Fullpapers Admp06ec0f4bd1full

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 14

Jejaring Administrasi Publik. Th VII.

Nomor 2, Juli-Desember- 2015

Implementasi Kebijakan Pembangunan Pariwisata di Kabupaten


Banyuwangi

Eri Irawan
Magister Kebijakan Publik, Departemen Administrasi, FISIP, UNAIR

Abstract

This research is aimed to determine the implementation of the tourism development policy in Banyuwangi reviewed through four
implementation aspects as developed by Edwards, which are communication, resources, disposition and bureaucracy. It is a kind of
qualitative research with descriptive analytic approach to identify several basic matters regarding tourism policy in Banyuwangi.
Based on the research, the implementation of tourism development policy in Banyuwangi has worked very well though still leaving
number of problems. The research also concluded that the ideal model of tourism policy to be implemented is society-based tourism.
Several obstacles that can be identified are lack of synergy (communication) between stakeholders, lack of competency of policy
implementers, and less society participation. While on the other hand, high commitment of local political leaders and good support
of resources facility becomes the supporting factors of the policy.

Keywords: Policy Implementation, Tourism Development, Community Based Tourism

Tabel 1.
Pendahuluan Tingkat Kunjungan Wisatawan Mancanegara ke
Indonesia

Sektor pariwisata menjadi salah satu sektor pereko- Tahun Jumlah Wisatawan
nomian yang terus berkembang pesat. Saat semua Mancanegara
sektor ekonomi dalam tren perlambatan, sektor 2010 7.022.944
pariwisata menjadi sektor yang pertumbuhannya tetap 2011 7.649.731
terjaga. Di Indonesia, berdasarkan data Badan Pusat 2012 8.044.462
Statistik (BPS), pertumbuhan industri pariwisata di 2013 8.802.129
Indonesia mencapai 6,8 persen pada 2014, melampaui 2014 9.435.411
rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional yang hanya Rata-Rata 7,65
sebesar 5,7 persen. Sektor pariwisata berkontribusi Rp Pertumbuhan (%)
347 triliun atau sekitar 3,8 persen terhadap Produk Sumber: Badan Pusat Statistik (2015)
Domestik Bruto (PDB) Indonesia dan menjadi
penyumbang devisa terbesar keempat. Jika dihitung Pemerintah terus berupaya meningkatkan kinerja sektor
bersama dampak penggandanya (multiplier effect), pariwisata. Pemerintah menargetkan bisa mendatang-
kontribusi sektor pariwisata terhadap PDB di Indonesia kan wisman hingga 20 juta orang pada 2019. Untuk me-
mencapai 9 persen. ningkatkan kunjungan wisman, Kementerian Pariwisata
Dari sisi penyerapan tenaga kerja, terdapat 10,18 meningkatkan dana promosi dari sebelumnya Rp 300
juta orang yang bekerja di sektor pariwisata sehingga miliar menjadi Rp 1 triliun pada tahun ini, dan ditarget-
membuat sektor tersebut sebagai penyumbang tenaga kan bisa mencapai Rp 4 triliun pada 2016. Dengan dana
kerja terbesar keempat dari total jumlah pekerja di tersebut, pemerintah berharap bisa membantu promosi
seluruh Indonesia. Kunjungan wisatawan manca-negara pariwisata daerah yang dirasa masih sangat kurang.
juga terus meningkat dari tahun ke tahun seperti di- Salah satu daerah yang cukup gencar melakukan
tunjukkan dalam Tabel 1. perbaikan dan pengembangan sektor pariwisata adalah
Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Selama empat

757
Jejaring Administrasi Publik. Th VII. Nomor 2, Juli-Desember- 2015

tahun terakhir, daerah di ujung timur Pulau Jawa itu Tabel 2.


secara masif melakukan pengembangan pariwisata, baik Jumlah Wisatawan Domestik dan
melalui wisata budaya, pengembangan wisata alam, Mancanegara di Banyuwangi
maupun wisata event (event tourism).
Pengembangan pariwisata di Banyuwangi di- Tahun Wisatawan Wisatawan
payungi dalam Peraturan Daerah Kabupaten Banyu- Domestik Mancanegara
wangi Nomor 13 Tahun 2012 tentang Rencana Induk 2012 660.831 8.690
Pembangunan Kepariwisataan Kabupaten Banyuwangi. 2013 901.759 14.021
Perda tersebut merujuk pada Undang-Undang Nomor 2014 1.500.735 27.689
10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Poin konsi- Rata-Rata 51,43 79,42
deran dalam UU tersebut menyatakan bahwa kepariwi- Pertumbuhan
sataan merupakan bagian integral dari pembangunan (%)
nasional yang dilakukan secara sistematis, terencana, Sumber: Disbudpar Banyuwangi (2015)
terpadu, berkelanjutan, dan bertanggung jawab dengan
tetap memberikan perlindungan terhadap nilai-nilai Dari tabel tersebut bisa dilihat bahwa rata-rata
agama, budaya yang hidup dalam masyarakat, kelesta- pertumbuhan setiap tahun sejak 2012 untuk wisatawan
rian dan mutu lingkungan hidup, serta kepentingan domestik mencapai 51,43 persen dan wisatawan
nasional. Dengan demikian, daerah dituntut berperan mancanegara 79,42 persen. Data tersebut menunjukkan,
aktif dalam pengembangannya. kebijakan pengembangan pariwisata diintensifkan sejak
Sebagaimana tertulis pada poin konsideran Per- 2011 berdampak cukup signifikan pada peningkatan
da Rencana Induk Pengembangan Kepariwisataan Ka- jumlah kunjungan wisatawan, baik wisatawan domestik
bupaten Banyuwangi, pengembangan pariwisata dilaku- maupun mancanegara.
kan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi kreatif, Meski perkembangannya menggembirakan, na-
pemerataan kesempatan berusaha dan peningkatan mun masih ada sejumlah ganjalan dalam pengem-
kesejahteraan rakyat, sehingga Pemkab Banyuwangi bangan pariwisata daerah. Sejumlah problem yang
berkewajiban melaksanakan pembangunan kepariwisa- tampak di antaranya adalah (1) kapasitas sumberdaya
taan yang sistematis, terencana, terpadu, berkelanjutan manusia (SDM) yang relatif belum siap, (2) amenitas
dan bertanggung jawab dengan tetap memberikan per- (infrastruktur penunjang) yang belum lengkap, (3)
lindungan terhadap nilai-nilai agama, sosial dan budaya perebutan ‖kue‖ ekonomi dari booming pariwisata yang
yang hidup di masyarakat dan kelestarian lingkungan. belum terkondisi dengan baik karena kelembagaan yang
Secara teknis, pengembangan pariwisata Banyu- lemah, dan (4) ancaman kontinuitas program terkait
wangi dilakukan melalui pergelaran Banyuwangi pergantian kepemimpinan daerah di masa mendatang.
Festival yang diselenggarakan sejak 2012. Banyuwangi Praktik kebijakan pengembangan pariwisata
Festival merupakan rangkaian promosi wisata yang telah menjadi bahasan dalam sejumlah penelitian.
dikemas dalam bentuk event (event tourism) wisata Arieta (2012) melakukan penelitian tentang kebijakan
budaya dan wisata alam. Sejumlah event dalam pengembangan pariwisata berbasis masyarakat
rangkaian kegiatan tersebut, antara lain, International (community based tourism) pada masyarakat pesisir
Tour de Banyuwangi Ijen, Festival Gandrung Sewu, untuk mencari tahu tentang dampaknya terhadap
Banyuwangi Ethno Carnival, Beach Jazz Festival, Jazz keberlanjutan lingkungan dan pemberdayaan ekonomi
Ijen, Festival Ngopi Sepuluh Ewu, Festival Kebo- rakyat. Penelitian ini berfokus untuk mengukur dampak
keboan, dan Festival Kuliner Lokal. Pada 2015, kebijakan. Hasil penelitian menunjukkan dampak pada
Banyuwangi Festival mengagendakan 36 event wisata penerapan konsep community based tourism cukup
sepanjang tahun dengan berbagai kemasan. positif untuk mengurangi ketergantungan masyarakat
Dalam perkembangannya, pengembangan pari- terhadap bantuan pemerintah yang bisa menimbulkan
wisata yang dilakukan mulai membuahkan hasil. ketergantungan, karena selama ini bantuan pemerintah
Tingkat kunjungan wisatawan di daerah tersebut me- lebih bersifat karitatif.
ningkat. Kunjungan wisatawan mancanegara meningkat Studi lainnya dilakukan oleh Jupir (2013) yang
97 persen dari 14.021 wisatawan pada 2013 menjadi meneliti implementasi kebijakan pariwisata berbasis
27.698 pada 2014. Adapun wisatawan domestik tumbuh kearifan lokal di Kabupaten Manggarai Barat. Pene-
66 persen dari 901.759 wisatawan pada 2013 menjadi litian Jupir tersebut menggunakan metode penelitian
1.500.735 wisatawan pada 2014 (data Dinas Kebuda- kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Implemen-
yaan dan Pariwisata Banyuwangi, 2015). tasi kebijakan pariwisata berbasis kearifan lokal,
berdasarkan hasil penelitian tersebut, belum optimal
karena faktor-faktor penunjangnya tidak disediakan
dengan baik, mulai dari sumber daya pendukung hingga

758
Jejaring Administrasi Publik. Th VII. Nomor 2, Juli-Desember- 2015

struktur birokrasi. Sejumlah hasil yang mengemuka 1. Mengetahui implementasi kebijakan pengem-
dalam penelitian tersebut adalah implementasi bangan pariwisata di Kabupaten Banyuwangi;
menggunakan pendekatan top down, minimnya ruang 2. Mengetahui model kebijakan yang ideal
partisipasi publik, promosi kurang memadai, dan tentang pengembangan pariwisata serta faktor-
kinerja pelaksana kebijakan yang kurang optimal. faktor penghambat dan pendukungnya
Studi berikutnya dilakukan oleh Tri Mulyo dkk
(2013) tentang implementasi kebijakan pembangunan
Kawasan Wonorejo Terpadu, kawasan baru ekonomi Tinjauan Teoritis
berbasis rekreasi di Kabupaten Lumajang. Hasil pene-
litian menunjukkan dampak kebijakan tidak berjalan
sesuai harapan untuk mewujudkan kawasan baru Terdapat kerangka teori yang diacu dalam penelitian
berbasis rekreasi yang terintegrasi dengan sektor eko- ini, baik dari sisi keilmuan kebijakan publik maupun
nomi rakyat. Studi terkait kebijakan pariwisata juga dari sisi teknis kepariwisataan yang menjadi topik
dilakukan oleh Liedewij van Breugel (2013) yang penelitian.
membandingkan penerapan kebijakan pariwisata ber-
basis masyarakat (community based tourism) di dua
wilayah di Thailand, yaitu Desa Mae La Na dan Koh Kebijakan Publik.
Yao Noi. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa
penerapan konsep pariwisata berbasis masyarakat
adalah metode yang pas untuk mewujudkan pem- Kebijakan publik adalah apa-apa yang hadir di sekitar
bangunan berkelanjutan. Penelitian Breugel ini lebih kita, meski kadang kita tidak menyadarinya. Ia hadir
berfokus pada sisi masyarakatnya terkait bagaimana dan memainkan peran sentral dalam keseharian masya-
proses masyarakat mengelola pengembangan wisata di rakat. Seperti dikatakan Ghani dan Lockhart (2008,
dua daerah yang dijadikan lokasi penelitian. dalam Wahab, 2012:5), ‖Public policy is all around us,
Penelitian ini diikhtiarkan untuk mencoba me- defining our daily experiences and life chances even if
nambah khazanah penelitian di bidang kepariwisataan, we can't see it.‖ Kebijakan publik (public policy)
khususnya dalam hal implementasi kebijakan. Dalam dirangkai dalam dua kata, yaitu ‖kebijakan‖ dan
penelitian-penelitian terdahulu yang dipaparkan ter- ‖publik‖. Menurut Islamy (1997: 20), terdapat
sebut, mayoritas banyak mengkaji ‖dampak‖ dari ke- sejumlah elemen dalam kebijakan publik, di antaranya
bijakan pariwisata, kecuali Jupir (2003) yang menelaah sebagai berikut:
implementasi kebijakan pariwisata berbasis kearifan
lokal. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Jupir 1. Kebijakan publik dalam bentuk awalnya
adalah pada fokus. Jupir langsung memfokuskan diri adalah penetapan tindakan-tindakan pe-
pada masalah kearifan lokal, dan dengan demikian merintah;
membicarakan wisata budaya. Adapun penelitian ini 2. Kebijakan publik tidak hanya dinyatakan,
mengerangkai implementasi kebijakan pariwisata dalam tapi dilaksanakan dalam bentuk nyata;
konteks yang lebih makro. Penulis juga tertarik 3. Kebijakan publik, baik untuk melakukan
mengangkat penelitian ini karena Banyuwangi me- sesuatu maupun tidak melakukan sesuatu,
rupakan daerah yang baru saja mengembangkan sektor selalu dilandasi oleh maksud dan tujuan
pariwisatanya, sehingga diharapkan bisa memetakan tertentu;
masalah tipikal yang dihadapi daerah yang baru saja 4. Kebijakan publik mesti senantiasa
menggarap sektor pariwisatanya. Munculnya berbagai ditujukan bagi kepentingan masyarakat.
masalah yang mengiringi implementasi kebijakan
pengembangan pariwisata di Banyuwangi juga di- Dari elemen tersebut, kita bisa memberi titik
harapkan bisa memunculkan model kebijakan pari- tekan pada ‖tindakan pemerintah‖, ‖dilaksanakan
wisata yang ideal untuk memberi nilai tambah optimal secara nyata‖, ‖maksud dan tujuan tertentu‖, dan ‖ke-
bagi seluruh pemangku kepentingan. pentingan masyarakat‖. Dengan demikian, kebijakan
Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan publik selalu merepresentasikan tindakan pemerintah
masalah dalam penelitian ini adalah (1) bagaimana secara nyata dengan maksud untuk kepentingan
implementasi kebijakan pengembangan pariwisata di masyarakat. Kebijakan publik mestilah berkaitan
Kabupaten Banyuwangi?; dan (2) bagaimana model dengan persoalan bersama (collective problem) yang
kebijakan pariwisata yang ideal ? karena alasan politis, teknis, administratif, dan finansial
Penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut: membutuhkan intervensi pemerintah dan tidak bisa
diselesaikan secara individual. Dalam konteks inilah,

759
Jejaring Administrasi Publik. Th VII. Nomor 2, Juli-Desember- 2015

pariwisata termasuk ‖problem publik‖ yang membuat butif berkaitan dengan tindakan mengalokasikan
negara harus hadir untuk mengaturnya. pelayanan atau kemanfaatan kepada masyarakat, indi-
Untuk bisa memahami kebijakan publik, di- vidu, atau klien kebijakan yang lain. Secara umum,
perlukan analisis, termasuk untuk mengetahui imple- kebijakan distributif biasanya melibatkan penggunaan
mentasinya. Dunn (2003: 1) menyatakan, analisis dana publik untuk mengintervensi kelompok sasaran
kebijakan sebagai aktivitas intelektual dan praksis kebijakan.
untuk menilai secara kritis dan mengomunikasikan Kebijakan pengaturan lebih banyak berkaitan
pengetahuan tentang dan di dalam kebijakan. Menurut dengan pemberian batasan atau larangan terhadap
Dunn (2003: 97), analisis kebijakan diharapkan bisa individu/kelompok untuk melakukan tindakan-tindakan
menghasilkan informasi dan argumen untuk menjawab tertentu. Sedangkan kebijakan pengaturan sendiri
tiga pertanyaan berikut: adalah kebijakan yang membatasi/melarang sebuah ke-
lompok untuk melakukan tindakan tertentu, di mana
1. Nilai yang pencapaiannya merupakan tolok kelompok tersebut (biasanya adalah kelompok profesi
ukur utama untuk melihat apakah masalah tertentu) diberi kewenangan untuk mengatur dirinya
telah teratasi sendiri dalam rangka melindungi kepentingannya.
2. Fakta yang keberadaannya dapat membatasi Adapun kebijakan redistribusi adalah kebijakan untuk
atau meningkatkan pencapaian nilai-nilai mengalihkan alokasi kekayaan, pendapatan, kepemilik-
3. tindakan yang penerapannya dapat menghasil- an maupun hak-hak lain di antara berbagai kelompok
kan pencapaian nilai-nilai masyarakat.
Kategori kebijakan yang ketiga adalah kebijakan
Secara umum, terdapat tiga lingkup dalam studi material dan kebijakan simbolik. Kebijakan material
atau analisis kebijakan, yaitu perumusan/formulasi adalah kebijakan yang memberikan sumberdaya dalam
kebijakan, implementasi kebijakan, dan evaluasi ke- bentuk nyata (tangible) kepada kelompok sasaran—
bijakan. Nugroho (2011: 158) menambahkan dengan yang dalam beberapa kasus bisa menimbulkan kerugian
revisi kebijakan yang berarti reformulasi jika memang nyata yang ‖dipaksakan‖ kepada pihak lainnya.
kebijakan itu pada implementasinya menimbulkan Sedangkan kebijakan simbolik adalah kebijakan yang
banyak hal baru (baik itu ide baru maupun hambatan) memberikan manfaat simbolis kepada kelompok
yang setelah dievaluasi dinyatakan perlu disikapi sasaran. Manfaat simbolis yang dimaksud adalah tidak
dengan perumusan kebijakan anyar demi pencapaian adanya dampak material nyata yang dirasakan
tujuan. kelompok sasaran. Kebijakan simbolik ini biasanya ber-
Dalam sejarah perkembangan kajian kebijakan kaitan dengan nilai-nilai yang disukai oleh masyarakat.
publik, sejumlah pakar melakukan kategorisasi tipe Kategori kebijakan keempat adalah kebijakan
kebijakan. Salah satunya adalah James Anderson. Me- yang berhubungan dengan penyediaan barang-barang
nurut Anderson (dalam Suharno, 2010: 24-25), terdapat umum (public goods) dan barang-barang privat (privat
empat kategori kebijakan publik. Pertama, kebijakan goods). Kebijakan yang berkaitan dengan public goods
substantif dan prosedural; kebijakan distributif, penga- adalah kebijakan yang mengatur penyediaan barang
turan, pengaturan sendiri, dan redistribusi; kebijakan atau pelayanan publik untuk kelompok sasaran. Adapun
material dan simbolik; serta kebijakan yang melibatkan kebijakan yang berkaitan dengan privat goods adalah
barang kolektif dan barang privat. kebijakan yang mengatur penyediaan barang atau
Kebijakan substantif adalah kebijakan yang pelayanan untuk kelompok/individu tertentu.
berkaitan dengan apa yang direncanakan atau telah di- Mengacu pada kategorisasi versi Anderson
lakukan oleh pemerintah. Kebijakan kategori ini tersebut, kebijakan pengembangan pariwisata bisa
mengalokasikan secara langsung keuntungan dan dimasukkan ke dalam sejumlah irisan kategori, yaitu
kerugian maupun biaya dan manfaat dari kebijakan kebijakan substantif dan prosedural, kebijakan distri-
tersebut untuk masyarakat. Sedangkan kebijakan butif, dan kebijakan yang berkaitan dengan public
prosedural adalah bagaimana kebijakan yang dimaksud goods. Sebagai kebijakan substantif dan prosedural,
bisa dijalankan secara operasional, termasuk siapa yang kebijakan pengembangan pariwisata dalam konteks
diberi kewenangan untuk mengimplementasikannya. penelitian ini adalah prioritas dalam perencanaan
Kategori kebijakan yang kedua menurut Ander- pembangunan daerah sekaligus telah dimulai tahapan-
son terdiri atas empat jenis yang dilandaskan pada tahapan implementasinya. Sebagai kebijakan distributif,
aspek dampak kebijakan kepada masyarakat, termasuk kebijakan pengembangan pariwisata telah mengaloka-
di dalamnya berkaitan dengan relasi antara masyarakat sikan pelayanan atau kemanfaatan kepada masyarakat,
dan pemerintah dalam proses formulasi kebijakan. terutama yang berada di sekitar destinasi dan wisa-
Empat jenis kebijakan itu adalah distributif, pengaturan, tawan, seperti penyediaan infrastruktur, penguatan ke-
pengaturan sendiri, dan redistribusi. Kebijakan distri- lompok sadar wisata (darwis), dan bagi hasil penge-

760
Jejaring Administrasi Publik. Th VII. Nomor 2, Juli-Desember- 2015

lolaan wisata. Tentu saja dalam penyediaan infrastruk- untuk melaksanakan kebijakan, (b) informasi
tur tersebut menggunakan dana publik. Adapun sebagai yang memadai atau relevan untuk keperluan
kebijakan yang berkaitan dengan public goods, implementasi kebijakan, (c) adanya wewe-
kebijakan pengembangan pariwisata telah mengalo- nang/ otoritasisasi yang dimiliki implementor
kasikan public goods yang berhubungan dengan untuk melaksanakan kebijakan, (d) fasilitas-
pariwisata untuk kepentingan semua kelompok sasaran. fasilitas lain sebagai penunjang pelaksanaan
Misalnya pelayanan perizinan pariwisata dan pengelo- kebijakan.
laan destinasi wisata. 3. Disposisi (Kecenderungan). Kecenderungan
adalah sikap atau seperangkat pendapat
terhadap suatu kebijakan. Semakin pelaksana
Implementasi Kebijakan Publik. kebijakan mempunyai kecenderungan untuk
mendukung kebijakan, semakin tinggi pula
probabilitas kebijakan tersebut bisa diimple-
Seperti sudah dijelaskan di atas, implementasi menjadi mentasikan dengan baik. Edwards menyata-
kunci untuk menakar sejauh mana kebijakan publik kan, banyak kebijakan terpaksa masuk ke
berdampak positif ke publik atau tidak. Keberhasilan ‖zona ketidakacuhan‖ karena kecenderungan
implementasi dipengaruh oleh banyak faktor, baik pelaksana yang tidak mendukungnya (melaku-
secara langsung maupun tidak dengan kebijakan itu kan resistensi). Jadi, meski aspek komunikasi
sendiri. Dalam hal ini, model implementasi kebijakan dan sumberdaya sudah mendekati sempurna,
sangat memengaruhi bagaimana sebuah kebijakan bisa tanpa kecenderungan mendukung dari pelak-
diterapkan dan dikaji berdasarkan kompleksitas masa- sana, otomatis kebijakan akan gagal diimple-
lah yang ada. Model implementasi kebijakan diharap- mentasikan.
kan bisa memandu kebijakan yang bersifat makro 4. Struktut Birokrasi. Struktur didefinisikan
menjadi lebih teknis-operasional. sebagai pola hubungan di antara elemen-
Adapun model yang dipakai untuk menganalisis elemen sosial yang meliputi orang, posisi, dan
implementasi kebijakan dalam penelitian ini fokus pada unit-unit organisasi di mana mereka berada
model Edwards dengan penambahan beberapa aspek/ (Hatch, 1997, dalam Kusdi, 2009). Struktur
variabel dalam model lain yang dinilai relevan. organisasi merupakan faktor penting dalam
Edwards menyatakan, implementasi kebijakan di- berhasil tidaknya implementasi suatu kebijak-
pengaruhi oleh empat aspek, yaitu (1) komunikasi, (2) an karena berkaitan dengan bagaimana organi-
sumberdaya, (3) disposisi (kecenderungan), (4) stuktur sasi berelasi untuk bisa menggapai tujuan-
birokrasi. Penjelasan atas empat aspek tersebut adalah tujuan yang diinginkan.
sebagai berikut: Menurut Edwards, dua karakter birokrasi
adalah prosedur kerja standard dan fragmentasi
1. Komunikasi. Komunikasi berperan vital Prosedur kerja standard berkaitan dengan
sebagai alat menyampaikan dasar dan tujuan sistem kerja dari organisasi pelaksana yang
sebuah kebijakan. Menurut Edwards (dalam tersusun sebagai pemandu dalam melaksana-
Winarno, 2012: 178-184), tiga hal utama kan implementasi kebijakan. Terminologi
dalam komunikasi kebijakan adalah transmisi, prosedur kerja yang banyak dipakai saat ini
kejelasan, dan konsistensi. Transmisi ber- adalah prosedur operasional standard
kaitan dengan bagaimana organisasi pelaksana (Standard Operating Procedure/SOP). Adapun
ke-bijakan memahami bahwa telah ada fragmentasi timbul karena adanya konflik
kebijakan yang dikeluarkan oleh policy maker. kepentingan dan tekanan dari berbagai pihak
Kejelasan berkaitan dengan bagaimana isi terhadap birokrasi, misalnya dari organisasi
kebijakan bisa detil dan tidak menimbulkan politik, lembaga swadaya masyarakat, atau
distorsi pemaknaan di antara para stakeholder, badan pelaksana yang lain. Fragmentasi juga
khususnya implementor. Adapun konsis-tensi bisa timbul jika organisasi pelaksana terdiri
berkaitan dengan bagaimana pelaksanaan ke- atas banyak elemen. Antar-organisasi pelak-
bijakan bisa konsisten dan berkelanjutan sana bisa terfragmentasi menyesuaikan dengan
dalam penerapannya. kepentingan masing-masing mengingat biro-
2. Sumberdaya. Menurut Edwards (dalam krasi tak lain juga merupakan satu ‖kekuatan
Nugroho, 2011) kelayakan sumberdaya bisa politik‖ tersendiri.
dilihat dalam sejumlah aspek berikut: (a) staf
yang relatif cukup jumlahnya dan mempunyai Dalam struktur organisasi kita bisa melihat
keahlian serta keterampilan (kompetensi) bagaimana pengaturan hubungan antar-elemen di

761
Jejaring Administrasi Publik. Th VII. Nomor 2, Juli-Desember- 2015

organisasi untuk mendukung terwujudnya tujuan Ekoturisme dan Pariwisata Berbasis Masyarakat
organisasi sesuai dengan fungsinya masing-masing. Di
dalam struktur organisasi diatur pola hubungan,
pertanggungjawaban, wewenang, dan hal-hal terkait Dalam perkembangannya, berbagai konsep wisata
kerja yang berorientasi pada tujuan. Elemen struktur hadir. Salah satu yang paling tampak menonjol dalam
setidaknya dapat dibagi menjadi tiga hal, yaitu kom- beberapa tahun terakhir adalah ekoturisme/ekowisata
pleksitas, formalisasi, dan sentralisasi. yang merupakan gabungan dari kata ekologi dan
turisme/pariwisata. The International Ecotourism
Society (dalam Wood, 2002: 9) menyatakan, ”Eco-
Pariwisata. tourism is responsible travel to natural areas which
conserves the environment and improves welfare of
local people.‖ Dua titik tekan dalam pengertian itu
Menurut Krapt dan Hunziker (dalam Yoeti, 1996: 112), adalah pelestarian lingkungan dan peningkatan kesejah-
pariwisata adalah keseluruhan dari gejala yang teraan komunitas lokal di sekitar destinasi wisata.
ditimbulkan dalam sebuah perjalanan dan pendiaman Sesuai perkembangan, ekoturisme tidak hanya
orang-orang asing serta penyediaan tempat tinggal diartikan dalam konteks lingkungan fisik (alam) saja,
sementara, asalkan orang asing itu tidak tinggal mene- melainkan juga lingkungan sosial dan budaya. Ruang
tap dan tidak memperoleh penghasilan dari aktivitas lingkup ekowisata pun bertambah luas hingga ke aspek
yang bersifat sementara. ‖Orang asing‖ dalam hal ini keberlanjutan budaya. Menurut Kementerian Pariwisata
bukan hanya orang dari luar negeri, tapi juga orang dari (2009: 2), ekowisata adalah perjalanan seseorang ke
luar daerah yang menjadi destinasi wisata. destinasi tertentu untuk menikmati dan mempelajari
Menurut UU Nomor 10 Tahun 2009 tentang alam, sejarah, dan budaya setempat di mana pola
Kepariwisataan, yang dimaksud dengan ‖wisata‖ adalah wisatanya membantu ekonomi masyarakat lokal dan
kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau mendukung pelestarian alam. Ceballos-Lascurin (1990,
sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu dalam Anas, 2014) juga memberi titik tekan pada
untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau budaya, di mana ekowisata diartikan sebagai bentuk
mempelajari keunikan daya tarik wisata yang di- wisata mendatangi tempat-tempat yang masih alami
kunjungi dalam jangka waktu sementara. ‖Dalam waktu untuk belajar, menghormati, dan menikmati peman-
sementara‖ menjadi titik tekan untuk menggambarkan dangan, flora-fauna, dan budaya setempat.
ada intensitas waktu tertentu bagi wisatawan, sehingga Selain lingkungan alam dan budaya, titik tekan
orang yang pindah untuk menetap di daerah lain tentu yang juga menjadi fokus dari ekowisata adalah keter-
bukan masuk dalam definisi wistawan. libatan penduduk lokal. Wood (2002: 10) menyatakan,
Adapun lingkup kegiatan pariwisata dinyatakan komponen ekowisata di antaranya adalah sebagai
sebagai ‖berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berikut:
oleh berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan
oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah, dan pemerin- 1. berkontribusi pada konservasi keanekara-
tah daerah‖. Industri pariwisata mem-punyai sejumlah gaman hayati;
karakteristik unggul (Sunaryo, 2013: 35) antara lain 2. Menjaga keberlanjutan komunitas lokal;
sebagai berikut: 3. Melibatkan tanggung jawab yang penuh
terhadap wisatawan dan industri pari-
1. Sektor pariwisata mempunyai keterkaitan wisata
rantai nilai (multiplier effect) yang sangat 4. Ditujukan terutama kepada kelompok
panjang dan mampu mendorong per- usaha kecil
tumbuhan berbagai sektor usaha mikro 5. mendorong sedikit mungkin konsumsi
2. Sektor kepariwisataan menyerap banyak sumberdaya tidak terbarukan;
sumberdaya setempat 6. memberi titik tekan pada partisipasi
3. Industri pariwisata tidak mengenal over masyarakat, terutama masyarakat lokal,
supply karena mempunyai karakteristik untuk mengelola kesempatan dan ke-
produk yang khas dan terbukti tidak pemilikan usaha pariwisata
terpengaruh dengan krisis
Hausler (dalam Suryono, 2013: 45) mendefinisikan
community based tourism sebabagi konsep pariwisata
yang memberikan peran kepada masyarakat lokal untuk
mengontrol dan terlibat langsung di dalam manajemen
dan pembangunan pariwisata di daerahnya. Secara

762
Jejaring Administrasi Publik. Th VII. Nomor 2, Juli-Desember- 2015

politis, konsep ini berarti menuntut dan memaksa akurat mengngenai fakta-fakta, sifat-sifat serta
adanya distribusi (pembagian) kue ekonomi wisata bagi hubungan antar fenomena yang diselidiki.
komunitas lokal yang mungkin secara daya saing Teknik penentuan sampel/informan dalam
sebenarnya kurang bisa dipertandingkan secara apple to penelitian ini adalah purposive sampling. Teknik ini
apple dengan investor pariwisata berskala besar. dipakai untuk jenis penelitian yang mengutamakan
Nyaupane (2006, dalam Guzman, dkk, 2011: 70) tujuan daripada sifat populasi dalam menentukan
menyatakan, terdapat dua elemen penting yang harus subyek/informan (Bungin, 2013: 118). Teknik ini
diperhatikan ketika mengukur dampak dari eksploitasi meniscayakan informan yang dipilih adalah key person
alam di bidang wisata. Pertama, tingkat partisipasi dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu, seperti
komunitas lokal. Kedua, jumlah dan tipe wisatawan. kepakaran, pihak pemilik otoritas, dan pemangku
Karena selalu terkait fungsi penguatan masyarakat kepentingan.
lokal, pariwisata juga merupakan alat untuk melawan
kemiskinan. Dalam konteks inilah, kebijakan pariwisata
berbasis masyarakat menemukan relevansinya. Hasil dan Pembahasan
Sejumlah pakar, seperti Manyara dan Jones atau
Rastegar (dalam Guzman, dkk: 72) meyakini, pariwi-
sata berbasis masyarakat berdampak langsung pada Analisis implementasi kebijakan yang dipakai penulis
ekonomi warga, peningkatan kualitas kehidupan sosial- merujuk pada model yang dikembangkan oleh Edwards
ekonomi, dan menjaga keberlanjutan diversifikasi gaya sebagaimana telah dibahas sebelumnya, dengan
hidup warga. Kebijakan pariwisata model ini juga penambahan beberapa aspek/variabel/faktor dalam
menumbuhkan modal sosial, yang menurut Scheyvens model yang dikembangkan pakar lain yang dinilai
(dalam Breugel, 2013: 10), tidak hanya karena koneksi relevan serta ditautkan dengan teori kepariwisataan.
dengan wisatawan tetapi juga di antara warga sendiri,
sehingga industri pariwisata bisa memberdayakan
kelompok marjinal di masyarakat, seperti perempuan Faktor Komunikasi
dan warga lokal melalui pemberdayaan dan koneksi
kultural.
Menurut Sastrayuda (2010: 2), sebagai sebuah Tiga hal utama dalam komunikasi kebijakan adalah
pendekatan, pemberdayaan yang melibatkan dan transmisi, kejelasan, dan konsistensi. Transmisi ber-
memberi peran penting bagi masyarakat di sektor kaitan ‖penyampaian pesan‖. Dalam hal implementasi
pariwisata merupakan peluang untuk menggerakkan kebijakan pengembangan pariwisata melalui Banyu-
segenap potensi dan dinamika masyarakat guna wangi Festival, proses transmisi setidaknya dibedakan
mengimbangi peran pelaku usaha pariwisata berskala menjadi dua bagian, yaitu (1) transmisi antara pe-
bisnis (investor). Sehingga dengan pendekatan tersebut mimpin birokrasi (policy maker), organisasi pelaksana
diharapkan tercipta pemerataan ekonomi bagi komu- utama, dan organisasi pelaksana penunjang (internal
nitas/masyarakat lokal. birokrasi sebagai implementor kebijakan) dan (2)
transmisi antara organisasi pelaksana/birokrasi dan para
pemangku kepentingan (stakeholder dan sasaran
Metode Penelitian kebijakan secara umum, yaitu masyarakat)
Dalam hal yang pertama, transmisi berjalan
dengan efektif. Bupati dan Wakil Bupati sebagai
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif. pemimpin birokrasi yang memandu arah kebijakan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian memaparkan maksud dan tujuan kebijakan kepada
ini adalah analisis deskriptif. Penelitian kualitatif dinas terkait dengan leading sector adalah Dinas
deskriptif adalah pendekatan terhadap fenomena, Kebudayaan dan Pariwisata. Faktor hierarkis dalam
peristiwa, masalah atau keadaan tertentu yang menjadi struktur birokrasi sebenarnya ikut memudahkan proses
obyek penyelidikan; yang hasil temuannya berupa transmisi dalam implementasi kebijakan, karena ketika
uraian kalimat bermakna yang menjelaskan pemahaman ada perintah atasan maka otomatis bawahan akan
tertentu (Leksono, 2013:181). Menurut Nazir (1985: melaksanakan. Dalam hal yang kedua, transmisi
53), metode deskritif adalah adalah metode dalam program dilakukan melalui berbagai saluran komuni-
penelitian status sekelompok manusia,suatu obyek, kasi, baik yang dimiliki secara langsung oleh pemerin-
suatu kondisi,suatu sistem pemikiran, maupun suatu tah maupun yang melibatkan kerja sama pihak eksternal
kelas pristiwa dengan tujuan untuk membuat deskripsi, birokrasi.
gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan Dari aspek kejelasan, terdapat permasalahan
sehingga menimbulkan distorsi dan bahkan salah per-

763
Jejaring Administrasi Publik. Th VII. Nomor 2, Juli-Desember- 2015

sepsi yang berujung pada resistensi terhadap kebijakan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyu-
(perubahan yang tidak dikehendaki), seperti pada kasus wangi, susunan organisasi Dinas tersebut terdiri atas:
adanya perubahan negatif di masyarakat dalam
merespons perkembangan pariwisata. Ketidakjelasan
informasi lainnya tampak pada bagaimana proses mem- a. Kepala Dinas;
bangun partisipasi publik dilaksanakan. Adapun dari b. Sekretariat
aspek konsistensi, komunikasi kebijakan pengem- c. Bidang Kebudayaan;
bangan pariwisata telah dilaksanakan secara konsisten. d. Bidang Pariwisata;
Baik di lingkungan internal birokrasi maupun antar e. Bidang Pemasaran;
pemangku kepentingan, komunikasi kebijakan di- f. Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD);
lakukan secara terus-menerus. Hal ini sesuai dengan g. Kelompok Jabatan Fungsional.
kebijakan program Banyuwangi Festival yang dinamis
dan sifatnya sepanjang tahun. Dari sisi size pelaksana untuk masing-masing
Meski dilakukan secara konsisten, di lapangan program kebijakan, sebenarnya belum mencukupi
masih ditemukan adanya implementasi yang ‖setengah (lemah) jika dibebankan hanya pada Dinas Kebudayaan
hati‖ karena implementor yang relatif longgar dalam dan Pariwisata. Jumlah staf pelaksana relatif terbatas
melaksanakan perintah implementasi kebijakan. Dalam dengan cakupan kerja yang begitu luas dan panjang.
hal ini, menurut Edwards dan model Mazmanian dan Jumlah staf di Dinas yang menjadi leading sector
Sabatier, faktor terpenting yang bisa menjadi penjelas sebanyak 42 orang. Meski demikian, kuantitas yang
mengapa komunikasi kebijakan yang baik tak bisa terbatas untuk melaksanakan kebijakan pengembangan
menjamin implementasi kebijakan yang baik pula pariwisata disiasati dengan pembagian peran bersama
adalah dukungan dari organisasi pelaksana. Jika orga- badan pelaksana yang lain serta dengan memanfaatkan
nisasi pelaksana setuju dengan tujuan kebijakan, maka teknologi informasi.
komunikasi kebijakan akan lebih lancar dan dengan Pemkab Banyuwangi membagi peran secara
demikian kualitas implementasi kebijakan bakal merata sesuai tujuan kebijakan pengembangan pari-
membaik. Kondisi ini berkelindan pula dengan faktor wisata. Misalnya, jika terkait wisata budaya, maka
struktur organisasi yang bisa terfragmentasi karena ditangani oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata; jika
kepentingan yang dibawa berbenturan atau terganggu berkaitan dengan kebijakan pengembangan wisata
dengan perubahan kebijakan yang ada. pantai, maka ada sinergi antara Dinas Kebudayaan dan
Dengan fakta yang ada tersebut, faktor komuni- Pariwisata dan Dinas Kebersihan dan Pertamanan untuk
kasi dalam implementasi kebijakan pengembangan mengatur arsitektur lansekap pantai; atau bila berkaitan
pariwisata di Banyuwangi masih menemui banyak dengan kebijakan pengembangan wisata berbasis
kendala, terutama pada faktor kejelasan. Dari sudut pertanian (agro-tourism), Dinas Pertanian berperan
pandang ini, menurut kerangka Edwards, faktor yang dengan tetap menjalin sinergi bersama Dinas Kebuda-
mendorong ketidakjelasan informasi adalah komplek- yaan dan Pariwisata.
sitas kebijakan dan tidak tercapainya konsensus untuk Dari sisi skill (kemampuan/kompetensi) pelaksa-
mencapai tujuan kebijakan. na kebijakan, terdapat permasalahan pada kurangnya
kompetensi pelaksana kebijakan, terutama dari sisi
konsep makro kebijakan. Masih banyak yang belum
Faktor Sumberdaya memahami tentang implementasi kebijakan pengem-
bangan pariwisata dengan baik. Berdasarkan hasil
Sumberdaya (resources) meliputi staf, informasi, penelitian diketahui, inkompetensi terjadi karena later
wewenang, dan fasilitas (sarana-prasarana). belakang pendidikan staf tidak sesuai dengan bidang
pekerjaan yang diembannya saat ini.
a. Staf. Untuk mengatasi masalah itu, Pemkab Banyu-
wangi berupaya mempercepat transformasi kompetensi
Dalam hal ini, kerangka yang akan dilihat dari faktor dengan sesering mungkin melaksanakan kebijakan
staf adalah size (besaran) dan skill (kemampuan/ pariwisata. Harapannya, kompetensi pelaksana kebijak-
kompetensi) dalam menunjang implementasi kebijakan. an bisa meningkat seiring dengan rutinitas dan pe-
Sebagai leading sector, Dinas Kebudayaan dan ngalaman yang didapatkan.
Pariwisata Banyuwangi telah diperkuat dengan staf-staf
yang sesuai dengan bidang masing-masing. Berdasar- b.Informasi
kan Peraturan Bupati Banyuwangi Nomor 52 Tahun
2011 tentang Rincian Tugas, Fungsi, dan Tata Kerja Dalam kerangka kebijakan publik, informasi menjadi
sumber penting Informasi bisa dikerangkai dalam dua

764
Jejaring Administrasi Publik. Th VII. Nomor 2, Juli-Desember- 2015

aspek. Pertama, informasi tentang bagaimana kebijakan bantuan Rp1,5 miliar untuk promosi pariwisata Banyu-
bisa dieksekusi. Informasi terkait tujuan kebijakan wangi dan Rp1,5 miliar untuk pengembangan wisata
pariwisata di Banyuwangi sebenarnya sudah cukup kuliner berbasis pantai.
jelas. Namun, untuk implementasinya memang berkait- Adapun dukungan fasilitas fisik diwujudkan
an dengan masalah kompentensi dan kepentingan biro- dalam berbagai tempat yang menjadi penunjang
krasi pelaksana. destinasi wisata. Hal ini sejalan dengan teori
Kedua, informasi terkait ketaatan terhadap per- kepariwisataan di mana pengembangan destinasi wisata
aturan (rujukan peraturan). Dalam hal ini, peraturan sebagai bagian dari keterkaitan dalam sistem
terkait sudah disampaikan. Demikian pula keputusan- kepariwisataan perlu memperhatikan sejumlah aspek
keputusan dalam rapat yang dipimpin oleh policy maker berikut (Sunaryo, 2013: 27-31):
telah disampaikan melalui saluran komunikasi yang
ada, seperti grup di aplikasi pesan instan. Meskipun 1. Atraksi dan daya tarik wisata
demikian, penyampaian informasi itu tidak menjamin 2. Amenitas (akomodasi)
kebijakan bisa dieksekusi dengan baik. Terjadi kesen- 3. Aksebilitas
jangan yang meskipun kecil, cukup berpengaruh dalam 4. Infrastruktur pendukung
pelaksanaan implementasi. Dalam penelitian ditemukan 5. Fasilitas pendukung
contoh seperti tidak tereksekusinya secara optimal 6. Kelembagaan dan sumberdaya
kebijakan pemberdayaan masyarakat di sekitar destinasi manusi
pariwisata sehingga menimbulkan konflik, seperti
sengketa di Pantai Pulau Merah dan konflik warga dan
Meski pembangunan fasilitas cukup marak, tidak ter-
wisatawan di kawasan Kawah Ijen.
dapat sinergi yang baik dengan masyarakat, sehingga
menimbulkan perubahan negatif yang tak diantisipasi
c. Wewenang sebagaimana dipaparkan oleh Edwards. Berdasarkan
temuan di lapangan, ada sebagian masyarakat yang
Kebijakan pengembangan pariwisata menjadikan Dinas
justru menentang pembangunan fasilitas karena bisa
Kebudayaan dan Pariwisata sebagai leading sector
menurunkan potensi pendapatan mereka. Misalnya
implementasi. Dalam hal ini, Bupati Banyuwangi telah
pembangunan fasilitas infrastruktur di Kawah Ijen yang
mendelegasikan kewenangan kepada organisasi pelak- justru menimbulkan kejadian tidak mengenakkan
sana tersebut melalui Peraturan Bupati. Dari ke- berupa pemaksaan wisatawan untuk menaiki kendaraan
wenangan yang ada dalam Peraturan Bupati, bisa
berat yang disediakan warga sekitar. Kondisi tersebut
diketahui bahwa wewenang dan segala hal yang
menghasilkan tekanan pihak luar terhadap organisasi
melekat (fungsi, kewajiban, dan sebagainya) di Dinas
pelaksana yang oleh Edwards disebut fragmentasi.
Kebudayaan dan Pariwisata sudah sesuai dengan tugas
Dalam kerangka Hogwood dan Gunn (dalam
yang diberikan sebagai leading sector implementasi Wahab, 2004: 71-78) sudah disebutkan, implementasi
kebijakan pariwisata. Dalam implementasi, pelaksanaan
bisa berhasil jika kondisi eksternal organisasi pelaksana
wewenang terbentur dengan masalah yang berkaitan
tidak menimbulkan gangguan atau kendala serius yang
dengan kompetensi dan variabel di luar kebijakan
bisa mengganggu implementasi kebijakan. Dalam
seperti benturan kepentingan.
penelitian ini, diketahui bahwa sejumlah kendala pada
saat implementasi kebijakan memang banyak berada di
d.Fasilitas luar kendali para aktor dan administrator yang ada di
organisasi pelaksana, sehingga membutuhkan solusi
Fasilitas untuk mengimplementasikan kebijakan pe-
yang terintegrasi.
ngembangan pariwisata di Banyuwangi sudah cukup
Berdasarkan pemaparan di atas, dukungan faktor
baik. Fasilitas tersebut terdiri atas dukungan pendanaan
sumberdaya dalam kerangka Edwards masih tampak
maupun fasilitas fisik yang dibutuhkan. Dukungan mengalami kekurangan pada aspek staf terutama dari
pendanaan didapatkan dari Anggaran Pendapatan dan sisi kompetensi dan informasi yang mengalami
Belanja Daerah (APBD), Anggaran Pendapatan dan
kesenjangan di lapangan. Adapun wewenang secara
Belanja Negara (APBN), dan sumber-sumber lain yang
normatif sudah tepat namun dalam implementasi peng-
sah dan tidak mengikat. Rata-rata dukungan pendanaan
gunaan wewenang tersebut menghadapi kendala terkait
untuk sektor pariwisata dari APBD berkisar Rp 5-7
kompetensi staf dan benturan kepentingan dengan
miliar setiap tahunnya. Adapun dukungan dari APBN stakeholder yang lain. Dari sisi fasilitas, dukungan
tidak menentu dan baru ada dalam satu tahun terakhir penuh diberikan untuk implementasi kebijakan meski
ketika pemerintah pusat mulai mengapresiasi inisiatif
dalam beberapa sisi dukungan tersebut menghasilkan
Kabupaten Banyuwangi dalam mengembangkan pari-
perubahan negatif.
wisata. Pada 2015, Kementerian Pariwisata memberi

765
Jejaring Administrasi Publik. Th VII. Nomor 2, Juli-Desember- 2015

Disposisi (Kecenderungan) ada. Adapun respons pelaksana atas implementasi


kebijakan tentu sangat bergantung pada kecenderungan
mereka pada kebijakan yang dimaksud. Pelaksana yang
Terkait dengan implementasi kebijakan pariwisata mempunyai kecenderungan mendukung akan me-
dalam penelitian ini, berikut ini adalah parameter lakukan upaya semaksimal mungkin untuk menyuk-
kecenderungan sikap yang akan diteliti: a. Kecen- seskan implementasi kebijakan. Selain berpijak pada
derungan pelaksana terhadap kebijakan pengem-bangan tupoksi, dalam penelitian ini ditemukan kreativitas
pariwisata; b. Respons atas pelaksanan kebijakan- dalam melakukan implementasi namun tetap memper-
kebijakan tersebut hitungkan aspek prosedural karena birokrasi yang di-
Secara umum persepsi pelaksana terhadap batasi oleh aturan-aturan. Contohnya, dalam hal keter-
kebijakan pengembangan pariwisata adalah mendukung libatan pihak ketiga untuk mendukung implementasi
penuh. Selain alasan untuk kemajuan daerah, para kebijakan, kemitraan berlangsung sangat luas dan
pelaksana mendukung karena pelaksanaan kebijakan relatif bisa dilaksanakan dengan cepat karena lobi dari
tersebut sesuai dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) pemimpin politik/pemimpin birokrasi. Kemitraan
sebagai seorang birokrat. Para pelaksana di dinas yang melibatkan kalangan BUMN dan swasta, tidak hanya
menjadi leading sector kebijakan pariwisata cukup aktif bersifat jangka pendek namun juga jangka panjang,
mengoordinasikan semua hal teknis terkait implemen- seperti pengembangan pelabuhan marina di Pantai
tasi kebijakan yang melibatkan badan/organisasi Boom Banyuwangi.
pelaksana lainnya. Koordinasi vertikal juga dilaksana- Sebaliknya, pelaksana yang mempunyai kecen-
kan dengan melobi Kementerian Pariwisata agar ikut derungan untuk resisten (baik secara terbuka maupun
mendukung pengembangan pariwisata di Banyuwangi. pasif) akan memilih ‖mengambil jarak‖ dengan imple-
Meski demikian, karena melibatkan struktur or- mentasi kebijakan. Respons yang dilakukan adalah
ganisasi atau birokrasi pelaksana yang kompleks, ke- ‖tidak mendukung, namun juga tidak menolak‖.
cenderungan terhadap kebijakan juga otomatis menjadi Edwards menyatakan, salah satu teknik yang bisa di-
beragam. Terdapat badan/organisasi pelaksana yang gunakan untuk mengatasi masalah kecenderungan para
dalam penelitian ini bisa dikatakan mengambil kecen- aparat birokrasi sebagai pelaksana kebijakan adalah
derungan yang tidak peduli, atau dalam terminologi dengan cara mendorong melalui pemberian insentif.
Edwards disebut masuk dalam ‖zona ketidakacuhan‖. Dengan memberi insentif atau keuntungan bagi
Dalam penelitian ini, penulis mengategorikan implementor, mereka akan bergerak lebih responsif
kecenderungan/persepsi resisten setelah melakukan dalam menjalankan perintah kebijakan.
sejumlah wawancara dan observasi. Terdapat dua Untuk mendukung keberhasilan implementasi
kategori kecenderungan/persepsi yang menolak atau kebijakan, tentu dibutuhkan kecenderungan publik
‖keberatan‖ dengan kebijakan yang dimaksud. Per- (klien dari pelaksana kebijakan) yang mendukung
tama, melakukan resistensi atau penolakan secara implementasi kebijakan. Dalam kerangka yang dikem-
terbuka. Sikap seperti ini sangat kecil porsinya karena bangkan Mazmanian dan Sabatier, lingkungan kebijak-
karakteristik birokrasi yang takut berbeda dengan an dipengaruhi oleh variabel di luar kebijakan, di
atasan yang bisa menyebabkan hambatan pada karir antaranya adalah dukungan publik (public support).
aparat yang resisten. Resistensi secara terbuka biasanya Sejumlah pakar kebijakan yang lain juga menggaris
dilakukan dengan secara terbuka tidak bisa melak- bawahi pentingnya public support dalam implementasi.
sanakan perintah kebijakan dengan mencari alasan- Kesuksesan implementasi kebijakan pengem-
alasan yang logis. Kedua, resistensi secara pasif. Dalam bangan pariwisata sangat bergantung pada kecen-
hal ini, aparat yang resisten tidak menunjukkan derungan publik dalam merespons kebijakan dan
penolakan secara frontal, tapi mempunyai sifat apatis implementasinya. Kebijakan pengembangan pariwisata
terhadap implementasi kebijakan, seperti tidak ikut yang paling tepat memang harus melibatkan publik,
berpartisipasi dan menurunkan tingkat komitmen ter- terutama komunitas masyarakat lokal. Hal itu sesuai
hadap implementasi kebijakan. Meskipun tidak banyak, dengan model ekowisata dan community based tourism
yang bersifat resisten secara pasif ini bisa mengganggu yang didengungkan pemimpin politik/pemimpin biro-
implementasi kebijakan. krasi sebagai model yang dianut Banyuwangi. Jika
Atas masalah tersebut, Bupati Banyuwangi merujuk pada konsep itu, selain lingkungan alam dan
sudah memahami kultur birokrasi semacam itu dan budaya, titik tekan yang juga menjadi fokus dari
telah melakukan antisipasi. Selain melakukan komuni- ekowisata adalah keterlibatan penduduk lokal. Wood
kasi secara berkelanjutan, Bupati menugaskan asisten (2002: 10) menyatakan, komponen ekowisata di antara-
untuk melakukan supervisi terhadap pelaksanaan nya memberi titik tekan pada partisipasi masyarakat,
kebijakan. Asisten bertanggung jawab sesuai urusan terutama masyarakat lokal, untuk mengelola kesem-
yang ditanganinya berdasarkan pembagian peran yang patan dan kepemilikan usaha pariwisata. Dalam pene-

766
Jejaring Administrasi Publik. Th VII. Nomor 2, Juli-Desember- 2015

litian ini ditemukan, publik memang dilibatkan, namun Bahkan, proses itu terus berkelanjutan karena generasi
belum sepenuhnya. Pelibatan juga belum dalam tahap baru juga lahir.
‖substantif‖ secara penuh. Sejumlah informan non-birokrasi menyarankan
Pelibatan atau partisipasi publik dalam konsep perlunya kebijakan detil terkait partisipasi publik dalam
ekowisata dan community based tourism juga harus pengembangan pariwisata, khususnya dalam hal penge-
bersifat substantif dan nyata. Publik lokal bukan hanya lolaan destinasi wisata. Jika perlu, satu destinasi wisata
jadi penonton, tapi juga berkreasi menjadi pelaksana, mempunyai satu instrumen kebijakan khusus yang
pelaku usaha jasa pariwisata, dan mempunyai kesa- sesuai karakter destinasi tersebut, terutama dalam
daran penuh sebagai pemangku kepentingan di daerah konteks pelibatan masyarakatnya.
tujuan wisata. Berdasarkan pemaparan di atas, dari aspek
Model partisipasi substantif yang disebut infor- disposisi (kecenderungan), menggunakan kerangka
man itulah yang disebut oleh France (dalam Breugel, Edwards, bisa disimpulkan bahwa kecenderungan para
2013: 6) sebagai ‖self-mobilization‖ yang merupakan pelaksana kebijakan adalah mendukung, meski ada
tahapan berkualitas tertinggi dalam partisipasi masya- sebagian yang melakukan resistensi. Namun, resistensi
rakat untuk pengembangan pariwisata. Tahapan ‖self- tidak dilakukan secara frontal. Dari sisi publik sebagai
mobilization‖ tersebut mengandaikan komunitas lokal elemen yang melekat dalam implementasi, terdapat
mempunyai inisiatif yang independen untuk berpar- kecenderungan yang resisten meski itu hanya fenomena
tisipasi dalam pengembangan pariwisata. Kesadaran minoritas. Resistensi timbul karena belum dilibatkan-
mereka telah terbentuk, terutama dari kekuatan nya publik secara penuh dan substantid dalam imple-
modalnya dari aktivitas pariwisata. Tahapan partisipasi mentasi kebijakan.
substantif ini merupakan tingkat tertinggi dan
berbanding terbalik dengan tingkat partisipasi terendah
yang disebut France sebagai tipe ‖plantation‖ yang Struktur Birokrasi
eksploitatif dan ‖manipulative and passive parti-
cipation‖.
Proses membentuk partisipasi publik adalah Dalam kerangka Edwards, dua aspek terpenting dalam
tahapan untuk mewujudkan kesadaran warga untuk struktur birokrasi ketika mengimplementasikan ke-
memahami bahwa mereka adalah penduduk di destinasi bijakan adalah prosedur operasional kerja standard
wisata (tourism behaviour). Kesadaran tersebut (Standard Operating Procedure/SOP) dan fragmentasi.
tereprentasi dalam kecenderungan yang mendukung Dua aspek itulah yang jadi titik poin pembahasan ihwal
kebijakan pengembangan pariwisata, seperti bersikap struktur birokrasi di bagian ini.
ramah terhadap wisatawan, tidak melakukan hal yang Dalam penelitian diketahui bahwa tidak ada SOP
kontraproduktif dengan pengembangan wisata, dan yang baku untuk pelaksanaan kebijakan. Perda hanya
mampu memanfaatkan potensi wisata untuk kegiatan menjadi panduan umum tentang garis besar kebijakan.
ekonomi produktif. Temuan penelitian bahwa ada Padahal SOP berguna untuk menyeragamkan tindakan
perubahan negatif berupa perlakuan kurang meng- para pelaksana sehingga menjamin efektivitas pelak-
gembirakan kepada wisatawan di Kawah Ijen menjadi sanaan sebuah program/kebijakan. Meski demikian,
bukti bahwa kecenderungan sebagian warga belum menurut Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata,
mendukung kebijakan pengembangan pariwisata. penerapan SOP bergantung pada konteks. Dalam
Diteliti lebih lanjut, kecenderungan publik untuk birokrasi yang berkaitan dengan hal-hal yang berkaitan
menerima atau menolak perubahan di bidang pariwisata dengan hukum (formal) seperti bagian akuntansi
ini disebabkan oleh sejumlah faktor. Di antaranya pemerintahan, SOP menjadi hal yang sangat penting.
adalah faktor sosial-ekonomi, sikap pelaksana kebijak- Namun, di birokrasi yang menjadi ujung tombak
an sendiri yang dinilai kurang komunikatif, dan faktor kebijakan yang berkaitan dengan inovasi, SOP justru
kultural. bisa menghalangi kreativitas. Meski tidak ada SOP
Organisasi pelaksana kebijakan memahami secara formal, acuan pelaksanaan operasional dalam
bahwa untuk membentuk kecenderungan publik yang kebijakan pariwisata ada dalam berbagai dokumen hasil
mendukung tentu membutuhkan proses. Pembentukan koordinasi/rapat untuk implementasi kebijakan.
tourism behaviour membutuhkan waktu karena me- Dalam pelaksanaan kebijakan pengembangan
libatkan banyak pihak yang kompleks—dengan pariwisata, Pemkab Banyuwangi juga melibatkan
kepentingan politik dan bisnis masing-masing. Kepala banyak pihak. Kerja sama pengembangan pariwisata
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata memberi contoh Bali alam untuk penguatan organisasi penunjang telah
yang membutuhkan waktu ratusan tahun untuk bisa dilakukan. Di antaranya dengan adanya penanda-
membentuk kesadaran pariwisata seperti saat ini. tanganan Nota Kesepahaman antara Direktorat Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA)

767
Jejaring Administrasi Publik. Th VII. Nomor 2, Juli-Desember- 2015

Kementerian Kehutanan dan Pemkan Namuiwamho terjadi karena berbagai faktor. Hal ini sesuai yang
Nomor 188/815/429.012/2014 tentang Pengembangan dikatakan Mazmanian dan Sabatier bahwa variabel
Pariwisata Alam Kawah Ijen, Taman Nasional Alas lingkungan kebijakan dipengaruhi antara lain oleh
Purwo, Taman Nasional Meru Betiri, dan Kawasan dukungan dari badan/lembaga/otoritas atasan yang
Wisata Alam Lainnya. Seseuai dengan syarat kom- berwenang. Dalam skema van Meter dan van Horn
ponen pengembangan industri pariwisata, aspek (dalam Winarno, 2012: 166), implementasi kebijakan
kelembagaan berupa penataan organisasi pengelola dipengaruhi antara lain oleh variabel karakteristik
(ancillary) merupakan salah satu syarat di samping badan/organisasi pelaksana, yang di dalamnya terdiri
keberadaan atraksi, aksesibilitas, dan amenitas. atas unsur sumber-sumber politik suatu organisasi,
Untuk memperkuat struktur birokrasi, dalam misalnya dukungan kelompok legislatif. Hal ini
penelitian diketahui tentang urgensi bagi Banyuwangi berkonsekuensi pada pelibatan kelompok kepentingan
untuk segera membentuk Badan promosi Pariwisata dengan misinya masing-masing yang membuat
Daerah (BPPD). BPPD ini merupakan amanat dari implementasi kebijakan menjadi lebih kompleks.
Pasal 43 UU Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepari- Dengan pemaparan tersebut, sesuai kerangka
wisataan. Tidak hanya di tingkat kabupaten, di level yang dikembangkan Edwards, bisa disimpulkan bahwa
provinsi juga direkomendasikan. Adapun di tingkat struktur birokrasi di internal pemerintahan tidak
nasional ada Badan Promosi Pariwisata Indonesia. mengalami pemecahan atau fragmentasi, namun di
Keberadaan BPPD bisa mengoordinasikan semua gerak eksternal birokrasi terjadi fragmentasi. Dalam konteks
pengembangan pariwisata dengan lebih baik karena tersebut, penting untuk dilakukan monitoring dan
melibatkan banyak pihak. evaluasi yang dari sana semua pemangku kepentingan
Meski penting, pelibatan semakin banyak harus patuh pada hasil evaluasi serta menindaklanjuti
organisasi pelaksana lain (para pemangku kepentingan) semua rekomendasinya.
juga berisiko menyulitkan implementasi kebijakan.
Hogwood dan Gunn (dalam Wahab, 2004: 71-78)
menyatakan, salah satu syarat implementasi kebijakan Kesimpulan dan Saran
bisa lancar adalah jika hubungan ketergantungan
organisasi pelaksana dengan pihak lain tidak kompleks.
Apabila implementasi tersebut bergantung pada Sejumlah kesimpulan yang bisa diambil setelah tahap-
semakin banyak aktor/organisasi pelaksana—dengan tahap penelitian dilakukan adalah sebagai berikut:
segala kepentingan yang dibawanya, pelaksanaan
kebijakan akan semakin sulit dilakukan dengan baik. 1. Implementasi kebijakan pengembangan
Dilema itulah yang bisa bermuara pada pariwisata daerah dijalankan dengan leading
terjadinya fragmentasi, aspek kedua setelah prosedur sector Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dan
kerja menjadi poin penting pembahasan struktur organisasi pelaksana lain yang diajak bekerja
birokrasi. Fragmentasi timbul karena adanya konflik sama. Kebijakan pengembangan pariwisata di
kepentingan dan tekanan dari berbagai pihak terhadap Banyuwangi merupakan kebijakan yang di-
birokrasi, misalnya dari organisasi politik, lembaga integrasikan dengan pembangunan infrastruk-
swadaya masyarakat, atau badan pelaksana yang lain. tur, konsolidasi budaya, peningkatan kelesta-
Fragmentasi juga bisa timbul jika organisasi pelaksana rian lingkungan, dan penguatan citra daerah
terdiri atas banyak elemen. Antar-organisasi pelaksana (rebranding). Di dalam implementasi, terdapat
bisa terfragmentasi menyesuaikan dengan kepentingan sejumlah faktor yang bisa menghambat ke-
masing-masing. bijakan pengembangan pariwisata di Banyu-
Di internal birokrasi, fragmentasi bisa dihindari, wangi, yaitu:
sehingga tidak ada pemecahan koordinasi implementasi
kebijakan. Sekeras apa pun konflik kepentingan, masih a. Kurangnya sinergi (komunikasi) antar-
ada otoritas berjenjang yang bisa ‖mengendalikan‖, pemangku kepentingan sehingga dalam be-
mulai dari kepala dinas, asisten, hingga bupati. Dalam berapa konteks, implementasi kebijakan
penelitian ditemukan bahwa meskipun implementasi justru menghasilkan perubahan yang
kebijakan di lapangan melibatkan banyak organisasi/ negatif;
badan yang lain, seperti Dinas Pertanian, Dinas Pemuda b. Kompetensi pelaksana kebijakan yang
dan Olahraga, atau Dinas Pendidikan, puncak koor- masih kurang dalam menerjemahkan garis
dinasi dan pertanggungjawaban implementasi berada di besar kebijakan pengembangan pariwisata;
pihak Asisten yang ditugaskan oleh Bupati. c. Partisipasi masyarakat masih belum opti-
Namun, dalam relasi antar-aktor, fragmentasi mal karena pelaksana kebijakan belum
dengan para pemangku kepentingan yang lain tetap melibatkan publik secara substantif.

768
Jejaring Administrasi Publik. Th VII. Nomor 2, Juli-Desember- 2015

Meski terdapat sejumlah faktor penghambat, Dinamika Maritim, Vol. 2. No.1 September
terdapat faktor-faktor pendukung yang mendorong 2010 halaman 71-79
keberhasilan implementasi kebijakan pengembangan Arikunto, Suharsimi, 2002. Prosedur Penelitian: Suatu
pariwisata di Kabupaten Banyuwangi, yaitu: Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta
Anas, Abdullah Azwar, 2013. Ekowisata, Masa Depan
a. Komitmen para pemimpin politik di daerah Pariwisata Kita. Dimuat di Jawa Pos, 22 Mei
tersebut untuk mengembangkan pariwisata 2013
sangat tinggi, sehingga bisa menggerakkan Azwar, Saifuddin, 2004. Metode Penelitian, Yogya-
perangkat birokrasi sebagai sumber keku- karta, Pustaka Pelajar
asaan dan finansial untuk memacu berbagai Breugel, Liedewij van, 2013. Community Based
program pariwisata; Tourism: Local Participation and Perceived
b. Pengembangan pariwisata didukung oleh Impacts. Faculty of Social Sciences Radboud
sumberdaya dalam hal ini fasilitas yang University Nijmegen
baik terkait infrastruktur dan aksesibilitas, Bungin, Burhan, 2001. Metode Penelitian Kualitatif:
sehingga bisa menopang potensi wisata Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian
yang memang sudah sangat bagus; Kontemporer. Jakarta: Rajawali Press
-------------------, 2003. Analisis Data Penelitian
2. Kebijakan pengembangan pariwisata yang ideal Kualitatatif. Jakarta: Rajawali Pers
adalah model community based tourism dengan --------------------, 2014. Penelitian Kualitatif. Jakarta:
pelibatan komunitas lokal. Kencana Prenada
Danim, Sudarwan. 1997, Pengantar Studi Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian, penulis mengusul- Kebijakan, Jakarta, Bumi Aksara
kan rekomendasi kebijakan dalam kerangka besar Denzin, N. K, dan Lincoln, Y.S, 2009. Handbook of
Qualitative Research. Yogyakarta: Pustaka
kebijakan pengembangan pariwisata berbasis masyara-
Pelajar
kat (community based tourism) sebagai berikut:
Guzman, dkk., 2011. Community Based Tourism in
Developing Countries: A Case Study, dalam
1. Menyusun instrumen kebijakan khusus Jurnal Tourismos: An International Multi-
yang mengatur secara detil tentang penge- disciplinary Journal of Tourism, Volume 6,
lolaan per destinasi wisata. Kebijakan halaman 69-84
pengelolaan tidak digeneralisasi untuk Islamy, M. Irfan, 1997. Prinsip-prinsip Perumusan
semua destinasi mengingat setiap destinasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara
membutuhkan pendekatan yang unik. Di Jupir, Maksimilianus Maris, 2013. Implementasi
dalam kebijakan itu juga diatur skema Kebijakan Pariwisata Berbasis Kearifan Lokal:
sinergi antarorganisasi pelaksana secara Studi di Kabupaten Manggarai Barat. Dalam
lebih rapi agar tidak menimbulkan frag- Journal of Indonesian Tourism and Develop-
mentasi di kalangan birokrasi yang men- ment Studies Vol.1, No.1, Januari, 2013
jadi organisasi pelaksana (implementor). Kementerian Pariwisata dan WWF, 2009. Prinsip dan
2. Menyusun kebijakan peningkatan kualitas Kriteria Ekowisata Berbasis Masyarakat.
SDM pariwisata, baik dari sisi organisasi Jakarta: Kementerian Pariwisata
pelaksana maupun kelompok masyarakat Kusdi, 2009. Teori Organisasi dan Administrasi. Jakar-
yang menjadi penunjang pariwisata. ta: Penerbit Salemba Humanika
3. Mengembangkan kebijakan politik ang- Moleong, Lexy J, 2000. Metodologi Penelitian Kuali-
garan yang berpihak pada pengembangan tatif, Bandung: PT Remaja Rosdakarya
destinasi pariwisata. Muhadjir, 2003. Ilmu Pendidikan dan Perubahan
4. Membentuk Badan Promosi Pariwisata Sosial. Yogyakarta: Rake Sarasin
Daerah (BPPD) yang beranggotakan lintas Nasikun, 1999. Globalisasi dan Paradigma Baru
pemangku kepentingan pariwisata. Pembangunan Pariwisata Berbasis Komunitas.
Lokakarya Penataan Pariwisata Dalam Me-
nyongsong Indonesia Baru, diselenggarakan
Daftar Pustaka oleh DEPARI, Harian Suara Pembaharuan, dan
PUSPAR-UGM, Puncaka
Arieta, Siti, 2010. Community Based Tourism pada Nazir, M, 1985. Metodologi Penelitian. Jakarta: Galia
Masyarakat Pesisir: Dampaknya terhadap Indonesia
Lingkungan dan Pemberdayaan Ekonomi. Jurnal

769
Jejaring Administrasi Publik. Th VII. Nomor 2, Juli-Desember- 2015

Nugroho, Riant, 2009. Kebijakan Publik untuk Negara- Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Negara Berkembang. Jakarta: Gramedia Refornasi Birokrasi Nomor 10/2011
-------------------, 2011. Public Policy. Jakarta: Elex Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 13
Media Komputindo Tahun 2012 tentang Rencana Induk Pemba-
Pulzl, Helga dan Oliver Treib, 2015. Implementasi ngunan Kepariwisataan Kabupaten Banyuwangi
Kebijakan. Dalam Fischer (et.al). Handbook of (RIPKK)
Public Policy Analysis: Theory, Politics, and
Methods. Bandung: Nusa Media
Robbins, S, 1990. Organization Theory: Structure,
Design, and Applications. NY: Prentice-Hall
Sastrayuda, Gumelar S., 2010. Konsep Pemberdayaan
Masyarakat Berbasis Pariwisata. Handout mata
kuliah. Tanpa Penerbit
Suansri, Potjana, 2003. Community Based Tourism
Handbook. Thailand: REST Project
Subarsono, AG, 2005. Analisis Kebijakan Publik.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Suharno, 2010. Dasar-Dasar Kebijakan Publik: Kajian
Proses & Analisis Kebijakan. Yogyakarta:.
UNY Press
Thoha, Miftah, 2000. Peran Ilmu Administrasi dalam
Mewujudkan Tata Kepemerintahan yang Baik.
Orasi Ilmiah pada pembukaan kuliah Program
Pascasarjana UGM Tahun 2000/2001
Thoha, Miftah, 1990. Dimensi-Dimensi Prima Ilmu
Administrasi Negara. Jakarta: CV. Rajawali
Timothy, D. J, 1999. Participatory Planning: A View of
Tourism in Indonesia. Dalam Annals of Tourism
Research 26 (2), halaman 371-391
UNWTO Conference, 2007. Creating Competitive
Advantage for Your Destination.
Wahab, Solichin Abdul, 2002. Analisis Kebijaksanaan,
Jakarta: Bumi Aksara
Wibawa, Samudra, 1994. Kebijakan Publik: Proses dan
Analisis. Jakarta: PT Raja Grafindo
Winarno, Budi, 1989. Teori Kebijaksanaan Publik.
Yogyakarta: Pusat Antar Universitas Studi
Sosial, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta
Wood, Megan Epler, 2002. Ecotourism: Principles,
Practices and Policies for Sustainability.
Perancis: United Nations Environment Program-
me (UNEP)
Yoeti, H.O.A., 1996, Pengantar Ilmu Pariwisata.
Bandung: Penerbit Angkasa
Young, Eoin dan Lisa Quinn, 2002. Writing Effective
Public Policy Paper: A Guide of Advisers in
Central and Eastern Europe. Budapest: Local
Government and Public Service Reform
Initiative

Undang-Undang dan Peraturan

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang


Kepariwisataan

770

Anda mungkin juga menyukai