Anda di halaman 1dari 14

HERMENEUTIKA DALAM PENGKAJIAN SEJARAH

MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Filsafat Sejarah
Yang dibina oleh Ibu Indah Wahyu Puji Utami, S.Pd, M.Pd.

Oleh:
Andrik Wijaya (160731614887)
Layli Nur Khamisa (160731614931)
S. Sholikhatul Khiftiyah (160731614880)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS ILMU SOSIAL
PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN SEJARAH
FEBRUARI 2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketika sebuah teks dibaca seseorang, disadari atau tidak akan memunculkan
interpretasi terhadap teks tersebut. Membicarakan teks tidak pernah terlepas dari
unsur bahasa, Heidegger menyebutkan bahasa adalah dimensi kehidupan yang
bergerak memungkinkan terciptanya dunia sejak awal, bahasa mempunyai
eksistensi sendiri yang di dalamnya manusia tutur berpartisipasi (Eagleton &
Terry, 2006). Permasalahan sosial, politik, sastra, dan sebagainya tidak pernah
lepas dari unsur bahasa sebagai medianya, sebab bahasa merupakan sarana
seseorang mengungkapkan ide, berpikir, menulis, berbicara, mengapresiasi karya.
Peristiwa pemahaman terjadi ketika cakrawala makna historis dan asumsi kita
berpadu dengan cakrawala tempat karya itu berada. Hermeneutika melihat sejarah
sebagai dialog hidup antara masa lalu, masa kini dan masa depan. Kehadiran
hermeneutik tidak terlepas dari pertumbuhan dan kemajuan pemikiran tentang
bahasa dalam wacana filsafat dan keilmuan lainnya.
Metode hermeneutik mencoba menyesuaikan setiap elemen dalam setiap
teks menjadi satu keseluruhan yang lengkap dalam sebuah proses yang biasa
dikenal sebagai lingkara hermeneutik. Ciri-ciri individual dapat dimengerti
melalui ciri-ciri individual. Kunci pemahaman adalah partisipasi dan keterbukaan
bukan manipulasi dan pengendalian. Sebagai sebuah metode penafsiran
hermeneutika tidak hanya memandang teks, tetapi juga berusaha menyelami
kandungan makna literalnya. Hermeneutika berusaha menggali makna dengan
mempertimbangkan horison-horison (cakrawala) yang melingkupi teks tersebut.
Horison yang dimaksud diantaranya teks, pengarang dan pembaca dengan harapan
supaya suatu upaya pemahaman atau penafsiran menjadi kegiatan rekonstruksi
dan reproduksi makna teks yang selain melacak bagaimana suatu teks
dimunculkan oleh pengarang ke dalam teks juga berusaha melahirkan kembali
makna sesuai dengan situasi dan kondisi saat teksi dibaca atau dipahami.
Dalam terminologi, hermeneutika banyak didefinisikan oleh para ahli. Para
ahli memiliki definisinya masing-masing, khususnya dalam pengkajian sejarah.
Terdapat banyak tokoh hermeneutika dalam berbagai sains kemanusiaan. Akan
tetapi dalam makalah ini hanya akan disebutkan beberapa tokoh yang berkaitan
dengan metodologi sejarah.
B. Rumusan Masalah
Dari penjabaran diatas dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah seperti
berikut ini:
1. Bagaimana latar belakang hermeneutika dalam pengkajian sejarah ?
2. Bagaimana perbandingan hermeneutika Dilthey, Gadamer dan Collingwood
dalam pengkajian sejarah?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari makalah ini adalah:
1. Memahami latar belakang hermeneutika dalam pengkajian sejarah.
2. Mengetahui perbandingan hermeneutika Dilthey, Gadamer, dan Collingwood
dalam pengkajian sejarah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Hermeneutika dalam Pengkajian Sejarah
Secara etimologis, kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani,
hermeneunein, yang berarti menafsirkan. Dalam mitologi Yunani kata ini sering
dikaitkan dengan tokoh bernama Hermes, seorang utusan yang mempunyai tugas
menyampaikan pesan Jupiter pada manusia. Tugas menyampaikan pesan berarti
juga mengalihbahasakan ucapan para dewa ke dalam bahasa yang dapat
dimengerti manusia. Pengalihbahasaan sesungguhnya identik dengan penafsiran.
Dari situ kemudian pengertian kata hermeneutika memiliki kaitan dengan sebuah
penafsiran atau interpretasi (Saidi, 2008). Terdapat banyak sekali tokoh dalam
hermeneutika diantaranya adalah F.D.E Schleiermarcher, Wilhem Dilthey, Hans-
Georg Gadamer dan yang lainnya.
Dalam bukunya, (Ricoeur, 1981), Ricoeur mendefinsikan hermeneutika
sebagai berikut, hermeneutics is the theory of the operations of understanding in
ther relation to the interpretation of text”. Berdasarkan pengertian ini Ricoeur
kemudian mengatakan, “So, the key idea will be the realisation of the discourse
as a text; and elaboration of the catagories of the text will be the concern of the
subsequent study”. Discourse (wacana) sendiri, dilihat Ricoeur sebagai sesuatu
yang lahir daro tuturan individu. Dalam hal ini Ricoeur menyinggung teori
linguistik Ferdinand de Saussure yang diperbandingkan dengan konsep Hjemslev.
Saussure, dalam Course n Linguistik General (Saussure & Ferdinand de, 1974)
membedakan bahasa dalam dikotomi tuturan individu (parole) dengan sistem
bahasa (langue). Sedangkan Hjemslev mengkategorikannya dalam skema dan
penggunaan. Dari dualitas inilah menurut Ricoeur teori tentang wacana (discoure)
lahir. Dalam perspektif Ricoeur, parole atau ujaran individu identik dengan
wacana (discurse). Menurut Ricoeur wacana berbeda dengan bahasa sebagai
sistem (langue). Wacana lahir karena adanya pertukaran makna dalam peristiwa
tutur. Karakter peristiwa sendiri menunjuk pada orang yang sedang berbicara.
Selanjutnya dijelaskan bahwa terdapat empat unsur pembentuk wacana,
yakni terdapat subjek yang menyatakan, isi atau proposisi yang merupakan dunia
yang digambarkan, alamat yang dituju, dan terdapatnya konteks (ruang dan
waktu. Dalam wacana terjadi lalu lintas makna yang sangat kompleks. Tindakan
pengujaran dan penerimaan gambaran dunia selalu ada dalam temporalitas.
Dengan fakta demikian. Tidak ada kebernaran mutlak dalam soal penafsiran atas
wacana. Pemaknaan atau penafsiran yang bersifat temporal (bersifat sementara
karena adanya konteks) selalu doantarai oleh sederet penanda dan tentu saja oleh
teks. Dengan demikian tugas hermenutika tidak mencari kesamaan antara maksud
penyampaian pesan dan penafsir. Tugas hermeneutika adalah menafsirkan makna
dan pesan seobjektif mungkin sesuai dengan yang diinginkan teks. Teks itu
sendiri tentu saja tidak terbatas pada fakta otonom yang tertulis atau terlukis
(visual), tetapi selalu berkaitan dengan konteks (Ricoeur, 1981).
Di dalam konteks terdapat berbagai aspek yang bisa mendukung keutuhan
pemaknaan. Aspek yang dimaksud menyangkut juga biografi kreator (seniman)
dan berbagai hal yang berkaitan dengannya. Hal yang harus diperhatikan adalah
seleksi atas hal-hal di luar teks harus selalu berada dalam petunjuk teks. Ini berarti
bahwa analisis harus selalu bergerak dari teks bukan sebaliknya. Hal yang
terpenting dari semua itu adalah bahwa proses penafsiran selalu merupakan dialog
antara teks dan penafsir. Timbul pertanyaan yaitu tentang cara menghindari cara
mencapai objektivitas dan menghindari subjektivitas? Ricoeur menawarkan empat
kategori netodologis sebagai jawabannya, yakni objektivitas melalui struktur,
distansiasi melalui tulisan, dintansiasi melalui dunia teks, dan apropriasi
(pemahaman diri). Dua yang pertama merupakan kutub objektif. Hal ini pentong
sebagai prasyarat agar teks bisa mengatakan sesuatu. Objetktivitas melalui
struktur adalah usaha untuk menunjukkan relasi-relasi intern dalam struktur atau
teks. Di sini tampak bahwa hermeneutika berkaitan erat dengan analisis struktural
adalah sarana logis untuk menguraikan teks (objek yang ditafsirkan)
(Haryatmoko, 2002).
Namun begitu analisis hermeneutik kemudian melampaui kajian struktural
demikian. Bergerak lebih jauh dari kajian struktur analisis hermeneutika
meibatkan berbagai disiplin yang relevan sehingga memungkinkan tafsir menjadi
lebih luas dan dalam. Bagaimanapun berbagai elem struktur yang bersifat
simbolik tidak bisa dibongkar dengan hanya melihat relasi antarelemen tersebut.
Oleh sebab itu, penafsiran dalam perspektif hermeneutika juga mencakup semua
ilmu yang dimungkinkan ikut membentuknya: psikologi, sosiologi, politik,
antropologi, sejarah dan lain-lain. Ini yang dimaksud dengan distansi atas dunia
teks (objek) dan apropriasi atau pemahaman diri. Dengan perkataan lain, jika teks
(objek) dipahami melalui analisis relais antar unsurnya (struktural), bidang-bidang
lain yang belum tersentuh bisa dipahami melalui bidang-bidang ilmu dan metode
yang relevan dan memungkinkan.
Dari penjabaran singkat tersebut tentang hermeneutika telah dijelaskan
bagaimana konsep dan cara kerja hermeneutika, selanjutnya akan dijelaskan
tentang latar belakang hermeneutika dalam pengkajian sejarah karena sebelum
membahas tentang hermeneutika dalam pengkajian sejarah hendaknya kita harus
mengetahui terlebih dahulu secara singkat konsep dan cara kerja hermeneutika.
Lebih lanjut Ricoeur menjelaskan bagaimana realitas sosial atau teks bisa
dikatakan sejarah mempunyai karakter yang sama dengan teks. Hal ini disebabkan
oleh hakikat sejarah (historiografi). Di satu pihak merupakan sejenis kisah dan di
lain pihak sejarah adalah aksi manusia di masa lampau (Mahdi, 2007).
Mengenai homolog teks-aksi-sejarah dapat dijelaskan melalui empat
karakter: pertama, fixation of action yaitu realitas sosial baru dapat dijadikan
objek kajian sejauh ia terbakukan dalam mekanisme maupun struktur seperti
terbabukan dikurse dalam tulisan. Sedangkan pemahaman aksi atau sejarah yang
belum terbakukan adalah peristiwa-peristiwa yang datang dan pergi yang disebut
pengetahuan tentang bagaimana bukan pengetahuan tentang apa. Kedua, the
outomatization of action, aksi lepas dari maksud pelakunya dan mengembangkan
konsekuensi sendiri sebagaimana teks memutuskan diri dari maksud pengaragnya.
Artinya aksi manusia ditransformasikan dalam suatu gejala manusia yang
diinstitusinalisasikan dan menjadi proses sejarah, sehingga makna aksi tidak
identik dengan maksud di pelaku. Ketiga, sebuah teks tidak harus dipahami
berdasarkan konteks awalnya, demikian juga nilai penting dari aksi tidak lagi
terkait dengan nilai pengarangnya, artinya suatu tindakan bisa bermakna lain bila
dihubungkan dengan konteks yang berbeda. Keempat, sebuah teks bertujuan
untuk mengatasi situasi dialog, artinya sebuah teks tidak lagi terikat pada audien
awal dalam proses dialogis bahasa lisan. Begitu juga dengan aksi tidak bisa hanya
dinilai oleh orang yang menjadi saksi mata tetapi terbuka bagi semua prang yang
baru datang dari ruangan dan waktu yang berbeda. Dengan kata lain tindakan atau
realitas sosial bukan terbuka bagi orang-orang sezamannya, melainkan untuk
sejarah itu sendiri.
Supriyono ( 2004) memberikan contoh tentang tulisan Pramoedya Ananta
Toer, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Pramoedya mengisahkan begitu saja apa
adanya tentang pengalaman para tahanan sehari-hari du pulau terpencil. Pulau
Buru. Pengalaman bagaimana harus survive dibawah tekanan militer, pengalaman
santiaji (indoktrinasi) Pancasila. Pengalaman penyiksaan fisik yang membuat
pandangan mata kabur dan pendengarannya berkurang, pengalaman teman-
temannya diperbudak sebagai penebang hutan untuk memperbesar kekayaan
komandannya, pengalaman tentang usaha ternak ayam, tentang perjuangan keras
membuka jalan, tentang pemberontakan dari para tahanan, tentang kematian
teman-temannya yang sebagian misterius dan lain lain diceritakannya lebih berupa
fakta. Akan tetapi pemaknaan yang sesungguhnya atas realitas itu berlangsung
yakni betapa kemanusiaan ditundukkan sedemikian dahsyatnya sampai-sampai
manusia tahanan politik kehilangan kemanusiaannya.
B. Konsep Hermeneutika dalam Pengkajian Sejarah Menurut Ahli

1. Wilhelm Dilthey (1833-1911)


Wilhelm Dilthey adalah tokoh hermeneutika metodis yang berpendapat
bahwa proses pemahaman bermula dari pengalaman, kemudian
mengekspresikannya. Pengalaman hidup manusia merupakan sebuah neksus
struktural yang mempertahankan masa lalu sebagai sebuah kehadiran masa kini.
Dilthey membagi ilmu menjadi dua, yaitu ilmu tentang dunia luar atau
Naturwissenschaften (ilmu-ilmu alam) dan ilmu tentang dunia dalam atau
Geisteswissenschaften (ilmu-ilmu kemanusiaan). Dilthey berpandangan bahwa
manusia hanya bisa dipahami melalui konsep tentang hidup, tidak dari konsep-
konsep abstrak Naturwissenschaften dan manusia adalah makhluk yang
menyejarah, karenanya hanya dapat diterangkan melalui sejarahnya
(Kuntowijoyo, 2008:2-3).
Doktrin utamanya ialah Verstehen (understanding, pemahaman, pengertian)
yang merupakan kunci keyakinannya mengenai hakikat pertimbangan sejarah.
Semua ekspresi yang bersifat fisik (physical expressions) adalah ekspresi dari
peristiwa-peristiwa mental (mental events) atau keadaan-keadaan (states). Tugas
dari verstehen (yang merupakan suatu kemampuan atau suatu proses) ialah
menghubungkan setiap ekspresi yang ada dengan peristiwa mental atau keadaan.
Menurutnya ada dua macam verstehen (pemahaman): pemahaman dasar
(elementary understanding) dan pemahaman lebih tinggi (higher forms of
understanding). Yang pertama, berupa ekspresi-ekspresi individual, sedangkan
yang kedua berfungsi menyusun berbagai ekspresi yang disediakan oleh
pemahaman elementer sehingga menjadi suatu struktur yang saling berkaitan
(koherens) (Sjamsuddin, 2016:138).
Wilhelm Dilthey sangat dikenal di bidang hermeneutika dengan riset
historisnya, khususnya historikalitas hidup, juga melihat sejarah sebagai sarana
menangkap manusia sebagai makhluk berpikir, merasa, berkehendak, dan
mencipta, yang hidup dalam arus sejarah kehidupan (Priyanto, 2001:145). Dilthey
mengatakan bahwa sejarah berhubungan dengan pikiran-pikiran manusia artinya
sama pula dengan mengatakan bahwa sejarah berhubungan dengan pengalaman-
pengalaman manusia. Proses pengertian alam pikiran orang lain adalah bagian
dari pada pengertian alam pikiran kita sebagai suatu proses penafsiran
(hermeneutik), bukan suatu proses menarik kesimpulan (Walsh dalam Weismann,
2004:33).
Inti dari hermeneutika Dilthey mencakup konsep segitiga yaitu, Erlebnis
(pengalaman yang hidup), Ausdruck (ungkapan), dan Verstehen (pemahaman).
Erlebnis (pengalaman yang hidup) melibatkan penghayatan dan perenungan atas
hidup yang dialami manusia dalam periode sejarah tertentu di tengah kehidupan
masyarakat tertentu, dengan kebudayaan tertentu merupakan proses kejiwaan.
Ausdruck (ungkapan) dapat pula diterjemahkan dengan “ekspresi”. Sebuah
ekspresi bukanlah merupakan pembentukan perasaan seseorang namun lebih
sebuah “ekspresi hidup” segala sesuatu yang merefleksikan produk kehidupan
dalam manusia (Palmer, 2005:125-126).
Kejelasan pemahaman proses menghidupkan kembali (reliving) dan
menghasilkan kembali (reproducting) peristiwa-peristiwa masa lalu, atau sesuatu
yang berada di luar pengalaman langsung kita sendiri, bergantung kepada
kemampuan pribadi seseorang. Tetapi karena pemahaman bergantung kepada
pengetahuan sejarah, kemampuan perorangan ini menjadi sebuah teknik yang
meningkat menurut perkembangan kesadaran sejarahnya, perkembangan ini
bergantung kepada kenyataan bahwa ekspresi kehidupan yang tetap (fixed life-
expressions) terletak sebelum pemahaman dan ekspresi-kehidupan yang tetap ini
selalu dapat diperiksa ulang (re-examined). Pemahaman yang sistematis mengenai
ekspresi kehidupan yang pasti ini dinamakan Eksegesis (Exegesis) yaitu suatu
bentuk eksplanasi atau interpretasi yang kritis (Sjamsuddin, 2016:139).
Ada hubungan internal antara kritik (sumber) dengan eksegesis dari catatan-
catatan tertulis semacam itu. Kritik dikembangkan untuk membantu memecahkan
permasalahan eksegesis dengan menegakkan bacaan-bacaan yang benar (untuk
menemukan fakta-fakta), termasuk mempertanyakan dokumen-dokumen resmi,
tingkah laku (behaviour) serta tradisi-tradisi rakyat. Eksegesis dan kritik
berkembang terus menerus dalam perjalanan sejarahnya guna menemukan teknik-
teknik baru untuk memecahkan masalah-masalah kesejarahan yang dihadapinya,
seperti halnya juga ilmu-ilmu alam terus menerus menyempurnakan teknik-teknik
eksperimen mereka (Sjamsuddin, 2016:139).
2. Hans-Georg Gadamer (1900-2002)
Ahli filsafat sejarah Jerman. Baginya sains kemanusiaan (termasuk sejarah)
mempunyai cara-cara atau metode tersendiri yang otonom untuk mengetahui.
Sebagian dari cara mengetahui itu termasuk memiliki suatu kesadara sejarah yaitu
suatu “kesadaran penuh akan historisitas setiap hal yang ada sekarang (present)
dan relativitas dari semua opini”. Kesadaran sejarah tertarik untuk mengetahui,
tidak bagaimana orang-orang (men), manusia-manusia (people) atau negara-
negara berkembang pada umumnya melainkan sebaliknya, bagaimana orang ini,
manusia ini, atau negara ini menjadi seperti yang ada sekarang (Sjamsuddin,
2016:139-140).
Menurut Gadamer, pengetahuan bahkan seluruh hidup kita secara intrinsik
dipengaruhi oleh kesejarahan yang kita hidupi di masa lampau. Oleh karena itu,
tidak perlu diragulkan bahwa masa lampau sangat berpengaruh pada diri kita
dalam menentukan apa yang kita inginkan, harapkan, atau takuti di masa depan.
Gadamer menganggap tradisi pemaknaan sebagai titik pijak keberadaan manusia.
Masa lampau bukanlah sekedar tumpukan fakta yang dapat dipandang sebagai
obyek kesadaran, melainkan lebih sebagai suatu aliran dinamis di mana kita
bergerak dan berpartisipasi di dalam setiap usaha memahami (Darmaji, 2013:470-
472).
Gadamer adalah tokoh hermeneutika dialogis, baginya pemahaman yang
benar adalah pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis, bukan
metodologis. Artinya, kebenaran dapat dicapai bukan melalui metode, tetapi
melalui dialektika dengan mengajukan banyak pertanyaan. Dengan demikian,
bahasa menjadi medium sangat penting bagi terjadinya dialog (Lutfi, 2007:204).
Mengenai pemahaman (understanding) menurut Gadamer mempunyai
struktur yang disebutnya lingkaran hermeneutik (hermeneutical circle) yaitu
hubungan sirkular antara keseluruhan (whole) dan bagian-bagiannya (parts).
Dalam membuat suatu interpretasi terhadap teks, pokok utamanya adalah
keseluruhan yang dibentuk oleh subjektivitas dari penulis teks. Keseluruhan itu
hanya dapat dipahami oleh seseorang yang termasuk dalam tradisi yang sama oleh
penulis. Maka ia pun sanggup menjadi perantara (mediasi) antara teks dan segala
implikasinya. Dengan demikian terbentuklah suatu lingkaran antara teks dengan
penafsir yang memahami teks tersebut. Kesatuan makna antara teks dan penafsir
ini diharapkan akan memunculkan suatu kebenaran (Sjamsuddin, 2016:140).
Kemungkinan penafsir dapat memahami hal-hal yang ada dalam teks
bergantung kepada kedekatan hubungannya dengan hal-hal tersebut melalui
tradisi yang dipunyainya bersama (shared tradition), kandungan teksnya yang
merupakan teka-teki, serta keasingannya sehingga memerlukan suatu interpretasi.
Oleh sebab itu, hermeneutika mengklaim sebagai perantara antara suatu teks asing
yang harus “dipanggil” untuk pembaca dan dengan tujuan suatu pemahaman
keterkaitannya yang sempurna (Sjamsuddin, 2016:140).
3. R. G. Collingwood (1889-1943)
Collingwood merupakan ahli filsafat sejarah Inggris. Ia menyanggah sikap
skeptisisme dari para ahli ilmu alam. Menurut kaum skeptic, mustahil untuk dapat
mengandalkan pengetahuan mengenai masa lalu karena kita tidak dapat lagi
mengalami masa lalu itu. Menurut Collingwood, masa lalu dapat dihadirkan atau
diulang kembali dalam batin kita, sehingga pandangan bahwa pengetahuan
mengenai masa lalu itu bukanlah hal yang mustahil. Apa yang ada dalam pikiran
tokoh sejarah dapat diulang kembali (re-enact). Oleh karena itu teorinya dikenal
pula dengan sebutan re-enactment. Oleh sebab itu sejarah merupakan re-
enactment dari pengalaman masa lalu. Maka tugas sejarawan adalah re-enact masa
lalu dalam pikirannya (Sjamsuddin, 2016:141).
Dalam arti tugas sejarawan ialah “memikirkan kembali” dan “memerankan
kembali” di dalam pikirannya pertimbangan-pertimbangan dari pelaku-pelaku
sejarah dan dengan begitu peristiwa yang harus disorotinya dibuat menjadi bias
dipahami dengan cara yang tak ada hubungannya dengan ilmu alam (Tamburaka,
1999:161).
Sjamsuddin (2016:141-142) menyatakan bahwa perbedaan pokok antara
sejarawan dengan peneliti ilmu alam, menurut Collingwood, terletak pada:
a. Sejarawan mengkaji kelakuan lahiriah maupun batiniah atau pikiran
(mind, thought) dari objek yang ditelitinya (manusia masa kini dan masa
lalu).
b. Dalam menghayati kembali atau membangkitkan kembali (re-enact) situasi
yang berhubungan dengan seorang tokoh sejarah, misalnya, berarti
sejarawan meneliti batin atau pikiran dari tokoh itu. Oleh sebab itu
menurut Collingwood semua sejarah adalah sejarah alam pikiran.
c. Dalam re-enactment sejarawan tidak pasif menyerah begitu saja lalu lebur
dan luluh dalam pikiran para pelaku sejarah yang dikajinya. Kegiatan itu
dilakukan sejarawan secara aktif dengan berpikir kritis. Tidak saja
menghidupkan kembali pikiran masa lalu, tetapi dalam melakukan itu
dikaitkan dengan pengetahuannya sendiri. Oleh sebab itu dalam
melakukan re-enacting, ia juga melakukan kritik sambil membuat
pertimbangan sendiri mengenai nilai-nilai, serta mengoreksi kesalahan-
kesalahan yang kebetulan dapat ditemukannya.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Realitas sosial atau teks bisa dikatakan sejarah mempunyai karakter yang
sama dengan teks. Hal ini disebabkan oleh hakikat sejarah (historiografi). Di satu
pihak merupakan sejenis kisah dan di lain pihak sejarah adalah aksi manusia di
masa lampau (Mahdi, 2007). Homolog teks-aksi-sejarah dapat dijelaskan melalui
empat karakter: pertama, fixation of action yaitu realitas sosial baru dapat
dijadikan objek kajian sejauh ia terbakukan dalam mekanisme maupun struktur
seperti terbabukan dikurse dalam tulisan. Kedua, the outomatization of action,
aksi lepas dari maksud pelakunya dan mengembangkan konsekuensi sendiri
sebagaimana teks memutuskan diri dari maksud pengaragnya. Ketiga, sebuah teks
tidak harus dipahami berdasarkan konteks awalnya, demikian juga nilai penting
dari aksi tidak lagi terkait dengan nilai pengarangnya. Keempat, sebuah teks
bertujuan untuk mengatasi situasi dialog.
Wilhelm Dilthey adalah tokoh hermeneutika metodis yang berpendapat
bahwa proses pemahaman bermula dari pengalaman, kemudian
mengekspresikannya. Pengalaman hidup manusia merupakan sebuah neksus
struktural yang mempertahankan masa lalu sebagai sebuah kehadiran masa kini.
Menurut Gadamer, pengetahuan bahkan seluruh hidup kita secara intrinsik
dipengaruhi oleh kesejarahan yang kita hidupi di masa lampau. Oleh karena itu,
tidak perlu diragulkan bahwa masa lampau sangat berpengaruh pada diri kita
dalam menentukan apa yang kita inginkan, harapkan, atau takuti di masa depan.
Menurut Collingwood, masa lalu dapat dihadirkan atau diulang kembali dalam
batin kita, sehingga pandangan bahwa pengetahuan mengenai masa lalu itu
bukanlah hal yang mustahil. Apa yang ada dalam pikiran tokoh sejarah dapat
diulang kembali (re-enact).
DAFTAR RUJUKAN

Darmaji, A. 2013. Dasar-Dasar Ontologis Pemahaman Hermeneutik Hans-Georg


Gadamer. Jurnal Refleksi, 13(4), 469–494. Dari http://journal.uinjkt.ac.id.
Eagleton, & Terry. 2006. Teori Sastra: Sebuah Pengantar Komprehensif.
Harfiah. Yogyakarta: Jalasutra.
Haryatmoko. 2002. The Interpretation Theory, Filsafat Wacana Membelah
Makna dalam Anatomi Bahasa (terjemahan Musnur Hery). Yogyakarta:
IRCiSOD.
Kuntowijoyo. 2008. Penjelasan Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Lutfi, M. 2007. Hermeneutika: Pemahaman Konseptual dan Metodologis. Jurnal
Nasional Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, 20(4), 203–207 . Dari
http://journal.unair.ac.id.
Mahdi, L. I. 2007. Hermeneutika-Fenomenologi Paul Ricoeur; Dari Pembacaan
Simbol Hingga Pembacaan Teks-Aksi-Sejarah. Jurnal Kajian Islam
Interdisipliner Vol 6 Nomor 1, 37.
Palmer, R. E. 2005. Hermeneutics Interpretation Theory in Schleirmacher.
Terjemahan Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Priyanto, S. 2001. Wilhelm Dilthey: Peletak Dasar Ilmu-Ilmu Humaniora.
Semarang: Bendera.
Ricoeur, P. 1981. Hermeneutics and The Human Sciebs, Essays on language,
action and Interpretation. Cambridge: Cambridge University Press.
Saidi, A. I. 2008. Hermeneutika Sebuah Cara Untuk Memahami Teks. Bandung:
ITB.
Saussure, & Ferdinand de. 1974. Course in Lingustik General. London:
Fontana/Colins.
Sjamsuddin, H. 2016. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.
Supriyono. 2004. Mencari Identitas Kultur Keindonesiaan dalam Hermeneutika
Pascakoloal: Soal Identitas. Yogyakarta: Yayasan Kanisius.
Tamburaka, R. E. 1999. Pengantar Ilmu Sejarah, Teori Filsafat Sejarah, Sejarah
Filsafat dan Iptek. Jakarta: Rineka Cipta.
Weismann, I. T. 2004. Filsafat Kritik atas Sejarah. Jurnal Jaffray, 2(2), 31–42.
Dari http://ojs.sttjaffray.ac.id.

Anda mungkin juga menyukai