Anda di halaman 1dari 15

Konsil Kedokteran Indonesia

Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) berdasarkan UU no. 29 Tahun 2004 tentang praktik
Kedokteran, telah dibentuk untuk melindungi masyarakat penerima jasa pelayanan kesehatan
dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dari dokter dan dokter gigi, yang terdiri atas
Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi. KKI bertanggung jawab kepada Presiden
dan berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia.

KKI mempunyai fungsi pengaturan, pengesahan, penetapan, serta pembinaan dokter dan
dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran dalam rangka meningkatkan mutu
pelayanan medis.

KKI mempunyai tugas meregistrasi dokter dan dokter gigi, mengesahkan standar pendidikan
profesi dokter dan dokter gigi danP melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan praktik
kedokteran yang dilaksanakan bersama lembaga terkait sesuai dengan fungsi masing-masing.

Standar pendidikan profesi dokter dan dokter gigi yang disahkan Konsil ditetapkan
bersama oleh Konsil Kedokteran Indonesia dengan kolegium kedokteran, kolegium
kedokteran gigi, asosiasi institusi pendidikan kedokteran, asosiasi institusi pendidikan
kedokteran gigi, dan asosiasi rumah sakit pendidikan.

KKI mempunyai wewenang:

 menyetujui dan menolak permohonan registrasi dokter dan dokter gigi,


 menerbitkan dan mencabut surat tanda registrasi dokter dan dokter gigi,
 mengesahkan standar kompetensi dokter dan dokter gigi,
 melakukan pengujian terhadap persyaratan registrasi dokter dan dokter gigi,
 mengesahkan penerapan cabang ilmu kedokteran dan kedokteran gigi,
 melakukan pembinaan bersama terhadap dokter dan dokter gigi mengenai
pelaksanaan etika profesi yang ditetapkan oleh Organisasi Profesi,
 melakukan pencatatan terhadap dokter dan dokter gigi yang dikenakan sanksi oleh
organisasi profesi, atau perangkatnya karena melanggar ketentuan etika profesi.
Dalam pasal 1 angka 14 UU Praktik Kedokteran, MKDKI merupakan sebuah lembaga yang
memiliki fungsi dan tugas untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter
dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan
menetapkan sanksi.

Berdasarkan pasal 55 ayat 2 UU Praktik Kedokteran dijelaskan bahwa MKDKI merupakan


lembaga otonom yang dibentuk oleh pemerintah sebagai bagian dari Konsil Kedokteran
Indonesia (KKI). Lembaga ini juga bertugas untuk menentukan ada tidaknya kesalahan
penerapan disiplin ilmu kedokteran dan menjatuhkan sanksi atas itu.

BENTUK PELANGGARAN DISIPLIN KEDOKTERAN

1.Melakukan praktik kedokteran dengan tidak kompeten

2.Tidak merujuk pasien kepada dokter atau dokter gigi lain yang memiliki kompetensi lain
yang sesuai.

(rujukan bisa tidak dilakukan bila: kondisi pasien tidak memungkinkan untuk dirujuk,
keberadaan tenaga medis lain atau sarana kesehatan yang lebih tepat sulit dijangkau atau
didatangkan, atas kehendak pasien).

3.Mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu yang tidak memiliki


kompetensi untuk melaksanakan pekerjaan tersebut.

(delegasi kepada tenaga kesehatan harus sesuai kompetensi dan ketrampilan mereka,
tanggung jawab tetap pada dokter)

4.Menyediakan dokter atau dokter gigi pengganti sementara yang tidak memiliki kompetensi
dan kewenangan yang sesuai, atau tidak melakukan pemberitahuan perihal penggantian
tersebut.

5.Menjalankan praktik kedokteran dalam kondisi tingkat kesehatan fisik ataupun mental
sedemikian rupa sehingga tidak kompeten dan dapat membahayakan pasien.
6.Dalam penatalaksanaan pasien, melakukan yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak
melakukan yang seharusnya dilakukan, sesuai dengan tanggung jawab profesionalnya, tanpa
alasan pembenar atau pemaaf yang sah, sehingga dapat membahayakan pasien.

7.Melakukan pemeriksaan atau pengobatan berlebihan yang tidak sesuai dengan kebutuhan
pasien.

8.Tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis dan memadai (adequate information) kepada
pasien atau keluarganya dalam melakukan praktik kedokteran.

9.Melakukan tindakan medik tanpa memperoleh persetujuan dari pasien atau keluarga dekat
atau wali atau pengampunya.

10.Dengan sengaja, tidak membuat atau menyimpan rekam medik, sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan atau etika profesi.

11.Melakukan perbuatan yang bertujuan untuk menghentikan kehamilan yang tidak sesuai
dengan ketentuan, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dan etika
profesi.

12.Melakukan perbuatan yang dapat mengakhiri kehidupan pasien atas permintaan sendiri
dan atau keluarganya.

(dalam kondisi sakit terminal, dimana upaya kedokteran kepada pasien merupakan kesia-
siaan/futile menurut state of the art ilmu kedokteran, maka dengan persetujuan pasien dan
atau keluarga dekatnya, dokter dapat menghentikan pengobatan, akan tetapi dengan tetapi
memberikan perawatan yang layak )

13.Menjalankan praktik kedokteran dengan menerapkan pengetahuan atau ketrampilan atau


teknologi yang belum diterima atau di luar tatacara prektik kedokteran yang layak.

14.Melakukan penelitian dalam praktik kedokteran dengan menggunakan manusia sebagai


subjek penelitian, tanpa memperoleh persetujuan etik dari lembaga yang diakui pemerintah.

15.Tidak melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, padahal tidak


membahayakan dirinya, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu
melakukannya.
16.Menolak atau menghentikan tindakan pengobatan terhadap pasien tanpa alasan yang layak
dan sah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan atau etika profesi.

(alasan dokter atau dokter gigi untuk menolak atau mengakhiri pelayanan kepada pasien:
pasien melakukan intimidasi kepada dokter, pasien melakukan kekerasan kepada dokter,
pasien berperilaku merusak hubungan saling percaya tanpa alasan)

17.Membuka rahasia kedokteran, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan


atau etika profesi.

(alas an pembenaran: permintaan MKDKI, Majelis hakim dalam sidang pengadilan, sesuai
peraturan perundang-undangan)

18.Membuat keterangan medic yang tidak didasarkan kepada hasil pemeriksaan yang
diketahuinya secara benar dan patut.

19.Turut serta dalam perbuatan yang termasuk tindakan penyiksaan (torture) atau eksekusi
hukuman mati.

20.Meresepkan atau memberikan obat golongan narkotika, psikotropika dan zat adiktif
lainnya (NAPZA) yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan etika profesi.

21.Melakukan pelecehan seksual, tindakan intimidasi atau tindakan kekerasan terhadap


pasien di tempat praktek.

22.Menggunakan gelar akademik atau sebutan profesi yang bukan haknya.

23.Menerima imbalan sebagai hasil dari merujuk atau meminta pemeriksaan atau
memberikan resep obat/ alat kesehatan.

24.Mengiklankan kemampuan/ pelayanan atau kelebihan kemampuan/ pelayanan yang


dimiliki, baik lisan ataupun tulisan, yang tidak benar atau menyesatkan

25.Ketergantungan pada narkotika, psikotropika, alcohol serta zat adiktif lainnya.

26.Berpraktik dengan menggunakan Surat Tanda Registrasi (STR) atau Surat Ijin Praktik
(SIP) dan/ atau sertifikat yang tidak sah.
27.Ketidakjujuran dalam menentukan jasa medic.

28.Tidak memberikan informasi, dokumen dan alat bukti lainnya yang diperlukan MKDKI
untuk pemeriksaan atas pengaduan dugaan pelanggaran disiplin.

Tugas MKEK itu sendiri salah satunya dapat kita lihat dalam Pasal 6 ayat (4) Pedoman MKEK, yaitu
melalui divisi kemahkamahan sesuai yurisdiksinya sebagai lembaga etika yang memeriksa, menyidangkan,
membuat putusan setiap konflik etikolegal yang berpotensi sengketa medikdi antara perangkat dan jajaran IDI
dan setiap sengketa medik antara dokter pengadunya yang belum atau tidak ditangani oleh Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia.

Lebih lanjut disebutkan bahwa tugas MKEK Wilayah yang disebut dalam Pedoman MKEK antara lain adalah
MKEK Wilayah merupakan putusan tingkat pertama yang para pihak dapat mengajukan banding ke MKEK
Pusat [Pasal 6 ayat (8) Pedoman MKEK] dan melakukan penelaahan terhadap dugaan pelanggaran etik
kedokteran tahap pertama [Pasal 23 ayat (3) Pedoman MKEK].

Guna menyederhanakan jawaban kami, berikut kami sebutkan tugas-tugas MKEK. Seperti yang kami sebutkan
di atas, karena pada dasarnya MKEK Wilayah itu memiliki fungsi untuk melaksanakan tugas MKEK juga
(namun di wilayah provinsi), maka MKEK Wilayah juga melaksanakan tugas, antara lain:
a. Secara umum menyampaikan pertimbangan pelaksanaan etika kedokteran dan usul secara lisan dan tertulis,
diminta atau tidak diminta kepada pengurus IDI setingkat (Pasal 9 angka 1 Pedoman MKEK).
b. Ikut mempertahankan hubungan dokter dan pasien sebagai hubungan kepercayaan (Pasal 10 ayat (1)
Pedoman MKEK).
c. Membantu penyelenggaraan uji kompetensi khusus bidang etika kedokteran oleh perangkat dan jajaran IDI
yang setingkat maupun oleh institusi kedokteran lain yang memerlukannya (Pasal 10 ayat (4) Pedoman
MKEK).
d. Membantu IDI yang setingkat dalam menyelesaikan dan menyidangkan kasus status keanggotaan organisasi
profesi dokter (Pasal 10 ayat (6) Pedoman MKEK).
e. Bertanggung jawab dalam menjabarkan kebijakan dan garis-garis besar program pembinaan etika kedokteran
seluruh Indonesia dan mengkoordinasikannya untuk tingkat provinsi (Pasal 18 ayat (2) Pedoman MKEK

Tugas MKDKI
Selanjutnya kami akan jelaskan soal MKDKI. MKDKI adalah lembaga yang berwenang untuk menentukan ada
tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan
kedokteran gigi, dan menetapkan sanksi (lihat Pasal 1 angka 14 UU Praktik Kedokteran). Untuk menegakkan
disiplin dokter dan dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran, dibentuk MKDKI (Pasal 55 ayat (1)
UU Praktik Kedokteran).

Jadi, dari penjelasan di atas bisa kita ketahui bahwa MKEK memiliki tugas menegakkan etika profesi
kedokteran, sedangkan MKDKI memiliki tugas menentukan ada tidaknya kesalahan penerapan disiplin ilmu
kedokteran dan menjatuhkan sanksi atas itu.

Di samping itu, di atas telah disebut bahwa MKEK merupakan badan otonom IDI, sedangkan MKDKI
merupakan lembaga otonom Konsil Kedokteran Indonesia (“KKI”). Hal ini disebut dalam Pasal 55 ayat (2) UU
Praktik Kedokteran.

Lalu apa tugas MKDKI itu? Menjawab pertanyaan Anda, dapat dilihat dalam Pasal 64 UU Praktik
Kedokteran:

Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia bertugas:


a. menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter dan dokter
gigi yang diajukan; dan
b. menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter atau dokter gigi.

Nantinya, MKDKI memeriksa dan memberikan keputusan terhadap pengaduan yang berkaitan dengan disiplin
dokter dan dokter gigi (Pasal 67 UU Praktik Kedokteran). Adapun keputusan MKDKI itu sifatnya mengikat
dokter, dokter gigi, dan KKI yang isinya dapat berupa dinyatakan tidak bersalah atau pemberian sanksi disiplin.
Sanksi disiplin itu dapat berupa (Pasal 69 UU Praktik Kedokteran):
a. pemberian peringatan tertulis;
b. rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik; dan/atau
c. kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi.

Lebih dari pada itu, guna menambah referensi untuk Anda, sebagaimana yang kami jelaskan di atas tentang
tugas MKDKI yang khusus memeriksa pengaduan terkait disiplin dokter dan dokter gigi, maka dasar acuan
aturan disiplin yang dimaksud adalah Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 4 Tahun 2011
tentang Disiplin Profesional Dokter Dan Dokter Gigi (“Peraturan KKI 4/2011”) yang kami akses dari
laman resmi Konsil Kedokteran Indonesia.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran;
2. Pedoman Organisasi dan Tatalaksana Kerja Majelis Kehormatan Etika Kedokteran Indonesia;
3. Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 tenang Disiplin Profesional Dokter Dan
Dokter Gigi.

).

Jurnal

Home > Vol 1, No 2 (2016) > Sukohar

Peran Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia (MKEK) dalam


Pencegahan dan Penyelesaian Malpraktek Kedokteran

Asep Sukohar, Novita Carolia

Kode Etik Kedokteran Gigi Indonesia menjadi landasan kehidupan dan landasan
dalam melaksanakan perkerjaan profesi. Pada hakikatnya fungsi dan tanggung jawab dokter
gigi telah diatur dengan peraturan perundang-undangan, antara lain:
1. Undang-undang no. 9 tahun 1960 tentang pokok-pokok kesehatan
2. Peraturan Pemerintah no. 36 tahun 1984 tentang pendaftaran ijazah dan pemberian
ijinmenjalankan pekerjaan dokter/dokter gigi/apoteker.
3. Peraturan Pemerintah no.1 tahun 1988 tentang masa bakti dan praktik dokter dan dokter
gigi
4. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 385/Menkes/Per/VI/1988 tentang pelaksanaan
masabakti dan izin praktik bagi dokter dan dokter gigi. Dengan demikian telah jelas pula
arahorganisasi profesi dalam mencapai tujuannya serta melakukan usaha-usahanya.
5. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 585/1989 tentang persetujuan tindakan medik.
6. Undang-undang RI No. 23/1992 tentang kesehatan.
7. Peraturan Pemerintah no. 33 tahun 1963 tentang Lafal Sumpah/ Janji dokter gigi.
Secara keseluruhan, petunjuk dalam Kode Etik Kedokteran Gigi Indonesia
menganjurkan tindakan jujur baik terhadap pasien, maupun terhadap teman
sejawatnya.Tindakan di atas tidak dapat terlaksana tanpa ketaqwaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa yang merupakan sila pertama Pancasila. Mengawali rincian yang menyangkut
hubungan dengan pasien, masyarakat, dan teman sejawat, dalam mukadimahnya
dikemukakan inti sari dari Kode Etik yang menyatakan bahwa para dokter gigi wajib
melakukan pekerjaan di bidang keahliannya dengan sikap dan tindakan yang terpuji.
Etik Kedokteran Gigi Indonesia wajib dihayati dan diamalkan oleh setiap Dokter Gigi
di Indonesia. Pengingkaran terhadapnya akan menyebabkan kerugian baik bagi masyarakat
maupun bagi dokter gigi sendiri. Akibat yang paling tidak dikehendaki adalah rusaknya
martabat dan tradisi luhur profesi kedokteran gigi yang harus dijaga bersama. Oleh karena itu
semua dokter gigi di Indonesia bersepakat, bagi dokter gigi yang melanggar Kodekgi wajib
ditindak dan diberi hukuman sesuai dengan tingkat kesalahannya.

Sanksi pelanggaran etik diantaranya:


1. Peringatan kepada dokter/dokter gigi agar dapat memperbaiki, bersikap lebih baik, dan
profesional dalam menjalankan profesinya.
2. Teguran dikeluarkan dari anggota profesi apabila pelanggaran etik yang dilakukan
dokter/dokter gigi dianggap sudah berat/melampaui batas pelanggaran etik.
Sanksi Pidana bagi Dokter atas Pelanggaran Rahasia Kedokteran

Masalah sanksi merupakan hal yang sentral dalam hukum pidana


karena seringkali menggambarkan nilai –nilai sosial budaya bangsa .
Artinya , pidana mengandung tata nilai ( value ) dalam suatu masyarakat
mengenai apa yang amoral serta apa yang diperbolehkan dan apa yang
dilarang .Disamping keberadaannya telah menjadi kecenderungan
internasional , sistem pemidanaan yang bertolak dari ide individualisasi
pidana ini merupakan hal yang harus diperhatikan sehubungan dengan
pendekatan humanistik dalam penggunaan sanksi pidana untuk tujuan
perlindungan masyarakat ( social defence ) .Ide menyangkut konsepsi
social defence tersebut ternyata diterima oleh ahli hukum pidana di
Indonesia , terbukti dalam

A.Kesimpulan seminar Kriminologi ke –3 Tahun 1976 yang


menyatakan bahwa :“ Hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai
salah satu sarana untuk social defence dalam arti melindungi masyarakat
terhadap kejahatan dengan memperbaiki atau memulihkan kembali
(rehabilitate) si pembuat tanpa mengurangi keseimbangan kepentingan
perorangan ( pembuat ) dan masyarakat ”.

B.Salah satu laporan dari simposium Pembaharuan Hukum Pidana


Nasional Tahun 1980 yang menyatakan bahwa :Sesuai dengan politik
hukum pidana , maka tujuan pemidanaan harus diarahkan kepada
perlindungan masyarakat dari kesejahteraan serta keseimbangan dan
keselarasanhidup dalam masyarakat / Negara , korban dan pelaku .-Atas
dasar tujuan tersebut , maka pemidanaan harus mengandung unsur –unsur
yang bersifat :
1.Kemanusiaan dalam arti bahwa pemidanaan tersebut , menjunjung
tinggi harkat dan martabat seseorang .

2.Edukatifdalam arti bahwa pemidanaan itu mampu membuat orang


sadar sepenuhnya atas perbuatan yang dilakukan dan menyebabkan ia
mempunyai sikap jiwa yang positif dan konstruktif bagi usaha
penaggulangan kejahatan .

3.Keadilan , dalam arti bahwa pemidanaan tersebut dirasakan adil (


baik oleh terhukum maupun oleh korban ataupun oleh masyarakat ) 11

Perundang –undangan kita tidak memuat sesuatu peraturan tentang


hal ini. Karena itu dianggap , bahwa hukum kita tidak mengadakan
perbedaan antara kekuatan pembuktian dari keterangan –keterangan saksi
yang mempunyai dan yang tidak mempunyai rahasia jabatan atau
pekerjaan . Juga kalau dianggap bahwa bagi wajib penyimpan rahasia
tidak ada alasan sama sekali untuk tidak menggunakan hak tolaknya dan ia
dengan membuka rahasianya kemudian oleh hakim pidana dihukum
karena disalahkan telah melanggar Pasal 322 KUHP , atau kesediaan untuk
memberi kesaksian tidak dibenarkan oleh hakim disipliner , keterangan –
keterangan yang diberikan sebagai saksi ahli .Dalam praktek , hakim
hanya akan menyalahkan dan menghukum seorang karena melanggar
Pasal 322 tersebut , sewenang –wenang . Kalau wajib penyimpan rahasia
dengan sungguh –sungguh telah membandingkan dan menimbang berat
ringannya kepentingan –kepentingan yang saling bertentangan sebelum
memutuskan untuk memberi kesaksian , maka hakimtidak akan
menghukum terdakwa. Menentukan kepentingan mana yang lebih berat
yang tidak jarang bagi yang bersangkutan merupakan konflik moril hampir
selalu banyak sedikit dilakukan secara subjektif , sehingga penilaian
kepentingan –kepentingan itu oleh orang yang satu dapat berbeda dengan
penilaian oleh orang yang lain .Menggunakan sebagai bukti “ sah ”
keterangan seorang saksi , yang kemudian oleh hakim dinyatakan sebagai
kesaksian seorang wajib penyimpanrahasia pekerjaan yang diberikan
dengan melanggar rahasia pekerjaan itu , tidak dapat dikatakan logis .
Lembaga “ penolakan saksi ” tidak terdapat lagi dalam undang –undang
kita dan dahulu lembaga tersebut juga tidak mengenai wajib penyimpan
rahasia jabatan atau pekerjaan , sehingga “ penolakan ” yang dimaksud di
atas tidak mungkin .Berkaitan dengan Rahasia Kedokteran, Pasal 322
KUHP menyebutkan :

1.Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib


disimpannya karena jabatan atau pekerjaannya, baik yang sekarang
maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama
sembilan bulan atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah.

2.Jika kejahatan itu dilakukan terhadap seseorang tertentu, maka


perbuatan itu hanya dapat dituntut atas pergaulan orang itu

Menurut Undang –Undang RI NO. 29 Tahun 2004 tentang


Praktik Kedokteran . Pasal 4 berbunyi demikian :

1.Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik


kedokteran wajib menyimpan rahasia kedokteran.2Rahasia kedokteran
dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien , memenuhi
permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum ,
permintaan pasien sendiri , atau berdasarkan ketentuan perundang –
undangan
3.Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan
Peraturan Menteri .

-Sanksi

1.Sanksi terhadap pelanggaran dari hukum diterapkan oleh penguasa


(orang atau lembaga yang memegang kekuasaan)

2.Sanksi terhadap pelanggaran dari etika diterapkan oleh masyarakat

-Tujuan Pengaturan

1.Tujuan pengaturan hukum adalah membentuk masyarakat


yang ideal

2.Tujuan dari pengaturan etika adalah membentuk manusia


yang ideal
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga mengingatkan bahwa yang berhak mengobati
adalah ahli profesi kedokteran dengan standar kedokteran. Beliau bersabda:

‫امن‬
ِ ‫ض‬َ ‫َّب َو ََل يُ ْعلَ ُم ِم ْنهُ ِطبٌّ فَ ُه َو‬
َ ‫طب‬َ َ ‫َم ْن ت‬

“Barangsiapa berpraktik kedokteran padahal ia belum dikenal menguasai ilmu


kedokteran, maka ia harus bertanggung jawab (atas perbuatannya, pen).” (HR. Abu
Dawud: 3971, Ibnu Majah: 3457 dan an-Nasai: 4748 dari Amr bin Syuaib dari ayahnya dari
kakeknya dan di-shahih-kan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak: 7484 (4/236) serta
disepakati oleh adz-Dzahabi. Al-Albani meng-hasan-kannya dalam Silsilah ash-Shahihah:
635).

Al-Allamah ash-Shan’ani rahimahullah berkata:

‫الحديث دليل على تضمين المتطبب ما أتلفه من نفس فما دونها سواء أصاب بالسراية أو المباشرة وسواء كان عمدا أو خطأ‬
‫وقد ادعي على هذا اإلجماع‬

“Hadits ini menunjukkan bahwa seorang dokter harus bertanggung jawab atas perbuatannya
yang merusakkan nyawa atau yang di bawahnya (seperti anggota tubuh, pen). Baik ia
bertindak langsung terhadap pasiennya atau ia hanya memerintahkan dan menasehatkan saja
(melalui perawat atau lainnya, pen). Baik secara sengaja atau tidak sengaja. Dan ini diakui
oleh ijma’ (kesepakatan ulama, pen).” (Subulus Salam: 3/250).

Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata:

‫وجملة ذلك أن هؤَلء إذا فعلوا ما أمروا به لم يضمنوا بشرطين (أحدهما) أن يكونوا ذوي حذق في صناعتهم َلنه إذا لم يكن‬
‫ وقد قال النبي صلى هللا عليه‬،‫كذلك لم تحل له مباشرة القطع فإذا قطع مع هذا كان فعال محرما فضمن سرايته كالقطع ابتداء‬
.‫وسلم ” من تطبب بغير علم فهو ضامن ” رواه أبو داود (والثاني) أن َل تجني أيديهم فيتجاوزوا ما ينبغي أن يقطع‬

“Secara global mereka (para dokter) jika bertindak sesuai yang diperintahkan tidak
bertanggung jawab atas kerusakan yang ditimbulkan dengan 2 syarat:

Pertama: mereka memiliki kompetensi di dalam profesinya, karena jika tidak demikian,
maka tidak halal baginya melakukan tindakan pemotongan organ. Maka jika melakukannya
tanpa kompetensi maka itu termasuk perbuatan haram. Maka tanggung jawab atas perintah
atau nasehat yang salah adalah seperti melakukan tindakan secara langsung. Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa berpraktik kedokteran padahal ia
belum dikenal menguasai ilmu kedokteran, maka ia harus bertanggung jawab (atas
perbuatannya, pen).” (HR. Abu Dawud).

Kedua: perbuatan mereka tidak melampaui batas yang diperkenankan (baik menurut standar
profesi atau atas seijin pasien atau walinya, pen).” (Asy-Syarhul Kabir: 6/124).

Al-Allamah al-Munawi rahimahullah berkata:

‫وشمل الخبر من طب بوصفه أو قوله‬

“Hadits ini meliputi orang yang berpraktik kedokteran dengan sifatnya atau ucapannya.”
(Faidlul Qadir: 6/137-8). Sehingga hadits ini meliputi dokter umum yang berpraktik
pengobatan primer, dokter spesialis yang menyelenggarakan pengobatan sekunder, dokter
gigi yang menyelenggarakan praktik pengobatan gigi, bidan yang melakukan praktik
kebidanan serta perawat yang berpraktik keperawatan.

Al-Allamah Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata:

.‫ وهللا أعلم‬.ً‫ أن صناعة الطب من العلوم النافعة المطلوبة شرعا ً وعقال‬:‫ويستدل بهذا على‬

“Dan diambil dalil dari hadits ini bahwa profesi kedokteran termasuk ilmu yang
bermanfaat secara syar’i dan akal. Wallahu a’lam.” (Bahjatu Qulubil Abrar wa Qurratu
Uyunil Akhyar: 159).

A. Adab Dokter Terhadap Allah Sebagai Pencipta

1. Beriman

Sebab tanpa iman segala amal saleh sebagai dokter dan tenaga para medis akan hilang
sia-sia di mata Allah.

Dalilnya Surat Al-‘Ashri:

“Demi masa, Sesungguhnya manusia selalu dalam kerugian, Selain mereka yang beriman,
Dan berbuat amal shaleh, Dan nasehat-nasehati dengan kebenaran,Dan naseha-nasehati
dengan kesabaran” (QS. Al-ashr: 1-3)

2. Tulus-ikhlas karena Allah.

“Mereka hanya diperintahkan untuk mengabdikan diri kepada Allah dengan ikhlas, lurus
mengerjakan agama, karena Dia. (QS. Al Bayyinah : 5)

B. Adab Terhadap Diri Sendiri

1. Berkeyakinan atas Kehormatan Profesi.

Bahwa profesi kedokteran adalah salah satu profesi yang sangat mulia tetapi tergantung
dengan dua syarat , yaitu :

 Dilakukan dengan sungguh sungguh dan penuh kaikhlasan .


 Menjaga akhlak mulia dalam perilaku dan tindakan tindakannya sebagai dokter .

Seorang dokter diberi amanah untuk menjaga kesehatan yang merupakan karunia Tuhan yang
paling berharga bagi manusia, sebagaimana dinyatakan dalam hadist Nabi yang berarti:
”Mohonlah kepada Allah kesehatan, sebab tidak ada sesuatupun yang dianugerahkan
kepada hambaNya yang lebih utama dari kesehatan. (HR Ahmad al- Turmudzi , dan Ibn
Majah

Anda mungkin juga menyukai