Anda di halaman 1dari 48

ANALISA FAKTOR INKCEMENTALISME, ORGANISASI, KONDISI KEUANGAN,

DAN LINGKUNGAN SOSIOEKONOMIK YANG MEMPENGARUHI TINGKAT

REVISI ANGGARAN PEMERINTAH DAERAH

(Studi pada kabupaten/kota di Indonesia pada periode 2015 - 2016)

TUGAS AKHIR
METODOLOGI PENELITIAN

Disusun Oleh:
DEVIA INDAH YANUARTI
B2041162002

MAGISTER EKONOMI
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2017
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................. 1

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ............................................................................ 1

1.2. Rumusan Masalah ....................................................................... 7

1.3. Tujuan Penelitian ......................................................................... 8

1.4. Manfaat Penelitian ....................................................................... 9

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1. Tinjauan Pustaka ......................................................................... 12

2.1.1. Proses Penyusunan APBD ................................................ 12

2.1.2. Ruang Lingkup Revisi Anggaran ...................................... 14

2.1.3. Tata Cara Revisi Anggaran ............................................... 16

2.1.4. Penerapan Anggaran Berbasis Kinerja .............................. 20

2.1.5. Proses Penyusunan LKPD ................................................. 22

2.2. Landasan Teori ............................................................................ 23

2.2.1. Goal Setting Teory pada Pemerintah Daerah .................. 23

2.2.2. Asimetri Informasi pada Pemerintah Daerah .................... 24

2.2.3. Senjangan Anggaran (Budgeted Slack) pada

Pemerintah Daerah ........................................................... 25

2.3. Kerangka Teoritis ........................................................................ 25

2.4. Penelitian Terdahulu dan Hipotesis Penelitian ............................ 28

2
2.4.1. Pengaruh Derajat Inkrementalisme yang Terjadi di

Dalam Proses Penyusunan Anggaran terhadap Aktivitas

Revisi Anggaran ............................................................... 28

2.4.2. Pengaruh Fitur Organisasi terhadap Aktivitas Revisi

Revisi Anggaran ............................................................... 29

2.4.3. Pengaruh Kondisi Keuangan Kabupaten/Kota terhadap

Aktivitas Revisi Anggaran ................................................ 31

2.4.4. Pengaruh Lingkungan Sosioekonomik terhadap Aktivitas

Revisi Anggaran ............................................................... 33

BAB III. METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian ......................................................................... 35

3.2. Populasi Dan Sampel Penelitian.................................................. 36

3.2.1. Populasi Penelitian ............................................................ 37

3.2.2. Sampel Penelitian .............................................................. 37

3.3. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel .......................... 38

3.3.1. Definisi Variabel ............................................................... 38

3.3.1.1. Definisi dan Pengukuran Variabel Dependen ....... 38

3.3.1.2. Definisi dan Pengukuran Variabel Independen .... 40

3.4. Teknik Pengujian Data ................................................................ 49

3.4.1. Statistik Deskriptif............................................................. 49

3.4.2. Uji Normalitas ................................................................... 50

3.4.3. Teknik Pengujian Asumsi Klasik ...................................... 51

3.4.3.1. Uji Multikolinieritas.............................................. 51

3
3.4.3.2. Uji Asumsi Homogenitas (Heterokedastisitas) ..... 52

3.4.3.3. Uji Autokorelasi .................................................... 52

3.5. Teknik Pengujian Regresi............................................................ 53

3.5.1. Uji Koefisien Determinasi (R2) ......................................... 55

3.5.2. Uji Signifikansi Simultan (Uji Fisher) .............................. 56

3.5.3. Uji Signifikansi Parameter Individual (Uji Statistik t) ...... 57

4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Manajemen keuangan merupakan aktivitas manajemen dana, baik yang berkaitan dengan
pengalokasian dana dalam berbagai bentuk investasi secara efektif maupun usaha pengumpulan
dana untuk pembiayaan investasi atau pembelanjaan secara efisien (Sartono 2013). Manajemen
keuangan yang baik diperlukan suatu organisasi baik sektor swasta maupun sektor pemerintahan
dalam mengelola masalah keuangan. Hal tersebut memunculkan perhatian besar akan pentingnya
manajemen keuangan pemerintah daerah. Secara historis sejarah reformasi keuangan di
Indonesia dimulai dari era pra otonomi daerah dan desentralisasi fiskal tahun 1974, pada masa
ini pelaksanaan otonomi didasarkan pada UU No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-pokok
Pemerintahan di Daerah yang sifatnya sentralis, top down planning dan budgeting, anggaran
tradisional, sistem pembukuan tunggal, dan akuntansi berbasis kas. Selanjutnya pada tahun 2000
Indonesia memasuki era transisi otonomi berlandaskan UU No. 22 Tahun 1999 Tentang
Pemerintahan Daerah dan UU No.25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat
dan Daerah, era ini merupakan masa awal implementasi otonomi daerah yang ditandai dengan
sering terjadi uji coba sistem baru dan sering terjadi revisi peraturan perundang-undangan di
bidang pengelolaan kekuangan daerah. Dan mulai tahun 2004 hingga sekarang Indonesia
memasuki masa era pascatransisi dimana paket peraturan perundang-undangan mulai
diberlakukan sebagai secara menyeluruh dan komprehensif mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
pelaporan, pengauditan, dan evaluasi kinerja atas pengelolaan keuangan daerah.
Dalam rangka mewujudkan otonomi, desentralisasi serta partisipasi rakyat dalam
perencanaan pembangunan nasional di Indonesia, pemerintah telah melakukan langkah
penyempurnaan terhadap kebijaksanaan perencanaan pembangunan. Setiap daerah diharapkan
tidak hanya berorientasi pada daerahnya saja agar dapat mewujudkan otonomi daerah yang
semakin luas. Maka dari itu diterbitkan PP No. 45 Tahun 1992 Tentang Penyelenggaraan
Otonomi Daerah. Menurut UU No. 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat
dan Daerah, Daerah Otonomi akan mempunyai 4 sumber pendapatan yaitu Pendapatan Asli

5
Daerah (PAD), Dana Perimbangan, Pinjaman, dan Penerimaan lainnya yang sah. Lahirnya
Otonomi Daerah mampu mendorong demokratisasi, dalam arti memberi ruang gerak kepada
masyarakat di daerah untuk mengembangkan partisipasi, prakarsa dan kreativitasnya dalam
menata dan membangun daerah, dengan mengacu pada persatuan dan kesatuan bangsa. Adapun
aspek utama reformasi manajemen keuangan daerah meliputi (1) perubahan sistem anggaran
tradisional menjadi sistem anggaran berbasis kinerja (2) perubahan kelembagaan pengelolaan
keuangan daerah sistem sentralisasi pada bagian keuangan sekretariat daerah menjadi sistem
desentralisasi ke masing-masing satuan kerja (3) perubahan sistem akuntansi single entry
menjadi sistem akuntansi double entry (4) perubahan basis akuntansi kas (cash basis) menjadi
basis akrual (accrual basis).
Reformasi dalam bidang manajemen keuangan daerah salah satunya didasari dengan UU
No 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara yang khususnya membahas tentang sistem
penganggaran. Telah banyak perubahan mendasar dalam sistem penganggaran salah satunya
adalah penerapan pendekatan yang digunakan dalam penyusunannya berupa pendekatan terpadu
(Unified Budget), Medium Term Expenditure Framework (MTEF), dan Anggaran Berbasis
Kinerja (PBK). Disamping 3 (tiga) pendekatan tersebut, anggaran belanja daerah juga diwajibkan
untuk dikelompokkan dalam 3 (tiga) klasifikasi anggaran yaitu klasifikasi fungsi, klasifikasi
organisasi, dan klasifikasi ekonomi atau jenis belanja (PMK 104/2010).
Penganggaran berbasis kinerja berdasarkan PMK No 104 Tahun 2010 Tentang Petunjuk
Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara Tahun Anggaran
2011 merupakan suatu pendekatan dalam sistem penganggaran dengan mempertimbangkan
keterkaitan antara pendanaan dengan output dan outcome, serta efisiensi dalam pencapaian hasil
keluaran tersebut. Anggaran berbasis kinerja mencerminkan beberapa hal antara lain: (1) maksud
dan tujuan permintaan dana, (2) biaya dari program-program yang diusulkan dalam mencapai
tujuan danini, dan (3) data kuantitatif yang dapat mengukur pencapaian serta pekerjaan yang
dilaksanakan tiap-tiap program. Dalam siklus penganggaran terdapat 5 (lima) fase antara lain:
tahap penyusunan anggaran, tahap pengesahan anggaran, tahap pelaksanaan anggaran, tahap
pengawasan pelaksanaan anggaran, dan tahap pengesahan perhitungan anggaran.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan dasar pengelolaan
keuangan daerah selama masa 1 (satu) tahun anggaran sejak tanggal 1 Januari sampai dengan 31
Desember 2013 yang berisikan rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang dibahas dan

6
disetujui oleh pemerintah daerah bersama dengan DPRD, dan ditetapkan oleh peraturan daerah.
(PP 13/2006). APBD memiliki tingkat urgency yang tinggi sehingga perlu dilakukan
perencanaan yang baik pada saat penyusunannya, dengan perencanaan yang baik diharapkan
penyerapan anggaran pemerintah daerah dapat mencapai target yang direncanakan pada angka
96 persen (Ekonomi Okezone, 24 Februari 2014). Namun fenomena yang terjadi adalah
penyerapan anggaran pemerintah daerah pada tahun 2012 sampai dengan bulan November
sebesar 75.5 persen dan melonjak tajam menjadi 98.8 persen pada bulan Desember, begitu halnya
yang terjadi pada tahun 2011 dengan penyerapan sampai dengan bulan November sebesar 76.1
persen dan melonjak tajam sebesar 98.8 persen pada bulan Desember (DJPK Kemenkeu RI,
2013). Banyak hal yang menyebabkan terjadinya keterlambatan penyerapan anggaran,
diantaranya adalah tidak adanya perencanaan anggaran yang baik pada saat persiapan
pelaksanaan, eksekusi anggaran sepanjang tahun maupun akhir tahun anggaran, instansi
pemerintah terlalu berhati-hati ketika melakukan pengeluaran sehingga terkesan lambat dalam
memanfaatkan waktu. Tahun anggaran selama satu tahun periode seakan-akan hanya efektif
selama 5 – 6 bulan (Fokus Jabar, 27 November 2013).
Rendahnya daya serap pada anggaran pemerintah daerah mencerminkan perencanaan
program dan proyek pemerintah yang lemah dan tidak matang sehingga memicu terjadinya revisi
anggaran (Ekonomi Okezone, 26 Desember 2017). Dengan adanya revisi anggaran menyebabkan
ketidakpastian dan tertundanya keputusan alokasi anggaran. Fenomena yang terjadi justru
rencana kegiatan yang dilaksanakan pada tahun berikutnya merupakan anggaran kegiatan tahun
berjalan dengan pagu dana yang ditambahkan atau disesuaikan, sehingga apabila pada tahun
berikutnya muncul jenis kegiatan baru atau inovasi kegiatan yang sebelumnya belum pernah
dianggarkan maka harus dilakukan revisi terlebih dahulu yang kemudian akan memakan waktu
dan mengubah time frame realisasi kegiatan (Bisnis, 01 November 2013).
Berpedoman Peraturan Menteri Keuangan Nomor 32 Tahun 2013 Tentang Tata Cara
Revisi Anggaran Tahun Anggaran 2013, pada anggaran belanja pemerintah daerah dapat
dilakukan perubahan berdasarkan APBD yang telah ditetapkan atau lebih dikenal dengan istilah
revisi anggaran. Revisi anggaran merupakan cara bagi pemerintah untuk memenuhi beragam
tujuan anggaran meliputi kontinuitas dan kontrol, perubahan dan akuntabilitas, serta fleksibilitas
dan prediktabilitas (Anessi-Pessina, et al 2013) yang terdiri atas (1) perubahan rincian anggaran
yang disebabkan penambahan atau pengurangan pagu anggaran belanja termasuk pergeseran

7
rincian anggaran belanjanya (2) perubahan atau pergeseran rincian anggaran dalam hal pagu
anggaran tetap (3) dan/atau perubahan/ralat karena kesalahan administrasi (PMK 32/2013).
Pada lingkup penelitian internasional revisi anggaran disebut dengan istilah Rebudgeting,
merupakan issue yang tengah hangat diperbincangkan. Dougherty, et al (2003) menemukan
adanya pola increase dan decrease dalam proses revisi anggaran, pola ini menggambarkan
strategi yang diadopsi kabupaten/kota untuk mengantisipasi peristiwa tak terduga dan menjaga
pengeluaran tetap dibawah level anggaran. Namun sejauh ini pemerintah hanya terfokus pada
proses anggaran yang terjadi di sektor publik sementara masih sedikit perhatian yang mengarah
pada proses revisi anggaran (Anessi-Pessina, et al 2012). Padahal berdasarkan penelitian
Forrester dan Adams (1997) menemukan bahwa proses revisi anggaran mempengaruhi kebijakan
anggaran ditahun fiskal maupun yang akan datang, hal ini mencerminkan peran perangkat
pemerintah daerah dalam memainkan anggaran dasar. Untuk itu peneliti termotivasi untuk
melakukan penelitian atas aktivitas revisi anggaran yang tengah terjadi di kancah pemerintah
daerah di Indonesia yang merupakan negara berkembang dengan dimensi perekonomian,
organisasi, dan sosioekonomik yang berbeda dari penelitian sebelumnya. Setiap pemerintahan di
suatu negara memiliki kebijakan masing-masing, sehingga menurut Alesani (2012) yang
melengkapi penelitian dari Anessi-Pessina, et al (2012) berasumsi bahwa proses revisi anggaran
merupakan proses informal dan sulit dipahami, meskipun prosedur formal telah dibuat, namun
ada gejolak informal yang lebih kuat disekeliling proses revisi anggaran itu sendiri.
Penelitian ini menguji kembali penelitian Anessi-Pessina, et al (2012). Peneliti
membedakan penelitian sebelumnya dengan merubah beberapa karakteristik variabel yang
disesuaikan dengan kondisi perekonomian, organisasi dan sosioekonomik di Indonesia. Dalam
hal ini menggunakan panel data seluruh pemerintah daerah kabupaten/kota di Indonesia dengan
mengabaikan jumlah populasi dan mendefinisi ulang beberapa karakteristik variabel independen.
Rentang waktu pengambilan data adalah selama tahun 2015 sampai dengan 2016. Sedangkan
populasi digunakan berdasarkan sensus penduduk tahun 2016 dikarenakan sensus sebelumnya
diadakan tahun 2005 sehingga data tidak valid bila diterapkan pada penelitian terkini.
Berdasarkan uraian latar belakang masalah, peneliti mencoba menguraikan permasalahan
diatas kedalam penelitian skripsi yang berjudul Analisis Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal
Terhadap Tingkat Revisi Anggaran pada Pemerintah Daerah di Indonesia.

8
1.2.Rumusan Masalah
Penelitian terdahulu terkait revisi anggaran dipaparkan melalui studi empiris (Forrester
dan Mullins 1992; Anessi-Pessina 2012) menunjukkan bahwa revisi anggaran merupakan faktor
yang signifikan mempengaruhi anggaran. Sedangkan melalui studi kasus (Dougherty, et al 2003)
menemukan adanya keterkaitan revisi anggaran dengan strategi pemerintah daerah dalam
mengelola anggaran.
Dijelaskan lebih lanjut dalam penelitian Dougherty, et al (2003) menemukan adanya pola
increase dan decrease yang secara statistik memiliki perbedaan signifikan antara apropriasi revisi
dan sebelum revisi; apropriasi revisi dan pengeluaran aktual, dan tidak adanya perbedaan antar
apropriasi sebelum revisi dan pengeluaran aktual. Hal ini yang merupakan strategi yang diadopsi
pemerintah kabupaten/kota dalam menanggulangi peristiwa tidak terduga dan untuk menjaga
pengeluaran tetap dibawah level anggaran yang ditetapkan. Anessi-Pessina (2012) menggunakan
data kabupaten/kota di Italia untuk menunjukkan adanya hubungan complementary antara revisi
anggaran dan anggaran. Forrester dan Daniel (1992) menemukan bahwa revisi anggaran bukan
hanya sebagai perpanjangan dari proses anggaran, melainkan proses yang meskipun kurang
terlihat namun lebih teknis yang lebih melibatkan pihak administratif daripada pihak legislatif.
Dari temuan empiris terdahulu dan studi kasus, yang telah dipaparkan, maka rumusan masalah
yang diajukan berikut merupakan penelitian empiris lanjutan yang diperkuat oleh gabungan
beberapa analisis faktor yang mempengaruhi revisi anggaran.
Untuk menjawab masalah dari penelitian ini maka dapat dirumuskan pertanyaan
penelitian sebagai berikut.
a. Bagaimana pengaruh variabel-variabel internal (derajat inkrementalisme, fitur
organisasi, dan kondisi keuangan) terhadap aktivitas revisi anggaran yang terjadi
pada pemerintah daerah di Indonesia.
b. Bagaimana pengaruh variabel eksternal (kondisi lokal sosioekonomik) terhadap
aktivitas revisi anggaran yang terjadi pada pemerintah daerah di Indonesia.

9
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian merupakan sebuah proses penyelidikan secara sistematis sebagai wujud
penyediaan informasi untuk menyelesaikan masalah-masalah serta mencari jawaban atas
permasalahan yang muncul. Maka tujuan diadakan penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Mencari bukti empiris terkait pengaruh derajat inkrementalisme melalui proksi
persentase perubahan anggaran dan perubahan pengeluaran yang terjadi di dalam
proses penyusunan anggaran terhadap aktivitas revisi anggaran.
b. Mencari bukti empiris terkait pengaruh fitur organisasi melalui proksi jumlah
belanja pegawai, populasi kabupaten/kota dan revisi anggaran tak terduga
terhadap aktivitas revisi anggaran.
c. Mencari bukti empiris terkait pengaruh kondisi keuangan kabupaten/kota melalui
proksi persentase akumulasi surplus/defisit, persentase aliran surplus, persentase
otonomi keuangan, persentase rigiditas pengeluaran, dan persentase pinjaman
bersih, terhadap aktivitas revisi anggaran.
d. Mencari bukti empiris terkait pengaruh Kondisi lokal sosioekonomik melalui
proksi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), letak geografis wilayah, dan
tipe wilayah berdasarkan kabupaten atau kota terhadap aktivitas revisi anggaran.

1.4. Manfaat Penelitian


Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak
antara lain sebagai berikut.
a. Manfaat bagi Peneliti Selanjutnya
Dengan penelitian ini diharapkan dapat menjadi wahana pengetahuan mengenai
aktivitas penganggaran pemerintah daerah bagi peneliti selanjutnya yang tertarik
untuk meneliti lebih lanjut tentang penganggaran pemerintah daerah.
b. Manfaat bagi Dunia Akademik
Hasil penelitian ini memberikan pengalaman dan pengembangan ilmu
pengetahuan terkait penerapan nyata dari teori perkuliahan yang telah diberikan,
sehingga dapat diterapkan dalam bentuk praktir kerja di masa yang akan datang. serta
diharapkan mampu menambah wawasan serta bukti empiris dari penelitian-penelitian

10
terdahulu mengenai aktivitas revisi anggaran dan keterkaitannya dengan kondisi
perekonomian pemerintahan di Indonesia.
c. Manfaat bagi Pejabat Pemerintah Daerah
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat kepada pemerintah
daerah, sehingga dapat mengetahui fenomena yang tengah terjadi terkait proses
anggaran yang selama ini banyak dipengaruhi oleh gejolak-gejolak baik dari sisi
internal maupun eksternal pemerintah daerah. Hal ini dapat menjadi masukan yang
bermanfaat bagi pemerintah daerah untuk lebih bijaksana dalam mengelola anggaran.
d. Manfaat bagi Pejabat Perbendaharaan Negara
Hasil penelitian ini diharapkan memberi bermanfaat bagi Pejabat Perbendaharaan
Negara, sehingga mampu menjalankan fungsi pengelolaan dan pertanggungjawaban
keuangan negara secara lebih bijak. Adapun Pejabat Perbendaharaan Negara meliputi
Menteri/Pimpinan Lembaga, Gubernur/ Bupati/Walikota, Kepala Satuan Kerja
Perangkat Daerah, Menteri Keuangan, Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan
Daerah, dan Bendahara Penerimaan.
e. Manfaat bagi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberi informasi kepada Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait aktivitas penganggaran pemerintah daerah dalam
rangka menjalankan tugasnya sebagai pihak yang memiliki wewenang dalam
pemeriksaan LKPD.
f. Manfaat bagi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberi informasi kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang berdasarkan fungsinya bertugas menyetujui
Raperda bersama-sama dengan Gubernur/Bupati/Walikota agar lebih mendalami
gejolak perekonomian dan aktivitas penganggaran pemerintah daerah.
g. Manfaat bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan menghasilkan informasi yang dapat digunakan
sebagai bahan pertimbangan bagi masyarakat umum dalam melakukan kegiatan yang
berkaitan dengan pemerintah daerah serta dalam mengkritisi gejolak perekonomian
yang dialami pemerintah daerah.

11
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1. Tinjauan Pustaka


2.1.1. Proses Penyusunan dan Perencanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD)
Mengacu pada PP 58 Tahun 2005, APBD merupakan rencana keuangan tahunan
pemerintah daerah yang telah disetujui dan dibahas bersama DPRD, dan ditetapkan dengan
peraturan daerah.
Tahapan penyusunan rancangan APBD terdiri atas 6 (enam) tahap dimulai dengan
penyusunan rencana kerja pemerintah daerah. Pada tahap ini pemerintah daerah melakukan
perencanaan mengenai program dan kegiatan yang akan dilaksanakan. Perencanaan pada tingkat
pemerintah daerah dibagi menjadi tiga kategori yaitu: Rencana Jangka Panjang Daerah (RPJPD),
Rencana Jangka Menengah Daerah (RPJMD), dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD).
Sedangkan perencanaan di tingkat Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) terdiri atas Rencana
Strategi (Renstra) SKPD dan Rencana Kerja (Renja) SKPD.
Tahap selanjutnya adalah perumusan Kebijakan Umum APBD (KUA) dan Prioritas
Plafon Anggaran Sementara (PPAS), keduanya saling berhubungan karena proses perumusan
kebijakan dan penganggaran merupakan hal yang penting agar kebijakan dapat terealisasi dan
bukan hanya sekedar perencanaan. KUA disusun kepala daerah berdasarkan RKPD, kemudian
kepada daerah menyampaikan RKUA tahun anggaran berikutnya sebagai landasan penyusunan
RAPBD kepada DPRD selambat-lambatnya pertengahan bulan Juni tahun anggaran berjalan,
RKUA yang telah dibahas bersama DPRD dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD selanjutnya
akan disepakati sebagai KUA. Sedangkan PPAS akan dibahas pemerintah daerah dan DPRD
berdasarkan KUA yang telah disepakati, hasil pembahasan tersebut kemudian akan dituangkan
12
dalam nota kesepakatan yang ditandatangani bersama oleh kepala daerah dan pimpina DPRD,
kepala daerah berdasarkan nota kesepakatan menerbitkan pedoman penyusunan rencana kerja
dan anggaran SKPD (RKA-SKPD) sebagai pedoman kepada SKPD menyusun RKA-SKPD.
Tahap selanjutnya Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) menyiapkan surat edaran
kepala daerah tentang Pedoman Penyusunan RKA-SKPD paling lambat awal bulan Agustus
tahun berjalan. Perencanaan perlu ditekankan agar pengambilan keputusan kebijakan umum

12
dalam proses penyusunan APBD dapat terselenggara semaksimal mungkin. Penyusunan
anggaran dilakukan dengan tiga pendekatan, yaitu pendekatan Kerangka Pengeluaran Jangka
Menengah (KPJM), pendekatan anggaran terpadu, dan pendekatan anggaran kinerja.
RKA-SKPD yang telah disusun, dibahas, dan disepakati Kepala SKPD bersama dengan
TAPD digunakan untuk tahapan selanjutnya, yaitu penyiapan Rancangan Perda (Raperda)
APBD. Raperda tersebut disusun oleh Pejabat Pengelola Keuangan Daerah yang untuk
selanjutnya disampaikan kepada kepala daerah. Raperda tersebut kemudian disosialisasikan
kepada masyarakat melalui Sekretaris Daerah selaku koordinator pengelola keuangan daerah
sebelum kemudian selanjutnya dapat disampaikan dan dibahas bersama dengan DPRD paling
lambat minggu pertama bulan Oktober tahun anggaran sebelumnya dari tahun anggaran yang
direncanakan untuk mendapatkan persetujuan bersama.
Raperda tersebut dapat dilaksanakan oleh pemerintahan kabupaten/kota setelah mendapat
pengesahan dari gubernur terkait. Raperda APBD yang telah disetujui perlu dievaluasi demi
tercapainya keserasian kebijakan daerah dan kebijakan nasional, keserasian kepentingan publik
dan kepentingan aparatur, serta mengetahui apakah APBD bertentangan dengan kepentingan
umum. Tahapan terakhir yaitu penetapan Raperda APBD dan rancangan peraturan kepala daerah
tentang penjabaran APBD yang telah dievaluasi menjadi Peraturan Daerah tentang APBD dan
Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran APBD selambat-lambatnya 31 Desember tahun
anggatan sebelumnya. Selanjutnya Perda dan Peraturan Kepala Daerah tentang penjabaran
APBD disampaikan Bupati/Walikota kepada Gubernut selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja
setelah tanggal ditetapkan.

2.1.2. Ruang Lingkup Revisi Anggaran


Dalam rangka menyesuaikan anggaran pemerintah daerah terhadap perubahan-berubahan
dalam lingkup kondisi, prioritas kebutuhan, dan percepatan pencapaian kinerja SKPD/ SKPKD,
maka perlu dilakukan revisi anggaran. Tata cara pergeseran anggaran diatur dalam peraturan
kepala/bupati setiap daerah.
Revisi APBD berdasarkan Peraturan Bupati Kutai Timur No. 24 Tahun 2011 merupakan
perubahan dan/atau pergeseran anggaran belanja pemerintah daerah yang ditetapkan berdasarkan
Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA). Hal ini dapat dilaksanakan berkenaan dengan (1)
kebijakan pemerintah dan/atau peraturan perundang-undangan dan (2) keadaan yang

13
menyebabkan harus dilakukan perubahan dan/atau pergeseran anggaran misalnya: perubahan
struktur organisasi perangkat daerah, keadaan darurat, dan/atau hal-hal mendesak lainnya yang
belum dianggarkan dalam APBD. Revisi anggaran dapat dilaksanakan oleh masing-masing
SKPD dan terdiri atas: (1) perubahan berupa penambahan pagu anggaran belanja, dan/atau (2)
perubahan dan/atau pergeseran anggaran belanja dalam hal pagu anggaran belanja tetap atau
berkurang.
Revisi dalam hal penambahan pagu anggaran belanja dapat dilaksanakan sebagai akibat
dari:
a. Kebijakan pemerintah dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. Program dan kegiatan yang dibiayai dari dana transfer dan sudah jelas peruntukannya
seperti dana darurat, dana bencana alam, dana aloaksi khusus, bantuan keuangan yang
bersifat khusus dan/atau dana penyesuaian yang tidak cukup tersedia dan/atau belum
dianggarkan dalam APBD;
c. Adanya pelaksanaan kegiatan dalam keadaan darurat; dan/atau
d. Mendesak lainnya yang belum cukup tersedia dan/atau belum dianggarkan dalam
APBD.
Selain itu revisi anggaran dapat dilaksanakan dengan “menetapkan” Peraturan Bupati
tentang penjabaran Perubahan APBD mendahului penetapan perubahan APBD, sebagai dasar
pelaksanaan kegiatan dan diberitahukan kepada pimpinan DPRD.
Revisi dalam hal pagu anggaran belanja tetap atau berkurang, meliputi perubahan
dan/atau pergeseran anggaran:
a. Antar unit organisasi, antar kegiatan, antar jenis belanja dalam satu kegiatan. Hal
ini dilaksanakan atas persetujuan DPRD dengan cara mengubah Perda tentang
APBD dan wajib ditampung dalam perubahan APBD;
b. Antar objek belanja dalam satu jenis belanja pada kegiatan berkenaan; dan
c. Antara rincian objek belanja dalam satu objek belanja pada kegiatan berkenaan.
Anessi-Pessina, et al (2013) mengilustrasikan alasan pemerintah daerah dalam
melakukan revisi anggaran. Berdasarkan pernyataan responden, alasan terpenting karena
keputusan yang dibuat oleh pemerintah pusat terkait anggaran akan mempengaruhi pendapatan
kabupaten/kota dan perubahan agenda politik meliputi (perubahan prioritas kepentingan politik
dan sebagai bentuk respon atas hal-hal yang selama ini kurang diperhatikan). Alasan lain yang

14
diajukan responden antara lain: (1) Keputusan yang diambil pemerintah pusat mempengaruhi
bagaimana kegiatan operasi akan dilakukan; (2) Perubahan tak terduga sosioekonomik; (3)
Perlunya memberi signal dengan dampak simbolik yang kuat; (4) Kesalahan dalam peramalan
pengeluaran; (5) Kesalahan dalam peramalan pendapatan; (6) Kebutuhan untuk mengumpulkan
consensus; dan (7) Bencana Alam.

2.1.3. Tata Cara Revisi Anggaran


Tata cara revisi anggaran secara umum diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 32 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Revisi Anggaran, untuk selanjutnya masing-masing
kabupaten/kota melaksanakan tata cara revisi anggaran melalui penerbitan Peraturan Bupati
berdasarkan pagu penetapan peraturan nasional yang ditetapkan.
Sesuai dengan Peraturan Bupati Nomor 24 Tahun 2011 Kabupaten Kutai Timur, bagi
dana transfer Pemerintah Pusat seperti program dan kegiatan yang dibiayai dari dana transfer
pemerintah pusat dan sudah jelas peruntukannya seperti dana Bantuan Operasional Sekolah
(BOS), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Darurat, Dana Bencana Alam dan/atau Dana
Penyesuaian yang belum cukup tersedia dan/atau tidak dianggarkan dalam APBD, Dapat
dilaksanakan mendahului penetapan perubahan APBD dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Menyusun RKA-SKPD/PPKD dan mengesahkan DPPA-SKPD/PPKD;
b. Menetapkan Peraturan Bupati tentang Perubahan penjabaran APBD mendahului
penetapan Perubahan APBD serta memberitahukan kepada Pimpinan DPRD,
c. Disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran apabila telah menetapkan Perda
tentang Perubahan APBD atau tidak melakukan Perubahan APBD.
Untuk pendanaan dan pelaksanaan kegiatan dalam keadaan darurat dan/atau mendesak
yang belum dianggarkan dalam APBD dapat dilakukan langkah-langkah seperti ketentuan diatas.
Sedangkan untuk belanja tak terduga yang akan dipergunakan untuk membiayai tanggap
darurat, penanggulangan bencana alam dan/atau bencana sosial serta kebutuhan mendesak
lainnya, dilakukan dengan cara sebagai berikut :
a. Kepala Daerah menetapkan kegiatan yang akan didanai dari Belanja Tidak Terduga
dengan Keputusan Bupati dan diberitahukan kepada DPRD paling lama 1 (satu) bulan
terhitung sejak Keputusan dimaksud ditetapkan.

15
b. Berdasarkan Keputusan Bupati tersebut, Kepala SKPD yang akan bertanggungjawab
terhadap pelaksanaan kegiatan mengajukan usulan kebutuhan.
Sedangkan revisi yang mendahului penetapan perubahan APBD dapat dilakukan bagi
revisi anggaran melalui penerbitan Peraturan Bupati, dapat dilaksanakan lebih dari 1 (satu) kali
dalam satu tahun anggaran, berkenaan dengan :
a. Revisi mendahului penetapan perubahan APBD
b. Revisi antar Obyek Belanja dalam Jenis Belanja pada kegiatan berkenaan; dan
c. Revisi antar Rincian Obyek Belanja dalam Objek Belanja pada kegiatan berkenaan.
Revisi anggaran yang berkenaan dengan keadaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2), dapat dilaksanakan mendahului penetapan perubahan APBD dan diberitahukan kepada
Pimpinan DPRD. Revisi dilaksanakan dengan cara menetapkan Peraturan Bupati tentang
Penjabaran Perubahan APBD mendahului penetapan Perubahan APBD.
Pihak terkait dalam revisi anggaran yang dilaksanakan mendahului perubahan APBD
meliputi Kepala SKPD/SKPKD memiliki tugas mengajukan usulan pergeseran anggaran
mendahului penetapan Perubahan APBD kepada Bupati melalui Sekretaris Daerah selaku Ketua
TAPD, mengikuti pembahasan terhadap usulan pergeseran anggaran mendahului penetapan
Perubahan APBD yang dilaksanakan oleh Panitia Anggaran, mengikuti pembahasan rancangan
DPPA-SKPD yang dilaksanakan oleh TAPD, menyusun DPPA-SKPD, mengajukan usulan
pergeseran anggaran antar obyek belanja dalam jenis belanja berkenaan pada kegiatan yang sama
kepada Sekretaris Daerah, mengajukan usulan pergeseran anggaran antar rincian obyek belanja
dalam obyek belanja berkenaan pada kegiatan yang sama kepada PPKD, mengajukan usulan
perubahan uraian yang tercantum dalam rincian obyek belanja pada DPA-SKPD yang
memerlukan persetujuan pejabat berwenang, menerbitkan Keputusan Kepala SKPD tentang
perubahan uraian yang tercantum dalam rincian obyek belanja setelah memperoleh persetujuan
TAPD, dan mengevaluasi pelaksanaan anggaran tahun berjalan dalam rangka efisiensi dan
efektivitas untuk ditampung lebih lanjut dalam usulan pergeseran anggaran.
Selanjutnya Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) meneliti dan mengkaji usulan
pergeseran anggaran yang diajukan oleh Kepala SKPD/SKPKD untuk ditampung dalam
Peraturan Bupati tentang Perubahan Penjabaran APBD, meneliti dan mengkaji usulan perubahan
uraian yang tercantum dalam rincian obyek belanja pada DPA-SKPD/ DPA-PPKD yang diajukan
oleh Kepala SKPD/SKPKD, melakukan pembahasan rancangan DPPA-SKPD/DPPA-PPKD

16
serta menerbitkan Berita Acara Persetujuan terhadap pembahasan rancangan DPPA-SKPD/
DPPA-PPKD, menyerahkan DPPA-SKPD/ DPPA-PPKD yang telah sesuai kepada PPKD,
menerbitkan Berita Acara persetujuan terhadap usulan perubahan uraian yang tercantum dalam
rincian obyek belanja pada DPA-SKPD/DPA-PPKD yang diajukan oleh Kepala SKPD/SKPKD,
dan menampung, meneliti dan mengkaji usulan pergeseran anggaran yang diajukan oleh Kepala
SKPD/SKPKD untuk ditampung lebih lanjut dalam Perubahan APBD.
PPKD selanjutnya menerima hasil pembahasan TAPD terhadap pergeseran anggaran
untuk ditampung ke dalam rancangan Peraturan Bupati tentang Perubahan Penjabaran APBD,
dengan hasil tersebut maka dapat diselenggarakan administrasi pelaksanaan pergeseran anggaran
guna menyiapkan rancangan Peraturan Bupati tentang Perubahan Penjabaran APBD. Selanjutnya
PPKD Menyiapkan surat Bupati tentang pengajuan pergeseran anggaran mendahului penetapan
Perubahan APBD dan menerbitkan persetujuan pergeseran anggaran antar rincian obyek belanja
dalam obyek belanja belanja berkenaan pada kegiatan yang sama.
Sekretaris Kabupaten selaku Ketua TAPD selanjutnya memberikan pertimbangan
terhadap usulan pergeseran anggaran mendahului penetapan perubahan APBD yang diajukan
oleh Kepala SKPD/SKPKD, menerbitkan persetujuan pergeseran anggaran antar obyek belanja
dalam jenis belanja berkenaan pada kegiatan yang sama, menyetujui dan menyerahkan
Rancangan Peraturan Bupati tentang Penjabaran Perubahan APBD kepada Bupati untuk
ditandatangani, dan berwenang memimpin TAPD dalam pembahasan pergeseran anggaran
mendahului penetapan perubahan APBD bersama Badan Anggaran DPRD sehingga dapat
mengesahkan DPPA-SKPD/DPPA-PPKD.
Tahap selanjutnya Bupati memiliki menyampaikan surat tertulis kepada Pimpinan DPRD
terhadap usulan pergeseran anggaran mendahului penetapan perubahan APBD, mengotorisasi
Rancangan Peraturan Bupati tentang Penjabaran Perubahan APBD menjadi Peraturan Bupati
tentang Penjabaran Perubahan APBD mendahului penetapan Perda tentang Perubahan APBD
dan menetapkan hasil rapat yang diselenggarakan oleh TAPD.
Pimpinan DPRD lantas menyelenggarakan pembahasan usulan pergeseran anggaran
mendahului penetapan perubahan APBD sesuai mekanisme yang berlaku di DPRD dan
menerbitkan Keputusan Pimpinan DPRD terhadap persetujuan pergeseran anggaran mendahului
penetapan Perubahan APBD.

17
2.1.4. Penerapan Anggaran Berbasis Kinerja
UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengandung implikasi mulai
diterapkannya pendekatan anggaran berbasis kinerja (performance-based budgeting).
Pendekatan ini secara bertahap mulai diterapkan sejak tahun 2005, dan dipertegas dengan
beberapa penjelasan lanjutan dengan penerapan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 90 Tahun 2010 Tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian
Negara/Lembaga. Peraturan tersebut menjawab tantangan utama pengelolaan APBD dengan
menerapkan kebijakan penganggaran dengan meningkatkan kualitas belanja (Quality of
Spending).
Pendekatan kinerja definisikan sebagai sistem penganggaran yang berorientasi pada hasil
atau output dari alokasi dana yang tersedia atau input (PP 105/2000). Anggaran berbasis kinerja
mengandung makna bahwa setiap penyelenggara negara berkewajiban untuk bertanggungjawab
atas hasil proses dan penggunaan sumber dayanya (PP 58/2005). Pengukuran kinerja digunakan
sebagai indikator dalam menilai tingkat keberhasilan pelaksanaan kegiatan/program/kebijakan
sesuai dengan sasaran dan tugas yang telah ditetapkan sesuai visi, misi, dan tujuan pemerintah
daerah Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2010, anggaran
kinerja dalam penerapannya paling tidak mengandung 3 (tiga) prinsip, yaitu: (1) prinsip alokasi
anggaran program dan kegiatan didasarkan pada tugas-fungsi unit kerja yang dilekatkan pada
stuktur organisasi (money follow function); (2) prinsip alokasi anggaran berorientasi pada kinerja
(output and outcome oriented); dan (3) prinsip fleksibilitas pengelolaan anggaran dengan tetap
menjaga prinsip akuntabilitas (let the manager manages).
Sebagai konsekuensi dari reformasi keuangan yang diamanatkan UU Nomor 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara, struktur belanja APBN mengalami perubahan untuk memenuhi
kriteria unified budget dengan struktur (1) Anggaran belanja pemerintah pusat, meliputi: belanja
pegawai, belanja barang, belanja modal, dan bantuan sosial; dan (2) Anggaran belanja ke daerah,
meliputi: dana perimbangan (dana bagi hasil, dana alokasi umum, dana alokasi khusus) dan dana
otonomi khusus dan penyesuaian (Nordiawan., et al 2007).

2.1.5. Proses Penyusunan Laporan Keuangan Pemerintahan Daerah (LKPD)


Penyusunan LKPD berdasarkan (Nordiawan, et al 2007) dimulai dari penyusun laporan
keuangan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang terdiri dari LRA, Neraca, dan Catatan

18
atas Laporan Keuangan (CaLK) oleh Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah selaku Pegguna
Anggaran. Selanjutnya laporan keuangan SKPD dilampiri dengan laporan keuangan Badan
Layanan Umum Daerah (BLUD) bentuk ringkas untuk kemudian disampaikan kepada Pejabat
Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) selaku Bendahara Umum Daerah (BUD).
PPKD kemudian menyusun laporan keuangan yang terdiri atas (LRA, Neraca, Laporan
Arus Kas, dan CaLK) sebagai bentuk pertanggungjawaban pengelolaan perbendaharaan daerah
untuk disampaikan kepada gubernur/bupati/walikota selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah
tahun anggaran berakhir.
PPKD menyusun LKPD berdasarkan laporan keuangan SKPD dan laporan keuangan
BUD untuk disampaikan kepada gubernur/bupati/walikota sebagai bentuk pertanggungjawaban
pelaksanaan APBD. Kemudian gubernur/bupati/walikota juga menyusun ikhtisar laporan
keuangan perusahaan daerah yang akan dilampirkan pada LKPD. kemudian oleh
gubernur/bupati/walikota disampaikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selambat-
lambatnya 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Setelah BPK mengeluarkan hasil
pemeriksaan kemudian gubernur/bupati/walikota melakukan penyesuaian LKPD dengan koreksi
lain berdasarkan SAP.
Berdasarkan laporan keuangan yang diaudit BPK, kemudian PPKD menyusun rancangan
peraturan daerah (Raperda) tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD. Selanjutnya
Raperda yang tersebut disampaikan oleh gubernur/bupati/walikota kepada DPRD selambat-
lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Setelah Raperda telah disetujui
bersama DPRD, disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Gubernur.

2.2. Landasan Teori


2.2.1. Goal Setting Theory Pada Pemerintah Daerah
Menurut Locke dan Latham (2004), Goal Setting Theory merupakan bentuk kesadaran
orang (pegawai) akan tujuan organisasi sehingga dapat berpengaruh terhadap pencapaian tujuan
tersebut. Terdapat hubungan langsung antara definisi dari tujuan yang spesifik dan terukur
terhadap kinerja, apabila manajer memahami apa yang hendak dicapai, manajer tersebut akan
termotivasi untuk lebih melakukan usaha-usaha yang akan meningkatkan kinerja.
Di Indonesia, entitas pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk menentukan tujuan
instansi tersebut sesuai Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 Tentang Sistem Pengendalian

19
Intern. Dengan tujuan yang jelas diharapkan bahwa kinerja masing-masing departemen dapat
meningkat. UU No 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara menegaskan bahwa instansi
pemeritah yang dipimpin oleh kementerian atau lembaga menyusun sasaran dan rincian kegiatan
yang hendak dicapai.
Meskipun Goal Setting Theory mengemukakan bahwa tujuan yang jelas dan terukur
seharusnya memiliki hubungan positif dengan kinerja, masalah utama muncul terkait dampak
dari tujuan yang jelas dan terukur dalam jangka panjang dan di dalam sistem pengendalian yang
menekankan pada efisiensi. Tujuan yang jelas dan terukur akan memudahkan perorangan
(pegawai) untuk mencapai tingkat output yang dikehendaki. Namun tujuan yang sulit ataupun
tidak jelas akan menyebabkan kualitas output kurang baik. Ketika organisasi fokus kepada suatu
tujuan, maka efisiensi akan meningkat, dengan meningkatnya perhatian terhadap efisiensi maka
kualitas kinerja akan cenderung diabaikan.

2.2.2. Asimetri Informasi Pada Pemerintah Daerah


Asimetri informasi adalah perbedaan informasi yang dimiliki antara manajer tingkat
bawah atau menengah (lower level manager atau middle manager) dengan manajemen diatasnya
dalam penyusunan anggaran. Bentuk asimetri informasi yang terdapat dalam penyelenggaraan
pemerintah daerah adalah adverse selection, menurut Scott (2006), adverse selection, adalah
para manager dan orang dalam perusahaan memiliki informasi yang lebih mengenai prospek dan
keadaaan keuangan perusahaan namun belum disampaikan kepada pihak luar sehingga terjadi
asimetri informasi.
Asimetri informasi dapat disebabkan oleh pembuatan laporan keuangan yang menutupi
keadaan sebenarnya. Dapat dikatakan bahwa asimetri informasi muncul setelah adanya
perbedaan kepentingan yang sering disebut dalam teori agensi. Antara pihak eksekutif, legislatif,
dan yudikatif memiliki informasi yang berbeda mengenai kebijakan dan keputusan anggaran
yang bermanfaat bagi pengambilan keputusan.
Baiman (1982), Chow et.al (1988), Blanchard dan Chow (1983), dan Waller (1988) dalam
artikel Afiani (2010) menyatakan pada beberapa organisasi, staff memiliki informasi yang lebih
akurat daripada atasannya dalam rangka mempengaruhi pengukuran kinerja. Sesuai dengan
sistem pengendalian manajemen, staff tersebut hendaknya memadukan informasi pribadi yang

20
dimilikinya untuk dipadukan dengan standar anggaran perusahaan dalam rangka penetapan
kinerja organisasi.

2.2.3. Senjangan Anggaran (Budgetary Slack) Pada Pemerintah Daerah


Definisi senjangan anggaran menurut Anthony dan Govindarajan (2005) perbedaan antara
jumlah anggaran yang diajukan oleh subordinates dengan jumlah estimasi yang terbaik dari
perusahaan. Dalam lingkup organisasi pemerintahan, senjangan diibaratkan sebagai perbedaan
antara ketersediaan sumber daya organisasi dengan sumber daya yang dibutuhkan untuk
mengelola organisasi (Cyert dan March 1964 dalam artikel Afiani 2010).
Onsi (1973), Schiff dan Lewin (1970) dalam penelitiannya menyatakan bahwa senjangan
anggaran mampu menggambarkan perilaku manajer mempengaruhi jumlah sumber daya suatu
organisasi baik itu memperbesar, memperkecil pendapatan atau bahkan membebankan biaya
menjadi lebih tinggi. Ditambahkan oleh Schiff dan Lewin (1970) bahwa senjangan anggaran
yang dilakukan tidak selalu merugikan tetapi juga dapat menguntungkan dalam kejadian tertentu.
Manajemen mampu menciptakan senjangan anggaran demi mencapai suatu jumlah anggaran dan
mengamankan sumber daya untuk kepentingan dan tujuan mereka dimasa yang akan datang atau
dengan kata lain untuk memenuhi keuntungan organisasi yang tercakup dalam anggaran.

2.3. Kerangka Teoritis


Revisi anggaran merupakan salah satu aktivitas yang dilakukan aparat pemerintah daerah
dalam aktivitas perubahan rincian anggaran belanja yang telah ditetapkan berdasarkan APBD
dan telah disahkan dalam daftar isian pelaksanaan anggaran. Anessi-Pessina, et al (2012)
menemukan bahwa persetujuan anggaran adalah hasil dari proses pengambilan keputusan,
namun merupakan proses yang berkesinambungan dari proses pelaksanaan anggaran dan revisi
anggaran. Akibatnya, revisi anggaran memiliki keterkaitan dengan beberapa variabel yang
mempengaruhi proses anggaran. Dalam konteks ini ada 5 (lima) variabel yang digunakan untuk
mengukur revisi anggaran.
Beberapa penelitian mengemukakan keterkaitan proses anggaran dengan derajat
inkrementalisme yang diproyeksikan dengan perbandingan anggaran sebelumnya atau proses
revisi anggaran. Wildavsky (1964) menjelaskan bahwa inkrementalisme sangat erat kaitannya
dengan anggaran, selain itu beberapa penelitian selanjutnya seperti yang dikemukakan Boyne, et

21
al (2001) bahwa proses anggaran dikatakan inkremental apabila perbedaan dengan anggaran
tahun sebelumnya kecil dan kurangnya fokus aparat terhadap proses tersebut sehingga
inkremental dianggap sebagai penyederhanaan dari proses anggaran.
Setiap kabupaten/kota memiliki perbedaan karakteristik, kebijakan, dan aktivitas
anggaran yang berbeda satu sama lain. Hal ini akan mempengaruhi aktivitas revisi anggaran baik
pertengahan maupun akhir tahun. Anessi-Pessina, et al (2012) menguji keterkaitan tersebut
dengan berasumsi bahwa cakupan yang menentukan kompleksitas sebuah organisasi akan
berpengaruh pada prosedur penganggaran yang dilakukan, semakin besar cakupan organisasi,
akan semakin sulit revisi anggaran dilakukan.
Pemerintah Kabupaten/kota dengan tingkat akumulasi surplus pada tahun sebemumnya
yang lebih besar akan cenderung melakukan sedikit revisi anggaran di tahun berikutnya. Selain
itu surplus juga memiliki keterkaitan dengan anggaran belanja yang akan meningkatkan belanja
modal, sedangkan defisit akan meningkatkan pendapatan atau menurunkan pengeluaran Anessi-
Pessina, et al (2012).
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki beragam demografik wilayah
dimana masing-masing wilayah memiliki perbedaan pendapatan bruto yang akan mempengaruhi
proses anggaran maupun revisi anggaran. Lu dan Facer (2004) melakukan survey dan
menemukan adanya keterkaitan antara proses anggaran dan struktur anggaran terhadap kepala
daerah dan lingkungan eksternal. Secara ringkas kerangka teoritis tersaji dalam gambar 2.1.

22
Gambar 2.1
Kerangka Teoritis

Sejauh ini, issue terkait implikasi inkrementalisme terhadap pelaksanaan anggaran


kurang mendapat perhatian. Hal tersebut sudah seharusnya menjadi issue yang penting
karena fokus terhadap penganggaran awal (initial budgeting) mampu mencerminkan proses
anggaran secara keseluruhan. Hipotesis penulis adalah pendekatan inkremental yang
dilakukan pada proses anggaran tidak sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan organisasi
dan sebagai konsekuensinya harus dilakukan revisi anggaran yang lebih besar selama tahun
fiskal.

2.4. Penelitian Terdahulu dan Hipotesis Penelitian


2.4.1. Pengaruh Derajat Inkrementalisme yang Terjadi Di Dalam Proses Penyusunan
Anggaran terhadap Aktivitas Revisi Anggaran.
Penelitian terdahulu (Anessi-Pessina, et al 2012; Wildavsky 1964) menemukan adanya
pengaruh derajat inkrementalisme terhadap aktivitas revisi anggaran. Menurut Anessi-Pessina,

23
et al (2012) Pendekatan inkremental yang dilakukan pada proses penyusunan anggaran tidak
sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan organisasi dan sebagai konsekuensinya, semakin besar
revisi anggaran yang dilakukan selama tahun fiskal. Hal ini mencerminkan semakin banyak
kebijakan ditetapkan di awal periode, semakin sedikit revisi anggaran yang diperlukan selama
tahun fiskal. Anessi-Pessina, et al (2012) menyoroti derajat inkrementalisme anggaran pada pos
belanja operasi, pos belanja modal, dan pos pengeluaran daerah, dan menemukan signifikansi
pada keseluruhan pos tersebut. Hal tersebut mengindikasikan inkremental anggaran disebabkan
karena kurangnya perencanaan pada awal periode anggaran, karena hanya berpedoman pada
penyesuaian atau penambahan pagu anggaran di tahun sebelumnya sehingga ketika pada tahun
berikutnya terdapat beberapa proyek/kegiatan/inovasi kegiatan yang belum dianggarkan di tahun
sebelumnya akan memicu terjadinya revisi anggaran.
Selain itu, Lindblom (1959) dalam penelitiannya pada negara demokrasi memaparkan
bahwa kebijakan inkremental dilakukan ketika aparat dalam kondisi tertekan dan membutuhkan
jalan pintas untuk membuat sebuah kebijakan, sehingga memilih untuk menggunakan acuan
kebijakan tahun sebelumnya dengan sedikit modifikasi.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai
berikut.

Hipotesis 1: Derajat inkrementalisme dalam penyusunan anggaran awal


mempengaruhi secara negatif revisi anggaran pada pos belanja operasi dan pos
belanja modal.
a. Hipotesis 1.a : Perubahan anggaran operasi mempengaruhi secara negatif revisi
anggaran pada pos belanja operasi
b. Hipotesis 1.b : Perubahan anggaran modal mempengaruhi secara negatif revisi
anggaran pada pos belanja modal.
c. Hipotesis 1.c : Perubahan pengeluaran mempengaruhi secara negatif revisi anggaran
pada pos belanja operasi.

2.4.2. Pengaruh Fitur Organisasi terhadap Aktivitas Revisi Anggaran


Variabel lain yang mempengaruhi revisi anggaran adalah karakteristik organisasi atau
disebut dengan fitur organisasi. Penelitian terdahulu oleh Anessi-Pessina, et al (2012)
menemukan bahwa Financial Comptroler Office (CFO) mempengaruhi proses penyusunan

24
anggaran dalam hal perencanaan anggaran. Financial Comptroler Office (CFO) diukur
menggunakan populasi suatu daerah, semakin besar organisasi, maka akan semakin kompleks
dan sulit untuk dikelola, sehingga dalam penyusunan anggaran harus sepenuhnya mengikuti
prosedur dan aturan yang berlaku dan nantinya akan memperlambat perolehan persetujuan revisi
anggaran. Selain itu Giroux, et al (1986) dalam penelitiannya mengenai ukuran organisasi dan
siklus anggaran, menemukan bahwa kekuatan departement anggaran tergantung pada besar
kecilnya organisasi tersebut. Anessi-Pessina, et al (2012) juga memaparkan Financial
Comptroler Office (CFO) sebagai faktor yang memegang kendali atas pengeluaran dan
pengelolaan program. Meskipun pengajuan revisi anggaran yang dilakukan tidak mendapat
persetujuan, CFO akan menekan ex ante programming atau menggunakan anggaran konservatif
dengan menetapkan alokasi yang rendah, kemudian kembali meningkatkannya ketika
pendapatan aktual telah diperoleh pada tahun fiskal.
Menurut Anessi-Pessina, et al (2012), hal lain yang mempengaruhi revisi anggaran adalah
adanya revisi pada pos belanja tak terduga. Hal tersebut dikarenakan entitas pemerintah daerah
dalam menganggarkan pos kejadian tak terduga melibatkan pos lain. Beberapa warta
menyebutkan sejumlah penyelewengan alokasi belanja tak terduga seperti Kabupaten Klaten
(Solopos, 12 Desember 2012) dan Kabupaten Rejang Lebong (Harian Rakyat Bengkulu, 28
Desember 2013) yang realisasi alokasinya naik secara melonjak dibandingkan dengan anggaran
yang telah ditetapkan, serta Sumedang (Tribunnews, 22 Januari 2014) yang kurang maksimal
dalam pengalokasian bencana alam yang butuh penanganan segera. Ketidakpatuhan/
penyelewengan tersebut mengakibatkan banyaknya revisi yang terjadi pada belanja tak terduga,
Sehingga ketika banyak dilakukan revisi terhadap anggaran tak terduga, akan melibatkan revisi
pada pos anggaran lain.
Anessi-Pessina, et al (2012) juga mengungkapkan bahwa populasi/ jumlah penduduk
suatu daerah berbanding lurus dengan kebutuhan pelayanan publik suatu daerah. Untuk
meningkatkan kualitas pelayanan publik suatu daerah maka diperlukan pengembangan sektor di
bidang infrastruktur, sarana dan prasarana, serta kualitas operasioal entitas pemerintahan
sehingga tercipta keselarasan antara fasilitas dan kualitas SDM.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai
berikut.

25
Hipotesis 2 : Fitur organisasi mempengaruhi secara positif revisi anggaran pada pos
belanja operasi dan pos belanja modal.
a. Hipotesis 2.a : Staff (jumlah belanja pegawai) mempengaruhi secara positif revisi
anggaran pada pos belanja operasi dan belanja modal.
b. Hipotesis 2.b : Revisi anggaran tak terduga mempengaruhi secara positif revisi
anggaran pada pos belanja operasi dan belanja modal.
c. Hipotesis 2.c : Populasi mempengaruhi secara positif revisi anggaran pada pos
belanja operasi dan belanja modal.

2.4.3. Pengaruh Kondisi Keuangan Kabupaten/Kota terhadap Aktivitas Revisi Anggaran


Dalam penelitiannya terdahulu, munculnya surplus pada periode sebelumnya akan
mestimulasi terjadinya revisi anggaran dalam aktivitas: (1) menaikkan belanja modal (untuk
pembiayaan proyek dan pengeluaran tak terduga seperti invoices yang datang di akhir periode)
(Dougherty, et al 2003); (2) menaikkan belanja operasi (meskipun beberapa kebijakan melarang
atau membatasi penggunaan surplus untuk menutup belanja operasi); dan (3) menurunkan
pendapatan modal (penemuan terbaru menunjukkan bahwa surplus dapat digantikan dengan
pinjaman berencana (planned borrowing) atau aset penjualan sebagai bentuk pendanaan
inventasi (Anessi-Pessina, et al 2012). Sedangkan munculnya defisit pada periode sebelumnya
akan menstimulasi adanya penyesuaian anggaran (menaikkan pendapatan atau mengurangi
pengeluaran) (Anessi-Pessina, et al 2012).
Pengeluaran daerah didanai oleh pendapatan suatu daerah baik yang bersumber melalui
pajak, retribusi, atau dana bantuan pemerintah, sehingga semakin besar pendapatan yang
diperoleh entitas pemerintah daerah, maka revisi anggaran yang dilakukan pada akan semakin
kecil. Pemerintah daerah akan semakin leluasa dalam melakukan perencanaan tanpa terikat oleh
keterbatasan anggaran sehingga pada tahun berjalan dapat meminimalasi terjadinya revisi
anggaran (Anessi-Pessina, et al 2012).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai
berikut.

Hipotesis 3: Kondisi keuangan kabupaten/kota mempengaruhi baik secara positif


maupun negatif revisi anggaran pada pos belanja operasi dan pos belanja modal.
a. Hipotesis 3.a : Akumulasi surplus mempengaruhi secara negatif revisi anggaran

26
pada pos belanja operasi dan belanja modal
b. Hipotesis 3.b : Aliran surplus mempengaruhi secara negatif revisi anggaran pada pos
belanja operasi dan belanja modal.
c. Hipotesis 3.c : Otonomi keuangan mempengaruhi secara negatif revisi anggaran pada
pos belanja operasi dan belanja modal
d. Hipotesis 3.d : Rigiditas pengeluaran mempengaruhi secara positif revisi anggaran pada
pos belanja operasi dan belanja modal.
e. Hipotesis 3.e : Pinjaman bersih mempengaruhi secara positif revisi anggaran pada
pos belanja operasi dan mempengaruhi secara negatif pada pos belanja modal.

2.4.4. Pengaruh Lingkungan Sosioekonomik terhadap Aktivitas Revisi Anggaran


Disamping beberapa faktor internal yang mempengaruhi aktivitas revisi anggaran, faktor
eksternal yang mempengaruhi antara lain kondisi lingkungan sosioekonomik (Anessi-Pessina, et
al 2012; Lu dan Facer 2004). Penelitian serupa juga dilakukan oleh Brudney dan Selden (1995)
yang mengemukakan adanya keterkaitan antara lingkungan dan organisasi.
Perlu ditelaah apakah perbedaan PDRB antar kabupaten/kota mempengaruhi revisi
anggaran yang dilakukan. Apakah daerah dengan PDRB rendah atau tergolong pada daerah
miskin akan cenderung menaikkan pendapatannya atau cenderung mengurangi pengeluarannya.
Pada penelitian yang dilakukan Anessi-Pessina, et al (2012), daerah dengan Gross Domestic
Product (GDP) rendah akan cenderung melakukan revisi anggaran dikarenakan daerah tersebut
masih mengalami masalah fundamental terkait perencanaan dan koordinasi terkait perencanaan
anggaran yang dilakukan.
Mengingat persebaran Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) diseluruh
Indonesia yang tercantum dalam situs resmi Direktorat Jenderal Perbendaharaan
(http://www.perbendaharaan.go.id/new/) berjumlah 181 dengan wilayah kerja yang terdiri dari
dua sampai sepuluh kabupaten/kota yang diampu tiap KPPN sehingga letak geografis wilayah
dan tipe wilayah berdasarkan kabupaten/kota sangat mempengaruhi keefektifan penyelesaian
proses revisi anggaran yang dilakukan. Selain itu, perlu dirumuskan terkait lokasi geografis Jawa
dan Luar Jawa apakah revisi anggaran juga lebih besar dilakukan pada daerah Jawa karena lokasi
yang lebih sentral bila dikaitkan dengan pemerintah pusat. Serta dilakukan pula analisis terkait

27
tipe wilayah tersebut sebagai kabupaten atau kota apakah memiliki keterkaitan yang signifikan
terhadap aktivitas revisi anggaran.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai
berikut.

Hipotesis 4: Lingkungan sosioekonomik mempengaruhi baik secara positif maupun


negatif revisi anggaran pada pos belanja operasi dan belanja modal
a. Hipotesis 4.a : Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) mempengaruhi secara
negatif revisi anggaran pada pos belanja operasi dan belanja modal
b. Hipotesis 4.b : Tipe wilayah mempengaruhi secara positif revisi anggaran pada pos
belanja operasi dan belanja modal
c. Hipotesis 4.c : Letak geografis wilayah mempengaruhi secara positif revisi anggaran
pada pos belanja operasi dan belanja modal.

28
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian


Penelitian ini menggunakan jenis pengujian hipotesis (hypothesis testing) yaitu dengan
menguji hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya. Penelitian ini ditujukan untuk menguji
hipotesis yang menjelaskan mengenai pengaruh variabel-variabel internal dan eksternal terhadap
revisi anggaran pada pos belanja operasi (RABo) dan revisi anggaran pada pos belanja modal
(RABm). Yang termasuk dalam variabel-variabel internal adalah sebagai berikut:
1. Derajat inkrementalisme pada perumusan anggaran awal yang dijabarkan melalui
sub variabel: perubahan belanja operasi (PRBo), perubahan belanja modal
(PRBm), dan perubahan pengeluaran (PRP).
2. Fitur organisasi yang dijabarkan melalui sub variabel: belanja pegawai (STAFF),
revisi pada pos belanja tak terduga (RATtd), dan populasi daerah (POP).
3. Kondisi keuangan yang dijabarkan melalui sub variabel: akumulasi surplus
(AkmS), aliran surplus (AlrS), otonomi keuangan (OtoK), rigiditas keuangan
(RigK), dan pinjaman bersih (PjmB).
Sedangkan yang termasuk dalam variabel eksternal adalah sebagai berikut :
1. Kondisi lokal sosioekonomik yang dijabarkan melalui sub variabel: Pendapatan
Domestik Regional Bruto atas dasar harga berlaku (PDRB), tipe daerah (TIPE),
dan letak geografis wilayah (GEO).
Penelitian ini menggunakan data sekunder yaitu (1) LKPD kabupaten/kota di
Indonesia pada tahun 2015 dan 2016, (2) APBD kabupaten/kota di Indonesia tahun 2015
dan 2016 , (3) Laporan PDRB kabupaten/kota di Indonesia tahun 2015 dan 2016, serta
Laporan data populasi berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan tahun 2016.

3.2. Populasi dan Sampel Penelitian


Penelitian ini menguji pengaruh derajat inkrementalisme, fitur organisasi, kondisi
keuangan, dan kondisi lokal sosioekonomik terhadap aktivitas revisi anggaran pada item belanja
operasi dan belanja modal.

29
Dalam pengujian ini derajat inkrementalisme diukur dengan menggunakan persentase
perubahan anggaran pada pos belanja operasi dan belanja modal dan perubahan pengeluaran,
fitur organisasi diukur dengan jumlah belanja pegawai, populasi kabupaten/kota dan revisi
anggaran tak terduga, kondisi keuangan kabupaten/kota diukur dengan persentase akumulasi
surplus/defisit, persentase aliran surplus, persentase otonomi keuangan, persentase rigiditas
pengeluaran, persentase pinjaman bersih, dan persentase revisi surplus (defisit), dan kondisi lokal
sosioekonomik diukur dengan PDRB, letak geografis wilayah, dan tipe wilayah berdasarkan
kabupaten atau kota. Pendekatan pengukuran ini juga dipakai oleh Anessi-Pessina, et al (2012)
dalam penelitiannya terkait faktor-faktor yang mempengaruhi revisi anggaran. Untuk prosedur
pengujian penelitian ini, bab ini menjelaskan pemilihan sampel dan data, pengukuran variabel,
dan pengujian hipotesis.

3.2.1. Populasi Penelitian


Popolasi penelitian ini adalah seluruh wilayah kabupaten/ kota di Indonesia yang
tercantum dalam laporan PDRB BPS tahun 2016 yang diunggah melalui website
http://www.bps.go.id/publications/publikasi2011.php. Jumlah wilayah kabupaten/kota di
Indonesia berdasarkan data tersebut berjumlah 497 baik pada tahun 2015 maupun tahun 2016.
Sedangkan populasi dalam penelitian dipilih dengan kriteria tertentu (purposive sampling)
berdasarkan ketersediaan data yang disesuaikan dengan kebutuhan penelitian pada item LKPD
dan APBD. Rentang waktu tersebut dipilih karena pada tahun 2015 melalui UU Nomor 47 Tahun
2015 tentang APBN 2015, pemerintah menyatakan perubahan kebijakan bagi APBN Tahun
2015, dimana perubahan ini mempunyai arti penting bagi upaya pemulihan perekonomian
nasional. Melaui perubahan APBN 2015 ini volume anggaran belanja negara mengalami
peningkatan yang sangat signifikan mencapai 78,5 triliun (Okezone 03 Mei 2016). Kenaikan
anggaran tersebut menyebabkan gejolak perubahan kebijakan perencanaan anggaran pada
pemerintah daerah terutama pada tahun 2015 dan 2016.

3.2.2. Sampel Penelitian


Sampel merupakan bagian dari populasi dan dalam penelitian ini dipilih dengan kriteria
tertentu (purposive sampling) yang memenuhi kriteria sebagai berikut:

30
1. LKPD tersedia untuk tahun 2015 dan 2016 dan mencantumkan LRA dengan
keseluruhan itemnya;
2. Hasil pemeriksaan laporan yang dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
pada tahun 2011 adalah Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dan Wajar Tanpa
Pengecualian Dengan Paragraf Penjelas (WTP-DPP).
3. APBD tersedia untuk tahun 2015 dan 2016;
4. Data populasi berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan Badan Pusat Statistik
(BPS) tahun 2015 tersedia; dan
5. Data PDRB tersedia untuk tahun 2015-2016.

3.3. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel


3.3.1. Definisi Variabel
Menurut Sekaran dan Bougie (2009) variabel merupakan sesuatu yang dapat memiliki
nilai-nilai yang bervariasi, dimana nilai tersebut dapat dibedakan pada waktu yang bervariasi
untuk objek atau orang yang sama, atau pada waktu yang sama untuk objek atau orang yang
berbeda. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan 2 jenis variabel yaitu variabel dependen
dan independen. Variabel dependen pada penelitian ini adalah revisi anggaran pada item belanja
operasi dan belanja modal. Sedangkan variabel independen dari penelitian ini adalah derajat
inkrementalisme, fitur organisasi, kondisi keuangan, dan kondisi lokal sosioekonomik.

3.3.1.1 Definisi dan Pengukuran Variabel Dependen


Menurut Sekaran dan Bougie (2009) variabel dependen adalah variabel utama yang
menjadi perhatian peneliti. Tujuan utama penulis adalah memahami dan mendeskripsikan
variabel dependen, menjelaskan variabilitasnya, atau memprediksikannya. Variabel dependen
yang digunakan dalam penelitian ini adalah revisi anggaran pada item belanja operasi dan belanja
modal.
a. Revisi Anggaran Operasi (RABo)
Revisi anggaran operasi dalam penelitian ini merupakan persentase perubahan
anggaran pada pos belanja operasi setelah revisi yang tercantum dalam LRA terhadap
anggaran awal sebelum revisi pada pos belanja operasi yang tercantum dalam APBD.

31
Belanja operasi mencerminkan pengeluaran anggaran untuk kegiatan sehari-hari
pemerintah daerah yang memberi manfaat jangka pendek (PP 71/2010).
Peneliti mengukur tingkat revisi anggaran pada belanja operasi dengan
mengadopsi pengukuran yang digunakan Anessi-Pessina, et al (2012) yang dapat
dirumuskan sebagai berikut.

𝐴𝑅𝐵𝑜(𝑡)−𝐴𝐴𝐵𝑜(𝑡)
𝑅𝐴𝐵𝑜(𝑡) = x 100%
𝐴𝐴𝐵𝑜(𝑡)

a. RABo(t) : Revisi anggaran pada pos belanja operasi


b. AABo(t) : Anggaran awal belanja operasi pada APBD
c. ARBo(t) : Anggaran belanja operasi setelah dilakukan revisi pada
LKPD

b. Revisi Anggaran Modal (RABm)


Revisi anggaran modal dalam penelitian ini merupakan persentase perubahan
anggaran pada pos belanja modal setelah revisi yang tercantum dalam LRA terhadap
anggaran awal sebelum revisi pada pos belanja modal yang tercantum dalam APBD.
Belanja modal mencerminkan pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset
lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi (PP 71/2010).
Peneliti mengukur tingkat revisi anggaran pada belanja modal dengan
mengadopsi pengukuran yang digunakan Anessi-Pessina, et al (2012) yang dapat
dirumuskan sebagai berikut.

𝐴𝑅𝐵𝑚(𝑡) – 𝐴𝐴𝐵𝑚(𝑡)
𝑅𝐴𝐵𝑚(𝑡) = x 100%
𝐴𝐴𝐵𝑚(𝑡)

a. RABm(t) : Revisi anggaran pada pos belanja modal


b. AABm(t) : Anggaran awal belanja modal pada APBD
c. ARBm(t) : Anggaran belanja modal setelah dilakukan revisi pada
LKPD

32
3.3.1.2 Definisi dan Pengukuran Variabel Independen
Menurut Sekaran dan Bougie (2009) variabel independen adalah variabel yang
mempengaruhi variabel dependen baik secara positif maupun negatif. Dalam pengujian revisi
anggaran, terdapat empat variabel independen utama yang menjadi fokus penelitian. Seperti pada
penelitian Anessi-Pessina, et al (2012) variabel-variabel tersebut dibagi menjadi dua yaitu
variabel internal dan variabel eksternal.
Variabel internal merupakan faktor-faktor yang terjadi/berasal dari dalam lingkungan
entitas pemerintahan daerah baik ditinjau dari segi aktivitas Pejabat Pengelola Keuangan Daerah
(PPKD), karakteristik, maupun tingkat perekonomian daerah yang mampu memicu terjadinya
revisi anggaran. Variabel ini diproksikan menjadi tiga variabel utama yaitu: derajat
inkrementalisme pada penyusunan anggaran awal, fitur organisasi, dan kondisi keuangan.
Sedangkan variabel eksternal merupakan faktor-faktor yang terjadi/berasal dari luar
lingkungan entitas pemerintahan daerah baik dari segi kondisi sosial, pendapatan dari aktivitas
eksternal organisasi, geografi, dan wilayah yang mampu memicu terjadinya revisi anggaran.
Variabel ini diproksikan menjadi satu variabel utama yaitu: kondisi lokal sosioekonomik.
a. Derajat Inkrementalisme pada Perumusan Anggaran Awal
Derajat inkrementalisme merupakan variabel untuk mengukur tingkat
inkremental penyusunan anggaran yang terjadi pada pemerintah daerah. Menurut
(Nordiawan, et al 2007) inkrementalisme merupakan jumlah anggaran tahun tertentu
dihitung berdasarkan jumlah tahun sebelumnya dengan tingkat kenaikan tertentu. Pada
variabel ini pos-pos yang disoroti meliputi:
i. Perubahan Belanja Operasi (PRBo). Merupakan derajat inkrementalisme pada
perumusan anggaran belanja operasi. Variabel ini digunakan untuk mengetahui
apakah semakin inkremental perumusan anggaran pada pos belanja operasi akan
menyebabkan revisi anggaran pada pos belanja operasi yang dilakukan semakin
besar. Variabel ini merupakan persentase perubahan antara anggaran awal belanja
operasi dan belanja operasi aktual tahun sebelumnya, atau dapat dirumuskan
sebagai berikut:

𝐴𝐴𝐵𝑜(𝑡)−𝐵𝑜𝐴(𝑡−1)
𝑃𝑅𝐵𝑜(t) = x 100%
𝐵𝑜𝐴 (𝑡−1)

33
a. PRBo(t) : Perubahan Belanja Operasi
b. AABo(t) : Anggaran awal belanja operasi pada APBD
c. BoA(t-1) : Belanja operasi aktual tahun sebelumnya pada
LKPD

ii. Perubahan Anggaran Modal (PRBm). Merupakan derajat inkrementalisme


pada perumusan anggaran belanja modal. Variabel ini digunakan untuk
mengetahui apakah semakin inkremental perumusan anggaran pada pos belanja
modal akan menyebabkan revisi anggaran pada pos belanja modal yang dilakukan
semakin besar. Variabel ini merupakan persentase perubahan antara anggaran
awal pada belanja modal dan belanja modal aktual tahun sebelumnya, atau dapat
dirumuskan sebagai berikut:

𝐴𝐴𝐵𝑚(𝑡)−𝐵𝑚𝐴(𝑡−1)
𝑃𝑅𝐵𝑚(𝑡) = x 100%
𝐵𝑚𝐴 (𝑡−1)

a. PRBm(t) : Perubahan anggaran modal


b. AABm(t) : Anggaran awal belanja modal pada APBD
c. BmA(t-1) : Belanja modal aktual tahun sebelumnya pada LKPD

iii. Perubahan Pengeluaran (PRP). Merupakan derajat inkrementalisme pada


perumusan anggaran pengeluaran. Variabel ini digunakan untuk mengetahui
apakah semakin inkremental perumusan anggaran pada pos belanja operasi akan
menyebabkan revisi anggaran pengeluaran yang dilakukan semakin besar.
Variabel ini merupakan varian/selisih antara perubahan persentase anggaran awal
dan pengeluaran aktual tahun sebelumnya, atau dapat dirumuskan sebagai berikut:
𝑃𝐴(𝑡)−𝑃𝐴𝑘𝑡(𝑡−1)
𝑃𝑅𝑃(𝑡) = x100%
𝑃𝐴𝑘𝑡 (𝑡−1)

a. PRP(t) : Perubahan pengeluaran


b. PA(t) : Pengeluaran awal pada APBD

34
c. PAkt(t-1) : Pengeluaran aktual tahun sebelumnya pada LRA di
LKPD
Indikator PRP tidak dimasukkan dalam pengujian revisi anggaran pada
pos belanja modal, menurut Anessi-Pessina, et al (2012) hal ini dikarenakan
luasnya cakupan pengeluaran pada pos belanja modal terutama pada entitas
pemerintahan yang kecil cenderung melakukan identifikasi proyek modal
sepanjang tahun.

b. Fitur Organisasi
Sedangkan fitur organisasi adalah variabel yang mencerminkan karakteristik dari
organisasi pemerintah daerah yang dijabarkan dalam ukuran sebagai berikut:
i. Belanja Pegawai (STAFF). Variabel ini digunakan untuk mengetahui apakah
semakin besar belanja pegawai mampu menggambarkan kekuatan departemen
anggaran untuk melakukan perencanaan sehingga pada tahun fiskal revisi
anggaran tidak perlu terlalu banyak dilakukan. Variabel ini diukur berdasarkan
anggaran revisi belanja pegawai yang tercantum pada LRA di LKPD dalam
bentuk presentase.
ii. Revisi Anggaran Tak Terduga (RATtd). Variabel yang digunakan untuk
mengetahui apakah kebutuhan suatu entitas pemerintah daerah untuk
mengantisipasi pembiayaan kebutuhan akan kejadian tak terduga mampu
mempengaruhi revisi anggaran pada pos belanja operasi dan belanja modal.
Variabel ini merupakan persentase perubahan anggaran setelah revisi dan
anggaran awal pada sub item belanja tak terduga, atau dapat dirumuskan sebagai
berikut:
𝐴𝑅𝑅𝐴𝑇𝑡𝑑(𝑡)−𝐴𝐴𝑅𝐴𝑇𝑡𝑑(𝑡)
𝑅𝐴𝑇𝑡𝑑(𝑡) = x100%
𝐴𝐴𝑅𝐴𝑡𝑡𝑑(𝑡)

a. RATtd(t) : Revisi anggaran pada pos belanja tak terduga


b. AARAttd(t) : Anggaran awal pada pos belanja tak terduga pada APBD
c. ARRATtd(t): Anggaran revisi pada pos belanja tak terduga pada LRA di
LKPD

35
iii. Populasi (POP). Variabel ini merupakan populasi kabupaten/kota yang
menggambarkan komplektisitas suatu wilayah. Seiring populasi yang besar maka
kebutuhan yang semakin kompleks dan membutuhkan pembiayaan operasional
serta pembiayaan proyek yang semakin besar pula. Sehingga perlu diteliti adakah
pengaruhnya terhadap revisi anggaran pada pos belanja operasi dan belanja
modal. Variabel ini mencerminkan kekuatan departemen keuangan yang diukur
berdasarkan jumlah populasi tiap kabupaten/kota menggunakan data sensus
penduduk BPS tahun 2015.

c. Kondisi Keuangan
Selanjutnya variabel kondisi keuangan merupakan variabel yang digunakan untuk
mengukur kondisi keuangan pada pemerintah daerah. Kondisi tersebut dijelaskan lebih
lanjut melalui variabel-variabel sebagai berikut:
i. Akumulasi Surplus (AkmS). Variabel ini digunakan untuk mengetahui apakah
tingkat surplus pada periode sebelumnya akan menstimulasi terjadinya revisi
anggaran pada pos belanja operasi dan belanja modal terkait kebutuhan suatu
entitas untuk pembiayaan operasional serta pembiayaan proyek dan infrastruktur.
Variabel ini rmerupakan persentase akumulasi surplus dari tahun sebelumnya,
atau bisa dirumuskan sebagai berikut:

𝑆𝑢𝑟/𝑑𝑒𝑓 (𝑡−1)
𝐴𝑘𝑚𝑆(𝑡) = x100%
𝑃𝐷 (𝑡)

a. AkmS(t) : Akumulasi surplus


b. Sur/def (t-1) : Anggaran surplus/defisit tahun sebelumnya
c. PD(t) : Anggaran pendapatan total/ daerah pada LRA di
LKPD

ii. Aliran Surplus (AlrS). Variabel ini digunakan mengetahui apakah besar kecilnya
PAD setelah digunakan untuk aktivitas pengeluaran daerah mampu menstimulasi

36
terjadinya revisi anggaran terkait kebutuhan akan pembiayaan pengeluaran
tersebut. Variabel ini merupakan persentase kelebihan/selisih antara pendapatan
asli daerah atas pengeluaran daerah, atau bisa dirumuskan sebagai berikut:

(𝑃𝐴𝐷(𝑡)−𝑃𝐷(𝑡))
𝐴𝑙𝑟𝑆(𝑡) = x100%
𝑃𝐴𝐷(𝑡)

a. AlrS(t) : Aliran surplus


b. PAD(t) : Anggaran Pendapatan Asli Daerah pada LRA di LKPD
c. PD(t) : Anggaran pengeluaran daerah pada LRA di LKPD

iii. Otonomi Keuangan (OtoK). Variabel ini digunakan untuk mengetahui apakah
besar kecilnya pendapatan pajak dan retribusi mampu menstimulasi terjadinya
revisi anggaran terkait kebutuhan akan pembiayaan operasional serta pembiayaan
proyek dan infrastruktur. Variabel ini merupakan persentase tingkat otonomi
keuangan, diukur dari persentase pendapatan pajak daerah dan pendapatan
retribusi daerah terhadap PAD, atau bisa dirumuskan sebagai berikut:

𝑃𝑃𝑗𝑘(𝑡)+ 𝑃𝑅𝑡𝑏𝑠(𝑡)
𝑂𝑡𝑜𝐾(𝑡) = x100%
𝑃𝐴𝐷(𝑡)

a. OtoK(t) : Otonomi keuangan


b. PPjk(t) : Anggaran pendapatan pajak daerah pada LRA di LKPD
c. PRtbs(t) : Anggaran pendapatan retribusi daerah pada LRA di LKPD
d. PAD(t) : Anggaran Pendapatan Asli Daerah pada LRA di LKPD

iv. Rigiditas Keuangan (RigK). Variabel ini digunakan untuk mengetahui apakah
besar kecilnya alokasi untuk belanja pegawai dan belanja bunga menyebabkan
suatu entitas pemerintah daerah cenderung konservatif terhadap anggarannya
pada pos belanja operasi dan belanja modal sehingga melakukan banyak revisi.
Variabel ini merupakan persentase tingkat rigiditas yaitu total pendapatan daerah

37
yang diperlukan untuk menutup belanja pegawai dan belanja bunga, dapat
dirumuskan sebagai berikut:

𝐵𝑃𝑔𝑤(𝑡) + 𝐵𝐵𝑔𝑎(𝑡)
𝑅𝑖𝑔𝐾(𝑡) = x100%
𝑃𝐷(𝑡)

a. RigK(t) : Rigiditas keuangan


b. BPgw(t) : Anggaran belanja pegawai pada LRA di LKPD
c. BBga(t) : Anggaran belanja bunga pada LRA di LKPD
d. PD(t) : Anggaran pendapatan total/daerah pada LRA di LKPD

v. Pinjaman Bersih (PjmB). Variabel ini digunakan untuk mengetahui apakah


besar kecilnya utang/pinjaman menyebabkan suatu entitas pemerintah daerah
cenderung konservatif terhadap anggarannya pada pos belanja operasi dan belanja
modal sehingga melakukan banyak revisi. Variabel ini merupakan persentase
pembayaran utang bersih, dapat dirumuskan sebagai berikut:

𝑃𝑈𝑡𝑔(𝑡)
𝑃𝑗𝑚𝐵(𝑡) = x100%
𝑃𝐴𝐷 (𝑡)

a. PjmB(t) : Pinjaman bersih


b. PUtg(t) : Anggaran pembayaran pokok utang/pembayaran
utang pada rekanan
c. PAD(t) : Anggaran Pendapatan Asli Daerah pada LRA di
LKPD

d. Kondisi Lokal Sosioekonomik


Variabel kondisi lokal sosioekonomik merupakan perbedaan kondisi sosial dan
ekonomi yang dimiliki suatu entitas pemerintah daerah yang dijabarkan lebih lanjut
melalui variabel-variabel berikut:
i. Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB). Variabel ini digunakan untuk
mengetahui apakah wilayah yang miskin atau memiliki PDRB yang rendah

38
cenderung lebih banyak melakukan revisi anggaran daripada wilayah yang kaya
atau memiliki PDRB yang tinggi. Variabel ini merupakan jumlah PDRB harga
yang berlaku pada tahun 2015 dan 2016 yang tercantum dalam laporan PDRB
tahun 2012 yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
ii. Tipe Wilayah (TIPE). Tipe wilayah yang dibagi menjadi dua yaitu kabupaten
dan kota. Variabel ini digunakan untuk mengetahui apakah wilayah kota
cenderung memiliki kekuatan untuk melakukan revisi anggaran daripada
kabupaten. Variabel ini merupakan variabel dummy dengan value nol (0) untuk
tipe wilayah kabupaten dan satu (1) untuk tipe wilayah kota.
iii. Letak Geografis Wilayah (GEO). Variabel ini merupakan lokasi wilayah yang
berada di Jawa atau Luar Jawa, hal ini untuk membuktikan apakah entitas
pemerintah daerah yang berada di Jawa memiliki kekuatan yang lebih dalam
melakukan revisi anggaran daripada yang berlokasi di Luar Jawa. Variabel ini
merupakan variabel dummy dengan value nol (0) untuk lokasi wilayah di luar
Jawa dan satu (1) untuk lokasi wilayah di Jawa.

3.4 Teknik Pengujian Data


3.4.1 Statistik Deskriptif
Menurut Ghozali (2011) statistik deskriptif merupakan alat analisis data kuantitatif yang
bertujuan mengetahui gambaran atau deskripsi suatu data yang meliputi nilai rata-rata (mean),
median, maksimum, minimum, standar deviasi, varian, sum, range, kurtosis, dan skewness.
Selain itu analisis statistik deskriptif bertujuan untuk mendapatkan gambaran keseluruhan data
sampel penelitian, sehingga karakteristik suatu data dapat diketahui.
Dalam penelitian ini, item dari statistik deskriptif yang digunakan adalah mean, median,
dan standar deviasi. Mean digunakan untuk mengukur rata-rata dari variabel dependen maupun
independen dalam penelitian ini. Median digunakan untuk mengukur nilai tengah baik dari
variabel dependen maupun independen. Sedangkan standar deviasi digunakan untuk mengukur
seberapa tingkat kemencengan dari rata-rata variabel.

39
3.4.2 Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk menguji distribusi normal dari variabel pengganggu atau
residual dalam model regresi. Data yang baik adalah data yang terdistribusi normal. Menurut
Ghozali (2011), apabila asumsi ini dilanggar maka uji statistik menjadi tidak valid untuk jumlah
sampel yang kecil.
Normal atau tidaknya data dari setiap variabel dapat diketahui dengan analisis grafik.
Melalui grafik histogram dengan melihat bentuk lonceng pada grafik dan membandingkan antara
data observasi dengan distribusi yang mendekati distribusi normal, selain itu dapat pula melalui
normal probability plot dengan melihat penyebaran data (titik) pada sumbu diagonal dari grafik.
Namun dalam penelitian ini, uji normalitas dilakukan secara statistik karena bila hanya
melalui grafik, visual kita memiliki keterbatasan dalam menilai. Dalam pengujian Kolmogorov-
Smirnov level signifikan yang diterapkan adalah 0.05 atau 5%. Dasar pengambilan dari
Kolmogorov-Smirnov dilakukan dengan membuat hipotesis H0 dan Ha yang dapat dijabarkan
sebagai berikut:
H0 : Data residual terdistribusi normal (asymp sig < 0.05)
Ha : Data residual tidak terdistribusi normal (asymp sig > 0.05)
Berdasarkan penjabaran tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa jika nilai p-
value ≥ 0.05, maka data yang digunakan dalam penelitian tersebut terdistribusi secara normal
atau H0 diterima. Sebaliknya jika p-value < 0.05, maka data tidak terdistribusi secara normal
atau Ha yang diterima.

3.4.3 Teknik Pengujian Asumsi Klasik


3.4.3.1 Uji Multikolinieritas
Menurut Ghozali (2011), uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji adanya korelasi
antar variabel independen. Model regresi yang baik seharusnya tidak memiliki korelasi antar
variabel independen.
Untuk mendeteksi ada atau tidaknya multikolinieritas pada model regresi adalah dengan
langkah sebagai berikut ini:
1. Nilai R2 yang dihasilkan dari model regresi menunjukkan nilai yang terlalu tinggi, namun
jika dilihat secara individual variabel independen banyak yang tidak berpengaruh secara
signifikan.

40
2. Melakukan analisis matrik korelasi variabel independen. Jika antar variabel tersebut
terdapat korelasi yang sangat tinggi yang pada umumnya bernilai >0.9 maka model
regresi tersebut diindikasikan multikolinieritas.
3. Menggunakan nilai Tolerance dan Variance Inflation Factor (VIF)
Uji multikolinieritas pada penelitian ini dilakukan dengan melihat nilai Variance Inflation Factor
(VIF) dan Tolerance pada Collinearity Statistic pada output SPSS. Rumus dari persamaan VIF
dengan Tolerance adalah VID = (1/Tolerance). Nilai VIF tidak diperbolehkan untuk melebihi 10
dan nilai Tolerance tidak boleh kurang dari 0.1. Dasar dari pengambilan keputusan adalah
sebagai berikut.
H0 : model regresi tidak terjadi gejala multikolinieritas (VIF < 10
dan tolerance > 0.1)
Ha : model regresi terjadi gejala multikolinieritas (VIF > 10 dan
tolerance < 0.1)

3.4.3.3 Uji Asumsi Homogenitas (Heterokedastisitas)


Menurut Ghozali (2011) uji heterokedastisitas bertujuan terdapat atau tidaknya
ketidaksamaan variance dari residual satu observasi ke observasi lainnya. Pada penelitian ini
digunakan metode pengamatan plot titik Scatterplot dalam menguji ada tidaknya
heterokedastisitas. Nilai prediksi yang digunakan untuk variabel dependen ZSPRED dan
residualnya SRESID. Heteroskedastisitas tidak terjadi jika dalam Scatterplot menunjukkan
kriteria yaitu:
1. Titik-titik data menyebar secaramerata di atas dan di bawah angka 0 pada sumbu
Y
2. Penyebaran titik tidak diperbolehkan mempunyai pola penyebaran yang sama

3.4.3.3 Uji Autokorelasi


Uji autokorelasi digunakan untuk menguji apakah dalam model regresi linear terdapat
korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode yang dimaksud dan periode tahun
sebelumnya. Menurut Ghozali (2011) autokorelasi muncul karena observasi berurutan sepanjang
waktu berkaitan satu sama lainnya.

41
Dalam penelian ini menggunakan uji Run Test. Menurut (Ghozali 2011), Run Test
digunakan untuk melihat apakah data residual terjadi secara random atau tidak (sistematis).
Indikasi ada tidaknya autokorelasi dapat dilihat melalui nilai probabilitas. Apabila probabilitas
0.000 signifikan pada 0.05 yang berarti hipotesis nol ditolak sehingga didapat kesimpulan bahwa
terjadi indikasi autokorelasi antar residual.

3.5 Teknik Pengujian Regresi


Setelah data dinyatakan lolos uji asumsi klasik maka selanjutnya dapat dilakukan
pengujian hipotesis dengan menggunakan analisis regresi berganda. Persamaan regresi berganda
akan digunakan untuk menguji hipotesis yang telah dibangun. Berdasarkan teori yang telah
dipaparkan maka model regresi dari penelitian ini adalah:

𝑹𝑨𝑩𝒐 = 𝛽0 + (𝛽1 𝑃𝑅𝐵𝑜 + 𝛽2 𝑃𝑅𝑃) + (𝛽3 𝑆𝑇𝐴𝐹𝐹 + 𝛽4 𝑅𝐴𝑇𝑡𝑑 + 𝛽5 𝑃𝑂𝑃) + (𝛽6 𝐴𝑘𝑚𝑆 + 𝛽7 𝐴𝑙𝑟𝑆
+ 𝛽8 𝑂𝑡𝑜𝐾 + 𝛽9 𝑅𝑖𝑔𝑃 + 𝛽10 𝑃𝑗𝑚𝐵) + (𝛽11 𝑃𝐷𝑅𝐵 + 𝛽12 𝑇𝐼𝑃𝐸 + 𝛽13 𝐺𝐸𝑂)
+ 𝜀𝑖𝑡 (𝟏)

𝑹𝑨𝑩𝒎 = 𝛽0 + (𝛽1 𝑃𝑅𝐵𝑚) + (𝛽2 𝑆𝑇𝐴𝐹𝐹 + 𝛽3 𝑅𝐴𝑇𝑡𝑑 + 𝛽4 𝑃𝑂𝑃) + (𝛽5 𝐴𝑘𝑚𝑆 + 𝛽6 𝐴𝑙𝑟𝑆
+ 𝛽7 𝑂𝑡𝑜𝐾 + 𝛽8 𝑅𝑖𝑔𝑃 + 𝛽9 𝑃𝑗𝑚𝐵) + (𝛽10 𝑃𝐷𝑅𝐵 + 𝛽11 𝑇𝐼𝑃𝐸 + 𝛽12 𝐺𝐸𝑂)
+ 𝜀𝑖𝑡 (𝟐)

Keterangan:
a. RABo : Presentase revisi anggaran pada pos Belanja Operasi
b. RABm : Presentase revisi anggaran pada pos Belanja Modal
c. PRBo : Presentase perubahan anggaran Belanja Operasi
d. PRBm : Presentase perubahan anggaran Belanja Modal
e. PRP : Presentase perubahan anggaran Pengeluaran Daerah
f. STAFF: Presentase Belanja Pegawai
g. RATtd : Presentase revisi anggaran pada pos Belanja Tak Terduga
h. POP : Populasi penduduk
i. AkmS : Presentase surplus/defiisit tahun anggaran sebelumnya terhadap
Pendapatan Daerah
j. AlrS : Presentase sisa PAD setelah digunakan sebagai Pengeluaran Daerah

42
k. OtoK : Presentase Pendapatan Pajak dan Retribusi terhadap PAD
l. RigP : Presentase Belanja Pegawai dan Belanja Bunga terhadap Pendapatan
Daerah
m. PjmB : Presentase Pembayaran Utang terhadap PAD
n. PDRB : Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga yang berlaku
o. TIPE : Variabel dummy 1 (Kota) dan 0 (Kabupaten)
p. GEO : Variabel dummy 1 (Jawa) dan 0 (Luar Jawa)

Dengan model regresi ini peneliti berharap agar variabel derajat inkrementalisme
memenuhi hipotesis 1 dengan PRBo, PRBm dan PRP memiliki koefisien negatif dan
signifikan pada tingkat 0.05. Variabel fitur organisasi memenuhi hipotesis 2 dengan STAFF,
RATtd, dan POP memiliki koefisien positif dan signifikan pada tingkat 0.05. Variabel kondisi
keuangan memenuhi hipotesis 3 dengan AkmS, AlrS, dan OtoK dan PjmB memiliki koefisien
negatif dan signifikan pada tingkat 0.05, selain itu RigK memiliki koefisien positif dan
signifikan pada tingkat 0.05. Dan yang terakhir kondisi lokal sosioekonomik memenuhi
hipotesis 4 dengan PDRB memiliki koefisien negatif, sedangkan TIPE dan GEO memiliki
koefisien positif dan signifikan pada tingkat 0.05 dan dijabarkan dalam Tabel 3.1.
Menurut Diekhoff (1992) signifikansi statistik memang dapat dihitung karena bersifat
objektif namun secara praktik perlu dilandasi pertimbangan akal.
Persamaan regresi (1) dan (2) kemudian dianalisis dengan menggunakan SPSS 17.0.
Langkah-langkah dalam menganalisis adalah sebagai berikut.

43
Tabel 3.1
Prediksi Hasil Regresi Ordinary Least Square
Persamaan (1) dan (2)
Koefisien B Koefisien B
Variabel
Belanja Operasi Belanja Modal
Derajat Inkrementalisme
PRBo * - -
PRBm * - -
PRP* - -
Fitur Organisasi
STAFF * + +
RATtd* + +
POP * + +
Kondisi Keuangan
AkmS * - -
AlrS* - -
OtoK* - -
RigK* + +
PjmB* + -
Kondisi Lokal Sosioekonomik
PDRB* - -
TIPE * + +
GEO* + +
*Signifikan pada 0.05

3.5.1 Uji Koefisien Determinasi (R2)


Menurut Ghozali (2011) koefisien determinasi (R2) secara ringkasnya merupakan
pengukur seberapa jauh kemampuan model untuk menerangkan variabel dependen.
Dalam penelitian ini menggunakan pengujian koefisien determinasi (R2) dengan
ketentuan nilai koefisien determinasi berada di antara 0 dan 1. Nilai R2 yang semakin kecil berarti
kemampuan variabel independen dalam menjelaskan variabel dependen semakin terbatas.

44
Kelemahan mendasar dalam menggunakan R2 adalah bias terhadap jumlah variabel independen,
setiap tambahan satu variabel independen maka R2 akan meningkat mengabaikan apakah
variabel tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen. maka sangat
dianjurkan untuk menggunakan adjusted R square.

3.5.2 Uji Signifikansi Simultan (Uji Fisher)


Menurut Ghozali (2011) uji statistik F merupakan uji yang menunjukkan apakah semua
variabel independen yang dimasukkan ke dalam model regresi memiliki pengaruh secara
bersama-sama terhadap variabel dependennya. Dalam pengambilan keputusan mengenai hasil
pengujian F berdasar hipotesis berikut.
H0 : Semua parameter dalam model sama dengan nol, atau semua
variabel bukan merupakan penjelas yang signifikan.
Ha : Tidak semua parameter dalam model sama dengan nol, atau
semua variabel merupakan penjelas yang signifikan.
Prosedur pengujian dalam uji F pada penelitian ini yaitu membandingkan nilai F hitung
dengan F Tabel. Kriteria keputusan yang dapat diambil adalah dengan sebagai berikut.
1. Jika tingkat signifikansi (α) < 0.05 maka H0 ditolak. Kesimpulan yang dapat diambil yaitu
secara simultan semua variabel independen berpengaruh signifikan terhadap variabel
dependen.
2. Jika tingkat signifikansi (α) > 0.05 maka Ho diterima. Kesimpulan yang dapat diambil yaitu
secara simultan semua variabel independen tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel
dependen.

3.5.3 Uji Signifikansi Parameter Individual (Uji Statistik t)


Menurut Ghozali (2011) uji statistik t digunakan untuk mengetahui seberapa jauh
masing-masing variabel independen secara individual terhadap variabel dependen. Dalam
pengujian t dilakukan dasar pemikiran dengan hipotesis berikut.
H0 : Suatu parameter sama dengan nol, atau dapat diartikan variabel
independen bukan merupakan penjelas terhadap variabel dependen.
Ha : Suatu parameter tidak sama dengan nol, atau dapat diartikan variabel
independen merupakan penjelas terhadap variabel dependen.

45
Pada penelitian ini, dalam pengujian statistik t digunakan kriteria dalam pengambilan
keputusan sebagai berikut.
1. Jika t hitung > t Tabel dengan tingkat signifikansi (α) < 0.05 maka H0 ditolak. Kesimpulan
yang dapat diambil yaitu secara parsial variabel independen berpengaruh signifikan
terhadap variabel dependen.

Jika t hitung < t Tabel dengan tingkat signifikansi (α) > 0.05 maka Ho diterima. Hal ini berarti
secara parsial variabel independen tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen.

46
DAFTAR PUSTAKA

Alesani, D. (2012). Rethinking Budgeting as a Continuous Process. Public Administration


Research, 72(6), 885-886

Anessi-Pessina, E., M. Sicillia,, I. Steccolini. (2012). Budgeting and Rebudgeting in Local


Governments: Siamese Twins?. Public Administration Research, 72(6), 875-884

Anessi-Pessina, E., M. Sicillia,, I. Steccolini. (2013). Rebudgeting: Scope, Triggers, Players.


Budgetary Research Review, 5(1), 15-29

Bisnis. (01 November 2013) Penyerapan Anggaran Lambat, Picu Pelemahan Ekonomi. Diakses
pada 17 Maret 2014 (http://www.bisnis.com/articles/penyerapan-anggaran-lambat-
picu-pelemahan-ekonomi)

Diekhoff, G. (1992). Statistics for the social and behavioral sciences: univariate, bivariate,
multivariate. Dubuque, IA: Wm. C. Brown Publishers.

Dirjen Perimbangan Keuangan. Kebijakan dan Kriteria Pengalokasian DAU dan DAK Bidang
Pendidikan Menengah Tahun 2014. Kementerian Keuangan, diakses 17 April 2014.
(http://dikmen.kemdikbud.go.id/dak/03.Kebijakan%20dan%20
Kriterian%20DAK%20Bidang%20Dikmen%202014-Kemenkeu.pdf)

DJPK Kemenkeu RI. Kelola Keuangan Daerah dengan Tepat. Diakses pada 17 Maret 2014.
(http://keuda.kemendagri.go.id/artikel/detail/21-kelola-keuangan-daerah-dengan-
tepat)

Forrester, J. P., dan D. R. Mullins. (1992). Rebudgeting: The Serial Nature of Municipal
Budgetary Processes. Public Administration Review, 52(5), 467–73

Ghozali, I. (2011). Aplikasi analisis multivariate dengan program IBM SPSS 19 Edisi 5.
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro

Indonesia.Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok Pokok Pemerintahan Daerah.


(1974). Sekretariat Negara. Jakarta

Indonesia. Undang Undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pusat dan Daerah. (1999). Sekretariat Negara. Jakarta

Indonesia. Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. (1999).
Sekretariat Negara. Jakarta

Indonesia. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. (2003). Sekretariat
Negara. Jakarta.

47
Indonesia. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional. (2004). Sekretariat Negara. Jakarta

Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara. (2004).


Sekretariat Negara. Jakarta

Indonesia. Undang-Undang Nomor 47 Tahun 2009 tentang APBN 2010. (2009). Sekretariat
Negara. Jakarta

Wildavsky, A. B. (1964). The Politics of the Budgetary Process. The American Review of Public
Administration, 13 (1), 73

48

Anda mungkin juga menyukai