan bagi pengembangan di masa yang
akan datang;
5) faktor topografi yang akan berakibat pada konstruksi
biaya tinggi seperti timbunan/galian, drainase, tanah
jelek, dan lain sebagainya;
6) identifikasi dampak lingkungan yang akan terjadi.
b. kajian/analisa drainase bandar udara;
c. kajian/analisa konfigurasi fasilitas pokok bandar udara:
runway, strip landas pacu, apron, taxiway, terminal area dan
aksesibilitas jalan masuk menuju bandar udara sesuai dengan
hasil perhitungan dan kajian kebutuhan fasilitas tersebut;
d. kajian/analisa arah angin (wind rose) tahunan;
e. kajian/analisa objek-objek obstacle di sekitar bandar udara
yang meliputi;
1) standar prosedur dan lepas landas;
2) persyaratan ruang udara (Kawasan Keselamatan Operasi
Penerbangan);
3) pelayanan lalu lintas udara;
4) peralatan navigasi yang digunakan.

I - 20
f. kajian/analisa kondisi atmosferik (kelembaban udara, curah
hujan, temperatur, visibility, dll);
g. kajian/analisa pengembangan pada areal di sekitar bandar
udara;
h. kajian/analisa ketersediaan lahan pengembangan; dan
i. kajian/analisa aksesibilitas dengan moda angkutan lain.

Rencana Induk Bandar Udara dan Tata Letak Fasilitas Sisi


Darat Bandar Udara sebagaimana tercantum pada Gambar I.2
dan Gambar I.3.

4. Tahapan Pelaksanaan Pembangunan

Tahapan pelaksanaan pembangunan merupakan gambaran umum


rencana pengembangan fasilitas bandar udara tiap-tiap tahapan
hingga tahap akhir (ultimate phase) untuk mewujudkan efisiensi
dan efektifitas pembangunan dengan mengutamakan optimalisasi
fasilitas eksisting (efficiency) dan kemudahan pelaksanaan
pembangunan (implementatif). Tahapan pelaksanaan
pembangunan disusun berdasarkan kebutuhan (demand)
pelayanan penumpang dan kargo dengan kajian / analisis
terhadap :
a. rencana tata guna lahan hingga desain tahap akhir (ultimate
phase);
b. kebutuhan fasilitas bandar udara dengan skala prioritas yang
mempertimbangkan faktor kebutuhan dan ketersediaan
anggaran;
c. rencana tata letak fasilitas bandar udara; dan
d. rencana pengembangan fasilitas bandar udara tiap-tiap
tahapan pembangunan hingga tahap akhir (ultimate phase).

Tahapan pelaksanaan pembangunan bandar udara tercantum


sebagaimana Gambar I.2 dan Gambar I.3.

I - 21
Gambar I.2. Rencana Induk Bandar Udara dan Tahapan Pelaksanaan Pembangunan Bandar Udara

I - 22
Gambar I.3. Fasilitas Sisi Darat dan Tahapan Pelaksanaan Pembangunan Bandar Udara

I - 23
Gambar I.4. Kebutuhan Lahan dan Pemanfaatan Lahan Bandar Udara

I - 24
5. Kebutuhan dan Pemanfaatan Lahan

Kebutuhan dan pemanfaatan lahan merupakan gambaran rencana


besaran lahan yang akan digunakan untuk pengembangan
fasilitas bandar udara sampai dengan tahap akhir (ultimate).
Kebutuhan dan pemanfaatan lahan didasarkan pada hasil
perhitungan dan kajian kebutuhan dan pemanfaatan lahan
optimal sampai dengan tahap ultimate yang terdiri atas:
a. Luas lahan yang telah ada: dan/atau (untuk bandar udara
eksisting)
b. Luas lahan tambahan untuk pengembangan; (untuk bandar
udara eksisting)
c. Prakiraan kebutuhan lahan pembangunan; dan
d. Peta kepemilikan lahan dan rencana pembebasan lahan.

Kebutuhan lahan dan Pemanfaatan lahan bandar udara


sebagaimana tercantum pada gambar I.4. Tabel koordinat batas
lahan sisi darat dan tabel koordinat batas lahan sisi udara pada
bandar udara baru sebagaimana Tabel I.3 dan Tabel I.4. Tabel
koordinat batas lahan eksisting/yang telah ada dan tabel
koordinat batas lahan pengembangan pada bandar udara eksisting
sebagaimana Tabel I.5 dan Tabel I.6.
Tabel I.3. Daftar Sistem Koordinat Batas Lahan Sisi Darat
Bandar Udara ......(nama bandar udara)-......(nama kota/kabupaten)

Sistim Koordinat Sistim Koordinat Dengan Referensi Ellipsoid


Bandar Udara WGS-84 (ID-95)
(ACS)
Nomor X Y Koordinat UTM Koordinat Geografis
Titik (meter) (meter) X Y Lintang Bujur
(meter) (meter) ... Timur (BT)
º ‘ " º ‘ "

A1

A2

A3

dst.

Tabel I.4. Daftar Sistem Koordinat Batas Lahan Sisi Udara


Bandar Udara ......(nama bandar udara)-......(nama kota/kabupaten)

Sistim Koordinat Sistim Koordinat Dengan Referensi Ellipsoid


Bandar Udara WGS-84 (ID-95)
Nomor (ACS) Koordinat UTM Koordinat Geografis
Titik X Y X Y Lintang Bujur
(meter) (meter) (meter) (meter) ... Timur (BT)
º ‘ " º ‘ "
B1

B2

B3

dst.

I - 25
Tabel I.5. Daftar Sistem Koordinat Batas Lahan yang telah ada/Eksisting
Bandar Udara ......(nama bandar udara)-......(nama kota/kabupaten)

Sistim Koordinat Sistim Koordinat Dengan Referensi Ellipsoid


Bandar Udara WGS-84 (ID-95)
(ACS)
Nomor X Y Koordinat UTM Koordinat Geografis
Titik (meter) (meter) X Y Lintang Bujur
(meter) (meter) ... Timur (BT)
º ‘ " º ‘ "

A1

A2

A3

A4

dst.

Tabel I.6. Daftar Sistem Koordinat Batas Lahan Pengembangan


Bandar Udara ......(nama bandar udara)-......(nama kota/kabupaten)

Sistim Koordinat Sistim Koordinat Dengan Referensi Ellipsoid


Bandar Udara WGS-84 (ID-95)
Nomor (ACS) Koordinat UTM Koordinat Geografis
Titik X Y X Y Lintang Bujur
(meter) (meter) (meter) (meter) ... Timur (BT)
º ‘ " º ‘ "
B1

B2

B3

B4

dst.

DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA,


Pelaksana Tugas,

ttd

BAMBANG TJAHJONO

I - 26
LAMPIRAN II
Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara
Nomor : KP 590 TAHUN 2014
Tanggal : 12 DESEMBER 2014
Tentang
Pedoman Teknis Pembuatan Rencana Induk Bandar Udara

PEDOMAN TEKNIS PEMBUATAN


DAERAH LINGKUNGAN KERJA BANDAR UDARA (DLKr)

I. Tenaga ahli, Tenaga Penunjang dan Peralatan

Dalam melaksanakan pekerjaan daerah lingkungan kerja bandar udara


diperlukan tenaga ahli, tenaga penunjang dan peralatan yang meliputi:

1. Tenaga ahli meliputi tenaga ahli yang menguasai bidang ilmu :

a. Teknik Geodesi;
b. Perencanaan Bandar Udara;
c. Keselamatan Penerbangan;

2. Tenaga Penunjang antara lain :


a. Ass. Ahli Geodesi
b. Sekretaris/Operator Komputer
c. CAD Operator;
d. Tenaga Administrasi
e. Tenaga Lokal

3. Peralatan yang digunakan berdasarkan pada metode pengukuran


yang diterapkan di lapangan, yaitu:

a. pengukuran dengan menggunakan metode Poligon, antara lain:

1) alat ukur Jarak Elektronik


2) alat Ukur sudut / Total station
3) alat ukur jarak roll meter
4) alat komunikasi radio;
5) komputer.

b. pengukuran dengan menggunakan metode Global Positioning


System (GPS), antara lain:

1) alat ukur koordinat (Receiver GPS);


2) antena Receiver GPS;
3) komputer;
4) catu daya;
5) alat ukur tinggi antena;
6) alat Komunikasi radio;
7) petunjuk waktu;
8) Battery charger.

II-1
II. Inventarisasi Data
Inventarisasi data fasilitas Bandar udara, meliputi:

a) Fasilitas pokok bandar udara terdiri dari :


1) Fasilitas sisi udara (Airside Facility) antara lain :
- landas pacu (runway);
- runway strip, runway end safety area (RESA), stopway,
clearway;
- landas hubung (taxi way);
- landas parkir (apron);
- marka dan rambu; dan
- taman meteo (fasilitas dan peralatan pengamatan cuaca).
2) Fasilitas sisi darat (landside facility) antara lain :
- bangunan terminal penumpang;
- bangunan terminal kargo;
- menara pengatur lalu lintas penerbangan (Control Tower);
- bangunan operasional penerbangan;
- jalan masuk (access road);
- parkir kendaraan bermotor;
- depo pengisian bahan bakar pesawat udara;
- bangunan hanggar;
- bangunan administrasi/perkantoran;
- marka dan rambu; serta
- fasilitas pengolahan limbah.
3) Fasilitas Keselamatan dan Keamanan antara lain:
- pertolongan kecelakaan penerbangan – pemadam kebakaran
(PKPPK);
- salvage;
- alat bantu navigasi penerbangan;
- alat bantu pendaratan visual (Airfield Lighting System);
- catu daya kelistrikan; dan
- pagar.

b) Fasilitas penunjang merupakan fasilitas yang secara langsung dan


tidak langsung menunjang kegiatan bandar udara dan memberikan
nilai tambah secara ekonomis pada penyelenggaraan bandar udara,
antara lain:
- fasilitas perbengkelan pesawat udara;
- fasilitas pergudangan;
- penginapan/hotel;
- toko;
- restoran;
- lapangan golf dan sarana olah raga lainnya.

c) fasilitas navigasi penerbangan, antara lain:


1) Non Directional Beacon (NDB);
2) Doppler VHF Omni Range (DVOR);
3) Distance Measuring Equipment (DME);
4) Runway Visual Range (RVR);
5) Instrument Landing System (ILS);
6) Radio Detection and Ranging (RADAR);
7) Very High Frequency-Direction Finder (VHF-DF);
8) Differential Global Pasitioning System (DGPS);
9) Automatic Dependent Surveillance (ADS).

II-2
10) Satelite Navigation System;
11) Aerodrome Surface Detection Equipment;
12) Very High Frequency Omnidirectional Range.

III. Survey Lapangan dan Analisa Data


1. Terhadap inventarisasi data fasilitas bandar udara, dilakukan analisa
data sebagai berikut:
a. menentukan tata lahan fasilitas bandar udara yang eksisting dan
rencana pengembangan dengan memberi tanda patok dan diukur
koordinatnya;
b. koordinat patok titik bantu batas lahan fasilitas bandar udara,
merupakan satu kesatuan lahan dan diukur batas terluar dari
lahan dimaksud;
c. apabila fasilitas bandar udara berada diluar lahan bandar udara,
maka diukur berdasarkan luas lahan yang dikuasai.

2. Pengukuran koordinat patok–patok tetap batas lahan Daerah


Lingkungan Kerja Bandar Udara dilakukan dengan menggunakan
standar dari Direktorat Jenderal Perhubungan Udara dengan
tahapan pekerjaan sebagai berikut:
a. persiapan pengukuran, meliputi:
1) pengadaan peta dasar rencana kerja;
2) pengadaan peta topografi dari daerah lokasi bandar udara dan
daerah sekitarnya;
3) informasi distribusi patok-patok tetap yang akan digunakan
sebagai titik ikat referensi pengukuran dalam sistem WGS –
1984.
b. pemasangan patok-patok tetap sebagai titik-titik batas lahan
Daerah Lingkungan Kerja Bandar Udara, dilakukan dengan
ketentuan:

1) patok terbuat dari patok bertulang, diberi nomor dan kode


tertentu;
2) patok ditanam sedalam 0,75 m sehingga bagian Bench Mark
yang berada di atas permukaan tanah setinggi 0,25 m;
3) pemasangan patok-patok tetap harus memenuhi ketentuan
persyaratan peletakan lokasi, yaitu:

a) dipasang pada setiap titik sudut batas lahan Daerah


Lingkungan Kerja Bandar Udara dan pada setiap interval
jarak ± 100 meter;
b) ditentukan dengan memperhatikan peta rencana batas-
batas Daerah Lingkungan Kerja Bandar Udara.

4) Spesifikasi teknis dan gambar koordinat patok-patok tetap


sebagaimana tercantum dalam Gambar II-1.

II-3
Gambar II-1

GAMBAR BENCH MARK DAN TITIK BANTU

Pasak besi  5 cm Tulangan 2  10


20 cm
Beugel  6 - 15

20 cm 20 cm

20 cm

Tampak Atas Potongan 1 - 1


Pasak besi  2 cm
20 cm Nomor patok
2

1 1
DJU 01 25 cm
Beugel  6 - 15
100 cm

Tulangan 2  10

75 cm

2 Potongan
20 cm 2 - 2

Tampak Depan

Baut 2 cm

50 cm

Paralon Ø 3”

Titik Bantu

II-4
c. menetapkan metode pelaksanaan pengukuran koordinat patok-
patok tetap batas lahan Daerah Lingkungan Kerja Bandar Udara,
yaitu:

1) metode Poligon;
2) metode Global Positioning System.

d. pelaksanaan pengukuran koordinat patok-patok tetap batas


lahan, bertujuan untuk :

1) mendapatkan koordinat setiap patok-patok tetap yang sudah


dipasang;
2) menghitung luas Daerah Lingkungan Kerja Bandar Udara
dengan menggunakan metode koordinat;
3) melakukan plot penggambaran Daerah Lingkungan Kerja
Bandar Udara.
e. pengolahan data hasil pengukuran koordinat patok-patok tetap
batas lahan dan luas lahan, dihitung dengan menggunakan
program komputer dan hasilnya ditampilkan dalam Sistem
Koordinat Bandar Udara, Sistem Koordinat Geografis, dan Sistem
Koordinat Universal Transverse Mercator.

f. penggambaran Daerah Lingkungan Kerja Bandar Udara,


merupakan penuangan hasil pengukuran patok koordinat lahan
Daerah Lingkungan Kerja Bandar Udara dan perhitungan luas
Daerah Lingkungan Kerja Bandar Udara sebagaimana tercantum
dalam tabel II-1, gambar II-2 dan gambar II-3.

3. Pengukuran patok koordinat batas lahan Daerah Lingkungan Kerja


Bandar Udara dengan menggunakan metode Poligon sebagaimana
dimaksud dalam butir 2.c.1), dilakukan dengan cara:

a. persiapan pengukuran Poligon, meliputi :

1) pengadaan peta, penyiapan formulir, dan pengadaan


informasi tentang titik – titik kontrol kerangka dasar
horizontal nasional yang sudah ada;
2) membuat desain rencana jalur pengukuran Poligon utama
dan Poligon cabang.

b. metode pengukuran Poligon, meliputi :

1) Poligon utama, harus terikat pada paling sedikit satu titik


kerangka dasar horizontal nasional, dan apabila titik
kerangka dasar horizontal nasional tidak ada atau letaknya
relatif jauh dari lokasi pengukuran, maka dapat
menggunakan titik kerangka horizontal milik Bappeda,
Pekerjaan Umum atau Pemda, yang ada disekitar bandar
udara yang bersangkutan, dan Jalur pengukuran Poligon
utama harus membentuk jaringan dari beberapa loop yang
tertutup melalui kedua ujung titik sumbu landasan.

2) Poligon cabang, harus terikat pada titik pengukuran Poligon


utama, baik pada titik awal maupun pada titik akhir, dan
jalur pengukuran Poligon cabang tidak harus berupa loop
yang tertutup.

II-5
c. pelaksanaan pengukuran Poligon, meliputi :

1) tahapan pekerjaan pengukuran Poligon utama, meliputi :

a) pengukuran sudut, dilakukan dengan ketentuan:

i. menggunakan alat theodolite yang telah dikalibrasi


(ketelitian pembacaan 1” (detik)), salah kolimasi
lingkaran horizontal lebih besar dari 30” atau salah
index lingkaran vertikal lebih besar dari 1' (menit);
ii. metode yang digunakan adalah “Fixed Tripod System”
menggunakan 3 (tiga) buah statip dengan 3 (tiga) buah
kiap/tribrach sehingga selama pengamatan
berlangsung statip tersebut harus tetap berada di satu
titik, kecuali target dan theodolite saja yang berpindah;
iii. sebagai titik bantu dalam pengukuran sudut dan jarak
sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat digunakan patok
kayu dengan ukuran 50 Cm x 5 Cm x 5 Cm, yang
ditengahnya diberi paku payung, bercat merah dan
diberi nomor / kode pengenal, selanjutnya bagian
patok kayu yang ditanam sedalam 35 Cm;
iv. pengukuran sudut dilakukan dengan double seri
dengan ketelitian 5” (lima detik);
Salah penutup sudut maksimum 10" N, dimana N =
jumlah titik sudut.
Pengamatan sudut vertikal untuk reduksi ke jarak
datar dilakukan dengan 2 seri pada setiap ujung titik
Poligon.

b) pengukuran jarak, dilakukan dengan ketentuan:

i. menggunakan alat Electronic Distance Measurement


yang telah di kalibrasi (basis yang diketahui jaraknya);
ii. pengamatan jarak dilakukan paling sedikit 3 kali
pembacaan dan kemudian diratakan;
iii. ketelitian alat ukur jarak harus + (5 mm + 5 ppm);
iv. temperatur dan tekanan udara dicatat untuk
dilakukan koreksi refraksi dalam proses pengolahan
data selanjutnya, pencatatan dilakukan dalam 30
(menit).

c) pengolahan data, dilakukan dengan ketentuan:

i. hitungan dilakukan dengan menggunakan metode


perataan Metode Bowditch kemudian dilanjutkan
dengan penghitungan menggunakan perataan metode
Kwadrat terkecil dengan menggunakan hasil hitungan
pertama sebagai koordinat pendekatan;

II-6
ii. hasil hitungan menggunakan metode Perataan
Bowditch harus memenuhi persyaratan toleransi salah
linier jarak maksimum 1 : 10.000 dan hasil hitungan
menggunakan metode Perataan Kuadrat Terkecil harus
memenuhi persyaratan kesalahan memanjang
(longitudinal error) dan kesalahan melintang
(transversal error) maksimum 4 D Mm, dimana D
adalah jarak titik awal dan titik akhir Poligon dalam
satuan Km.

2) tahapan pekerjaan pengukuran Poligon cabang, meliputi :

a) pengukuran sudut, dilakukan dengan ketentuan:

i. menggunakan alat theodolite dengan ketelitian


pembacaan 1 (satu menit);
ii. pengukuran sudut dilakukan satu seri, dengan
ketelitian sudut 2 (dua menit);
iii. salah penutup sudut maksimum 2 N, dimana N=
jumlah titik Poligon.

b) pengukuran jarak, dilakukan dengan ketentuan:

i. sebagai titik bantu dapat digunakan patok kayu yang


dipasang sesuai dengan rencana pengukuran Poligon
cabang, dengan jarak antar patok adalah 75 m sampai
dengan 100 m;
ii. sisi Poligon diukur pulang pergi dengan pita ukur,
masing-masing minimal 2 kali pembacaan.

c) pengolahan data, dilakukan dengan hitungan


menggunakan metode Perataan Bowditch.

4. Pengukuran koordinat patok-patok tetap batas lahan Daerah


Lingkungan Kerja Bandar Udara dengan menggunakan metode Global
Positioning System (GPS) sebagaimana dimaksud dalam butir 2.c.2),
dilakukan dengan memperhatikan persyaratan terhadap:

a. peralatan pengukuran GPS, harus memenuhi persyaratan sebagai


berikut :

1) Receiver GPS yang digunakan harus dari tipe Geodetic dan


bukan tipe Navigasi, serta harus mampu mengamati minimal
4 (empat) satelit pada setiap tempat pengamatan;
2) Antena yang digunakan harus dilengkapi dengan Ground
Absorbent Plane untuk mereduksi efek multipath;
3) Antena yang digunakan harus mempunyai phase centre yang
relatif stabil dan mempunyai gain patern yang baik agar dapat
mengamati sinyal yang datang dari semua arah.

b. metode pengukuran GPS, dilakukan dengan ketentuan:

1) pengamatan dilakukan dengan metode statis (Static


Positioning), dan selama pengamatan posisi receiver GPS tidak
bergerak;

II-7
2) penentuan posisi dilakukan dengan menggunakan metode
relatif (Differential Positioning);
3) jumlah receiver GPS yang digunakan dalam satu sesi
pengukuran minimum 2 (dua) set;
4) pengamatan dilakukan baseline per baseline;
5) data pengamatan posisi yang digunakan adalah data fase;
6) jaringan pengukuran yang besar harus dibentuk menjadi loop
– loop kecil, dan jumlah baseline maksimum yang membentuk
setiap loop tidak lebih dari 8 (delapan) baseline;
7) Baseline yang diamati harus saling menutup dalam suatu
loop, dan apabila pengamatan baseline harus dilakukan
secara terlepas (metode radial) maka setiap baseline diamati 2
(dua) kali pada 2 (dua) sesi pengamatan yang berbeda;
8) pengamatan suatu jaringan titik-titik GPS harus dimulai dari
suatu baseline yang terikat langsung dengan titik ikat;
9) paling sedikit terdapat satu patok-patok tetap yang dapat
dijadikan sebagai titik ikat/referensi pengukuran GPS yang
diketahui koordinatnya dalam sistem WGS – 1984;
10) apabila di lokasi bandar udara dan sekitarnya, tidak terdapat
patok-patok tetap yang dapat dijadikan sebagai titik
ikat/referensi pengukuran GPS yang diketahui koordinatnya
dalam sistem WGS – 1984, maka:

a) ruang hitungan yang digunakan adalah WGS – 1984;


b) harga pendekatan koordinat absolut untuk seluruh titik
dalam jaringan ditentukan melalui pengikatan pada satu
titik yang koordinatnya ditentukan melalui:

i. pengukuran menggunakan metode absolut (point)


positioning;
ii. jenis data yang digunakan pseudorange;
iii. penentuan posisi dilakukan dengan metode Static
Positioning.

c) metode perataan yang digunakan adalah perataan jaring


bebas.

c. persiapan pengukuran GPS, meliputi :

1) pengadaan peta-peta, penyiapan formulir, dan pengadaan


informasi tentang titik-titik kontrol kerangka dasar horizontal
nasional yang sudah ada;
2) mendesain geometri jaringan awal dan jaringan final;
3) membuat Sky Plot satelit dan grafik Dilution of Precision (DOP),
serta membuat dokumentasi rencana waktu pengamatan
satelit.

d. pelaksanaan pengukuran GPS, dilakukan dengan ketentuan:

1) sudut elevasi (mask angle) harus lebih kecil dari 15 (derajat);
2) jumlah satelit yang diamati pada setiap sesi pengamatan
minimal 4 (empat) buah;
3) lama pengamatan dalam satu sesi 60 – 120 (menit);

II-8
4) nilai Positional Dilution of Precision (PDOP) pada saat
pengamatan harus lebih kecil atau sama dengan 5 (lima), dan
nilai Geometrical Dilution of Precision (GDOP) harus lebih
kecil atau sama dengan 8 (delapan);
5) sebelum pelaksanaan survey pengukuran lapangan, alat
receiver GPS yang digunakan terlebih dahulu harus dilakukan
kalibrasi. Kalibrasi receiver dapat dilakukan dengan
mengukur panjang baseline nol, dan pengamatan dilakukan
sekitar 120 (menit);
6) Antena harus diunting tepat di atas titik dan di pasang
setinggi mungkin. Tinggi antena harus di ukur, pengukuran
tinggi antena dilakukan dua kali, yaitu sebelum dan sesudah
pengamatan. Setiap pengukuran dilakukan tiga kali, dengan
ketelitian 1 mm.

e. pengolahan data pengukuran GPS, dilakukan melalui tahapan:

1) perataan baseline, dilakukan dengan ketentuan:

a) perangkat lunak yang digunakan untuk melakukan proses


hitungan baseline harus mempunyai karakteristik:

i. mampu mengolah (memproses) data carrier beat fase


dan data pseudorange;
ii. mampu memecahkan cycle slips dan cycle ambiguity;
iii. mampu memproses data dalam single dan dual
frekuensi;
iv. menyediakan model koreksi atmosfir;
v. pemprosesan menyertakan tinggi antena di atas titik
pilar dan dapat dikonversikan dalam komponen
vertikal.

b) hasil hitungan perataan baseline menggunakan perangkat


lunak harus dapat memberikan informasi tentang
indikator terhadap kualitas data yang akan dipantau
untuk mengecek kualitas koordinat yang diperoleh, antara
lain:

i. nilai Root Mean Squares (RMS), harga maksimum dan


minimum, deviasi standard dari residual;
ii. nilai faktor variansi a posteriori;
iii. matriks variansi – kovariansi dari vektor parameter
baseline;
iv. hasil dari test statistik terhadap residual maupun
vektor baseline;
v. banyaknya data yang tidak baik dan dibuang / ditolak;
vi. jumlah cycle slips yang terdeteksi dan berhasil
dikoreksi.

2) perataan jaring, meliputi:

a) perataan jaring bebas dilakukan dengan hanya


menggunakan satu titik tetap dan dimaksudkan untuk
memeriksa konsistensi data vektor baseline satu terhadap
lainnya;

II-9
b) setelah melalui tahapan perataan jaring bebas dan kontrol
kualitasnya, selanjutnya vektor-vektor baseline yang
diterima diproses kembali dalam perataan jaring terikat;
pada perataan ini semua titik tetap digunakan, dan
koordinat titik-titik yang diperoleh dan sukses melalui
proses kontrol kualitas akan dianggap sebagai koordinat
final;
c) hasil hitungan perataan jaringan harus dapat menyajikan
indikator kualitas yang akan dipantau untuk mengecek
kualitas koordinat yang diperoleh, yaitu:

i. nilai Root Mean Squares, harga maksimum dan


minimum, serta deviasi baku dari residual;
ii. nilai faktor variansi a postriori;
iii. matriks variansi – kovariansi dari koordinat;
iv. dimensi dari ellips kesalahan relatif dan absolut;
v. hasil test statistik terhadap residual maupun
koordinat;
vi. jumlah vektor baseline yang ditolak (outlier);
vii. perbedaan harga-harga statistik antara yang diperoleh
dari hitung perataan jaringan bebas dan dari hitung
perataan jaring terikat.

f. ketelitian hasil pengukuran GPS, dilakukan dengan ketentuan:

1) Vektor baseline yang akan digunakan sebagai masukan pada


perataan jaring harus memenuhi persyaratan:

a) selisih dari double difference float dengan double difference


fix dalam komponen panjang maksimal 6,6 Cm;
b) dari ketiga solusi yang dihasilkan oleh perangkat lunak
pemrosesan baseline, maka double difference fix yang
dijadikan masukan pada perangkat lunak perataan jaring;
c) Ratio yang terdapat pada hasil double differnce fix minimal
3;
d) Standar deviasi dari masing-masing komponen vektor
baseline tidak boleh lebih dari 3 Cm.

2) kontrol kualitas hasil perataan jaring dilakukan dengan


ketentuan sebagai berikut :

a) Standar residu dianggap baik apabila berada pada selang


interval –2,5 sampai 2,5;
b) test faktor variansi dilakukan dengan menggunakan
tingkat derajat kepercayaan (Confidence Level Used)
sebesar 95 %;
c) besaran semi mayor aksis relatif pada ellip kesalahan
dihitung dengan besaran ketelitian yang ditetapkan
sebesar 3 ppm.

5. Penggambaran Daerah Lingkungan Kerja Bandar Udara sebagaimana


tercantum dalam Gambar II-2 dengan ketentuan:

a. peta batas-batas lahan Daerah Lingkungan Kerja Bandar Udara


diwujudkan dalam bentuk gambar peta dengan skala 1 : 2.500;

II-10
b. penulisan Nama Jabatan dan Nama Pejabat Penandatangan
ditulis dengan huruf kapital;
c. penulisan penutup di sebelah kanan margin.

DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA,


Pelaksana Tugas,

ttd

BAMBANG TJAHJONO

II-11
Tabel II-1. Daftar Koordinat Daerah Lingkungan Kerja Bandar Udara

DAFTAR KOORDINAT BATAS DAERAH LINGKUNGAN KERJA


BANDAR UDARA …………(nama bandara) - ………….. (lokasi bandara)

TITIK KOORDINAT A.C.S KOORDINAT GEOGRAFIS


X Y BT LS
(meter) (meter) ( 0) (') (") ( 0) (') (")

…..-1
…..-2
…..-3
…..-4
…..-5
…..-6
…..-7
…..-8
…..-9
…..-10
…..-11
…..-12
…..-13
…..-14
…..-15
…..-16
…..-17
…..-18
…..-19
…..-20
…..-21
…..-22
Dst….

II-12
TITIK REFERENSI

SISTIM KOORDINAT SISTIM KOORDINAT


TITIK BANDARA (ACS) GEOGRAFIS WGS ‘84

X Y L S B T
(meter) (meter) ° ‘ “ ° ‘ “
ARP
TH
TH

KETERANGAN :

LUAS LAHAN EKSISTING = 199.02 HA

LAMPIRAN ____
KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN

NOMOR : XXXXX
TANGGAL : XXXXXXXXXX

KEMENTERIAN PERHUBUNGAN

DISAHKAN DI JAKARTA

MENTERI PERHUBUNGAN

Ttd

XXXXXXXXXXXXXXXXX

BANDAR UDARA

Xxxxxxxxxxxx - xxxxxxxxxxxxxx
XX

NAMA GAMBAR :

DAERAH LINGKUNGAN KERJA

DAERAH LINGKUNGAN KERJA


SKALA :

DAERAH LINGKUNGAN
UDARA KERJA
NOMOR BANDAR
1 : 10.000 JUMLAH

BANDAR UDARA
XX XX

II-13

Gambar II-2. Daerah Lingkungan Kerja Bandar Udara


TITIK REFERENSI

SISTIM KOORDINAT SISTIM KOORDINAT


TITIK BANDARA (ACS) GEOGRAFIS WGS ‘84

X Y L S B T
(meter) (meter) ° ‘ “ ° ‘ “
ARP
TH
TH

KETERANGAN :

LUAS LAHAN EKSISTING = 199.02 HA

LAMPIRAN ____
KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN

NOMOR : XXXXX
TANGGAL : XXXXXXXXXX

KEMENTERIAN PERHUBUNGAN

DISAHKAN DI JAKARTA

MENTERI PERHUBUNGAN

Ttd

XXXXXXXXXXXXXXXXX

BANDAR UDARA

Xxxxxxxxxxxx - xxxxxxxxxxxxxx
XX

NAMA GAMBAR :
BATAS – BATAS
DAERAH LINGKUNGAN KERJA

DAERAH LINGKUNGAN KERJA


SKALA :

NOMOR BANDAR UDARA


1 : 10.000 JUMLAH

XX XX

II-14

Gambar II-3. Batas – Batas Daerah Lingkungan Kerja Bandar Udara


LAMPIRAN III
Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara
Nomor : KP 590 TAHUN 2014
Tanggal : 12 DESEMBER 2014
Tentang
Pedoman Teknis Pembuatan Rencana Induk Bandar Udara

PEDOMAN TEKNIS PEMBUATAN


DAERAH LINGKUNGAN KEPENTINGAN BANDAR UDARA (DLKp)

I. Tenaga ahli, Tenaga Penunjang dan Peralatan

Dalam melaksanakan pekerjaan pembuatan daerah lingkungan


kepentingan Bandar udara diperlukan tenaga ahli, tenaga penunjang dan
peralatan yang meliputi:

1. Tenaga ahli, yang menguasai bidang ilmu:

a. Perencanaan Bandar Udara;


b. teknik geodesi;
c. teknik transportasi; dan

2. Tenaga Penunjang antara lain:

a. Sekretaris;
b. CAD Operator;
c. Operator Komputer; dan
d. Administrasi keuangan.

3. Peralatan, berdasarkan pada metode pengukuran yang diterapkan di


lapangan, antara lain:

a. Peralatan pengukuran dengan menggunakan metode poligon, yaitu:

1) alat ukur jarak dan sudut total station;


2) alat ukur jarak roll meter (pita ukur);
3) alat komunikasi radio; dan
4) komputer.

b. Peralatan pengukuran dengan menggunakan metode Global


Positioning System (GPS), yaitu:

1) alat ukur koordinat (Receiver GPS);


2) antena Receiver GPS;
3) komputer;
4) catu daya;
5) alat ukur tinggi antena;
6) alat pengukur suhu;
7) alat ukur tekanan dan kelembaban udara;
8) alat komunikasi radio;
9) petunjuk waktu; dan
10) battery charger.

III-1
II. Inventarisasi Data

1. Dalam menentukan Daerah Lingkungan Kepentingan Bandar Udara,


dilakukan inventarisasi sebagai berikut:

a. Inventarisasi daerah pengembangan dalam rencana induk bandar


udara yang belum dibebaskan;
b. Inventarisasi data aksesibilitas dari dan ke bandar udara; dan
c. Inventarisasi data lokasi dan aksesibilitas dari dan ke instansi
yang terkait dalam penanggulangan keadaan darurat di sekitar
bandar udara.

2. Inventarisasi daerah pengembangan dalam rencana induk bandar


udara yang belum dibebaskan, meliputi areal lahan yang dibutuhkan
untuk pengembangan bandar udara sesuai rencana induk bandar
udara yang belum dibebaskan.

3. Inventarisasi data aksesibilitas dari dan ke bandar udara, meliputi:

a. jalan akses bandar udara, memiliki karakteristik:

1) ruas jalan yang mengumpulkan/membagi arus lalu lintas


dari/ke berbagai arah dengan persentase arus lalu lintas
dominan menuju/dari bandar udara;
2) ruas jalan minimal kelas Jalan Kabupaten/Kota dengan
persentase arus lalu lintas dominan menuju/dari bandar
udara;
3) ruas jalan yang dimulai dari batas Daerah Lingkungan Kerja
(DLKr) bandar udara sampai dengan persimpangan terdekat
dimana persimpangan tersebut memiliki lengan simpang
minimal Jalan Kabupaten/kota dengan persentase arus lalu
lintas dominan menuju/dari bandar udara,;
4) ruas jalan dapat berupa jalan khusus bebas hambatan (jalan
tol) dengan persentase arus lalu lintas dominan menuju/dari
Bandar Udaral; atau
5) penentuan persentase arus lalu lintas dominan menuju/dari
bandar udara dihitung dengan menggunakan metode Traffic
Counting Survey.

b. jalur akses kereta api bandar udara, memiliki karakteristik:

1) jalur yang terdiri atas rangkaian petak jalan rel yang


diperuntukkan bagi lalu lintas kereta api dengan persentase
penumpang dan kargo yang dominan menuju/dari bandar
udara; atau
2) penentuan persentase penumpang dan kargo KA yang dominan
menuju/dari bandar udara ditentukan dari data jumlah tiket
pada rute menuju/dari bandar udara.

4. Instansi yang terkait dalam penanggulangan keadaan gawat darurat di


sekitar bandar udara antara lain :

a. Rumah Sakit;
b. Badan Penanggulangan Bencana Daerah/Kantor SAR daerah;
c. Kepolisian Resor Kota/Kabupaten;
d. Tentara Nasional Indonesia (TNI);

III-2
e. Dinas Pemadam Kebakaran Kota/Kabupaten; dan
f. Palang Merah Indonesia (PMI).

III. Survey Lapangan dan Analisa Data

1. Dalam menetapkan daerah lingkungan kepentingan bandar udara


perlu dilakukan analisis data untuk menentukan koordinat.

2. Koordinat, dinyatakan dalam 2 (dua) sistem koordinat, yaitu:

a. sistem koordinat ACS (Aerodrome Coordinate System); dan


b. sistem koordinat referensi WGS-84 (ID-95).

3. Pengukuran koordinat, dilakukan dengan tahapan pekerjaan sebagai


berikut:

a. persiapan pengukuran, meliputi:

1) pengadaan peta dasar rencana kerja;


2) pengadaan peta topografi dari daerah lokasi bandar udara dan
daerah sekitarnya; dan
3) informasi distribusi bench mark yang akan digunakan sebagai
titik ikat referensi pengukuran dalam sistem WGS – 1984.

b. pemasangan bench mark dan patok titik bantu sebagai titik acuan
pengukuran daerah lingkungan kepentingan bandar udara,
dilakukan dengan ketentuan teknis:

1) bench mark terbuat dari beton bertulang, diberi nomor dan


kode tertentu;
2) bench mark ditanam sedalam 0,75 m sehingga bagian bench
mark yang berada di atas permukaan tanah setinggi 0,25 m;
3) pemasangan bench mark harus memenuhi ketentuan
persyaratan perletakan lokasi, yaitu:

a) di dalam areal bandar udara yang lokasinya tidak akan


dipindahkan lagi dan ditentukan dengan memperhatikan
rencana pengembangan bandar udara; dan
b) di dalam areal instansi terkait penanggulangan keadaan
gawat darurat, yang lokasinya tidak akan dipindahkan lagi
atau direkomendasikan oleh pengelola bangunan.

4) Spesifikasi teknis dan gambar koordinat Bench Mark dan patok


titik bantu sebagaimana tercantum dalam Gambar III-1.

III-3
Gambar III-1

GAMBAR BENCH MARK DAN TITIK BANTU

Pasak besi  5 cm Tulangan 2  10


20 cm
Beugel  6 - 15

20 cm 20 cm

20 cm

Tampak Atas Potongan 1 - 1


Pasak besi  2 cm
20 cm Nomor patok
2

1 1
DJU 01 25 cm
Beugel  6 - 15
100 cm

Tulangan 2  10

75 cm

2 Potongan
20 cm 2 - 2

Tampak Depan

Baut 2 cm

50 cm

Paralon Ø 3”

Titik Bantu

III-4
c. penetapan metode pelaksanaan pengukuran koordinat bench mark
dan patok titik bantu pada daerah lingkungan kepentingan bandar
udara, dilakukan dengan:

1) metode poligon terikat sempurna, dan/atau;


2) metode Global Positioning System.

d. pelaksanaan pengukuran koordinat bench mark dan patok titik


bantu pada daerah lingkungan kepentingan bandar udara,
bertujuan untuk:

1) menentukan koordinat bench mark yang sudah dipasang di


dalam areal bandar udara dan instansi terkait penanggulangan
keadaan gawat darurat;
2) menentukan koordinat patok titik bantu aksesibilitas instansi
dalam daerah lingkungan kepentingan bandar udara; dan
3) menentukan gambaran daerah lingkungan kepentingan bandar
udara.

e. Pengolahan data hasil pengukuran koordinat Bench Mark dan


patok titik bantu pada Daerah Lingkungan Kepentingan Bandar
Udara, dihitung dengan menggunakan program komputer dan
hasilnya ditampilkan dalam Sistem Koordinat Bandar Udara dan
Sistem Koordinat Referensi WGS-84 (ID-95).

f. Penggambaran daerah lingkungan kepentingan bandar udara,


merupakan hasil pengukuran koordinat Bench Mark dan patok
titik bantu pada lokasi dan aksesibilitas Daerah Lingkungan
Kepentingan Bandar Udara.

4. Pengukuran Daerah Lingkungan Kepentingan Bandar Udara dengan


menggunakan metode Poligon Terikat Sempurna sebagaimana
dimaksud dalam butir 3.c.1), dilakukan dengan cara:

a. persiapan pengukuran poligon terikat sempurna, meliputi:

1) pengadaan peta, penyiapan formulir, dan pengadaan informasi


tentang titik-titik kontrol kerangka dasar horizontal nasional
yang sudah ada; dan
2) membuat desain rencana jalur pengukuran poligon terikat
sempurna.

b. metode pengukuran poligon terikat sempurna, harus terikat pada


minimal dua titik azimuth yang di ketahui.

c. pelaksanaan pengukuran poligon terikat sempurna, dilakukan


dengan tahapan:

1) pengukuran sudut, dilakukan dengan ketentuan teknis sebagai


berikut:

a) menggunakan alat total station yang telah dikalibrasi


(ketelitian pembacaan 1” (detik), salah kolimasi lingkaran
horizontal lebih besar dari 30” atau salah index lingkaran
vertikal lebih besar dari 1’ (menit);

III-5
b) metode yang digunakan dalah “fixed tripod system”
menggunakan 3 (tiga) buah statip dengan 3 (tiga) buah
kiap/tribach sehingga selama pengamatan berlangsung
statip tersebut harus tetap berada di satu titik, kecuali
target dan theodolite saja yang berpindah;
c) sebagai titik bantu dalam pengukuran sudut dan jarak
sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat digunakan patok
kayu dengan ukuran 50 cm x 5 cm x 5 cm, yang
ditengahnya diberi paku payung, bercat merah dan diberi
nomor/kode pengenal, selanjutnya bagian patok kayu yang
ditanam sedalam 35 cm;
d) pengukuran sudut dilakukan dengan double seri dengan
ketelitian 5” (lima detik);
e) salah penutup sudut maksimum 10” √n, dimana n=jumlah
titik sudut; dan
f) pengamatan sudut vertikal untuk reduksi ke jarak datar
dilakukan dengan 2 seri pada setiap ujung titik Poligon.

2) pengukuran jarak, dilakukan dengan ketentuan teknis:

a) menggunakan alat total station yang telah di kalibrasi (basis


yang diketahui jaraknya);
b) pengamatan jarak dilakukan paling sedikit 3 kali
pembacaan dan kemudian diratakan;
c) ketelitian alat ukur jarak harus + (5 mm + 5 ppm); dan
d) temperatur dan tekanan udara dicatat untuk dilakukan
koreksi refraksi dalam proses pengolahan data selanjutnya,
pencatatan dilakukan dalam 30’ (menit).

3) pengolahan data, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

a) hitungan dilakukan dengan menggunakan metode perataan


metode bowditch kemudian dilanjutkan dengan
penghitungan menggunakan perataan metode kwadrat
terkecil dengan menggunakan hasil hitungan pertama
sebagai koordinat pendekatan; dan
b) hasil hitungan menggunakan metode perataan bowditch
harus memenuhi persyaratan toleransi salah linier jarak
maksimum 1 : 10.000 dan hasil hitungan menggunakan
metode perataan kuadrat terkecil harus memenuhi
persyaratan kesalahan memanjang (longitudinal error) dam
kesalahan melintang (transversal error) maksimum 4 √ d
mm, dimana d adalah jarak titik awal dan titik akhir
poligon dalam satuan km.

5. Pengukuran koordinat Bench Mark dan patok titik bantu pada Daerah
Kepentingan Bandar Udara dengan menggunakan metode Global
Positioning System (GPS) dilakukan dengan memperhatikan:

a. peralatan pengukuran Global Positioning System (GPS), harus


memenuhi persyaratan:

1) Receiver Global Positioning System (GPS) yang digunakan harus


dari tipe Geodetic dan bukan tipe Navigasi, serta harus mampu
mengamati minimal 4 (empat) satelit pada setiap tempat
pengamatan;

III-6
2) Antena yang digunakan harus dilengkapi dengan Ground
Absorbent Plane untuk mereduksi efek multipath; dan
3) Antena yang digunakan harus mempunyai phase centre yang
relatif stabil dan mempunyai gain patern yang baik agar dapat
mengamati sinyal yang datang dari semua arah.

b. metode pengukuran Global Positioning System (GPS), dilakukan


dengan ketentuan:

1) pengamatan dilakukan dengan metode statis (Static


Positioning), dan selama pengamatan posisi receiver Global
Positioning System (GPS) tidak bergerak;
2) penentuan posisi dilakukan dengan menggunakan metode
relatif (Differential Positioning);
3) jumlah receiver Global Positioning System (GPS) yang digunakan
dalam satu sesi pengukuran minimum 2 (dua) set;
4) pengamatan dilakukan baseline per baseline;
5) data pengamatan posisi yang digunakan adalah data fase;
6) jaringan pengukuran yang besar harus dibentuk menjadi loop-
loop kecil, dan jumlah baseline maksimum yang membentuk
setiap loop tidak lebih dari 8 (delapan) baseline;
7) baseline yang diamati harus saling menutup dalam suatu loop,
dan apabila pengamatan baseline harus dilakukan secara
terlepas (metode radial) maka setiap baseline diamati 2 (dua)
kali pada 2 (dua) sesi pengamatan yang berbeda;
8) pengamatan suatu jaringan titik-titik Global Positioning System
(GPS) harus dimulai dari suatu baseline yang terkait langsung
dengan titik ikat;
9) paling sedikit terdapat satu Bench Mark yang dapat dijadikan
sebagai titik ikat/referensi pengukuran Global Positioning
System (GPS) yang diketahui koordinatnya dalam sistem WGS –
1984;
10) apabila di lokasi bandar udara dan sekitarnya, tidak terdapat
patok-patok tetap yang dapat dijadikan sebagai titik
ikat/referensi pengukuran Global Positioning System (GPS) yang
diketahui koordinatnya dalam system WGS – 1984, maka:
a) Ruang hitungan yang digunakan adalah WGS – 1984;
b) Harga pendekatan nilai absolut untuk seluruh titik dalam
jaringan ditentukan melalui pengikatan pada satu titik yang
koordinatnya ditentukan melalui:
i. pengukuran menggunakan metode absolut (point)
positioning;
ii. jenis data yang digunakan pseudorange; dan
iii. penentuan posisi dilakukan dengan metode static
positioning.
c) Metode perataan yang digunakan adalah perataan jaringan
bebas.

c. persiapan pengukuran Global Positioning System (GPS), meliputi:

1) pengadaan peta, penyiapan formulir, dan pengadaan informasi


tentang titik-titik kontrol kerangka dasar horizontal nasional
yang sudah ada;
2) mendesain geometri jaringan awal dan jaringan final; dan

III-7
3) membuat Sky Plot satelit dan grafik Dilution of Precision (DOP),
serta membuat dokumentasi rencana waktu pengamatan
satelit.

d. pelaksanaan pengukuran Global Positioning System (GPS), harus


memenuhi ketentuan:

1) Sudut elevasi (mask angle) harus lebih kecil dari 15 (lima belas)
derajat;
2) Jumlah satelit yang diamati pada setiap sesi pengamatan
paling sedikit 4 (empat) buah;
3) Lama pengamatan dalam satu sesi pengukuran yaitu 60 (enam
puluh) menit sampai dengan 120 (seratus dua puluh) menit;
4) Nilai Positional Dilution of Precision (PDOP) pada saat
pengamatan harus lebih kecil atau sama dengan 5 (lima), dan
nilai Geometrical Dilution of Precision (GDOP) harus lebih kecil
atau sama dengan 8 (delapan);
5) Alat receiver Global Positioning System (GPS) yang akan
digunakan harus dilakukan kalibrasi;
6) Antena harus tepat di atas titik dan di pasang setinggi
mungkin; dan
7) Tinggi antena harus di ukur sebanyak dua kali, yaitu sebelum
dan sesudah pengamatan. Setiap pengukuran dilakukan tiga
kali, dengan ketelitian 1 (satu) mm.

e. pengolahan data pengukuran Global Positioning System (GPS),


dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:

1) Perataan baseline, dilakukan dengan ketentuan:

a) Perangkat lunak yang digunakan untuk melakukan proses


hitungan baseline harus mempunyai karakteristik:

i. Mampu mengolah (memproses) data carrier beat fase


dan data pseudorange;
ii. Mampu memecahkan cycle slips dan cycle ambiguity;
iii. Mampu memproses data dalam single dan dual
frekuensi;
iv. Menyediakan model koreksi atmosfir;
v. Pemrosesan menyertakan tinggi antena di atas titik pilar
dan dapat dikonversikan dalam komponen vertikal.

b) Hasil hitungan perataan baseline menggunakan perangkat


lunak harus dapat memberikan informasi tentang indikator
terhadap kualitas data yang akan dipantau untuk
mengecek kualitas koordinat yang diperoleh, antara lain:

i. Nilai Root Mean Squares (RMS), harga maksimum dan


minimum, deviasi standard dari residual;
ii. Nilai faktor variansi a posteriori;
iii. Matriks variansi – kovariansi dari vektor parameter
baseline;
iv. Hasil dari test statistic terhadap residual maupun vektor
baseline;
v. Banyaknya data yang tidak baik dan dibuang/ditolak;

III-8
vi. Jumlah cycle slips yang terdeteksi dan berhasil
dikoreksi.

2) Perataan jaringan, meliputi:

1) perataan jaring bebas dilakukan dengan hanya


menggunakan satu titik tetap dan dimaksudkan untuk
memeriksa konsistensi data vektor baseline satu terhadap
lainnya;
2) setelah melalui tahapan perataan jaring bebas dan kontrol
kualitasnya, selanjutnya vektor-vektor baseline yang
‘diterima’ diproses kembali dalam perataan jaring terikat.
Pada perataan ini semua titik tetap digunakan, dan
kordinat titik-titik yang diperoleh dan sukses melalui proses
kontrol kualitas akan dianggap sebagai koordinat final;
3) hasil hitungan perataan jaringan harus dapat menyajikan
indikator kualitas yang akan dipantau untuk mengecek
kualitas koordinat yang diperoleh, yaitu:
a) nilai Root Mean Squares, harga maksimum dan
minimum, serta deviasi baku dari residual;
b) nilai faktor variansi a postriori;
c) matriks variansi – kovariansi dari koordinat;
d) dimensi dari ellips kesalahan relatif dan absolut;
e) hasil test statistic terhadap residual maupun koordinat;
f) jumlah vektor baseline yang ditolak (outlier); dan
g) perbedaan harga-harga statistic antara yang diperoleh
dari hitung perataan jaringan bebas dan dari hitung
perataan jaring ikat.

f. ketelitian hasil pengukuran Global Positioning System (GPS),


dilakukan dengan ketentuan:

1) Vektor baseline yang akan digunakan sebagai masukan pada


perataan jaring harus memenuhi persyaratan:

a) Selisih dari double difference float dengan double difference


fix dalam komponen panjang maksimal 6,6 Cm;
b) Dari ketiga solusi yang dihasilkan oleh perangkat lunak
pemrosesan baseline, maka double difference fix yang
dijadikan masukan pada perangkat lunak perataan jaring;
c) Ratio yang terdapat pada hasil double difference fix minimal
3; dan
d) Standar deviasi dari masing-masing komponen vektor
baseline tidak boleh lebih dari 3 Cm.

2) Kontrol kualitas hasil perataan jaring dilakukan dengan


ketentuan:

a) Standar residu dianggap baik apabila berada pada selang


interval -2,5 sampai 2,5 ;
b) Test faktor variansi dilakukan dengan menggunakan
tingkat derajat kepercayaan (Confidence Level Used) sebesar
95 %; dan
c) Besaran semi mayor aksis aktif relatif pada ellip kesalahan
dihitung dengan besaran ketelitian yang ditetapkan sebesar
3 ppm.

III-9
6. Metode Traffic Counting Survey, dilakukan dengan menghitung jumlah
kendaraan bermotor untuk setiap arah pada beberapa lajur jalan
menuju dan/atau ke bandar udara diluar Daerah Lingkungan Kerja
(DLKr) Bandar Udara.

7. Peralatan yang digunakan dalam metode Traffic Counting Survey,


terdiri atas:

a. Counter;
b. Formulir Survey;
c. Stopwatch; dan
d. Alat Tulis.

8. Metode Traffic Counting Survey, dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari


dengan penghitungan paling lama 12 (dua belas) jam per hari serta
periode penghitungan setiap 15 (lima belas) menit.

9. Penggambaran Daerah Lingkungan Kepentingan Bandar Udara,


sebagaimana tercantum dalam Gambar III-2 dengan ketentuan:

a. Peta Daerah Lingkungan Kepentingan Bandar Udara diwujudkan


dalam bentuk gambar peta dengan skala 1 : 2.500;
b. penulisan Nama Jabatan dan Nama Pejabat Penandatangan ditulis
dengan huruf kapital; dan
c. penulisan penutup di sebelah kanan margin.

DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA,


Pelaksana Tugas,

ttd

BAMBANG TJAHJONO

III-10
Gambar III-2. Daerah Lingkungan Kepentingan

100

Teluk Joi
LUBUKBAJA
Selat Paku
U

100
0km 0.5km 1km 1.5km 2km 2.5km 3km 3.5km

A30

A28 POLRES

A27

100
A25 GD

100
A24

A23

A22

A21
Teluk Tering
A20

A19
A33 A31
53
A34 A18
A35
Sungai Ulualai
A17

A16
A15

A14

A13

A11
A3
A2

A5

A7 A1
A8

Sungai Tiban

KEMENTERIAN PERHUBUNGAN

MENTERI PERHUBUNGAN

NAMA GAMBAR NOMOR LEMBAR

DAERAH LINGKUNGAN KEPENTINGAN XXXX XXXXX

 III-11
LAMPIRAN IV
Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara
Nomor : KP 590 TAHUN 2014
Tanggal : 12 DESEMBER 2014
Tentang
Pedoman Teknis Pembuatan Rencana Induk Bandar Udara

PEDOMAN TEKNIS PEMBUATAN


KAWASAN KESELAMATAN OPERASI PENERBANGAN (KKOP)

I. Tenaga ahli, Tenaga Penunjang dan Peralatan

Dalam melaksanakan pekerjaan pembuatan Kawasan Keselamatan


Operasi Penerbangan (KKOP) diperlukan tenaga ahli, tenaga penunjang
dan peralatan yang meliputi:
1. Tenaga ahli meliputi tenaga ahli yang menguasai bidang ilmu :
a. Perencanaan Bandar Udara;
b. Teknik Geodesi;
c. Hukum;
d. Keselamatan Penerbangan.
2. Tenaga Penunjang antara lain :
a. Sekertaris;
b. CAD Operator;
c. Operator Komputer;
d. Administrasi keuangan.
3. Peralatan antara lain :
a. Alat ukur sudut (Total Station);
b. Pita ukur;
c. Alat ukur beda tinggi (Waterpass);
d. Alat ukur GPS (Global Positioning System) dan Software;
e. Komputer;
f. Alat komunikasi.

II. Inventarisasi Data

Inventarisasi data pekerjaan pembuatan Kawasan Keselamatan Operasi


Penerbangan (KKOP) terdiri dari :
1. Rencana Induk Bandar Udara dan/atau kebutuhan fasilitas bandar
udara dan navigasi penerbangan;
2. Rencana Pengembangan Wilayah dan pengembangan kota jangka
panjang untuk lokasi yang bersangkutan;
3. Rencana prosedur dan pengaturan lalu lintas udara (air traffic
control);
4. Peta Topografi;
5. Titik Kerangka Dasar Horizontal Nasional;
6. Titik Tinggi Geodesi.

III. Survey Lapangan

Survey lapangan pembuatan Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan


(KKOP) meliputi:

IV-1
1. Kerangka Dasar dan Obstacle, meliputi:
a. Pemasangan Bench Mark (BM);
b. Pemasangan Bench Mark (BM) harus memenuhi ketentuan
persyaratan perletakan lokasi BM dan persyaratan pemasangan
BM.
c. Pengukuran Poligon atau Global Positioning System (GPS);
d. Pengukuran Sipat Datar;
e. Pengukuran Situasi Detail dan Obstacle.

2. Pemasangan Patok patok tetap/Bench Mark (BM) yang bertujuan


untuk mendapatkan koordinat setiap patok-patok tetap yang sudah
dipasang, dilakukan dengan ketentuan:

a. patok terbuat dari patok bertulang, diberi nomor dan kode


tertentu;
b. patok ditanam sedalam 0,75 m sehingga bagian Bench Mark yang
berada di atas permukaan tanah setinggi 0,25 m;
c. pemasangan patok-patok tetap harus memenuhi ketentuan
persyaratan peletakan lokasi, yaitu:

1) dipasang pada lokasi yang sesuai dengan rencana titik-titik


tetap yang telah di tentukan di atas peta dasar;
2) bench mark pada Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan,
berjumlah min 20 patok dipasang pada daerah rencana
pengembangan kota;
3) mudah dijangkau dan dipasang ditempat yang aman.

3. Spesifikasi benchmark dan gambar BM sebagaimana dimaksud


tercantum dalam Gambar IV-1.

IV-2
Gambar IV-1. Spesifikasi Benchmark

IV-3
4. Pengukuran Koordinat
a. Metode pelaksanaan pengukuran koordinat patok-patok tetap
terdiri atas:
1) metode poligon;
Pengukuran patok koordinat batas lahan dan fasilitas Bandar
Udara dengan menggunakan metode Poligon dilakukan
dengan cara:
a) persiapan pengukuran poligon, meliputi:
i. pengadaan peta, penyiapan formulir, dan pengadaan
informasi tentang titik – titik kontrol kerangka dasar
horizontal nasional yang sudah ada (mengacu ke
Bakorsurtanal);
ii. membuat desain rencana jalur pengukuran Poligon
utama dan Poligon cabang.

b) metode pengukuran poligon, meliputi:

i. Poligon utama;
- Pengukuran Poligon utama harus terikat pada
minimal satu titik kerangka dasar horizontal
nasional, dan apabila titik kerangka dasar
horizontal nasional tidak ada atau letaknya relatif
jauh dari lokasi pengukuran, maka dapat
menggunakan titik kerangka horizontal milik
Bappeda, Pekerjaan Umum atau Pemda yang ada
disekitar bandar udara yang bersangkutan.
- Jalur pengukuran Poligon utama harus
membentuk jaringan dari beberapa loop yang
tertutup melalui kedua ujung titik sumbu
landasan.

ii. Poligon cabang.


Pengukuran Poligon cabang harus terikat pada titik
pengukuran Poligon utama, baik pada titik awal
maupun pada titik akhir. Jalur pengukuran Poligon
cabang tidak harus berupa loop yang tertutup.

c) pelaksanaan pengukuran Poligon, meliputi:

i. pekerjaan pengukuran poligon utama


Tahapan pengukuran poligon utama, terdiri dari:
 pengukuran sudut, dilakukan dengan ketentuan
teknis:
- menggunakan alat total station yang telah
dikalibrasi (ketelitian pembacaan 1” (detik)),
salah kolimasi lingkaran horizontal lebih besar
dari 30” atau salah index lingkaran vertikal
lebih besar dari 1' (menit);
- metode yang digunakan adalah “Fixed Tripod
System” menggunakan 3 (tiga) buah statip
dengan 3 (tiga) buah kiap/tribrach sehingga
selama pengamatan berlangsung statip
tersebut harus tetap berada di satu titik,
kecuali target dan total station saja yang
berpindah;

IV-4
- sebagai titik bantu dalam pengukuran sudut
dan jarak dapat digunakan patok kayu dengan
ukuran 50cm x 5cm x 5cm, yang ditengahnya
diberi paku payung, bercat merah dan diberi
nomor / kode pengenal, selanjutnya bagian
patok kayu yang ditanam sedalam 35 cm;
- pengukuran sudut dilakukan dengan double
seri dengan ketelitian 5” (lima detik);
- Salah penutup sudut maksimum 10" N,
dimana N = jumlah titik sudut.
- Pengamatan sudut vertikal untuk reduksi ke
jarak datar dilakukan dengan 2 seri pada
setiap ujung titik Poligon.
 pengukuran jarak
Pengukuran jarak dilakukan dengan ketentuan
teknis sebagai berikut :
- menggunakan alat Electronic Distance
Measurement yang telah di kalibrasi (basis
yang diketahui jaraknya);
- pengamatan jarak dilakukan paling sedikit 3
kali pembacaan dan kemudian diratakan;
- ketelitian alat ukur jarak harus + (5 mm + 5
ppm);
- temperatur dan tekanan udara dicatat untuk
dilakukan koreksi refraksi dalam proses
pengolahan data selanjutnya, pencatatan
dilakukan dalam 30 (menit).

ii. pekerjaan pengukuran poligon cabang


Tahapan pengukuran poligon cabang terdiri dari:

 pengukuran sudut
pengukuran sudut dilakukan dengan ketentuan
teknis sebagai berikut:
- menggunakan alat total station dengan
ketelitian pembacaan 1 (satu menit);
- pengukuran sudut dilakukan satu seri,
dengan ketelitian sudut 2 (dua menit);
- salah penutup sudut maksimum 2N, dimana
N = jumlah titik Poligon.

 pengukuran jarak, dilakukan dengan ketentuan


teknis sebagai berikut;
- sebagai titik bantu dapat digunakan patok
kayu yang dipasang sesuai dengan rencana
pengukuran Poligon cabang, dengan jarak
antar patok adalah 75 m sampai dengan 100
m.
- sisi Poligon diukur pulang pergi dengan pita
ukur, masing-masing minimal 2 kali
pembacaan;

IV-5
2) metode Global Positioning System (GPS)

Pengukuran koordinat patok-patok tetap dengan


menggunakan metode Global Positioning System (GPS)
dilakukan dengan memperhatikan persyaratan terhadap:

a) peralatan pengukuran GPS, harus memenuhi


persyaratan:

i. Receiver GPS yang digunakan harus dari tipe Geodetic


dan bukan tipe Navigasi, serta harus mampu
mengamati minimal 4 (empat) satelit pada setiap
tempat pengamatan;
ii. Antena yang digunakan harus dilengkapi dengan
Ground Absorbent Plane untuk mereduksi efek
multipath;
iii. Antena yang digunakan harus mempunyai phase
centre yang relatif stabil dan mempunyai gain patern
yang baik agar dapat mengamati sinyal yang datang
dari semua arah.

b) metode pengukuran GPS Geodetik, dilakukan dengan


ketentuan:

i. pengamatan dilakukan dengan metode statis (Static


Positioning), dan selama pengamatan posisi receiver
GPS tidak bergerak;
ii. penentuan posisi dilakukan dengan menggunakan
metode relatif (Differential Positioning);
iii. jumlah receiver GPS yang digunakan dalam satu sesi
pengukuran minimum 2 (dua) set;
iv. pengamatan dilakukan baseline per baseline;
v. data pengamatan posisi yang digunakan adalah data
fase;
vi. jaringan pengukuran yang besar harus dibentuk
menjadi loop – loop kecil, dan jumlah baseline
maksimum yang membentuk setiap loop tidak lebih
dari 8 (delapan) baseline;
vii. Baseline yang diamati harus saling menutup dalam
suatu loop, dan apabila pengamatan baseline harus
dilakukan secara terlepas (metode radial) maka setiap
baseline diamati 2 (dua) kali pada 2 (dua) sesi
pengamatan yang berbeda;
viii. pengamatan suatu jaringan titik-titik GPS harus
dimulai dari suatu baseline yang terikat langsung
dengan titik ikat;
ix. minimal terdapat satu patok-patok tetap yang dapat
dijadikan sebagai titik ikat/referensi pengukuran GPS
yang diketahui koordinatnya dalam sistem WGS –
1984 (Mengacu kpada Titik ikat referensi nasional
(Bakosurtanal);
x. apabila di lokasi bandar udara dan sekitarnya, tidak
terdapat patok-patok tetap yang dapat dijadikan
sebagai titik ikat/referensi pengukuran GPS yang
diketahui koordinatnya dalam sistem WGS – 1984,
maka :

IV-6
 ruang hitungan yang digunakan adalah WGS –
1984;
 harga pendekatan koordinat absolut untuk
seluruh titik dalam jaringan ditentukan melalui
pengikatan pada satu titik yang koordinatnya
ditentukan melalui :
 pengukuran menggunakan metode absolut
(point) positioning;
 jenis data yang digunakan pseudorange;
 penentuan posisi dilakukan dengan metode
Static Positioning.
 metode perataan yang digunakan adalah perataan
jaring bebas.

c) persiapan pengukuran GPS, meliputi :

i. pengadaan peta-peta, penyiapan formulir, dan


pengadaan informasi tentang titik-titik kontrol
kerangka dasar horizontal nasional yang sudah ada;
ii. mendesain geometri jaringan awal dan jaringan final;
iii. membuat Sky Plot satelit dan grafik Dilution of
Precision (DOP), serta membuat dokumentasi rencana
waktu pengamatan satelit.

d) pelaksanaan pengukuran GPS, dilakukan dengan


ketentuan:

i. sudut elevasi (mask angle) harus lebih kecil dari 15


(derajat);
ii. jumlah satelit yang diamati pada setiap sesi
pengamatan minimal 4 (empat) buah;
iii. lama pengamatan dalam satu sesi 60 – 120
(menit);
iv. nilai Positional Dilution of Precision (PDOP) pada saat
pengamatan harus lebih kecil atau sama dengan 5
(lima), dan nilai Geometrical Dilution of Precision
(GDOP) harus lebih kecil atau sama dengan 8
(delapan);
v. sebelum pelaksanaan survey pengukuran lapangan,
alat receiver GPS yang digunakan terlebih dahulu
harus dilakukan kalibrasi.
vi. Kalibrasi receiver dapat dilakukan dengan mengukur
panjang baseline nol, dan pengamatan dilakukan
sekitar 120 (menit);
vii. Antena harus diunting tepat di atas titik dan di
pasang setinggi mungkin.
viii. Tinggi antena harus di ukur, pengukuran tinggi
antena dilakukan dua kali, yaitu sebelum dan
sesudah pengamatan.
ix. Setiap pengukuran dilakukan tiga kali, dengan
ketelitian 1 mm.

e) Pengukuran Elevasi (Sifat Datar), bertujuan untuk


menentukan ketinggian titik - titik kerangka dasar
horizontal pemetaan yang meliputi pengukuran sipat
datar utama dan sipat datar sekunder.

IV-7
i. Pengukuran sipat datar utama dilakukan dengan
ketentuan teknis sebagai berikut :
- alat yang digunakan adalah waterpass tipe
automatic level instrument;
- jalur pengukuran mengikuti jalur poligon
utama;
- pembacaan dilakukan terhadap 3 (tiga) benang
(atas, tengah, bawah);
- minimal 2 (dua) kali dalam setiap minggu alat
harus dicek kesalahan garis bidik dengan
menggunakan basis 100 meter;
- usahakan jumlah slag perseksi genap;
- pada waktu pembidikan diusahakan agar
jumlah jarak ke belakang ( DB) sama dengan
jumlah jarak ke muka ( DM), dan apabila 
DB  DM, hasil hitungan beda tinggi perlu
dikoreksi;
- jarak pembacaan dari alat waterpas ke
rambu maksimum 50 m;
- pada jalur yang tertutup pengukuran harus
dilakukan pergi dan pulang, sedangkan pada
jalur yang terbuka harus double stand dan
pergi pulang;
- rambu harus diberi alas atau Straatpot, kecuali
pada patok kayu dan BM;
- dalam pengukuran waterpas, rambu-rambu
harus digunakan secara selang-seling, sehingga
rambu yang diamati pada titik awal akan
menjadi rambu yang diamati pada titik akhir;
- tinggi BM dari permukaan tanah harus diukur;
- salah penutup maksimum 8  D mm, dimana D
adalah jumlah jarak dalam satuan km;

ii. Pengukuran sipat datar sekunder dilakukan dengan


ketentuan:

- jalur pengukuran mengikuti jalur poligon


sekunder;
- salah penutup maksimum 15  D mm, dimana
D adalah jumlah jarak dalam satuan km;
- pengukuran dilakukan untuk arah pergi saja;
- tinggi patok kayu dari permukaan tanah harus
diukur;
- ketentuan-ketentuan lain sama seperti pada
pengukuran sipat datar utama.
- Hasil pengukuran sipat datar dihitung dengan
ketentuan sebagai berikut:
- Untuk sipat datar utama dihitung dengan cara
perhitungan perataan kwadrat terkecil;
- Untuk sipat datar sekunder dihitung dengan
cara perhitungan perataan biasa;
- Perhitungan tinggi (H) diikatkan ke titik
kerangka dasar vertikal nasional dan dihitung
dalam Sistim Ketinggian Bandar Udara.

IV-8
5. Pengukuran Situasi dan Obstacle

a. Pengukuran situasi
Pengukuran situasi bertujuan untuk mendapatkan gambaran
dari permukaan bumi yang diperlihatkan oleh garis-garis
konturnya dengan ketentuan:

1) Alat yang digunakan adalah total station dengan ketinggian


pembacaan 1’ (menit);
2) Pengukuran situasi detail dilakukan dengan metode
tachimetri;
3) Semua tampakan yang ada, baik yang alamiah maupun
buatan manusia harus diukur dengan teliti dan bnar;
4) Pengukuran situasi dilakukan pada areal bandar udara, alat
bantu navigasi penerbangan dan obyek obstacle;
5) Hasil pengukuran situasi detail dihitung tinggi dan posisinya
dengan mengikatkan ke titik poligon utama / sekunder dan
titik sipat datar utama / sekunder.

b. Pengukuran obyek obstacle


Pengukuran obyek obstacle bertujuan untuk mengetahui posisi
dan ketinggian bangunan / benda tumbuh di bandar udara dan
sekitarnya yang membahayakan atau diduga membahayakan
keselamatan operasi penerbangan. Bangunan/benda tumbuh
meliputi benda, termasuk benda bergerak yang didirikan atau
dipasang oleh orang antara lain gedung-gedung, menara, mesin
derek, cerobong asap, gundukan tanah, pohon dan jaringan
transmisi di atas tanah.
Hasil pengukuran obstacle dihitung tinggi dan posisinya dengan
mengikatkan ke titik poligon utama / sekunder dan titik sipat
datar utama / sekunder.
Pengukuran Obyek Obstacle terdiri dari :

c. pengukuran posisi
Pengukuran posisi obyek obstacle harus memenuhi ketentuan:
1) Alat yang digunakan total station dengan ketelitian
pembacaan 1” (satu detik);
2) Basis pengukuran diusahakan menggunakan titik - titik
poligon utama (BM);
3) Pengukuran posisi horizontal obstacle dilakukan dengan
metoda mengikat kemuka;
4) Ketelitian pengukuran sudut horizontal sama dengan
pengukuran sudut horizontal poligon utama;
5) Pengukuran posisi horizontal obstacle dapat dilakukan
dengan Global Positioning System (GPS).

d. pengukuran ketinggian
Pengukuran ketinggian objek obstacle harus memenuhi
ketentuan:
1) Pengukuran tinggi obyek obstacle dilakukan dengan metode
trigonometris;
2) Pengukuran sudut vertikal dilakukan 2 (dua) seri, dengan
ketelitian sudut 10" (detik);

IV-9
3) Tinggi muka tanah obyek obstacle terhadap ketinggian
referensi ditentukan dengan melakukan pengsukuran sipat
datar, yang ketelitian minimal sama dengan ketelitian sipat
datar sekunder.

e. Pengolahan data survey dan pemetaan;


1) Pengolahan data hasil pengukuran Poligon utama dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut :
a) hitungan dilakukan dengan menggunakan metode
perataan Metode Bowditch kemudian dilanjutkan dengan
penghitungan menggunakan perataan metode Kwadrat
terkecil dengan menggunakan hasil hitungan pertama
sebagai koordinat pendekatan;
b) hasil hitungan menggunakan metode Perataan Bowditch
harus memenuhi persyaratan toleransi salah linier jarak
maksimum 1 : 10.000 dan hasil hitungan menggunakan
metode Perataan Kuadrat Terkecil harus memenuhi
persyaratan kesalahan memanjang (longitudinal error)
dan kesalahan melintang (transversal error) maksimum
4 D Mm, dimana D adalah jarak titik awal dan titik
akhir Poligon dalam satuan Km.

2) pengolahan data poligon cabang dilakukan deengan ketentuan


teknis sebagai berikut:
a) hitungan dilakukan dengan menggunakan metode
perataan Bowditch;
b) toleransi salah linier jarak maksimum 1 : 5.000.

3) Pengolahan data pengukuran GPS dilakukan melalui tahapan


sebagai berikut :
a) perataan baseline, dilakukan dengan ketentuan sebagai
berikut :
i. perangkat lunak yang digunakan untuk melakukan
proses hitungan baseline harus mempunyai
karakteristik sebagai berikut:
- mampu mengolah (memproses) data carrier beat
fase dan data pseudorange;
- mampu memecahkan cycle slips dan cycle
ambiguity;
- mampu memproses data dalam single dan dual
frekuensi;
- menyediakan model koreksi atmosfir;
- pemprosesan menyertakan tinggi antena di atas
titik pilar dan dapat dikonversikan dalam
komponen vertikal.

ii. hasil hitungan perataan baseline menggunakan


perangkat lunak harus dapat memberikan informasi
tentang indikator terhadap kualitas data yang akan
dipantau untuk mengecek kualitas koordinat yang
diperoleh, antara lain :
- nilai Root Mean Squares (RMS), harga maksimum
dan minimum, deviasi standard dari residual;
- nilai faktor variansi a posteriori;

IV-10
- matriks variansi – kovariansi dari vektor
parameter baseline;
- hasil dari test statistik terhadap residual maupun
vektor baseline;
- banyaknya data yang tidak baik dan dibuang /
ditolak;
- jumlah cycle slips yang terdeteksi dan berhasil
dikoreksi.

b) perataan jaring, dilakukan dengan ketentuan sebagai


berikut meliputi:
i. perataan jaring bebas dilakukan dengan hanya
menggunakan satu titik tetap dan dimaksudkan
untuk memeriksa konsistensi data vektor baseline
satu terhadap lainnya;
ii. setelah melalui tahapan perataan jaring bebas dan
kontrol kualitasnya, selanjutnya vektor-vektor
baseline yang diterima diproses kembali dalam
perataan jaring terikat.
iii. pada perataan ini semua titik tetap digunakan, dan
koordinat titik-titik yang diperoleh dan sukses melalui
proses kontrol kualitas akan dianggap sebagai
koordinat final;
iv. hasil hitungan perataan jaringan harus dapat
menyajikan indikator kualitas yang akan dipantau
untuk mengecek kualitas koordinat yang diperoleh,
yaitu ;
- nilai Root Mean Squares, harga maksimum dan
minimum, serta deviasi baku dari residual;
- nilai faktor variansi a postriori;
- matriks variansi – kovariansi dari koordinat;
- dimensi dari ellips kesalahan relatif dan absolut;
- hasil test statistik terhadap residual maupun
koordinat;
- jumlah vektor baseline yang ditolak (outlier);
- perbedaan harga-harga statistik antara yang
diperoleh dari hitung perataan jaringan bebas dan
dari hitung perataan jaring terikat.
v. ketelitian hasil pengukuran GPS dilakukan dengan
ketentuan:
- vektor baseline yang akan digunakan sebagai
masukan pada perataan jaring harus memenuhi
persyaratan:
- selisih dari double difference float dengan double
difference fix dalam komponen panjang maksimal
6,6 cm;
- dari ketiga solusi yang dihasilkan oleh perangkat
lunak pemrosesan baseline, maka double
difference fix yang dijadikan masukan pada
perangkat lunak perataan jaring;
- ratioyang terdapat pada hasil double difference fix
minimal 3;
- standar deviasi dari masing-masing komponen
vektor baseline tidak boleh lebih dari 3 Cm.

IV-11
- Kontrol kualitas hasil perataan jaring dilakukan
dengan ketentuan:
- standar residu dianggap baik apabila berada pada
selang interval –2,5 sampai 2,5;
- test faktor variansi dilakukan dengan
menggunakan tingkat derajat kepercayaan
(Confidence Level Used) sebesar 95%;
- besaran semi mayor aksis relatif pada ellip
kesalahan dihitung dengan besaran ketelitian
yang ditetapkan sebesar 3 ppm.

IV. ANALISA DATA

Analisa data Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP)


meliputi :

1. analisis kawasan, terdiri dari :


a. Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan di Bandar Udara dan
Sekitarnya diukur dan ditentukan dengan bertitik tolak pada
rencana induk bandar udara dan/atau kebutuhan fasilitas bandar
udara dan alat bantu navigasi penerbangan;
b. pada bandar udara yang rencana pembangunan dan/atau
pengembangan landasan pacu dipindah, maka Kawasan
Keselamatan Operasi Penerbangan ditentukan berdasarkan
gabungan landasan eksisting dan landasan pengembangan;

2. analisis batas-batas kawasan, meliputi:


a. Batas - batas kawasan pada Kawasan Keselamatan Operasi
Penerbangan di Bandar Udara dan sekitarnya ditentukan
berdasarkan persyaratan permukaan batas penghalang sesuai
Annex 14 ICAO Konvensi Chicago Tahun 1944 dan dinyatakan
dalam Sistim Koordinat Bandar Udara serta sistim koordinat
geografis dalam referensi World Geodetic System 1984 (WGS'84);
b. batas - batas ketinggian pada Kawasan Ancangan Pendaratan dan
Lepas Landas ditentukan berdasarkan elevasi ambang landasan
dari masing-masing permukaan pendekatan dan lepas landas
sebagaimana tercantum dalam gambar 2 dan 3.
c. batas - batas ketinggian pada Kawasan Di bawah Permukaan
Transisi, Kawasan Di bawah Permukaan Horizontal Dalam,
Kawasan Di bawah Permukaan Kerucut, Kawasan Di bawah
Permukaan Horizontal Luar ditentukan berdasarkan elevasi
ambang landasan rata-rata sebagaimana tercantum dalam gambar
IV-2 dan gambar VI-3;
d. elevasi ambang landasan rata-rata atau biasa disebut “H”
ditentukan dari beda tinggi antara dua elevasi ambang landasan
dibagi dua, hasilnya dibulatkan kebawah dalam nol desimal
sebagaimana tercantum dalam gambar IV-4.

3. analisis klasifikasi kawasan meliputi:

a. untuk menentukan Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan di


Bandar Udara dan Sekitarnya, landasan dibagi menjadi beberapa
klasifikasi sebagaimana tercantum dalam gambar IV-5 dan gambar
IV-6, yaitu :

IV-12
1) Instrument Precision, Category I Code Number 1 and 2;
2) Instrument Precision, Category I Code Number 3 and 4;
3) Instrument Precision, Category II dan III Code Number 3 and 4;
4) Instrument Non Precision Code Number 1 and 2;
5) Instrument Non Precision Code Number 3;
6) Instrument Non Precision Code Number 4;
7) Non Instrument Code Number 1;
8) Non Instrument Code Number 2;
9) Non Instrument Code Number 3;
10) Non Instrument Code Number 4.

b. Klasifikasi landasan ditentukan berdasarkan :


1) Kelengkapan alat-alat bantu navigasi penerbangan pada
bandar udara;
2) Dimensi landasan.

IV-13
Gambar IV-2. KawasanKeselamatanOperasi Penerbangan

IV-14
Gambar IV-3.BatasKetinggianKawasanKeselamatanOperasi Penerbangan

IV-15
Gambar IV-4. Perhitungan elevasi ambang landas pacu

IV-16
Gambar IV-5. Klasifikasi Landas Pacu
Runway Clasification
Instrument
Non Instrument
Non-Precision Precision
OLS & Dimensi (in metres and percentages) Cat. II &
Code No Code No Cat. I Code No III Code
No
1* 2 3 4 1,2 3 4 1,2 3,4 3,4
HORISONTAL LUAR (OUTER HORIZONTAL)
Tinggi (m) - - - - - 150 150 - 150 150
Radius (m) - - - - - 15000 15000 - 15000 15000
(KERUCUT) CONICAL
Kemiringan 5% 5% 5% 5% 5% 5% 5% 5% 5% 5%
Tinggi (m) 35 55 75 100 60 75 100 60 100 100
HORISONTAL DALAM (INNER HORIZONTAL)
Tinggi (m) 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45
Radius (m) 2000 2500 4000 4000 3500 4000 4000 3500 4000 4000
APPROACH
Panjang tepi dalam (m) 60 80 150a 150 90 150 300b 150 300 300
Jarak dari ambang batas (m) 30 60 60 60 60 60 60 60 60 60
Divergens masing-masing sisi 10% 10% 10% 10% 15% 15% 15% 15% 15% 15%
Panjang bagian pertama (m) 1600 2500 3000 3000 2500 3000 3000 3000 3000 3000
Kemiringan 5% 4% 3.33% 2.50% 3.33% 3.33% 2% 2.50% 2% 2%
Panjang bagian kedua (m) - - - - - 3600c 3600 12000 3600 3600
Kemiringan - - - - - 2.5%c 2.50% 3% 2.50% 2.50%
Panjang bagian horisontal (m) - - - - - 8400c 8400 - 8400 8400
Panjang total (m) 1600 2500 3000 3000 2500 15000d 15000 15000 15000 15000
PENDEKATAN DALAM (INNER APPROACH)
Lebar (m) 90 120 120
Ambang batas (m) 60 60 60
Panjang (m) 900 900 900
Kemiringan 2.50% 2% 2%
TRANSITIONAL
Kemiringan 20% 20% 14.30% 14.30% 20% 14.30% 14.30% 14.30% 14.30% 14.30%
TRANSISIONAL DALAM (INNER TRANSITIONAL)
Kemiringan 40% 33.30% 33.30%
BALKED LANDING
Length of inner (Panjang tepi dalam (m)) 90 120 120
e
Jarak dari ambang batas (m) 1800f 1800
Divergens masing-masing sisi 10% 10% 10%
Kemiringan 4% 3.30% 3.30%

Keterangan :
* Penggunaan runway untuk penerbangan malam hari dengan pesawat udara maksimum berat lepas
landas tidak lebih dari 5.700 kg harus memnuhi ketentuan kode angka 2.
a 90 m jika lebar runway 30 m
b 150 m jika hanya digunakan oleh pesawat yang membutuhkan lebar runway 30
c Tidak membutuhkan survey lapangan/darat sebenarnya kecuali dibutuhkan secara khusus oleh
perancang prosedur. Peancang prosedur akan menggunakan pete topografis dan databank struktur
tinggi untuk menentukan ketinggian minimum.
d Area pendekatan sampai jarak yang disyaratkan perlu dipantau terhadap munculnya obstacle baru.
Berdasarkan catatan/saran dari designer prosedur penerbangan bahwa khusus pada dataran tinggi
dan bangunan tinggi perlu pemantauan lebih lanjut.
e Jarak ke ujung runway strip
f Atau ke ujung runway strip, mana saja yang lebih kecil.

IV-17
Gambar IV-6. Klasifikasi Landas Pacu untuk Take Off

Code Number
Surface and Dimensions a
1* 2 3 or 4

TAKE OFF CLIMB


Length of inner edge 60 m 80 m 180 m
b
Distance from runway end 30 m 60 m 60 m
Divergence (each side) 10% 10% 12.50%
Final Width 380 m 580 m 1200 m
1800 mc
Length 1600 m 2500 m 15000 m
Slope 5% 4% 2% d
Semua dimensi diukur secara horisontal kecuali telah ditentukan sebaliknya.

* Penggunaan runway untuk penerbangan malam hari dengan pesawat udara maksimum berat lepas
landas tidak lebih dari 5.700 kg harus memenuhi ketentuan kode angka 2

a Panjang tepi dalam dapat dikurangi hingga 90 m jika runway akan digunakan untuk pesawat
dengan massa kurang dari 22.700 kg dan beroperasi dengan VMC di siang hari. Dalam kasus ini,
lebar akhir/final dapat mencapai 600m, kecuali jalur penerbangan melibatkan perubahan heading
melebihi 15°.

b Permukaan take-off climb berawal dari ujung clearway jika terdapat clearway.

c Lebar akhir/final dapat dikurangi hingga 1200 m jika runway hanya digunakan oleh pesawat dengan
prosedur lepas landas yang tidak melibatkan perubahan heading lebih dari 15° untuk operasi yang
dilakukan dalam IMC atau malam hari.

d Karakteristik operasional pesawat udara untuk runway yang dimaksud harus diperiksa untuk
melihat apakah perlu mengurangi kemiringan guna memenuhi kondisi pengoperasian kritis. Jika
kemiringan yang telah ditentukan dikurangi, maka perlu dilakukan penyesuaian panjang untuk
take-off climb sehingga memberikan perlindungan hingga ketinggian 300 m. Jika tidak ada objek
yang mencapai 2% permukaan take-off climb, maka objek-objek baru perlu dibatasi untuk menjaga
permukaan bebas obstacle, atau permukaan yang turun hingga kemiringan 1,6%

IV-18
c. Kelengkapan alat-alat bantu navigasi penerbangan terdiri dari:
1) Instrument Precision untuk landasan yang dilengkapi alat
bantu pendaratan Instrument Landing System dan alat bantu
pendaratan visual;
2) Instrument Non Precision untuk landasan yang dilengkapi
dengan alat bantu navigasi penerbangan Very High Omni Range
dan alat bantu pendaratan visual;
3) Non Instrument untuk landasan yang dilengkapi dengan alat
bantu navigasi penerbangan Non Directional Radio Beacon.

d. Dimensi landasan sebagaimana tercantum dalam gambar 7


meliputi :
1) Code Number 1 untuk panjang landasan kurang dari 800
meter;
2) Code Number 2 untuk panjang landasan sama dengan atau
lebih besar 800 meter dan lebih kecil 1.200 meter;
3) Code Number 3 untuk panjang landasan sama dengan atau
lebih besar 1.200 meter dan lebih kecil 1.800 meter;
4) Code Number 4 untuk panjang landasan sama dengan atau
lebih besar 1.800 meter.

IV-19
Gambar 7. Referensi Dimensi Landas Pacu

AERODROME REFERENCE CODE

Code element 1 Code element 2

Code Aeroplane reference Code Outer main gear


Wing span
Number field length letter wheel spana
(1) (2) (3) (4) (5)

1 Less tahan 800 m A Up to but not up to but not


including 15 m including 4.5 m

2 800 m up to but not B 15 m up to but not 4.5 m up to but


including 1.800 m including 24 m not including 6 m

3 1.200 m up to but not C 24 m up to but not 6 m up to but not


including 1.800 m including 36 m including 9 m

4 1.800 and over D 36 m up to but not 9 m up to but not


including 52 m including 14 m

E 52 m up to but not 9 m up to but not


including 65 m including 14 m

a. Distance between the outer edges of the main gear wheels

IV-20
V. Penetapan Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan

1. Penetapan Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan di bandar


udara dan sekitarnya dilakukan dengan ketentuan:

a. Kawasan ancangan pendaratan dan Lepas Landas dibatasi oleh


tepi dalam yang berhimpit dengan ujung-ujung permukaan utama
berjarak 60 meter dari ujung landasan dengan lebar tertentu
(sesuai klasifikasi landasan) pada bagian dalam, kawasan ini
melebar kearah luar secara teratur dengan sudut pelebaran
tertentu (sesuai klasifikasi landasan) serta garis tengah bidangnya
merupakan perpanjangan dari garis tengah landasan dengan jarak
mendatar tertentu dan akhir kawasan dengan lebar tertentu;
b. Kawasan Kemungkinan Bahaya Kecelakaan dibatasi oleh tepi
dalam yang berhimpit dengan ujung - ujung permukaan utama
dengan lebar tertentu (sesuai klasifikasi landasan) ,kawasan ini
meluas keluar secara teratur dengan garis tengahnya merupakan
perpanjangan dari garis tengah landasan sampai lebar tertentu
(sesuai klasifikasi landasan) dan jarak mendatar 3.000 meter
dari ujung permukaan utama;
c. Kawasan Di bawah Permukaan Horizontal Dalam dibatasi oleh
lingkaran dengan radius tertentu (sesuai klasifikasi landasan) dari
titik tengah tiap ujung permukaan utama dan menarik garis
singgung pada kedua lingkaran yang berdekatan tetapi kawasan
ini tidak termasuk Kawasan Di bawah Permukaan Transisi;
d. Kawasan Di bawah Permukaan Horizontal Luar dibatasi oleh
lingkaran dengan radius 15.000 meter dari titik tengah tiap ujung
permukaan utama dan menarik garis singgung pada kedua
lingkaran yang berdekatan tetapi kawasan ini tidak termasuk
Kawasan Di bawah Permukaan Transisi, Kawasan Di bawah
Permukaan Horizontal Dalam, Kawasan Di bawah Permukaan
Kerucut;
e. Kawasan Di bawah Permukaan Kerucut dibatasi dari tepi luar
Kawasan Di bawah Permukaan Horizontal Dalam meluas
dengan jarak mendatar tertentu (sesuai klasifikasi landasan)
dengan kemiringan tertentu (sesuai klasifikasi landasan);
f. Kawasan Di bawah Permukaan Transisi dibatasi oleh tepi dalam
yang berhimpit dengan sisi panjang permukaan utama dan sisi
permukaan pendekatan, kawasan ini meluas keluar sampai
jarak mendatar tertentu ( sesuai klasifikasi landasan ) dengan
kemiringan tertentu (sesuai klasifikasi landasan);
g. Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf f disajikan dalam
sistim koordinat bandar udara dan sistim koordinat geografis
dalam referensi WGS’84.

2. Penetapan batas-batas ketinggian pada Kawasan Keselamatan Operasi


Penerbangan bandar udara dan sekitarnya dilakukan dengan
ketentuan:

a. Batas-batas ketinggian pada Kawasan ancangan pendaratan dan


Lepas Landas ditentukan oleh ketinggian terendah dari
pertampalan (superimpose) permukaan pendekatan dan lepas
landas, permukaan horizontal dalam, permukaan kerucut dan
permukaan horizontal luar pada kawasan keselamatan operasi
penerbangan.

IV-21
b. Batas-batas ketinggian pada Kawasan Kemungkinan Bahaya
Kecelakaan ditentukan oleh kemiringan tertentu (sesuai klasifikasi
landasan) arah keatas dan keluar dimulai dari ujung permukaan
utama pada ketinggian masing-masing ambang landasan sampai
dengan ketinggian + (45 + H) meter diatas elevasi ambang landasan
terendah sepanjang jarak mendatar 3.000 meter melalui
perpanjangan garis tengah landasan.
c. Batas-batas ketinggian pada Kawasan Di bawah Permukaan
Horizontal Dalam ditentukan + (45 + H) meter diatas elevasi
ambang landasan terendah.
d. Batas-batas ketinggian pada Kawasan Di bawah Permukaan
Horizontal Luar ditentukan + (150 + H) meter diatas elevasi
ambang landasan terendah.
e. Batas-batas ketinggian pada Kawasan Di bawah Permukaan
Kerucut ditentukan oleh kemiringan 5 % (lima persen) arah ke atas
dan keluar, dimulai dari tepi kawasan di bawah permukaan
horizontal dalam pada ketinggian + (45 + H) meter diatas elevasi
ambang landasan terendah sampai ketinggian tertentu ( sesuai
klasifikasi landasan ).
f. Batas-batas ketinggian pada Kawasan Di bawah Permukaan
Transisi ditentukan oleh kemiringan tertentu ( sesuai klasifikasi
landasan ) arah ke atas dan keluar, dimulai dari sisi panjang dan
pada ketinggian yang sama seperti Permukaan Utama dan
Permukaan Pendekatan menerus sampai memotong Permukaan
Horizontal Dalam pada ketinggian + (45+H ) meter diatas elevasi
ambang landasan terendah.
g. Penetapan Batas - batas Ketinggian di sekitar Alat Bantu Navigasi
Penerbangan dilakukan dengan ketentuan dan persyaratannya
sebagaimana tercantum dalam gambar 8, gambar 9, gambar 10,
gambar 11, gambar 12, gambar 13, dan gambar 14.

IV-22
Gambar 8. Batas ketinggian pada penempatan Alat Bantu Navigasi NDB

a. Batas-batas di sekitar Penempatan Non Directional Beacon (NDB)


1. Luas Tanah dan Lokasi Perletakan NDB

Luas tanah : 100m x 100m

2. Persyaratan Batas-batas Ketinggian Disekitar NDB

3. Persyaratan Bangunan dan Benda Tumbuh


- Didalam batas tanah 100m x 100m : bebas bangunan dan benda
tumbuh.
- Sampai dengan radius 300m dari titik tengah antena tidak
diperkenankan ada bangunan-bangunan metal seperti konstruksi
baja, tiang listrik dan lain-lain
- Sampai dengan radius 1.000m dari titik tengah antena, kelompok
pohon dan bangunan-bangunan lainnya tidak diperkenankan
melebihi batas ketinggian permukaan kerucut sebagaimana
ditentukan pada angka 2.

IV-23
Gambar 9. Batas ketinggian pada penempatan Alat Bantu Navigasi VOR

b. Batas-batas disekitar penempatan Very High Frequency Directional Omni


Range (VOR) / Distance Measuring Equipment (DME)
1. Luas Tanah dan Lokasi Perletakan VOR / DME

Luas tanah : 200m x 200m

2. Persyaratan Batas-Batas Ketinggian Disekitar VOR / DME

Antenna

3. Persyratan Bangunan dan Benda Tumbuh


- Didalam radius 100m dari titik tengah lahan : bebas benda
tumbuh dan bangunan
- Didalam radius 100 – 200m dari titik tengah lahan : ketinggian
bangunan dan benda tumbuh tidak melebihi bidang Counterpoise.
- Sampai radius 600m dari titik tengah lahan pada permukaan
kerucut harus bebas dari Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) (≥
20 KV )
- Sampai dengan Radius 600 m batas-batas ketinggian ditentukan
oleh permukaan kerucut sebagaimana di tentukan pada angka 2
diatas.

IV-24
Gambar 10. Batas ketinggian pada penempatan Alat Bantu Navigasi ILS -
Localizer

c. Batas-batas disekitar penempatan Instrument Landing System (ILS-


Localizer)
1. Luas Tanah dan Lokasi Perletakan ILS - Localizer
300 m

DAERAH SENSITIF AS LANDASAN

110 m
Antena
120
m
R 75 110 m

DAERAH SENSITIF DAERAH SENSITIF

600 m

Luas tanah : 600m x 220m

2. Persyaratan Batas-batas Ketinggian Di sekitar ILS - Localizer

Sampai dengan jarak 20 km dari antenna ke arah landas pacu,


ketinggian maksimum bangunan dan benda tumbuh ditentukan oleh
sudut bidang datar sebagaimana di tentukan pada gambar di atas.
3. Persyaratan Bangunan dan Benda Tumbuh Di Daerah Kritis Dan
Sensitif
- Ketinggian lahan di antenna Localizer sama dengan ketinggian
threshold runway.
- Kerataan shoulder di daerah kritis ≤ 3 cm.
- Pada daerah kritis ILS Localizer tidak boleh terdapat gundukan
tanah, bangunan dan pohon yang dapat mengganggu pancaran
Localizer.

IV-25
Gambar 11. Batas ketinggian pada penempatan Alat Bantu Navigasi ILS –
Glide – Path.

d. Batas-batas disekitar penempatan Instrument Landing System (ILS-Glide


Path)
1. Luas Tanah Dan Lokasi Perletakan ILS – Glide Path
600 m
As landasan

300 m
120 m

300 m
Antena GP
30 m

45°
Daerah Sensitif

Luas tanah : 600m x 300m

2. Persyaratan Batas-batas Ketinggian Di sekitar ILS – Glide Path

Sampai dengan jarak 6.000 m dari titik tengah antenna ke arah


pendaratan bangunan dan benda tumbuh ditentukan oleh sudut
sebagaimana ditentukan pada gambar diatas.
3. Persyaratan Bangunan dan Benda Tumbuh
- Kemiringan shoulder didaerah kritis ≤ 1,5 %
- Kerataan shoulder didaerah kritis ≤ 3 cm
- Pada daerah kritis dan sensitive tidak boleh terdapat bangunan,
gundukan tanah dan pepohonan yang dapat mengganggu
pancaran Glide Path.

IV-26
Gambar 12. Batas ketinggian pada penempatan Alat Bantu Navigasi ILS –
Middle Marker.

e. Batas-batas disekitar penempatan ILS-Middle Marker

1. Luas Tanah Dan Lokasi Perletakan ILS – Middle Marker

Luas tanah : 10m x 10m

2. Persyaratan Batas–batas Ketinggian Di sekitar ILS – Middle Marker

3. Persyaratan Bangunan dan Benda Tumbuh


- Sampai dengan radius 60 m batas ketinggian bangunan –
bangunan dan benda tumbuh dibatasi oleh permukaan kerucut
sebagaimana ditentukan pada gambar diatas.

IV-27
Gambar 13. Batas ketinggian pada penempatan Alat Bantu Navigasi ILS –
Outer Marker.

f. Batas-batas disekitar penempatan ILS-Outer Marker

1. Luas Tanah Dan Lokasi Perletakan ILS – Outer Marker

Luas tanah : 10m x 10m

2. Persyaratan Batas–batas Ketinggian Di sekitar ILS – Outer Marker

3. Persyaratan Bangunan dan Benda Tumbuh


- Sampai dengan radius 60 m batas ketinggian bangunan –
bangunan dan benda tumbuh dibatasi oleh permukaan kerucut
sebagaimana ditentukan pada gambar diatas.

IV-28
Gambar 14. Batas ketinggian pada penempatan Alat Bantu Navigasi RADAR.

g. Batas-batas disekitar penempatan RADAR

1. Luas Tanah Dan Lokasi Perletakan RADAR

Luas tanah : 100m x 100m

2. Persyaratan Batas-batas Ketinggian Di sekitar RADAR

10 10

3. Persyaratan Bangunan dan Benda Tumbuh


- Di dalam radius 500m dari Antena Radar, elevasi ketinggian
bangunan maksimum sama dengan Elevasi Dasar Antena Radar
(T).
- Batas ketinggian bangunan dan benda tumbuh dibatasi oleh
permukaan kerucut sebagaimana di tentukan pada gambar di atas.

IV-29
3. Penyajian dan penggambaran Kawasan Keselamatan Operasi
Penerbangan di bandar udara dan sekitarnya dilakukan dengan
ketentuan:

a. Data topografi berupa besaran koordinat harus disajikan dalam


Sistim Koordinat Bandar Udara (ACS), Sistim Koordinat UTM dan
Sistim Koordinat Geografis;
b. Data topografi berupa besaran titik tinggi disajikan dalam
Sistim Titik Tinggi Nasional (Mean Sea Level) dan Sistim Elevasi
Bandar Udara (AES);
c. Peta situasi detail obyek obstacle diwujudkan dalam bentuk peta
situasi detail obstacle skala 1 : 2.500;
d. Penampang memanjang, dibuat dengan skala horizontal 1 : 2.500
dan skala vertikal 1 : 500;
e. Penampang melintang, dibuat dengan skala horizontal 1 : 500
dan skala vertikal 1 : 100;
f. Dalam gambar penampang memanjang dan penampang melintang
dicantumkan besaran ketinggian obyek obstacle yang melebihi
batas yang dipersyaratkan, tinggi muka tanah, tinggi bangunan
dan sebagainya.

DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA,


Pelaksana Tugas,

ttd

BAMBANG TJAHJONO

IV-30
LAMPIRAN V
Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara
Nomor : KP 590 TAHUN 2014
Tanggal : 12 DESEMBER 2014
Tentang
Pedoman Teknis Pembuatan Rencana Induk Bandar Udara

PEDOMAN PELAKSANAAN PEMBUATAN


BATAS KAWASAN KEBISINGAN (BKK)

I. Tenaga ahli, Tenaga Penunjang dan Peralatan

Dalam melaksanakan pekerjaan pembuatan Batas Kawasan Kebisingan


(BKK) diperlukan tenaga ahli, tenaga penunjang dan peralatan yang
meliputi :

1. Tenaga ahli meliputi tenaga ahli yang menguasai bidang ilmu :


a. Perencanaan Bandar Udara
b. Keselamatan Penerbangan
c. Fisika Teknik.
d. Teknik Sipil
e. Komputer
f. Teknik Geodesi
2. Tenaga Penunjang antara lain :
a. Sekertaris
b. Ass. Ahli Perencanaan Bandar Udara
c. Ass. Ahli Keselamatan Penerbangan
d. Ass. Ahli Teknik Sipil
e. Sekretaris/Operator Komputer
f. CAD Komputer
g. Teknisi Surveyor BKK
h. Tenaga Bantu Lokal BKK
3. Peralatan antara lain :
a. Noise Monitoring System
b. Program Pembuat Noise Contour Model
c. GPS Handheld (GPS Navigasi)
d. Sumber listrik DC (Accu)
e. Komputer.
f. Printer dan Plotter
g. Alat komunikasi radio

II. Inventarisasi Data

Kawasan kebisingan di sekitar bandar udara diukur dan ditentukan


mengacu pada rencana induk Bandar Udara dan/atau ditentukan
berdasarkan kebutuhan fasilitas bandar udara, fasilitas navigasi
penerbangan, prakiraan jenis pesawat udara, frekuensi serta periode
waktu operasi pesawat udara.

Inventarisasi data meliputi :


a. Data eksisting bandar udara
1. Data landas pacu antara lain panjang, lebar, elevasi dan orientasi
landas pacu serta koordinat geografis ujung-ujung landas pacu.
2. Data rata-rata cuaca dalam 1 (satu) tahun terakhir antara lain
temperatur, kecepatan angin, kelembaban dan tekanan udara.

V-1
3. Waktu penerbangan aktual/Daily Operational Report dan frekuensi
penerbangan harian, mingguan dan bulanan.
4. Jenis pesawat udara dan jumlah masing-masing jenis pesawat
yang beroperasi.

b. Prosedur operasi penerbangan


1. Prosedur Kedatangan (Arrival Procedure) antara lain :
1) Holding Pattern
2) Final Approach
3) Pola lain yang sudah ditetapkan.
2. Prosedur Keberangkatan (Departure Procedure) antara lain :
1) One Departure
2) Two Departure
3) Three Departure
4) Four Departure
5) Pola lain yang sudah ditetapkan.

III. Pengukuran, Analisis Data, Penggambaran dan Penentuan Kontur


Kebisingan Bandar Udara

1. Pengukuran kebisingan

Pengukuran kebisingan bandar udara dilakukan untuk mengetahui


kawasan kebisingan pada kondisi eksisting dan untuk menentukan
pola kawasan kebisingan bandar udara sesuai dengan rencana
pengembangan / rencana induk bandar udara.

Kriteria pengukuran kebisingan bandar udara dilakukan pada bandar


udara dengan pergerakan pesawat minimal :
a) pergerakan pesawat setiap hari; dan
b) pergerakan pesawat 42 (empat puluh dua) kali dalam seminggu.

Untuk bandar udara yang tidak memenuhi kriteria untuk dilakukan


pengukuran kebisingan bandar udara sebagaimana di atas, kawasan
kebisingan bandar udara ditentukan dengan analisis data rencana
pergerakan pesawat berdasar rencana induk bandar udara.

Tujuan dilakukannya pengukuran kebisingan pesawat di lapangan


adalah untuk mendapatkan tingkat kebisingan decibel (dB) masing-
masing pesawat pada saat lepas landas dan mendarat selama jam
operasional penerbangan pada titik-titik pengukuran yang berbeda.
Data waktu aktual keberangkatan dan kedatangan pesawat, frekuensi
penerbangan dan penggunaan landas pacu pada saat lepas landas dan
mendarat digunakan sebagai data masukan pada proses
penggambaran kontur kebisingan.

Titik-titik survey pengukuran kebisingan pesawat


ditempatkan/dilaksanakan berdasarkan pada kawasan kebisingan
pesawat di sekitar bandar udara meliputi : take-off noise, approach
noise dan lateral noise.

V-2
Spesifikasi peralatan Noise Monitoring System yang digunakan dalam
pengukuran kebisingan adalah sebagai berikut :
a. Alat ukur dapat dipakai di luar ruangan dan tahan cuaca (weather
proof ) terhadap panas maupun hujan.
b. Peralatan harus dilakukan kalibarasi setiap hari selama
pengukuran, sehingga apabila ditemui permasalahan peralatan
dapat segera dilakukan perbaikan/penggantian alat.
c. Alat ukur dapat menerima suara kebisingan sampai dengan 140
dB dan dapat beroperasi pada suhu -10°C s.d. 50°C.
d. Alat ukur dapat di-setting untuk menyimpan data kebisingan
dengan batasan minimal besaran suara (dB) yang terjadi dalam
tenggang waktu minimal 10 detik (terutama malam hari).
e. Microphone dapat menerima suara dari segala arah (omni).
f. Rentang frekuensi 50Hz – 10KHz
g. Alat ukur dapat menghasilkan Maximum Sound Pressure Level dan
Maximum Sound Exposure Level.

2. Analisis data meliputi :


a. Prakiraan dimensi landas pacu sampai tahap akhir (ultimate)
sesuai dengan rencana induk atau rencana pengembangan bandar
udara.
b. Perhitungan prosentase penggunaan arah landas pacu untuk
pendaratan dan lepas landas pesawat yang dibagi dalam 3 (tiga)
tenggang waktu tertentu siang, sore dan malam hari.
c. Prakiraan jumlah masing-masing jenis pesawat udara yang akan
dilayani sampai tahap akhir (ultimate) sesuai rencana induk atau
rencana pengembangan bandar udara.
d. Prakiraan frekuensi dari masing-masing jenis pesawat yang
melakukan pendaratan maupun lepas landas dan penggunaan
arah landasannya.
e. Prakiraan frekuensi dari masing-masing jenis pesawat yang
melakukan pendaratan maupun lepas landas dan penggunaan
arah landas pacu beserta tenggang waktunya (siang, sore dan
malam hari).
f. Identifikasi prakiraan prosedur operasi penerbangan berdasarkan
prosedur operasi penerbangan yang berlaku saat ini.
g. Jenis pelayanan pesawat udara komersial.

3. Penggambaran Kawasan Kebisingan Bandar Udara meliputi :


a. Penggambaran Kawasan Kebisingan Bandar Udara dimulai dengan
menyiapkan peta topografi/citra satelit kawasan sekitar Bandar
Udara sesuai rencana induk atau rencana pengembangan Bandar
Udara dengan program komputer yang akan digunakan sebagai
titik awal untuk menggabungkan gambar kawasan kebisingan ke
dalam gambar peta topografi/citra satelit kawasan sekitar Bandar
Udara.
b. Memasukkan data yang sudah dianalisis ke dalam program
komputer (Program Pembuat Noise Contour Model)sesuai masukan
data yang harus diisikan. Program komputer akan mengolah data
sesuai masukan yang diterima dan sebagai hasil akhir adalah
gambar kontur kebisingan.
c. Menggabungkan gambar kontur kebisingan hasil proses
penggambaran dengan gambar peta topografi/citra satelit kawasan
di sekitar Bandar Udara untuk mendapatkan Kawasan Kebisingan
di Sekitar Bandar Udara.

V-3
d. Menentukan Kawasan Kebisingan menjadi 3 (tiga) tingkat kawasan
kebisingan.
e. Menentukan Batas Kawasan Kebisingan dengan menentukan titik-
titik ekstrim tiap-tiap tingkat kawasan kebisingan pada gambar
Kawasan Kebisingan di sekitar Bandar Udara.

4. Penentuan Kawasan Kebisingan Bandar Udara meliputi :


Penentuan Kawasan Kebisingan Bandar Udara dan tata guna
tanahnya meliputi :

a. Kawasan Kebisingan Tingkat I


Kawasan Kebisingan Tingkat I mempunyai nilai tingkat
kebisingan lebih besar atau sama dengan 70 WECPNL dan lebih
kecil dari 75 WECPNL (70 < WECPNL < 75).
Tanah dan ruang udara pada kawasan kebisingan tingkat I dapat
dimanfaatkan untuk berbagai jenis kegiatan dan atau bangunan,
kecuali untuk jenis bangunan sekolah dan rumah sakit.
Bangunan sekolah dan rumah sakit yang sudah ada dilengkapi
pemasangan insulasi suara sesuai dengan prosedur yang standar
sedemikian sehingga tingkat bising yang terjadi di dalam bangunan
sesuai peraturan perundang - undangan yang berlaku.

b. Kawasan Kebisingan Tingkat II


Kawasan Kebisingan Tingkat II mempunyai nilai tingkat
kebisingan lebih besar atau sama dengan 75 WECPNL
sampai dengan lebih kecil 80 WECPNL (75 < WECPNL <
80).
Tanah dan ruang udara pada kawasan kebisingan tingkat II
dapat dimanfaatkan untuk berbagai jenis kegiatan dan/atau
bangunan kecuali untuk jenis kegiatan dan/atau bangunan
sekolah, rumah sakit dan rumah tinggal.
Bangunan sekolah, rumah sakit dan rumah tinggal yang sudah
ada dilengkapi pemasangan insulasi suara sesuai dengan prosedur
yang standar sedemikian sehingga tingkat bising yang terjadi di
dalam bangunan sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

c. Kawasan Kebisingan Tingkat III


Kawasan Kebisingan Tingkat III mempunyai nilai tingkat
kebisingan lebih besar atau sama dengan 80 WECPNL (WECPNL >
80).
Tanah dan ruang udara pada kawasan kebisingan tingkat III dapat
dimanfaatkan untuk membangun bangunan atau fasilitas bandar
udara yang dilengkapi pemasangan insulasi suara sesuai dengan
prosedur yang standar sedemikian sehingga tingkat bising yang
terjadi di dalam bangunan sesuai peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Selain penggunaan di atas dapat dimanfaatkan sebagai jalur hijau
atau sarana pengendalian lingkungan dan pertanian yang tidak
mengundang burung.

V-4
Penentuan Batas Kawasan Kebisingan Bandar Udara dinyatakan
dalam titik-titik koordinat yang ditampilkan dalam sistim koordinat
Bandar Udara (ACS) dan sistim koordinat geografis (WGS ‘84).

DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA,


Pelaksana Tugas,

ttd

BAMBANG TJAHJONO

V-5
V-6
Contoh Daftar Koordinat Batas Kawasan Kebisingan

KOORDINAT BATAS KAWASAN KEBISINGAN


BANDAR UDARA ……….

SISTEM KOORDINAT
SISTEM KOORDINAT GEOGRAFIS
BANDAR UDARA
NO.
LINTANG
TITIK X Y BUJUR TIMUR
SELATAN
(meter) (meter) 0 ‘ “ 0 ‘ “
A1
A2
A3
.
.
.
.
.
.
.
dst.
A..
B1
B2
B3
.
.
.
.
.
.
.
dst.
B..
C1
C2
C3
.
.
.
.
.
.
.
.
dst.
C..

V-7
KOORDINAT BATAS KAWASAN KEBISINGAN TINGKAT I
BANDAR UDARA ……….
SISTEM KOORDINAT
SISTEM KOORDINAT GEOGRAFIS
BANDAR UDARA
NO.
LINTANG
TITIK X Y BUJUR TIMUR
SELATAN
(meter) (meter) 0 ‘ “ 0 ‘ “
B1
B2
B3
.
.
.
.
.
dst.
B..
A1
A2
A3
.
.
.
.
.
dst.
A..
KOORDINAT BATAS KAWASAN KEBISINGAN TINGKAT II
BANDAR UDARA ……….
SISTEM KOORDINAT
SISTEM KOORDINAT GEOGRAFIS
BANDAR UDARA
NO.
LINTANG
TITIK X Y BUJUR TIMUR
SELATAN
(meter) (meter) 0 ‘ “ 0 ‘ “
C1
C2
C3
.
.
.
.
.
dst.
C..
B1
B2
B3
.
.
.
.
.
dst.
B..

V-8
KOORDINAT BATAS KAWASAN KEBISINGAN TINGKAT III
BANDAR UDARA ……….
SISTEM KOORDINAT
SISTEM KOORDINAT GEOGRAFIS
BANDAR UDARA
NO.
LINTANG
TITIK X Y BUJUR TIMUR
SELATAN
(meter) (meter) 0 ‘ “ 0 ‘ “
C1
C2
C3
.
.
.
.
.
.
.
.
.
dst.
C..

V-9
Contoh Gambar Batas Kawasan Kebising

Xxxxxxxxxxxxx – xxxxxxxxxxxxx
DI PROVINSI xxxxxxxxx

V-10

Anda mungkin juga menyukai