Anda di halaman 1dari 3

POLITIK HUKUM PERADILAN MASA REFORMASI DI

INDONESIA
Ketika orde baru lengser karena dilanda gerakan gelombang gerakan reformasi,
kemudian muncul gagasan tentang masyarkat baru yang ingin mewujudkan sebuah hal
yang baru yang diwujudkan dalam bentuk reformasi total dalam kehidupan, yaitu
masyarakat Madani, sebuah kehidupan masyarakat yang terbuka atau istilah nya
transparansi, sebagai istilah pengganti untuk “cicvil sociaty” dengan paradigm yang
tentunya baru pula yang lebih demokrasi, keadilan sossial, penghormatan atas martabat
manusia (Mukthie Fadjar, 2003:7). Dalam konteks politik hukum jelas bahwa hukum
adalah “alat” yang bekerja dengan “system hukum’ tertentu untuk mencapai sebuah
tujuan Negara atau sebuah cita-cita masyarakat Indonesia.
Reformasi hukum dapat dilakukan melalui berbagai upaya seperti penyempurnaan
dan pembaharuan peraturan perundang-undangan dan pengembangan budaya hukum,
pemberdayaan lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya. Sedangkan
karakter produk hukum sangat ditentukan oleh visi politik yang berkembang
dimasyarakat. Semakin demokratis suatu rezim, semakin responsif dan aspiratif
produk hukum yang dihasilkan dan sebaliknya.
Negara hukum (rechtstaat) yang dianut Indonesia, secara eksplisit kini telah
dimuat dalam batang tubuh perubahan keempat Undang-undang Dasar 1945. Kedudukan
hukum menjai jelas, tegas dan memiliki kekuatan imperative, karena tidak lagi dimuat di
dalam bab penjelasan seperti halnya di dalam Undang-undang Dasar 1945. Konseskuensi
logis dianut paham Negara hukum, adalah keharusan untuk mewujudkan adanya
kemandirian badan peradilan/hakim (independenc of judiciary), dan dalam system
peradilan di Indonesia.
Namun demikian pada era reformasi ini, yang dianggap sebagai era transisi,
semestinya hakim berperan aktif dalam mewujudkan keadilan di masa transisi. Namun
yang banyak ditemui hukum tersebut “Tajam kebawah Tumpul Keeatas”. Keadilan inilah
yang disebut Teitel sebagai keadilan progresif, yang tentu saja ditegakkan atas prinsiip
rule of law. Namun pada kenyataannya, para hakim di Indonesia tidak menggunakan
palunya untuk menegakkan keadilan untuk menghukum sebuah kejahatan. Para hakim
tidak berperan akktif memperbaiki hukum, tapi malah berperan aktif menciptakan
kebobrokan hukum (Satjipto Rahardjo, Kompas, 19 Juli 1999).
Reformasi Peradilan, merupakan bagian dari reformasi kehidupan ketatanegaraan
sebagai hasil dari gerakan moral dan perlawanan rakyat terhadap praktek penyelewangan
dalam penyelenggaran Negara khususnya oleh penguasa Orde Baru. Alih-alih proses
peradilan dijalankan di atas landasan moral dan transparan, yang terjadi adalah praktik
“judicial corruption” dan berpihaknya proses peradilan untuk membela kepeningan
penguasa korup ketika itu. Memasuki era baru setelah reformasi tahun 1999, semua
tatanan kehidupan politik, social dan ekonomi harus diletakkan dalam paradigm yang
baru, hal ini dianggap penting mengingat banyak sekali rakyat Indonesia yang belum
memperoleh sebuah keadilan social politik, ekonomi dan hukum.
Saya memilih membahas tentang “Politik Hukum Peradilan Pada Era Reformasi”
ini karena saya tertarik membahasnya lebih lanjut tentang bagaiman keadaan peradilan
pada saat Reformasi tersebut. Dan hendaknya artikel saya ini bisa menambah sedikit

1
wawasan ita mengenai keadilaan pada era reformasi ini. Saya tentunya juga sadar bahwa
dalam artikel ini masih banyak terdapat kekurangannya.

Pemeritah Orde Baru menjanjikan untuk menjadikan perubahan lembaga


peradilan sebagai bagian dari pengelolaan pemerintahan berdasrkan prinsip Negara
hukum. Menurut konsep ini, lembaga peradilan akan bebas dari campur tangan politik
(Lev 1978; Pompe 2005: 87). Selain gagasan meletakkan pembaharuan lembaga
peradilan sebagai bagian dari pengelolaan pemerintahan berdasar prinsip Negara hukum,
terdapat pula dua hal lain yang mencirikan politik hukum peradilan semasa Orde Baru.
Pertama, selain dilandasi oleh motif politik untuk mengkonsolidasikan dan
menyeimbangkan kekuasaan, politik hukkum peradilan di masa ini juga mewakili
kontestasi ideologi liberal menghadapi ideology patrimonialistik (Lev 19788). Kedua,
berdasarkan periodisasi, politik hukum peradila Rezim Orde Baru dapat dibagi kedalam 2
kurun waktu yaitu sebelum dan sesudah pemberlakuan UU No. 14/1970 tentang
ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman.
Kritik para eksponen utama Orde Baru pada politiik hukum peradilan warisan
orde lama berdasar pada penilaian bahwa pemerintahan orde lama telah menyimpang dari
Pancasila dan UUD 1945. Inilah yang dijadikan sebagai titik berangkat oleh Orde Baru
untuk membedakan dirinya dengan Orde Lama karena meniatkan untuk mengoreksi
kesalahan Orde Lama dengan cara memurnikan pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945.
Sejarah mencatat bahwa sepanjang perjalanan sejarah penerapan UUD 1945
tersebut telah menampilkan dominasi rezim berkuasa yang diiringi lemahnya kesadaran
masyarakat kewarganegaraan (Mukhtie Fadjar, 2003:45). Ketika Orde Baru Soeharto
jatuh pada tahun 1998, pengadilan Indonesia secara luas dianggap tidak lebih dari
perpanjangan kekuasaan eksekutif dan militer. Tetapi melawan segala rintangan,
Mahkamah Agung berkomitmen untuk sebuah proses reformasi peradilan sejak tahun
1998 dalam ulasan singkat ini. Tidak jarang pengadilan memutuskan kasus-kasus yang
bertentagan dengan kepentinga pemerintah, partai politik, dan bisnis besar. Pengadilan
sekarang secara taratur menghukum para politisi dan penjabat elit tingkat nasional dan
local (terkadang dengan hukuman berat). Ini hamper tidak pernah terdengar selama Orde
Baru. Jika proses reformasi akan dilanjutkan, reformasi akan membutuhkan formula baru,
strategi cerdas dan dukungan yang lebih luas baik dari masyarkat dan lembaga Negara
lainnya dimana, sayangnya, proses reformasi saat ini tampaknya berlangsung stagnan.
Kita tidak bisa melewatkan realitas perubahan politik ini karena berdampak pada
pekerjaan hukum. Kini hukum harus dapat berdiri sendiri secara otentik karena tidak ada
lagi kekuasaan dan kekuatan yang mendukungnya. Upaya penegakan hukum di negeri
ini sesungguhnya tidak equivalen dengan wacana reformasi peradilan dan penguatan
etika-filosofi keadilan dalam proses hukum peradilan. Hukum dan peradilan seolah lebih
memihak nasib kelompok social yang kaya dibandingkan komunitas masyarakat miskin.
Pengadilan harus keluar dari paradigma yang lama dan menyonsong paradigam baru.
Sesuai dengan tuntuntan rakyat, system hukum peradilan harus berbenah agar tercipta
peradilan yang baru yang lebih mengedepankan sebuah keadilan yang sama rata.

2
Dapat simpulkan bahwa, masyarakat menginginkan sebuah kemajuan dalam
system peradilan di Indonesia ini, banyak dari mereka yang merasa bahwa dimata hukum
kita beda-bedakan tidak terdapat sebuah keadilan bagi mereka yang tidak mempunyai
apa-apa. Bahkan sampai saat ini hukum peradilan di Indonesia masih terasa begitu
memilukan, hukum seakan menjadi sebuah barang yang bisa diperjual belikan dengan
iming-iming materi yang menggiurkan. Hal ini jelas sekali melanggar UUD Pasal 28 D
ayat 1 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama diahadapan hukum.”
Penegakkan hukum merupakan kewibawaan suatu Negara sehingga hukum harus
ditegakkan seadil-adilnya. Reformasi Peradilan, merupakan bagian dari reformasi
kehidupan ketatanegaraan sebagai hasil dari gerakan moral dan perlawanan rakyat
terhadap praktek penyelewangan dalam penyelenggaran Negara khususnya oleh penguasa
Orde Baru. Reformasi hukum telah mengalami kemajuan tetapi masih terbatas pada
reformasi di bidang substansi hukum.

DAFTAR PUSTAKA :

Ariyanto.(2012, Januari).Politik Hukum Peradilan Pada Era Reformasi Di


Indonesia.Jurnal Politik Hukum. Volume 2. Halaman (1-6).

Umbu Lily Pekuwaly.(2009, Februari).Potret Reformasi Hukum Di Indonesia Pasca


Reformasi Tahun 1998.hasil seminar tentang “Nilai-nilai Pancasila sebagai Dasar
Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia. Halaman (2).

Anda mungkin juga menyukai