Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tabel 1.1 Faktor Resiko Tuberculosis Paru

No Faktor Resiko TuberkulosisParu


1 Kepadatan Hunian
2 Kondisi Rumah Terdiri dari :
1. Bahan Bangunan memenuhi syarat
2. Ventilasi Cukup
3. Kelembaban
4. Pencahayaan
5. Luas Bangunan
6. Lingkungan Rumah
7 Sosial Ekonomi

Penyakit Tuberkulosis (TBC) merupakan salah satu masalah utama kesehatan

masyarakat di Indonesia. Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)

tahun 1995 menunjukkan bahwa penyakit TBC merupakan penyebab kematian nomor

tiga setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernapasan pada semua

kelompok usia, dan nomor satu setelah penyakit infeksi. Pada tahun 1993, WHO

memperkirakan di Indonesia Setiap tahun terjadi 583.000 kasus baru TBC dengan

Kematian Sekitar 140.000 dan secara kasar diperkirakan setiap 100.000 pendudukan

Indonesia terdapat 130 penderita baru TBC Basil Tahan Asam (BTA) positif (Depkes RI,

2008).

Menurut hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 TBC di

Indonesia merupakan penyebab kematian ketiga terbesar setelah penyakit cardiovascular

1
yang merupakan penyakit nomor satu terbesar dalam kelompok penyakit infeksi.

Kemataian akibat TBC pada wanita lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan,

persalinan, dan nifas. Setiap tahun terjadi 583.000 penderita baru dan kematian karena

TBC sekitar 140.000. Selain itu setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 130

penderita TBC dengan BTA (+) (Barmawi, 2004).

Pada tahun 2005 Indonesia telah berhasil mancapai angka kesembuhan sesuai

dengan target global yaitu sebesar 85% yang tetap dipertahankan dalam lima tahun terakhir

ini. Penemuan kasus TBC di Indonesia pada tahun 2005 baru mencapai angka 67%. Angka

ini belum mencapai target yang diharapkan yaitu sebesar 70%, tapi angka penemuan kasus

TBC mengalami peningkatan hingga melewati target yang diharapkan yaitu sebesar 76%

pada tahun 2006 (Depkes RI, 2007).

Target yang digunakan dalam penanggulangan TBC di Indonesia mengacu pada

target global penanggulangan TBC yang ditentukan oleh The Global Plant to Stop TBC dari

inisiatif stop TBC partnership dengan bantuan WHO antara lain pertama, pada akhir tahun

2005–2015 diharapkan tingkat penemuan kasus mencapai 70%. Kedua, pada tahun 2015

prevalensi dan kematian akibat TBC berkurang hingga 50% dibanding tahun 1990. Ketiga,

pada tahun 2050 TBC tidak lagi menjadi masalah kesehatan dunia.(Basri, 2007).

Di Propinsi Bengkulu pada tahun 2008 ditemukan kasus TBC sebanyak 1.276

orang dengan BTA (+) suspek 15.760 orang, sembuh 92,6%, angka konversi 85%, TBC

BTA (-) 238 orang, TBC anak 149 orang dan yang meninggal 19 orang. Sedangkan

tahun 2009 sebanyak 1.587 orang dengan BTA (+) suspek 19.965 orang, angka konversi

78%, TBC BTA (-) 271 orang, TBC anak 102 orang dan yang meninggal 7 orang.

Kejadian TBC yang ditunjukkan dengan angka prevalensi rate belum terlihat adanya

penurunan yang sangat berarti. Apabila dilihat perkembangan tiap tahunnya penyakit
TBC termasuk penyakit menular yang masih banyak di derita oleh masyarakat Bengkulu

(Dinas Kesehatan Propinsi Bengkulu, 2009).

Berdasarkan Laporan Penyelenggaraan program penanggulangan penyakit

Tuberkulosis tahun 2011 di Kabupaten Kepahiang dengan kasus sebanyak 106 orang

dengan TBC. (Dinkes Kepahiang, 2010).

Rata-rata Penderita Penyakit TBC yang sudah terdaftar di Poskesdes, belum

mengetahui secara pasti tentang penyakit yang sedang dideritanya, biasanya penderita

tuberkulosis merujuk ke Puskesmas (Pusat Pelayanan Kesehatan), terlebih dahulu

mereka berobat ke dukun atau pengobatan alternatif, setelah kondisi penyakit yang

diderita bertambah parah barulah datang ke Puskesmas (Pusat Pelayanan Kesehatan).

Dari data di atas peneliti akan meneliti tentang ”Hubungan faktor resiko dengan

kejadian penyakit TBC di Kabupaten Kepahiang Tahun 2012”

1.2. Perumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah penelitian yang

diangkat adalah apakah terdapat hubungan Faktor Resiko dengan kejadian penyakit TBC

di Kabupaten Kepahiang Tahun 2012

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1. Tujuan umum
Tujuan umum penelitian ini untuk mengetahui hubungan Faktor Resiko dengan

kejadian penyakit TBC di Kabupaten Kepahiang Tahun 2012.

1.3.2. Tujuan khusus

1.3.2.1. Diketahui Proporsi Karakteristik Responden (Umur, jenis kelamin,

Pendidikan, Pengetahuan dan sosial ekonomi) Penderita TBC di

Kabupaten Kepahiang
1.3.2.2. Diketahui distribusi kejadian TBC di Kabupaten Kepahiang

1.3.2.3. Diketahui Proporsi Faktor resiko (Ventilasi, kepadatan, kelembaban,

riwayat penularan, IMT) Penderita TBC di Kabupaten Kepahiang

1.3.2.4. Diketahui hubungan antara ventilasi rumah dengan kejadian TBC di

Kabupaten Kepahiang.

1.3.2.5. Diketahui hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian TBC di

Kabupaten Kepahiang

1.3.2.6. Diketahui hubungan antara kelembaban dengan kejadian TBC di

Kabupaten Kepahiang.

1.3.2.7. Diketahui hubungan antara riwayat penularan dengan kejadian TBC di

Kabupaten Kepahiang.

1.3.2.8. Diketahui hubungan antara IMT dengan kejadian TBC di Kabupaten

Kepahiang

1.4. Manfaat Penelitian


1.4.1. Manfaat Bagi Dinas Kesehatan
Dapat memberikan informasi dan masukan bagi perencanaan program pada

dinas kesehatan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan

kejadian penyakit TBC di Kabupaten Kepahiang Tahun 2012.


1.4.2. Manfaat Bagi Puskesmas

Hasil penelitian ini digunakan sebagai masukan bagi bidang keperawatan

dalam menerapkan asuhan keperawatan di Puskesmas-puskesmas

sekabupaten Kepahiang.

1.4.3. Manfaat Bagi Peneliti Selanjutnya


Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi dan masukan untuk

melanjutkan pengembangan penelitian tentang faktor resiko yang

berhubungan dengan kejadian penyakit TBC di Kabupaten Kepahiang.

1.5. Keaslian Penelitian

No Nama Judul/Tahun Metode Hasil


1 Hariza Adnani Hubungan Kondisi Desain : Case Hasil analisa bivariat

dan Asih Rumah dengan control menunjukkan sebagian

Mahastuti penyakit TBC Paru di Sampel : 44 besar responden memiliki

wilayah kerja rumah rumah yang tidak sehat

Puskesmas Karang Waktu/Tempat : yaitu sekitar 75% pada

Mojo II Kab. Gunung Karang Mojo II kelompok kasus 45 rumah

Kidul Tahun 2003 - Analisis : Chi- dan kelompok control 26

2006 Square rumah.


2 Rusnoto, Pasihan Faktor-faktor yang Desain : Case Hasil uji analisa regresi

Rahmatullah, Ari berhubungan dengan control terdapat 5 Variabel yang

Udiono TB paru pada usia Sampel : 106 berhubungan secara

dewasa (Studi kasus Sampel bersama-sama terhadap

di balai pencegahan Waktu/tempat : kejadian TB paru pada usia

dan pengobatan BP4 Pati dewasa.

penyakit paru Pati) Analisis : Uji X2

tahun 2003 - 2006 Chi Square dan

Regresi
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Teori

2.1.1 Kuman Mycobacterium Tuberculosis


Mycobacterium Tuberculosis adalah basil tahan asam, berbentuk batang, lurus,

atau tegak bengkok, dengan ukuran 1- 4 µm x 0,3 – 0,6 µm, tidak bergerak. Basil ini

tumbuh lambat (15-20 jam), obligat aerob, tidak berspora. Suhu optimum

pertumbuhannya 37 º, suasana pH 6,4 – 7,0. Spesies lain kuman ini yang dapat

memberikan infeksi pada manusia adalah Mycobacterium bovis, Mycobacterium

kansasii, Mycobacterium intracellulare. Sebagian besar kuman terdiri dari asam lemak

(lipid). Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam dan tahan terhadap

gangguan kimia dan fisik (Bahar, 1997).

Kuman dapat hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin (dapat

tahan bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat

dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan

tuberculosis aktif lagi. Dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intra selular yakni

dalam sitoplasma makrofag. Makrofag yang semula memfagositasi malah kemudian

disenanginya karena banyak mengandung lipid. Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat

ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan

oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian apical paru-paru lebih tinggi

daripada bagian lain, sehingga bagian apical ini merupakan tempat predileksi penyakit

tuberkulosis (Bahar, 1997).

Penyakit tuberkulosis paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh

bakteri Mycrobakterium Tuberkulosis dan dapat menyerang semua golongan umur yang

sehat mulai, bayi, anak-anak sampai dewasa. Penyakit ini juga merupakan penyebab

kematian dan telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia (Depkes RI, 2002).

2.1.2 Cara Penularan Kuman Tuberculosis Paru


Sumber penularan adalah penderita TBC BTA positif. Pada waktu batuk atau

bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak).

Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama

beberapa jam. Orang yang terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran

pernafasan. Setelah kuman TBC masuk ke dalam pernafasan, kuman tersebut dapat

menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem

saluran limfe, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian tubuh lainnya. Daya

penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan

dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak makin menular

penderita tersebut (Depkes RI, 2008).

Menurut Depkes RI (2008), penderita menular ialah penderita TB paru yang

dalam dahaknya terdapat “Mycobacterium tuberculosis” dan ditemukan dalam

masyarakat.

Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita TBC,

hanya sekitar 10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita TBC. Dari

keterangan tersebut di atas, dapat diperkirakan bahwa pada daerah dengan resiko

penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection =ARTI) 1%, maka

diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 100 (seratus) penderita tuberkulosis setiap

tahun, dimana 50 penderita adalah BTA positif (Depkes RI, 2008).

2.1.3. Gejala - Gejala Tuberkulosis

2.1.3.1. Gejala utama

Batuk terus menerus dan berdahak selama 3 (tiga) minggu atau lebih.

2.1.3.2. Gejala tambahan, yang sering dijumpai:

1. Dahak bercampur darah.


2. Batuk darah

3. Sesak nafas dan rasa nyeri dada.

4. Badan lemah, nafsu makan menerun, berat badan turun, rasa kurang enak

badan (malaise) berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan, demam

meriang lebih dari sebulan.

Gejala-gejala tersebut di atas dapat dijumpai pula pada penyakit paru

selain tuberkulosis. Oleh sebab itu setiap orang yang datang ke UPK dengan

gejala tersebut di atas, harus dianggap sebagai seorang tersangka (suspek)

pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis

langsung (Depkes RI, 2008).

2.1.4. Penegakan Diagnosa

Diagnosis TBC Paru dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada

pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila

sedikitnya dua dari tiga spesimen SPS BTA hasilnya positif. Bila hanya 1 spesimen yang

positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan

dahak SPS diulang. Kalau hasil rontgen mendukung TBC maka penderita didiagnosis

sebagai penderita TBC BTA positif, kalau hasil rontgen tidak mendukung TBC maka

pemeriksaan dahak SPS diulang. (Depkes RI, 2002).

Pada pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk

menemukan lesi Tuberkulosis. Pemeriksaan ini memang membutuhkan biaya lebih

disbanding pemeriksan sputum, tetapi dalam beberapa hal ia memberikan keuntungan

seperti : tuberkulosis pada anak-anak dan tuberkulosis milier. Pada kedua hal diatas

diagnosis dapat diperoleh melalui pemeriksaan radiologis dada, sedangkan pemeriksaan

sputum hampir selalu negatif. (Bahar, 1997).


Dengan menemukan kuman BTA dalam sediaan sputum secara mikroskopis

biasa sudah cukup untuk memastikan diagnosis tuberkulosis paru, sungguhpun begitu

hanya 30% saja dari seluruh kasus tuberkulosis paru yang dapat didiagnosis secara

bakteriologis. Diagnosis tuberculosis paru masih banyak ditegakanbedasrkan kelainan

klinis dan radiologis saja. Kesalahan diagnosis dengan cara ini cukup banyak sehingga

memberikanefek terhadap pengobatan yang sebenarnya tidak diperlujkan, oleh karena

dalamdiagnosis tuberkulosis paru sebaiknya dicantumkan status klinis, status

bakteriologis, status radiologis dan status kemoterapinya.(Bahar, 1997).

2.1.5. Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis

2.1.5.1. Klasifikasi Berdasarkan Organ Tubuh

1. Tuberkulosis paru

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim)

paru. Tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.

2. Tuberkulosis ekstra paru

Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh

lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung

(pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal ,saluran

kencing, alat kelamin dan lain-lain.

2.1.5.2. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada

TB paru.

1. Tuberkulosis paru BTA positif

a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasinya BTA positif


b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada

menunjukkan gambaran tuberkulosis.

c. 1 spesimen dahak SPS hasinya BTA positif dan biakan kuman TB

positif.

d. 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya BTA negatif dan tidak ada

perbaikan setelah pemberian antbiotika non OAT.

2. Tuberkulosis paru BTA negatif

Kasus yang tidak memenuhi defenisi pada TB paru BTA positif. kriteria

diagnostik TBC BTA negatif harus meliputi: paling tidak 3 spesimen dahak

SPS hasilnya BTA negatif, foto toraks abnormal menunjukkan gambaran

tuberkulosis, tidak ada perbaikan setelah pemberian anti biotika non OAT,

ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

2.1.5.3. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit

1. TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat

keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan.

2. Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperihatkan gambaran kerusakan

paru yang luas ( misalnya proses” for advanced”), dan atau keadaan umum

pasien buruk.

3. TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya:

a. TB ekstra-paru ringan misalnya : TB kelenjar lymfe, pleuritis eksudativa

unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.

b. TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier perikarditis, peritonitis,

pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran

kemih dan alat kelamin.


2.1.6. Faktor-Faktor penularan Penyakit Tuberkulosis Paru Adalah:

1. Faktor Resiko Terinfeksi: tingginya prevalensi tuberkulosis paru, kepadatan

penduduk, kepadatan penghuni dalam satu rumah, kurang gizi

2. Faktor Resiko Jatuh Sakit: daya tahan tubuh menurun, sedang menderita

suatu penyakit, tingkat pemaparan infeksi yang tinggi

Dalam masyarakat yang hidupnya berdesak – desakan, tinggal di rumah yang

sumpek, kurang ventilasi udara, kurang cahaya matahari, kuman TBC gemar bersarang

di lingkungan seperti itu, basil TBC bertebaran di udara. Oleh karena itu merupakan

faktor resiko yang besar untuk terjangkit basil ini (Hendrawan, 1996).

2.1.7. Tersangka Penderita Tuberkulosis Paru (TB Paru)

Seseorang ditetapkan sebagai tersangka penderita TB paru apabila pada dirinya

ditemukan gejala klinis utama (cardinal symptom). Gejala klinis utama adalah batuk

berdahak (break) yang sudah lama berlangsung. (Depkes RI, 2002).

Adapun tanda-tanda tuberkulosis paru menurut (Depkes RI, 2002) adalah sebagai

berikut:

1. Batuk terus menerus dan berdahak selama tiga minggu atau lebih.
2. Mengeluarkan dahak bercampur darah
3. Sesak nafas dan rasa nyeri pada dada.
4. Lemah badan, kehilangan nafsu makan dan berat badan turun (semakin kurus)
5. Keringat malam tanpa adanya kegiatan
6. Demam lebih dari sebulan
Gejala utama tersebut mudah dikenali oleh orang awam, Apalagi oleh paramedic

atau dokter puskesmas. Tidak ada kesulitan untuk mengetahui apakah seorang sebagai

tersangka penderita berdasarkan gejala utama tersebut karena sangat mudah dikenali.
2.1.8. Pencegahan Penyakit Tubekulosis Paru (TB Paru)

Menurut perkumpulan pemberantasan penyakit tuberkulosis Indonesia (PPTI)

Pusat (1996:27) cara pencegahan penyakit tuberkulosis paru adalah :

1. Imunisasi BCG suntikan kekebalan terhadap TB seawal mungkin yaitu sejak

umur 2-9 bulan;


2. Tidak meludah sembarang tempat;
3. Menutup mulut pada waktu batuk atau bersin;
4. Mengusahakan cukup sinar matahari dan udara segar masuk secukupnya dan

kedalam kamar tidur;


5. Menjemur kasur bantal dan tempat tidur, terutama di pagi hari, dan
6. Penderita yang sedang menjalankan pengobatan dengan tekun dan teratur

sudah tidak menularkan kuman penyakit.

2.1.9. Faktor - Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian TB Paru

Penularan penyakit TBC paru bisa terjadi karena beberapa faktor yaitu antara lain

karakteristik manusia (umur, jenis kelamin, pendidikan, gizi, sosial ekonomi, pekerjaan,

lama tinggal dan pengetahuan), kondisi fisik rumah (ventilasi, kepadatan hunian,

pencahayaan, kelembaban, suhu, luas lantai dan udara) dan riwayat penyakit

sebelumnya. (Crofton, 2002)

Bahan bangunan dan kondisi rumah serta lingkungan yang tidak memenuhi

syarat kesehatan, merupakan faktor resiko dan sumber penularan berbagai jenis penyakit

seperti penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dan tuberkulosis yang erat

kaitannya dengan kondisi higiene bangunan perumahan, berturut-turut merupakan

penyebab kematian nomor 2 dan 3 di Indonesia. (Depkes RI, 2008)

Faktor-faktor lingkungan pada bangunan rumah yang dapat mempengaruhi

kegiatan penyakit ISPA dan tuberkulosis tersebut antara lain ventilasi, pencahayaan,
kepadatan hunian ruang tidur, kelembaban ruang, kualitas udara ruang, binatang penular

penyakit, air bersih, limbah rumah tangga, sampah serta perilaku penghuni dalam rumah.

(Depkes RI, 2008)

2.1.9.1. Ventilasi

Ventilasi yang baik harus memenuhi persyaratan agar udara yang masuk tidak

deras atau sedikit. Luas ventilasi minimal 10% dari luas lantai. Untuk luas lubang

ventilasi tetap minimum 5% dari luas lantai ruangan, sedangkan luas lubang ventilasi

yang tidak tetap (dapat dibuka dan ditutup) 5% dari luas lantai. (Depkes RI, 2008)

Umumnya penularan TB terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada

dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar

matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa

jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. (Depkes RI, 2008)

Ventilasi adalah usaha untuk memenuhi kondisi atmosfer yang menyenangkan

dan menyehatkan manusia (Susanto, 2007). Berdasarkan kejadiannya maka ventilasi

dibagi dua jenis yaitu:

1. Ventilasi Alam
Ventilasi alam berdasarkan tiga kekuatan yaitu daya difusi dari gas-gas

gerakan angin dan gerakan massa di udara karena perubahan temperature.

Ventilasi alam ini mengandalkan pergerakan udara bebas (angin), temperatur

udara dan kelembabannya. Selain jendela, pintu dan lubang angin, maka

ventilasi pun dapat diperoleh dari pergerakan udara di ruangan.


2. Ventilasi Buatan
Ventilasi buatan menggunakan alat mekanis atau elektrik misalnya kipas

angin dan AC (air conditioner).


Rumah dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan

membawa pengaruh bagi penghuninya. Menurut Azwar (1996) dan


Notoatmodjo (2003) salah satu fungsi adalah menjaga aliran udara di dalam

rumah tersebut tetap segar. Disamping itu tidak cukupnya ventilasi akan

menyebabkan peningkatan kelembaban udara karena terjadi proses penguapan

cairan dari kulit dan penyerapan. Fungsi ventilasi adalah untuk membebaskan

udara ruangan dari bakteri-bakteri terutama bakteri patogen seperti

Tuberkulosis, karena di situ selalu terjadi aliran udara yang terus menerus

bakteri yang terbawa udara akan selalu mengalir.

2.1.9.2. Luas Lantai Rumah/Kepadatan Hunian

Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni didalamnya,

artinya luas lantai bangunan tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya.

Luas bangunan yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan

(overcrowded), hal ini tidak sehat, sebab disamping menyebabkan kurang konsumsi O2,

juga jika ada anggota keluarga yang terkena penyakit infeksi, akan mudah menular

kepada anggota keluarga yang lain, luas kamar tidur disesuaikan dengan standar minimal

yaitu 9 m2 untuk 2 orang. Sedangkan untuk lantai rumah sesuai standart yaitu 9 m 2 untuk

1 orang (Depkes, 2005).

2.1.9.3 Pendidikan

Pendidikan adalah suatu proses budaya yang dilakukan secara sadar untuk

meningkatkan harkat dan martabat manusia mengembangkan kepribadian dan

kemampuan di dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat yang berlangsung

seumur hidup (BP7, 2000). Pendidikan merupakan hal yang dilakukan lembaga

pendidikan yang dilakukan dengan sengaja bagi perolehan hasil berupa pengetahuan
keterampilan dan sikap seseorang. Pendidikan dalam arti sebenarnya adalah suatu proses

penyampaian bahan materi pendidikan kepada sasaran pendidikan adalah suatu proses

maka dengan sendirinya mempunyai masukan dan pengeluaran. Masukan proses

pendidikan adalah sasaran pendidikan atau anak didik yang mempunyai berbagai

karakteristik, sedangkan keluaran proses pendidikan adalah tenaga atau lulusan yang

mempunyai kualifikasi tertentu sesuai dengan tujuan pendidikan institusi yang

bersangkutan (Notoatmodjo, 2003).

Dalam Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan

Nasional menyatakan bahwa Pendidikan Formal adalah jalur pendidikan terstruktur dan

berjenjang terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.

1. Pendidikan Dasar

Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang

menengah. Pendidikan dasar SD/MI (Madrasah Ibtidaiyah), SMP/ MTS.

2. Pendidikan Menengah

Merupakan lanjutan pendidikan dasar. Pendidikan menengah berbentuk

SMA/MA (Madrasah Aliyah).

3. Pendidikan Tinggi

Merupakan lanjutan dari pendidikan menengah yang mencakup program

pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis dan dokter, yang di

selenggarakan oleh perguruan tinggi dan sistem terbuka.

Faktor-faktor resiko yang meningkatkan insiden tuberkulosis adalah komplek

kemiskinan. Keadaan ini mengarah pada pendidikan masyarakatnya yang rendah,

perumahan yang padat atau kondisi kerja yang buruk. Di negara-negara berkembang
hampir 50% penderita tuberkulosis adalah masyarakat yang berpendidikan rendah dan

tingkat kemiskinan yang tinggi (Crofton, 2002).

2.2. Kerangka Teori

Menurut (Beaglehole, 1993) dalam Cokro (2006) menyatakan dengan melihat

pada komponen faktor-faktor resiko penyebab penyakit seperti perumahan dan

kemiskinan, hingga terjadi infeksi mykrobacterium tuberculosis pada manusia. Teori

tersebut untuk melatarbelakangi konsep penelitian ini . Berikut kerangka teori kejadian

tuberkulosis paru, menurut Cokro (2006) pada skema 1 di bawah ini.

Bagan 2.1. Kerangka Teori Kejadian Tuberkulosis Paru

Mycrobacterium

Tuberculosis

(agen/penyebab TB Paru)

Karakteristik Responden : tt
. Umur,jenis kelamin
. Pendidikan,gizi
. Sosial ekonomi
. Pekerjaan
. Kondisi fisik rumah
. Anggota keluarga kontak
Dengan penderita BTA (+)
. Pengetahuan

Kondisi Fisik Rumah:


. Ventilasi
. Kepadatan penghuni
. Pencahayaan
. Kelembaban
. Suhu Orang
. Luas lantai Pejamu BTA (+) Penyakit
. Udara Yang TB Paru
rentan

Riwayat kesehatan keluhan


sebelum sakit
. Batuk > 3 minggu
. Sesak napas, nyeri dada
. Badan lemah, berat badan
menurun
. Keringat malam

Lingkungan pekerjaan:
. Debu
. Suhu udara lembab
. Tanpa sirkulasi O2
Sebagai daerah tropis, Indonesia memiliki potensi daerah endemik beberapa penyakit

infeksi yang setiap saat dapat menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat (Depkes RI,

2002).

Berdasarkan teori kejadian Tuberkulosis Paru di atas yang akan diambil menjadi

kerangka konsep yaitu faktor resiko dan karakteristik responden. Dengan demikian

kerangka konsep yang di ajukan dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut.

2.3 Kerangka Konsep

Bagan 2.2. Kerangka Konsep Penelitian Faktor Resiko dan Hubungannya


Dengan Kejadian TBC/TB PARU

Ventilasi

Kepadatan hunian

Kelembapan

Riwayat Penularan
TBC/TB paru
Jenis Lantai

Pencahayaan

Suhu

IMT

Keterangan :

= Faktor Yang Diteliti

= Faktor Yang Tidak Diteliti


2.4. Hipotesis Penelitian

Dalam penelitian ini di ajukan hipotesis sebagai berikut :

1. Ada hubungan ventilasi rumah dengan kejadian TBC di wilayah Kabupaten

Kepahiang.
2. Ada hubungan kepadatan hunian dengan kejadian Tuberkulosis paru di

wilayah Puskesmas Kabupaten Kepahiang.


3. Ada hubungan kelembapan dengan kejadian Tuberkulosis paru di wilayah

Puskesmas Kabupaten Kepahiang.


4. Ada hubungan riwayat penularan dengan kejadian Tuberkulosis paru di

wilayah Puskesmas Kabupaten Kepahiang.


5. Ada hubungan IMT dengan kejadian Tuberkulosis paru di wilayah Puskesmas

Kabupaten Kepahiang.

BAB III

METODE PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian

Penelitian ini bersifat analitik dengan desain penelitian cross sectional dimana

dalam desain penelitian ini, variabel independen (Faktor resiko lingkungan meliputi

ventilasi, kepadatan hunian dan karakteristik responden yaitu pendidikan) dan

variabel dependen (Kejadian TBC) diukur dalam waktu bersamaan dengan cara

pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (Point

Time Approach) artinya, tiap subyek hanya diobservasi sekali saja dan

pengukurannya dilakukan terhadap status karakter atau variabel subyek pada saat

pemeriksaan. Hal ini tidak berarti bahwa semua subyek penelitian diamati pada

waktu yang sama. (Notoadmojo, 2002).

3.2. Definisi Operasional

Definisi Operasional merupakan unsur penelitian yang memberitahukan

bagaimana caranya mengukur suatu variabel . Definisi Operasional juga merupakan

suatu informasi ilmiah yang amat membantu peneliti lain untuk menggunakan

variabel yang sama .

Tabel. 3.1. Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasional Alat ukur Cara Ukur Hasil ukur Skala
Tuberkulosis Penyakit infeksi Wawancara Data Sekunder 1 = TBC Nominal
Paru disebabkan oleh dengan cara 2 = Tidak TBC
mycro bacterium melihat register
Tuberculosis
Umur Umur produktif adalah Kuesioner Data Sekunder 1 = 15-50 thn produktif
umur 15-50 tahun dan dengan cara 2 = > 50 tahun Non
umur non produktif melihat register produktif
adalah umur > 50
tahun
Jenis Kelamin Ciri-ciri fisik yang Kuesioner Wawancara 1 = laki-laki Nominal
membedakan responden 2 = perempuan

Pendidikan Tingkat sekolah formal Kuesioner Wawancara 1 = Rendah (tidak Ordinal


tertinggi yang telah sekolah, SD,
diselesaikan responden SMP)
2 = tinggi (SMA, PT)
Pengetahuan
Sosial Ekonomi Status ekonomi keluarga Kuesioner Wawancara 1 = Miskin jika skor 6-
diukur dengan sistim 12
skor Bistok Saing 2008 2 = Tidak Miskin jika
skor < 6
Ventilasi Luas lubang Meteran Mengukur luas 1 = Tidak memenuhi Ordinal
penghawaan rumah penghawaan tiap standar, bila
untuk udara keluar rumah responden. kurang 10% dari
masuk untuk luas lantai
dibandingkan dengan 2 = Memenuhi
luas lantai. standar, bila lebih
atau sama dengan
10% dari luas
lantai
Kepadatan Banyaknya penghuni Kuesioner Wawancara dan 1 = tidak memenuhi Ordinal
Hunian dalam rumah Observasi standar, bila <9m2
dibandingkan dengan per orang
luas lantai rumah 2 = memenuhi
standar, bila ≥ 9m2
per orang
Kelembaban
Riwayat Adanya kontak dengan Kuesioner Wawancara 1 = Ada Ordinal
Penularan keluarga (dewasa) 2 = Tidak ada
serumah yang sudah
diketahui menderita
TBC.
IMT IMT adalah parameter Kuesioner Wawancara 1 = Tidak Normal Nominal
untuk menentukan (25)
berat badan ideal, 2 = Normal (<25)
meliputi; normal dan
tidak normal
3.3. Populasi dan Sampel

3.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah penderita TBC yang terdaftar pada register

di wilayah kerja Puskesmas Sekabupaten Kepahiang yang berjumlah 100 orang

penderita TBC.

3.3.2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini menggunakan sampel total yaitu seluruh populasi

dijadikan sampel.

3.4. Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat atau lokasi penelitian ini dilaksanakan di wilayah Puskesmas sekabupaten

Kepahiang yang di laksanakan bulan Desember - Januari tahun 2012.

3.6. Pengumpulan Data

3.6.1. Data Primer

Data primer diperoleh melalui kuesioner langsung pada penderita yang datang ke

pusat pelayanan kesehatan. Untuk mengumpulkan data primer tersebut peneliti

juga melakukan kunjungan langsung ke rumah responden yang dapat dilacak

melalui kartu pengendali pengobatan dan buku register TB yang ada di setiap

Puskesmas.

3.6.2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang dikumpulkan oleh peneliti sebagai penunjang

primer, yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Kepahiang dan laporan

kunjungan penderita TBC yang ada di Puskesmas Sekabupaten Kepahiang.


3.7. Pengolahan Data

Setelah data dikumpulkan, maka dilakukan pengolahan dengan langkah - langkah

sebagai berikut:

3.7.1 Editing

Semua kuesioner yang terkumpul dilakukan pemeriksaan tentang kelengkapan

dari hasil pengukuran apakah sudah dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan fakta

yang di dapat.

3.7.2 Coding

Pemberian kode pada setiap item atau point data yang ada menurut kriteria yang

di perlukan pada daftar pertanyaan-pertanyaan sendiri dengan maksud untuk dapat

ditabulasikan

3.7.2 Data Entry

Data di entry dengan menggunakan fasilitas Komputer program (SPSS).

3.8. Analisis Data

3.8.1 Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk memperoleh gambaran distribusi frekuensi

dan proporsi dari variabel yang diteliti, baik variabel Independen maupun variabel

Dependen.

3.8.2 Analisis Bivariat

Analisa ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variabel independent

dengan variabel dependent. Jenis Uji Statistik yang digunakan X 2 (Chi-Square) dengan

derajat kepercayaan 95%. Untuk melihat keeratan hubungan antara variabel independent

dan dependent digunakan uji contingency coefficient, serta untuk melihat faktor
risikonya digunakan uji risk estimate sehingga diperoleh nilai OR (Odds Ratio), dengan

kriteria sebagai berikut :

1. OR > 1 artinya menunjukkan ada hubungan antara penyakit dengan paparan faktor

risiko.

2. OR = 1 artinya menunjukkan tidak ada hubungan antara penyakit dengan paparan

faktor risiko.

3. OR < 1 artinya menunjukkan suatu penurunan risiko adanya efek perlindungan

(protktif).
DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Rhineka Cipta,


Jakarta

Azwar. A. 1996. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Mutiara , Jakarta.

Bahar, A. 1997. TB paru Dalam Ilmu Penyakit Dalam. balai Penerbit FKUI, Jakarta.

Crofton. J., 2002. Tuberculosis Klinis edisi 2. Widya Medika, Jakarta

Cokro. 2006. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Tuberculosis Paru di


Puskesmas Lubuk Durian Kecamatan Kerkap Kabupaten Bengkulu Utara.
Skripsi, Jurusan Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Kesehatan. UMB.
Bengkulu

Depkes RI. 2002. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Cetakan ke-8.


Jakarta

_________.2005. Pedoman Teknis Penilaian Rumah Sehat. Dirjen PPM dan PL, Jakarta

_________ . 2008. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Cetakan ke-8,


Ditjen PPM & PL, Jakarta

Dinkes Provinsi Bengkulu, 2009. Profil Kesehatan Provinsi Bengkulu Tahun 2008.
Bengkulu

Dinas Pendidikan Nasional, 2001. Pedoman Pendidikan Dasar dan Menengah. Dinas
Pendidikan Nasional, Jakarta

Hendrawan, N, 1996. Penyebab Pencegahan dan Pengobatan TBC Cetakan I, Jakarta :


Puspa Swara.

http://id.wikipedia.org. Diakses tanggal 15 Desember 2011.

International Community Forum. 2009. http://www.i-comes.com/health.fitres-medicine-


article. Diakses tanggal 19 Mei 2010.

Lubis, Pandepotan, 1989. Rumah Sehat, Proyek Pengembangan Pendidikan Sanitasi


Pusat, Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan. Dep. Kes. RI, Jakarta.

Notoatmodjo. S, 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat (Prinsip-prinsip Dasar). PT. Rineka


Cipta, Jakarta

Sudjana. 1996. Metode Statistika. Tarsito, Bandung.


STIKES DEHASEN. 2009. Panduan Penyusunan dan Penulisan Karya Tulis Ilmiah.
STIKES DEHASEN Bengkulu

Tantu. Susanto., 2007. Paradigma Kesehatan Lingkungan, Bagian Keperawatan Jiwa


dan Komunitas, Program Study Ilmu Keperawatan, Universitas Jember.
http.//www. Susanto–inej @yahoo.com, diakses 13 Februari 2010.
LEMBAR KUISIONER

A. KARAKTERISTIK RESPONDEN
1. Nomor Responden :
2. Alamat : Jl.
Desa/Kelurahan :
Kecamatan :
3. Umur :
4. Jenis Kelamin : 1. Laki-laki
2. Perempuan

B. PETUNJUK PENGISIAN
Beri tanda check list (√ ) pada kolom
Pertanyaan
5. Lantai
( ) Papan / anyaman bambu dekat dengan tanah / plesteran yang retak dan
berdebu
( ) Di plester / ubin / keramik / papan ( rumah panggung)

6. ventilasi
( ) Ada , luas ventilasi permanen < 10 % dari luas lantai

( ) Ada, luas ventilasi permanen > 10 % dari luas lantai

7. Jumlah anggota keluarga yang tinggal serumah


( ) Ada lima orang dalam satu rumah
( ) Lebih dari lima orang dalam satu rumah
8. Pendidikan
( ) Pendidikan rendah SD, SMP, SMA
( ) Pendidikan tinggi Diploma, Sarjana
TABULASI DATA

Tuberkulosis Kepadatan
No Ventilasi Pendidikan
Paru Hunian
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56

Keterangan :
Tuberkulosis Paru :
1 = Ada TBC
2 = Tidak Ada TBC
Ventilasi :
1 = Tidak memenuhi standar
2 = Memenuhi standar
Kepadatan Hunian :
1 = Tidak memenuhi standar
2 = Memenuhi standar
Pendidikan :
1 = Rendah
2 = Tinggi
Jenis kelamin :
1 = Laki-laki
2 = Perempuan
A. SOSIAL EKONOMI

Keadaan sosial ekonomi berkaitan erat dengan pendidikan, keadaan sanitasi

lingkungan, gizi dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Penurunan pendapatan

dapat menyebabkan kurangnya kemampuan daya beli dalam memenuhi konsumsi

makanan sehingga akan berpengaruh terhadap status gizi. Apabila status gizi buruk

maka akan menyebabkan kekebalan tubuh yang menurun sehingga memudahkan

terkena infeksi TB Paru.

WHO (2003) menyebutkan 90% penderita TB di dunia menyerang kelompok

sosial ekonomi lemah atau miskin dan menurut Enarson TB merupakan penyakit

terbanyak yang menyerang negara dengan penduduk berpenghasilan rendah. Sosial

ekonomi yang rendah akan menyebabkan kondisi kepadatan hunian yang tinggi dan

buruknya lingkungan; selain itu masalah kurang gizi dan rendahnya kemampuan untuk

mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak juga menjadi problem bagi golongan

sosial ekonomi rendah.31

Dengan garis kemiskinan yang pada dasarnya ditentukan untuk memenuhi

kebutuhan pangan utama, maka rumah tangga yang tergolong miskin tidak akan

mempunyai daya beli yang dapat digunakan untuk menjamin ketahanan pangan

keluarganya. Pada saat ketahanan pangan mengalami ancaman (misal pada saat tingkat

pendapatan mendekati suatu titik dimana rumah tangga tidak mampu membeli

kebutuhan pangan) maka status gizi dari kelompok rawan pangan akan terganggu.32

14 Kriteria Rumah Tangga Miskin Versi BPS (Bistok Saing ) 2008


1. Luas lantai bangunan kurang dari 8 m persegi per orang.

1. Lantai rumah dari tanah, bambu, kayu murahan.

2. Dinding rumah dari bambu, rumbia, kayu kualitas rendah, tembok tanpa plester.

3. Tidak memiliki fasilitas jamban atau menggunakan jamban bersama.

4. Rumah tidak dialiri listrik.

5. Sumber air minum dari sumur atau mata air tak terlindungi, sungai, air hujan.

6. Bahan baker memasak dari kayu bakar, arang, minyak tanah.

7. Hanya mengonsumsi daging, ayam dan susu sekali seminggu.

8. Hanya sanggup membeli baju sekali setahun.

9. Hanya sanggup makan dua kali sehari atau sekali sehari.

10. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di Puskesmas.

11. Sumber penghasilan kepala rumah tangga petani dengan luas lahan 0,5 hektar,

buruh tani, nelayan, buruh bangunan dengan penghasilan < Rp.600 ribu per

bulan.

12. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga tidak sekolah, tdk tamat SD/hanya SD.

13. Tidak punya tabungan atau barang dengan nilai jual dibawah Rp500 ribu seperti

ternak, motor dan lain-lain.

Interpretasi :

Kategori sangat miskin : skor 12 kriteria

Kategori miskin : skor 6 - 10 kriteria

Kategori mendekati miskin : skor 5 -6 kriteria


(Kepala Bidang Sosial dan Budaya Bappeda Kota Padang Rusdi Jamil)

B. Kondisi Rumah

Tempat tinggal merupakan kebutuhan pokok bagi setiap masyarakat, sama

pentingnya, meskipun berbeda fungsinya, dengan dua unsur kebutuhan dasar lainnya,

yaitu pakaian (sandang) dan makanan (pangan). Dari kondisi lingkungan tempat tinggal

dapat terlihat tingkat kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat dan kondisi lingkungan

yang sehat. Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian

dan sarana pembinaan keluarga; sedangkan perumahan adalah kelompok rumah yang

berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dilengkapi dengan

sarana prasarana lingkungan.27,28,29

Rumah dikatakan baik dan aman, jika kualitas bangunan dan lingkungan dibuat dengan
serasi. Adapun rumah yang sehat adalah : 27,30

a. Bahan bangunannya memenuhi syarat

1. lantai tidak berdebu pada musim kernarau dan tidak basah pada musim
hujan.

lantai yang basah dar berdebu merupakan sarang penyakit,

2. dinding tembok adalah baik, namun bila di daerah tropis dan ventilasi kurang
akan lebih baik dari papan,
3. atap genting cocok untuk daerah tropis, sedang atap seng atau asbes tidak
cocok untuk ruma pedesaan karena disamping mahal juga menimbulkan suhu
panas di dalam rumah.

b. Ventilasi cukup, yaitu minimal luas jendela/ ventilasi adalah 15% dari luas
lantai, karena ventilasi mempunyai fungsi :

1. menjaga agar aliran udara di dalam rumah tetap segar, sehingga


keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tetap terjaga.
Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya 02 di dalam rumah yang
berarti kadar CO2 yang bersifat racun bagi penghuninya menjadi meningkat,

2. menjaga agar udara di ruangan rumah selalu tetap dalam kelembaban


(humidity ) yang optimum. Kelembaban yang optimal ( sehat ) adalah sekitar
40 – 70% kelembaban yang lebih Dari 70% akan berpengaruh terhadap
kesehatan penghuni rumah. Kelembaban udara di dalam ruangan naik karena
terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban
Ills akan merupakan media yang baik untuk bakteri - bakteri patogen

( penyebab penyakit ),

3. membebaskan udara ruangan dari bakteri - bakteri, terutama bakteri patogen,

karena disitu selalu terjadi aliran udara yang tents menerus. Bakteri yang
terbawa oleh udara akan selalu mengalir.

4. lingkungan perokok akan menyebabkan udara mengandung nitrogen oksida


sehingga menurunkan kekebalan pada tubuh terutama pada saluran napas
karena berkembang menjadi makrofag yang dapat menyebab infeksi.

c. Cahaya matahari cukup, tidak lebih dan tidak kurang, dimana cahaya matahari
ini dapat diperoleh dari ventilasi maupun jendela/genting kaca. Suhu udara yang
ideal dalam rumah antara 18 - 30°C. Suhu optimal pertumbuhan bakteri sangat
bervariasi, Mycobacterium tuberculosis tumbuh optimal pada suhu 37°C.
Paparan sinar matahari selama 5 menit dapat membunuh Mycobacterium
tuberculosis . Bakteri tahan hidup pada tempat gelap, sehingga
perkembangbiakan bakteri lebih banyak di rumah yang gelap.

d. Luas bangunan rumah cukup, yaitu luas lantai bangunan rumah harus cukup
sesuai dengan jumlah penghuninya. Luas bangunan yang tidak sebanding dengan
jumlah penghuninya akan menyebabkan berjubel ( over crowded ). Rumah yang
terlalu padat penghuninya tidak sehat, sebab disamping menyebabkan kurangnya
konsumsi 02 juga bila salah satu anggota keluarga ada yang terkena infeksi akan
mudah menular kepada anggota keluarga yang lain. Kepadatan hunian ditentukan
dengan jumlah kamar tidur dibagi dengan jumlah penghuni ( sleeping density ),
dinyatakan dengan nilai : baik, bila kepadatan lebih atau sama dengan 0,7 cukup,
bila kepadatan antara 0,5 - 0,7 dan kurang bila kepadatan kurang dari 0,5.30
10. Kelembaban udara

Kelembaban udara dalam ruangan untuk memperoleh kenyamanan, dimana

kelembaban yang optimum berkisar 60% dengan temperatur kamar 22° – 30°C.

Kuman TB Paru akan cepat mati bila terkena sinar matahari langsung, tetapi

dapat bertahan hidup selama beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab.

3. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap pengetahuan

seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan

pengetahuan penyakit TB Paru, sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka

seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersin dan sehat.

Selain itu tingkat pedidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap jenis

pekerjaannya.

2. Faktor Jenis Kelamin.

Di benua Afrika banyak tuberkulosis terutama menyerang laki-laki. Pada tahun

1996 jumlah penderita TB Paru laki-laki hampir dua kali lipat dibandingkan

jumlah penderita TB Paru pada wanita, yaitu 42,34% pada laki-laki dan 28,9 %

pada wanita. Antara tahun 1985-1987 penderita TB paru laki-laki cenderung

meningkat sebanyak 2,5%, sedangkan penderita TB Paru pada wanita menurun

0,7%. TB paru Iebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita
karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga

memudahkan terjangkitnya TB paru.

Anda mungkin juga menyukai