Anda di halaman 1dari 4

Nama : Nur Alayli

Kelas : XI MIPA 3
No. Absen : 29

Kesedihan yang Tersimpan

Aku duduk tanpa bisa berdiam diri. Aku terus bergerak gelisah berusaha menggapai
benda apa pun yang dapat kugunakan untuk mengipas tubuhku. Keringatku tak henti
bercucuran membuat tubuhku terasa kuyup. Kulihat sekelilingku, ternyata teman-temanku
keadaannya tak beda jauh denganku. Aku berharap ada angin sejuk yang memasuki kelas
kami.
Rasanya ingin sekali aku berlari keluar dari tempat ini. Namun, ada seorang wanita
paruh baya yang tak berhenti mengoceh di depan kelas. Ia adalah guru sejarah di sekolah ini
yang umurnya sudah sekitar 50 tahunan bernama Bu Ria. Berulang kali teman-temanku
mengeluh tentang betapa panasnya keadaan di kelasku tapi tak sekalipun membuatnya
berhenti mengoceh bahkan tak sepatah kata pun dihiraukannya keluhan teman-temanku.
Bel tanda istirahat berbunyi setelah 20 menit yang terasa bagai 20 jam membuat
teman-temanku bersorak keluar dari kelas ini. Saat aku ingin mengejar langkah teman
sebangkuku yang bernama Rini aku tak sengaja melihat ke arah depan kelasku, guru sejarahku
itu terduduk diam di kursi guru dengan tatapan kosong bahkan kericuhan suara teman-
temanku tak membuat ia beranjak dari kelasku. Aku hendak melangkahkan kakiku ke arahnya
dan menghampirinya tapi tak lama terdengar suara teriakan Rini.
“Mira! Cepetan dong perutku sudah tak tahan lagi nih!” panggil Rini yang membuatku
lupa tujuanku menghampiri Bu Ria.
Ketika aku dan Rini sedang makan bakso di kantin, tak lama datanglah Didi dan Tito
(teman kami dari kelas lain) yang duduk di sebarang kami sambil membawa teh es masing-
masing di tangannya. Kedatangan mereka tak membuat aku dan Rini berhenti memakan soto
kami.
“Hei, kenapa lahap begitu? Memangnya tadi pelajaran apa? Matematika kah?” tanya
Tito dengan heran karena melihat aku dan Rini yang makan dengan lahap.
“Bukan, tadi habis pelajaran sejarah, aku sama sekali tak mengerti apa yang dikatakan
Bu Ria. Ia mengoceh tanpa henti,” jawabku sambil mengunyah baksoku.
“Bener tuh, dia bahkan tak perduli dengan keluhan anak-anak tentang betapa
panasnya kelas kami dan tak jelasnya ia berbicara,” ujar Rini membenarkan perkataanku.
Didi dan Tito yang yang mendengar hal itu hanya mengangguk sambil kembali
meminum teh esnya. Namun, tiba tiba Didi berseru seolah mengingat sesuatu.
“Oh Bu Ria guru sejarah yang pakai kacamata bulat itu? Dia sudah masuk?” tanya Didi
kaget.
“Iya, memang ada berapa Bu Ria guru sejarah di sekolah ini. Kenapa sih kok kaget?”
tanyaku kebingungan melihat reaksi Didi.
“Bukannya kemarin baru saja suaminya dikuburkan ya, kalian tidak tahu apa kalo
suaminya dan anaknya kecelakaan dua hari lalu. Sayangnya suaminya meninggal dan anaknya
masih di rawat di rumah sakit,” cerocos Didi membuatku dan Rini kaget.
“Yang benar saja kamu Di! Jangan asal bicara, kamu tau dari mana? Aku sama sekali
tak mendengar berita itu!” seru Rini tak percaya dengan apa yang diucapkan Didi.
“Tentu saja aku tau, rumahku dan Bu Ria itu hanya beda gang saja. Dan lagi gang kami
berdekatan. Baru saja kemarin ayah dan ibuku melayat ke rumahnya.” Jawab Didi
meyakinkan.
“Huh! Pasti Bu Ria sedih, pantas saja aku tadi melihat dia termenung saja di kursi guru
padahal bel sudah berbunyi,” tambahku iba mengingat dia termenung di kelas tadi. Aku jadi
merasa bersalah ikut menggerutu saat dia mengajar tadi.
“Iya kasihan, mana baru bulan lalu kan rumah orang tuanya Bu Ria kebakaran, tapi
kenapa ya beritanya itu tidak semuanya yang tau, Padahal guru-guru lain yang mendapat
musibah pasti murid-murid langsung segera tahu,” ucap Tito kebingungan.
“Wajar saja sih, Bu Ria itu orangnya pendiam dan tertutup sekali. Bahkan aku rasa tak
semua guru mengetahui musibah itu,” jawab Didi.
“Hei! Bagaimana jika kita memberitahu pada yang lain masalah ini agar kita dapat
menggalang bantuan untuk membantu Bu Ria seperti pada guru atau murid lain yang juga
mendapat musibah?” ideku mengingat kadang ada teman temanku yang menggalang dana
kalau ada temanku atau guruku yang lain sedang mendapat musibah.
“Boleh aja sih, aku jadi kasihan dengan Bu Ria, sebenarnya kan dia baik. Hanya saja dia
memang suka tidak fokus kalau murid-murid sedang berbicara selain itu dia juga sering sekali
memberi ulangan mendadak,” ucap Rini.
Tiba -tiba aku melihat Mang Ujang berkeliling membersihkan meja di sekitar
membuatku sadar bahwa jam istirahat sudah lewat. Karena keasyikan mengobrol aku dan Rini
jadi lupa waktu. Kami serentak melihat jam dan panik karena jam masuk ternyata sudah
lewat dari 18 menit lalu. Didi dan Tito terlihat santai saja duduk di seberang kami. Setelah
ditanyai Rini pantas saja mereka santai, mereka sedang pelajaran kosong dan tugas mereka
sudah selesai.
“Rini ayo cepat!” seruku sambil berlari pada Rini yang ada di belakangku. Aku berharap
dalam hati bahwa guru Bahasa Inggris yang mengajar di kelasku tidak masuk.
Namun, saat kulihat pintu kelasku sudah tertutup dan terasa senyap, aku dapat
mendengar suara guru bahasa inggrisku yang sedang mengajar. Aku dan Rini perlahan
mengetuk pintu kelas dan masuk. Sunggu aku hanya bisa menunduk karena malu, ini kali
pertama aku terlambat memasuki kelas. Kulirik kananku Rini pun melakukan hal yang sama
denganku.
“Maaf pak, kami terlambat” cicitku saat melihat guru Bahasa inggrisku melotot ke
arahku dan Rini.
“Kenapa kalian terlambat? Sampai 18 menit pula!” seru Pak Andi, guru bahasa
inggrisku.
“Kami lupa pak dan tidak sadar, maafkan kami” balas Rini dengan pelan. Aku yakin Rini
sangat gugup menjawab pertanyaan Pak Andi karena ia terkenal dengan kedisiplinannya
“Bagaimana bisa terlambat? Bukannya bel sudah di buat berbunyi ke seluruh penjuru
sekolah?” tanya guruku itu semakin melotot pada kami membuat aku dan Rini semakin
menundukkan kepala.
“Lain kali jangan diulangi lagi! Sekarang hukumannya kalian harus membersihkan
halaman belakang sekolah!” perintah Pak Andi sambil mendengus kesal.
“Baik pak,” balasku dan Rini serentak.
Kami langsung berbalik dan segera menuju halaman belakang sekolah. Aku dan Rini
segera membersihkan halaman belakang sekolah. Sungguh aku tidak ingin terlambat lagi,
kejadian tadi membuatku gugup dan takut sekaligus, tapi aku sadar wajar bahwa dia marah.
Aku dan Rini sudah melewati waktu 18 menit, itu sangat lama.
Setelah bel pergantian pelajaran berbunyi bersamaan dengan aku dan Rini yang sudah
menyelesaikan hukuman kami, kami kembali ke kelas. Saat aku dan Rini duduk, tiba-tiba Fani
memanggil kami.
“Hei Rini, Nita! Kalian kenapa bisa terlambat? Bukannya biasanya kalian kembali dari
kantin lebih awal?” tanya Fani dengan heran dan disetujui teman kelas kami yang lain.
“Ini gara-gara aku dan Nita keasyikan bicara dengan Didi dan Tito,” jawab Rini
membuatku juga mengangguk membenarkan.
“Memangnya apa yang kalian bicarakan sampai lupa waktu begitu?” tanya Dino heran.
“Kami sedang membicarakan Bu Ria. Ternyata Bu Ria sedang mendapat musibah. Aku
jadi kasihan dan menyesal telah menggerutu tadi saat dia mengajar,” jawab Rini merasa
menyesal.
“Yang benar saja? Musibah apa? Aku tak mendengar berita apa pun tentang Bu Ria
kok,” tanya Sinta beruntun karena merasa kaget.
Wajar saja dia kaget, Sinta itu sumber berita di sekolah kami. Semua berita yang ada
disekolah kami pasti dia tahu. Kami sekelas juga mengetahui berita yang ada dari dia. Dia
cepat sekali mengetahui berita apa pun itu.
“Kata Didi suaminya dan anaknya kecelakaan membuat suaminya meninggal. Baru
kemarin suaminya dikuburkan sedangkan anaknya masih di rumah sakit,” ujar Rini
menjelaskan keadaan Bu Ria.
“Innalilahi! Kasihan sekali Bu Ria, pantas saja ia sering terlihat melaun,” ujar Dino yang
merasa kaget mendengar berita tersebut.
“Benar, kasihan kan. Bagaimana jika kita bersama menggalang bantuan untuk Bu Ria?”
tanyaku merasa kasihan dengan Bu Ria.
“Aku setuju, selain itu bagaimana jika kita juga pergi menjenguk anaknya yang sakit?”
tambah Rini.
Dino dan teman-temanku yang lain mengangguk setuju dengan ideku dan Rini.
Akhirnya teman-temanku menggalang bantuan untuk Bu Ria. Selain itu, saat pulang sekolah
kami juga pergi ke rumah sakit menjenguk anaknya Bu Ria.
“Terima kasih ya anak-anak atas segala bantuannya” ucap Bu Ria saat kami datang
menjenguk anaknya di rumah sakit.
“Iya Bu, maafkan kami ya Bu yang suka mengeluh saat ibu mengajari kami,” balas Dino
membuat kami mengangguk setuju.
“Tidak apa-apa maafkan ibu juga, kadang ibu tidak fokus dalam mengajar kalian” ucap
Bu Ria dengan senyum simpulnya.
“Tak masalah Bu kami mengerti” jawab Fani.
Setelah hari itu, Bu Ria menjadi lebih banyak tersenyum dan tidak terlihat suka
melamun lagi. Bu Ria juga kembali mengajar kami dengan baik bahkan ia jadi lebih sering
berinteraksi dengan murid-murid. Teman-teman di kelasku pun lebih memperhatikan saat Bu
Ria menjelaskan dan tidak mengeluh lagi. Kami sadar bahwa setiap guru sudah berjasa
memberikan murid-muridnya ilmu dan berusaha mengajar dengan baik walaupun mereka
memiliki masalah.

Anda mungkin juga menyukai