Anda di halaman 1dari 50

1

A. Judul: Hubungan Antara Prestasi Belajar Pendidikan Agama Islam Dan Sikap
Sosial Siswa Kelas X Di SMA Negeri 1 Kuala Mandor B Kabupaten Kubu Raya,
Tahun Ajaran 2019/2020.
B. Latar belakang
Pendidikan merupakan salah satu agenda penting nasional dalam rangka
penciptaan dan peningkatan sumber daya manusia yang berkualitas yang terus
menerus dilaksanakan. Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan nasional perlu
dilakukan pembenahan dalam unsur yang terkait dengan pendidikan, di antaranya
penyediaan buku-buku pelajaran, sarana dan prasarana, pembinaan tenaga guru
yang profesional, serta perbaikan kurikulum sekolah.
Pendidikan Agama Islam artinya “bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan
hukum Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran Islam”.1
Artinya bahwa setiap manusia yang diciptakan oleh Allah SWT agar dapat
menjalankan dan mengamalkan ajaran agama Islam dalam kehidupannya sehari-
hari sebagai ibadah kepada Allah SWT, hal ini sebagaimana dijelaskan di dalam
firman Allah yaitu :
Pentingnya Pendidikan Agama Islam dalam kehidupan anak juga dapat
ditinjau dari fungsinya, seperti pendapat yang menyatakan bahwa “untuk
membentuk manusia pembangunan yang bertaqwa kepada Allah SWT di samping
memiliki pengetahuan dan keterampilan juga memiliki kemampuan
mengembangkan diri bermasyarakat serta kemampuan untuk bertingkah laku
berdasarkan norma-norma menurut ajaran agama Islam”. Berdasarkan kutipan
tersebut dapat dipahami bahwa Pendidikan Agama Islam mempunyai peranan
yang sangat penting di dalam pengembangan kepribadian anak, baik secara
individu maupun secara sosial, sebagaimana firman Allah yaitu :
Hal ini selaras dengan hadist nabi, yakni:

“Barangsiapa melewati suatu jalan untuk mencari ilmu, Allah memudahkan


untuknya jalan ke surga” riwayat Muslim.
2

Dengan demikian, tujuan pendidikan Islam adalah suatu proses yang mengarah
terhadap pembentukkan akhlak atau kepribadian yang mulia berdasarkan nilai dan
norma-norma agama, untuk mencapai hidup seorang muslim yakni menumbuhkan
kesadaran manusia sebagai makhluk Allah SWT.
Abdul Majid dan Dian Andayani (2004: 135) tujuan pendidikan agama Islam
di sekolah atau madrasah dalam kurikulum PAI yaitu untuk menumbuhkan dan
meningkatkan keimanan melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan,
penghayatan, serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga
menjadi manusia muslim yang terus berkembang dalam hal keimanan, ketakwaan,
berbangsa dan bernegara, serta untuk dapat melanjutkan pada jenjang pendidikan
yang lebih tinggi.
Kesuksesan pelaksanaan pendidikan di sekolah dipengaruhi oleh beberapa
faktor, salah satunya yaitu subjek pendidikan, siswa sebagai subjek pendidikan
turut menentukan keberhasilan dalam proses pendidikan. Ada beberapa faktor
yang mempengaruhi siswa dalam belajar yaitu faktor internal, faktor eksternal,
dan faktor pendekatan belajar. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Muhibbin Syah
(2003: 130-132), faktor internal siswa adalah faktor yang berkaitan dengan
keadaan jasmani dan rohani siswa, faktor eksternal adalah kondisi lingkungan di
sekitar siswa, dan faktor pendekatan belajar adalah jenis upaya belajar siswa yang
meliputi strategi, metode yang digunakan siswa untuk melakukan kegiatan
pembelajaran. Di mana faktor internal siswa meliputi dua aspek yaitu aspek
fisiologis yang berkaitan dengan seluruh organ tubuh siswa dan aspek psikologis
meliputi tingkat kecerdasan, sikap, bakat, minat, dan motivasi siswa.
Mutu pendidikan sangat penting dalam rangka peningkatan peradaban dan
pembangunan bangsa di masa depan seperti tertuang dalam Undang- Undang
Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal
1 ayat 1, yang berbunyi:
”Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran, agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
3

masyarakat, bangsa dan negara”.


“Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermanfaat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Lembaga pendidikan termasuk di dalamnya sekolah merupakan tumpuan
harapan para orang tua dan warga masyarakat terhadap anak-anaknya untuk
memperoleh pengetahuan, ketrampilan, sifat kepribadian dan perilaku, sebagai
sarana pengembangan diri, peningkatan status sosial, dan bekal hidup. Setiap
manusia memiliki potensi untuk memperoleh ilmu pengetahuan baik diperoleh
dengan cara belajar maupun dengan pengalaman. Masing-masing individu pun
memilki potensi dan kemampuannya yang berbeda antara satu dengan yang
lainnya.
Dalam konteks pendidikan, perbedaan individu peserta didik dapat berupa:
inteligensi, kepribadian, keadaan jasmani, keadaan sosial, bakat atau prestasi.
Tingkat prestasi yang dicapai oleh seorang peserta didik diyakini mempunyai
hubungan terhadap perilaku maupun sikap sosial peserta didik itu sendiri dalam
bidang-bidang tertentu, terutama prestasi peserta didik dalam bidang keagamaan.
Anak merupakan individu yang masih polos dan lugu, yang sangat mudah
terpengaruh oleh hal-hal yang ia peroleh melalui pengalaman di lingkungannya.
Sikap Sosial ataupun perilaku anak juga kebanyakan menyesuaikan dengan apa
yang ia peroleh, termasuk pendidikan keagamaan sekolah. Pendidikan keagamaan
di sekolah diajarkan pada mata pelajaran Pendidikasn Agama Islam (PAI).
Mata pelajaran tersebut merupakan salah satu sarana bagi sekolah maupun guru
dalam menyiapkan peserta didik menjadi insan yang memahami ajaran islam dan
berakhlaqul karimah, dan menanamkan nilai-nilai kehidupan yang baik, serta
kedepannya menjadikan peserta didik dapat mempunyai sikap sosial yang baik,
yang dapat dijadikan sebagai bekal dalam kehidupan bermasyarakat kedepannya.
4

Melihat pentingnya tujuan Pendidikan Agama Islam di sekolah, maka guru


berusaha semaksimal mungkin agar proses pembelajaran Pendidikan Agama
Islam di sekolah berjalan dengan efektif. Proses pembelajaran ini akan
berpengaruh pada Prestasi Belajar peserta didik yang pada akhirnya juga
berpengaruh pada keberhasilan pemahaman terhadap nilai-nilai keagamaan yang
merupakan titik awal untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Siswa di SMA Negeri 1 Kuala mandor B kabupaten Kubu Raya ini setiap
harinya dibiasakan oleh guru PAI untuk bersikap yang sesuai dengan ajaran
agama Islam. Di dalam sekolah para siswa memang bertingkah laku baik, tetapi
kenyataannya setelah guru PAI melakukan pengamatan pada siswanya di luar
lingkungan sekolah, sikap siswa itu berbanding terbalik dengan sikap sosial saat
di sekolah. Seperti di sekolah, guru selalu memberikan penjelasan terutama bagi
siswa putri untuk selalu menutup auratnya di sekolah maupun di luar sekolah,
tetapi ada beberapa siswa yang tidak demikian dalam sikap pergaulan siswa di
sekolah juga tidak baik seperti sering memamerkan barang miliknya dan tidak
jarang dalam berteman mereka membuat kelompok yang tidak mudah berbaur
dngan orang lain, sehingga menimbulkan kecemburuan sosial.
Selain itu pada era kemajuan ilmu pendidikan dan tekhnologi (iptek)xcvb ini,
perubahan global semakin cepat terjadi dengan adanya kemajuan-kemajuan dari
negara maju di bidang teknologi informasi dan komunikasi. Kemajuan iptek ini
mendorong semakin majunya proses globalisasi. Teknologi komputer misalnya,
membanjiri setiap negara, bangsa, dan budaya tanpa mengenal batas bangsa,
negara dan budaya. Kenyataan semacam ini akan mempengaruhi nilai, sikap atau
tingkah laku kehidupan individu dan masyarakatnya (Muhaimin, 2012: 85).
Kalau kita cermati, sebenarnya pendidikan moral bangsa sudah mendapatkan
perhatian serius dari pemerintah Indonesia baik dalam format yang masih umum
seperti mata pelajaran PAI dengan memasukkan mata pelajaran tersebut ke dalam
kurikulum. Dengan adanya pembelajaran PAI di sekolah-sekolah, diharapkan
peserta didik dapat memiliki pengetahuan, pemahaman dan penghayatan yang
cukup tentang moralitas agama yang selanjutnya diaplikasikan dalam kehidupan
dan sikap sehari-hari.
5

Berdasarkan pemikiran di atas, peneliti tertarik untuk lebih jauh meneliti sejauh
mana prestasi pembelajaran PAI dapat berhubungan dengan sikap sosial siswa
dengan peneliti spesifikkan pada sikap sosial antar teman sebaya, oleh karena itu
peneliti mengambil tema: “Hubungan Antara Prestasi Belajar Pendidikan
Agama Islam Dan Sikap Sosial Siswa Kelas X di SMA Negeri 1 Kuala
Mandor B Kabupaten Kubu Raya, Tahun Ajaran 2019/2020”.
C. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan di atas, maka dapat
diperoleh dua aspek identifikasi masalah sebagai berikut:
1. Aspek dari luar
a. Kurangnya perhatian orang tua terhadap sikap siswa di luar sekolah.
b. Sikap pergaulan di sekolah yang tidak sesuai dengan akhlak pergaulan
Islam.
c. Kurangnya membentengi diri pengaruh lingkungan dan budaya luar yang
membawa dampak buruk.
2. Aspek dari dalam
a. Mudahnya seorang anak untuk meniru hal-hal yang baru.
b. Kurangnya kontrol diri seorang anak untuk bersosialisasi yang baik.
c. Tidak sesuainya sikap yang di tampilkan anak di sekolah dengan di luar
sekolah.
D. Pembatasan Masalah
Setelah mengidentifikasi berbagai permasalahan yang ada, maka penulis
membatasi permasalahan sebagai berikut:
1. Pembelajaran pendidikan agama Islam meliputi : Keimanan, Fiqh, Akhlak
dan Sejarah/Tarikh.
2. Sikap sosial siswa terdiri dari beberapa indikator, yaitu: Sikap sosial
berpakaian sesuai syariat, sikap sosial pergaulan dengan teman sebaya dan
menghindari sikap tercela dalam Islam.
E. Rumusan Masalah
Dengan melihat latar belakang dan batasan masalah yang telah dijelaskan
sebelumnya, maka dapat dirumuskan sebagai berikut:
6

1. Bagaimana Prestasi Belajar pendidikan agama Islam siswa kelas X di SMA


Negeri 1 Kuala mandor B kabupaten Kubu Raya tahun ajaran 2019/2020?
2. Bagaimana sikap sosial siswa kelas X di SMA Negeri 1 Kuala mandor B
kabupaten Kubu Raya tahun ajaran 2019/2020?
3. Adakah hubungan Prestasi Belajar pendidikan agama Islam dengan sikap
sosial siswa kelas X di SMA Negeri 1 Kuala mandor B kabupaten Kubu Raya
tahun ajaran 2019/2020?
F. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui hasil Prestasi Belajar pendidikan agama Islam siswa kelas
X di SMA Negeri 1 Kuala mandor B kabupaten Kubu Raya tahun ajaran
2019/2020.
2. Untuk mengetahui sikap sosial siswa kelas X di SMA Negeri 1 Kuala mandor
B kabupaten Kubu Raya tahun ajaran 2019/2020.
3. Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan Prestasi Belajar pendidikan agama
Islam dengan sikap sosial siswa kelas X di SMA Negeri 1 Kuala mandor B
kabupaten Kubu Raya tahun ajaran 2019/2020.
G. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan penulis dari penelitian ini adalah manfaat
mencakup aspek teoritis maupun praktis.
1. Manfaat teoritis
a. Bermanfaat untuk menambah khasanah pengetahuan yang berhubungan
dengan pendidikan agama Islam.
b. Meningkatkan kesadaran akan pentingnya Prestasi Belajar pendidikan
agama Islam dalam menumbuhkan sikap sosial.
c. Sebagai bahan pijakan penelitian selanjutnya.
2. Manfaat praktis
a. Sebagai motivator bagi siswa akan pengaruh pendidikan agama Islam
dalam menumbuhkan sikap sosial.
b. Memberikan kontribusi kepada para siswa dalam rangka menumbuhkan
sikap sosial lewat Prestasi Belajar pendidikan agama Islam.
7

H. Kajian Teori
1. Prestasi Belajar
a. Pengertian Prestasi Belajar
Belajar merupakan suatu proses internal yang kompleks, yang terlibat
dalam proses internal adalah yang meliputi unsur afektif, dalam matra
afektif berkaitan dengan sikap, nilai-nilai, interes, apresiasi, dan
penyesuaian perasaan sosial, (Dimyati dan Mudjiono, 2002: 18). Beberapa
prinsip dalam belajar yaitu: Pertama, belajar berarti mencari makna.
Maknadiciptakan oleh siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan
dan alami. Kedua, kontruksi makna adalah proses yang terus menerus.
Ketiga, belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, tetapi merupakan
pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian yang baru Belajar
bukanlah hasil perkembangan, tetapi perkembangan itu sendiri. Keempat,
hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman subjek belajar dengan dunia
fisik dan lingkungannya. Kelima, hasil belajar seseorang tergantung pada
apa yang telah diketahui, siswa belajar, tujuan dan motivasi yang
mempengaruhi proses interaksi dengan bahan yang sedang dipelajari,
(Sardiman AM, 2011: 38).
Slameto juga mendefinisikan bahwa belajar adalah suatu proses usaha
yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku
yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman sendiri dalam
interaksi dengan lingkungan, (Slameto 2010:2). Berdasarkan kajian teori di
atas dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan suatu proses kegiatan
yang dilakukan oleh seseorang yang menghasilkan suatu perubahan
tingkah laku yang baru sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya. Kata
kunci dari pengertian belajar adalah “perubahan” dalam diri individu yang
belajar. Perubahan yang dikehendaki oleh pengertian belajar. Karena
belajar merupakan suatu proses usaha, maka di dalamnya terdapat tahapan-
tahapan yang harus dilalui untuk sampai kepada hasil belajar itu sendiri
yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotor.
8

Prestasi belajar merupakan kata majemuk yang terdiri dari kata prestasi
dan belajar. Prestasi belajar ini merupakan salah satu alat ukur tingkat
keberhasilan seorang siswa di dalam kegiatan proses belajar mengajar
yang diikutinya di sekolah. Dengan demikian, seorang siswa mendapat
prestasi belajar minimal dalam batas rangking tertentu, sering dikatakan
siswa tersebut berhasil. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata
prestasi diartikan sebagai, “hasil yang telah dicapai”, prestasi sebagai hasil
suatu kegiatan yang telah dikerjakan, diciptakan, baik secara individual
maupun kelompok, (Kamisa, 1997: 418).
Menurut Suharsimi (2008: 5), restasi belajar dapat ditentukan oleh
beberapa faktor dalam kegiatan proses pembelajaran di sekolah antara lain:
1) Siswa sendiri
2) Guru dan personal lainnya
3) Bahan pengajaran
4) Metode mengajar dan sistem evaluasi
5) Sarana penunjang
6) Sistem administrasi.
Menurut Sardiman AM (2011: 46), prestasi adalah kemampuan nyata
yang merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor yang mempengaruhi
baik dari dalam maupun dari luar diri individu dalam belajar.
Tulus Tu’u merumuskan prestasi belajar sebagai berikut:
1) Prestasi belajar siswa adalah hasil belajar yang dicapai siswa ketika
mengikuti dan mengerjakan tugas dan kegiatan pembelajaran di
sekolah.
2) Prestasi belajar siswa tersebut terutama dinilai aspek kognitifnya karena
yang bersangkutan dengan kemampuan siswa dalam pengetahuan atau
ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sistesa dan evaluasi.
3) Prestasi belajar siswa dibuktikan dan ditunjukkan melalui nilai dari
hasil evaluasi yang dilakukan oleh guru terhadap tugas siswa dan
ulangan-ulangan atau ujian yang ditempuhnya.
9

Tulus Tu’u juga mengemukakan bahwa prestasi belajar siswa terfokus


pada nilai atau angka yang dicapai siswa dalam proses pembelajaran di
sekolah. Nilai tersebut terutama dilihat dari sisi kognitif, karena aspek ini
yang sering dinilai oleh guru untuk melihat penguasaan pengetahuan
sebagai ukuran pencapaian hasil belajar siswa. Nana Sudjana dalam Tulus
Tu’u mengatakan bahwa pada ketiga ranah ini yakni, kognitif, afektif dan
psikomotorik, maka ranah kognitiflah yang paling sering dinilai oleh para
guru di sekolah karena berkaitan dengan kemampuan para siswa dalam
menguasai isi bahan pengajaran. Karena itu unsur yang ada dalam prestasi
siswa terdiri dari hasil belajar dan nilai siswa, (Tulus Tu’u, 2004: 76).
Berdasarkan kajian teori di atas dapat disimpulkan bahwa prestasi
belajar merupakan hasil belajar seseorang yang diperoleh dari suatu proses
pembelajaran dan hasil belajar yang diperolehnya merupakan hasil dari
evaluasi atau penilaian yang dilakukan oleh guru kepada siswanya.
Penilaian tersebut diinterprestasikan dalam bentuk nilai. Maka jelaslah
bahwa prestasi belajar itu adalah hasil maksimal yang diperoleh siswa
dalam jangka waktu tertentu setelah mengikuti berbagai program latihan
dan program pengajaran yang telah disusun dan direncanakan sedemikian
rupa.
Prestasi belajar siswa dalam penelitian ini adalah hasil belajar siswa
yang berupa nilai tes dari peneliti yang diperoleh Kelas X Di SMA Negeri
1 Kuala Mandor B Kabupaten Kubu Raya, Tahun Ajaran 2019/2020.
b. Fungsi Prestasi Belajar
Menurut Zainal Arifin (2011: 12-13), prestasi belajar mempunyai
beberapa fungsi sebagai berikut:
1) Sebagai indikator kualitas dan kuantitas pengetahuan yang telah
dikuasai anak didik.
2) Sebagai lambang pemuasan hasrat ingin tahu.
3) Sebagai bahan informasi dalam inovasi pendidikan.
4) Sebagai indikator intern dan ekstern dari suatu institusi pendidikan.
5) Dapat dijadikan sebagai indikator terhadap daya serap anak didik.
10

c. Tujuan Prestasi Belajar


Menurut Zainal Arifin (2011: 15), tujuan prestasi yaitu:
1) Untuk mengetahui tingkat penguasaan siswa terhadap materi pelajaran
yang telah disampaikan.
2) Untuk mengetahui kecapakan, motivasi, bakat, minat, dan sikap siswa
terhadap program pembelajaran.
3) Untuk mengetahui tingkat kemajuan dan kesesuaian hasil belajar atau
prestasi belajar siswa dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar
yang telah ditetapkan.
4) Untuk mendiagnosis keunggulan dan kelemahan siswa dalam mengikuti
kegiatan pembelajaran.
5) Untuk seleksi yaitu memilih dan menentukan siswa yang sesuai dengan
jenis pendidikan tertentu.
6) Untuk menentukan kenaikan kelas.
7) Untuk menempatkan siswa sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
d. Ukuran Prestasi Belajar
Menurut Thorin (2006: 156), alternatif norma pengukuran prestasi
belajar sebagai indikasi keberhasilan belajar siswa setelah proses belajar
mengajar. Diantaranya norma pengukuran tersebut adalah:
1) Norma skala angka 0 sampai 10
2) Norma skala angka 0 sampai 100
3) Norma skala angka 0,0 - 4,0
4) Norma skala huruf dari A sampai E.10
Angka terendah yang menyatakan kelulusan atau keberhasilan belajar
skala 0-10 adalah 5 atau 6, sedangkan untuk skala 0-100 adalah 55 atau 60,
untuk skala 0,0 – 4,0 adalah 1,0 atau 1,2 dan untuk skala huruf adalah D.
e. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar
Prestasi belajar yang dicapai siswa dipengaruhi oleh dua faktor yakni:
1) Faktor yang berasal dari diri siswa
Faktor yang datang dari siswa terutama kemampuan yang
dimilikinya, di samping faktor kemampuan yang dimiliki siswa, ada
11

juga faktor lain seperti motivasi belajar, minat dan perhatian, sikap dan
kebiasaan belajar, ketekunan serta faktor fisik dan psikis.
2) Faktor yang berasal dari luar siswa
Prestasi belajar siswa sangat dipengaruhi oleh kualitas pengajaran.
Yang dimaksud dengan kualitas pengajaran ialah tinggi rendahnya atau
efektif tidaknya proses belajar mengajar dalam mencapai tujuan
pengajaran, (Nana Sudjana, 2011: 39-40).
Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa menurut Abu
Ahmadi (2004: 138), yaitu sebagai berikut:
1) Faktor yang tergolong internal, adalah:
a) Faktor jasmaniah (fisiologi) baik yang bersifat bawaan maupun yang
diperoleh. Yang termasuk faktor ini misalnya penglihatan,
pendengaran, struktur tubuh.
b) Faktor psikologis baik yang bersifat bawaan maupun yang diperoleh
dari faktor intelektif dan non-intelektif.
c) Faktor kematangan fisik maupun psikis.
2) Faktor yang tergolong eksternal, adalah:
a) Faktor sosial yang terdiri atas lingkungan keluarga, sekolah,
masyarakat dan kelompok.
b) Faktor budaya seperti adat-istiadat, ilmu pengetahuan, teknologi, dan
kesenian.
c) Faktor lingkungan fisik seperti fasilitas rumah, belajar dan iklim.
d) Faktor lingkungan spiritual atau keamanan.
Tulus Tu’u (2004: 78-81), mengemukakan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi prestasi belajar siswa antara lain:
1) Kecerdasan
Artinya bahwa tinggi rendahnya kecerdasan yang dimiliki
seseorang siswa sangat menentukan keberhasilannya mencapai
prestasi belajar, termasuk prestasiprestasi lain sesuai macam
kecerdasan yang menonjol yang ada dalam dirinya.
2) Bakat
12

Bakat diartikan sebagai kemampuan yang ada pada seseorang


yang dibawanya sejak lahir, yang diterima sebagai warisannya dari
orang tuanya.
3) Minat dan perhatian
Minat adalah kecenderung yang besar terhadap sesuatu. Perhatian
adalah melihat dan mendengar dengan baik dan teliti terhadap
sesuatu. Minat dan perhatian biasanya berkaitan erat. Minat dan
perhatian yang tinggi pada suatu materi akan memberikan dampak
yang baik bagi prestasi belajarnya.
4) Motivasi
Motif adalah dorongan yang membuat seseorang berbuat sesuatu.
Motif selalu mendasari dan mempengaruhi setiap usaha serta
kegiatan seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkannya.
Dalam belajar, jika siswa mempunyai motif yang baik dan kuat, hal
itu akan memperbesar usaha dan kegiatannya mencapai prestasi yang
tinggi.
5) Cara belajar
Keberhasilan studi siswa dipengaruhi pula oleh cara belajarnya.
Cara belajar yang efisien memungkinkan siswa mencapai prestasi
yang tinggi dibandingkannya dengan cara belajar yang tidak efisien.
Cara belajar yang efisien sebagai berikut:
a) Berkonsentrasi sebelum dan pada saat belajar
b) Segera mempelajari kembali bahan yang telah diterima
c) Membaca dengan teliti dan baik bahan yang sedang dipelajari,
dan berusaha menguasai sebaik-baiknya
d) Mencoba menyelesaikan dan melatih mengerjakan soal-soal.
6) Lingkungan keluarga
Keluarga merupakan salah satu potensi yang besar dan positif
memberi pengaruh pada prestasi siswa.
7) Sekolah
13

Selain keluarga, sekolah adalah lingkungan kedua yang berperan


besar memberi pengaruh pada prestasi belajar siswa.
2. Pendidikan Agama Islam
a. Pengertian Pendidikan Agama Islam
Dalam kamus besar bahasa Indonesia edisi kedua, menjelaskan bahwa
pendidikan adalah proses perubahan sikap dan tata laku seseorang atau
kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan pelatihan, proses, perbuatan, cara mendidik. Menurut
Novan Ardy Wiyani (2012: 81) istilah pendidikan berasal dari kata “didik”
dengan memberinya awalan “pe” dan akhiran “an” mengandung arti
perbuatan (hal, cara dan sebagainya). Istilah pendidikan ini semula berasal
dari bahasa Yunani yaitu paedagogie yang artinya bimbingan yang
diberikan kepada anak. Azizy mengemukakan bahwa esensi pendidikan
yaitu adanya proses transfer nilai, pengetahuan, dan keterampilan dari
generasi tua kepada generasi muda agar generasi muda mampu hidup.
Oleh karena itu ketika kita menyebut pendidikan Islam, maka akan
mencakup dua hal yaitu: mendidik siswa untuk berperilaku sesuai dengan
nilai-nilai atau akhlak Islam, mendidik siswa-siswi untuk mempelajari
materi ajaran Islam yang subjeknya berupa pengetahuan tentang ajaran
Islam (Abdul Hamid dan Dian Andayani, 2006: 131).
Sedangkan pendidikan Islam menurut Zakiyah Daradjat dalam Sri
Minarti (2016: 27) pendidikan Islam didefinisikan dengan suatu usaha
untuk membina dan mengasuh peserta didik agar senantiasa dapat
memahami ajaran Islam secara menyeluruh. Setelah itu menghayati tujuan
yang pada akhirnya dapat mengamalkan dan menjadikan Islam sebagai
pandangan hidup.
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam itu
adalah pendidikan yang mengajarkan keimanan dan pengalamannya dalam
kehidupan sendiri ataupun masyarakat untuk memperbaiki akhlak dan
membentuk kepribadian manusia.
14

Pendidikan agama Islam adalah usaha sadar untuk menyiapkan siswa


dalam meyakini, memahami, menghayati dan mengamalkan agama Islam
melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan dengan
memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan
kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan
persatuan nasional (Muhaimin, 2012: 75-76).
Adapun penjelasan lain yang mengartikan pendidikan agama Islam
adalah ikhtiyar manusia dengan jalan bimbingan dan pimpinan untuk
membantu dan mengarahkan fitrah agama si anak didik menuju
terbentuknya kepribadian utama sesuai dengan ajaran agama (Abdul Majid
dan Dian Andayani, 2006: 138).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka jelas bahwa pendidikan
agama Islam adalah pendidikan yang dimulai dengan usaha-usaha yang
sistematis dan pragmatis yang berupa bimbingan dan asuhan untuk
membantu anak didik dalam menjalani kehidupannya yang Islami serta
menjadikan sebagai pandangan hidup sehingga terbentuk kepribadian yang
mulai untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
b. Ruang Lingkup Pendidikan Agama Islam
Pendidikan agama Islam mencakup usaha untuk mewujudkan
keserasian, keselarasan dan keseimbangan (Depag, 2013:8) antara :
1) Hubungan manusia dengan Allah SWT
2) Hubungan manusia dengan dirinya sendiri
3) Hubungan manusia dengan sesama manusia
4) Hubungan manusia dengan makhluk lain dan lingkungan alamnya
c. Dasar Pendidikan Agama Islam
Menurut Sri Minarti (2016: 40) dasar adalah landasan tempat berpijak
atau tegaknya sesuatu agar dapat berdiri kokoh. Demikian pula halnya
dengan dasar suatu pendidikan menurut Ahmadi (1992: 55) merupakan
pandangan yang mendasari seluruh aktifitas pendidikan, baik dalam
rangka menyusun teori, perencanaan maupun pelaksanaan pendidikan .
15

Pelaksanaan pendidikan agama di Indonesia mempunyai dasar-dasar


yang cukup kuat. Dasar-dasar tersebut dapat ditinjau dari berbagai segi,
diantaranya:
1) Dasar Yuridis/ Hukum
Yakni dasar-dasar pelaksanaan pendidikan agama yang berasal dari
peraturan perundang-undangan yang secara langsung ataupun secara
tidak langsung dapat dijadikan pegangan dalam melaksanakan
pendidikan agama di sekolah ataupun di lembaga pendidikan formal di
Indonesia. Adapun dasar dari yuridis formal tersebut ada 3 macam,
yaitu:
a) Dasar Ideal
Yakni menurut Ramayulis (1994: 19) dasar ideal adalah dasar
dari falsafah negara yaitu Pancasila, di mana sila yang pertama
adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini mengandung pengertian
bahwa seluruh bangsa Indonesia harus percaya dan takwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa atau tegasnya harus beragama.
Untuk mendidik menjadikan manusia yang bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa diperlukan adanya pendidikan agama yang
dilaksanakan dalam lembaga pendidikan formal, non formal dan in
formal. Dalam pendidikan sekolah telah terlihat usaha positif yang
dilakukan pemerintah dengan menjadikan bidang studi sekolah
“Pendidikan Agama” menjadi mata pelajaran wajib di sekolah-
sekolah mulai tingkat sekolah dasar sampai ke perguruan tinggi baik
negeri maupun swasta.
b) Dasar Struktural
Dari UUD 1945 dalam Bab XI pasal 29 ayat 1 dan 2, yang
berbunyi:
(1) Ayat 1 berbunyi: “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang
Maha Esa.”
16

(2) Ayat 2 berbunyi: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap


penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu....”
Pasal 29 UUD 1945 ini memberikan jaminan kepada warga
negara Republik Indonesia untuk memeluk agama dan beribadat
sesuai dengan agama yang dipeluknya bahkan mengadakan kegiatan
yang dapat menunjang bagi pelaksanaan ibadat. Dengan demikian
pendidikan Islam yang searah dengan bentuk ibadat yang
diyakininya diizinkan dan dijamin oleh negara (Nur Uhbiyati, 2005:
23).
c) Dasar Operasinal
Yang dimaksud dasar operasional ialah dasar yang secara
langsung mengatur pelaksanaan pendidikan agama di sekolah-
sekolah di Indonesia seperti yang disebutkan dalam Tap MPR No
IV/MPR/1973 yang kemudian dikokohkan dalam Tap MPR No
IV/MPR 1978. Ketetapan MPR No. II/MPR/1983, diperkuat oleh
Tap. MPR No. II/MPR/1988 dan Tap. MPR No. II/MPR/1993
tentang garis-garis besar Haluan Negara yang pada pokoknya
menyatakan bahwa pelaksanaan pendidikan agama secara langsung
dimaksudkan dalam kurikulum sekolah-sekolah formal, mulai dari
sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Dan diperkuat lagi dengan
Undang-undang RI No.20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS Bab X
Pasal 37 ayat 1 da 2 yang berbunyi sebagai berikut: (1) Kurikulum
pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: pendidikan agama,
pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan
alam, ilmu pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani,
ketrampilan/ kejuruan dan muatan lokal. (2) Pendidikan tinggi wajib
memuat: pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa.
(Abdul Hamid dan Dian Andayani, 2006: 132-133).
Dengan dasar-dasar pendidikan secara operasional bagaimana
pendidikan Islam secara idealitas dan bagaimana pendidikan Islam
17

secara realitas telah berjalan dalam kurun waktu 14 abad. Pendidikan


Islam yang terjadi antara suatu negara secara operasional akan
mengalami perbedaan. Hal ini karena perkembangan historisnya
tidak sama, begitu pula secara sosial, psikologis, politik yang
menentukan arah dan pelaksanaan pendidikan Islam disuatu negara.
Dasar-dasar pendidikan Islam yang terbentuk sebagai aktualisasi dari
dasar ideal. Menurut Hasan Langgulung ada enam, yaitu dasar historis,
dasar sosial, dasar ekonomi, dasar politik, dasar psikologis dan dasar
fisiologis.
Dasar historis adalah pengalaman masa lalu berupa peraturan dan
budaya masyarakat sebagai mata rantai yang berkelanjutan dari cita-cita
dan praktik pendidikan Islam. Sedangkan dasar sosial adalah dasar yang
memberikan kerangka budaya dimana pendidikan berkembang. Dasar
ekonomi merupakan yang memberikan perspektif terhadap potensi
manusia berupa materi dan persiapan yang mengatur sumber-sumbernya
yang bertanggung jawab terhadap anggaran pembelajarannya. Dasar
politik sebagai dasar yang memberikan bingkai dan ideologi dasar yang
digunakan sebagai tempat bertolak untuk mencapai tujuan yang dicita-
citakan dan rencaa yang dibuat. Dasar psikologis adalah dasar yang
memberikan informasi tentang watak peserta didik, guru dalam proses
pendidikan. Dasar fisiologis merupakan dasar yang memberikan
kemampuan memilih yang terbaik, sistem dan mengontrol dalam
menentukan yang terbaik untuk dilaksanakan.
Adapun dasar-dasar dari pendidikan Islam (Zuhairini, 1993:153),
adalah:
a) Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan sumber utama dan pertama dalam pendidikan
agama Islam yang bukan hanya sebagai pedoman umat manusia tetapi
menjadi kerangka segala kegiatan intelektual umat manusia. Sehingga
segala sesuatu yang berkenaan tentang hidup dan kehidupan manusia
sudah diatur dalam Al-Qur’an. Bila manusia berpegang teguh pada
18

petunjuk Al-Qur’an maka manusia akan mencapai keselamatan dan


kebahagiaan.
Menurut Akmal Hawi (2014: 64) dinamakan Al-Qur‟an karena di
dalamnya terhimpun hasil-hasil dari semua kitab-kitab Allah SWT.
Tegasnya lagi, suatu kumpulan dari hasil-hasil semua ilmu sebagaimana
terungkap dalam penjelasan tentang segala sesuatu. Al-Qur‟an juga
berarti suatu buku yang harus dibaca, sebagaimana tersimpul dari
pernyataan Rasul, bahwa Al-Qur‟an itu adalah buku bacaan yang
tersebar luas di seluruh dunia.
Sedangkan ayat Al-Qur‟an yang menjadi dasar pendidikan agama
Islam yaitu surat Shod ayat 29 yang membahas tentang perintah selalu
mempelajari apa yang telah Allah SWT karuniakan:
 
 

 
  
Artinya: “ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu
penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan
supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran”
(Kementrian Agama RI, Al Qur‟an dan Terjemahan: 2010).
b) Sunnah
Selain Al-Qur‟an, as-sunnah juga menjadi pegangan kaum muslimin
untuk melaksanakan pendidikan agama Islam. Sunnah merupakan
sumber ajaran kedua sesudah Al-Qur‟an. Sunnah memiliki peran untuk
menegaskan lebih lanjut ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur‟an,
sebagai penjelas isi Al-Qur‟an dan mengembangkan sesuatu yang tidak
ada atau samar-samar ketentuannya di dalam Al-Quran. Demikian
manusia akan lebih mudah memahami petunjuk yang terdapat dalam
Al-Qur‟an.
19

c) Ijma’
Ijma‟ merupakan kesepakatan para ulama muslim atas masalah
agama. Bila ijma‟ telah diputuskan secara permanen atas suatu perkara
agama, maka tidak boleh bagi siapapun keluar dari keputusan ijma‟
tersebut, karena mustahil umat muslim sepakat di atas kesesatan.
Menurut Ramayulis (1994: 18) Ijtihad di bidang pendidikan ternyata
sangat diperlukan, sebab ajaran Islam yang terdapat dalam Al-Qur‟an
dan Haditst adalah bersifat pokok-pokok dan prinsip-prinsipnya saja.
Bila ternyata ada yang agak terinci, maka rinciannya itu merupakan
contoh Islam dalam penerapan prinip itu.
Dengan demikian untuk melengkapi dan merealisir ajaran Islam itu
memang sangat dibutuhkan ijtihad, sebab globalisasi dari Al-Qur‟an
dan Hadist belum menjamin tujuan pendidikan Islam akan tercapai.
d. Tujuan Pendidikan Agama Islam
Sudiyono (2009: 31) tujuan pendidikan ialah perubahan yang
diharapkan pada subjek didik setelah mengalami proses pendidikan, baik
pada tingkah laku individu dan kehidupan pribadinya maupun kehidupan
masyarakat dan alam sekitarnya di mana individu itu hidup.
Pendidikan Agama Islam di sekolah/madrasah bertujuan untuk
menumbuhkan dan meningkatkan keimanan melalui pemberian dan
pemupukan pengetahuan, penghayatan, pengalaman, serta pengalaman
peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang
terus berkembang dalam hal keimanan, ketakwaan, berbangsa dan
bernegara, serta untuk dapat melanjutkan pada jenjang pendidikan yang
lebih tinggi (di ambil dari kurikulum PAI: 2002 dalam bukunya Abdul
Majid dan Dian Andayani 2006: 135). Seperti dalam firman Allah surat
Adzariyat: 56
  
   
20

Artinya: “dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku”(Kementrian Agama RI, Al Qur‟an dan
Terjemahan: 2010).
Menurut Nurcholis Majid dalam Sri Minarti (2016: 104), bentuk
konkret dari hal ini adalah transformasinya tujuan pendidikan Islam yang
menjadikan manusia bertaqwa kepada Allah dan dapat mengembangkan
rasa kemanusiaan terhadap sesamanya. Dengan demikian pendidikan Islam
secara fundamental adalah merupakan upaya manusia muslim merekayasa
pembentukan insan kamil melalui penciptaan institusi interaktif edukatif
yang kondusif.
Menurut pandangan Islam, tujuan pendidikan Islam sangat diwarnai dan
dijiwai oleh nilai-nilai ajaran Allah. Tujuan itu sangat dilandasi oleh nilai-
nilai Al-Quran dan hadist seperti yang termaktub dalam rumusan, yaitu
menciptakan pribadi-pribadi yang selalu bertaqwa kepada Allah, sekaligus
menciptakan kebahagiaan di dunia dan akhirat Hasan Langgulung dalam
Sri Minarti (2016: 105).
Oleh karena itu, berbicara pendidikan agama Islam baik makna maupun
tujuannya haruslah mengacu pada penanaman nilai-nilai Islam dan tidak
dibenarkan melupakan etika sosial atau moralitas sosial. Penanaman nilai-
nilai juga dalam rangka menuai keberhasilan hidup (hasanah) di dunia bagi
anak didik yang kemudian akan mampu membuahkan kebaikan di akhirat
kelak (Abdul Majid, 2012: 18).
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan
agama Islam adalah terbentuknya insan kamil yang bertaqwa kepada Allah
SWT, dengan penanaman nilai-nilai agama sehingga manusia dapat hidup
dengan tentram baik di dunia dan di akhirat dan dengan adanya nilai-nilai
agama yang terdapat pada diri manusia maka dalam bermasyarakat
ataupun berinteraksi dengan sesama manusia akan terjalin hubungan yang
harmonis.
e. Fungsi Pendidikan Agama Islam
21

Dalam bukunya Abdul Majid dan Dian Andayani (2006: 134-135)


kurikulum pendidikan agama Islam untuk sekolah atau madrasah berfungsi
sebagai berikut:
1) Pengembangan
Fungsi pengembangan yaitu meningkatkan keimanan dan ketakwaan
peserta didik kepada Allah SWT yang telah ditanamkan dalam
lingkungan keluarga. Sekolah berfungsi untuk menumbuhkembangkan
lebih lanjut dalam diri anak melalui bimbingan, pengajaran dan
pelatihan agar keimanan dan ketaqwaan tersebut dapat berkembang
secara optimal sesuai dengan tingkat perkembangannya.
2) Penanaman nilai
Fungsi penanaman nilai sebagai pedoman hidup untuk mencari
kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
3) Penyesuaian mental
Fungsi penyesuaian mental yaitu untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungannya baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial dan
dapat mengubah lingkungannya sesuai dengan ajaran agama Islam.
4) Perbaikan
Fungsi perbaikan yaitu untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan,
kekurangan-kekurangan, dan kelemahan-kelemahan peserta didik dalam
keyakinan, pemahaman dan pengalaman ajaran dalam kehidupan
sehari-hari.
5) Pencegahan
Fungsi pencagahan yaitu untuk menangkal hal-hal negatif dari
lingkungannya atau dari budaya lain yang dapat membahayakan dirinya
dan menghambat perkembangannya menuju manusia Indonesia
seutuhnya.
6) Pengajaran
Fungsi pengajaran yaitu tentang ilmu pengetahuan keagamaan secara
umum (alam nyata dan nir-nyata), sistem dan fungsionalnya.
7) Penyaluran
22

Fungsi penyaluran yaitu untuk menyalurkan anak-anak yang


memiliki bakat khusus di bidang Agama Islam agar bakat tersebut dapat
berkembang secara optimal sehingga dapat dimanfaatkan untuk dirinya
sendiri dan bagi orang lain, (Abdul Majid dan Dian Andayani, 2004:
134-135).
Selain itu, fungsi pendidikan agama Islam juga dapat berupa sebagai
berikut:
1) Memperkenalkan dan mendidik anak didik agar meyakini ke-Esaan
Allah SWT, pencipta semesta alam beserta seluruh isinya, biasanya
dimulai dengan menuntunnya mengucap La illaha illallah.
2) Memperkenalkan kepada anak didik apa dan mana yang diperintahkan
dan mana yang dilarang (hukum halal dan haram).
3) Menyuruh anak agar sejak dini dapat melaksanakan ibadah, baik ibadah
yang menyangkut hablumminallah maupun ibadah yang menyangkut
hablumminannas.
4) Mendidik anak didik agar mencintai Rasulullah Saw, mencintai ahlu
baitnya dan cinta membaca Al Qur‟an.
5) Mendidik anak didik agar taat dan hormat kapada orang tua serta tidak
merusak lingkungannya (Zakiyah Daradjat, 2006:101.
Jadi fungsi pendidikan agama Islam di sini dapat dijadikan inspirasi dan
pemberi kekuatan mental yang akan menjadi bentuk moral yang mengawasi
segala tingkah laku dan petunjuk jalan hidupnya serta menjadi obat bagi
penyakit gangguan jiwa.
f. Materi Pendidikan Agama Islam di SMP
Mata pelajaran pendidikan agama Islam itu secara keseluruhannya dalam
lingkup Al-Qur‟an dan al-hadist, keimanan/aqidah, akhlak, fiqh/ibadah, dan
SKI, sekaligus menggambarkan bahwa ruang lingkup pendidikan agama
Islam mencakup perwujudan keserasian, keselarasan dan keseimbangan
hubungan manusia dengan Allah SWT, diri sendiri, sesama manusia,
makhluk lainnya maupun lingkungannya (Abdul Majid dan Dian Andayani,
2006: 131). Selain itu di dalam kurikulum kemuhammadiyahan sendiri dalam
23

mata pelajaran PAI terdapat pendidikan kemuhammadiyahan, yang mana


masih dikategorikan dalam satu rumpun PAI.
Kurikulum yang digunakan di SMP Negeri 1 Kuala Mandor B adalah
kurikulum K-13, dalam proses pembelajarannya sudah mulai diterapkan
kepada para siswa untuk active learning yaitu dimana siswa dituntut untuk
lebih aktif dalam pembelajarannya.
KI dan KD Pendidikan Agama Islam SMP tahun ajaran 2019/2020
Kelas VIII semester 2 SMP Negeri 1 Kuala Mandor B
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
Al-Qur’an
1. Memahami ayat-ayat Al- 1.1. Membaca QS Ali Imran; 159 dan
Qur’an tentang Demokrasi QS Asy Syura; 38.
1.2. Menyebutkan arti QS Ali Imran
159 dan QS Asy Syura; 38.
1.3. Menampilkan perilaku hidup
demokrasi seperti terkandung
dalam QS Ali Imran 159, dan QS
Asy Syura; 38 dalam kehidupan
sehari-hari.
Aqidah
2. Meningkatkan keimanan 2.1. Menjelaskan tanda-tanda beriman
kepada Malaikat. kepada malaikat
2.2. Menampilkan contoh-contoh
perilaku beriman kepada malaikat.
2.3. Menampilkan perilaku sebagai
cerminan beriman kepada malaikat
dalam kehidupan sehari-hari.
Akhlak
3. Membiasakan perilaku 3.1. Menjelaskan pengertian adab dalam
terpuji. berpakaian, berhias, perjalanan,
24

bertamu, dan atau menerima tamu.


3.2. Menampilkan contoh-contoh adab
dalam berpakaian, berhias,
perjalanan, bertamu atau menerima
tamu.
3.3. Mempraktikkan adab dalam
berpakaian, berhias, perjalanan,
bertamu dan atau menerima tamu
dalam kehidupan sehari-hari.
4. Menghindari perilaku tercela 4.1 Menjelaskan pengertian hasad, riya,
aniaya dan diskriminasi
4.2 Menyebutkan contoh perilaku
hasad, riya, aniaya dan diskriminasi
4.3 Menghindari hasad, riya, aniaya
dan diskriminasi dalam kehidupan
sehari-hari
Fiqih
5. Memahami hukum Islam 5.1 Menjelaskan perundang-undangan
tentang zakat, haji dan wakaf. tentang pengelolaan zakat, haji dan
waqaf.
5.2 Menyebutkan contoh-contoh
pengelolaan zakat, haji dan wakaf.
5.3 Menerapkan ketentuan perundang-
undangan tentang pengelolaan
zakat, haji dan wakaf.
Tarikh dan Kebudayaan
Islam
6. Memahami keteladanan 6.1 Menceritakan sejarah dakwah
Rasulullah dalam membina Rasullah SAW periode Madinah
umat periode Madinah. 6.2 Mendeskripsikan strategi dakwah
25

Rasullullah SAW periode Madinah.

1. Sikap Sosial
a. Pengertian Sikap Sosial
Melihat dari tujuan pendidikan Islam, di mana terdapat pendidikan
akhlak Islam yang menjadi sistem pendidikan yang dapat memberikan
kemampuan seseorang untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-
cita Islam, karena nilai-nilai keislaman telah menjiwai dan mewarnai corak
kepribadian, (Yatimin Abdullah, 2007: 22)
Sedangkan prilaku atau sikap adalah kecendrungan atau kesediaan
seseorang untuk bertingkah laku tertentu jika mengalami rangsangan
tertentu, (Sarlito Wirawan, 1984: 20). Sebagaimana reaksi seseorang jika
ia terkena suatu rangsangan baik dari seseorang, benda-benda ataupun
suatu situasi-situasi mengenai dirinya, ketidaksesuaian prilaku seseorang
dengan sikapnya akan menimbulkan berbagai masalah psikologi bagi
Individu yang bersangkutan, sehingga ia berusaha untuk mengubah sikap
atau perilakunya.
Perilaku tidak berbeda dengan akhlak yaitu berarti budi pekerti,
perangai tingkah laku,tabiat (Hamzah Ya’qub, 1993: 29), atau suatu sikap
atau eaaa jiwa yang mendorong untuk melakukan perbuatan baik atau
buruk, yang dilakukan dengan mudah, tanpa berpikir dan direnungkan
terlebih dahulu dalam pemahaman ini, perbuatan itu dilihat dari
pangkalnya, yaitu motif atau niat (M. Amin Syukur, 2006: 141). Perilaku
dapat juga diartikan sebagai perbuatan atau kehendak, adapun kelakuan itu
sendiri berarti sebagai tiap perbuatan yang berdasarkan pada kehendak
(Ahmad Amin, 2983: 12).
Perilaku menurut Nana Sudjana adalah tanggapan atau reaksi individu
yang terwujud digerakan, sikap, tidak saja badan atau ucapan (Nana
26

Sudjana, 2009: 113). Dalam kamus besar bahasa Indonesia memberi


pengertian tentang perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu terhadap
rangsangan atau lingkungan (Tim Penyusun, 2002: 859). Manusia sebagai
makhluk individu dan sosial akan menampilkan tingkah laku tertentu, akan
terjadi peristiwa pengaruh mempengaruhi antara individu yang satu
dengan yang lain. Hasil dari peristiwa saling mempengaruhi tersebut maka
timbullah perilaku sosial tertentu yang akanmewarnai pola interaksi
tingkah laku setiap individu. Perilaku sosial individu akan ditampilkan
apabila berinteraksi dengan orang lain. Dalam hal ini yang sifatnya
cenderung konsisten dan stabil sehingga dapat ditampilkan dalam situasi
sosial yang berbedabeda.
Perilaku sosial adalah perilaku yang relatif menetap yang diperlihatkan
oleh individu dalam berinteraksi dengan orang lain. Perilaku sosial
berkembang melalui interaksi dengan lingkungan. Lingkungan akan turut
membentuk perilaku seseorang. Menurut Hasan Langgulung (1980: 139),
perilaku sosial adalah gerak motorik yang dipengaruhi oleh pengalaman
atau pemahaman seseorang yang dimanifestasikan dalam bentuk aktivitas
sosial seseorang yang dapat diamati. Tidak setiap jenis perilaku, walaupun
nyata dan bersifat formal, merupakan perilaku sosial. Sikapsikap subyektif
hanya merupakan perilaku sosial apabila berorientasi ke perilaku-perilaku
pihak lain.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku sosial adalah
suatu tindakan yang merupakan tanggapan pada lingkungan sosial.
Dipengaruhi oleh hadirnya orang lain, perilaku kelompok, perilaku yang
ada di bawah kontrol masyarakat. individu akan mengembangkan pola
respon tertentu
b. Bentuk-bentuk Sikap Sosial
Bambang Samsul Arifin (2015: 131-133) mengatakan bahwa setiap
orang dalam bersikap dan bertingkah laku itu sesuai dengan perkembangan
masing-masing individu tersebut. Dengan demikian, setiap orang harus
mampu berinteraksi dan memiliki kepedulian terhadap orang lain. Adapun
27

bentuk-bentuk sikap sosial dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai


berikut:
1) Sikap Positif
Dalam buku Psikologi Sosial dijelaskan bahwa yang termasuk dalam
bentuk sikap sosial adalah aspek kerja sama, solidaritas, dan tenggang
rasa. Berikut penjelasan secara singkat dari bentuk sikap sosial tersebut:
a) Aspek Kerja Sama
Kerja sama merupakan suatu hubungan saling membantu dari
orang-orang atau kelompok orang dalam mencapai suatu tujuan. Abu
Ahmadi dalam Bambang Samsul Arifin menjelaskan bahwa kerja
sama merupakan kecenderungan untuk bertindak dalam kegiatan
kerja bersama-sama menuju suatu tujuan.
Dengan demikian, sikap kerja sama merupakan kecenderungan
untuk bertindak dalam kegiatan kerja sama dalam mencapai suatu
tujuan tertentu. Ciri-ciri orang yang mampu bekerja sama dengan
orang lain adalah berperan dalam berbagai kegiatan gotong-royong,
tidak membiarkan teman atau keluarga mengalami suatu masalah
secara sendiri, dan bersikap mengutamakan hidup bersama, berdiri
sama tinggi dan duduk sama rendah.
b) Aspek Solidaritas
Solidaritas artinya ada kecenderungan seseorang dalam melihat
ataupun memerhatikan keadaan orang lain. Menurut Gerungan,
solidaritas dapat diartikan sebagai kecenderungan dalam bertindak
terhadap seseorang yang mengalami suatu masalah dengan cara
memerhatikan keadaan orang tersebut. Dengan demikian, solidaritas
merupakan salah satu bentuk sikap sosial yang dapat dilakukan
seseorang dalam melihat ataupun memerhatikan orang lain, terutama
seseorang yang mengalami suatu masalah.
c) Aspek Tenggang Rasa
Tenggang rasa adalah menjaga perasaan orang lain dalam
aktivitasnya sehari-hari. Sikap tenggang rasa dapat dilihat dari
28

adanya saling menghargai satu sama lain, menghindari sikap masa


bodoh, tidak menggangu orang lain, selalu menjaga perasaan orang
lain, dalam bertutur kata tidak menyinggung perasaan orang lain
dalam pergaulan, dan sebagainya.
Dengan demikian, tenggang rasa merupakan perwujudan dari
sikap dan perilaku seseorang dalam menjaga, menghargai, dan
menghormati orang lain.
2) Sikap Negatif
Bentuk sikap sosial seseorang yang negatif adalah sebagai berikut:
a) Iri, yaitu makna dalam Kamus Bahasa Indonesia ada tiga sinonim
dari iri yang menonjol, yaitu dengki, cemburu, dan sirik. Di samping
itu ada tiga ungkapan yang mendekati makna iri yaitu
“menginginkan sesuatu dan berbeda dengan pihak yang menjadi
referensi iri”, “tidak suka dengan orang tersebut karena memiliki
sesuatu”, dan “merasa tidak rela melihatnya mendapat kesenangan”.
b) Dengki, yaitu Dilihat dari maknanya kata dengki merupakan tindak
lanjut dari iri, yaitu intensi atau upaya untuk membuat pihak yang
diirikan mengalami kondisi negatif.
c) Egoisme, yaitu bentuk sikap seseorang yang merasa dirinya paling
unggul dalam segalanya dan tidak ada orang atau benda apa pun
yang mampu menjadi pesaingnya.
d) Prasangka sosial, adalah sikap negatif yang diperlihatkan oleh
individu atau kelompok terhadap individu lain atau kelompok lain.
e) Rasisme, yaitu sikap yang didasarkan pada kepercayaan bahwa suatu
ciri yang dapat diamati dan dianggap diwarisi, seperti warna kulit
yang merupakan tanda perihal inferioritas yang membenarkan
perlakuan diskriminasi terhadap orang-orang yang mempunyai ciri-
ciri tersebut.
f) Rasialisme, yaitu penerapan sikap diskriminasi terhadap kelompok
ras lain. misalnya, diskriminasi teman yang berbeda suku dan bahasa
di sekolah.
29

c. Komponen-Komponen Sikap
Dari beberapa hal yang dipaparkan dalam pengertian sikap di atas,
pada umunya pendapat yang banyak diikuti adalah bahwa sikap itu
mengandung tiga komponen yang membentuk struktur sikap,
diantaranya:
a) Komponen kognitif (komponen perseptual), yaitu komponen yang
berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, keyakinan, yang mana
merupakan hal-hal yang berhubungan dengan bagaimana orang
mempersepsi terhadap objek sikap.
b) Komponen afektif (komponen emosional), yaitu komponen yang
berhubungan dengan rasa senang atau tidak senang terhadap objek
sikap. rasa senang merupakan hal yang positif, sedangkan rasa tidak
senang merupakan hal yang negatif. Komponen ini menunjukkan
arah sikap, yaitu positif atau negatif.
c) Komponen konatif (komponen perilaku, atau action component),
yaitu komponen yang berhubungan dengan kecenderungan bertindak
terhadap objek sikap. Komponen ini menunjukkan intensitas sikap,
yaitu menunjukkan besar kecilnya kecenderungan bertindak atau
berperilaku seseorang terhadap objek sikap (Bimo Walgito, 1995:
110)
Di samping pendapat tersebut di atas, ada pendapat lain yang
menyatakan bahwa sikap kemudian melibatkan satu komponen yaitu
komponen afek seperti yang dikemukakan Thrustone. Komponen afek
atau perasaan tersebut memiliki dua sifat, yaitu positif atau negatif.
Individu yang mempunyai perasaan positif terhadap suatu obyek
psikologis dikatakan menyukai obyek tersebut atau mempunyai sikap
yang favorable terhadap obyek itu. Sedangkan individu yang memiliki
perasaan negatif terhadap suatu obyek psikologis dikatakan mempunyai
sikap yang unfavorable terhadap obyek tersebut. Dalam sikap yang
positif reaksi seseorang cenderung untuk mendekati atau menyenangi
obyek tertentu, sedangkan dalam sikap yang negatif orang cenderung
30

untuk menjauhi atau menghindari obyek tersebut (Tri Dayakisni dan


Hudaniah, 2012: 80).
d. Pembentukan dan Perubahan Sikap
Pada dasarnya sikap bukan merupakan suatu pembawaan, melainkan
hasil interaksi antara individu dengan lingkungan sehingga sikap
bersifat dinamis. Faktor pengalaman besar peranannya dalam
pembentukan sikap.
Agus Abdul Rahman (2013: 132-134) menyatakan bahwa selama ini
sikap diyakini terbentuk melalui proses belajar dan hasil belajar,
karenanya sikap dapat mengalami perubahan sebagai berikut:
1) Sikap terbentuk karena mengamati orang lain atau belajar sosial
(learning by observing others). Dengan mengamati perilaku model,
anak membentuk sikap-sikapnya, dan menunjukkan perilaku sesuai
dengan sikapnya tersebut. Isalam menganggap model, referent
group, public figure sebaiknya bisa memberikan contoh yang baik.
Di dalam Al-Qur‟an disebutkan bahwa Muhammad Saw. atau
Ibrahim a.s. termasuk model yang bisa dijadikan suri tauladan,
sebagaimana firman Allah SWT QS Al-Ahzab: 21 sebagai berikut:
   
  
  
 
 
  

Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak
menyebut Allah”(Kementrian Agama RI, Al Qur‟an dan
Terjemahan: 2010).
31

2) Sikap terbentuk karena reward-punishment. Di kehidupan sehari-


hari, sebagian sikap kita mendapatkan reward, dan sebagiannya lagi
mendapatkan punishment. Di dalam Al-Qur‟an terdapat banyak ayat
yang berhubungan dengan reward dan punishment. Disebutkan
bahwa Muhammad Saw. tidaklah diutus kecuali untuk memberi
kabar gembira dan peringatan (QS. Al-Baqarah: 119). Selain itu,
Allah SWT. pun menyebutkan surga dan pahala sebagai reward bagi
orang-orang yang mengikuti perintah-Nya, serta neraka dan siksaan
sebagai punishment bagi orang-orang yang tidak mengikuti perintah-
Nya.
3) Sikap terbentuk karena proses asosiasi. Kita mempunyai
kecenderungan sikap tertentu pada orang lain kadang karena terjadi
asosiasi antara informasi baru dengan informasi yang sudah
diketahui.
4) Sikap terbentuk karena pengalaman langsung. Sikap seseorang bisa
saja terbentuk karena pengalamannya sendiri.
5) Sikap terbentuk melalui pengamatan terhadap perilaku sendiri.
Menurut Daryl Beum, pengamatan terhadap perilaku diri sendiri bisa
saja membentuk sikap seseorang.
I. Penelitian Terdahulu
Untuk mempermudah penyusunan skripsi, maka penulis akan mendeskripsikan
beberapa karya yang mempunyai relevansi dengan judul skripsi ini. Adapun
karya-karya tersebut adalah:
1. Sri Fatmawati (2011) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul
Hubungan antara pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) dengan akhlak
siswa kelas X di SMA Negeri 03 Tanggerang selatan. Berdasarkan hasil
analisis, berdasarkan t hitung , 𝛼 = 0,05 dan n = 40, uji satu pihak; dk= n-2 = 40
-2 = 38 sehingga diperoleh t table=1,684. Ternyata t hitung lebih besar dari
t table, atau 14,51 ≥ 1,684, maka Ho ditolak, artinya ada hubungan yang
signifikan antara pembelajaran pendidikan agama Islam terhadap akhlak siswa.
32

Apabila pembelajaran pendidikan agama Islam disandingkan dengan akhlak


maka akan memiliki jalur yang sejalan atau lurus. Hal ini disebabkan karena
kedua faktor tersebut baik itu pembelajaran pendidikan agama Islam maupun
akhlak sangat berkaitan erat dengan akhlak siswa sehingga mengalami
perubahan yang maksimal dari akhlak siswa tersebut.
2. Duhroh (2011) IAIN Semarang yang berjudul Hubungan Antara Prestasi
Belajar Pada Mata Pelajaran PAI Dengan Perilaku Keberagamaan Peserta
Didik Kelas Tinggi SD Kalipucang Kulon Batang. Berdasarkan hasil analisis,
hubungan antara dua variabel, yaitu Prestasi Belajar PAI dan perilaku
keberagamaan peserta didik kelas tinggi SD Kalipucang Kulon Batang dengan
menggunakan rumus korelasi product moment, dan diperoleh hasil perhitungan
rhitung = 0,546. Hubungan yang terjadi antara Prestasi Belajar dan perilaku
keberagamaan peserta didik kelas tinggi SD Kalipucang Kulon Batang masuk
2
pada kriteria hubungan tingkat sedang. Kemudian dari nilai R2 atau (rhitung )
= 0,298 dapat diketahui bahwa perilaku keberagamaan mempengaruhi hasil
belajar peserta didik kelas tinggi SD Kalipucang Kulon Batang sebesar 29,8%.
Perbedaan penelitian yang akan diteliti dengan penelitian yang dilakukan oleh
Duhroh adalah penelitian Duhroh menghubungkan Prestasi Belajar PAI dengan
perilaku keberagamaan siswanya sedangkan yang akan diteliti oleh peneliti
hubungan Prestasi Belajar PAI dengan sikap sosial siswa. Kesamaannya
terletak pada jenis penelitian dan variabel X digunakan yaitu sama-sama
meneliti Prestasi Belajar PAI.
3. Rina Anggraini (2017) IAIN Salatiga dengan judul hubungan Prestasi Belajar
mata pelajaran pendidikan agama Islam dengan perilaku keagamaan siswa
kelas XI MAN 2 Semarang kecamatan Tengaran kabupaten Semarang tahun
pelajaran 2017/2018. Berdasarkan hasil yang diperoleh yaitu 0,559, maka
korelasinya adalah kategori cukup. Untuk menguji apakah harga rxy = 0,559
tersebut signifikan atau tidak, kita konsultasikan dengan tabel product moment.
Pada harga tabel r-tabel pada taraf signifikansi 1% = 0,442 dan 5% = 0,344.
Karena harga rxy sebesar 0,559 lebih besar dari r tabel, maka kita nyatakan
33

signifikan, dan dapat disimpulkan bahwa hubungan antara X dan Y, yaitu


antara Prestasi Belajar Pendidikan Agama Islam dengan perilaku keagamaan
dinyatakan cukup signifikan.
J. Kerangka Pikir
Pendidikan Agama Islam di sekolah menengah pertama merupakan mata
pelajaran yang wajib diberikan kepada peserta didik dalam upaya pencapaian
tujuan Pendidkan Nasional. Dengan diberikannya pembelajaran pendidikan agama
Islam hendaknya mampu mencetak siswa yang berilmu, beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia.
Dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang diajarkan di sekolah-
sekolah terdapat ruang lingkup materi yang berisikan Al-Qur‟an Hadits, Akidah
Akhlak, Fiqh, Sejarah, Keimanan, Syariah, dan Bimbingan Ibadah, yang bila
kesemua materi tersebut ditanamkan kepada diri anak didik akan menghasilkan
individu yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Serta dapat terbentuk
perilaku yang sesuai dengan ajaran agama Islam, yaitu perilaku dalam kehidupan
sehari-hari yang berdasarkan ajaran agama Islam, baik yang berhubungan dengan
Allah maupun yang berhubungan dengan sesama manusia dan lingkungan (alam).
Dengan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam agama Islam,
sehingga siswa akan dapat merealisasikan secara langsung apa yang telah ia
dapatkan di sekolah sehingga siswa tidak hanya mengetahui tentang teorinya saja
tetapi juga cara pelaksanaannya.
Melihat dari tujuan pendidikan Islam, di mana terdapat pendidikan akhlak
Islam yang menjadi sistem pendidikan yang dapat memberikan kemampuan
seseorang untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita Islam, karena
nilai-nilai keislaman telah menjiwai dan mewarnai corak kepribadian.
Sedangkan prilaku atau sikap adalah kecendrungan atau kesediaan seseorang
untuk bertingkah laku tertentu jika mengalami rangsangan tertentu, (Sarlito
Wirawan, 1984: 20). Sebagaimana reaksi seseorang jika ia terkena suatu
rangsangan baik dari seseorang, benda-benda ataupun suatu situasi-situasi
mengenai dirinya, ketidaksesuaian prilaku seseorang dengan sikapnya akan
34

menimbulkan berbagai masalah psikologi bagi Individu yang bersangkutan,


sehingga ia berusaha untuk mengubah sikap atau perilakunya.
Pembelajaran pendidikan agama Islam pada anak akan berpengaruh terhadap
akhlak dan prilakunya sehari-hari. Pembelajaran pendidikan agama Islam yang
tinggi akan berpengaruh pada akhlak perilaku yang semakin baik. Individu yang
memiliki tingkat pembelajaran pendidikan agama Islam yang lebih baik, dapat
menjadi lebih terampil dalam menenangkan dirinya dengan cepat, memiliki sikap
sopan santun terhadap orang yang lebih tua, lebih terampil dalam memusatkan
perhatian, lebih baik dalam berhubungan dengan orang lain, lebih cakap dalam
memahami orang lain dan untuk akhlak perilakunya sehari-hari dan di sekolah
lebih baik.
Maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan agama Islam sama dengan
pendidikan akhlak, yang artinya bahwa pendidikan agam Islam sangat dibutuhkan
oleh siswa demi terciptanya akhlak al-karimah.
K. Hipotesis
Hipotesis pada dasarnya merupakan suatu preposisi atau anggapan yang
mungkin benar dan sering digunakan untuk dasar pembuatan keputusan dan
penelitian lebih lanjut. Dalam penelitian ini penulis mengajukan hipotesis sebagai
berikut: “Semakin tinggi Prestasi Belajar pendidikan agama Islam maka akan
semakin baik sikap sosial siswa”. Berdasarkan hipotesis tersebut maka hipotesis
alternatif (Ha) dan hipotesis nol (Ho) dapat dirumuskan. Adapun rumusan kedua
hipotesis tersebut adalah sebagai berikut:
Ha: Terdapat hubungan yang signifikan antara Prestasi Belajar pendidikan agama
Islam dengan sikap sosial siswa
Ho: Tidak ada hubungan yang signifikan antara Prestasi Belajar pendidikan
agama Islam dengan sikap sosial siswa
L. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan penelitian kuantitatif dengan
menggunakan analisis korelasional yang berdasarkan pada dua variabel dari
judul yang akan diteliti. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
35

hubungan antara dua variabel atau lebih, atau hubungan antara variabel bebas
dengan variabel terikat (Iskandar, 2008: 63).
Menurut Margono dalam bukunya Metodologi Penelitian Pendidikan
menyatakan bahwa ”Penelitian kuantitatif adalah suatu proses menemukan
pengetahuan yang menggunakan data berupa angka sebagai alat menemukan
keterangan mengenai apa yang ingin kita ketahui.
Untuk memperoleh data, fakta dan informasi yang akan menggambarkan
dan menjelaskan permasalahan tentang hubungan antara Prestasi Belajar
pendidikan agama Islam dengan sikap sosial siswa, maka penulis
menggunakan penelitian kuanitatif dengan menggunakan analisis korelasional
yang berdasarkan pada dua variabel.
2. Variabel Penelitian
”Variabel adalah obyek penelitian, atau apa yang menjadi titik perhatian
suatu penelitian”.
Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yang dijadikan sebagai acuan
dalam pengamatan, guna memperoleh data dan kesimpulan empiris mengenai
Pengaruh Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Terhadap Akhlak Siswa,
yaitu:
a. Variabel bebas (Variabel Independent), yaitu Prestasi Belajar Pendidikan
Agama Islam (variabel X)
b. Variabel terikat (Variabel Dependent) yaitu Sikap Sosial Siswa (variabel Y)
3. Tempat dan Waktu Penelitian
a. Tempat Penelitian
Tempat yang digunakan dalam penelitian ini adalah SMA Negeri 1 Kuala
Mandor B kabupaten Kubu Raya. Peneliti mengambil tempat di SMA
Negeri 1 Kuala Mandor B kabupaten Kubu Raya tersebut dengan
pertimbangan bahwa sekolah ini memiliki karakteristik siswa yang sesuai
dengan yang akan diteliti dan proses administrasi yang mudah.
b. Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan selama tiga bulan diawali dari bulan
Agustus 2019 sampai dengan Oktober 2019.
36

No Kegiatan Bulan
Agustus September Oktober
1 Pengajuan Judul
2 Pembuatan Proposal
3 Uji Coba Instrumen
4 Pengambilan Data
5 Pengolahan Data
6 Analisis Data
7 Pembuatan Laporan

4. Sumber Data
Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah subyek
dari mana data dapat diperoleh (Suharsimi Arikunto, 2013:129). Dalam
penelitian ini penulis menggunakan dua sumber data yaitu :
a. Sumber data primer, yaitu data yang langsung dikumpulkan oleh
peneliti (penulis) dari sumber pertamanya (Sumadi Suryabrata, 1987:
93). Adapun yang menjadi sumber data primer dalam penelitian ini
adalah guru Pendidikan Agama Islam (PAI), dan siswa di SMA 1 Kuala
Mandor B, Kubu Raya.
b. Sumber data skunder, yaitu data yang langsung dikumpulkan oleh
peneliti sebagai penunjang dari sumber pertama. Dapat juga dikatakan
data yang tersusun dalam bentuk dokumen-dokumen (Sumadi, 1987:
94). Dalam penelitian ini, dokumentasi dan angket merupakan sumber
data sekunder.
M. Populasi
Menurut Mundir (2014: 14) populasi adalah seluruh objek (orang, wilayah,
benda) yang kepadanya akan diberlakukan generalisasi kesimpulan hasil
penelitian.
Sedangkan menurut Sugiyono (2013: 90) populasi adalah wilayah generalisasi
yang terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik
tertentu yang ditetapkan untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.
37

Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X
di SMA Negeri 1 Kuala Mandor B kabupaten Kubu Raya dengan jumlah 35 anak.
N. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam
penelitian karena tujuan utama dari peelitian adalah mendapatkan data. Iskandar
(2008: 76) teknik pengumpulan data sangat erat hubungannya dengan pendekatan
apa yang digunakan oleh peneliti terhadap masalah yang ingin dikaji. Dalam
penelitian ini, digunakan metode sebagai berikut:
1. Metode Angket (Kuesioner)
Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan
cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada
responden untuk dijawabnya (Sugiyono, 2013: 142). sedangkan menurut
Ismail (2011: 101) kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang
digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan
tentang pribadinya atau hal-hal yang ia ketahui. Angket ini digunakan untuk
memperoleh data pada variabel sikap sosial keagamaan siswa. Maka
dipilihlah untuk menggunakan angket sebagai alat untuk pengumpulan data
dikarenakan sikap sosial siswa tidaklah sama antara satu dengan yang
lainnya.
Angket dibuat umtuk kemudian disebarkan kepada responden untuk
mendapatkan jawaban yang diperlukan dan dijadikan sampel penelitian untuk
mengetahui sikap sosial siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Kuala mandor B
kabupaten Kubu Raya Tahun Pelajaran 2016/2017.
2. Metode Pengukuran
Teknik pengumpulan data dengan pengukuran yakni dengan melakukan
beberapa tes penelitian, yaitu:
a. Validitas
validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat
kevalitan atau kesahihan instrument (Arikunto, 2010: 211). Pada penelitian
ini alat ukur berupa kuesioner diuji coba terlebih dahulu pada responden
uji coba. Hasil uji coba di lakukan uji korelasi antara skor item dengan
38

skor total dengan menggunakan teknik product moment, dengan rumus


sebagai berikut:
𝑟𝑥𝑦= 𝑁∑𝑋𝑌−(∑𝑋)(∑𝑌)

√(𝑁∑𝑋2 −(∑𝑋)2 )(𝑁∑𝑌2 −(∑𝑌)2 )

Keterangan:
𝑟𝑥𝑦 = koefisien korelasi X dan Y
N = Jumlah responden
X = skor rata-rata X
Y = Skor rata-rata Y
𝛴𝑋𝑌 = Jumlah perkalian X dan Y
𝛴𝑋 2 = Jumlah kuadrat dari variabel X
𝛴𝑌 2 = Jumlah kuadrat dari variabel Y
Dalam penelitian ini pengukuran dilakukan dengan bantuan komputer
yang menggunakan program SPSS (Statistical Product and Service
Solution). Untuk mengetahui valid tidaknya suatu butir soal maka
koefisien korelasi tiap butir tersebut dikonsultasikan dengan tabel r
Product Moment dengan taraf signifikansi 5%. Apabila rhitung suatu butir
tersebut lebih besar dari rtabel dinyatakan valid, sedangkan jika 𝑟ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔
kurang dari 𝑟𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 dinyatakan tidak valid.
b. Reliabilitas
Reliabilitas menunjuk pada suatu instrumen cukup dapat dipercaya
untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrumen tersebut
sudah baik (Arikunto, 2010: 221).
Pada penelitian ini untuk mencari reliabilitas tes bentuk objektif dapat
dilakukan dengan menggunkan rumus::
𝑛 𝑠2 ∑𝑝𝑞
𝑟11 = (𝑛−1)( )
𝑆2

Dengan ketentuan:
𝑟11 = Reabilitas instrument
p : proporsi subjek yang menjawab item dengan benar
q : proporsi subjek yang menjawab item dengan salah (q = 1 – p)
39

n : banyaknya item
s : standar deviasi dari tes, untuk soal bentuk uraian
Berbeda dengan soal bentuk objektif, untuk soal bentuk uraian dalam
mencari reliabilitas tes dapat dilakukan dengan menggunakan rumus alpha,
yaitu:
𝑛 ∑𝑆𝑡2
𝑟11 = (𝑛−1)(1 − )
𝑆𝑡2

Dengan ketentuan:
𝑟11 = Reabilitas instrument
n = Banyaknya butir pertanyaan
Σ𝑆𝑡2 = Jumlah variansi butir
𝑆𝑡2 = Variansi total
Dalam penelitian ini pengukuran dilakukan dengan bantuan komputer
yang menggunakan program SPSS. SPSS memberikan fasilitas untuk
mengukur reliabilitas dengan uji statistik Cronbach Alpha. Dengan
ketentuan Jika 𝑟ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑟𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 berarti soal reliabel. Namun Jika 𝑟ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 ≤
𝑟𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 maka butir soal tersebut tidak reliabel.
c. Tingkat Kesukaran
Tingkat kesukaran adalah merupakan peluang untuk menjawab benar
suatu soal pada tingkat kemampuan tertentu yang biasanya dinyatakan
dalam bentuk indeks. Soal yang baik adalah soal yang tidak terlalu mudah
atau tidak terlalu sukar. Soal yang terlalu mudah tidak merangsang siswa
untuk mempertinggi usaha memecahkannya. Sebaliknya soal yang terlalu
sukar akan menyebabkan siswa menjadi kesulitan menjawab soal dan
cenderung tidak mempunyai semangat untuk mencoba memecahkannya.
Tingkat kesukaran soal objektif dapat dihitung dengan rumus
(Suharsimi Arikunto, 2013: 208), sebagai berikut:
𝑁𝑝
P= 𝑁

Keterangan:
P : indeks kesukaran/tingkat kesukaran
𝑁𝑝 : banyaknya siswa yang menjawab soal itu dengan benar
40

N : jumlah seluruh siswa peserta tes


Kriteria indeks kesulitan soal adalah sebagai berikut:
0,00 – 0,30 soal kategori sukar
0,31 – 0,70 soal kategori sedang
0,71 – 1,00 soal kategori mudah
Langkah yang dilakukan untuk menghitung tingkat kesukaran soal
uraian (Anas Sudijono, 2015: 134) adalah :
1) Menghitung rata-rata skor untuk tiap butir soal dengan rumus:
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑝𝑒𝑠𝑒𝑟𝑡𝑎 𝑑𝑖𝑑𝑖𝑘 𝑡𝑖𝑎𝑝 𝑠𝑜𝑎;
Rata-rata = 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑠ℎ 𝑝𝑒𝑠𝑒𝑟𝑡𝑎 𝑑𝑖𝑑𝑖𝑘

2) Menghitung tingkat kesukaran dengan rumus:


𝑅𝑎𝑡𝑎−𝑟𝑎𝑡𝑎
Tingkat kesukaran = 𝑆𝑘𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑎𝑙 𝑡𝑖𝑎𝑝 𝑠𝑜𝑎𝑙

Interpretasi yang digunakan adalah semakin kecil indeks yang


diperoleh, maka semakin sulit soal yang digunakan. Sebaliknya, semakin
besar indeks yang diperoleh, semakin mudah soalnya. Soal yang baik
adalah soal yang berada di kategori sedang.
d. Daya Pembeda
Daya pembeda soal adalah kemampuan butir soal untuk dapat
membedakan antara siswa yang telah menguasai materi yang ditanyakan
dengan siswa yang kurang atau belum menguasai materi yang ditanyakan.
Butir soal yang daya pembedanya rendah, tidak ada manfaatnya akan
merugikan siswa yang belajar sungguh – sungguh.
Dalam (Suharsimi Arikunto, 2013: 214) tes bentuk objektif dalam
menghitung daya pembeda Nilai D dapat ditentukan menggunakan
persamaan 1) dan atau 2)
𝐴𝐵 𝐵𝐵
1) D = −
𝐴 𝐵

2) D = 𝑃𝐴 − 𝑃𝐵
Keterangan:
D = Indeks diskriminasi
A = Jumlah peserta kelompok Atas
𝐴𝐵 = Peserta kelompok Atas yang menjawab benar
41

B = Jumlah peserta kelompok Bawah


𝐵𝐵 = Peserta kelompok Bawah yang menjawab benar
𝑃𝐴 = Tingkat kesukaran kelompok Atas
𝑃𝐵 = Tingkat kesukaran kelompok Bawah
Untuk bentuk uraian, teknik yang digunakan untuk menghitung daya
pembeda yaitu:
X 𝐴− X 𝐵
D=
𝑆

Keterangan:
D : daya pembeda
X A: rata-rata dari kelompok atas
X B : rata-rata dari kelompok bawah
S: skor maksimum
Klasifikasi daya pembeda adalah sebagi berikut :
0,00 – 0,19 jelek
0,20 – 0,39 cukup
0,40 – 0,69 baik
0,70 – 1,00 Sangat baik

Dari klasifikasi diatas dapat diketahui bahwa butir soal dikatakan baik
jika mempunyai indeks daya pembeda diatas 0,40. Butir soal yang
mempunya indeks daya pembeda negatif tidak baik dan sebaiknya tidak
digunakan.
e. Efektifitas Pengecoh/Distractor
Efektifitas pengecoh adalah seberapa baik pilihan yang salah tersebut
dapat mengecoh peserta tes yang memang tidak mengetahui kunci jawaban
yang tersedia. Pada soal bentuk pilihan ganda ada alternatif jawaban (opsi)
dimana terdapat satu jawabab benar dan beberapa jawaban salah atau
pengecoh (distractor). Butir soal yang baik, pengecohnya akan dipilih
secara merata oleh peserta didik yang menjawab salah. Sebaliknya butir
42

soal yang kurang baik, pengecohnya akan dipilih secara tidak merata oleh
peserta didik yang menjawab salah.
Efektifitas pengecoh/distractor dapat diketahui dengan melihat pada
sebaran jawaban para siswa. Pada sebaran jawaban diperoleh dengan
menghitung banyaknya testee yang memilih pilihan jawaban atau yang
tidak memilih apapun. Dari pola sebaran jawaban dapat ditentukan apakah
pengecoh dapat berfungsi atau tidak. Suatu butir soal dapat dikategorikan
sebagai soal yang baik apabila pengecoh atau distractor dapat berfungsi
dengan baik. Pengecoh yang baik ditandai dengan dipilih oleh sedikitnya
5% dari peserta tes. Indeks pengecoh dihitung dengan rumus, (Zainal
Arifin, 2016:279):
𝑃
IP=(𝑁−𝐵)(𝑛−1) 𝑋100%

Keterangan:
P = jumlah peserta didik yang memilih pengecoh
N = jumlah peserta didik yang ikut tes
B = jumlah peserta didik yang menjawab benar pada setiap soal
n = jumlah alternatif jawaban (soal)
1 = bilangan tetap
Hasil perhitungan setiap pengecoh diinterpretasikan menggunakan
kriteria (Zainal Arifin, 2016:280), sebagai berikut :

Sangat Baik 76% - 125 %


Baik 51% - 75% atau 126% - 150%
Kurang Baik 26% - 50% atau 151% - 175%
Jelek 0% - 50% atau 176% - 200%
Sangat jelek > 200%

Efektifitas Pengecoh pada setiap butir soal kemudian disimpulkan


menggunakan kriteria yang diadaptasi dari Skala Likert sebagai berikut
(Sugiyono, 2010: 134:135)
43

Kriteria Penilaian Efektifitas Pengecoh


Pengecoh yang berfungsi Kriteria
4 Sangat Baik
3 Baik
2 Cukup Baik
1 Kurang Baik
0 Tidak Baik

Penjelasan dari tabel fungsi efektifitas pengecoh adalah sebagai berikut:


1) Dikatakan sangat baik apabila pengecoh pada soal berfungsi secara
keseluruhan.
2) Dikatakan baik apabila pengecoh pada soal tidak berfungsi satu
alternatif.
3) Dikatakan cukup apabila pengecoh pada soal tidak berfungsi dua
alternatif.
4) Dikatakan kurang baik apabila pengecoh pada soal tidak berfungsi tiga
altenatif.
5) Dikatakan tidak baik apabila pengecoh pada soal tidak berfungsi empat
alternatif.
O. Teknik Analisis Data
1. Analisis Unit
Analisis unit adalah mengemukakan gambaran data yang diperoleh dari
setiap variabel yang diteliti, analisis unit meliputi beberapa hal, diantaranya
yaitu:
a. Mean
Menurut Sugiyono (2011: 49) mean merupakan teknik penjelasan
kelompok yang didasarkan atas nilai rata-rata dari kelompok tersebut.
Analisis ini digunakan untuk mendiskripsikan data mengenai berapa besar
nilai rata-rata yang diperoleh dari masingmasing variabel penelitian
tersebut. Hal ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
44

Σ𝑥𝑖
𝑀𝑒 =
𝑛
Keterangan:
Me = Mean (rata-rata)
Σ = Epsilon (baca jumlah)
xi = Nilai x ke i sampai ke n
N = Jumlah individu
b. Median
Median adalah salah satu teknik penjelasan kelompok yang didasarkan
atas nilai tengah dari kelompok data yang telah disusun urutannya dari
yang terkecil sampai yang terbesar, atau sebaliknya dari yang terbesar
sampai yang terkecil (Sugiyono, 2011: 48). Analisis ini digunakan untuk
mendiskripsikan data mengenai beberapa besar nilai tengah dari masing-
masing variabel penelitian. Hal ini dirumuskan sebagai berikut:
1⁄2𝑛 − 𝐹
𝑀𝑑 = 𝑏 + 𝑝 ( )
𝑓
Keterangan:
Md = Median
b = Batas bawah dimana median akan terletak
p = Panjang kelas interval dengan frekuensi terbanyak.
n = banyak data
F = jumlah semua frekuensi sebelum median
f = frekuensi kelas median (Sugiyono, 2011: 53).
c. Modus
Modus merupakan teknik penjelasan kelompok yang didasarkan atas
nilai yang sedang popular (yang sedang menjadi mode) atau nilai yang
sering muncul dalam kelompok tersebut. (Sugiyono, 2011: 47). Analisis
ini digunakan untuk mendiskripsikan data variabel penelitian mengenai
berapa besar nilai yang sering muncul dari variabel penelitian. Untuk
mendapatkan nilai modus digunakan rumus sebagai berikut :
𝑏1
𝑀𝑜 = 𝑏 + 𝑝 ( )
𝑏1 + 𝑏2
45

Keterangan:
Mo = Modus
b = Batas kelas interval dengan frekuensi terbanyak
p = Panjang kelas interval
b1 = Frekuensi pada kelas modus (frekuensi pada kelas interval yang
terbanyak) dikurangi kelas interval terbanyak sebelumnya
b2 = frekuensi kelas modus dikurangi frekuensi kelas interval berikutnya
(Sugiyono, 2011: 52).
d. Standar Deviasi
Merupakan jumlah kuadrat semua deviasi nilai-nilai individual terhadap
rata-rata kelompok (Sugiyono, 2006: 50). Untuk mendapatkan nilai standar
deviasi digunakan rumus sebagai berikut:

Σ𝑓(𝑥 − 𝑥̅ )
𝑠=√
(𝑛 − 1)

Keterangan:
s = Simpangan baku (standar deviasi)
n = Jumlah sampel
x1 = Nilai x ke 1 sampai ke n
x = Rata-rata x
2. Uji Prasyarat
a. Uji Normalitas
Sebelum data dianalisis lebih lanjut maka data harus dibuktikan terlebih
dahulu apakah data yang akan dianalisis berdistribusi normal atau tidak.
Untuk mengetahui data tersebut, teknik yang digunakan adalah
menggunakan uji Chi Kuadrat yaitu dengan rumus:
(fo + fh )2
𝑥2 = Σ
fh
Dimana:
𝑥 2 = Chi Kuadrat
f𝑜 = frekuensi observasi
fh = frekuensi harapan
46

Hasil perhitungan 𝑥 2ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 dikonsultasikan dengan tabel chi kuadrat


adalah jika 𝑥 2ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑥 2𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 maka dapat dikatakan distribusi data tidak
normal, dan jika 𝑥 2ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 < 𝑥 2 𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 maka data dapat dikatakan berdistribusi
normal (Sugiyono, 2006: 104).
b. Uji Linearitas
Uji linieritas digunakan untuk memenuhi syarat pada analisis regresi
yang mengharuskan adanya hubungan fungsional antara X dan Y, pada
populasi, yang linear. (Budiyono, 2009: 261). Pengujian linieritas
dimaksudkan untuk memperlihatkan bahwa rata-rata yang diperoleh dari
kelompok data sampel terletak dalam garis-garis lurus. Pengujian linearitas
data menurut Riduwan (2006:172) dapat dilakukan dengan mengikuti
langkah-langkah :
1) Menentukan jumlah kuadrat regresi (𝐽𝐾𝑟𝑒𝑔(𝑎) ) dengan rumus :
(∑𝑌)2
𝐽𝐾𝑟𝑒𝑔 (𝑎) =
𝑛
2) Menentukan jumlah kuadratregresi (𝐽𝐾𝑟𝑒𝑔(𝑏|𝑎) ) dengan rumus:
(∑𝑋)(∑𝑌)
𝐽𝐾𝑟𝑒𝑔(𝑏|𝑎) =b[∑𝑋𝑌 − ]
𝑛

nilai b dari persamaan regresi sederhana Y=a+bX (Sudjana, 2005:315) :


𝑛∑𝑋𝑌−∑𝑋∑𝑌
b = 𝑛∑𝑋 2 −(∑𝑋)2
(∑𝑌)(∑𝑋 2 )−(∑𝑋)(∑𝑋𝑌)
a= 𝑛∑𝑋 2 −(∑𝑋)2

3) Menentukan jumlah kuadrat residu (𝐽𝐾𝑟𝑒𝑠 ) dengan rumus:


𝐽𝐾𝑟𝑒𝑠 =∑𝑌 2 − 𝐽𝐾𝑟𝑒𝑔(𝑏|𝑎) − 𝐽𝐾𝑟𝑒𝑔 (𝑎)
4) Menentukan rata-rata jumlah kuadrat residu (𝑅𝐽𝐾𝑟𝑒𝑠 ) dengan rumus:
𝐽𝐾𝑟𝑒𝑠
𝑅𝐽𝐾𝑟𝑒𝑠 = 𝑛−2

5) Menentukan jumlah kuadrat error (𝐽𝐾𝐸 ) dengan rumus:


(∑𝑌)2
𝐽𝐾𝐸 =∑𝐾 − [∑𝑌 2 − ]
𝑛

6) Menentukan kuadrat tuna cocok (𝐽𝐾𝑇𝐶 ) dengan rumus:


𝐽𝐾𝑇𝐶 = 𝐽𝐾𝑟𝑒𝑠 − 𝐽𝐾𝐸
47

7) Menentukan rata-rata jumlah kuadrat tuna cocok (𝑅𝐽𝐾𝑇𝐶 ) dengan


menggunakan rumus:
𝐽𝐾𝑇𝐶
𝑅𝐽𝐾𝑇𝐶 = 𝑘−2

8) Menentukan rata-rata jumlah kuadrat error (𝑅𝐽𝐾𝐸 ) dengan menggunakan


rumus :
𝐽𝐾
𝑅𝐽𝐾𝐸 =𝑛−𝑘𝐸

9) Menentukan nilai 𝐹 ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 dengan menggunakan rumus :


𝑅𝐽𝐾𝑇𝐶
𝐹 ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 𝑅𝐽𝐾𝐸

10) Menetapkan taraf signifikansi uji 0,05.


Kriteria pengujiannya adalah kelinieran dipenuhi oleh data jika 𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 <
𝐹𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 , atau angka signifikansi yang diperoleh kurang dari 0,05. Angka
signifikansi yang lebih besar dari 0,05 menunjukkan kelinieran tidak
dipenuhi.
c. Uji Hipotesis
Uji hipotesis dengan menggunakan analisis brivariat. Analisis bivariat
digunakan untuk menguji hipotesis pertama dan kedua yaitu untuk menguji
koefisien antara variabel bebas dengan variabel terikatnya. Untuk menguji
arah hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat, rumus yang
digunakan adalah korelasi Product Moment. Interpretasi nilai koefisien
korelasi dari hasil perhitungan adalah sebagai berikut.
1) Jika nilai koefisien korelasi positif, maka hubungan antara variabel bebas
dengan variabel terikat adalah hubungan yang searah, dengan kata lain
meningkatnya variabel bebas maka meningkat pula variabel terikat.
2) Jika nilai koefisien korelasi negatif, maka ada hubungan berlawanan
antara variabel bebas dengan variabel terikat, dengan kata lain
meningkatnya variabel bebas maka diikuti dengan menurunnya variabel
terikat.
Nilai rhitung dikonsultasikan dengan rtabel untuk mengetahui tingkat
signifikansinya. Apabila nilai 𝑟ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 lebih besar dari nilai 𝑟𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 pada taraf
signifikansi 5% dengan N = 35, maka koefisien korelasi yang diuji
48

signifikan. Apabila nilai 𝑟ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 lebih kecil dari nilai 𝑟𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 , maka koefisien
korelasi yang diuji tidak signifikan. Rumus yang digunakan rumus korelasi
product moment dari pearson sebagai berikut:
𝑛∑𝑥𝑦−∑𝑥−∑𝑦
𝑟𝑥𝑦 =
√{𝑛∑𝑥 2 −(∑𝑥)2 }{𝑛∑𝑦 2 −(∑𝑦)2 }

Keterangan:
𝑅𝑥𝑦 = Koefisien korelasi antara variabel x dan variabel y
n = jumlah sampel
𝛴𝑥𝑦 = Jumlah perkalian antara variabel x dan y
𝛴𝑥 2 = Jumlah dari kuadrat nilai x
𝛴𝑦 2 = Jumlah dari kuadrat nilai y
(∑𝑥)2 = Jumlah nilai x kemudian dikuadratkan
(∑𝑦)2 = Jumlah nilai y kemudian dikuadratkan
P. Daftar Pustaka
Abdul Majid dan Dian Andayani. 2004. Pendidikan Islam Berbasis Kompetensi.
Bandung: Rosda. Cet III.

Abdul Hamid dan Dian Andayani. 2006. Ilmu Pendidikan Islam. Bandung:
Remaja Rosdakarya.

Abu Ahmadi. 2004. Widodo Supriyono, Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.

Agus Abdul Rahman. 2013. Psikologi Sosial. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Ahmadi. 1992. Ilmu Pendidikan. Salatiga: CV Saudara.

Ahmad Amin. 1983. Etika Ilmu Akhlak. Jakarta: Bulan Bintang.

Akmal Hawi. 2014. Dasar-dasar Studi Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Anas Sudijono. 2015. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.

Bambang Syamsul Arifin, 2015. Psikologi Sosial. Bandung: CV Pustaka Setia.

Bimo Walgito, 1995. Bimbingan dan Penyuluhan Di Sekolah. Yogyakarta: Andi


Offset.

Dimyati dan Mudjiono. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
49

HamzahYa'qub. 1983. Etika Islam. Bandung: Diponegoro.

Hasan Langgulung. 1980. Beberapa Pemikiran Tentang Islam. Bandung: Al


Ma’arif.

Iskandar, 2008. Metodologi Penelitian Pendidikan dan Sosial (Kuantitatif dan


Kualitatif). Jakarta: GP Press.

Ismail, 2011. Penelitian Pendidikan. Sukoharjo: Univet Bantara Press.

Kamisa. 1997. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Kartika.

M. Amin Syukur. 2006. Pengantar Studi Islam. Semarang: CV. Bima Sejati
Semarang.

Muhaimin, 2012. Paradigma Pendidikan Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Muhibbin Syah, 2003. Psikologi Belajar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Nana Sudjana. 2011. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar


Baru Algensindo.

Novan Ardy Wiyani, 2012. Pendidikan Karakter Berbasis Iman dan Taqwa.
Yogyakarta: Teras.

Nur Uhbiyati, 2005. Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.

Ramayulis, 1994. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.

Riduwan. 2006:172

Sri Minarti, 2016. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Amzah.

Sudiyono, 2009. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Rineka Cipta.

Sugiyono, 2013. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan K&D. Bandung:


Alfabet.

Sardiman A.M. 2011. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali
Pers.

Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta:


Rineka Cipta.

Sarlito Wirawan. 1984. Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta: CV. Rajawali.


50

Suharsimi Arikunto. 2008. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi


Aksara.

Suharsimi Arikunto. 2014. Preosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.


Jakarta: Bumi Aksara.

Sumadi Suryabrata. 1987. Metode Penelitian. Jakarta: Rajawali.

Tohirin. 2006. Psikologi Pembelajaran pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT Raja


Grapindo Persada.

Tri Dayakisni dan Hudaniah, 2012. Psikologi Sosial. Malang: UMM Press.

Tulus Tu’u. 2004. Peran Disiplin pada Perilaku dan Prestasi Belajar. Jakarta:
Grasindo.

Yatimin Abdullah. 2007. Studi Akhlak dalam perspektif Al-Qur’an. Jakarta:


Amzah.

Zainal Arifin. 2011. Evaluasi Instruksional: Prinsip-Teknik-Prosedur. Bandung:


Remaja Rosdakarya.

Zakiyah Daradjat. 2006. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Zuhairini, Dkk. 1993. Metodologi Pendidikan Agama. Solo: Ramadhani.

Anda mungkin juga menyukai