Anda di halaman 1dari 17

BAB I

LAPORAN KASUS
I. Identitas pasien
Nama : Nn. N
No. RM :-
Tanggal lahir : 20 Juni 2011
Umur : 8 tahun
Suku :-
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Dg. Tata
Tanggal masuk : 7 November 2019
II. Subjektif
Keluhan utama : Demam selama kurang lebih 4 hari
Anamnesis terpimpin
Keluhan demam yang dirasakan kurang lebih selama 4 hari, pasien
juga mengeluhkan sakit kepala, sakit perut dan muntah-muntah
- Riwayat penyakit lain tidak ada
- Riwayat keluhan yang sama ada
- Riwayat kebiasaan merokok pasif tidak ada
III. Objektif
Tanda vital
Tekanan darah :-
Nadi : 88 x / menit
Pernafasan : 26 x/ menit
Suhu : 37,2 C
Status gizi
BB : 20 kg
TB : 122 cm
IMT : 13,4 ( gizi kurang)
Pemeriksaan fisik
1. Mata
Anemia : (-)
Pupil : isokor
Ikterus : (-)
Udem palpebra : (-)
2. THT
Tonsil : dalam batas normal
Fharing : dalam batas normal
3. Leher
Pembesaran kelenjar : dalam batas normal
4. Thorax
Simetris/ asimetris : simetris
BJ I/II : dalam batas normal
Paru : dalam batas normal
Suara nafas : wheezing (+)
5. Abdomen
Nyeri tekan : (-)
Peristaltic : dalam batas normal
Acites : (-)
6. Ekstremitas : hangat (+)
7. Genetalia : tidak dilakukan pemeriksaan
8. Kulit
Warna : dalam batas normal
Tugor : dalam batas normal
Pemeriksaan neurologi : tidak dilakukan pemeriksaan.
Pemeriksaan penunjang
Tes widal : O/H 480
IV. Resume
Seorang anak berusia 8 tahun dibawah oleh keluarganya
kepuskesmas, masuk keluhan demam sejak 4 hari yang lalu. riwayat
demam terus menerus sejak 3 hari yang lalu (+), nyeri kepala (+), nyeri
perut (+), muntah-muntah (+). Tanda vital nadi (88x/menit), pernafasan
(26x/menit), suhu (37,2C).
V. Assessment
Diagnosis kerja : Tifoid
Diagnosis banding :-
VI. Terapi/tindakan
Non medikamentosa
Edukasi
Menghindari faktor pencetus
Kontrol secara teratur dan pola hidup sehat ( menghindari asap rokok )
Usul konsul di Rumah Sakit dengan spesialis paru
Medikamentosa
Amoxicillin 3x2/3 tab
Ambroxol sirup 3x1 hari
Prednisone 3x2/3 tab
VII. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. DEFINISI
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang
disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi A,
B dan C. penularan demam tifoid melalui fecal dan oral yang masuk ke
dalam tubuh manusia melalui makanan dan minuman yang
terkontaminasi.1 Penyakit demam tifoid termasuk penyakit menular
yang tercantum dalam Undang-undang nomor 6 tahun 1962 tentang
wabah. Penyakit demam tifoid merupakan penyakit yang mudah
menular dan dapat menyerang banyak orang, sehingga dapat
menimbulkan wabah. Pada daerah endemik penyabab utama
penularan penyakit demam tifoid adalah air yang tercemar sedangkan
di daerah non – endemik makanan yang terkontaminasi oleh carrier
merupakan hal yang paling bertanggung jawab terhadap penularan
demam tifoid.2

II. EPIDEMIOLOGI
Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi sistemik yang
menjadi masalah dunia. Tidak hanya di negara-negara tropis, namun di
negara-negara subtropis pun prevalensi demam tifoid cukup tinggi,
terlebih di negara berkembang. WHO mencatat pada tahun 2003 lebih
dari 17 juta kasus demam tifoid terjadi di seluruh dunia, dengan angka
kematian mencapai 600.000, dan 90% dari angka kematian tersebut
terdapat di negara-negara Asia.3
Surveilans Departemen Kesehatan RI mencatat frekuensi kejadian
demam tifoid di Indonesia pada tahun 1994 meningkat hingga 15,4 per
10.000 penduduk. Dari survey berbagai rumah sakit di Indonesia tahun
1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah
penderita sekitar 35,8%, yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus. 4
WHO mencatat Indonesia sebagai salah satu negara endemik untuk
demam tifoid. Di Indonesia, terdapat rata-rata 900.000 kasus demam
tifoid dengan angka kematian lebih dari 20.000 setiap tahunnya. 1
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, angka
prevalensi demam tifoid secara nasional adalah 1,6%. 5
III. ETIOLOGI
Penyebab demam tifoid adalah bakteri dari Genus Salmonella.
Salmonella memiliki dua spesies yaitu Salmonella enterica dan
Salmonella bongori. Salmonella enterica terbagi dalam enam
subspesies, yaitu : I. Salmonella enterica subsp. enterica; II. Salmonella
enterica subsp. salamae; IIIa. Salmonella enterica subsp. arizonae; IIIb.
Salmonella enterica subsp. diarizonae; IV. Salmonella enterica subsp.
hotenae; V. Salmonella enterica subsp. indica.6
Bakteri ini berbentuk batang, Gram-negatif, tidak membentuk spora,
motil, berkapsul dan mempunyai flagela. Bakteri ini dapat hidup sampai
beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan
debu. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 66 o C) selama
15 – 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan klorinasi.7
Salmonella Typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu :8
1. Antigen O (antigen somatik), terletak pada lapisan luar tubuh kuman.
Bagian ini mempunyai struktur lipopolisakarida atau disebut juga
endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak
tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (antigen flagela), terletak pada flagela, fimbriae atau pili
dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur protein dan tahan
terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.
3. Antigen Vi, terletak pada kapsul (envelope) kuman yang dapat
melindungi kuman terhadap fagositosis.
IV. PATOMEKANISME
Masuknya kuman Salmonella Typhi dan Salmonella Paratyphi ke
dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan dan minuman yang
terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung,
sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak.
Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka
kuman akan menembus sel-sel epitel usus dan selanjutnya ke lamina
propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-
sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang
biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum
distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.8
Selanjutnya melalui duktus torasikus, kuman yang terdapat di dalam
makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan
bakteremia pertama yang asimptomatik) kemudian menyebar ke
seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Dengan
periode waktu yang bervariasi antara 1-3 minggu, kuman
bermultiplikasi di organ-organ ini kemudian meninggalkan makrofag
dan kemudian berkembang biak di luar makrofag dan selanjutnya
masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang
kedua kalinya dengan disertai tanda dan gejala penyakit infeksi
sistemik.8
Di dalam hati, kuman masuk ke kantung empedu, berkembang biak,
dan bersama cairan empedu diekskresikan kembali ke dalam lumen
usus secara intermiten. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan
sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus.
Proses yang sama terulang kembali, oleh karena makrofag telah
teraktivasi sebelumnya maka saat fagositosis kuman Salmonella
terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi (IL-1, IL-6, IL-8, TNF-β,
INF, GM-CSF, dsb.) yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi
inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit
perut, instabilitas vaskuler, gangguan mental, dan koagulasi.8
Di dalam plak Peyeri, makrofag yang telah hiperaktif menimbulkan
reaksi hiperplasia jaringan dan menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe
lambat. Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh
darah di sekitar plak Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan
hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus.
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke
lapisan otot, serosa usus dan dapat mengakibatkan perforasi usus. 8

V. MANIFESTASI kLINIS
Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang
meningkat. Pada minggu pertama, ditemukan keluhan dan gejala
serupa dengan penyakit infeksi akut umumnya yaitu demam, nyeri
kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau
diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis. 10
Karakteristik demamnya adalah demam yang meningkat secara
perlahan-lahan berpola seperti anak tangga dengan suhu makin tinggi
dari hari ke hari, lebih rendah pada pagi hari dan tinggi terutama pada
sore hingga malam hari. Pada akhir minggu pertama, demam akan
bertahan pada suhu 39-40°C. Pasien akan menunjukkan gejala rose
spots, yang warnanya seperti salmon, pucat, makulopapul 1-4 cm lebar
dan jumlahnya kurang dari 5; dan akan menghilang dalam 2-5 hari. Hal
ini disebabkan karena terjadi emboli oleh bakteri di dermis.8
Pada minggu kedua, gejala klinis menjadi semakin berkembang
jelas, berupa demam, bradikardia relatif dimana setiap peningkatan 1 o
C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit, kemudian
didapatkan pula lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung
lidah merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus,
gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau
psikosis.8 Beberapa penderita dapat menjadi karier asimptomatik dan
memiliki potensi untuk menyebarkan kuman untuk jangka waktu yang
tidak terbatas.
VI. DIAGNOSIS
Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi
klinis yang diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium penunjang.
Sampai saat ini masih dilakukan berbagai penelitian yang
menggunakan berbagai metode diagnostik untuk mendapatkan metode
terbaik dalam usaha penatalaksanaan penderita demam tifoid secara
menyeluruh. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan
diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu : (1)
pemeriksaan darah tepi; (2) pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi
dan biakan kuman; (3) uji serologis; dan (4) pemeriksaan kuman secara
molekuler.9

1. Pemeriksaan darah tepi


Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah
leukosit normal, bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan
trombositopenia dan hitung jenis biasanya normal atau sedikit
bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan
limfositosis.10 Penelitian oleh beberapa ilmuwan mendapatkan
bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap darah tidak
mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup
tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita demam
tifoid atau bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis
menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid.11

2. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman


Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan
bakteri Salmonella Typhi dalam biakan dari darah, urine, feses dan
sumsum tulang. Bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah
dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium
berikutnya di dalam urine dan feses.9 Hasil biakan yang positif
memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada
beberapa faktor, seperti : (1) Telah mendapat terapi antibiotik. Bila
pasien sebelum dilakukan kultur darah telah mendapat antibiotik,
pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil
mungkin negatif; (2) Jumlah darah yang diambil terlalu sedikit
(diperlukan kurang lebih 10 cc darah). Bila darah yang dibiak terlalu
sedikit hasil biakan bisa negatif; (3) Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di
masa lampau menimbulkan antibodi dalam darah pasien. Antibodi
ini dapat menekan bakteremia sehingga biakan darah dapat
negatif; dan (4) Waktu pengambilan darah yang dilakukan setelah
minggu pertama, pada saat aglutinin semakin meningkat.7,9
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan
pada anak kecil dibutuhkan 2-4 mL.12 Sedangkan volume sumsum
tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL.13
Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh
antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini mendukung teori
bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila
dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel
yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi antibiotika
sebelumnya.9 Media pembiakan yang direkomendasikan untuk
Salmonella Typhi adalah media empedu dari sapi. Media ini dapat
meningkatkan positivitas hasil karena hanya Salmonella Typhi dan
Salmonella Paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.12
Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu
pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara
perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan
sumsum tulang merupakan metode yang mempunyai sensitivitas
paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan
sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang
pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk
penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan
kultur darah negatif sebelumnya.12, 13 Namun prosedur ini sangat
invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada
keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu
yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup
baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko
aspirasi terutama pada anak. 9,10,12

3. Uji serologis
a. Uji Widal
Dasar reaksi uji Widal adalah reaksi aglutinasi antara antigen
kuman Salmonella Typhi dengan antibodi (aglutinin). Aglutinin
yang spesifik terhadap Salmonella Typhi terdapat dalam serum
penderita demam tifoid, orang yang pernah tertular Salmonella
Typhi, dan orang yang pernah mendapatkan vaksin demam
tifoid. Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi
Salmonella Typhi yang sudah dimatikan dan diolah di
laboratorium. Tujuan uji Widal adalah untuk menentukan adanya
aglutinin dalam serum penderita yang diduga menderita demam
tifoid.8
Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut :
a. Titer aglutinin O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya
infeksi akut.
b. Titer aglutinin H yang tinggi ( > 160) menunjukkan sudah
pernah mendapat imunisasi atau pernah menderita infeksi.
c. Titer aglutinin yang tinggi terhadap antigen Vi terdapat pada
carrier.
b. Uji Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
Prinsip dasar uji ELISA adalah reaksi antigen-antibodi.10 Uji ini
sering dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap
antigen O9 LPS, antibodi IgG terhadap antigen flagela d (Hd)
dan antibodi terhadap antigen Vi Salmonella Typhi. Chaicumpa
dkk mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel
darah, 73% pada sampel feses, dan 40% pada sampel sumsum
tulang.3, 14
c. Pemeriksaan Dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di
Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik
terhadap antigen LPS Salmonella Typhi dengan menggunakan
membran nitroselulosa yang mengandung antigen Salmonella
Typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human
immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini
menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak
memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat
yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap. 14

Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas


uji ini sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum
tulang dan 86.5% bila dibandingkan dengan kultur darah dengan
spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai prediksi positif sebesar
94.6%.20 Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30
penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar
90% dan spesifisitas sebesar 96%.14
d. Uji Tubex®
Tes ini sangat cepat, hanya membutuhkan waktu 5-10 menit,
sederhana dan akurat. Tes ini mendeteksi serum antibodi IgM
terhadap antigen O9 LPS yang sangat spesifik terhadap bakteri
Salmonella Typhi. Pada orang yang sehat normalnya tidak
memiliki IgM anti-O9 LPS.16
Cara membaca hasil tes Tubex® adalah sebagai berikut
menurut IDL Biotech 2008:16
1. Nilai < 2 menunjukan nilai negatif (tidak ada indikasi demam
tifoid).
2. Nilai 3 menunjukkan inconclusive score dan memerlukan
pemeriksaan ulang.
3. Nilai 4-5 menunjukan positif lemah.
4. Nilai > 6 menunjukan nilai positif (indikasi kuat demam tifoid).
Nilai Tubex® yang menunjukan nilai positif disertai dengan
tanda dan gejala klinis yang sesuai dengan gejala demam
tifoid, merupakan indikasi demam tifoid yang sangat kuat.16

4. Identifikasi kuman secara molekuler


Metode lain untuk identifikasi bakteri Salmonella Typhi yang
akurat adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri
Salmonella Typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam
nukleat atau amplifikasi DNA.

VII. PENATALAKSANAAN
Pemberian terapi antibiotik yang tepat dan cepat, mencegah
komplikasi demam tifoid yang berat dan mengurangi kasus fatal
menjadi < 1%. Terapi antibiotik inisial bergantung terhadap
kerentanan dari S. Typhi dan S. Paratyphi pada tiap tiap area. Terapi
demam tifoid yang paling efektif adalah agen fluorokuinolon, dengan
angka kesembuhan 98% dan angka relaps dan karier fecal <2%.
Pemberian terapi singkat degan ofloxacin memiliki angka
kesuksesan yang sama dengan pemberian agen kuinolon terhadap
salmonela yang sensitif. Di Asia, penggunaan luas agen
fluorokuinolon secara bebas, menyebabkan kenaikan angka
kejadian DCS ( decreased ciprofloxacin susceptibility). Oleh karena
itu penggunaan agen fluorokuinolon sebainya dibatasi dan tidak
menjadi terapi empiris. Pasien yang terinfeksi dengan golongan
S.typhi DCS sebaiknya diterapi menggunakan ceftriaxone,
azithromycin atau ciprofloksasin dalam dosis besar. Penggunaan
fluorokuinolon dosis besar dalam 7 hari sebagai terapi demam
typhoid DCS, menyebabkan keterlambatan resolusi dan
meningkatkan angka karier fecal. Oleh karena itu, terapi demam
typhoid DCS dengan menggunakan ciprofloxacin dosis besar
diberikan dalam waktu 14 hari.
Ceftriaxone, cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif
untuk demam tifoid MDR ( multi drug resistant), termasuk DCS dan
salmonella yang resisten dengan fluorokuinolon. Agen ini
menurunkan panas dalam waktu ± 1 minggu, dengan angka
kegagalan 5-10%, angka karier fekal <3% dan angka relaps 3-6%.
Pemberian azithromycin oral, menurunkan demam dalam 4-6 hari,
dengan angka relaps dan karier fekal <3%. Pada demam tifoid DCS,
pemberian azithromycin berhubungan dengan angka kegagalan
terapi yang rendah, dan durasi hospitalisasi yang pendek
dibandingkan pemberian fluorokuinolon. Sefalosporin generasi satu,
generasi generasi kedua dan aminoglikosida tidak efektif pada terapi
demam tifoid.
Pada pasien dengan demam tifoid tanpa komplikasi, dapat
diterapi di rumah dengan antibiotik oral dan antipiretik. Pasien
dengan muntah menetap, diare menetap atau distensi abdomen
sebaiknya dirawat di rumah sakit dan diberikan terapi suportif (tirah
baring dan dukungan nutrisi )disertai pemberian antibiotik parenteral
sefalosporin generasi ketiga atau fluorokuinolon, tergantung dari
tingkat sensitif bakteri. Terapi sebaiknya diberikan selama 10 hari
atau selama 5 hari setelah resolusi demam.
Pada 1-5% pasein yang menderita karies Salmonella kronis dapat
diterapi dengan pemberian antibiotik oral yang tepat selama 4
sampai 6 minggu. Terapi menggunakan amoxicillin oral, TMP-SMX,
ciprofloxacin atau norfloxacin efektif dalam mengeradikasi karier
kronis ( 80% efektif). Siprofloksasin 750 mg, 2 kali sehari selama 28
hari terbukti efektif. Bila tidak ada siprofloksasin dan galur tersebut
peka, 2 tablet ko-trimoksaszol 2 kali sehari selama 3 bulan , atau 100
mg/kg/hari amoksisilin dikombinasi dengan probenesid 30
mg/kg/hari, keduanya diberikan selama 3 bulan juga efektif. Karier
dengan batu empedu hanya memperlihatkan respons sementara
terhadap kemoterapi, dan diperlukan kolesistektomi untuk
mengakhiri keadaan karier pada kasus tersebut.

VIII. KOMPLIKASI
Demam typhoid dapat menjadi penyakit yang semakin berat dan
mengancam nyawa, terggantung dari faktor inang ( terapi
imunosupresi, terapi antasida, riwayat vaksinasi), virulensi dari
bakteri dan pemilihan terapi antibiotik. Pendarahan gastrointestinal
*10-20%) dan perforasi intestinal (1-3%), hal ini biasa terjadi minggu
ke-3 dan minggu ke-4. Pendarahan gastrointestinal dan perforasi
intestinal terjadi akibat hiperplasia, ulsersi dan nekrosis dari plak
peyeri ileocecal. Keuda komplikasi ini dapat mengancam nyawa dan
membutuhkan resusistasi cairan segera dan intervensi bedah
dengan pemberian antibiotik spektrum luas untu periotinits
polimikrobial. Manifestasi neurologikal dapat ditemukan pada 2 -40%
berupa, meningitis, guillain-barre syndrome, neuritits dan gejala
neuropsikiatrik.
BAB III
KESIMPULAN
Asma didefinisikan sebagai penyakit heterogen berupa gangguan
inflamasi kronik saluran nafas. Penyakit ini didefinisikan dengan gejala
berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, dan batuk yang bervariasi
serta keterbatasan aliran udara yang bervariasi. Patofisiologi asma berupa
hiperresponsivitas saluran napas, obstruksi saluran napas dan hipersekresi
saluran napas. Klasifikasias mamenurut GINA adalah asma episodic
jarang, asma episodic sering dan asma persisten. Sedangkan derajat
serangan asma terdiri dari ringan, sedang, berat dan ancaman henti
napas.Tatalaksana asma secara garis besar terdiri dari obat pereda dan
obat pengendali. Obat pereda digunakan saat serangan asma dan obat
pengendali saat di luar serangan asma.
DAFTAR PUSTAKA
1. Widoyono.2011.PenyakitTropis.Jakarta:Erlangga: 36.
2. Nurvina. 2013. Hubungan antara Sanitasi Lingkungan, Hygiene
perorangan dan Karakteristik Individu dengan Kejadian Demam
Tifoid di Wilayah Kerja Puskesmas Kedungmundu Kota Semarang.
Skripsi. Semarang: Universitas Negeri Semarang: 34
3. [WHO] Background document : The diagnosis, treatment and
prevention of typhoid fever. World Health Organization; 2003: 17-18.
4. Kawano RL, Leano SA, Agdamag DM. Comparison of Serological
Test Kits for Diagnosis of Typhoid Fever in the Philippines. J Clin
Microbiol. Jan 2017; 45(1): 246–247. http://www.ncbi.nlm.
nih.gov/pmc/articles/PMC 1828988/.
5. [DEPKES] Riset Kesehatan Dasar 2007. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik
Indonesia; 2008. http://www.litbang.depkes. go.id/
bl_riskesdas2007.
6. Kidgell C, Reichard U, Wain J, Linz B, Torpdahl M, Dougan G, et al.
Salmonella Typhi, the causative agent of typhoid fever. Infect Genet
Evol. 2012 Oct;2(1):39-45. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/
12797999.
7. Widodo D. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V.
Jilid III. Jakarta : Interna Publishing. 2009:2797-2800.
8. Parry M, Hien TT, Dougan G, White NJ, Farrar JJ. A Review of
Typhoid Fever. New England Journal of Medicine. 2002; 347:1770-
1782. http://www.nejm.org/doi/ full/10.1056/NEJMra020201
9. Tumbelaka AR. Tata laksana terkini demam tifoid pada anak.
Simposium Infeksi – Pediatri Tropik dan Gawat Darurat pada Anak.
IDAI Cabang Jawa Timur. Malang : IDAI Jawa Timur, 2005:37-50
10. Hoffman SL. Typhoid Fever. Dalam : Strickland GT, Ed. Hunter’s
Textbook of Pediatrics, edisi 7. Philadelphia : WB Saunders,
1991:344-358.
11. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam
: Soegijanto S, Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan
Penatalaksanaan, Edisi 1. Jakarta : Salemba Medika, 2002:1-43.
12. [WHO] Diagnosis of typhoid fever. Dalam : Background document :
The diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever. World
Health Organization, 2003;7-18
13. Parry CM. Typhoid fever. N Engl J Med 2002; 347(22): 1770-82.
http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMra020201
14. Drive, Nancy R. 2009. A Review Article of Salmonella Typhi
IgM ELISA. www.genwaybio.com.
15. Olga. Tubex®, Cepat dan Akurat Diagnosis Demam Tifoid. J. Med.
Kedokteran Indonesia. 2012; XXXVIII
16. Harahap, NH. Demam Tifoid. Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara. 2011.

Anda mungkin juga menyukai