Anda di halaman 1dari 20

HALAMAN PENGESAHAN

Laporan lengkap praktikum Kimia Analitik I yang berjudul “Iodometri dan


Penentuan Cu” dibuat oleh:
nama : Fauziah Ruslan
NIM : 1813041023
kelas : Pendidikan Kimia A
kelompok : II (Dua)
telah diperiksa dan dikoreksi oleh Asisten dan Koordinator Asisten, maka laporan
ini dinyatakan diterima.

Makassar, Oktober 2019


Koordinator Asisten Asisten

Dita Rizky Amalia, S.Pd Risdah Damayanti N, S.Pd

Mengetahui,
Dosen Penanggung Jawab

Dr. Muh. Syahrir. S.Pd., M.Si


NIP.197409072005011004
A. JUDUL PERCOBAAN
Iodometri dan Penentuan Cu.

B. TUJUAN PERCOBAAN
Pada akhir percobaan ini mahasiswa diharapkan mampu dan terampil
dalam:
1. Untuk mengetahui penentuan normalitas larutan standar Na2S2O3 0,1 N.
2. Untuk mengetahui penentuan kadar Cu dalam CuSO4.

C. LANDASAN TEORI
Secara garis besar pekerjaan analisis kimia dapat digolongkan dalam dua
kategori besar yaitu analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Tujuan utama
analisis kualitatif adalah mengidentifikasi komponen yang terdapat dalam zat
kimia. Analisis kualitattif menghasilkan data kualitatif, seperti terbentuknya
endapan, warna, gas maupun data non numerik lainnya. Umumnya dari analisis
kualitatif hanya dapat diperoleh indikasi kasar dari komponen penyusun suatu
analit. Analisis kualitatif biasanya digunakan sebagai langkah awal untuk analisisi
kuantitatif. Tujuan utama analisis kuantitatif adalah untuk mengetahui kuantitas
dari setiap komponen yang menyusun analit. Analisis kuantitatif menghasilkan
data numerik yang memiliki satuan tertentu dengan menggunakan metode analisis
tertentu (Ibnu, 2004: 1).
Analisis umumnya terdiri atas analisis kuantitatif dan analisis kualitatif.
Biasanya analisis kualitatif dilakukan sebelum analisis kuantitatif. Analisis
kuantitatif berkaitan dengan penetapan berapa banyak suatu zat tertentu yang
terkandung dalam suatu sampel tertentu. Zat yang ditetapkan tersebut, seringkali
dinyatakan sebagai konstituen atau analit, menyusun entah sebagian kecil atau
sebagian besar sampel yang dianalisis. Jika zat yang dianalisa (analit) tersebut
dapat menyusun lebih dari sekitar 1% dari sampel, maka analit dianggap sebagai
konstituen utama. Jika jumlahnya berkisar antara 0,01 hingga 1% dari sampel.
Terakhir, suatu zat yang hadir hingga kurang dari 0,01% akan dianggap sebagai
konstituen pelarut. Analisis kimiawi dapat menetapkan komposisi kualitatif dan
kuantitatif suatu materi (Day, 1998: 2).
Uji kuantitatif dilakukan dengan metode titrasi metode titrasi merupakan
suatu metode untuk menentukan kadar suatu zat dengan menggunakan zat lain
yang sudah diketahui konsentrasinya. Titrasi biasanya dibedakan berdasarkan
jenis reaksi yang terlibat di dalam proses titrasi, sebagai contoh bila melibatan
reaksi asam basa maka disebut sebagai titrasi asam basa, titrasi redoks untuk
titrasi yang melibatkan reaksi reduksi oksidasi, titrasi kompleksometri untuk
titrasi yang melibatan pembentukan reaksi kompleks (titrasi asam basa) dan lain
sebagainya. Zat yang akan ditentukan kadarnya disebut sebagai “titrant” dan
biasanya diletakan di dalam Erlenmeyer, sedangkan zat yang telah diketahui
konsentrasinya disebut sebagai “titer” dan biasanya diletakkan di dalam “buret”.
Titrasi asam basa disebut juga titrasi adisi alkalimetri (Hesti, 2016 : 55).
Titrasi adalah pengukuran volume suatu larutan dari suatu reaktan yang
dibutuhkan untuk bereaksi sempurna dengan sejumlah tertentu reaktan lainnya.
Seringkali titrasi digunakan untuk mengukur volume larutan yang ditambhakan
pada suatu larutan yang diketahui volumenya. Biasanya konsentrasi dari salah
satu larutan, dikenal sebagai larutan standar, telah diketahui dengan tepat. Titik
akhir titrasi sering disamakan dengan titik ekivalen, walaupun diantaranya masih
ada selisih yang relatif kecil (Ibnu, 2004: 100).
Istilah titrasi mengacu pada proses pengukuran volume dari titran yang
dibutuhkan untuk mencapai titik ekivalen. Alih-alih istilah analisis titrimetri, telah
bertahun-tahun istilah analisis volumetrik yang dipergunakan. Kendatipun
demikian, istilah titrimetrik lebih diminati karena pengukuran volume tidak harus
terikat dengan titrasi (Day, 1998: 44).
Titrasi dapat diartikan sebagai pengukuran volume suatu larutan dari suatu
reaktan yang dibutuhkan untuk bereaksi sempurna dengan sejumlah tertentu
reaktan lainnya. Seringkali titrasi digunakan untuk mengukur volume larutan yang
ditambahkan pada suatu larutan yang telah diketahui volumenya. Biasanya
konsentrasi dari salah satu larutan dikenal sebagai larutan standar, telah diketahui
dengan tepat. Setiap metode titrasi selalu terjadi reaksi kimia antara komponen
analit dengan titrant yang dinyatakan dengan persamaan umum:
aA + tT produk
“a” adalah jumlah mol analit (A) yang akan bereaksi stoikiometri dengan “t” mol
titrant (T) atau “a” dan “t” menggambarkan koefisien reaksi dalam persamaan
reaksi setaranya. Analit adalah komponen dari suatu larutan sampel yang hendak
ditetapkan berapa kuantitasnya, sedangkan titran adalah larutan standar yang telah
diketahui dengan tepat berapa konsentrasi dari larutannya (Ibnu, 2004: 93).
Istilah oksidasi adalah suatu proses yang mengakibatkan hilangnya satu
elektron atau lebih dari oleh zat (atom, ion atau molekul). Bila suatu unsur
dioksidasi, keadaan oksidasinya berubah keharga yang lebih positif. Suatu zat
pengoksidasi adalah suatu zat yang memperoleh elektron, dan dalam proses itu zat
direduksi. Definisi oksidasi sangat umum, karena itu berlaku juga untuk proses
dalam zat padat, lelehan maupun gas. Sedangkan istilah reduksi adalah suatu
proses yang mengakibatkan diperolehnya satu elektron atau lebih dari oleh zat.
Bila suatu unsur tereduksi, keadaan oksidasinya berubah keharga yang lebih
negatif. Jadi suatu pereduksi adalah zat yang kehilangan elektron, dan dalam
proses itu zat ini dioksidasi. Definisi oksidasi sangat umum, karena itu berlaku
juga untuk proses dalam zat padat, lelehan maupun gas (Svehla, 1985: 108).
Menurut Pursitasari (2014: 175-176), analisis titrimetri yang melibatkan
iodin dibedakan menjadi dua yaitu titrasi iodometri secara langsung dan dan titrasi
iodometri secara tidak langsung.
1. Titrasi iodometri secara langsung (iodimetri).
Iodometri langsung merupakan titrasi terhadap larutan analit dengan
larutan iodin sebagai larutan standard (titran) menggunakan indikator amilum.
2. Titrasi iodometri secara tidak langsung (iodometri).
Iodometri tidak langsung merupakan titrasi terhadap larutan analit
dengan larutan natrium tiosulfat sebagai larutan standar (titran) menggunakan
indikator amilum.
Menurut Harjadi (1986: 125), titrasi berdasar reaksi redoks sering
dibedakan menjadi:
1. Titrasi berdasar penggunaan oksidator kuat seperti KMnO4, K2Cr2O7,
Ce(SO4)2, atau reduktor kuat. Kadang –kadang titrasi yang menggunakan
KMnO4 sebagaititrant dinamakan juga permanganometri.
2. Titrasi yodometri atau yodimetri, yaitu titrasi-titrasi yang menyangkut reaksi:
I2 + 2e → 2I−
Titrasi selalu erat kaitannya dengan larutan standar yang dibuat dengan
cara melarutkan sejumlah berat tertentu bahan kimia pada sejumlah tertentu
pelarut yang sesuai. Cara ini mudah dilakukan, tetapi hasilnya sering kali kurang
tepat, karena hanya sedikit zat kimia bahan titran yang diketahui dalam keadaan
murni. Zat kimia yang benar-benar murni telah ditimbang dengan tepat dan
dilarutkan dalam sejumlah tertentu pelarut yang sesuai menghasilkan larutan
standar primer. Larutan standar lain yang ditetapkan konsentrasinya melalui titrasi
dengan menggunakan larutan standar primer dikenal sebagai larutan standar
skunder. Bahan kimia yang dapat digunakan sebagai bahan membuat larutan
standar primer harus memenuhui tiga syarat yaitu, benar-benar ada dalam keadaan
murni dengan kadar pengotor < 0,02% stabil secara kimiawi, mudah dikeringkan
dan tidak bersifat hidroskopis, dan memiliki berat equivalen besar, sehingga
meminimalkan kesalahan penimbangan (Ibnu, 2004 : 97- 98).
Larutan dengan kekuatan (konsentrasi) yang diketahui tepat itu, disebut
larutan standar. Larutan standar biasanya ditambahkan dari dalam sebuah buret.
Proses penambahan larutan standar sampai reaksi tepat lengkap, disebut titrasi,
dan zat yang akan ditetapkan, dititrasi. Titik (saat) pada mana reaksi itu tepat
lengkap, disebut titik ekuivalen (setara) atau titik akhir teoretis (titik akhir
stokiometri). Lengkapnya titrasi, lazimnya harus terdeteksi oleh suatu perubahan,
yang tidak dapat disalah-lihat oleh mata, yang dihasilkan oleh larutan standar itu
sendiri (misalnya kalium permanganat), atau lebih lazim lagi, oleh penambahan
suatu reagensia pembantu yang dikenal sebagai indikator. Setelah reaksi anatara
zat dan larutan standar praktis lengkap, indikator harus memberi perubahan visual
yang jelas (entah suatu perubahan warna atau pembentukan kekeruhan), dalam
cairan yang sedang dititrasi (Basset, 1991: 259).
Sistem redoks iodin (triiodida)-iodida,
I3- + 2e 3I-
mempunyai potensial standar sebesar +0,54V. Karena itu iodin adalah sebuah
agen pengoksidasi yang jauh lebih lemah daripada kalium permanganat, senyawa
serium (IV), dan kalium dikromat. Di lain pihak, ion iodida adalah agen pereduksi
yang termasuk kuta, lebih kuat, sebagai contoh, daripada ion Fe(II). Dalam
proses-proses analitik, iodin digunakan sebagai sebuah agen pengoksidasi
(iodometri), dan iodida dipergunakan sebagai sebuah agen pereduksi (iodometri).
Dapat dikatakan bahwa hanya sedikit saja substansi yang cukup kuat sebagai
unsur reduksi untuk dititrasi langsung dengan iodin. Karena itu jumlah dari
penentun-penetuan iodometrik adalah sedikit. Namun demikian, banyak agen
pengoksidasi yang cukup kuat untuk bereaksi secara lengkap dengan ion iodida,
dan aplikasi proses iodometrik cukup banyak. Kelebihan dari ion iodida
ditambahkan kedalam agen pengoksidasi yang sedang ditentukan, membebaskan
iodin, yang kemudian dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat (Day, 2002: 296).
Titran ditambahkan kedalam larutan analit menggunakan peralatan khusus
yng disebut buret sampai mencapai jumlah tertentu hingga tercapai titik ekivalen.
Pencapaian titik ekuivalen umumnya ditandai oleh perubahan zat tertentu yang
sengaja dimasukan kedalam larutan analit telah bereaksi dengan titran. Kelebihan
sedikit titran bereaksi dengan indikator, sehingga terjadi perubahan pada
indikator, yang biasanya ditunjukkan oleh perubahan warna. Kelebihan titran
harus diupayakan sekecil mungkin melalui penambahan titran tetes demi tetes
agar tidak tercapai kesalahan sekecil mungkin. Istilah titran untuk penambahan
titran kedalam analit didasarkan pada proses penggukuran volume titran untuk
mencapai titik ekuivalen (Ibnu, 2004: 93).
Titik akhir suatu indikator tidak terjadi pada satu pH spesifik, melainkan
ada kisaran pH (derajat keasaman) dimana titik akhir terjadi. Pada praktiknya, kita
memilih indikator yang kisaran titik akhirnya terletak pada bagian curam dari
kurva, pilihan ini menjamin bahwa pH pada titik ekivalen akan berada dalam
kisaran terjadinya perubahan warna indikator. Banyak indikator asam basa adalah
pigmen tumbuhan. Contohnya dengan mendidihkan irisan kubis merah dalam air
dapat mengekstraksi pigmen yang menunjukkan warna pada berbagai PH. Pilihan
indikator tertentu ditentukan oleh adanya kekuatan asam dan basa yang akan
dititrasi (Chang, 2004: 143).
Menurut Day (1998: 279), ada beberapa tipe dari indikator yang dapat
dipergunakan dalam titrasi-titrasi redoks:
1. Suatu substansi berwarna dapat bertindak sebagai indikatornya sendiri.
Sebagai contoh, larutan kalium permanganat memiliki warna yang lebih gelap
sehingga sedikit saja kelebihan dari reagen ini dalam sebuah titrasi dapat
secara mudah terdeteksi.
2. Suatu indikator yang spesifik adalah suatu substansi yang bereaksi dengan
cara yang spesifik dengan salah satu dari reagen-reagennya dalam suatu titrasi
untuk menhasilkan sebuah warna.
3. Indikator-indikator luar, atau spot test, dulu pernah dipergunakan ketika
indikator internal belum tersedia.
4. Potensial redoks dapat diikuti selama titrasi, dan titik ekivalen yang dideteksi
dari perubahan potensial yang besar dalam kurva titrasi.
5. Akhirnya, sebuah indikator yang menjalani sendiri oksidasi-reduksi dapat
dipergunakan.
Larutan iod adalah oksidator lemah, tak stabil karena mudah menguap,
dapat mengoksidasi karet, gabus, dan zat-zat organic lainnya dan dipengaruhi oleh
udara dengan reaksi sebagai berikut:
4 I- + O2 + 4 H+ 2 I2 + 2 H2O
serta tidak dapat dilakukan pada suasana basa, yakni pH > 9 akan terjadi reaksi
I2 + OH- HIO + 2 H2O
perbedaan yang lain dari iodometri adalah: dilihat pada iodometri yang terjadi
perubahan warna pada titik ekuivalen (TE) dari biru menjadi tidak berwarna,
sedangkan pada iodometri perubahan warna pada titik ekuivalen (TE) dari tak
berwarna menjadi biru (Ibnu, 2004: 120-121).
Dalam titrasi langsung, larutan baku I2 dipakai sebagai titrat atau titrant
untuk mengoksidasi analat, dalam titrasi langsung, KI digunakan sebagai reduktor
untuk mereduksi analat, sehingga terbentuk I2 bebas. I2 bebas ini dititrasi oleh
larutan baku Na2S2O3. Yang dimaksud dengan titrasi langsung ialah titrasi dimana
analat secara langsung digunakan sebagai titrant atau tittar dalam titrasi tidak
langsung, analat direaksikan (dalam hal ini KI), lalu hasil reaksinya di titrasi,
dengan perkataan lain analat tidak langsung terlibat dalam proses
tahap titrasi (Harjadi, 1986: 125).
Ketika larutan Na2SO4 dititrasi dengan larutan iod warna coklat gelap yang
karateristik dari iod menjadi hilang hilang. Ketika semua Na2SO4 telah
teroksidasi, maka kelebihan larutan iod akan menjadikan cairan tersebut berwarna
kuming pucat. Karena itu seperti pada metode permanganatometri dalam
iodometri memungkinkan melakukan titrasi tanpa menggunakan indikator.
Namun kelebihan iod pada akhir titrasi (ekivalen) menjadi sukar. Karena itu lebih
disukai menggunakan reagen yang sensitif terhadap iod sebagai indikator, yaitu
larutan kanji yang membentuk senyawa adsorbsi berwarna biru iod. Pada titrasi
dengan adanya larutan kanji titik ekivalen ditentukan dari kenampakn warna biru
yang tetap pada kelebihan penambahan iod satu tetes. Sebaliknya, dimungkinkan
juga untuk menitrasi larutan iod dengan tiosulfat sampai kelebihan satu tetes
tiosulfat menghilangkan warna biru larutan (Widodo, 2009: 105).
Titrasi dapat dilakukan tanpa indikator dari luar karena warna iodin (I2)
yang dititrasi itu akan lenyap bila titik akhir tercapai; warna itu mula- mula coklat
agak tua, menjadi lebih muda, lalu kuning, kuning-muda, dan seterusnya sampai
akhirnya lenyap. Amilum dengan I2 membentuk suatu kompleks berwarna biru
tua yang masih sangat jelas. Penambahan amilum ini harus menunggu sampai
mendekati titik akhir titrasi (bila iod sudah tinggal sedikit yang tampak dari
warnanya yang kuning-muda) amilum tidak membungkus iod dan
menyebabkannya sukar lepas kembali. Hal itu akan membuat warna biru akan
sulit sekali lenyap sehingga titik akhir titrasi tidak kelihatan tajam lagi. Bila iod
masih banyak sekali bahkan dapat menguraikan amilum dan hasil penguraian ini
mengganggu perubahan warna pada titik akhir (Harjadi, 1993: 212-213).
Kelemahan dari titrasi iodometri adalah: (1) larutan ido adalah oksidator
lemah, tak stabil karena mudah menguap; (2) dapat mengoksidasi karet, gabus,
dan zat- zat organik lainnya; (3) dipengaruhi oleh udara serta (4) tidak dapat
dilakukan pada suasan basa, yakni pada pH>9. Perbedaan yang lain dari iodometri
dan iodimetri adalah pada iodometri perubahan warna pada titik ekivalen (TE)
dari biru menjadi tak berwarna, sedangkan pada iodimetri perubahan wara pada
titik ekivalen (TE) dari tak berwarna menjadi biru (Ibnu, 2004: 120-121).
Menurut Pursitasari (2014: 176), ada beberapa reaksi penentuan analit
dengan menggunakan titrasi iodometri ditulis dalam reaksi berikut:
1. H2S + I2 → S + 2I− + 2H+
2. SO32− + I2 + H2O → SO42− + 2I− + 2H+
3. Sn2+ + I2 → Sn4+ + 2I−
4. HAsO2 + I2 + 2H2O → H2AsO4 + 3H+ +2I−
5. 2S2O32− + I2 → 2I− + S4O62−
6. HSbOC4H6O6 + I2 + H2O → HSBO2C4H4O6 + 2I− + 2H+
7. 2Fe(CN)64− + I2 + H2O → 2Fe(CN)63− + 2I−
Contoh titrasi iodometri yaitu reaksi warna Kalium kIodida dan amilum
dengan sembilan sampel beras. Didapatkan hasil reaksi kalium iodida dan amilum
dengan sembilan sampel beras, yaitu tidak ada perubahan warna yang terjadi pada
setiap sampel atau warna yang dihasilkan sama. Analisis Kuantitatif dengan
metode titrasi iodometri ini akan mengoksidasi iodida untuk menghasilkan
iodium. Reaksi yang terjadi adalah :
Cl2 +2I- 2Cl- + I2
Kemudian iodium yang di bebaskan selanjutnya dititrasi dengan larutan baku
natriun tiosulfat (Wongkar, 2014: 343-344).
Ada dua deret senyawa tembaga. Senyawa-senyawa tembaga (I)
diturunkan dari tembaga (I) oksida Cu2O yang merah, dan mengandung ion
tembaga (I), Cu+. Senyawa-senyawa ini tak berwarna, kebanyakan garam tembaga
(I) tak larut dalam air, perilakunya mirip perilaku senyawa perak (I). Mereka
mudah diosidasikan menjadi senyawa tembaga (II), yang dapat diturunkan dari
tembaga (II) oksida, CuO, hitam. Garam-garam tembaga (II) umumnya berwarna
biru, baik dalam bentuk hidrat, padat maupun dalam larutan air; warna ini benar-
benar khas hanya untuk ion tetraakuokuprat (II) saja. Batas terlihatnya ion
kompleks tetraakuokuprat (II) (yaitu warna tembaga (II) dalam larutan air), adalah
500 g dalam batas onsentrasi 1 dalam 104. Garam-garam tembaga (II) anhidrat,
seperti tembaga (II) sulfat anhidrat CuSO4, berwarna putih (atau sedikit kuning).
Dalam larutan air selalu terdapat ion kompleks tetraakuo (Svehla, 1985: 229-230).

D. ALAT DAN BAHAN


1. Alat
a. Gelas kimia 50 mL 1 buah
b. Pipet volume 25 mL 2 buah
c. Gelas ukur 25 mL 1 buah
d. Gelas ukur 50 mL 1 buah
e. Buret 50 mL 2 buah
f. Erlenmeyer bertutup asa 250 mL 6 buah
g. Pipet tetes 3 buah
h. Statif dan klem @ 2 buah
i. Batang pengaduk 1 buah
j. Labu semprot 1 buah
k. Corong biasa 1 buah
l. Bulb pipet 1 buah
m. Lap halus 1 buah
n. Lap kasar 1 buah
2. Bahan
a. Larutan kalium dikromat (K2Cr2O7) 0,1 N
b. Larutan asam klorida (HCl) pekat
c. Larutan kalium iodida (KI) 0,1 N
d. Larutan kalium iodida (KI) 1 N
e. Larutan sampel tembaga (II) sulfat (CuSO4)
f. Larutan natrium tiosulfat (Na2S2O3) 0,1 N
g. Aquades (H2O)
h. Larutan amilum (C6H10O5)n
i. Tissu
j. Label
E. PROSEDUR KERJA
1. Pembuatan larutan standar Na2S2O3 0,1 N dan standarisasinya
a. Sebanyak 50 mL larutan Na2S2O3 0,1 N dimasukkan ke dalam buret.
b. Sebanyak 25 mL K2Cr2O7 0,1 N dipipet dan dimasukkan kedalam
erlenmeyer bertutup asa.
c. Sebanyak 6 mL HCl pekat diukur dan ditambahkan ke dalam erlemeyer
bertutup asa.
d. Sebanyak 30 mL KI 0,1 N dipipet dan ditambahkan ke dalam erlenmeyer
bertutup asa.
e. Larutan K2Cr2O7 dititrasi sampai berubah warna, dari warna orange
menjadi warna hijau. Untukmenandai iodium dibebaskan larutan ditetesi 3
tetes amilum.
f. Volume titran dicatat.
g. Cara kerja b, c, d, e, dan f diulangi sebanyak 3 kali dan volume rata-rata
titran dicatat.
h. Normalitas larutan standar tiosulfat dihitung dengan rumus sebagai
berikut:
(VxN)K 2 Cr2 O7
N tio =
V tio

2. Menentukan Cu dan CuSO4


a. Sebanyak 25 mL larutan sampel yang netral diambil dan dimasukkan ke
dalam erlenmeyer bertutup asa.
b. Sebanyak 25 mL larutan KI 1 N ditambahkan ke dalam erlenmeyer
tersebut.
c. Larutan dititrasi sampai iodium dibebaskan ditandai warna biru hilang
dengan menggunakan indikator amilum. Volume titran dicatat.
d. Cara kerja a, b dan c sebanyak 2 kali diulangi dan dicatat volume titran
rata-rata.
e. Larutan didiamkan hingga terbentuk endapan.
f. Kadar Cu dihitung dengan cara sebagai berikut :
(VxN)tio
Kadar Cu = V sampel
x BM Cu
F. HASIL PENGAMATAN
1. Pembuatan larutan standar Na2S2O3 0,1 N dan standarisasinya
No Perlakuan Hasil Pengamatan
25 mL K2Cr2O7 0,1 N (kuning) + 6 mL berwarna orange pekat dan
1.
HCl pekat (bening) terasa panas saat disentuh.
25 mL K2Cr2O7 0,1 N + 6 mL HCl pekat +
2. Berwarna coklat.
25 mL KI 0,1 N
Titrasi dilakukan dengan menggunakan
Na2S2O3
Berwarna hujau bening
a. Larutan I dititrasi + 3 tetes amilum
Volume : 24,2 mL
(bening)
3.
b. Larutan II dititrasi + 3 tetes amilum Berwarna hujau bening
(bening) Volume : 24,2 mL
c. Larutan III dititrasi + 3 tetes amilum Berwarna hujau bening
(bening) Volume : 24,2 mL
2. Penentuan kadar Cu dan CuSO4
No. Perlakuan Hasil Pengamatan
25 mL CuSO4 (biru) + 25 mL KI 0,1 N
1. Berwarna coklat
(bening)
Titrasi dilakukan dengan menggunakn
Na2S2O3 1 N + Indikator amilum (bening)
dekat titik titrasi
a. Titrasi I Berwarna putih susu dan
3. V1 = 22 mL terdapat endapan
b. Titrasi II Berwarna putih susu dan
V1 = 22 mL terdapat endapan
c. Titrasi III Berwarna putih susu dan
V1 = 22 mL terdapat endapan
G. ANALISIS DATA
1. Penentuan konsentrasi (normalitas) larutan standar Na2S2O3
Diketahui : V. K2Cr2O7 = 25 mL

N. K2Cr2O7 = 0,1 N

Ditanyakan : 𝑁𝑡𝑖𝑜 =……..?


Jawab :
𝑉1+ 𝑉2 + 𝑉3
Volume rata-rata Na2S2O3 =( ) 𝑚𝐿
3

24,2 +24,2+23,7
=( ) 𝑚𝐿
3

= 24,03 mL
(𝑉×𝑁)𝐾2 𝐶𝑟2 𝑂7
𝑁𝑡𝑖𝑜 = 𝑉𝑡𝑖𝑜
(25 𝑚𝐿×0,1 𝑁)𝐾2 𝐶𝑟2 𝑂7
= 24,03 𝑚𝐿

= 0,104 N

2. Penentuan Kadar Cu dalam CuSO4

Diketahui : 𝑁𝑡𝑖𝑜 = 0,1 N

𝑉𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 = 25 mL
BE Cu = 65,37 mg/mmol
Ditanyakan: Kadar Cu =……..?
Jawab:
𝑉1+ 𝑉2 + 𝑉3
Volume rata-rata Na2S2O3 =( ) 𝑚𝐿
3

24+24+24
=( ) 𝑚𝐿
3

= 24 mL

(𝑉×𝑁)𝑡𝑖𝑜
Kadar Cu = × 𝐵𝐸𝐶𝑢
𝑉𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙

(24 𝑚𝐿×0,1 𝑁)
= 25 𝑚𝐿
×65,37 mg/ mmol
(24 𝑚𝐿 × 0,1 𝑁
= × 65,37 𝑚𝑔/𝑚𝑚𝑜𝑙
25 𝑚𝐿 X 2 𝑁

= (0,048× 65,37) mg/mL


= 3,137 mg/mL

H. PEMBAHASAN
Titrasi Reduksi oksidasi (redoks) adalah suatu penetapan kadar reduktor
atau oksidator berdasarkan atas reaksi oksidasi dan reduksi dimana reduktor akan
teroksidasi dan oksidator akan tereduksi (Pursitasari, 2014: 176). Titrasi iodometri
yaitu titrasi tidak langsung dimana oksidator yang dianalisis kemudian
direaksikan dengan ion iodide berlebih dalam keadaan yang sesuai,yang
selanjutnya iodium dibebaskan secara kuantitatif dan dititrasi dengan larutan
standar. Titrasi iodometri yang digunakan pada percobaan ini yaitu titrasi
iodometri tak langsung yang merupakan titrasi terhadap larutan analit dengan
larutan natrium tiosulfat sebagai larutan standar (titrat) menggunakan indikator
amilum.
Adapun prinsip dasar dari titrasi iodometri yaitu didasarkan pada reaksi
reduksi oksidasi (redoks). Sedangkan prinsip kerjanya yaitu pencampuran,
pengocokan, proses titrasi dan pengamatan. Pada percobaan ini terdapat dua
kegiatan yaitu standarisasi larutan natrium tiosulfat (Na2S2O3) dan penentuan Cu
dalam CuSO4.
1. Standarisasi Larutan Na2S2O3.
Standarisasi merupakan penentuan konsentrasi dari larutan standar
sekunder yang menggunakan bantuan larutan standar primer. Adapun larutan
standar primer yang digunakan pada percobaan ini yaitu kalium bikromat
(K2Cr2O4) karena merupakan larutan standar primer yang digunakan karena
merupakan suatu zat pengoksidasi yang cukup kuat, stabil dalam penyempinan
dan dapat diperoleh dalam derajat kemurnian yang tinggi serta tidak bersifat
higroskopik. Sementara larutan standar primer yang digunakan pada percobaan ini
yaitu natrium tiosulfat (Na2S2O3) yang merupakan larutan yang tidak stabil dalam
penyimpanan karena bersifat higroskopik sehingga konsentrasinya dapat berubah-
ubah (disebut larutan standar sekunder). Maka oleh sebab itulah perlu dilakukan
standarisasi pada larutan natrium tiosulfat (Na2S2O3) untuk mengatahui kadar dari
natrium tiosulfat (Na2S2O3).
Standarisasi larutan natrium tiosulfat (Na2S2O3) dilakukan dengan
menggunakan kalium bikarbonat (K2Cr2O4) yang akan ditambahkan dengan asam
sulfat (HCl) pekat dan menghasilkan larutan yang berwarna orange. Fungsi
penambahan HCl pekat ini berfungsi sebagai katalis dan untuk memberikan
suasana asam pada larutan karena reaksi akan berlangsung dengan cepat dalam
suasana asam. Reaksi antara keduanya bersifat eksoterm yaitu reaksi yang
membebaskan atau menghasilkan panas dalam prosesnya. Setelah itu ditambahkan
larutan kalium Iodida (KI) dan menghasilkan larutan berwarna coklat. Fungsi
penambahan larutan kalium Iodida (KI) adalah berfungsi sebagai zat pengoksidasi
untuk membebaskan ion dari iodide. Adapun reaksinya yaitu:
K2Cr2O7 2 K+ + Cr2O72-
KI K+ + I-
Oksidasi : 2 I- I2 + 2e- x3
Reduksi : Cr2O72- + 14 H+ + 6e- 2 Cr3+ + H2O x1
Redoks : Cr2O72- + 14 H+ + 6I- 2 Cr3+ + I2 + H2O
Sehingga reaksi lengkapnya bisa di tulis sebagai berikut:
K2Cr2O7(aq)+ 6 KI(aq) + 14 HCl(aq) 8 KCl(aq) + 2 CrCl3(aq) + 3I2(aq) + 7 H2O(l)
Proses reaksinya :
Cr2O72- + 2I- + 14 H+ 2 Cr3+ + I2 + 7H2O
+6 -1 +3 0
oksidasi
reduksi

Larutan selanjutnya dititrasi dengan larutan standar Na2S2O3.Penambahan


Na2S2O3 berfungsi untuk mereduksi iodida (I2) menjadi iodium (I-). Kemudian
ditambahkan indikator amilum. Penambahan amilum dilakukan pada saat
menjelang akhir titrasi karena kompleks amilum I2 terdisosiasi sangat lambat
akibatnya, maka banyak I2 yang teradsorbsi oleh amilum jika amilum
ditambahkan pada awal titrasi. Titrasi dilanjutkan hingga titik akhir titrasi yang
ditandai dengan hilangnya warna biru pada saat penetesan indikator amilum.
Adanya perubahan warna ini dikarenakan penambaham titran ion tiosulfat, maka
kompleks iod-amilum pecah, sehingga ketika iod habis, maka perubahan warna
akan terjadi yaitu larutan berubah dari warna kuning dan setelah dititrasi menjadi
warna hijau. Adapun reaksinya yaitu:
KI K+ + I-
Na2S2O3 2 Na+ + S2O32-
Oksidasi : 2 S2O32- S4O62- + 2e-
Reduksi : I2 + 2e- 2 I-
Redoks : 2 S2O32- + I2 S4O62- + 2 I-
Sehingga reaksi lengkapnya adalah:
2Na2S2O3(aq)+ I2(aq) Na2S4O6(aq) + 2 NaI(aq)
Proses reaksinya:
I2 + 2 S2O32- 2 I- + S4O62-
0 +2 -1 +2,5
oksidasi
reduksi

Proses titrasi diulangi sebanyak tiga kali, hal ini dimaksudkan untuk
memperoleh data titrasi yang lebih akurat dan teliti. Hasil yang diperoleh dalam
percobaan ini yaitu larutan yang dititrasi berubah warna menjadi hijau bening dan
volume natrium tiosulfat (Na2S2O3) yang digunakan pada titrasi pertama, kedua
dan ketiga secara berurutan yaitu 24,2 mL, 24,2 ml dan 23,7 ml. Sehingga volume
rata-rata natrium tiosulfat (Na2S2O3) yang digunakan sebesar 24,03 ml, serta
diperoleh normalitasnya sebesar 0,104 N. Hal ini menandakan bahwa konsentrasi
larutan standar natrium tiosulfat (Na2S2O3) berubah atau tidak tetap setelah larutan
natrium tiosulfat (Na2S2O3) dipindahkan ke dalam buret, dari yang awalnya
konsentrasinya sebesar 0,1 N menjadi 0,104 N setelah distandarisasi. Ini
membuktikan bahwa larutan natrium tiosulfat (Na2S2O3) sebagai larutan standar
sekunder konsentrasinya tidak stabil dalam penyimpanannya.
2. Penentuan Cu dalam CuSO4
Percobaan ini dilakukan dengan tujuan untuk menentukan kadar Cu dalam
tembaga (II) sulfat (CuSO4). Penentuan kadar Cu dalam tembaga (II) sulfat
(CuSO4) dilakukan dengan cara titrasi iodometri yang didasarkan pada prinsip
titrasi redoks yaitu reaksi reduksi oksidasi yang melibatkan penangkapan dan
pelepasan elektron, sehigga terjadi perubahan bilangan oksidasi.
Penentuan Cu menggunakan larutan tembaga (II) sulfat (CuSO4) sebagai
larutan sampel dalam percobaan ini. Larutan tembaga (II) sulfat (CuSO4) yang
berwarna biru ditambahkan dengan larutan kalium iodida (KI) yang
mengakibatkan larutan berubah warna menjadi kuning kecoklatan. Perubahan
warna ini menunjukkan adanya reaksi antara KI dengan larutan CuSO4. Fungsi
dari kalium iodida (KI) adalah penyedia iod. Tembaga (II) sulfat
(CuSO4) berfungsi sebagai oksidator karena mengoksidasi I– menjadi I2. Tembaga
(II) sulfat (CuSO4) mengalami reduksi menghasilkan tembaga (I) iodida.
Kemudian ditambahkan larutan kalium iodida (KI) dan menghasilkan larutan
kuning kecoklatan. Setelah itu larutan dititrasi dan menghasilkan larutan keruh
dan ditambahkan dengan indikator amilum. Setelah dititrasi akan menghasilkan
larutan putih susu. Adapun reaksinya :
KI K+ + I-
CuSO4 Cu2+ + SO42-
Oksidasi : 2 I- I2 + 2e-
Reduksi : Cu2+ + 2e- Cu
Redoks : Cu2+ + 2 I- Cu + I2
Sehingga, reaksi lengkapnya adalah:
2 CuSO4(aq) + 4 KI(aq) 2 K2SO4(aq) + 2 CuI(aq) + I2(aq)
Proses reaksi :
2 Cu2+ + 4 I- 2 CuI + I2
+2 -1 +1 0
oksidasi
reduksi
Kemudian dilakukan titrasi dengan natrium tiosulfat (Na2S2O3) hingga
larutan berubah menjadi coklat susu. Larutan tersebut ditambahkan larutan
indikator amilum untuk memberi tanda batas akhir titrasi. Titrasi kemudian
dilanjutkan hingga larutan menjadi berwarna putih susu. Lalu didiamkan hingga
larutan tidak berwarna dan terdapat endapan putih. Adapun reaksinya yaitu:
KI K+ + I-
Na2S2O3 2 Na+ + S2O32-
Oksidasi : 2 S2O32- S4O62- + 2e-
Reduksi : I2 + 2e- 2 I-
Redoks : 2 S2O32- + I2 S4O62- + 2 I-
Sehingga reaksi lengkapnya adalah:
2Na2S2O3(aq) + I2(aq) Na2S4O6(aq) + 2 NaI(aq)
Titrasi ini dilakukan sebanyak tiga kali kali agar diperoleh hasil yang lebih
akurat. Adapun volume yang diperoleh yaitu 22 mL, 22 mL, dan 22 mL. Volume
rata-rata titran yang diperoleh adalah 22 mL. Adapun kadar tembaga (Cu) yang
diperoleh yaitu 3,137 mg/mL , yang berarti dalam 1 mL sampel CuSO4 terdapat
3,137 mg tembaga (Cu).

I. KESIMPULAN
Adapun kesimpulan yang diperoleh dari percobaan ini adalah:
a. Pembuatan larutan standar Na2S2O3 dengan menggunakan larutan kalium
bikromat sebagai larutan standar primer. Normalitas larutan Na2S2O3 yang
diperoleh sebesar 0,104 N.
b. Penentuan kadar Cu dalam sampel CuSO4 diperoleh kadar Cu sebesar 3,137
mg/ml, yang artinya bahwa dalam 1 ml larutan sampel CuSO4 terdapat 3,137
mg Cu.

J. SARAN
Diharapkan untuk praktikan selanjutnya lebih hati-hati dalam melakukan
titrasi, baik dalam penggunaaan buret maupun saat proses titrasi berlangsung
untuk meminimalisir kesalahan yang terjadi dalam praktikum. Alat-alat yang akan
digunakan hendaknya dicuci terlebih dahulu menggunakan aquades agar apabila
hendak digunakan tidak menyebabkan terjadi kesalahan saat penambahan bahan.
DAFTAR PUSTAKA

Basset, Dennney, Jeffery, dan Mendham, 1991. Kimia Analisis Kuantitatif


Anorganik. Jakarta: Buku Kedokteran.

Chang, Raymond. 2004. Kimia Dasar: Konsep-konsep Inti jilid 2 edisi Ketiga.
Erlangga: Jakarta.
Day, R.A, dan A.L. Underwood. 1998. Analisis Kimia Kuantitatif. Jakarta:
Erlangga.

Ibnu, dkk. 2004. Kimia Analitik I. Malang: Universitas Negeri Malang.

Harjadi, W. 1986. Ilmu Kimia Analitik Dasar. Jakarta: Gramedia.

Hesti, Muh. Zakir Muzakkar., dan Hermanto. 2016. Analisis Kandungan Zat
Pengawet Natrium Benzoat Pada Sirup Kemasan Botol Yang
Diperdagangkan Di Mall Mandonga Dan Hypermart Lippo Plaza Kota
Kendari. Jurnal Sains dan Teknologi Pangan. Vol. 1, No. 1.
Pursitasari, Indarini Dwi. 2014. Kimia Analitik Dasar. Bandung: Alfabeta.

Svehla, G. 1985. Vogel Analisis Anorganik Kualitatif Makro Dan Mikro. Jakarta:
PT Kalman Media Pusaka.

Widodo, Didik Setiyo, dan Rum Hastuti. 2009. Buku Ajar Analisis Kuantitatif.
Semarang: FMIPA Universitas Diponegoro.

Wongkar, Ivone.Y, Jemmy Abidjulu, dan Frenly Wehantouw. 2014. Analisis


Clorin Pada Beras Yang Beredar Di Pasar Kota Manado. Jurnal Ilmiah
Farmasi.Vol.3. No.3.

Anda mungkin juga menyukai