Anda di halaman 1dari 7

Tuberkulosis Milier

Oleh : Dian Arifiani

Tuberkulosis milier merupakan penyakit limfohematogen sistemik akibat


penyebaran kuman M.tuberculosis dari kompleks primer. Tuberkulosis milier lebih
sering terjadi pada bayi dan anak kecil, terutama usia <2 tahun, karena sistem
imunnya belum berkembang sempurna. Terjadinya TB milier dipengaruhi oleh dua
faktor utama yaitu kuman M.tuberculosis (jumlah dan virulensi) dan status
imunologis pasien (nonspesifik dan spesifik), serta adanya faktor lingkungan.

1. Patogenesis
Paru merupakan port d’ entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet
nuclei) yang terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini
akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag
alveolus akan memfagosit kuman TB dan biasanya sanggup
menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian
kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman
akan bereplikasi dalam makrofa. Kuman Tb dalam makrofag yang terus
berkembang biak, pada akhirnya akan membentuk koloni di tempat
tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus
Primer GOHN.
Dari fokus primer, kuman Tb menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar regional yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke
lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di
saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang
terkena. Jika fokus primer terletak di lobus paru bawah atau tengah,
kelenjar limfe yang terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan bila
fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar
paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan antara fokus primer,
kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe
yang meradang (limfangitis).
Waktu yang diperlukan untuk masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini
berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu
waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbul gejala
penyakit. Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8
minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi
tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah
yang cukup untuk merangsang respon imun seluler.
Selama bermingu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan
logiritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum
tersensitisasi terhadap tuberkulin mengalami perkembangan sensitivitas.
Pada saat terbentuknya fokus primer inilah infeksi TB primer dinyatakan
telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas
terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respon positif terhadap uji
tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Setelah
kompleks primer terbentuk, imunitas seluler tubuh terhadap Tb telah
terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang
berfungsi baik, begitu sistem imun seluler berkemban, proliferasi kuman
TB terhenti. Namun sejumlah kecil kuman TB tetap hidup dalam
granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB yang baru
masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan.
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi
setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe
regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi
penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer dijaringan paru.
Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap bertahun-tahun di kelenjar ini.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang
terjadi dapat disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjar limfe regional.
Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau
pleuritis lokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah
lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan
rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakea
yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar karena
reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi
parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan
atelektasis. Kelenjar yang mengalami infeksi san nekrosis perkijuan dapat
merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan
TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan
obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan
pneumonitis dan atelektasis, yang sering disebut sebagai lesi segmental
kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman
menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer.
Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke dalam
sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran
hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit
sistemik.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hematologic spread). Melalui
cara ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit
sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan
menyebar mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya
dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak,
tulang, ginjal dan paru sendiri. Terutama apeks paru atau lobus atas paru.
Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan membentuk
koloni kuman sebelumj terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi
pertumbuhannya.
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi
pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk
dorman.fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit,
tetapi berpotensi untuk menjadi fokus reaktivasi. Fokus potensial di apeks
paru disebut sebagai fokus SIMON. Berathun-tahun kemudian, bila daya
tahan tubuh pejamu menurun, fokus TB ini dapat mengalami reaktivasi
dan menjadi penyakit TB pada organ terkait, misalnya meningitis, TB
tulang dan lain-lain.
Bentuk penyebaran hematogen yang lainnya adalah penyebaran
hematogenik generalisata akut (acute generalized hematogenic spread).
Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar ke dalam
darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya
menifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata.
TB diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadinya infeksi.
Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang
beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata
terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu dalam mengatasi
infeksi TB, misalnya pada balita.
Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic
spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan
melalui cara ini akan mempunyai ukuran yang kurang lebih sama. Istilah
milier berasal dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butir padi-
padian/jewawut (millet seed). Secar patologi anatomik, lesi ini berupa
nodul kuning berukuran 1 -3 mm, yang secar histologi merupakan
granuloma.
Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted
hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus
perkijuan menyebar ke saluran vaskular di dekatnya, sehingga jumlah
kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB
akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan denagn acute generalized
hematogenic spread. Hal ini dapat terjadi secar berulang.
Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi ( terutama 1 tahun pertama),
biasanya sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk
dasasr TB paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB
endobronkial dan TB paru kronik. Sebanyak 0,5-3%. Penyebaran
limfohematogen akan menjadi Tb milier atau meningitis TB, hal ini
biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer. Tuberkulosis
endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat pembesaran kelenjar
regional) dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9 bulan).
Terjadinya TB paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi kuman di
dlam lesi yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang
terjadi pada anak, tetapi sering pada remaja dan dewasa muda.
Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang
terinfeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang
terinfeksi, dan paling banyak terjadi dalam 1 tahun tetapi dapat juga 2-3
tahun klemudian. TB ginjal biasanya terjadi 5 – 25 tahun setelah infeksi
primer.

2. Manifestasi Klinis
keluhan kronik yang tidak khas, seperti TB pada umumnya:
anoreksia dan BB turun atau gagal tumbuh
demam lama dengan penyebab yang tidak jelas
batuk dan sesak napas
demam tinggi yang sering hilang timbul (remiten)
limfadenopati superfisial,
splenomegali, h
epatomegali akan terjadi dalam beberapa minggu. Demam kemudian
bertambah tinggi dan berlangsung terus-menerus/kontinu, tanpa disertai
gejala respiratorik atau disertai gejala minimal, dan foto toraks biasanya
masih normal. Beberapa minggu kemudian, hampir di semua
organ,terbentuk tuberkel difus multipel, terutama di paru, limpa, hati dan
sumsum tulang. Gejala klinis biasanya timbul akibat gangguan pada paru,
yaitu gejala respiratorik seperti batuk dan sesak napas disetai ronki atau
mengi. Pada kelainan paru yang berlanjut, timbul sindrom sumbatan
alveolar, sehingga timbul gejala gangguan pernapasan, hipoksia,
pneumotoraks dan atau pneumomediastinum. Dapat juga terjadi gangguan
fungsi organ, kegagalan multiorgan, serta syok.
Gejala lain yang dapat ditemukan adalah kelainan kulit berupa
tuberkuloid, papula nekrotik, nodul atau purpura. Tuberkel koroid
ditemukan pada 13-87% pasien, dan jika ditemukan dini dapat menjadi
tanda yang sangat spesifik dan sangat membantu diagnosis TB milier.
Maka, pada TB milier perlu dilakukan funduskopi untuk menemukan
tuberkel koroid.
MeningitisTB dan peritonitis TB dapat ditemukan pada 20-40% pasien
yang berat. Sakit kepala kronik atau berulang biasanya merupakan gejala
telah terjadinya meningitis dan merupakan indikasi untuk melakukan
pungsi lumbal. Peritonitis TB ditandai oleh keluhan nyeri atau pembesaran
abdomen.
Lesi milier dapat terlihat pada foto toraks dalam waktu 2-3 minggu setelah
penyebaran kuman secara hematogen. Gambarannya sangat khas, yaitu
berupa tuberkel halus (milli) yang tersebar merata di seluruh lapang paru,
dengan bentuk yang khas dan ukuran yang hampir seragam (1-3 mm).
Lesi-lesi kecil dapat bergabung membentuk lesi yang lebih besar, kadang-
kadang membentuk infiltrat yang luas. Sekitar 1-2 minggu setelah
timbulnya penyakit, pada foto toraks dapat dilihat lesi yang tidak teratur
seperti kepingan salju.
3. Diagnosis
Riwayat kontak dengan pasien TB dewasa yang infeksius (BTA positif)
Gambaran klinis
Gambaran radiologis yang khas: tuberkel halus (milli) yang tersebar
merata di seluruh lapang paru, dengan bentuk yang khas dan ukuran yang
hampir seragam (1-3 mm)
Uji tuberkulin yang positif.
Pemeriksaan sputum atau bilas lambung dan kultur M.tuberculosis
Penatalaksanaan
Tatalaksana medikamentosa TB milier adalah pemberian 4-5 macam OAT
selama 2 bulan pertama, dilanjutkan dengan isoniazid dan rifampisin
selama 6-10 bulan sesuai dengan perkembangan klinis.
Kortikosteroid (prednison) diberikan pada TB milier, meningitis TB,
perikarditis TB, efusi pleura, dan peritonitis TB. Prednison biasanya
diberikan dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari selama 2-4 minggu, kemudian
diturunkan perlahan-lahan (tapering off) selama 2-6 minggu.
Dengan pengobatan yang tepat, perbaikan TB milier biasanya berjalan
lambat. Respon keberhasilan terapi antara lain adalah menghilangnya
demam setelah 2-3 minggu pengobatan, peningkatan nafsu makan,
perbaikan kualitas hidup sehari-hari, dan peningkatan BB. Gambaran
milier pada foto toraks biasanya menghilang dalam 1 bulan, kadang-
kadang berangsur-angsur menghilang dalam 5-10 minggu, tetapi mungkin
saja belum ada perbaikan hingga beberapa bulan.
4. Prognosis
5. Pencegahan
Pada semua anak terutama balita yang tinggal serumah atau kontak erat dengan
penderita TB dengan BTA positif, periu dilakukan pemeriksaan menggunakan
sistem scoring. Bila hasil evaluasi dengan sistem scoring didapatkan <5, kepada
anak tersebut diberikan isoniazid (INH) dengan dosis 5-10 mg/kgBB/hari selama
6 bulan. Bila anak tersebut belum mendapatkan imunisasi BCG, imunisasi BCG
dilakukan setelah pengobatan pencegahan selesai.

Anda mungkin juga menyukai