Anda di halaman 1dari 4

Agus Sri Danardana

Bahasa Ibu dan Karakter Bangsa

23 Juli 2012 - 09.10 WIB > Dibaca 4623 kali | Komentar

Share33

Bahasa ibu (mother tongue) adalah bahasa pertama yang diperoleh dan dikuasai seseorang. Menurut
para ahli, bahasa ibu merupakan dasar cara berpikir seseorang.

Oleh karena itu, pada tahap-tahap awal perkembangan diri seseorang, peran bahasa ibu sangat
menentukan.

Biasanya, seseorang yang penguasaan bahasa ibunya rendah akan mengalami kesulitan dalam
pemerolehan pengetahuan, lebih-lebih jika pengetahuan itu disampaikan dengan bahasa lain.

Dalam hal ini hasil penelitian Freeman dan Freeman (1992) menunjukkan bahwa peserta didik yang
belajar di sekolah-sekolah yang menggunakan bahasa pengantar bahasa kedua (dalam kasus ini bahasa
Inggris) sering mengalami kesulitan dalam belajar mata pelajaran lain, seperti matematika, IPA, IPS, dan
sejenisnya.

Sebaliknya, siswa yang belajar di sekolah-sekolah yang menggunakan bahasa ibu sebagai bahasa
pengantar, cenderung tidak mengalami kesulitan dalam mengikuti kegiatan belajar-mengajar (Cummins,
1989).
Selain itu, Steinhauer (2000) juga menceritakan hasil penelitian AM Hagen dan T Vallen tahun 1970-an
mengenai sekolah dasar di Kota Kerkarde, Provinsi Limburg, di perbatasan Belanda-Jerman.

Setiap tahun rata-rata hasil ujian siswa-siswa di kota itu secara signifikan lebih buruk daripada rata-rata
hasil ujian siswa di lain tempat di Belanda (bukan perbatasan).

Hal itu terjadi karena bahasa pengantar pada sekolah-sekolah di pinggiran tersebut adalah bahasa
Belanda baku.

Padahal, dalam kehidupan sehari-hari siswa pada sekolah-sekolah di perbatasan itu menggunakan
bahasa campuran: Belanda-Jerman yang secara signifikan berbeda dengan bahasa Belanda baku. Baru
setelah bahasa daerah setempat digunakan sebagai bahasa pengantar di sekolah, prestasi belajar siswa
membaik.

Amatan para ahli bahasa itu tentu sangat menggelisahkan karena sekolah-sekolah di Indonesia (tidak
terkecuali sekolah dasar) justru sedang ngetren berlomba untuk menjadi sekolah (berstandar)
internasional yang menggunakan bahasa asing sebagai bahasa pengantarnya. Kondisi seperti itu tidak
hanya mengancam keberadaan bahasa daerah, tetapi juga bahasa Indonesia.

Padahal, kedua bahasa itu (daerah dan Indonesia) masih menjadi bahasa ibu sebagian besar bangsa
Indonesia.

Dalam konteks Indonesia, bahasa ibu identik dengan bahasa daerah. Masyarakat Indonesia (khususnya
yang tinggal di daerah-daerah pedesaan, kampung-kampung, kota-kota kecil, bahkan kota-kota besar
yang terletak di daerah etnisitas tertentu) adalah bilingual.

Umumnya mereka menguasai dua bahasa, yaitu bahasa yang mereka gunakan dalam kehidupan sosial
antarpenutur bahasa daerahnya dan bahasa Indonesia sebagai bahasa kegiatan sosial maupun resmi
antarwarga negara tanpa melihat asal usul etnisitasnya.
Meskipun demikian, kenyataan yang kita pahami di Indonesia, bahasa ibu selalu dikaitkan dengan bahasa
daerah yang dituturkan oleh suatu kelompok (etnis) tertentu yang memilikinya.

Fungsi Bahasa Daerah (Ibu)

Salah satu keputusan yang bersifat politis yang dihasilkan Seminar Politik Bahasa tahun 2000 adalah
ditentukannya fungsi bahasa daerah sebagai: (a) lambang kebanggaan daerah, (b) lambang identitas
daerah, (c) alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah, (d) sarana pendukung budaya
daerah dan bahasa Indonesia, (e) pendukung sastra daerah dan sastra Indonesia.

Selain itu, dalam hubungannya dengan bahasa Indonesia, bahasa daerah berfungsi sebagai: (a)
pendukung bahasa nasional, (b) bahasa pengantar di sekolah dasar di daerah tertentu pada tingkat
permulaan untuk memperlancar pengajaran bahasa Indonesia dan mata pelajaran lain, dan

(c) sumber kebahasaan untuk memperkaya bahasa Indonesia, serta (d) dalam keadaan tertentu dapat
berfungsi sebagai pelengkap bahasa Indonesia di dalam penyelenggaraan pemerintahan pada tingkat
daerah (Alwi dan Dendy Soegono, 2000).

Rumusan fungsi bahasa daerah dalam hubungannya dengan bahasa Indonesia, dengan demikian,
mengandung pengertian bahwa dalam kegiatan belajar mengajar (KBM) tidak diperkenankan
menggunakan bahasa daerah, kecuali pada daerah-daerah tertentu karena faktor-faktor tertentu,
misalnya daerah itu belum terjangkau sarana komunikasi, seperti radio dan televisi, sehingga sebagian
besar penuturnya hanya mengenal bahasa daerah setempat.

Kebijakan seperti itu setidaknya akan memunculkan dua kemungkinan: Pertama, secara psikologis akan
membentuk persepsi peserta didik bahwa bahasa dan kultur yang mereka miliki yang terekam dalam
bahasa ibu mereka dianggap kurang/tidak penting; dan kedua, secara tidak langsung akan membentuk
pola berpikir negatif penutur bahasa daerah terhadap bahasa ibunya dan sekaligus akan mengurangi
kebanggaan mereka terhadap bahasa dan kulturnya.

Artinya, jika benar-benar dilaksanakan, kebijakan itu justru tidak mendukung berbagai upaya yang telah
dicanangkan dalam rangka pencapaian tujuan pengajaran bahasa daerah seperti yang dirumuskan dalam
kebijakan Politik Bahasa Nasional.
Atas dasar itu, menurut penulis, pemakaian bahasa daerah sebagai bahasa pengantar pada taman kanak-
kanak dan pada tingkat permulaan di sekolah dasar (kelas 1-3) serta pemberian mata pelajaran bahasa
daerah sebagai salah satu materi pelajaran di semua jenjang pendidikan patut dipertimbangkan.

Berikut ini ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan sehubungan dengan usulan tersebut.

Pertama, mengantisipasi kekhawatiran akan terwujudnya kecenderungan semakin banyak jumlah bahasa
daerah yang oleh Krauss (1992) disebut sebagai bahasa yang berkategori moribund dan endangered
akan menjadi kenyataan.

Gejalanya sudah mulai tampak. Konon, di samping diperkuat oleh konsentrasi pembinaan bahasa yang
dilakukan oleh Badan Bahasa yang cenderung lebih berat pada pembinaan bahasa Indonesia (periksa
Sudaryanto, 1991), kemerosotan penggunaan bahasa daerah juga disebabkan oleh sikap penutur bahasa
daerah yang kurang positif terhadap bahasa daerahnya.

Sikap itu, di samping disebabkan oleh sebagian besar penutur bahasa daerah yang relatif kecil jumlahnya
(dan karena itu memandang dirinya sebagai kelompok minoritas yang kurang berprestise), juga semakin
dominannya pemakaian bahasa nasional (BI) dalam berbagai aspek kehidupan (bandingkan dengan
Mu’adz, 1998). Padahal, jika bahasa daerah menghilang dari rentangan perbendaharaan bahasa rakyat
Indonesia, akan turut menghilang pula berbagai nilai-nilai/kearifan lokal yang terekam dalam bahasa-
bahasa daerah itu (Soedarmo, 2003).

Kedua, pemberian pelajaran dengan menggunakan bahasa pengantar bahasa ibu pada tingkat
permulaan dapat menjadi sarana bagi pembentukan sikap percaya diri pada peserta didik.

Mereka merasa dihargai karena bahasa yang mereka gunakan, yang sekaligus menjadi media sosialisasi
budaya yang membentuk diri mereka, digunakan sebagai alat dalam penyampaian pengetahuan di
sekolah tempat mereka menuntut ilmu.

Dengan demikian, secara psikologis mereka merasa aman berada di sekolah dan akan selalu siap untuk
menerima pelajaran.(bersambung)

Anda mungkin juga menyukai