Anda di halaman 1dari 23

PRESENTASI KASUS

PSEUDO ANGINA LUDOVICI

Disusun oleh:
Bimasena Arya Yudha
1102014060

Pembimbing:
dr. Evi Handayani, Sp. THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU THT


RSUD DR. DRADJAT PRAWIRANEGARA, SERANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 7 OKTOBER – 9 NOVEMBER 2019
BAB I

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. A
Umur : 53 tahun
Agama : Islam
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Lebak Tirta
Tanggal periksa :19 Oktober 2019

II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 19 Oktober 2019 di Paviliun Arafah
RSUD dr. Dradjat Prawiranegara, Serang.
Keluhan Utama : Bengkak pada leher kiri sejak 2 bulan SMRS
Keluhan Tambahan: Nyeri leher sebelah kiri, nyeri dan sulit menelan

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSUD dr. Dradjat Prawiranegara, dengan bengkak pada leher
sebelah kiri sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit.Benjolan awalnya teraba kecil namun
lama lama membesar. Benjolan juga didapati dibawah lidah dan menekan gigi pasien hingga
terasa bergoyang. Keluhan disertai dengan nyeri pada bagian leher yang bengkak, dan nyeri
serta kesulitan menelan sejak 3 hari, serta rasa kaku pada rahang dan leher. Keluhan sesak nafas
dan demam disangkal oleh pasien.

Riwayat Penyakit Dahulu


 Pasien memiliki riwayat sakit gigi pada rahang bawah sebelah kiri sejak 1 tahun yang
lalu. Pasien mengatakan giginya sempat bolong dan sudah dicabut oleh dokter gigi.
 Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya.
 Pasien memiliki riwayat hipertensi namun tidak rutin kontrol dan minum obat.
 Pasien tidak mengetahui apakah memiliki riwayat duabetes mellitus.
 Pasien menyangkal adanya riwayat asma, alergi,gastritis.
 Riwayat alergi juga disangkal oleh pasien
Riwayat Penyakit Keluarga
Ayah pasien memilik riwayat hipertensi dan diabetes mellitus. Riwayat memiliki keluhan yang
sama seperti pasien, asma, alergi, pada keluarga disangkal.

Riwayat Pengobatan
Pasien mengatakan sudah berobat ke klinik namun belum ada perubahan

III. PEMERIKSAAN FISIK


 Keadaan umum : Baik
 Kesadaran : Composmentis
 Vital Signs
Tekanan darah : 170/110 mmHg
Suhu : 36,6 °C
Nafas : 20 x/menit
Nadi : 97x/menit
 Skala Nyeri : 3 dari 10

 Status Generalis
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Leher : Pembesaran KGB (+), pembesaran tiroid (-)
Thorax : Suara dasar nafas vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Bunyi Jantung I-II reguler, murmur (-) gallop (-)
Abdomen : Bising usus (+), normal, nyeri tekan abdomen (-)
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik

 Status lokalis
 Telinga
Auric
Bagian Kelainan
Dextra Sinistra
Bentuk telinga Normotia
Aurikula Kelainan kongenital - -
Peradangan - -
Massa - -
Nyeri tarik - -
Nyeri tekan tragus - -
Preaurikuler & Kelainan kongenital - -
retroaurikuler Peradangan - -
Massa - -
Edema - -
Sikatrik - -
Fistula - -
Pembesaran KGB - -
Nyeri tekan - -
Liang telinga Kelainan kongenital - -
luar Peradangan - -
Massa - -
Edema - -
Fistula - -
Kelainan kulit - -
Sekret - -
Serumen - -
Membran Hiperemis - -
timpani
Retraksi - -

Bulging - -

Kondisi Arah jam 5 Arah jam 7


Cone of light
Perforasi - -

Garpu Tala
Tes Rinne Tes Weber Tes Swabach
+ Tidak ada lateralisasi Sama dengan pemeriksa
Kesimpulan: Pendengaran normal

 Hidung
Kavum Nasi
Pemeriksaan
Dextra Sinistra
Inspeksi
Bentuk Simetris kanan dan kiri
Sikatrik - -
Hematom - -
Racoon’s eye - -
Palpasi
Nyeri tekan dahi - -
Nyeri tekan pipi - -
Nyeri tekan pelipis - -
Nyeri tekan pangkal hidung - -
Krepitasi - -
Massa - -
Rhinoscopy Anterior
Cavum nasi Normal Normal
Mukosa cavum nasi Hiperemis (-) Hiperemis(-)
Edema (-) Edema (-)
Sekret + +
Konka inferior Eutrofi Eutrofi
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Edema (-) Edema (-)
Konka media Eutrofi Eutrofi
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Edema (-) Edema (-)
Meatus inferior Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Meatus media Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Massa (-) Massa (-)
Septum anterior Deviasi (-) Deviasi (-)
Rhinoscopy Posterior
Nasofaring Hiperemis (-)
Postnasal drip -
Koana Hiperemis (-) Hipertrofi (-)
Konka superior Hiperemis (-) Hipertrofi (-)
Kelenjar adenoid Hiperemis (-) Hipertrofi (-)
Massa -
 Tenggorokan

Pemeriksaan Kondisi
Faring & Rongga Mulut
Bibir Sianosis (-)
Mukosa mulut Hiperemis (-)
Lidah Lidah terlihat terangkat oleh
benjolan di dasar mulut kiri
bawah
Gusi Normal
Gigi berlubang Gigi pada premolar 2, molar 1,
kiri bawah sudah dicabut
Palatum durum Hipermis (-)
Palatum mole Hipermis (-)
Uvula Hipermis (-), Deviasi (-)
Arkus faring Hipermis (-), Simetris
Tonsil T1 – T1, Hiperemis (-)
Hipofaring & Laring Tidak dilakukan pemeriksaan
Gambar 1. Didapati pembengkakan pada regio submandibula, terlihat hiperemis, teraba
hangat, terdapat fluktuasi dan nyeri tekan

Gambar 2. Terlihat lidah terangkat oleh karena adanya benjolan pada dasar mulut,
benjola teraba kenyal berwarna kemerahan dan terdapat nanah.

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium tanggal 16 Oktober 2019

Darah Lengkap
Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hemoglobin 14,80 g/dl 13,00-17,00
Hematokrit 22.300 /µL 4.400-11.300
Leukosit 43,20 % 40,00-52,00
Trombosit 339.000 /µL 150.000-440.000

Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan


Glukosa Darah 222 mg/dl 70-110
Sewaktu
V. DIAGNOSIS
Diagnosis Kerja: Pseudo angina ludovici
Hipertensi grade II
Diabetes Mellitus Tipe 2

VI. TATALAKSANA
FARMAKOLOGI
 Cuci mulut dengan minosep gargle
 Ceftriaxone 2 x 2 gr
 Metronidazole 3 x 500 mg
 Gentamycin 2 x 80 mg
 Keterolac 3 x 30 mg
 Lansoprazole 2 x 30 mg

NONFARMAKOLOGI
 Dilakukan bedah insisi drainase untuk mengeluarkan pus kemudian dilanjkan dengan eksisi
biopsi
 Konsul jantung untuk hipertensi
 Konsul penyakit dalam untuk diabetes mellitus

VII.EDUKASI
 Penjelasan tentang oral hygiene yang baik
 Penjelasan tentang rencana pengobatan dan operasi

VIII. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad Functionam : dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi

Pada daerah leher terdapat beberapa ruang potensial yang dibatasi oleh fasia servikalis.
Fasia servikalis terdiri dari lapisan jaringan ikat fibrosus yang membungkus organ, otot, saraf
dan pembuluh darah serta membagi leher menjadi beberapa ruang potensial. Fasia servikalis
terbagi menjadi tiga bagian yaitu fasia servikalis superfisialis, media dan fasia servikalis
profunda. Ketiga fasia ini dipisahkan oleh otot platisma yang tipis dan meluas ke anterior
leher. Otot platisma sebelah inferior berasal dari fasia servikalis profunda dan klavikula serta

meluas ke superior untuk berinsersi di bagian inferior mandibula.1,2,

Gambar 3. Anatomi fasia dan ruang leher dalam

Fasia servikalis superfisial terletak tepat di bawah kulit leher berjalan dari
perlekatannya di prosesus zigomatikus pada bagian superior dan berjalan ke bawah ke arah
thoraks dan aksila yang terdiri dari jaringan lemak subkutan. Ruang antara fasia servikalis
superfisialis dan fasia servikalis profunda berisi kelenjar limfe superfisial, saraf dan pembuluh

darah termasuk vena jugularis eksterna.1,2


Ruang potensial leher dibagi menjadi ruang yang melibatkan seluruh leher, ruang
suprahioid dan ruang infrahioid. Ruang yang melibatkan seluruh leher terdiri dari ruang
retrofaring, ruang bahaya atau danger space, ruang prevertebra dan ruang vascular visceral. Di
bagian posterior ruang retrofaring terdapat danger space, disebut demikian karena berisi jaringan
ikat longgar sehingga resistensinya kecil terhadap penyebaran infeksi dan berjalan mulai dari dasar
tengkorak hingga ke diafrgama. Ruang prevertebra terletak di antara otot-otot prevertebra dan
fasia prevertebra. Infeksi di sini dapat menerobos ke lateral atau inferior ke dalam mediastinum

posterior.1,2,7

Ruang visceral vaskular adalah ruang potensial dalam carotid sheath. Sebagaimana
halnya ruang prevertebra, ruang visceral vaskular adalah ruangan yang
cukup tertutup, mengandung sedikit jaringan ikat dan resisten terhadap penyebaran infeksi.
Ruangan ini berada mulai dari dasar tengkorak hingga ke mediastinum dan menerima
kontribusi dari seluruh tiga lapisan fasia profunda dan dapat menjadi tempat infeksi sekunder
yang menyebar langsung dari ruang-ruang lain di leher.
Ruang suprahioid berada di atas tulang hioid, terdiri dari ruang submandibula, ruang
parafaring, ruang parotis, ruang peritonsil, ruang mastikator dan ruang temporalis. Ruang
infrahioid merupakan ruang potensial yang ada di bawah tulang hioid. Area ini dibungkus oleh
lapisan media dari fasia servikalis profunda dan mengandung kelenjar tiroid, esofagus dan
trakea. Ruang potensial ini meliputi bagian anterior dari leher mulai dari kartilago tiroid

sampai superior mediastinum setinggi vertebra ke empat dekat arkus aorta.7

Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual, submaksila dan submental. Ruang
submandibula terletak di anterior dari ruang parafaring, sebelah inferior berbatasan berbatasan
dengan lapisan superfisial fascia servikalis profunda, meluas dari os hyoid sampai ke
mandibula, bagian inferiornya berbatasan dengan korpus mandibula dan bagian superior
dengan mukosa dari dasar mulut. Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual bagian

superior dan bagian inferior ruang submaksila, yang dipisahkan oleh m. milohyoideus.2,7

Gambar 4. Ruang-ruang potensial di daerah leher

Ruang sublingual dengan ruang submental dan submaksila dipisahkan oleh m. milohyoideus.
Ruang sublingual dibatasi oleh mandibula di bagian lateral dan anterior, pada bagian inferior
oleh m. milohyoideus, di bagian superior oleh dasar mulut dan lidah, dan di posterior oleh
tulang hioid. Di dalam ruang sublingual terdapat kelenjar liur sublingual, nervus hipoglossus
beserta duktusnya (duktus Whartons). Ruang submental di anterior dibatasi oleh fasia leher
dalam dan kulit dagu, di bagian lateral oleh venter anterior m. digastrikus, di bagian superior
oleh
m.milohioid, di bagian inferior oleh garis yang melalui tulang hyoid. Di dalam ruang submental

terdapat kelenjer limfa submental.7

Gambar 5. Anatomi dari ruang submandibula

Ruang maksila bagian superior dibatasi oleh m. milohioid dan m. hipoglossus. Batas
inferiornya adalah lapisan anterior fasia leher dalam, kulit leher dan dagu. Batas medial adalah
m.digastrikus anterior dan batas posterior adalah m.stilohioid dan m.digastrikus posterior. Di
dalam ruang submaksila terdapat kelenjar liur submaksila atau submandibula beserta
duktusnya. Kelenjar limfa submaksila atau submandibula beserta duktusnya berjalan ke
posterior melalui tepi m.milohioid kemudian masuk ke ruang sublingual. Akibat infeksi pada
ruang ini mudah meluas dari satu ruang ke ruang lainnya seperti parafaring sebanyak 38,4%,
diikuti oleh angina ludovici sebanyak 12,4%, parotis sebanyak 7% dan retrofaring sebanyak

5,9%.8,9

Di dalam ruang sublingual terdapat kelenjar liur sublingual dengan duktusnya yang
bermuara di dasar mulut. Ruang submental letaknya berbatasan di sebelah anterior dengan
lapisan anterior fasia leher dalam kulit dagu, sebelah lateral dengan m.digastrikus anterior,
sebelah superior dengan m.milohioid dan sebelah inferior dengan tulang hioid. Didalamnya
terdapat kelenjar limfe submental.
Ruang submaksila letaknya berbatasan sebelah medial dengan m.digastrikus anterior,
sebelah posterior dengan m.stilohioid dan m.digastrikus posterior, sebelah superior dengan
m.milohioid dan m.hioglosus serta sebelah inferior dengan lapisan anterior fasia leher dalam,
kulit leher dan dagu. Didalamnya terdapat kelenjar liur submaksila atau submandibula dengan
duktusnya yang berjalan ke posterior, melalui tepi posterior m.milohioid masuk ke ruang
sublingual. Infeksi pada ruang submandibular ini menyebar hingga bagian superior dan
posterior, yang mengakibatkan peninggian dasar mulut dan lidah. Tulang hioid membatasi
penyebaran ke inferior, sedangkan pembengkakan dapat menyebar hingga bagian anterior

leher, menyebabkan distorsi dan gambaran bull neck.7


2.2 Definisi

Pseudoangina ludovici dapat merupakan kelanjutan dari angina ludovici, dimana


terdapat fluktuasi pada perabaan. Angina ludovici adalah infeksi ruang submandibula berupa
selulitis yang menyebar dengan cepat, potensial menyebabkan kematian, yang mengenai ruang
sublingual dan submandibular. Umumnya, infeksi dimulai dengan selulitis, kemudian
berkembang menjadi fasialitis dan akhirnya berkembang menjadi abses yang menyebabkan
indurasi suprahioid, pembengkakan pada dasar mulut dan elevasi serta perubahan letak lidah
ke posterior. Wilheim Frederick Von Ludwig pertama kali mendeskripsikan angina ludovici
ini pada tahun 1836 sebagai gangrenous cellulitis yang progresif yang berasal dari regio

kelenjar submandibular.2,7,8
2.3 Epidemiologi

Pseudoangina ludovici adalah penyakit langka yang dapat berpotensi mengancam


nyawa jika proses infeksinya menyebar sampai ke mediastinum. Faktor predisposisi utama
adalah higiene orodental yang buruk sedangkan faktor predisposisi lainnya adalah penyakit
sistemik dan penyakit imunodefisiensi karena penyakit- penyakit tersebut dapat mempermudah
perkembangan bakteri serta penyebaran infeksi, seperti diabetes mellitus, neutropenia,
alkoholisme, anemia aplastik, glomerulonephritis, dermatomiositis dan lupus eritematosus

sistemik.9

Angka kejadian pseudoangina ludovici paling sering pada usia 20 sampai 60 tahun,
dengan dominasi laki-laki dibandingkan perempuan adalah 3 : 1. Angka kematian akibat
pseudoangina ludovici sebelum dikenalnya antibiotika mencapai angka 50% dari seluruh
kasus yang dilaporkan, sejalan dengan perkembangan antibiotika, perawatan bedah yang baik

dan tindakan yang cepat dan tepat, maka saat ini angka kematian hanya 5%.8,9
2.4 Etiologi

Pseudoangina ludovici terjadi sebagai akibat infeksi yang berasal dari gigi geligi, tetapi
dapat juga terjadi sebagai akibat proses supuratif limfatik nodi servikalis pada ruang
submaksilaris. Infeksi biasanya disebabkan oleh bakteri golongan streptococcus, stafilococcus
dan bakteroides. Namun, 50% kasus disebabkan oleh polimikroba baik oleh gram positif atau
gram negatif, aerob ataupun anaerob. Organisme yang paling sering pada pseudoangina
ludovici yaitu Streptococcus viridans dan Stafilococcus aureus. Bakteri anaerob juga sering
terlibat, termasuk Bakteroides, Peptostreptococcus dan Peptococcus. Bakteri gram positif
lainnya yaitu Fusobacterium nucleatum, Aerobacter aeruginosa, Spirochetes, Veillonella,
Candida Eubakteria dan Clostridium species. Bakteri gram negatif yaitu Neisseria spesies,
Escherichia coli, Pseudomonas species, Haemophilus influenza dan Klebsiella species.
Kombinasi bakteri aerob dan anaerob memberikan efek sinergis, menyebabkan produksi
endotoksin seperti kolagenase, hyaluronidase dan protease, kombinasi hal tersebut memicu
perkembangan infeksi secara cepat dengan manifestasi nekrosis jaringan, tromboplebitis lokal,
bau tidak sedap dan terbentuknya gas gangren. 8,10,11

Penyebab lain dari pseudoangina ludovici yaitu sialodenitis, abses peritonsil, fraktur
mandibular terbuka, kista duktus tiroglosus yang terinfeksi, epiglotitis, injeksi intravena ke
leher, bronkoskopi yang menyebabkan trauma, intubasi endotrakea, laserasi oral, infeksi
saluran napas atas dan trauma pada dasar mulut. Jika infeksi bukan berasal dari gigi, biasanya
disebabkan oleh Streptococcus. Klebsiella pneumoniae merupakan bakteri aerob gram negatif
yang paling banyak ditemukan pada pasien diabetes mellitus. Lebih lanjut lagi, dikatakan
bahwa flora normal mulut pada umumnya mempunyai patogenitas yang rendah. Tetapi flora
mulut tersebut dapat berubah menjadi patogen pada keadaan-keadaan tertentu seperti
perubahan struktur pada mukosa normal atau terjadi iskemia jaringan dan tekanan potensial
oksidasi reduksi. Keadaan ini dapat memberi kesempatan pada organisme tersebut untuk
memperbanyak diri secara cepat dan mengadakan invasi ke sekeliling jaringan yang sehat.
Infeksi pada ruang ini dimulai dengan selulitis lokal pada jaringan ikat longgar dasar mulut,
kemudian dengan cepat menyebar. Pembengkakan ini menyebabkan sumbatan pada saluran
limfa, kelenjar liur submandibula dan duktusnya yang lewat pada dasar mulut. Dalam waktu
singkat terjadi pembengkakan jaringan ikat longgar superfisial dasar mulut. Kemudian terjadi
nekrosis jaringan dan pembengkakan yang menghasilkan pus.10,11

2.5 Patogenesis

Penyebab abses ini yang paling sering adalah infeksi gigi. Nekrosis pulpa karena karies
dalam yang tidak terawat dan periodontal pocket dalam merupakan jalan bakteri untuk
mencapai jaringan periapikal. Karena jumlah bakteri yang banyak, maka infeksi yang terjadi
akan meyebar ke spongiosa sampai tulang kortikal. Jika tulang ini tipis, maka infeksi akan
menembus dan masuk ke jaringan lunak. Penyebaran infeksi ini tergantung dari daya tahan
jaringan tubuh. Odontogen dapat menyebar melalui jaringan ikat, pembuluh darah dan
pembuluh limfe. Yang paling sering terjadi adalah perkontinuitatum karena adanya celah atau

ruang diantara jaringan yang berpotensi sebagai tempat berkumpulnya pus.7,10,11

250
Perjalanan infeksi pada rahang atas dapat membentuk abses palatal, abses submukosa,
abses gingiva, trombosis sinus kavernosus, abses labial dan abses fasial. Perjalanan infeksi
pada rahang bawah dapat membentuk abses sublingual, submental, abses submandibular,
abses submaseter dan pseudoangina ludovici. Ujung akar molar kedua dan ketiga terletak di
belakang bawah linea milohioid yang terletak di aspek dalam mandibular, sehingga jika molar
kedua atau ketiga terinfeksi dan membentuk abses, pusnya akan menyebar ke ruang

submandibular dan dapat meluas ke ruang parafaring. 10,11


Pseudoangina ludovici yang disebabkan oleh infeksi odontogenik, berasal dari gigi
molar kedua atau ketiga bawah. Gigi ini mempunyai akar yang berada di atas m.milohioid dan
abses di lokasi ini dapat menyebar ke ruang submandibular. Infeksi yang menyebar di luar
akar gigi yang berasal dari gigi premolar pada umumnya terletak dalam sublingual pertama
sedangkan infeksi di luar akar gigi yang berasal dari gigi molar umumnya berada dalam ruang

submandibular.10
Infeksi dengan cepat menyebar dari ruang submandibular, sublingual dan submental yang
menyebabkan pembengkakan dan elevasi lidah dari dasar mulut. Ruang potensial terjadinya
pseudoangina ludovici adalah ruang suprahioid yang berada antara otot-otot yang melekatkan lidah
pada tulang hioid dan milohioid, peradangan pada ruang ini menyebabkan pembengkakkan pada
jaringan dasar mulut dan mendorong lidah ke atas dan belakang, sehingga menyebabkan obstruksi

jalan napas.11

Infeksi pada ruang submental biasanya terbatas karena adanya kesatuan yang keras dari
fasia servikalis profunda dengan m.digastrikus anterior dan tulang hioid. Infeksi pada ruang
submaksilar biasanya terbatas di dalam ruang itu sendiri, tetapi dapat pula menyusuri
sepanjang duktus submaksilar Wartoni dan mengikuti struktur kelenjar menuju ruang
sublingual atau dapat juga meluas ke bawah sepanjang m.hioglosus menuju ruang-ruang fasia

leher. 12
Pada infeksi ruang sublingual, edema terdapat pada daerah terlemah di bagian superior
dan posterior, sehingga mendorong supraglotik laring dan lidah ke belakang, akhirnya akan
mempersempit saluran dan menghambat jalan nafas. Penyebaran infeksi berakhir di bagian
anterior yaitu mandibular dan di bagian inferior yaitu m.milohioid. Proses infeksi kemudian
berjalan di bagian superior dan posterior, meluas ke dasar lantai mulut dan lidah. Tulang hioid
membatasi terjadinya proses ini di bagian inferior sehingga pembengkakan menyebar ke

daerah depan leher yang menyebabkan perubahan bentuk dan gambaran “bull neck”.12,13
2.6 Manifestasi klinis

Gejala klinis ekstra oral meliputi eritema, pembengkakan, perabaan yang keras seperti
papan, peninggian suhu leher dan disfonia atau hot potato voice akibat edema pada organ
vokal. Gejala klinis intra oral meliputi pembengkakkan, nyeri dan peninggian lidah. Gejala
lainnya yaitu adanya pembengkakan yang nyeri pada dasar mulut dan bagian anterior leher,
demam, nyeri menelan atau odinofagia, hipersalivasi, trismus, nyeri pada gigi, suara serak,

stridor, distres pernapasan dan sianosis.1,8,9


Pada pemeriksaan fisik terdapat demam dengan karakteristik dasar mulut yang
bengkak dan kemerahan. Dijumpai karies pada gigi molar bawah, indurasi dan
pembengkakkan ruang submandibular yang dapat disertai dengan lidah terdorong ke atas.
Trismus dapat terjadi karena adanya iritasi pada m. mastikator. Tanda-tanda penting seperti
pasien tidak mampu menelan air liurnya sendiri, dispneu, takipneu, stridor inspirasi dan
sianosis yang menunjukkan adanya sumbatan jalan nafas. Pada pasien dapat mengalami

disfonia yang disebabkan oleh edema struktur vokalis.9,12,13

2.7 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan


penunjang. Pada anamnesa, didapatkan gejala awal berupa nyeri pada area gigi yang
terinfeksi, dagu terasa tegang dan nyeri saat menggerakkan lidah. Pasien mungkin akan
mengalami kesulitan membuka mulut, berbicara dan menelan, yang mengakibatkan keluarnya

air liur terus-menerus serta kesulitan bernapas.12


Pada pemeriksaan fisik terlihat dasar mulut yang kemerahan dan membengkak. Saat
infeksi menyebar ke belakang mulut, peradangan pada dasar mulut akan menyebabkan lidah
terdorong ke atas dan belakang sehingga menyumbat jalan napas. Jika laring ikut
membengkak, saat bernafas akan terdengar bunyi stridor. Pembengkakkan pada jaringan
anterior leher diatas tulang hioid sering disebut bull’s neck appearance. Biasanya penderita
akan mengalami dehidrasi akibat kurangnya cairan yang diminum maupun makanan yang
dimakan. Demam tinggi mungkin ditemui, yang mengindikasikan adanya infeksi sistemik.
Terdapat 4 tanda kardinal dari pseudoangina ludovici, yaitu keterlibatan secara
bilateral atau lebih ruang leher dalam, gangren yang disertai dengan pus serosanguinous,
keterlibatan jaringan ikat, fasia dan otot tetapi tidak mengenai struktur kelenjar dan

penyebaran melalui ruang fasial lebih sering daripada melalui sistem limfatik.14,15

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan seperti laboratorium dan radiologi. Pada
pemeriksaan darah tepi didapatkan peningkatan leukosit yang
mengidentifikasikan adanya infeksi akut. Pemeriksaan kultur dan sensitivitas dilakukan untuk
menentukan jenis bakteri dan pemilihan antibiotika yang sesuai.
Foto polos jaringan lunak leher anteroposterior dan lateral merupakan prosedur
diagnostik yang penting. Pada pemeriksaan foto jaringan lunak leher pada kedua posisi
tersebut dapat diperoleh gambaran deviasi trakea, udara di daerah subkutis, cairan di dalam
jaringan lunak dan pembengkakan daerah jaringan lunak leher. Keterbatasan pemeriksaan ini
adalah tidak dapat membedakan antara selulitis dan pembentukan abses. Foto thoraks
digunakan untuk mendiagnosis adanya edema paru, pneumotoraks, pneumomediastinum atau
pembesaran kelenjar getah bening hilus.14
Foto panoramik rahang dapat membantu menentukan letak fokal infeksi atau abses,
serta struktur tulang rahang yang terinfeksi. Pemeriksaan ultra sonography (USG) merupakan
sarana penunjang diagnostik yang tidak invasif dan relatif murah. USG dapat menunjukkan
lokasi dan ukuran pus serta sebagai pemandu pada saat aspirasi atau drainase abses.
Pemeriksaan CT-Scan dapat membantu menggambarkan lokasi dan perluasan abses.
Pada gambaran CT-Scan dapat ditemukan adanya daerah densitas rendah, peningkatan
gambaran kontras pada dinding abses dan edema jaringan lunak di sekitar abses. Pemeriksaan
magnetic resonance imaging (MRI) memberikan gambaran peningkatan densitas pada jaringan
yang mengalami inflamasi dibandingkan dengan jaringan normal. Pemeriksaan MRI relatif
mahal dan tidak setiap Rumah Sakit mempunyai alat ini, sehingga pemeriksaan MRI pada

kasus abses leher dalam bukan merupakan prosedur baku.14,15


2.8 Diagnosis banding

Diagnosis banding dari pseudoangina ludovici adalah edema angioneurotik, karsinoma

lingual, sublingual hematoma, abses kelenjar ludah, limfadenitis dan selulitis.2

2.9 Penatalaksanaan

Penilaian keadaan umum pasien penting dalam penatalaksanaan abses leher dalam.
Prioritas utama adalah stabilisasi jalan nafas dan sirkulasi. Karena abses leher dalam memiliki
potensi mengancam nyawa maka pasien harus dirawat di Rumah Sakit. Pada kasus
pseudoangina ludovici dengan sumbatan jalan nafas diperlukan penanganan segera dengan

trakeostomi yang bertujuan untuk mengamankan jalan nafas.16,17


Kemudian diberikan antibiotika dosis tinggi dan spektrum luas secara intravena untuk
organisme gram positif dan gram negatif serta kuman aerob dan anaerob. Antibiotik yang
diberikan sesuai kultur dan hasil sensitivitas pus. Antibiotika yang digunakan adalah penisilin
G dosis tinggi dan metronidazole, klindamisin, seftriakson dan amoksisilin asam klavulanat.
Meskipun masih kontroversi, pemberian kortikosteroid untuk mengurangi edema dan
meningkatkan penetrasi antibiotika. Anti inflamasi intravena diberikan dalam 48 jam untuk

mengurangi edema dan perlindungan jalan nafas.18

Selain itu dilakukan eksplorasi untuk tujuan dekompresi (mengurangi ketegangan) dan
evakuasi pus atau jaringan nekrosis. Pembedahan dapat dilakukan melalui insisi di garis
tengah secara horizontal setinggi os hyoid (3-4 jari di bawah mandibula) bertujuan
mengurangi ketegangan yang terbentuk pada dasar mulut. Sebelum dilakukan insisi dan
drainase, sebaiknya dilakukan persiapan terhadap kemungkinan trakeostomi karena
ketidakmampuan dilakukan intubasi pada pasien. Insisi drainase diindikasikan jika terdapat
infeksi supuratif dengan pemeriksaan radiologis berupa gambaran penumpukan cairan di
dalam soft tissue dan krepitasi. Drainase juga diindikasikan jika tidak ada perbaikan setelah
pemberian terapi antibiotika. Drainase dilakukan di muskulus milohioid ke dalam ruang

sublingual. Mencabut gigi yang terinfeksi juga penting untuk proses drainase.16

Antibiotika harus segera diberikan dalam dosis adekuat secara parenteral. Sebelum ada
hasil kultur dan resistensi, diberikan antibiotika berdasarkan pengalaman/secara empiris jenis
kuman yang sering ditemukan yaitu kuman aerob dan anaerob. Untuk pemberian terapi
medikamentosa pada pasien dengan kecurigaan pseudoangina ludovici dapat diberikan
antibiotik penisilin G 300.0001.200.000 unit/hari atau amoksisilin 25-30 mg/kgBB/hari atau
sefalosporin 25-30 mg/kgBB/hari atau gentamisin 20-80 mg 1-2 kali sehari atau klindamisin
600-900 mg intravena setiap 8 jam atau kombinasi penisilin dan metronidazole. Metronidazole
dapat diberikan intravena 3 x 500 mg/hari. Pemberian antibiotika dapat mengurangi kematian
akibat dari infeksi ruang leher dalam, tetapi infeksi pada ruang yang lebih dalam dapat

menimbulkan komplikasi yang fatal dan mengancam jiwa.8,9

Bila abses sudah mengalami penjalaran ke ruang leher dalam seperti ke daerah
parafaring atau retrofaring maka perlu dilakukan pemberian antibiotika sesuai kultur dan tes
sensitivitas serta tindakan pembedahan. Keputusan untuk melakukan pembedahan didasarkan
atas beberapa pertimbangan, yaitu jika tidak terdapat perbaikan dalam waktu 24 jam yang
ditandai dengan demam dan nyeri tekan, pembengkakan dan leukositosis yang menetap, ancaman
sumbatan jalan napas, adanya komplikasi neurovaskular yang mengancam nyawa, pus tampak lebih dari

3 cm pada CT-Scan.2,11

2.10 Komplikasi

Komplikasi yang paling sering terjadi adalah sumbatan jalan nafas, penjalaran infeksi dan abses
ke ruang leher dalam lain dan mediastinum serta sepsis yang menyebabkan semakin sulitnya
penanganan dan bahkan dapat menyebabkan terjadinya kematian. Bila terjadi penjalaran ke daerah

intrakranial dapat mengakibatkan trombus sinus kavernosus, meningitis dan abses otak.10,11,13

Komplikasi yang lainnya meliputi asfiksia yang disebabkan oleh edema pada soft tissue leher,
infeksi dinding karotis, ruptur arteri, tromboflebitis supuratif dari vena jugularis, mediastinitis akut,
empisema, efusi pleura, osteomeilitis mandibular, perikarditis bakterial dan aspirasi pneumonia.

2.11 Prognosis

Prognosis akan semakin baik bila dideteksi lebih awal dan ditangani secara adekuat. Prognosis
lebih buruk apabila sudah terjadi komplikasi seperti mediastinitis akut dan perikarditis bakterial.
DAFTAR PUSTAKA

1. Gadre AK, Gadre KC. Infections of the deep spaces of the neck. In: Bailey BJ,
Johnson JT,editors. Head & neck Surgery Otolaryngology. 4th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins;2006. p.665-82.
2. Imanto M. Evaluasi Penatalaksanaan Abses Leher Dalam Di Departemen THT-KL
Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung Periode Januari 2012– Desember 2012. Juke
Unila . 2015; 5(9): 33-37.
3. Brotfain E, Koyfman L, Odes LS, Borer A, Refaely Y, Klein M. Case Report : Deep
Neck Infection and Descending Mediastinits as a Complication of Propionibacterim
acnes Odontogenic Infection. Israel. 2015. Available at: http: //
dx.doi.org/10.1155/2015/190134.
4. Diamantis S, Giannakopoulos H, Chou J, Foote J. Descending necrotizing
mediastinitis as a complication of odontogenic infection. International Journal of
Surgery Case Reports. 2011;2(5):65-7.
5. Imazio M, Gaita F, LeWinter M. Evaluation and Treatment of Pericarditis: A
Systematic Review. Jama. 2015;314(14):1498-506.
6. Panda NK, Mann SBS, Sharma SC. Mediastinitis Following Deep Neck Infections :
A Therapeutic Challenge. In : Indian Journal of Otolaryngology and Head and Neck
Surgery Vol. 52 No. 4. Chandigarh, India. 2000: p.391-4.
7. Rocha FS, Batista JD, Silva CJ, Júnior RB, Raposo LHA. Considerations for the
Spread of Odontogenic Infections — Diagnosis and Treatment2015 2015-04-22.
8. Huang SH, Yang SW, Lee MH, See LC, Chen TM, Chen TA. Deep Neck Abscess:
An Analysis Of Microbial Etiology And The Effectiveness Of Antibiotics. Infection
and Drug Resistance. 2008:1 :1–8.
9. Charles W. Cummings , Lee Harker. Deep neck infection. In : Head & Neck Surgery
Otolaryngology. 4th edition. Pennsylvania: Elsevier Mosby. 2007: p.2517-598.
10. Furst IM, Ersil P, Caminiti M. A Rare Complication of Tooth Abscess-
Ludwig’s Angina and Mediastinitis. In J Can Dent Assoc. America. 2001:p. 324-7
11. Higler Boies A. Rongga Mulut dan Faring. In : Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta:
EGC; 1997. p.345-6.
12. Fachruddin D. Abses leher dalam. Dalam: Iskandar M, Soepardi AE editor. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok. Edisi ke 7. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI.
2007: p. 185-8
13. Scott BA, Steinberg CM, Driscoll BP. Infection of the deep Space of the neck. In:
Bailley BJ, Jhonson JT, Kohut RI et al editors. Otolaryngology Head and neck
surgery. Philadelphia: JB.Lippincott Company. 2001.p.701-15
14. Ballenger J J. Disease of the oral cavity. In: Ballenger J J, Snow Jr J B,eds.
Otorhinolaryngology: Head and Neck Surgery. 15th Ed. United states of
America : Williams & Walkins; 1996. p.233-234.
15. Rana K, Rathore PK, Wadhwa V, Kumar S. Deep Neck Infections: Continuing
Burden in Developing World. International Journal of Phonosurgery and
Laryngology. 2013;3(1):6-9.
16. Rizzo P, Mosto MCD. Submandibular Space Infection: A Potentially Lethal
Infection. International Journal of Infectious Diseases. 2009;13:327-33.
17. Oliver ER, Gillespie MB. Deep Neck Space Infections. In: Flint PW, Haughey BH,
Lund VJ, Niparko JK, Richardson MA, Robbins KT, et al., editors.
18. Cummings Otolaryngology Head and Neck Surgery. 5th ed. Philadelphia: Mosby,
Inc.; 2010. p. 201-8.
19. Aynehchi BB, Har El G. Deep neck Infection. In: Johnson JT & Rosen CA, eds. Bailey’s
Head and Neck Surgery Otolaryngology, 5th edition, Philadelphia: Lippincort
William & Wilkins, 2014: p. 749-816

Anda mungkin juga menyukai